Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB IV

(1)

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS PERAN PEREMPUAN SINGLE PARENT TERHADAP ANAK DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS

Dalam bagian ini penulis akan menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania. Mengenai peran perempuan single parent terhadap anak dari perspektif konseling feminis. Berikut ini akan dianalisis data-data yang diperoleh :

4.1Permasalahn Perempuan Single Parent Terhadap Anak

Berdasarkan hasil wawancara penulis akan menganalisis permasalahan perempuan single parent berdasarkan teori pembagian kerja yang tidak secara merata dilakukan oleh single parent terhadap anak.

4.1.1 Permasalahan Produktif

Berdasarkan masalah produktif ini, menurut penulis permasalah produktif single parent yakni beban kebutuhan anak yang semakin meningkat, single parent terpaksa harus memaksakan diri untuk bekerja extra demi memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Penelitian tersebut jika dilihat dari pandangan Caballo dan Mcloyd, membenarkan bahwa single parent sering terlibat dalam masalah kerugian sosial ekonomi yang lebih besar, mereka lebih cenderung berpenghasilan rendah, lebih


(2)

banyak menyewa daripada memiliki rumah, menjadi pengangguran dan menderita karena rendah diri.1

Menurut penulis, baik teori maupun kenyataan di lapangan menjelaskan hal yang sejalan yakni tentang masalah ekonomi single parent. Hal ini dikarenakan budaya yang berkembang dalam masyarakat yang mengkodratkan perempuan yang dekat dengan peran reproduktif dan laki-laki peran produktif. Sehingga jika perempuan yang berstatus single parent permasalahan yang menonjol ialah peran produktif dalam hal pemenuhan kebutuhan anak. Namun, temuan yang berbeda ialah jika dalam teori Caballo dan Mcloyd menjelaskan bahwa perempuan single parent

mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, justru pada hasil penelitian di lapangan perempuan tetap berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga perannya dapat dijalankan sebagai orang tua yang utuh. Perempuan tidak merasa terhalang karena tidak memiliki pekerjaan tetap, karena ia mampu memberdayakan situasi yang ada untuk keberlangsungan kehidupannya.

Dari temuan yang berbeda ini, penulis menyimpulkan bahwa teori Caballo dan Mcloyd sesuai dengan hasil penelitian di lapangan. Temuan yang berbeda dengan teori Caballo dan Mcloyd adalah single parent memang mengalami kesulitan. Namun, mereka tetap berjuang dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Walaupun kendala karena tingkat pendidikan yang rendah dan status single parent yang memiliki anak mengakibatkan minimnya lapangan pekerjaan, mereka tetap berusaha bekerja untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Penulis melihat hal tersebut sebagai bentuk

1 Caballo & Mcloyd in Nicolette. “Maternal Parenting In Single And Two-Parent Families In South


(3)

ketidakadilan bagi perempuan single parent, dimana perempuan masih di nomor duakan (subordinasi) dalam masyarakat, sehigga perempuan cenderung bekerja tidak jauh pada ranah domestik. Hal ini nampak jelas dari pekerjaan yang digeluti oleh ketiga responden yakni penjaga toko, penjual makanan, dan pembantu rumah tangga. 4.1.2 Permasalahan Reproduktif

Dalam hasil penelitian permasalahan reproduktif yang ditemukan dilapangan menunjukan bahwa Ibu Nyora bukan tidak mau menikah lagi, ia tetap menghargai fungsi dan peran seorang ayah bagi anak. Namun, permasalahannya disebabkan karena ketakutan dan kecemasanya jika ia menikah maka anaknya tidak akan mendapatkan kebahagian dari suami barunya nanti, karena menurutnya ayah tiri dan ayah kandung pasti berbeda dalam menonjolkan kasih sayang terhadap anak. Ketakutan dan kecemasan itulah yang membuatnya memutuskan untuk hidup sendiri membesarkan anak.

Penelitian tersebut jika dilihat dalam teori menurut Castros, menemukan bahwa perempuan yang memiliki anak jauh kemungkinannya untuk menikah lagi, dibandingkan pria yang memiliki anak.2 Hal ini disebabkan karena perempuan lebih memfokuskan sebagaimana menjalani peran ganda, dan juga secara fundamental memiliki beban ganda untuk membesarkan anaknya dan memenuhi segala kebutuhan anak. Ketakutannya jika kebahagiaan anaknya tidak didapatkan dari ayah tiri nanti

2 Shannon Sommer Karyn m. Plumm cheryl . Terrance, Perceptions of Younger Single


(4)

sehingga perempuan memutuskan untuk hidup sendiri membesarkan anak dan mengorbankan kebutuhan seksualitasnya sendiri.

