PENGEMBANGAN BUTIR SOAL TES UNTUK MENGUKUR KETERCAPAIAN SCIENCE PROCESS SKILL PESERTA DIDIK SMP KELAS VII POKOK BAHASAN KALOR DAN PERPINDAHANNYA.

(1)

vii

PENGEMBANGAN BUTIR SOAL TES UNTUK MENGUKUR KETERCAPAIAN SCIENCE PROCESS SKILL PESERTA

DIDIK SMP KELAS VII POKOK BAHASAN KALOR DAN PERPINDAHANNYA

Oleh

Indah Annisa Diena 12315244013

ABSTRAK

Penelitian ini mengembangkan butir soal tes untuk mengukur ketercapaian

science process skill peserta didik SMP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui kelayakan butir soal tes yang dikembangkan berdasarkan validitas dan reliabilitasnya serta mengetahui ketercapaian science process skill pada peserta didik SMP kelas VII yang diukur menggunakan soal yang dikembangkan.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian pengembangan (research and development) dengan model 4-D (define, design, develop,

disseminate). Analisis data meliputi validitas logis, validitas empiris, dan

reliabilitas. Validitas logis dilakukan dengan hasil penilaian validator. Validitas empiris dilakukan dengan mengujicobakan soal pada 92 testi. Teknik analisis data pada validitas logis diperoleh melalui perhitungan koefisien isi Aiken’s V, sedangkan validitas empiris dan reliabilitas dianalisis menggunakan program QUEST. Penskoran menggunakan penskalaan politomus dan dianalisis menggunakan Partial Credit Model 1 parameter logit (PCM 1-PL) dengan program QUEST. Data ketercapaian science process skill diperoleh dari jawaban soal tes pada uji lapangan yang dikonversi dalam prosentase (%).

Hasil penelitian berdasarkan penilaian validator, dari 25 butir soal memperoleh validitas rata-rata 0,68 dengan kategori validitas butir tinggi. Berdasarkan validitas empiris, 25 soal yang telah dinyatakan valid oleh validator diperoleh 22 butir soal tes yang valid. Terdapat 15 butir soal kategori baik dan 7 butir soal kategori cukup baik. Mengacu pada kriteria mean INFIT MNSQ 1,0 dan simpangan baku 0,0 menunjukkan secara keseluruhan butir soal tes terbukti fit dengan PCM. Reliabilitas butir soal menunjukkan sangat reliabel, dengan koefisien alpha Cronbach adalah 0,82. Ketercapaian science process skill testi pada masing-masing aspek keterampilan yaitu mengobservasi sebesar 65,82%, menginferensi sebesar 63,86%, memprediksi sebesar 78,86%, mengidentifikasi variabel sebesar 69,38%, mengkomunikasikan sebesar 52,89%, merancang percobaan sebesar 38,94%, dan menerapkan konsep sebesar 35,63%.


(2)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan erat kaitannya dengan kurikulum. Kurikulum dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan perbaikan. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yaitu melalui penyempurnaan kurikulum. Pada saat ini kurikulum di Indonesia kembali mengalami pembaharuan yaitu dari kurikulum 2006 atau yang biasa disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013.

Penggunaan Kurikulum 2013 mengubah paradigma belajar, yakni dari paradigma teaching menjadi learning. Bukan lagi guru yang menjadi pusat dalam kegiatan pembelajaran, namun peserta didik yang menjadi pusat dalam pembelajaran. Perubahan paradigma belajar ini sejalan dengan kompetensi lulusan yang diharapkan sesuai dengan amanat dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 35, yaitu kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Pembelajaran harus melibatkan peserta didik untuk lebih aktif, kritis dan menekankan pada keterampilan peserta didik.

Salah satu mata pelajaran yang terdapat pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ialah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pada hakikatnya pembelajaran IPA lebih menekankan pada pendekatan keterampilan proses, hingga peserta didik dapat berfikir kritis menemukan fakta-fakta, membangun konsep, teori dan sikap ilmiah. Berdasarkan


(3)

2

pernyataan tersebut maka science process skill merupakan komponen penting dalam pembelajaran IPA untuk menekankan pemahaman konsep IPA dan penerapan keterampilan proses.

Science process skill sangat penting dalam peningkatan keterampilan

dan peningkatan mutu pendidikan. Science process skill merupakan keterampilan yang dapat digunakan peserta didik untuk menyelidiki dunia sekitar mereka dan membangun konsep ilmu pengetahuan. Science process

skill harus dibiasakan pada peserta didik agar tidak hanya menjadi pembelajar

yang pasif yaitu yang hanya dapat menerima informasi, namun juga harus dapat melakukan pencarian informasi dan membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian sangat penting untuk mengetahui ketercapaian

science process skill.

Kemampuan peserta didik dalam menguasai science process skill perlu diukur oleh guru sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Cara untuk mengetahui ketercapaian science process skill diperlukan adanya penilaian. Penilaian digunakan sebagai acuan guru untuk bertindak dalam pengambilan keputusan. Penilaian yang tepat dapat membantu dalam meningkatkan kualiatas pendidikan dan membantu guru untuk menganalisis tingkat kemampuan peserta didik dalam proses pembelajaran.

Fakta yang terjadi di lapangan, penilaian seringkali hanya terfokus pada penguasaan materi peserta didik saja, sedangkan penilaian pada kemampuan science process skill masih kurang. Penilaian dalam kurikulum 2013 sudah mencakup ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Buku guru


(4)

3

yang digunakan sebagai acuan dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 sudah dilengkapi dengan berbagai instrument penilaian baik untuk mnegukur sikap, pengetahuan maupun keterampilan. Instrumen penilaian yang digunakan guru untuk mengukur science process skill adalah lembar observasi. Hal ini menuntut guru untuk dapat menilai secara langsung kegiatan setiap peserta didik ketika proses praktikum dilaksanakan. Guru juga bertanggungjawab dalam mengarahkan peserta didik ketika praktikum, mengawasi jalannya praktikum, sehingga akan kesulitan dalam fokus menilai ketercapaian science process skill peserta didik dengan menggunaan lembar observasi. Sedangkan setiap guru memiliki kemampuan yang berbeda-beda saat menilai. Banyak terjadi lembar observasi yang digunakan guru sebagai instrument penilaian science process skill tidak digunakan secara optimal dan hasil penilaian terhadap peserta didik kurang obyektif.

Keberhasilan kegiatan evaluasi hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru sangat tergantung pada kemampuan guru dalam melakukan evaluasi. Kemampuan ini meliputi kemampuan membuat soal yang berkualitas dan dapat mengukur aspek yang akan dievaluasi, melaksanakan evaluasi di kelas, serta mengolah data hasil evaluasi yang telah dilakukan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kemampuan seorang guru dalam membuat soal yang baik adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses evaluasi. Fakta di lapangan, guru kesulitan dalam membuat standar soal yang dapat mengukur ketercapaian science process skill.


(5)

4

Mengetahui pentingnya science process skill, maka perlu dilakukan adanya penilaian terhadap ketercapaian science process skill. Selain dengan pengamatan langsung menggunakan lembar observasi, science process skill dapat dilakukan dengan tes tertulis. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dikembangkannya instrument penilaian untuk mengukur ketercapaian science

process skill dalam bentuk tes tertulis. Menggunakan tes tertulis merupakan

salah satu cara dan alternatif yang dapat membantu guru dalam mengetahui ketercapaian science process skill. Ebel & Frisbie dalam Bambang Subali (2011: 131) mengemukakan bahwa tes tertulis tidak dapat digunakan untuk mengukur performance, tetapi berguna untuk mengukur penguasaan basis pengetahuan, termasuk basis pengetahuan bagi peserta didik untuk menampilkan performansnya. Science process skill merupakan keterampilan kinerja (performance skill) yang memuat aspek keterampilan kognitif (cognitive skill) dan keterampilan intelektual yang melatarbelakangi penguasaan science process skill. Dengan demikian science process skill termasuk dalam keterampilan yang dapat diukur dengan menggunakan tes tertulis.

Penelitian ini terfokus untuk membuat butir soal tes yaitu tes uraian untuk mengukur ketercapaian science process skill. Soal uraian dapat meminimalisir faktor guessing serta lebih mudah dalam menganalisis ketercapaian science process skill dengan memfokuskan pada uraian jawaban peserta didik. Uraian jawaban peserta didik dapat memperlihatkan alur berfikir peserta didik dalam memecahkan suatu permasalahan.


(6)

5

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran IPA masih bersifat teacher centered. Hal ini tidak sesuai dengan keurikulum 2013 yang menuntut peserta didik untuk memiliki kemampuan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pembelajaran seharusnya bersifat student centered yang melibatkan peserta didik untuk lebih aktif.

2. Science process skill sangat penting dalam peningkatan keterampilan dan

mutu pendidikan, sehingga ketercapaiannya perlu diukur.namun kenyataannya guru seringkali hanya melakukan penilaian pemahaman materi ranah kognitif tanpa menilai science process skill.

3. Belum tersedia butir soal tes yang dapat digunakan untuk mengukur ketercapaian science process skill secara lebih objektif. Penilaian science

process skill masih menggunakan lembar observasi yang menuntut guru

dapat menilai secara langsung selama kegiatan pembelajaran. Banyak terjadi lembar observasi tidak digunakan secara optimal sehingga hasil penilaian kurang objektif, padahal penilaian perlu dilakukan secara lebih objektif dan tepat sebagai acuan untuk bertindak dalam pengambilan keputusan.


(7)

6

4. Kemampuan guru dalam membuat soal yang baik adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan evaluasi, namun masih banyak guru yang kesulitan dalam membuat standar soal yang dapat mengukur ketercapaian science process skill.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan hasil identifikasi masalah, maka fokus penelitian ini dibatasi pada permasalahan nomor 3 dan 4 yaitu:

1. Pengembangan butir soal berbasis pada kompetensi science process skill. 2. Butir soal tes yang dikembangkan dapat digunakan untuk mengukur

ketercapaian science process skill peserta didik SMP kelas VII pada pokok bahasan “Kalor dan Perpindahannya”.

3. Aspek science process skill yang diukur meliputi keterampilan mengamati, menginferensi, memprediksi, mengidentifikasi variabel, mengkomunikasikan, merancang percobaan, dan menerapkan konsep. D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kelayakan butir soal tes IPA yang dikembangkan ditinjau dari validitas dan reliabilitasnya?

