MENGANTISIPASI MEREBAKNYA FENOMENA BEGAL LINTAS WILAYAH.

MENGANTISIPASI MEREBAKNYA FENOMENA BEGAL LINTAS WILAYAH
Oleh: GPB Suka Arjawa
Pembegalan tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi juga sudah meluas sampai ke Surabaya dan Bali.
Kurang dari sebulan, di Jakarta seorang begal dihakimi massa sampai tewas. Ini hanya
merupakann rentetan dari beberapa peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang kemudian membuat
masyarakat marah. Beberapa hari yang lalu, seorang tokoh begal yang ada di Surabaya terpaksa
ditembak petugas kepolisian karena melawaan saat hendak di tangkap. Ia ternyata mempunyai
anak buah dan ahli dalam merekrut orang untuk berbuat kejahatan. Begal ini juga tewas setelah
melawan saat berupaya di tangkap. Tidak ketinggalan, daerah pariwisata di Bali, terutama daerah
Badung bagiaan selatan dan bagian tengah sudah mulai terdeteksii gejala-gejala pembegalan.
Fenomena ini menandakan bahwa begal, bukan sekedar fenomena lokal tetapi telah meluas
melintasi kabupaten dan propinsi. Begal tidak lagi mengenal sekat laut yang memisahkan
(menyatukan) satu pulau dengan pulau lain di Indonesia.
Dilihat dari sisi peristiwa dan perilaku yang dilakukan, begal setidaknya boleh dikatakan
memperlihatkan sikap yang lebih keras bahkan sadis apabila dibandingkan dengan kejahatankejahatan lain. Begal tidak akan segan-segan melukai, menciderai bahkan membunuh korban
sasaran. Dan sasaran yang diincar cenderung memilih yang bernilai tinggi. Misalnya kendaraan
atau yang bernilai sejenis dengan itu. Seperti juga tindakan-tindakan kejahatan lainnya, begal
tidak akan pandang bulu terhadap struktur sosial korban. Seluruh rentang dari struktur sosial
seseorang akan menjadi sasaran, baik kaya miskin, tua, muda, laki perempuan dan seterusnya.
Sebagai sebuah fenomana sosial yang bersifat negative-destruktif, aksi begal ini bukan
merupakan hal baru. Kata begal itu sendiri sudah muncul pada dekade tujuhpuluhan. Di Bali, hal

ini sering dikaitkan dengan peristiwa perampokan-perampokan yang terjadi di daerah yang sepi.
Periode delapanpuluhan, begal ini seolah menghilang, tetapi kemudian tergantikan oleh kata dan
peristiwa perampokan dan pencopetan yang terjadi di daerah yang cenderung ramai. Di daerah
sepi, yang muncul adalah kata dan peristiwa bajing loncat. Yang terakhir ini mengacu kepada
perampok bersembunyi di pohon-pohon atau hutan yang dilintasi oleh mobil truk bermuatan.
Perampok dan pencuri ini akan melompat seperti bajing, menjarah segala yang ada di mobil truk
tersebut. Kemajuan penerangan dan semakin bagusnya kondisi jalan yang ada di daerah-daerah
tersebut serta patroli pihak keamanan, membuat bajing lompat semakin berhasil diminimalisir.
Istilah perompakan tetap mengacu kepada parampok yang ada di lautan.
Munculnya peristiwa begal sekarang ini, mungkin bisa ditinjau dari beberapa sisi sosiologi. Yang
pertama adalah perubahan sosial. Begal sekarang bisa jadi muncul sebagai sebuah “kreatifitas”
dari fenomena begal di masa lalu yang didorong oleh faktor sosial yang mendesak. “Kreatifitas”
itu adalah mengubah lokus wilayahnya dari tempat yang sepi menuju tempat yang ramai.
Sasaran begal adalah barang-barang yang bernilai, dan sasaran barang-barang seperti ini ada di
tempat ramai dan di daerah yang telah berkembang, terutama di perkotaan. Di wilayah ini

sekarang, tidak ada lagi tempat sepi dan remang-remang. Kemajuan teknologi listrik
memungkinkan daerah yang dulu sepi dan remang-remang kini telah berkembang menjadi
terang, dan arus urbanisasi membuat setiap wilayah sekarang ramai. Inilah yang membuat begal
sekarang mengubah lokus operasinya dibandingan dengan di masa lalu, dari tempat yang sepi

menuju tempat yang ramai.
Begal juga “pintar”, kreatif dan menerapkan teori sosial yang paling dasar, yaitu mensintesa hasil
tesis dengan antithesis untuk menemukan pola baru.Meski harus beroperasi di tempat yang
ramai, pola kerjanya juga dilakukan dengan kelompok, dan dipastikan memakai instrument
teknologi terbaru, seperti ponsel, laptop, kamera dan sejenisnya. Inilah pembaruan begal
sekarang dengan di masa lalu yang beroperasi di tempat-tempat sepi, terutama di malam hari.
Sekarang, dengan teknologi yang sudah digenggam dengan kerjasama kelompoknya, mereka
dapat beroperasi di tempat ramai dan menggunakan alat-alat komunikasi baru untuk menyiasati
pelarian. Jangan dilupakan juga, mereka sudah pasti juga memanfaatkan efek pembangunan dan
urbanisasi di kota-kota besar. Artinya, perumahan yang padat justru menguntungkan bagi para
begal ini untuk melarikan diri. Dengan menggunakan teknologi informasi modern, mereka akan
tahu seluk beluk melarikan diri melalui kerjasama dengan anggota kelompok.
Sisi kedua, tindakan begal, dari jaman apapaun, merupakan outcome dari kepentingan ekonomi
dengan kesempatan ekonomi yang terlalu sempit yang kemudian didesak oleh nilai-nilai diri
dari seseorang. Artinya, ketika keinginan ekonomi tinggi, berhadapan dengan kompetisi yang
sengit di bidang ekonomi itu, dan itu terjadi pada orang yang malas, maka terjadilah jalan singkat
untuk mencapai kepentingan itu. Orang yang bercita-cita memiliki pendapata banyak tetapi
malas, maka ia akan menjadi seorang yang mudah mencari jalan pintas. Begal hanyalah salah
satu saja dari tindakan tersebut. Dari konteks ini, mereka yang beroperasi sebagai koruptor,
tukang mark-up dana, sampai penyerobot kesempatan orang lain, bedanya hanya tipis dengan

mereka yang bertindak sebagai begal.
Karena itulah, saat ini wilayah operasi begal berpotensi besar di daerah-daerah yang ramai,
dengan prospek ekonomi yang tinggi serta daerah urbanisasi yang padat. Jadi, Jakarta dan
sekitarnya, Surabaya dan sekitarnya, Denpasar, Badung,. Gianyar dan sekitanya di Bali harus
mewaspadai tindakan begal ini. Tidak bisa dikesampingkan, proses pembelajaran akan selalu
membuat begal ini semakin lihai. Sekali pemberitaan persitiwa begal di televise atau media
massa lainnya, akan membuat pembaruan bagi “aktivis-aktivis” begal untuk memperbarui cara
tindaknya.
Untuk menjaga agar tidak meluas, maka solusinya adalah koordinasi sosial. Pihak kepolisian,
masyarakat (desa pakraman dan ormas), harus mampu mengadaptasi persoalan ini. Teknisnya
mungkin dengan penjagaan yang lebih ketat, lebih luas, termasuk meronda daerah-daerah ramai,
tidak hanya malam hari tetapi juga siang hari.****
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi di Fisip, Universitas Udayana