Menurut penulis baik teori maupun penelitian dilapangan menjelaskan hal yang sejalan, di mana kecemasan dan ketakutan single parent akan kebahagiaan anaknya kelak mengorbankan seksualitasnya. Namun, disini perempuan tidak menyadari bahwa hal ini berpengaruh pada peran yang dilakukan dalam keluarga dalam hal pembagian kerja yang tidak merata karena beban ganda yang harus dijalankannya.

4.1.3 Permasalahan Sosial

Permasalahan sosial ditemui oleh penulis ketika melakukan observasi. Perilaku masyarakat seakan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jati diri single parent sebagai komponen masyarakat. Faktor ini kian membuka peluang anak membenci ibunya karena sang ibu menjadi trending topic lingkungan. Konflik anak dan ibu kerap dipengaruhi oleh faktor sosial-eksternal.

Hurlock mengemukakan masalah sosial yang dialami single parent adalah mereka akan menemukan dirinya tidak ada tempat diantara orang yang memiliki pasangan kecuali mereka diundang untuk bergabung dalam kegiatan sosial yang ada dalam masyarakat.3 Menurut penulis hal ini akan melemahkan single parent dalam menyeimbangkan perannya dalam masyarakat dan dalam keluarga. Stereotip yang berkembang mengenai single parent dapat membuat mereka tidak dapat secara maksimaal memaknai keseimbangan peran terhadap anak.


(5)

Untuk itu dalam teori Castells, mengenai Resistance identity atau identitas perlawanan oleh penulis dilihat sebagaimana, perempuan single parent harus melakukan perlawanan terhadap dirinya sendiri dan sosial.4 Perlawanan terhadap dirinya sendiri adalah bagaimana ia seorang perempuan tunggal harus memilih untuk bekerja demi keberlanjutan kehidupannya dan keluarganya. Sedangkan secara sosial, ia melawan stigma-stigma negatif yang lalu kemudian mencap rendah ia sebagai perempuan yang gagal degan cara mampu memikul peran dan beban ganda (dual role and double burden).

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian permasalahan sosial single parent dipengaruh oleh stigma-stigma dalam masyarakat yang memandang perempuan single parent sebagai perempuan yang rendah. Untuk itu dalam teori Castells mendukung perempuan agar menonjolkan identitas perlawanan yakni perlawanan dalam diri sendiri dan sosial, melawan stigma-stigma negative yang berkembang dalam masyarakat. dan menjalankan perannya sebagai single parent

dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian dan teori maka bahwa dua sudut pandang organik (pembagian kerja) dan mekanik (kesamaan nilai dan norma) harus dipadukan sehingga ada sebuah pembagian kerja secara internal (dalam keluarga) dan eksternal (gereja dan masyarakat). Penulis menyadari, perempuan single parent secara personal merupakan

sentra pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan seorang pengasuh bagi anak, tetapi ia juga seorang yang memiliki jaringan sosial (social network) karena ia seorang yang


(6)

hidup dalam masyarakat atau hidup secara sosial. Dengan demikian, pembagian kerja secara esensial tidak mungkin dapat dijalankan secara personal.

4.1.4 Permasalahan Psikologis Perempuan

Dalam hasil penelitian permasalahan psikologis perempuan dilihat dari tiga aspek yakni, dalam diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Ketiga hal tersebut yang membuat perempuan single parent merasa tertindas, sehingga berdampak pada perilaku yang ia tonjolkan dalam masyarakat dan dalam keluarga terhadap anak.

Dalam teorinya Dwiyani, menanggapi bahwa pandangan masyarakat mengenai

single parent memang akan membawa dampak dalam kondisi kejiwaan dari single parent. Banyak single parent yang merasa takut dicemooh, takut dijauhi, atau takut digoda. Selain itu ia mengatakan single parent termasuk anak-anak sering harus menghadapi masalah stigma, kekerasan, dan pandangan masyarakat berdasarkan mitos, treotipe, prasangka dan pandangan masyarakat mengenai keadaan yang mereka alami. Kadang-kadang sindiran yang ditujukan kepada mereka, terutama kepada anak-anak sering meninggalkan efek bawah sadar.5

Berdasarkan hasil penelitian dan teori penulis mendapati bahwa perempuan

single parent dalam menjalankan perannya sering mengganggap bahwa dirinya mampu untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa menjadi single parent bukan berarti ia gagal. Namun, sebaliknya single parent mau membuktikan bahwa ia mampu dalam menjalankan peran tersebut walaupun ia seorang diri. Hal ini yang


(7)

mengakibatkan single parent enggan meminta bantuan kepada orang lain ketika mengalami kesulitan.