2. Bagaimana ketercapaian science process skill pada peserta didik SMP kelas VII yang diukur menggunakan soal yang dikembangkan?


(8)

7

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kelayakan butir soal tes IPA yang dikembangkan berdasarkan validitas dan reliabilitas.

2. Mengetahui ketercapaian science process skill pada peserta didik SMP kelas VII yang diukur menggunakan soal yang dikembangkan.

F. Spesifikasi Produk dan Keterbatasan Pengembangan 1. Spesifikasi Produk

Penelitian ini mengembangkan soal tes untuk mengukur ketercapaian

science process skill pada pesarta didik SMP kelas VII, yang memiliki

spesifikasi produk sebagai berikut :

a. Soal yang dikembangkan berupa soal tes uraian yang penyusunannya mengacu pada Kurikulum 2013.

b. Kompetensi dasar soal yang akan dikembangkan adalah KD 3.7 pada materi Kalor dan Perpindahannya.

c. Naskah soal terdiri dari 25 soal uraian yang dapat digunakan untuk mengukur ketercapaian science process skill dengan waktu pengerjaan 90 menit.

d. Soal tes yang dikembangkan berdasarkan pada panilaian dan kompetensi dalam science process skill.


(9)

8

2. Keterbatasan Pengembangan

Keterbatasan pada penelitian ini adalah pengembangan hanya dilakukan untuk instrumen penilaian berupa butir soal tes uraian pada pokok bahasan “Kalor dan Perpindahannya” untuk mengetahui ketercapaian beberapa aspek science process skill pesera didik SMP kelas VII.

G. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Peserta Didik

a. Diharapkan peserta didik menjadi lebih termotivasi dan tertantang untuk menyelesaikan segala persoalan dalam soal tes yang dikembangkan.

b. Melatih peserta didik untuk berfikir ilmiah dan memiliki keterampilan proses sains melalui instrumen penilaian yang dikembangkan.

c. Memotivasi peserta didik untuk tidak mengandalkan faktor guessing dalam menjawab pertanyaan sehingga lebih giat dalam belajar.

2. Guru

a. Butir soal tes yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai alat bagi guru untuk mengukur ketercapaian science process skill peserta didik pada materi kalor dan perpindahan.

b. Instrumen penilaian soal tes yang dikembangkan dapat digunakan sebagai contoh bagi guru untuk mengembangkan instrumen penilaian tes tertulis pada materi IPA lainnya.


(10)

9

3. Sekolah

Memperkaya referensi sekolah mengenai instrumen penilaian tes tertulis untuk ketercapaian science process skill yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun program semester maupun tahunan pada mata pelajaran IPA maupun mata pelajaran lainnya.

4. Peneliti

Memperoleh gambaran tentang bagaimana upaya untuk dapat mengembangkan soal tes yang dapat digunakan sebagai alat ukur ketercapaian science process skill.

H. Definisi Operasional 1. Tes

Tes dalam penelitian ini merupakan alat ukur berbentuk satu set pertanyaan dalam bentuk uraian untuk mengukur ketercapian science

process skill pada peserta didik SMP.

2. Science Process Skill

Proses pembelajaran dalam mata pelajaran IPA yang sesuai dengan hakekat IPA yakni bertumpu pada proses ilmiah. Proses ilmiah melibatkan berbagai science process skill. Science process skill dalam penelitain ini dalam bentuk kemampuan kognitif atau sebatas kemampuan berfikir yang melatarbelakangi seseorang melakukan sesuatu atau mengambil tindakan sebagai perwujudan performansi. Penelitian ini soal yang dikembangkan mencakup gabungan dari basic science process skill dan integrate science


(11)

10

science process skill yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah

keterampilan mengamati, meginferensi, memprediksi, mengidentifikasi variabel, mengkomunikasikan, merancang percobaan, dan menerapkan konsep.

3. Kelayakan butir soal tes

Kelayakan butir soal tes dalam penelitian ini dilihat berdasarkan validitas dan reliabilitas tes menurut model kredit parsial (Partisl Credit

Model atau PCM) sebagai perluasan Rasch Model (RM) yang merupakan


(12)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Pada hakekatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Ketiganya saling terkait satu sama lain. Proses ilmiah sebagai cara untuk menemukan kebenaran baru terkait pengetahuan alam dalam bentuk produk ilmiah. produk ilmiah yang dihasikan melalui proses ilmiah melibatkan sikap-sikap ilmiah yang harus dimiliki seperti hasrat ingin tahu, keterbukaan, dan objektif. Proses ilmiah yang dibarengi dengan sikap ilmiah ini yang akan menghasilkan produk ilmiah berupa fakta, konsep, teori, dan hukum. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Surjani (1989: 12) bahwa IPA dipandang pula sebagai proses, produk, dan prosedur. Sebagai proses diartikan semua kegiatan Ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengatahuan baru. Produk diartikan hasil dari proses, berupa pengetahuan. Prosedur dimaksudkan metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu yang lazim disebut metode ilmiah.

Carin & Sund (1989: 4) mengemukakan bahwa “Science is the system of knowing about the universe throught data collected by

observation and controlled experimentation”. IPA merupakan suatu sistem pengetahuan mengenai fenomena-fenomena alam dengan segala


(13)

12

isinya yang dalam pengungkapan fenomena-fenomena tersebut menggunakan cara ilmiah dan metode yang sistematis. Data yang diperoleh dalam ilmu pengetahuan alam melalui proses ilmiah seperti observasi dan percobaan.

Cains & Sund (1989:6) menggambarkan hubungan antara penyelidikan fenomena di alam, proses sains dan produk sains seperti pada bagan di bawah ini.

Gambar 1. Hubungan antara investigasi, sikap dan produk sains (Sumber: Carin & Sund, 1989: 6)

Investigasi terhadap fenomena di alam

Proses-proses ilmiah

Produk-produk ilmiah baru

Sikap & Proses Ilmiah

Sikap Ilmiah :

- Hasrat ingin tahu - Kerendahan hati - Jujur

- Sikap keterbukaan

Proses/Metode Ilmiah :

- Mengidentifikasi masalah

- Mengamati

- Merumuskan hipotesis - Menganalisis

- Meramalkan - Ekstrapolasi - Membuat sintesis - Mengevaluasi Investigasi terhadap fenomena alam. - Objek-objek - Peristiwa/ kejadian - Hubungan-hubungan Produk-produk ilmiah : - Fakta - Konsep - Generalisasi - Prinsip - Teori - Hukum


(14)

13

Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat diketahui bahwa hakekat IPA merupakan kumpulan pengatahuan yang diperoleh atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Kebenaran dalam IPA diperolah dari suatu proses ilmiah yang meliputi kegiatan pengamatan dan penyelidikan fenomena dan gejala yang terjadi menggunakan metode ilmiah. Penyelidikan terhadap fenomena-fenomena di alam dilakukan dengan proses-proses ilmiah. Proses ilmiah membantu dalam pengamatan terhadap suatu objek, peristiwa hingga menemukan pola-pola yang tersirat dalam investigasi. Proses ilmiah erat kaitannya dengan sikap ilmiah. Seoang ilmuwan dalam bidang IPA harus memiliki sikap ilmiah dalam menerapkan proses ilmiah untuk memperoleh produk-produk ilmiah.

2. Tes

a. Pengertian tes

Tes merupakan salah satu alat pengukuran dalam dunia pendidikan. Oleh karenanya dalam tes melibatkan aturan-aturan seperti petunjuk pelaksanaan dan kriteria penskoran untuk dapat menggambarkan kemampuan peserta didik dalam bidang tertentu yang akan diukur. Menurut Kusaeri (2012: 6) tes merupakan alat ukur berbentuk satu set pertanyaan untuk mengukur sampel tingkah laku dari peserta tes. Sedangkan menurut Suharsimi (2012: 64) tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara aturan-aturan


(15)

14

yang sudah ditentukan. Kemudian Anas (1996: 66) juga mengemukakan definisi tes bahwa tes adalah cara atau prosedur yang ditempuh dalam rangka pengukuran dan penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas baik berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau perintah-perintah yang harus dikerjakan oleh testee. Definisi terakhir yang dikemukakan di sini adalah definisi yang dikutip dari Wilmar (1988: 3), ia mengemukakan bawa :

A test is a set of questions, each of which has a correct answer, that examinees usually answer orally or in writing. Tests represent one particular measurement technique. It is an instrument or systematic procedure for measuring a sample of behavior.

Tes merupakan seperangkat pertanyaan yang masing-masing memiliki jawaban yang benar, yang dapat dijawab secara lisan atau tertulis. Tes merupakan salah satu teknik pengukuran yang digunakan sebagai instrumen atau prosedur yang sistematis untuk mengukur perilaku sampel.

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam evaluasi pendidikan, tes merupakan suatu alat ukur yang berupa kumpulan pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik atau prosedur yang harus dikerjakan peserta didik untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam aspek pengetahuan dan keterampilan. Hasil tes merupakan data yang diperoleh dari hasil


(16)

15

pengukuran yang melambangkan prestasi atau kemampuan peserta didik pada bidang tertentu.

Tes dimaksudkan untuk mengukur aspek-aspek perilaku menusia seperti pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Tes digunakan untuk meningkatkan pembelajaran, karena melalui tes seorang guru dapat memperoleh informasi tentang berhasil tidaknya peserta didik dalam menguasai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Guru dapat mendeteksi penguasaan materi dan keterampilan peserta didik dan mendeteksi keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan.

b. Bentuk-bentuk tes

Menurut Suharsimi (2012: 177), tes dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tes subjektif dan tes objektif.

a) Tes subjektif

Tes subjektif umumnya berbentuk uraian yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan dan uraian kata-kata peserta tes. Tes esai menuntut peserta didik untuk dapat mengingat-ingat dan mempunyai daya kreativitas yang tinggi.

Menurut Farida (2008: 206) kelebihan tes subjektif adalah (1) sangat baik dalam mengukur atau menilai kemampuan menulis dan kreativitas dalam menuangkan pendapat bentuk tulisan, (2) relative mudah dan cepat


(17)

16

membuatnya, (3) dapat membuat peserta didik belajar lebih giat dan sungguh-sungguh. Sedangkan kelemahnanya ialah (1) hanya dapat memberikan sampel yang terbatas, (2) sulit untuk dinilai, (3) reliabilitasnya rendah baik bagi guru maupun peserta didik.