Dalam teori penulis melihat Single parent sebagai habitus dilihat pada dua cara pandang yang berbeda akibat kebiasaan. Bourdieu melihat bahwa, habitus yang berbeda memberikan pengaruh pada pandangan mereka akan ruang sosial (arena).6

Single parent yang sedari dulu hidup di desa memiliki kecenderungan bersosialisasi baik dan hidup dalam kerukunan karena mereka memiliki solidaritas secara mekanik atau hidup sebagai masyarakat komunitarianisme. Sedangkan single parent yang hidup sedari dulu di kota memiliki kesejangan interaksi secara sosial akibat menganut paham kosmpolitanisme atau berada pada solidaritas organik berdasarkan pembagian kerja.

4.1.5 Permasalahan Psikologis Anak

Permasalahn psikologis anak dalam hasil penelitian disebabkan karena tidak adanya pembagian kerja yang seimbang. Sehingga berdampak pada peran pengasuhan yang diterapkan single parent dalam mendidik anak. Peran yang diterapkan dalam keluarga yang bersifat Permisif dan otoriter. Kedua peran ini berdampak pada kepribadian anak mereka. Hal ini berkaitan dengan pandangan Bigner yang menemukan bahwa single parent lebih senang menghukum anak dan memiliki perilaku otoriter terhadap anak, akibat dan kecemasan yang dialaminya.7

6 Bourdieu Pierre. The Field of Cultural Productions : Essays on art and Literature. 75

7Bigner in Nicolette. “Maternal Parenting In Single And Two-Parent Families In South Africa From A


(8)

Menurut penulis hasil penelitian dan teori memiliki kesamaan, sebab ketakutan dan kecemasan single parent akan pertumbuhan dan kepribadian anaknya kelak nanti memicu single parent cenderung bersifat permisif dan otoriter agar anaknya kelak bertumbuh menjadi anak yang berkepribadian baik. Hal tersebut membuat anak menjadi korban dari kecemasan dan ketakutan. Sehingga single parent cenderung bersikap protektif terhadap anak. Menurut penulis, perempuan cenderung mengandalkan kemampuan dirinya sendiri untuk membuktikan bahwa mereka mampu menanggung bebannya sendiri dan membesarkan anak sendiri. Perempuan tidak menyadari bahwa ia membutuhkan orang lain untuk membantunya menjalankan peran ganda tersebut. Hal inilah yang membuat perempuan mengalami kesulitan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut menurut penulis peran yang diterapkan responden bersifat permisif dan otoriter terhadap anaknya disebabkan pada keempat permasalahan diatas yakni permasalahan produktif, reproduktif, sosial dan permasalahan psikologis perempuan. Hal inilah yang mengakibatkan permasalahan psikologis anak, karena perempuan mengandalkan kemampuannya sendiri untuk mengurus anak seorang diri tanpa melibatkan komunitas yang ada di sekitarnya. Perempuan tidak menyadari bahwa ketika ia memilih untuk menjadi single parent

maka resiko psikologis anaknya akan bermasalah, jika ia hanya mengandalkan kemampuannya sendiri dan mengabaikan komunitas yang ada disekitarnya. Untuk itu perempuan harus menyadari bahwa jika dalam keluarga tidak medukungnya dalam menjalankan perannya sebagai single parent , maka ia membutuhkan komunitas untuk menunjang perannya tersebut.


(9)

4.2Peran Perempuan Single Parent Terhadap Anak Dari Perspektif Konseling Feminis

Hasil penelitian dan teori yang penulis temukan, diketahui ada tiga peran perempuan yakni peran produktif (memenuhi kebutuhan fisik anak), reproduktif (pemberian kasih sayang, perhatian dan rasa aman) , dan peran sosial (keluarga dan masyarakat). Dalam penelitian, penulis justru menemukan ada lima peran perempuan

single parent terhadap anak dan hal ini terkait juga dengan permasalahan yang sudah dijelaskan di atas. Untuk itu, pada bagian ini akan dibahas sekaligus dianalisis peran

single perent terhadap anak dari perspektif konseling feminis. 4.2.1 Peran Produktif

Dalam pembahasan permasalahan diatas dapat dilihat bahwa peran Produktif

single parent berhubungan dengan faktor ekonomi dimana nampak pada perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Single parent berusaha sebaik mungkin bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga khususnya kebutuhan fisik anak (sandang,pangan, papan, kesehatan,dan pendidikan). Itu nampak dari peran ibu yang bekerja membanting tulang agar anaknya bisa memiliki tempat tinggal yang layak dan bisa bersekolah. walaupun ia harus bekerja extra yakni pagi sampai sore sebagai penjaga kios dan malamnya berjualan bensin eceran dipinggir jalan. hal ini membuatnya harus mengabaikan peran pengasuhannya terhadap anaknya demi memenuhi kebutuhan anaknya.

Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, ini merupakan cara ataupun usaha yang ditempu oleh single parent dalam memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala


(10)

keluarga. single parent sebagai kepala keluarga mememiliki tanggungjawab yang besar dalam kebutuhan ekonomi keluarga. Hal ini dijalankan responden dengan berbagai usaha yang dilakukan, karena minimnya lapangan pekerjaan dantidak adanya dukungan dari keluarga. Sehingga, single parent harus bekerja membanting tulang demi kebutuhan anaknya terpenuhi.

Penjelasan diatas sejalan dengan teori Hurlock, yang menyatakan bahwa ketikamenjadi single parent maka akan mengalami kurangnya income dari keluarga, sehingga pemenuhan kebutuhannya tidak terminimalisir dengan baik. Perempuan memulai waktu aktifitas perekonomian yang tak terbatas. 8 Dengan demikian teori mendukung hasil penelitian, karena telah terbukti bahwa peran produktif perempuan disebabkan karena tidak adanya dukungan dari keluarga, sehingga perempuan harus bekerja membanting tulang agar kebutuhan ia dan anaknya terpenuhi.

Jika dilihat dari perspektif konseling feminis berdasarkan pada peran produktif

single parent, di sini nampak bahwa perempuan sudah bisa memberdayakan dirinya dalam hal memenuhi segala kebutuhan hidupnya walaupun tingkat pendidikannya yang rendah mengakibatkan minimnya lapangan pekerjaan yang layak baginya. Perempuan tetap berusaha untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup bersama dengan anaknya. Namun, hal tersebut masih dipengaruhi oleh sosial-kultur dalam hal pembagian kerja antara perempuan dengan laki-laki. Untuk itu tujuan dari konseling feminis ialah untuk menghilangkan seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan


(11)

penindasan dalam masyarakat dan berusaha melakukan transformasi baik kepada konseli secara individual maupun masyarakat secara umum.

4.2.2 Peran Reproduktif

Peran reproduktif single parent menitik beratkan pada kodrat perempuan secara biologis, namun peran ini juga diikuti dengan peran yang dijalankan dalam rumah untuk keluarga dalam hal memberikan perlindungan terhadap anak. Peran single parent tidak hanya mendidik agar anak bertingkahlaku sesuai harapan sosial namun dalam hal menghadirkan sosok ayah dalam menjalankan perannya. peran reproduktif di tonjolkan oleh responden Ibu Nyora dalam hal menjalankan peran gandanya dalam keluarga dan mengorbankan seksualitasnya demi kepentingan dan kebahagiaan anaknya dengan memenuhi segala kebutuhan anaknya dalam hal peran yang dia mainkan dalam keluarga.

Penjelasan diatas sejalan dengan teori Marvel pembagian kerja, perempuan berada pada ranah domestic dan laki-laki pada ranah public. Hal ini di pengaruhi oleh streotip yang berkembang dalam masyarakat bahwa perempuan tidak bisa hidup sendiri, perempuan membutuhkan patner dalam hal pembagian kerja agar ia mampu menjalankan peran dalam keluarga.9 Menurut penulis teori dan hasil penelitian tidak sejalan sebab perempuan lebih mengutamakan kepentingan dan kebahagian anaknya dan cenderung mengorbankan dirinya, sebab ia mau membuktikan bahwa ia mampu menjalankan perannya sebagai single parent yang berhasil walaupun tanpa patner yang membantunya.


(12)

Jika dilihat dari perspektif konseling feminis akibat dari keputusan resonden dalam peran reproduktif perempuan, dimana perempuan cenderung berkorban, perempuan mengorbankan kepentingan seksualitasnya sendiri dan menjadi kesepian sehingga membuatnya merasa tidak berdaya dalam menjalankan perannya terhadap anak. Hal ini berpengaruh pada pembagian kerja, sebab perempuan harus menanggung beban ganda sendiri. Untuk itu dalam konseling feminis konselor berusaha mengeksploitasi harapan-harapan konseli yang berkaitan dengan peran gender dan dampak dari pengambilan keputusan untuk masa yang akan datang. Sehingga perempuan bisa mengambil keputusan-keputusan yang cerdas yang tidak mengorbankan dirinya dan juga anaknya kelak.

4.2.3 Peran Sosial

Peran sosial yakni melihat keterlibatan perempuan single parent dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat namun dalan hasil penelitian tidak ditemuai keterlibatan ke empat respondent dalam kegiatan sosial masyarakat. Ada salah satu responden yang membantu persalinan ke rumah-rumah hal inilah yang membuatnya dan anaknya dipandang baik oleh masyarakat.

Dalam teori Briggs mengatakan bahwa dukungan sosial penting untuk mendukung perempuan. namun, stigma masyarakat pun mempengaruhi kehidupan mereka sehingga mereka cenderung tidak menyadari kekuatan yang mereka miliki serta kebebasan mereka sebagai perempuan.10 Menurut penulis teori sejalan dengan hasil penelitian sebab ke empat responden terlalu terkungkung dalam stigma


(13)

masyarakat yang mengakibatkan mereka menjauh dan tidakmau terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat.

Hal tersebut jika dilihat dari perspektif konseling feminis, peran sosial tidak begitu ditonjolkan oleh keempat responden. Hal ini menimbulkan kesepian yang dirasakan oleh perempuan, untuk perempuan harus masuk dalam komunitas, karena salah satu ciri dari perempuan yakni mencari solidaritas, mencari jaringan sosial (social network), sehingga perempuan akan memanfaatkan komunitas sebagai rumah, bukan rumah dalam artian sempit (rumah tangganya), namun rumah dalam artian luas dimana melibatkan komunitas bagi dirinya dan anaknya. Sebab jika perempuan menutup diri dari komunitas maka ia tidak akan mampu menjalankan peran gandanya sendiri.

4.2.4 Peran Permisif

Dalam peran permisif, single parent memberikan kebebasan yang besar kepada anaknya (anak bebas melakukan apa yang diinginkannya). Kebebasan diberikan dengan batasan-batasan yang sangat sedikit dengan cara memanjakan anak dan jarang menggunakan hukuman jika anak berbuat salah. Kontrol orang tua terhadap perilaku anak sangat sedikit. Akan tetapi, orang tua masih terlibat dalam aspek-aspek kehidupan anaknya. Orang tua cenderung tidak menegur anaknya jika anaknya melakukan perbuatan yang salah. salah satu responden ibu nyora dalam menjalankan peran terhadap anak, yang menerapkan peran permisif karena kecintaannya terhadap anaknya dan untuk melawan stereotip yang berkembangan dalam masyarakat yang


(14)

mengganggap single parent tidak mampu untuk merawat anak sendiri. Namun dampak peran permisif terhadap kepribadian anak.

Menurut Baumrind dalam King, anak yang diberikan kebebasan yang berlebihan oleh orang tuanya cenderung tumbuh dengan kepribadian yang kurang bisa menghargai orang lain. Selain itu, anak juga menjadi manja, tidak patuh, agresif, dan mau menang sendiri. Anak kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri yang cukup. Anak juga kurang matang secara sosial. Prestasi pun tidak mendapat perhatian yang cukup dari anak dengan orang tua yang permisif. Anak juga cenderung memiliki tingkat inisiatif yang tinggi tetapi anak menuntut agar semua permohonannya dikabulkan.11 Berdasarkan teori diatas hal ini sejalan dengan temuan penulis, peran permisif yang ditonjolkan single parent berdampak pada perilaku anak, anak tumbuh menjadi anak yang manja, dan membenarkan setiap perbuatan anaknya dan jarang memberikan hukuman jika anak berbuat salah. Peran yang dilakukan single parent terhadap anak disebabkan karena ia mau melawan stigma masyarakat tentang

single parent tidak akan mampu menjalankan peran tanpa laki-laki.

Jika dilihat perspektif konseling feminis, peran permisif yang di perankan

single parent terhadap anak disebabkan karena tekanan sosial, baik dari dalam dirinya, keluarga maupun lingkungan. Untuk itu dalam konseling feminis refraiming dan

relabeling dibutuhkan untuk membantu perempuan untuk memahami kembali akar masalah, karena problem yang dialami perempuan berhubungan dengan tekanan sosial


(15)

(social pressure) dan bukan semata-mata berasal dari dirinya, untuk itu konselor membantu konseli membingkai kembali konsep dirinya dan tidak dipengaruhi oleh stigma-stigma masyarakat dan membuat konseli sadar akang jaringan sosial yang ada disekitarnya bahwa untuk menunjang peran dalam keluarga

4.2.5 Peran Otoriter

Peran otoriter single parent, ialah berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sifat anak berdasarkan standar muthlak, nilai-nilai kepatuhan , menghormati otoritas, kerja, tradisi, dan tidak memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. orang tua kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman. dalam penelitian yang dilakukan mendidik secara otoriter di lakukan oleh ibu ati, dimana karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang besar dan mereka tidak memiliki pekerjaan tetap maka respendon cenderung mendidik anak secara keras. agar anak bisa hidup mandiri dan menerima akan hidup mereka.

“dulu saya mendidik anak dengan keras karena saya mau anak saya tumbuh menjadi

anak yang kuat dalam menjalani hidup. dia juga harus mandiri. untuk itu dari kecil

saya sudah menyuruh untuk bekerja supaya mereka tahu susahnya mencari uang”.

Hal ini dilakukan responden karena anaknya tumbuh menjadi anak yang penurut dan tidak berperilaku menyimpang mengingat suaminya yang meninggal akibat kecanduan narkoba.