Sedangkan menurut Suharsimi (2012: 176) kelebihan tes subjektif adalah sebagai berikut :

a. Mudah disiapkan dan disusun.

b. Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi dan untung-untungan.

c. Mendorong peserta didik berani mengemukakan pendapat serta menyususun dalam bentuk kalimat yang bagus.

d. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa dan cara sendiri.

e. Dapat diketahui sejauh mana peserta didik mendalami suatu masalah yang diteskan

Suharsimi (2012, 173) juga menjelaskan bahwa tes subjektif memiliki kelemahan diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Kadar validitas dan reliabilitasnya rendah karena sukar diketahui segi-segi mana dari pengetahuan peserta didik yang betul-betul telah dikuasai,

b. Kurang representative dalam hal mewakili seluruh

scope bahan pelajaran yang akan dites karena jumlah

soal hanya beberapa saja,

c. Cara memeriksanya banyak dipengaruhi unsur-unsur subjektif,

d. Pemeriksaan lebih sulit karena membutuhkan pertimbangan individual lebih banyak dari penilai e. Waktu untuk koreksi lebih lama dan tidak dapat


(18)

17

Berdasarkan uraian karakteristik beserta kelebihan dan kelemahan yang diungkapkan para ahli diatas, dapat diketahui bahwa tes subjektif biasanya digunakan apabila kelompok yang akan di tes kecil. Tes jenis ini juga digunakan jika guru ingin menggunakan bahasa sebagai cara untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam bentuk tes tertulis. Tes ini tepat jika digunakan untuk mengetahui lebih banyak sikap dan keterampilan peserta didik daripada hasil yang dicapai, seperti dalam penelitain ini yaitu keterampilan proses.

b) Tes objektif

Tes objektif merupakan tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari tes esai yang lebih bersifat subjektif. Eko (2012: 60) mengemukankan bahwa tes objektif adalah bentuk tes yang mengandung kemungkinan jawaban atau respon yang harus dipilih oleh peserta tes. Menurut Suharsimi (2012: 179) dalam penggunaan tes objektif, jumlah soal yang diajukan jauh lebih banyak daripada tes esai. Untuk tes yang berlangsung selama 60 menit dapat diberikan 30-40 buah soal.

Salah satu bentuk tes objetif yang sering digunakan adalah multiple choice test atau dikenal dengan tes pilihan ganda. Menurut Sudaryono (2012: 110) multiple choice test


(19)

18

terdiri atas suatu pemberitahuan tentang suatu pengertian yang belum lengkap. Dan untuk melengkapinya harus memilih satu dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Selanjutnya menurut Gronlund (1984: 178) mengatakan bahwa

The list of suggested solution may include words, numbers, symbols, or phrase and are called alternatives”. Hal ini berarti

bahwa dalam multiple choice test memberikan saran solusi atau jawaban dalam bentuk kata-kata, angka-angka, symbol-simbol, atau penafsiran berupa kalimat yang dikenal sebagai alternative dalam menjawab.

Multiple choice test dapat digunakan untuk mengukur

kemampuan ingatan, pemahaman, dan penarapan yang lebih kompleks. Bentuk tes ini dapat diskor secara lebih objektif. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Gronlund (1984: 180) dalam bukunya measurement and evaluation in teaching, bahwa “We shall confine ourselves, here, to its use in measuring some of the more typical learning outcomes in the

knowledge, understanding, and application areas”. Ini berarti bahwa dalam tipe multiple choice test dapat mengukur hasil dan ketercapaian pembelajaran dalam ranah pengetahuan, pemahaman dan pengaplikasian. Farida (2008: 216) menjelaskan mengenai kelebihan multiple choice test diantaranya adalah (1) dapat diskor dengan cepat, (2) efisien,


(20)

19

(3) tingkat kesulitan dapat diukur, (4) reliabilitas dan validitasnya tinggi.

Surapranata (2005: 178) juga menjelaskan bahwa tes objektif pilihan ganda mempunya kelebihan sebagai berikut :

1. Jumah materi yang dapat ditanyakan relative tak terbatas dibandingkan dengan materi yang dapat dicakup soal bentuk lainnya. Jumlah soal yang ditanyakan umumnya relative banyak.

2. Dapat mengukur berbagai jenjang kognitif, mulai dari ingatan sampai evaluasi.

3. Penskorannya mudah, cepat, objektif dan dapat mencakup ruang lingkup bahan dan materi yang luas dalam satu tes untuk suatu kelas.

4. Sangat tepat ntuk ujian yang pesertanya sangat banyak, sedangkan hasilnya harus segera seperti ujian akhir nasional maupun ujian sekolah dasar. 5. Reliabilitas soal pilihan ganda relative lebih tinggi

dibandingkan soal uraian.

Sedangkan kelemahan tes objektif pilihan ganda menurut Sukardi (2011: 126) adalah sebagai berikut :

1. Konstruksi item tes pilihan lebih sulit serta membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan penyusunan item tes bentuk objektif lainnya. 2. Tidak semua guru senang menggunakan tes pilihan

ganda untuk mengukur hasil pembelajaran yang telah diberikan dalam waktu tertentu.

3. Item tes pilihan ganda kurang dapat mengukur kecakapan peserta didik dalam mengorganisasi materi hasil pembelajaran.

4. Item tes pilihan ganda memberi peluang pada peserta didik untuk menerka jawaban.

Berdasarkan uraian karakteristik beserta kelebihan dan kelamahan tes objektif dari beberapa ahli diatas, dapat diketahui bahwa tes objektif berbeda dengan tes subjektif. Tes objektif lebih sesuai digunakan jika kelompok yang akan dites


(21)

20

banyak dan tesnya akan digunakan lagi berkali-kali. Tes objektif lebih sedikit membutuhkan waktu dalam koreksi, namun waktu untuk menyusun tes cenderung lebih lama. Salah satu tes objektif biasanya dalam bentuk pilihan ganda. Soal tes bentuk pilihan ganda kurang dapat mengukur kecakapan peserta didik dan memberikan peluang peserta didik untuk menerka jawaban. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas.

3. Science Process Skill

Proses pembelajaran dalam mata pelajaran IPA yang sesuai dengan hakekat IPA yakni harus bertumpu pada proses ilmiah. Keterampilan proses dapat ditanamkan kepada peserta didik melalui pembelajaran IPA. Nuryati (2005: 78) juga menyebutkan bahwa science process skill melibatkan keterampilan kognitif, afektif dan sosial. Keterlibatan kemampuan kognitif dalam melakukan science process skill terjadi saat peserta didik melakukan keterampilan proses untuk mengungkap permasalahan sains, peserta didik menggunakan pikirannya saat merumuskan masalah, merumuskan tujuan dan manfaat penelitian, merumuskan hipotesis dan merancang penyelidikan. Sedangkan keterampilan afektif saat peserta didik menggunakan alat dan bahan, melakukan pengukuran, menyusun dan marancang percobaan. Keterampilan sosial dapat terlibat saat peserta didik berinteraksi dengan teman dalam melakukan proses penyelidikan, berdiskusi dan


(22)

21

menyampaikan hasil dari penyelidikan. Sehingga science process skill sangat berperan penting dalam kualitas pembelajaran. Seperti yang dikemukakan oleh Ausubel dalam Ango (2002: 13):

“. . . practical work enhances the quality of a student’s learning.

Process skills, such as measuring, observing, classifying and predicting, are crucial for the development of a fruitful understanding of scientific concepts and propositions and for a meaningful use of scientific procedures for problem solving and

for applying scientific understanding to one’s own life.”

Praktikum dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Science

process skill seperti mengukur, mengobservasi, mengklasifikasikan dan

membuat prediksi merupakan keterampilan yang berperan penting dalam meningkatkan keberhasilan pemahaman mengenai konsep IPA dan berarti menggunakan proses ilmiah untuk menyelesaikan masalah dan mengaplikasikan pemahaman IPA dalam kehidupan.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa

science process skill melibatkan aspek kognitif, afektif, dan

psikomotorik dalam diri peserta didik untuk melakukan proses ilmiah. Proses ilmiah tersebut melibatkan berbagai science process skill.

Science process skill seperti yang dijelaskan oleh Towle (Bambang,

2013: 8-9) mencakup keterampilan (a) merumuskan hipotesis sebagai suatu pernyataan yang siap diuji (testable), (b) memprediksi berbagai hal yang relevan dalam rangka menguji hipotesis, (c) melakukan percobaan untuk menguji hipotesis dengan menentukan variabel bebas dan tergayutnya serta mengontrol variabel ekternal (external variable) atau variabel penekanan (suppressor variable) sehingga terkendali, (d)


(23)

22

melaksanakan ekperimen, dan (e) menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan pengetahuan atau hasil percobaan sebelumnya.

Menurut Richard J. Rezba, dkk (1995: vii) science process skill dibedakan menjadi dua bagian, yaitu basic science process skill yang meliputi observing, communicating, classifying, measuring metrically,

inferring, dan predicting. Sedangkan integrate science process skill

meliputi identifiying variables, constructing table of data, constructing

a graph, describing relationships between variable, acquiring and

processing your own data, analyzing investigations, constructing

hypotheses, defining variables operationally, designing investigations,

dan experimenting.

a. Basic science process skill

Basic science process skill menurut Subiyano (1988: 114-116)

adalah sebagai berikut: 1. Mengobservasi

Observasi dilakukan terhadap obyek dan fenomena alam dengan mempergunakan indera seperti penglihatan, pendengaran, perabaan, dan pembauan. Observasi merupakan keterampilan paling dasar dalam ilmu pengetahuan alam dan penting untuk mengembangkan keterampilan proses yang lain.

Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Okere & Wachanga (2014: 360),

“The process-skill of observation involves the use of ones senses to perceive objects and events; their properties and


(24)

23

behavior. It requires that the students pay close attention to some aspects of what is being observed. An observation entails the description of phenomena”

Keterampilan proses mengobservasi termasuk menggunakan indra untuk merasakan objek dan fenomena. Hal tersebut memerlukan peserta didik untuk memperhatikan beberapa aspek dari apa yang tengah mereka amati. Pengamatan meminta hasil berupa deskripsi atau pun fenomena.