Berdasarkan penelitian diatas, menurut pandangan Bigner yang membenarkan bahwa single parent lazimnya senang menghukum anak dan cenderung mengasuh anak secara otoriter yakni memaksakan kehendak terhadap anak dan anak harus mematuhi segala yang diperintahkan. peran tersebut yang diterapkan kepada single


(16)

parent.12 Menurut penulis Penelitian dan teori dapat disimpulkan bahwa peran otoriter memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial pada anak. peran yang ditinjol dipengaruhi oleh faktor kecemasan akan tumbuh kembang anaknya kelak apakah akan sama seperti ayahnya atau tidak.

Jika dilihat perspektif konseling feminis, peran otoriter perempuan single parent disebabkan karena tekanan sosial, baik dari dalam dirinya, keluarga maupun lingkungan. Untuk itu dalam konseling feminis, Egalitarian relationship melakukan pendekatan dasar humanistic, membantu pengasuhan diri (Nurturing self) dibutuhkan untuk membantu perempuan untuk memahami kembali akar masalah, karena problem yang dialami perempuan berhubungan dengan tekanan sosial (social pressure) dan bukan semata-mata berasal dari dirinya, untuk itu konselor membantu konseli membingkai kembali konsep dirinya dan tidak dipengaruhi oleh stigma-stigma masyarakat dan membuat konseli sadar akan peran yang diterapkannya terhadap anak dan tidakcenderung mengorbankan anaknya akibat tekanan tersebut.

4.3Menuju Perempuan Single Parent Yang Berdaya

Dalam hasil penelitian, penulis menemukan sebuah realita bahwa fenomena

single parent merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari dari dalam masyarakat. Karena, selama masyarakat masih merupakan masyarakat patriakhal di mana laki-laki masih diatas dari perempuan, sehingga terjadi ketidakadilan dan kesetaraan gender, selama perempuan masih dijadikan warga kelas dua, dan perempuan masih di


(17)

diskriminasi dalam rumah tangga, maka kecendrungan untuk terjadi keluarga orang tua tunggal akan terjadi dalam masyarakat dan akan cenderung bertambah dari tahun ke tahun.

Dari hasil penelitian maka penulis melihat bahwa problem single parent

merupakan permasalahan yang kompleks dan sulit untuk dihindari mengingat bahwa jumlah perceraian yang meningkat di Indonesia terutama di Maluku. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah dalam hasil penelitian yang penulis lakukan sekiranya mampu untuk memberdayakan kaum perempuan terutama yang akan menjadi single parent untuk mampu membuat keputusan-keputusan yang cerdas ketika perempuan memilih untuk menjadi single parent. Penulis menemukan 5 permasalahan peran perempuan single parent yakni permasalahan produktif, permasalahan reproduktif, permasalahan sosial, permasalah psikologis perempuan, permasalahan psikologis anak. Dari kelima permasalahan ini penulis menemukan 5 peran perempuan single parent yakni peran produktif, peran reproduktif, peran sosial, peran permisif dan peran otoriter. Dari permasalahan dan peran yang di tonjolkan penulis menilai ada 2 korban utama yakni perempuan itu sendiri dan anak-anak. Karena ketika perempuan tidak mampu memberdayakan dirinya, otomatis anaknya pun tidak bisa ia berdayakan. Sehinggga yang terjadi ialah diri perempuan itu hancur, maka anaknya juga hancur. Kehancuran itu dapat dilihat ketika ia terlalu memaksakan dirinya untuk mencari nafkah, mengorbankan kebutuhan seksualitasnya, dan ketika perempuan terlalu protektif terhadap anak. Maka, disini perempuan mengorbankan dirinya sehingga mengalami gangguan psikologis dan anaknya pun menjadi korban karena


(18)

keputusan-keputusan daripada perempuan yang mengakibatkan anaknya mengalami kekurangan kasih sayang.

Oleh karena itu ketika ada perempuan yang memilih jalan untuk menjadi single parent hendaknya ia tahu persis bahwa sekurangnya ada lima permasalahan yang akan dihadapi diatas dan dengan pengetahuan ini perempuan dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan ini. Dengan cara bahwa perempuan harus menyadari keberadaannya dalam masyarakat dan bahwa ia tidak dapat berjalan sendiri perempuan harus menyadari bahwa ia memiliki jaringan sosial (social network), karena ia hidup dalam masyarakat dan hidup secara sosial. Untuk itu perempuan harus menyadari bahwa ketika menjadi single parent ia membutuhkan orang lain dalam hal keluarga, masyarakat, maupun gereja untuk membantunya dalam menjalankan peran sebagai orang tua. Sehingga perempuan mampu untuk menjalani masa transisi yang tidak semenyakitkan dan serumit ketika ia tidak siap menjadi single parent.


(1)

masyarakat yang mengakibatkan mereka menjauh dan tidakmau terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat.