2. Mengkomunikasikan

Komunikasi merupakan dasar bagi pemecahan masalah. Grafik, peta, symbol, diagram, persamaan matematika, demonstrasi visual, maupun perkataan lisan atau tertulis merupakan metode komunikasi yang sering digunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Ango (2012: 17) bahwa,

“Thoughts, ideas, research findings and all sorts of vital information need to be communicated for awareness, learning, instruction and other purposes. There are many means of doing so, for example, speech, writing, pictures, diagrams, graphs, mathematical formulae, tables and

figures.”

Pemikiran, ide, penemuan penelitian dan semua informasi penting butuh dikomunikasikan untuk kesadaran, pembelajaran, instruksi dan tujuan lainnya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti berbicara, menulis, diagram, grafik, rumus matematika, tabel dan gambar.


(25)

24

3. Mengklasifikasikan

Klasifikasi adalah keterampilan proses yang merupakan inti untuk pembentukan konsep. Berdasarkan atas tujuan klasifikasi, obyek dapat digolongkan berdasarkan ukuran, bentuk, warna, atau berbagai sifat yang lain. Hal ini diperkuat dengan pendapat Kahl dalam Ango (2012: 18-19) yang menjelaskan,

“Classification as a science process skill is important

because it contributes to the extent to which students understand, conceptualize and attach meaning to scientific ideas. Classificational keys are important for conceptual

organization. Classificational keys also facilitate students’ ability to retrieve information from a conceptual scheme.” Klasifikasi sebagai bagian dari science process skill sangat penting karena berkontribusi untuk meningkatkan pemahaman peserta didik, konsep dan memberikan arti untuk gagasan ilmiah. Fungsi klasifikasi sangat penting untuk mengorganisir konsep. Kunci klasifikasi juga memfasilitasi kemampuan peserta didik untuk mendapatkan informasi dari skema konsep.

4. Melakukan pengukuran

Keterampilan melakukan pengukuran diperlukan untuk dapat melakukan observasi kuantitatif, mengklasifikasi dan membandingkan. Pengukuran menyatakan jumlah objek atau bahan ke dalam satuan kuantitatif seperti meter, liter, dan kilogram.


(26)

25

5. Menginferensi

Menginferensi memberikan penjelasan tentang objek atau peristiwa tertentu yang telah diamati. Kegiatan ini bertujuan untuk menyimpulkan hasil dari percobaan yang telah dilakukan berdasarkan pada pola hubungan antara hasil pengamatan yang satu dengan yang lainnya.

6. Memprediksi

Prediksi merupakan kegiatan meramalkan dan memperkirakan kejadian yang belum diamati atau kejadian dimasa depan. b. Integrated science process skill

Science process skill terintegrasi dan pengertiannya menurut

Subiyanto (1988: 117-119) 1. Mengidentifikasi variabel

Mengidentifikasi variabel adalah salah satu keterampilan proses yang diperlukan apabila seseorang akan melakukan investigasi. Variabel adalah sesuatu yang dapat berubah dalam suatu keadaan tertentu. Variabel terdiri dari variabel bebas (independent variable), variabel terikat (dependent variable), dan variabel manipulasi (manipulated variable).

2. Mengkonstruksi tabel data

Mengkonstruksi data kedalam tabel dimaksudkan untuk mengorganisasikan sejumlah informasi. Jika suatu investigasi dilakukan maka hasil pengukuran yang diperoleh adalah data.


(27)

26

Agar dapat diolah lebih lanjut maka data tersebut disusun dalam suatu tabel.

3. Mengkonstruksi grafik

Grafik dapat mempermudah mengkomunikasikan informasi dibandingkan dengan kalimat lisan atau tertulis. Untuk dapat membuat grafik harus dimulai dengan membuat kedua sumbu vertikal dan horizontal. Variabel-variabel dari tabel data dituliskan sepanjang kedua sumbu tersebut. Variabel bebas selalu dituliskan sepanjang sumbu horizontal, sedangkan variabel terikat dituliskan pada sumbu vertical.

4. Mendeskripsikan hubungan antar variabel

Untuk dapat menggambarkan bagaimana hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain yang harus dikuasai adalah (a) membuat grafik, (b) menarik garis yang paling cocok, (c) menulis suatu pernyataan mengenai hubungan di antara variabel.

5. Mengumpulkan dan mengorganisasi data

Peserta didik mendapatkan data sendiri yang kemudian mengorganisasikan atau megolah data tersebut. Data itu dapat diperoleh dari investigasi dan eksperimen dengan melakukan observasi.


(28)

27

6. Menganalisis investigasi

Sebelum menganalisis investigasi, peserta didik perlu mengenali bagian-bagian investigasi seperti variabel-variabel yang dipelajari, hipotesis yang akan diuji, dan sebagainya. Analisis investigasi mencakup, (a) mengidentifikasi variabel dalam suatu eksperimen, (b) mengidentifikasi hipotesis yang akan diuji jika dilengkapi dengan deskripsi suatu investigasi.

7. Mengkonstruksi hipotesis

Mengkonstruksi hipotesis merupakan kegiatan menyusun hipotesis yang dilakukan sebelum investigasi atau eksperimen. Hipotesis merupakan dugaan mengenai hubungan diantara variabel-variabel. Hipotesis digunakan sebagai pedoman mengenai data yang harus dikumpulkan dalam investigasi. 8. Mendefinisikan variabel secara operasional

Dalam mendefinisikan variabel secara operasional perlu memperhatikan hal-hal seperti, (a) definisi operasional yang erupakan suatu definisi yang menggambarkan bagaimana cara mengukur variabel, (b) definisi operasional harus menyatakan kegiatan dan observasi apa yang akan dilakukan, (c) definisi operasional harus dirumuskan oleh peneliti, (d) macam cara yang dapat dipilih untuk merumuskan suatu variabel secara operasional.


(29)

28

9. Merancang investigasi

Merancang investigasi bertujuan untuk menguji hipotesis dan seringkali diwarnai dengan imajinasi. Semakin sederhana suatu rancangan maka akan semakin mudah dalam memperoleh data. Rancangan investigasi mencakup perumusan secara operasional variabel bebas dan terikat serta menyatakan bagaimana variabel lainnya dikendalikan.

10. Melakukan eksperimen

Eksperimen adalah aktivitas yang memadukan seluruh keterampilan proses sains dalam IPA yang telah dikuasai. Adapun indikator science process skill beserta sub indikatornya merujuk pada pendapat Rustaman (2003: 102-103) seperti yang tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Komponen Science Process Skill

No Aspek Science Process Skill Indikator Science Process Skill

1 Mengamati 1. Menggunakan sebanyak

mungkin alat indra 2. Mengumpulkan/menggun

akan fakta yang relevan dan memadai.

2 Mengelompokkan/Klasifikasi 1. Mencatat setiap pengamatan secara terpisah

2. Mencari perbedaan dan persamaan

3. Mengontraskan ciri-ciri 4. Mendandingkan

5. Mencari dasar

pengelompokkan atau penggolongan

6. Menghubungkan hasil-hasil pengamatan


(30)

29

No Aspek Science Process Skill Indikator Science Process Skill

3 Menafsirkan/Interpretasi 1. Menghubungkan hasil-hasil pengamatan

2. Menemukan pola dalam suatu seri pengamatan 3. Menyimpulkan

4 Meramalkan/Prediksi 1. Menggunakan pola-pola hasil pengamatan

2. Mengajukan perkiraan tentang sesuatu yang belum terjadi berdasarkan suatu kecenderungan atau pola yang sudah ada 5 Mengajukan Pertanyaan 1. Bertanya apa, mengapa

dan bagaimana

2. Bertanya untuk meminta penjelasan

3. Mengajukan pertanyaan yang berlatarbelakang hipotesis

6 Merumuskan Hipotesis 1. Mengetahui bahwa ada lebih dari satu kemungkinana penjelasan dari suatu kejadian

2. Menyadari bahwa suatu penjelasan perlu diuji kebenarannya dengan memperoleh bukti lebih banyak atau melakukan cara pemecahan masalah 7 Merencanakan Percobaan 1. Menentukan

alat/bahan/sumber yang digunakan

2. Menentukan

variabel/faktor penentu 3. Menentukan apa yang

akan diukur, diamati, dan dicatat

4. Menentukan apa yang akan dilaksanakan berupa langkah kerja.


(31)

30

No Aspek Science Process Skill Indikator Science Process Skill

8 Menerapkan Konsep 1. Menggunakan konsep yang telah dipelajari dalam situasi baru

2. Menggunakan konsep pada pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang tejadi.

9 Berkomunikasi 1. Mengubah bentuk

penyajian

2. Menggambarkan data empiris hasil percobaan atau pengamatan dengan grafik atau tabel atau diagram

3. Menyususn dan

menyampaikan laporan secara sistematis

4. Menjelaskan hasil percobaan atau penelitian 5. Membaca grafik atau tabel

atau diagram

Berdasarkan pendapat oleh beberapa ahli di atas, maka dalam penelitian ini aspek science process skill yang akan diukur ketercapaiannya adalah aspek yang sesuai dengan karakteristik materi IPA yang akan diukur sehingga penelitian ini tidak hanya mengacu pada satu pendapat. Penulis memutuskan aspek science process skill yang akan diukur ketercapaiannya meliputi keterampilan mengamati, meginferensi, memprediksi, mengidentifikasi variabel, mengkomunikasikan, merancang percobaan, dan menerapkan konsep.


(32)

31

4. Pengembangan Tes

Pengembangan tes yang dilakukan dalam dunia pendidikan digunakan untuk keperluan evaluasi pembelajaran atau penyusunan bank soal. Butir soal yang dapat dimasukkan ke dalam bank soal adalah butir-butir soal yang sudah baku atau teruji kualitasnya. butir soal baku yang berkualitas perlu dilakukan pengujian baik secara teoritis maupun empiris.

Ketercapaian science process skill peserta didik memerlukan teknik evaluasi untuk mengukur keberhasilan dalam pembelajaran. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan tes. Tes perlu disusun agar diperoleh tes yang cocok untuk tujuan tertentu. Menurut Sunarti (2014: 70) ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam pengembangan tes, yaitu (1) pengembangan kisi-kisi, (2) menulis soal tes, (3) telaah butir tes, (4) uji coba instrument, (5) analisis empiris kualitas soal, (6) merevisi tes, dan (7) menafsirkan hasil tes.

Dari beberapa langkah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Penyusunan kisi-kisi

Penyusunan kisi-kisi sangat penting dalam membuat soal terutama dalam menentukan standar isi soal yang dikembangkan. Kisi-kisi merupakan acuan bagi penulis butir soal. Eko Putro (2012, 91) menjelaskan bahwa kisi-kisi berisi spesifikasi soal-soal yang akan dibuat sehingga siapapun yang menulis soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat kesulitannya relative sama.


(33)

32

Pada kisi-kisi perlu adanya (1) kompetensi dasar, (2) materi pokok, (3) indikator pencapaian, (4) teknik dan bentuk penilaian, dan (5) nomer item. Kisi-kisi tes disusun terlebih dulu sebelum menulis tes. Pada kisi-kisi ada indikator, yaitu ciri yang dapat diamati sebagai petunjuk bahwa kompetensi dasar telah tercapai. Indikator yang baik adalah (1) memuat ciri kompetensi dasar yang hendak diukur, (2) mengandung kata kerja operasional, (3) terkait dengan isi materi, dan (4) dapat ditulis item tesnya (Bambang & Pujiati, 2012: 8).

2. Menulis soal tes

Item tes ditulis berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat sebelumnya. Rambu-rambu dalam penulisan soal uraian dengan soal piliha ganda berbeda. Hopkins dalam Subali Subali (2012: 8-9) menjelasan bahwa untuk soal uraian, rambu-rambu penulisan butir soal adalah sebagai berikut:

1) Soal ditulis secara spesifik dan dapat ditangkap jelas oleh peserta didik.

2) Pertanyaan diawali dengan kata: bandingkan, berikan alasan, jelaskan, uraikan, mengapa, tafsirkan, hitunglah, simpulkan, buktikan, dan semacamnya.

3) Menghindari awal pertanyaan dengan kata: siapa, apa,

kapan, atau bila, sebab kata-kata tersebut hanya akan

memancing jawaban yang berupa reproduksi informasi belaka.

4) Beberapa butir soal dengan jawaban pendek lebih baik daripada satu soal dengan jawaban panjang. Hal ini terkait dengan reliabilitas tes, makin banyak jumlah butir, makin tinggi koefisien reliabilitas tes tersebut.


(34)

33

3. Telaah butir tes

Soal yang telah dibuat harus ditelaah dan dikaji dengan tujuan untuk meminimalisir kekurangan dan kesalahan dalam penilaian. Telaah butir tes ini dilakukan oleh para pakar atau tim ahli untuk menambah kualitas butir tes. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Eko Putro (2012: 94-95) bahwa telaah soal sebaiknya tidak dilakukan sendiri tetapi dilakukan oleh sejumlah orang yang terdiri dari para ahli yang bersama-sama dalam tim menelaah dan atau mengoreksi soal untuk menemukan kesalahan dan kekurangan, baik dari tata bahasa maupun dari substansi.

4. Uji coba instrument

Uji coba instrument ditujukan untuk memperoleh data empiris yang digunakan untuk perbaikan instrument. Uji coba instrument digunkan untuk menentukan soal yang layak dan soal yang tidak layak digunakan. Kelayakan ini dapat dilihat dari berbagai aspek seperti tingkat kesukaran, validitas dan reliabilitas. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Endang (2012, 171) bahwa uji coba instrument digunakan untuk menganalisis kualitas butir tes dari tingkat kesukaran, daya beda, reliabilitas dan validitas tes.

5. Analisis empiris kualitas soal

Analisis empiris secara kuantitatif dilakukan untuk mengetahui butir-butir soal tes sudah baik atau belum. Analisis biasanya menggunkan bantuan program komputeryang dapat memudahkan penelit dalam


(35)

34

menganalisis buti soal berdasarkan data statisti. Endah (2012, 172) mengungapkan bahwa al yang dianalisis antara lain tingkat kesulitan, daya pembeda dan korelasi antar butir.

6. Merevisi tes

Setelah dilakukan analisis empiris kualitas butir soal, butir soal yang belum baik dapat dibuang atau direvisi agar memenuhi standar kualitas yang diharapkan. Penentuan baik buruknya butir soal dapat menggunakan kriteria analisis butir kuantitatif. Pengambilan keputusan terhadap butir-butir yang perlu direvisi dilakukan dengan menggunakan beberapa pertimbangan hasil analisis kuantitatif. (Endang, 2012: 178-179).

7. Menafsirkan hasil tes

Tes yang telah memenuhi tahapan pengembangan akan menghasilkan data kuantitatif berupa skor. Skor ini akan ditafsirkan untuk mendapatkan informasi terkait aspek yang diukur dengan menggunkan tes. Seperti yang dikemukakan oleh Endang (2012, 180) bahwa setelah validasi lengkap, pengambangan tes dapat menetapkan norma acuan dari distribusi skor tes untuk mengintepretasikan posisi skor tes individu dibandingkan dengan skor tes peserta tes yang lain.


(36)

35

5. Syarat Item Tes Uraian

Item uraian terdiri atas butir pertanyaan disertai dengan pedoman penskoran. Pemberian skor item uraian dapat mengikuti penskalaan dikotomus atau pilitomus. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bambang Subali, 2012: 9) bahwa penskalaan dapat dilakukan secara dikotomus maupun politomus. Penskalaan dikotomus hanya terdiri atas dua kategori sedangkan penskalan politomus dapat dibuat tiga, empat hingga sebanyak-banyaknya 10 kategori.

Bambang Subali (2012: 9-10) mengemukakan mengenai persyaratan item bentuk uraian dari aspek materi/substansi, konstruksi, dan bahasa adalah sebagai berikut:

a. Aspek materi/substansi 1) Item sesuai indikator,

2) Pertanyaa dan rubrik dan/atau pedoman penskoran terumuskan dengan benar,

3) Materi/substansi sesuai dengan tujuan pengukuran (untuk tujuan pengukuran hasil belajar, tujuan pengukuran untuk seleksi, atau tujuan pengukuran untuk konfirmasi/mengukur status), serta

4) Materi/substansi yang ditanyakan sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, dan tingkat kelas.

b. Aspek konstruksi

1) Rumuskan kalimat dalam bentuk kaliamat tanya atau perintah yang menuntut jawaban teruarai,

2) Ada petunjuk yang jelas cara penskorannya jelas/operasional,

3) Tabel, grafik, diagram, kasus, atau yang sejenisnya bermakna (jelas keterangannya atau ada hubungan dengan masalah yang ditanyakan, serta

4) Antar item tidak bergantung satu sama lain. c. Aspek bahasa

1) Rumusan kalimat soal komunikatif,

2) Kalimat menggunakan bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan jenis bahasanya,


(37)

36

3) Rumusan kalimat tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian,

4) Menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan bahasa local atau bahasa serapan baru yang belum dikenal oleh seluruh testi), dan

5) Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan testi.

6. Karakteristik tes yang baik

Menurut Sudjana (2009: 12) alat penilaian yang baik adalah alat yang mampu mengunggkapkan hasil belajar secara objektif. Suatu alat penilaian dikatakan dapat mengungkap hasil belajar peserta didik secara objektif sagat bergantung pada kualitas alat penilaiannya. Suatu alat penilaian dikatakan mempunyai kualitas yang baik apabila alat tersebut memenuhi kriteria ketepatan (validity) dan ketetapan (reliability).

a. Validitas

Uno dan Koni (2012: 151) berpendapat bahwa validitas adalah hal yang berhubungan dengan ketepatan terhadap apa yang seharusnya diukur oleh suatu tes dan seberapa cermat tes tersebut melakukan pengukurannya. Pendapat serupa mengenai validitas juga diungkapkan oleh Djiwandono (2008: 164) yang menyatakan bahwa, validitas adalah kesesuaian tes sebagai alat ukur dengan sasaran pokok yang perlu diukur.

Dari pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa validitas merupakan kesesuaian tes untuk dapat mengukur apa yang perlu diukur. Soal dengan validitas yang baik merupakan soal yang dapat membedakan peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan


(38)

37

peserta tes dengan kemampuan rata-rata atau pun peserta tes yang berkemampuan rendah. Validitas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor internal berasal dari kualitas soal itu sendiri seperti instruksi tes yang tidak jelas dan bahasa yang tidak dapat diengerteti dan memilii banyak arti. Faktor eksternal dapat berasal dari peserta tes seperti peserta tes yang tidak melakukan kejujuran atau pun yang asal-asalan dalam menjawab soal. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Endrayanto dan Harumurti (2014: 85) bahwa faktor internal yang dapat mempengaruhi validitas soal adalah instruksi tes jelas dan mudah dipahami peserta didik, penggunaan kata dan kalimat di dalam butir soal mudah dipahami, tingkat kesulitan setiap soal yang tepat atau sesuai dengan materi dan bahan pembelajaran peserta didik, jumlah soal yang cukup mewakili setiap materi pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik, dan setiap soal yang disajikan haruslah memiliki jawaban. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi validitas soal adalah tidak ada kecurangan yang dilakukan peserta didik pada saat mengerjakan soal, waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal tidak kurang dan tidak lebih, dan memiliki penskoran yang konsisten.


(39)

38

b. Reliabilitas

Reliabilitas (keterpercayaan) tes menunjukkan pada pengertian apakah suatu tes dapat mengukur secara konsisten sesuatu yang akan diukur dari waktu ke waktu (Sunarti, 2014: 98). Endrayanto & Harumurti (2014: 271) menyatakan bahwa, reliabilitas adalah tingkat tingkat konsistensi/ keajegan yang dihasilkan apabila suatu tes diujikan secara berulang pada individu atau kelompok. Hal serupa juga dikemukakan oleh Djiwandono (2008: 170) yang menyatakan bahwa, reliabilitas adalah keadaan skor tes yang dihasilkannya benar-benar dapat dipercaya karena bersifat ajeg dan tidak berubah secara mencolok. Sementara itu, Zainal Arifin (2009: 258) menyatakan bahwa reliabilitas adalah tingkat atau derajat konsistensi dari suatu instrumen.

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pengertian reliabilitas di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa suatu tes dapat dikatan reliabel jika memberikan hasil yang konsisten dan dapat dipercaya. Apabila suatu tes memiliki kemampuan untuk menghasilkan pengukuran yang tetap dan konsisten, tidak berubah walaupun digunakan secara berualang-ulang pada sasaran yang sama, maka dapat dikatakan bahwa tes tersebut reliabel.