Hal tersebut jika dilihat dari perspektif konseling feminis, peran sosial tidak begitu ditonjolkan oleh keempat responden. Hal ini menimbulkan kesepian yang dirasakan oleh perempuan, untuk perempuan harus masuk dalam komunitas, karena salah satu ciri dari perempuan yakni mencari solidaritas, mencari jaringan sosial (social network), sehingga perempuan akan memanfaatkan komunitas sebagai rumah, bukan rumah dalam artian sempit (rumah tangganya), namun rumah dalam artian luas dimana melibatkan komunitas bagi dirinya dan anaknya. Sebab jika perempuan menutup diri dari komunitas maka ia tidak akan mampu menjalankan peran gandanya sendiri.

4.2.4 Peran Permisif

Dalam peran permisif, single parent memberikan kebebasan yang besar kepada anaknya (anak bebas melakukan apa yang diinginkannya). Kebebasan diberikan dengan batasan-batasan yang sangat sedikit dengan cara memanjakan anak dan jarang menggunakan hukuman jika anak berbuat salah. Kontrol orang tua terhadap perilaku anak sangat sedikit. Akan tetapi, orang tua masih terlibat dalam aspek-aspek kehidupan anaknya. Orang tua cenderung tidak menegur anaknya jika anaknya melakukan perbuatan yang salah. salah satu responden ibu nyora dalam menjalankan peran terhadap anak, yang menerapkan peran permisif karena kecintaannya terhadap anaknya dan untuk melawan stereotip yang berkembangan dalam masyarakat yang


(2)

mengganggap single parent tidak mampu untuk merawat anak sendiri. Namun dampak peran permisif terhadap kepribadian anak.

Menurut Baumrind dalam King, anak yang diberikan kebebasan yang berlebihan oleh orang tuanya cenderung tumbuh dengan kepribadian yang kurang bisa menghargai orang lain. Selain itu, anak juga menjadi manja, tidak patuh, agresif, dan mau menang sendiri. Anak kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri yang cukup. Anak juga kurang matang secara sosial. Prestasi pun tidak mendapat perhatian yang cukup dari anak dengan orang tua yang permisif. Anak juga cenderung memiliki tingkat inisiatif yang tinggi tetapi anak menuntut agar semua permohonannya dikabulkan.11 Berdasarkan teori diatas hal ini sejalan dengan temuan penulis, peran permisif yang ditonjolkan single parent berdampak pada perilaku anak, anak tumbuh menjadi anak yang manja, dan membenarkan setiap perbuatan anaknya dan jarang memberikan hukuman jika anak berbuat salah. Peran yang dilakukan single parent terhadap anak disebabkan karena ia mau melawan stigma masyarakat tentang single parent tidak akan mampu menjalankan peran tanpa laki-laki.

Jika dilihat perspektif konseling feminis, peran permisif yang di perankan single parent terhadap anak disebabkan karena tekanan sosial, baik dari dalam dirinya, keluarga maupun lingkungan. Untuk itu dalam konseling feminis refraiming dan relabeling dibutuhkan untuk membantu perempuan untuk memahami kembali akar masalah, karena problem yang dialami perempuan berhubungan dengan tekanan sosial


(3)

(social pressure) dan bukan semata-mata berasal dari dirinya, untuk itu konselor membantu konseli membingkai kembali konsep dirinya dan tidak dipengaruhi oleh stigma-stigma masyarakat dan membuat konseli sadar akang jaringan sosial yang ada disekitarnya bahwa untuk menunjang peran dalam keluarga

4.2.5 Peran Otoriter

Peran otoriter single parent, ialah berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sifat anak berdasarkan standar muthlak, nilai-nilai kepatuhan , menghormati otoritas, kerja, tradisi, dan tidak memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. orang tua kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman. dalam penelitian yang dilakukan mendidik secara otoriter di lakukan oleh ibu ati, dimana karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang besar dan mereka tidak memiliki pekerjaan tetap maka respendon cenderung mendidik anak secara keras. agar anak bisa hidup mandiri dan menerima akan hidup mereka.

“dulu saya mendidik anak dengan keras karena saya mau anak saya tumbuh menjadi anak yang kuat dalam menjalani hidup. dia juga harus mandiri. untuk itu dari kecil saya sudah menyuruh untuk bekerja supaya mereka tahu susahnya mencari uang”.

Hal ini dilakukan responden karena anaknya tumbuh menjadi anak yang penurut dan tidak berperilaku menyimpang mengingat suaminya yang meninggal akibat kecanduan narkoba.

Berdasarkan penelitian diatas, menurut pandangan Bigner yang membenarkan bahwa single parent lazimnya senang menghukum anak dan cenderung mengasuh anak secara otoriter yakni memaksakan kehendak terhadap anak dan anak harus mematuhi segala yang diperintahkan. peran tersebut yang diterapkan kepada single


(4)

parent.12 Menurut penulis Penelitian dan teori dapat disimpulkan bahwa peran otoriter

memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial pada anak. peran yang ditinjol dipengaruhi oleh faktor kecemasan akan tumbuh kembang anaknya kelak apakah akan sama seperti ayahnya atau tidak.

Jika dilihat perspektif konseling feminis, peran otoriter perempuan single parent disebabkan karena tekanan sosial, baik dari dalam dirinya, keluarga maupun lingkungan. Untuk itu dalam konseling feminis, Egalitarian relationship melakukan pendekatan dasar humanistic, membantu pengasuhan diri (Nurturing self) dibutuhkan untuk membantu perempuan untuk memahami kembali akar masalah, karena problem yang dialami perempuan berhubungan dengan tekanan sosial (social pressure) dan bukan semata-mata berasal dari dirinya, untuk itu konselor membantu konseli membingkai kembali konsep dirinya dan tidak dipengaruhi oleh stigma-stigma masyarakat dan membuat konseli sadar akan peran yang diterapkannya terhadap anak dan tidakcenderung mengorbankan anaknya akibat tekanan tersebut.

4.3Menuju Perempuan Single Parent Yang Berdaya

Dalam hasil penelitian, penulis menemukan sebuah realita bahwa fenomena single parent merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari dari dalam masyarakat. Karena, selama masyarakat masih merupakan masyarakat patriakhal di mana laki-laki masih diatas dari perempuan, sehingga terjadi ketidakadilan dan kesetaraan gender, selama perempuan masih dijadikan warga kelas dua, dan perempuan masih di


(5)

diskriminasi dalam rumah tangga, maka kecendrungan untuk terjadi keluarga orang tua tunggal akan terjadi dalam masyarakat dan akan cenderung bertambah dari tahun ke tahun.

Dari hasil penelitian maka penulis melihat bahwa problem single parent merupakan permasalahan yang kompleks dan sulit untuk dihindari mengingat bahwa jumlah perceraian yang meningkat di Indonesia terutama di Maluku. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah dalam hasil penelitian yang penulis lakukan sekiranya mampu untuk memberdayakan kaum perempuan terutama yang akan menjadi single parent untuk mampu membuat keputusan-keputusan yang cerdas ketika perempuan memilih untuk menjadi single parent. Penulis menemukan 5 permasalahan peran perempuan single parent yakni permasalahan produktif, permasalahan reproduktif, permasalahan sosial, permasalah psikologis perempuan, permasalahan psikologis anak. Dari kelima permasalahan ini penulis menemukan 5 peran perempuan single parent yakni peran produktif, peran reproduktif, peran sosial, peran permisif dan peran otoriter. Dari permasalahan dan peran yang di tonjolkan penulis menilai ada 2 korban utama yakni perempuan itu sendiri dan anak-anak. Karena ketika perempuan tidak mampu memberdayakan dirinya, otomatis anaknya pun tidak bisa ia berdayakan. Sehinggga yang terjadi ialah diri perempuan itu hancur, maka anaknya juga hancur. Kehancuran itu dapat dilihat ketika ia terlalu memaksakan dirinya untuk mencari nafkah, mengorbankan kebutuhan seksualitasnya, dan ketika perempuan terlalu protektif terhadap anak. Maka, disini perempuan mengorbankan dirinya sehingga mengalami gangguan psikologis dan anaknya pun menjadi korban karena


(6)

keputusan-keputusan daripada perempuan yang mengakibatkan anaknya mengalami kekurangan kasih sayang.

Oleh karena itu ketika ada perempuan yang memilih jalan untuk menjadi single parent hendaknya ia tahu persis bahwa sekurangnya ada lima permasalahan yang akan dihadapi diatas dan dengan pengetahuan ini perempuan dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan ini. Dengan cara bahwa perempuan harus menyadari keberadaannya dalam masyarakat dan bahwa ia tidak dapat berjalan sendiri perempuan harus menyadari bahwa ia memiliki jaringan sosial (social network), karena ia hidup dalam masyarakat dan hidup secara sosial. Untuk itu perempuan harus menyadari bahwa ketika menjadi single parent ia membutuhkan orang lain dalam hal keluarga, masyarakat, maupun gereja untuk membantunya dalam menjalankan peran sebagai orang tua. Sehingga perempuan mampu untuk menjalani masa transisi yang tidak semenyakitkan dan serumit ketika ia tidak siap menjadi single parent.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB II

0 0 29

T2 752014006 BAB III

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB V

0 0 6

T2 752014006 Daftar Pustaka

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling Feminis T1 752014014 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling Feminis T1 752014014 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling Feminis

0 4 11