(40)

39

7. Kajian Keilmuan a. Kompetensi dasar

Pengembangan soal ini berpedoman pada Kompetensi Dasar Kurikulum 2013 IPA SMP kelas VII. Kompetensi Dasar pada penelitian ini adalah KD 3.7 Memahami konsep suhu, pemuaian, kalor, perpindahan kalor, dan penerapannya dalam mekanisme menjaga kestabilan suhu tubuh pada manusia dan hewan serta dalam kehidupan sehari-hari. Materi dalam penelitian ini dibatasi pada pokok bahasan “Kalor dan Perpindahannya”. Secara esensial pembelajaran materi ini mengenalkan peserta didik pada energi panas, kalor, kalor jenis, perubahan wujud, perpindahan kalor dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari baik pada makhluk hidup maupun benda-benda sekitar.

b. Materi IPA “Kalor dan Perpindahannya” 1) Kalor

Suhu sebuah benda merupakan ukuran mengenai panas atau dinginnya benda dengan kata lain tingkat (derajat) panas suatu benda. Benda memiliki tingkat panas tertentu karena di dalam benda terkandung energi panas. Benda yang panas mempunyai derajat panas lebih tinggi daripada benda yang dingin. Tingkat panas itulah yang disebut suhu.

Energi panas yang berpindah dari benda yang bersuhu lebih tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah disebut kalor. Kalor


(41)

40

mengalir dengan sendirinya dari suatu benda yang temperaturnya lebih tinggi ke benda lain dengan temperatur yang lebih rendah (Giancoli, 2001: 489).

Sebagai bentuk energi, dalam Satuan Internasional (SI) kalor bersatuan Joule (J). Satuan umum untuk kalor berasal dari kalorik, ia disebut kalori (kal). Kalori (kal) didefinisikan sebagai kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan temperature 1 gram air sebesar 1 derajat celsius. Satuan yang lebih sering digunakan adalah kilokalori (kkal), yaitu 1000 kalori. Sehingga 1 kkal adalah kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan 1 kg air sebesar 1 celsius. Seringkali kilokalori disebut Kalori (dgn huruf besar K), dan dengan satuan Kalori ini (atau kJ) nilai energi dari makanan ditetapkan. Secara kuantitatif, usaha sebesar 4,186 joule ditemukan sama dengan 1 kalori (kal) kalor. Ini dikenal sebagai ekuivalensi mekanikal kalor :

4,186 J = 1 kal 4,186 Kj = 1 kkal

Ilmuwan kemudian mengintepretasikan bahwa kalor bukanlah zat, dan bukan sebagai bentuk energi me;ainkan

“transfer energi” : ketika kalor mengalir dari benda panas ke benda yang lebih dingin, energilah yang ditransfer dari yang panas ke yang dingin. Dengan demikian kalor merupakan energi


(42)

41

yang ditransfer dari satu benda ke yang lainnya karena adanya perbedaan temperatur. (Giancoli, 2014: 484)

Bambang & Tri Kuntoro (2013: 445) menyatakan bahwa kalor mengalir bukan dari tempat yang menyimpan kalor banyak ke tempat yang mengandung kalor yang lebih sedikit melainkan kalor mengalir dari tempat yang bersuhu tinggi ke tempat yang bersuhu lebih rendah. Benda yang bersuhu lebih tinggi tidak selalu mengandung kalor lebih sedikit dibanding benda lain yang bersuhu lebih tinggi.

a) Kalor dan perubahan suhu benda

Jika air diberi panas dari pembakar spiritus yang menyala akan terjadi kenaikan suhu. Suhu benda akan naik jika benda mendapatkan kalor dan sebaliknya suhu benda akan turun jika kalor dilepaskan dari benda itu. Besarnya kenaikan suhu dipengaruhi oleh beberapa faktor.

1. Pengaruh kalor terhadap suhu benda

Sebuah benda bersuhu semakin tinggi maka jumlah kalor yang dikandungnya semakin besar. Jika suhu benda lebih tinggi berarti tenaga gerak atom atau molekul dari penusun benda (zat) itu menjadi lebih besar. Begitu pula sebaliknya, jika suhu benda rendah maka tenaga gerak atom atau molekul penyusunnya juga kecil (Bambang & Tri Kuntoro, 2013: 447).


(43)

42

Giancoli (2014: 484) menyebutkan bahwa semakin lama waktu pemanasan menunjukkan semakin besar kalor yang diberikan kepada benda. Jika suhu benda diukur dari waktu ke waktu akan mengalami kenaikan. Dengan demikian dapat dapat ditunjukkan bahwa kalor mempengaruhi suhu benda. Semakin besar kalor yang diberikan kepada benda, semakin besar kenaikan suhu yang dialami benda itu.

ΔT ᵙ Q

2. Hubungan kalor terhadap massa benda

Kenaikan suhu oleh kalor dipengaruhi massa benda. Untuk menaikkan suhu yang sama, air bermassa 200 gram memerlukan kalor yang lebih besar daripada air bermassa 100 gram. Dengan demikian dapat ditunjukkan bahwa semakin banyak massanya maka akan semakin banyak kalor yang dibutuhkan untuk mendidihkannya (Kemendikbud, 2013: 164).

Q ᵙ m

Semakin besar massa benda maka kalor yang diterima untuk didistribusikan guna menambah tenaga gerak molekul atau atom penyusun benda menjadi lebih banyak. Semakin besar massa benda diperlukan lebih banyak kalor untuk menaikkan suhu bila dibandingkan


(44)

43

benda yang bermassa lebih kecil. Hal ini ditandai dengan lebih lambatnya kenaikan suhu pada benda yang bermassa besar (Bambang & Tri Kuntoro, 2013: 468) 3. Pengaruh kalor jenis terhadap jumlah kalor

Jika kalor diberikan pada zat maka akan menaikkan suhu zat. Setiap zat membutuhkan jumlah kalor (Q) yang berbeda-beda untuk menaikkan suhunya dalam setiap derajat. Kebutuhan kalor untuk menaikkan suhu setiap derajat sejumlah benda berbeda dengan benda yang lain. Jenis zat berpengaruh terhadap jumlah kalor. Besaran yang digunakan untuk menunjukkan hal ini adalah kalor jenis. Zat yang kalor jenisnya tinggi mampu menyerap kalor lebih banyak untuk kenaikan suhu yang rendah (Giancoli, 2014: 484).

Q ᵙ c

Benda tertentu memiliki kapasitas kalor jenis tertentu sehingga jumlah atom atau molekul pergramnya juga tertentu. Kalor untuk menaikkan suhu 10C pada 1 kg air adalah 5 kali lebih besar dibanding aluminium. Untuk menaikkah suhu 10C pada 1 kg air murni memerlukan kalor 4200 joule, sedangkan bila massanya 2 kg memerlukan 8400 joule.


(45)

44

Tabel 2. Kapasitas Kalor Jenis Beberapa Benda No Jenis

Benda

Kapasitas Kalor

Jenis (J/kg0C)

No Jenis Benda

Kapasitas Kalor

Jenis (J/kg0C) 1 Air

Murni

4200 6 Granit 800 2 Air

Laut

3900 7 Gelas 700 3 Metha

ne

2500 8 Baja 500

4 Es 2100 9 Temb

aga

400 5 Alumi

nium

900 10 Air

Raksa 150

(Bambang & Tri Kuntoro, 2013: 468). Tabel di atas menunjukkan nilai kalor per satuan massa benda setiap kenaikan suhu 10C pada air murni adalah 4200 J/kg0C. Air murni memiliki kapasitas kalor jenis 4200 J/kg0C. Secara matematis, benda bermassa m

mendapat tambahan kalor Q sehingga suhunya naik ΔT

adalah :

Q = m x c x ΔT

Keterangan :

Q : Besar kalor yang diserap/dilepas (J) m : massa benda (kg)

c : kalor jenis benda (J/kg0C)

ΔT : perubahan suhu (0C)


(46)

45

b) Kalor pada perubahan wujud benda

Suatu zat sering kali berubah suhnya ketika terjadi perpindahan energi, tetapi ada keadaan dimana perpindahan energi tidak menghasilkan perubahan suhu. Hal ini terjadi ketika karakteristik fisis dari zat berubah wujud. Perubahan wujud demikian disebut perubahan fase. Semua perubahan fase mengalami perubahan energi dalam namun tidak mengalami perubahan suhu. Jumlah energi yang dipindahkan selama perubahan fase bergantung pada jumlah zatnya. Energi yang dibutuhkan untuk mengubah fase suatu zat murni adalah :

Q = m. L Keterangan :

Q = energi yang dibutuhkan untuk mengubah fase m = massa,

L = kalor laten

Nilai L dari suatu zat bergantung pada sifat alamiah perubahan fasenya. Oleh karena penambahan dan pelepasan energi tidak menyebabkan perubahan suhu, besaran L disebut dengan kalor laten (secara harfiah, kalor

“tersembunyi”) zat (Serway & John, 2010: 46-47).

Ketika energi diserap sebagai kalor oleh zat padat atau cair tidak selalu menaikkan suhu dari sampel. Sampel dapat


(47)

46

berubah dari satu fasa atau keadaan. Kita mengenal tiga bentuk keadaan pada benda yaitu keadaan padat, cair dan gas. Pada keadaan padat molekul-molekul sampel terkunci dalam struktur yang kuat oleh tarikan antar molekul tersebut. Dalam keadaan cair molekul bergerak dan dapat membentuk ikatan secara singkat tetapi tidak memiliki struktur yang kaku dan dapat mengalir menyesuaikan dengan wadahnya. Pada keadaan gas molekul memiliki energi lebih bebas dan dapat mengisi volume suatu wadah secara menyeluruh (Halliday, 2005: 523).

Gambar 2 Proses perpindahan kalor (Sumber: Kemendikbud, 2013: 167)

Menurut Halliday (2014: 523-524), terdapat 4 macam perubahan wujud benda yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :

1. Membeku

Membeku adalah perubahan wujud dari bentuk cair menjadi padat. Membekukan cairan menjadi bentuk padat merupakan kebalikan dari mencairkan dan


(48)

47

melepaskan energi dari zat cair sehingga molekul dapat menetap ke dalam struktur yang kaku.

2. Melebur/mencair

Mencair merupakan perubahan wujud benda dari keadaan padat menjadi cair. Melelehkan suatu zat padat berarti mengubah wujudnya dari padatan ke keadaan cair. Proses ini memerlukan energi karena molekul-molekul padat harus dibebaskan dari struktur kakunya. 3. Menguap

Penguapan merupakan perubahan wujud dari bentuk air menjadi uap. Menguapkan zat cair berarti mengubah keadaan cair dari zat tersebut ke keadaan gas (uap). Proses penguapan membutuhkan energi karena molekul harus dibebaskan dari susunannya.

4. Mengembun/Mengkondensasi

Mengembun atau dikenal juga dengan mengkondensasi adalah perubahan wujud dari bentuk gas menjadi cair. Mengkondensasi gas untuk membentuk cairan adalah kebalikan dari proses penguapan. Proses ini melepaskan energi dari molekul gas sehingga molekul akan menjauh satu sama lain.

Selain itu ada pula perubahan wujud yang disebut menyublim dan menghablur. Giancoli (2014: 469)


(49)

48

menjelaskan bahwa sublimasi mengacu pada dimana dalam tekanan rendah, zat padat berubah langsung dalam fase uap tanpa melalui fase cair.

2) Perpindahan Kalor

Kalor berpindah dari suatu tempat atau benda bersuhu tinggi ke tempat atau benda yang bersuhu lebih rendah. Ada tiga cara mekanisme transfer kalor yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.

a) Konduksi

Konduksi kalor pada banyak material dapat digambarkan seperti tumbukan molekul-molekul. Pada saat satu sisi obyek dipanaskan, molekul disana menjadi semakin cepat (karena temperatur semakin tinggi). Pada saat molekul-molekul yang lebih cepat bertumbukan dengan molekul-molekul yang lebih jauh sepanjang objek, maka energi kinetik dari gerak termal dipindahkan oleh tabrakan molekular sepanjang obyek. Konduksi kalor dari satu titik ke titik lain hanya terjadi bila ada perbedaan temperatur di antara dua titik. Kecepatan aliran kalor melalui benda sebanding dengan perbedaan temperatur antara ujung-ujungnya. Kecepatan aliran kalor juga bergantung pada ukuran dan bentuk objek (Giancoli, 2001: 501).


(50)

49

Gambar 3. Proses perpindahan kalor secara konduksi (Sumber: Kemendikbud, 2013: 171)

Jika salah satu ujung logam dipanaskan maka ujung batang lainnya semakin lama akan bertambah suhunya. Hal ini karena kalor dipindahkan dari tempat yang bersuhu lebih tinggi ke tempat yang bersuhu lebih rendah. Pada tempat dengan suhu yang lebih rendah mendapat tambahan kalor sehingga molekul atom penyusun logam pun bergetar. Proses perpindahan ini disebut perpindahan kalor secara konduksi. Sehingga pada peristiwa konduksi terjadi perpindahan panas melalui bahan tanpa disertai perpindahan partikel-partikel bahan itu, karena partikel hanya bergetar dan saling menggetarkan partikel didekatnya (Bambang & Tri Kuntoro, 2013: 460).

Benda yang berbeda jenisnya memiliki kemampuan konduksi secara berbeda. Kemampuan bahan dalam menghantarkan kalor tergantung pada konduktivitas bahan tersebut. Bahan dengan konduktivitas besar menghantarkan


(51)

50

kalor dengan cepat dan dinamakann konduktor yang baik. Sedangkan bahan dengan konduktivitas kecil merupakan penghantar kalor yang buruk dan dinamakan isolator (Giancoli, 2001: 501).

Tabel 3. Nilai Konduktivitas Bahan

Jenis Bahan k(W.m.K) Jenis Bahan k(W.m.K)

Baja 14 Tembaga 401

Timbale 35 Perak 428

Besi 67 Aluminium 235

Kuningan 109 Fiberglass 0,048

(Sumber: Halliday, 2005: 532) b) Konveksi

Zat cair dan gas bukan merupakan penghantar kalor yang baik, namun dapat mentransfer kalor cukup cepat dengan konveksi. Konveksi merupakan proses dimana kalor megalir melalui pergerakan masal molekul dari satu tempat ke tempat lain. Sementara konduksi melibatkan molekul (dan atau elektron) yang hanya bergerak dalam jarak pendek dan bertabrakan, konveksi melibatkan pergerakan dari sejumlah besar molekul pada jarak yang besar.

Gambar 4. Proses konveksi pada pemanasan air (Sumber:https://www.awesomestories.com/images/user/800


(52)

51

Ketika sepanci air dipanaskan akan terjadi arus konveksi. Air yang dipanaskan dibagian bawah panci akan naik karena massa jenisnya berkurang dan akan digantikan oleh air yang lebih dingin di atasnya. Prinsip demikian digunakan dalam banyak sistem pemanas (Giancoli, 2001: 504-505)

Angin Laut Angin Darat

Gambar 5. Proses angin laut dan angin darat (Sumber: Kemendikbud, 2013: 174)

Daratan yang terdiri dari beragam benda (batu, tanah, kayu, pasir) memiliki kapasitas kalor jenis reratanya lebih kecil dibandingkan kalor jenis air. Ini berarti, pada siang hari udara di permukaan daratan lebih cepat panas dan pada malam hari lebih cepat dingin jika dibandingkan dengan udara di permukaan laut. Pada siang hari, udara di atas daratan lebih cepat panas sehingga massa jenisnya kecil dan udara bergerak naik diganti udara dari lautan, maka terjadilah angin laut. Pada malam hari daratan lebih cepat dingin dibanding udara di atas permukaan laut. Udara di atas lautan lebih hangat menyebabkan udara di atas


(53)

52

permukaan laut bergerak naik dan diganti oleh udara dari daratan, terjadilah angin darat (Bambang & Tri Kuntoro, 2013: 468-469)

Pada tubuh manusia menghasilkan energi termal yang besar. Energi diubah dari makanan di dalam tubuh maksimal 20 persen untuk melakukan kerja sehingga 80 persen muncul sebagai energi termal. Jika energi termal tidak dikeluarkan maka akan menaikkan suhu tubuh 30C per jam, sehingga kalor yang dihasilkan tubuh harus ditransfer keluar. Kalor dibawa ke permukaan oleh darah. Darah berfungsi sebagai fluida konvektif untuk mentransfer kalor sampai di bawah permukaan kulit. Kalor kemudian dihantarkan ke permukaan kulit dan ditransfer ke lingkungan dengan konveksi, penguapan, dan radiasi (Giancoli, 2001: 506).

c) Radiasi

Perpindahan panas secara konduksi dan konveksi memerlukan medium untuk mmenghantarkan kalor. Pada perpindahan kalor secara radiasi tidak menggunakan medium apapun. Kehidupan yang ada dibumi bergantung pada transfer energi dari matahari yang ditransfer ke bumi melalui ruang hampa dan dinamaan radiasi. Radiasi terdiri dari gelombang elektromagnetik. Kecepatan benda dalam


(54)

53

meradiasikan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Semakin panas benda dibandingkan dengan panas lingkungan sekitar, makin besar pula kalor yang diradiasikan ke lingkungannya. Kecepatan radiasi juga sebanding dengan luas permukaan benda panas, semakin luas permukaan benda panas maka semakin besar pula kalor yang diradiasikan ke lingkungan.

Gambar 6. Radiasi yang dipancarkan benda panas (Sumber: Kemendikbud, 2013: 176)

Faktor e, disebut emisivitas merupakan bilangan antara 1 dan 0 yang merupakan karakteristik materi. Permukaan yang sangat hitam mempunyai emisivitas yang mendekati 1, sementara permukaan yang mengkilat mempunyai emisivitas mendekati nol sehingga memancarkan radiasi yang lebih kecil (Giancoli, 2001: 506-507).


(55)

54

Gambar 7.Radiasi yang dipancarkan

benda berwarna

(Sumber: Kemendikbud, 2013: 177)

B. Penelitian yang Relevan

Pengembangan instrumen penilaian berupa soal untuk mengukur keterampilan proses dalam hal ini sudah pernah diteliti oleh Siti Zainab

(2015) dalam makalahnya yang berjudul “Pengembangan Instrumen

Penilaian Tes objektif Pilihan Ganda Mengukur Penguasaan Materi Ajar Gerak Lurus dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA”. Penelitian yang dilakukan membahas mengenai alternatif yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi guru dalam menilai penguasaan materi sekaligus keterampilan proses sains yaitu dengan menggunakan tes penilaian tertulis. Tes yang dikembangkan berupa multiple choice beralasan. Penggunaan instrument ini akan membantu guru dalam menilai penguasaan materi dan ketercapaian keterampilan proses sains tanpa melakukan observasi atau diskusi yang selama ini dilakukan.

Pengembangan instrument penilaian berupa soal juga pernah dikembangkan oleh Yessy Eka Ambarwati (2013) dengan judul

penelitiannya ialah “Pengembangan Instrumen Penilaian untuk Mengukur Keterampilan Proses Siswa SMA pada Materi Kalor dan Termodinamika”.


(56)

55

Metode penelitian yang digunakan dalam pengembangan instrument penilaian adalah Research and Development (R&D). Hasil dalam penelitian ini ialah dikembangkannya instrument penilaian berupa butir soal pilihan ganda yang layak digunakan sebagai instrument penilaian untuk mengukur ketercapaian proses dengan tingkat validitas tinggi, daya pembeda tinggi, reliabilitas tinggi, dan memiliki tingkat kesukaran yang baik, serta kualitas pengecoh yang baik. Produk yang dikembangkan dapat digunakan sebagai alternative pada pembelajaran berbasis kurikulum 2013. C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini mengkaji tentang pengembangan butir soal tes untuk mengukur ketercapaian science process skill peserta didik kelas VII SMP. Butir soal tes yang dikembangkan dalam bentuk tes uraian yang mengandung science process skill. Tidak semua kemampuan dalam

science process skill dapat diukur dengan menggunakan tes uraian

sehingga hanya beberapa kemampuan dalam science process skill yang diukur berdasarkan karakteristik materi yang dapat diukur ketercapaian

science process skill.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan atau Research and Development (R&D). Model pengembangan yang digunakan dalam kajian penelitian ini adalah model pengembangan 4-D (four D models) yang mencakup tahap define (pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan disseminate


(57)

56

BAB III

Gambar 8. Kerangka berpikir penelitian

Instrumen penilaian yang ada di SMP N 1

Wonosari sebagian besar masih berpusat pada aspek kognitif saja. Penilaian keterampilan dengan menggunakan lembar observasi secara langsung belum terlaksana secara efektif, dikarenakan guru mengalami kesulitan

menilai seluruh peserta didik dalam waktu yang

bersamaan, dampaknya penilaian menjadi subyektif

Belum ada instrument tes tertulis yang dapat membantu guru untuk

mengukur ketercapaian science

process skill dalam

pembelajaran di SMP N 1 Wonosari Perubahan

Kurikuum dari KTSP beralih

menjadi kurikulum 2013

Kini pembelajaran tidak lagi

teacher center melainkan student center dimana

pembelajaran berpusat pada peserta didik. Hal ini menjadikan paradigma akan

penilaian pun berubah

Ada tiga aspek yang harus dinilai oleh

guru terhadap peserta didik yaitu: kognitif, afektif serta

psikomotorik

Fakta di lapangan

Science process skill penting

bagi peserta didik untuk menjadi manusia mandiri dalam

kehidupan masa depan yang kompetitif.

Mengembangkan alat evaluasi berbasis

science process skill pada materi “Kalor dan Perpindahannya” untuk kelas VII

Solusi

1. Butir soal untuk mengukur

ketercapaian science

process skill pada materi “Kalor dan

Perpindahannya” yang layak digunakan. 2. Science process skill

dapat diukur dengan tes tertulis.


(58)

57

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab III peneliti akan membahas mengenai jenis penelitian, subjek penelitian, prosedur penelitian dan pengembangan, instrument penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan (research and

development) dengan model 4-D (Four D Models). Menurut Thiangarajan

(1975:5) model 4-D terdiri dari tahap define (pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan disseminate (penyebarluasan). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk pengembangan berupa soal tes uraian pada materi “Kalor dan Perpindahannya”, untuk peserta didik tingkat SMP kelas VII dan mengetahui karakteristik produk yang dikembangkan.

B. Deskripsi Subjek dan Waktu Penelitian 1. Subjek penelitian

Subjek uji coba soal tes yang sudah tervalidasi untuk mengukur ketercapaian science process skill pada pokok bahasan “Kalor dan Perpindahannya” adalah peserta didik SMP Negeri 1 Wonosari kelas VII . Uji coba pemakaian pada kelas VII E, VII F, VII G, dan VII H SMP N 1 Wonosari semester Genap tahun ajaran 2015/2016.


(59)

58

2. Waktu penelitian

Pengembangan produk penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2016 - Maret 2016. Uji coba lapangan dilaksanakan pada bulan April 2016. Lokasi penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, DIY.

C. Prosedur Penelitian dan Pengembangan

Tahapan-tahapan pengembangan soal tes di dalam penelitian ini diadaptasi dari model 4-D menurut Thiagarajan & Sammel (1974: 5) yang disajikan pada bagan di bawah ini :


(1)

67 3. Kococokan Butir dengan Model PCM

Menurut Adam & Khoo dalam Bambang (2012: 61) penetapan fit item maupun testi secara jeseluruhan dengan model dalam program QUEST diasarkan pada besarnya nilai rata-rata INFIT mean of Squer (INFIT MNSQ) atau nilai INFIT t item yang bersangkutan. Program QUEST menetapkan bahwa suatu item atau testi dinyatakan fit dengan model jika memenuhi batas kisaran INFIT MNSQ dari 0,77 hingga 1,30. Butir yang dinyatakan tidak cocok dengan model akan ditolak. Kecocokan butir dengan model PCM (Partial Credit Model) pada program QUEST disajikan dalam tabel 7.

Tabel 7. Kecocokan Butir dengan model PCM

INFIT MNSQ Tingkat Kecocokan

1,30 > INFIT MNSQ Soal tidak cocok dengan model 0,77 < INFIT MNSQ < 1,30 Soal cocok dengan model

INFIT MNSQ < 0,77 Soal tidak cocok dengan model (Sumber: Bambang Subali, 2013: 61) 4. Tingkat Kesukaran Butir Soal

Analisis kesukaran butir soal diperoleh dari interpretasi program QUEST pada nilai D (difficulty) dilihat dari item estimates . Hambleton & Swminathan (1985: 36) mengemukakan ketika skor suatu kelompok ditransformasikan mempunyai nilai mean 0,0 dengan simpangan baku 1,0, tingkat kesukaran butir mempunyai rentang -2 sampai +2. Nilai -2 menunjukkan butir sangat mudah dan nilai +2 menunjukkan butir sangat sulit. Nilai SD (Standart Deviasi) merupakan intepretasi dari nilai

difficulty. Jika butir menunjukkan nilai SD artinya tingkat kesukaran butir


(2)

68

D < - SD, menunjukkan soal sangat mudah -SD < D < SD, menunjukkan soal sedang D > SD, menunjukkan soal sukar

5. Validitas Butir Soal

Validitas merupakan kesesuaian tes untuk dapat mengukur apa yang perlu diukur. Validitas butir soal dari hasil analisis butir menggunakan program QUEST harus melewati analisis tingkat kesukaran dan kecocokan butir soal dengan model PCM (Partia Credit Model). Kategori validitas butir soal dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Kriteria Validitas Butir Soal

Kriteria Koefisien Validitas

INFIT MNSQ 0,77 <INVIT MNSQ> 1,30

Baik Tingkat Kesukaran (D) -SD < D <SD

INFIT MNSQ 0,77 <INFIT MNSQ> 1,30

Cukup Baik Tingkat Kesukaran (D) D < -SD atau D > SD

INFIT MNSQ INFIT MNSQ < 0,77 atau

INFIT MNSQ > 1,30 Tidak Baik Tingkat Kesukaran (D) D < -SD atau D > SD

6. Ketercapaian Science Process Skill

Ketercapaian Science Process skill dinyatakan dalam persen (%) yang dihitung menggunakan persamaan :


(3)

105

DAFTAR PUSTAKA

Ango, M. L. (2002). Mastery of Science Process Skills and Their Effective Use in the Teaching of Science : An Educology of Science Education in the Nigerian Context. Journal of Educology, 16(1), 11–30.

Bambang Subali. (2012). Prinsip Asesmen & Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: UNY Press.

Bambang Subali. (2011). Pengukuran Kreativitas Keterampilan Science Process Skill dalam Assessment for Learning. Jurnal Cakrawala Pendidikan (Nomor 1 tahun XXX). Hlm. 130-144.

Carin, A. A. & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery. Colombus: Merrill Publishing Company.

Conny Setiawan, dkk. (1985). Pendekatan Keterampilan Proses Bagaimana

Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta : PT Gramedia

Djiwandono S. (2008). Tes Bahasa: Pegangan Bagi Pengajar Bahasa. Jakarta: PT Indeks

Eko Putro Widoyoko. (2012). Teknik Penyusunan Instrument Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Endang Mulyatiningsih. (2012). Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta

Endrayano, H. Y. S., & Harumurti Y. W. (2014). Penilaian Belajar Siswa di

Sekolah. Yogyakarta: PT Kanisius

Farida Yusuf T. (2008). Evaluasi Program dan Instrument Evaluasi untuk

Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Giancoli, Douglas C. (2001). Physics Principles with Applications (Fisika), 5th.ed. Penerjemah: Yuhilza Hanum. Jakarta: Erlangga.

Giancoli, Douglas C. (2014). Fisika Edisi Ketujuh Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.


(4)

106

Gronlund, Norman E., & Linn, Robert L. (1985). Measurement and evaluation in

Teaching. New York: McMilan Publishing Company.

Halliday, David., Jearl Walker, & Robert Resnick. (2005). Fisika Dasar edisi

7(Terjamahan). Jakarta: Erlangga.

Hambleton, R.K., & Swaminathan, H. (1985). Item Respon Theory Principles and

Aplications. USA: Kluwer.Nijhoff Publishing.

Hamzah, B.Uno, & Satria Koni. (2012). Assessment Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Keil, C., Haney, J., & Zoffel, J. (2009). Improvements in Student Achievement and Science Process Skills Using Environmental Health Science Problem-Based Learning Curricula. Journal of Education, 13(1), 1–18.

Kemendikbud. (2003). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Kemendikbud. (2013). Buku Guru Ilmu Pengetahuan Alam SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kemendikbud

Kemendikbud. (2013). Buku Siswa Ilmu Pengetahuan Alam SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kemendikbud

Kunandar. (2014). Penilaian Autentik: Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik

Berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Kusaeri & Suprananto. (2012). Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Jakarta: Graham Ilmu.

Nana Sudjana. (2012). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Rosda Karya.

Nuryati Rustaman. et. al. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Okere, M. I. O., & Wachanga, S. W. (2014). The Effect of Science Process Skills Teaching Approach on Secondary School Students ’ Achievement in Chemistry in Nyando District , Kenya. Journal of Education, 4(6), 359–372. http://doi.org/10.5901/jesr.2014.v4n6p359.


(5)

107

Rezba, R.J. et al. (1995). Learning and assessing science process skill. United States of America: Kendall/ Hunt Publishing Company.

Rezba, R.J. et al. (1995). Science Process Skills. United States of America: Kendall/Hunt Publishing Company.

Saifuddin Azwar. (2015). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakrta: Pustaka Pelajar.

Serway Raymond A., & John W. Jewett. (2010). Physics for Scientist and

Engineers with Modern Physics. Jakarta: Salemba Teknika.

Sholeh Hidayat. (2013). Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: PT Rosda Karya.

Siti Zainab. (2015). Pengembangan Instrumen Penilaian Tes Objektif Pilihan Ganda untuk Mengukur Penguasaan Materi Ajar Gerak Lurus dan Keterampilan Proses Sains Siwa SMA. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Subiyanto. (1988). Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Depdikbud. Sudaryono. (2012). Dasar Dasar Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

Sudijono Anas. (2001). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Suharsimi Arikunto. (2006). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Suharsimi Arikunto. (2012). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukardi. (2011). Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: Bumi Aksara.

Surjani Wonoroharj0. (2011). Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat

Sadar Sains. Jakarta: Indeks.

Sumarna Surapranata. (2005). Panduan Penulisan Tes Tertulis. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(6)

108

Thiagarajan, S., Sammel, D.S., & Sammel, M.I. (1974). Instruction Development

for Training Teacher of Exeptional Children. Indiana: Indiana University

Bloomington

Uno Hamzah & Koni Satria. (2012). Assesmen Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Wilmar, Tinambunan. (1988). Evaluation Of Student Achievement. Jakarta: Depdikbud Dikti.

Yessy Eka Ambarwati. (2013). Pengembangan Intrumen Penilaian untuk Mengukur Keterampilan Proses Siswa SMA pada Materi Kalor dan Termodinamika. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta