Perbandingan Hukum antara Pengaturan Perlindungan Satwa Liar yang Dilindungi di Indonesia dan di Australia Dikaitkan dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

(1)

PERBANDINGAN HUKUM ANTARA PENGATURAN PERLINDUNGAN SATWA LIAR YANG DILINDUNGI DI INDONESIA DAN DI AUSTRALIA

DIKAITKAN DENGAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN

ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (CITES) Raden Fini Rachmarafini Rachmat

(1287052)

ABSTRAK

Indonesia dan Australia memiliki kekayaan alam yang beragam, salah satunya adalah kekayaan akan satwa-satwa endemik. Satwa-satwa endemik tersebut tergolong dalam satwa liar yang terancam punah. Satwa-satwa langka tersebut memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, sehingga sering dilakukannya tindakan perdagang illegal terhadap satwa liar dilindungi tersebut. Melihat maraknya perdagangan illegal satwa liar dilindungi di dunia, maka dibentuklah konvensi internasional yang disebut

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora

(CITES). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka timbul pertanyaan bagaimana perlindungan satwa liar dilindungi di Indonesia dan Australia dikaitkan dengan CITES serta bagaimana persamaan dan perbedaan dari pengaturan mengenai perlindungan satwa liar dilindungi di Indonesia dan Australia.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang memiliki sumber penelitiannya adalah data kepustakaan. Penelitian yang diakukan adalah deskriptif analitik yang mengambarkan sesuatu dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisahkan kategorinya untuk memperoleh kesimpulan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan komparatif.

Hasil penelitian skripsi ini adalah bahwa Indonesia dan Australia mengatur aturan yang lebih ketat dari apa yang diatur dalam CITES, dimana CITES masih memungkinkan adanya perdagangan satwa liar dilindungi, sedangkan Indonesia dan Australia sama sekali tidak memperbolehkannya serta diketahui bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia dan Australia memiliki banyak persamaan dalam mengatur perlindungan satwa liar dilindungi, yang berbeda adalah aturan mengenai

strict liability dan mengenai beratnya sanksi yang dijatuhkan.


(2)

COMPARATIVE STUDY OF LAW BETWEEN THE REGULATION OF WILDLIFE PROTECTION THAT IS PROTECTED IN INDONESIA AND

AUSTRALIA WHICH IS CONNECTED TO THE CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA

AND FLORA (CITES) Raden Fini Rachmarafini Rachmat

(1287052) ABSTRACT

Indonesia and Australia have diverse natural resources one of which is endemic animals. The endemic animals belong to endangered wildlife. Rare animals are highly economic, which often cause illegal trafficking among the protected wildlife. In regard to the rampant illegal trade in protected wildlife in the world, an international convention was formed, called as the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Based on this background, a question arises regarding how is the protection of wildlife in Indonesia and Australia linked to CITES as well as how the similarities and differences of the arrangements of wildlife protection in Indonesia and Australia.

The method used in this research is a normative juridical with library-based data source. The research is descriptive analytic to describe something with words or sentences, then separated based on their categories to get the conclusion. The research approach includes legislation and comparative approach.

The research result shows that Indonesia and Australia set stricter rules compare to what is stipulated in CITES, where CITES still allows the trade of protected wildlife, while Indonesia and Australia won’t allow any chance, and it is known that the laws of Indonesia and Australia have many similarities in governing the protection of wildlife. While the difference can be found in the rules of strict liability and the severity of the sanctions imposed.


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG ... LEMBAR PERNYATAAN TELAH MENGIKUTI SIDANG ...

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian ... 10

E. Kerangka Pemikiran ... 11

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN SATWA LIAR DILINDUNGI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Perlindungan Hukum Bagi Satwa ... 24

1. Hukum Indonesia yang Mengatur Perlindungan Satwa Dilindungi ... 25

2. Perjanjian Internasional yang Mengatur Perlindungan Satwa Liar Dilindungi ... 27

B. Kategori Kepunahan ... 29

C. Tindakan yang Dilarang dalam Rangka Melindungi Satwa Liar Dilindungi Menurut Perundang-Undangan Indonesia ... 35

D. Perdagangan Satwa Dilindungi ... 39

BAB III PENGATURAN PERLINDUNGAN SATWA LIAR DILINDUNGI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI AUSTRALIA A. Pengaturan Perlindungan Satwa Liar Dilindungi Menurut Sistem Hukum Australia ... 44


(4)

B. Kategori Kepunahan Satwa Menurut Sistem Hukum Australia ... 45

1. Kategori Punah Menurut EPBC Act ... 46

2. Kategori Punah Menurut EPBC Regulation ... 52

3. Kategori Punah Menurut Threaten Species Scientific Committee ... 54

C. Tindakan yang Dilarang dalam Rangka Melindungi Satwa Liar Dilindungi Menurut Perundang-Undangan Australia ... 58

D. Perdagangan Satwa Dilindungi ... 71

1. Perdagangan Satwa Secara Legal dan Ilegal di Australia ... 71

2. Peraturan Perdagangan Satwa Liar Dilindungi di Australia ... 74

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENGATIRAN PERLINDUNGAN SATWA LIAR DILINDUNGI DI INDONESIA DAN AUSTRALIA DIKAITKAN DENGAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA A. Perlindungan Satwa Liar Dilindungi di Indonesia dan Australia Dikaitkan Dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) ... 78

1. Ratifikasi dan Asesi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) di Indonesia dan Australia terkait Perlindungan Satwa Liar Dilindungi ... 78

2. Penerapan Substansi Klasifikasi Satwa Liar Dilindungi yang Diatur oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) di Indonesia dan Australia . 85 3. Penerapan Substansi Perdagangan yang Diatur oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) di Indonesia dan Australia ... 87

4. Penerapan Substansi Penindakan Terhadap Pelanggaran yang Diatur oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) di Indonesia dan Australia . 92 B. Perbandingan Model Pengaturan Perlindungan Satwa Liar ... 93

1. Perbandingan Berdasarkan Substansi Hukum ... 88

2. Perbandingan Berdasarkan Struktur Hukum ... 102

3. Perbandingan Berdasarkan Budaya Hukum ... 107

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 113


(5)

(6)

DAFTAR SINGKATAN

1. CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora

2. DEWHA Department of Environment, Water, Heritage, and the Arts 3. EPBC Environment Protection and Biodiversity Conservation 4. IUCN The International Union for Conservation of Nature 5. LIPI Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Peraturan-peraturan di Indonesia dan Australia Terkait

Satwa Liar yang Dilindungi ... 19

Tabel 3.1 Kategori Satwa Terancam Punah Menurut EPBC Act ... 47

Tabel 3.2 Kriteria Daftar Spesies Terancam Punah Menurut EPBC Regulations ... 52

Tabel 3.3 Pengurangan Jumlah Populasi ... 54

Tabel 3.4 Tinjauan Distribusi Geografis Penyebaran Satwa Sebagai Indikator Kepunahan ... 55

Tabel 3.5 Pengurangan Luas Populasi ... 56

Tabel 3.6 Jumlah Individu Dewasa ... 57

Tabel 3.7 Anaisis Kuantitatif ... 58

Tabel 3.8 Tindakan yang Dilarang dalam Melindungi Satwa Liar Dilindungi Menurut EPBC Act ... 59

Tabel 3.9 Peraturan Perdagangan Satwa Liar Menurut Perundang- undangan Australia ... 74

Tabel 4.1 Perbandingan Penggolongan Kategori Punah ... 94

Tabel 4.2 Perbandingan Perlindungan Terhadap Satwa Liar Dilindungi ... 96

Tabel 4.3 Perbandingan Perdagangan Terhadap Satwa Liar Dilindungi ... 99

Tabel 4.4 Perbandingan Sanksi Terhadap Perdagangan Satwa Liar Dilindungi ... 101


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki iklim tropis. Hal tersebut yang merupakan faktor utama dari keberagaman hayatinya. Indonesia memiliki 300.000 jenis satwa liar yaitu sebanding dengan 17% jenis satwa yang ada di dunia. Kekayaan satwa yang sangat beragam menjadikan Indonesia sebagai negara nomor 1 yang kaya akan mamalia, yaitu terdiri dari 515 jenis. Indonesia juga memiliki jenis burung yang cukup beragam, yaitu 1539 jenis. Perairan Indonesia yang luas memuat 45% jenis ikan yang ada di dunia. Indonesia juga memiliki hewan-hewan asli Indonesia yang terdiri dari 259 jenis mamalia, 384 jenis burung, dan 173 jenis amfibi. Namun, di antara keberagaman satwa-satwa tersebut, di antaranya sudah termasuk ke dalam daftar satwa yang terancam punah, di antaranya adalah 184 jenis mamalia, 199 jenis burung, 32 jenis amfibi, dan 32 jenis reptil.1 Dalam red list The International Union for Conservation of Nature (selanjutnya disebut dengan IUCN) disebutkan bahwa Indonesia memiliki 69 jenis satwa yang termasuk ke dalam kategori critically

1 http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.VflNZuuD5sM diakses pada tanggal


(9)

endangered2, 97 jenis satwa yang termasuk ke dalam kategori endangered3, dan 539 jenis satwa yang termasuk ke dalam kategori vulnerable4.

Para ahli menyebutkan bahwa meskipun suatu ekosistem mempunyai daya tahan yang besar sekali terhadap perubahan, namun kemampuan ekosistem untuk bertahan dengan mudah dapat diterobos oleh manusia.5 Faktor ancaman kepunahan satwa liar di Indonesia disebabkan oleh dua hal yaitu berkurang dan rusaknya habitat dan perdagangan satwa liar.

Berkurangnya luas hutan menjadi faktor utama penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia, karena hutan menjadi habitat utama bagi satwa liar. Daratan Indonesia pada tahun 1950-an dilaporkan sekitar 84% berupa hutan (sekitar 162 juta hektar), namun sekarang luas hutan Indonesia menjadi hanya sekitar 138 juta hektar. Namun data yang berbeda menyebutkan bahwa luasan hutan Indonesia kini tidak lebih dari 120 juta hektar. Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industri dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar. Perburuan satwa liar itu juga sering terjadi seiring dengan pembukaan hutan alami. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat, satwa ini dimusnahkan.6

2 kategori critically endangered adalah keadaan dimana satwa liar yang sudah mendekati kepunahan

sampai ke tahap hanya tinggal beberapa jumlahnya. (Lihat: IUCN Red List Category and Criteria

Version 3.1 Second Edition, hlm. 14)

3 Kategori endangered adalah keadaan dimana satwa liar sudah digolongkan sebagai satwa yang

hampir punah namun jumlahnya masih relatif banyak. (Lihat: IUCN Red List Category and Criteria

Version 3.1 Second Edition, hlm. 14)

4 Kategori vulnerable adalah kategori dimana satwa liar digolongkan hampir mengalami kepunahan.

(Lihat: IUCN Red List Category and Criteria Version 3.1 Second Edition, hlm. 15)

5 Soedjiran Resosoedarmo, Kuswata Kartawinata, Apriliani Soegiarto, Pengantar Ekologi,

Bandung: Remadja Karya, 1986, hlm. 15

6 http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.VflNZuuD5sM diakses pada tanggal


(10)

Setelah masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut maka akan semakin mahal pula harganya. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang melukai satwa, pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. Sekitar 60% mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka dan dilindungi undang-undang.7

Australia merupakan negara tetangga dari sebelah timur Indonesia. Berbeda dengan Indonesia yang memiliki iklim tropis, Australia memiliki iklim yang cenderung kering. Kekeringan di Australia berpengaruh pula terhadap jenis-jenis satwanya, namun kekeringan di Australia tidak mempengaruhi keanekaragaman satwanya. Seperti juga Indonesia, Australia memiliki satwa-satwa endemik yang diperkirakan berjumlah 80% dari keseluruhan jenis satwa yang ada di sana. Australia memiliki 378 jenis mamalia, 828 jenis burung, 4000 jenis ikan, 300 jenis kadal, 140 jenis ular, 2 jenis buaya, dan 50 jenis mamalia laut.8 Konservasi di

Australia sangatlah dibutuhkan, mengingat banyak sekali satwa endemik di Australia. 87% jenis mamalia, 93% jenis reptil, 94% jenis katak, dan 45% jenis

7 http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.VflNZuuD5sM diakses pada tanggal

17 September 2015, pukul 07.22 WIB

8 http://www.australia.com/en/facts/australias-animals.html diakses pada tanggal 17 September,


(11)

burung di dunia hanya ditemukan di Australia. Lebih dari 1.700 spesies satwa dan tumbuhan dikategorikan hampir punah oleh Pemerintah Australia.9

Perburuan, perubahan iklim, berkurangnya luas habitat, dan pembangunan perkotaan merupakan faktor-faktor utama berkurangnya satwa liar mendorong mereka kepada kepunahan.10 Perburuan sering kali terjadi pada satwa-satwa endemik Australia seperti Kanguru, Penyu Queensland, Dugong, dan lain sebagainya11 Di Queensland sendiri untuk melindungi perburuan Penyu

Queensland sudah dibuat peraturan teknis yaitu Queensland Animal Care and Protection Act section 41 A yang menyebutkan bahwa perburuan penyu hanya dibolehkan untuk kepentingan tradisi suku Aborigin.

Perubahan Iklim di Australia menyebabkan terjadinya kekeringan. Pembukaan lahan untuk pertanian membuat sekitar 13% dari vegetasi asli Australia dicabut sejak Perjanjian Eropa. Pengembalaan yang membiarkan satwa ternaknya memakan rumput di mana saja, membuat luas hamparan rumput menjadi hanya tinggal tersisa kurang dari 2%.12 Polusi yang disebabkan oleh pertanian intensif berdampak kepada pesisir pantai dan laut di Australia, diperkirakan setiap tahunnya hampir 19.000 ton fosfor dan 141.000 ton nitrogen dibuang ke sungai dan mengalir ke laut.13

9http://www.australianwildlife.org/wildlife.aspx diakses pada tanggal 18 September 2015, pukul

07.32 WIB

10 http://www.animalsaustralia.org/take_action/protect-endangered-australian-animals/ diakses

pada tanggal 22 September 2015, pukul 07.06 WIB.

11 Ibid.

12 http://wwf.panda.org/who_we_are/wwf_offices/australia/environmental_problems_in_australia/

diakses pada tanggal 22 September 2015, pukul 07.23 WIB


(12)

Salah satu penyebab pengurangan habitat adalah banyaknya penebangan hutan. Penebangan hutan selain mengurangi habitat satwa, juga mengurangi kualitas air yang menyebabkan satwa kehausan. Sejak tahun 1990 hingga 2005, lahan di Australia sudah berkurang sekitar 39,48%.14 Penebangan hutan tidak berdampak hanya pada hutan itu saja, tetapi juga kepada wilayah lain di Australia, bahkan dunia. Australia memiliki 4% luas hutan yang ada di dunia dengan keseluruhan jumlah wilayah Australia adalah 5% dari luas dunia.15 Pertumbuhan penduduk di

Australia menyebabkan negara ini harus melakukan pembangunan terus menerus. Pembangungan terus menerus tersebut dilakukan dengan cara pembukaan lahan, yang terkadang merupakan habitat satwa-satwa.16

Manusia sebagai makhluk yang kompleks memiliki kebutuhan yang tidak terbatas. Ketidakterbatasan itu disebabkan oleh rasa tidak puas manusia. Salah satu faktor untuk memenuhi kebutuhan adalah ekonomi atau lebih ditujukan kepada uang. Pertumbuhan manusia sangatlah pesat, sehingga lapangan pekerjaan pun semakin sulit. Selain pertumbuhan manusia, teknologi juga salah satu penyebab berkurangnya lapangan pekerjaan karena di era globalisasi ini sudah mulai banyak menggunakan tenaga mesin yang dirasa lebih efektif dibandingkan dengan tenaga manusia. Desakan ekonomi tersebut adalah faktor utama yang membuat beberapa orang melakukan hal melawan hukum untuk memenuhi kebutuhan. Salah satu

14http://rainforests.mongabay.com/deforestation/archive/Australia.htm diakses pada 22 September

2015, pukul 12.32 WIB

15 http://conservationbytes.com/2011/10/06/little-left-to-lose/ diakses pada 22 September 2015,

pukul 12.36 WIB


(13)

tindakan melawan hukum untuk mendapatkan banyak uang adalah memperjualbelikan satwa liar yang dilindungi.

Satwa liar yang dilindungi memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Di pasar gelap internasional maupun domestik, satwa liar yang dilindungi dijual dengan harga yang sangat tinggi. Harga satwa liar yang dilindungi sangat mahal karena jumlahnya yang semakin sedikit, seperti konsep ekonomi dasar yaitu semakin langka sesuatu maka harganya akan semakin tinggi.17 Perdagangan satwa liar yang

dilindungi sangatlah beragam, dari hanya sekedar individu-individu yang mengambil satwa liar yang dilindungi untuk dijadikan peliharaan, hingga adanya sindikat internasional. Pada kasus penyelundupan burung kakatua jambul kuning yang terjadi di Indonesia, burung-burung kakatua tersebut akan dijual di pasar internasional seharga Rp32.000.000.18 Sementara, burung kakatua hitam yang dijual di pasar gelap Amerika Serikat, Jepang dan Eropa seharga AUD30.000 atau seharga Rp310.000.000.19

Sonny Keraf di dalam bukunya mengatakan bahwa alam memiliki hak asasi. Meskipun berbeda dengan hak asasi manusia, alam tidak dapat menuntut haknya secara langsung, namun alam memiliki hak legal yang merupakan undang-undang ataupun peraturan lain yang dibuat oleh negara untuk melindungi alam. Seperti manusia yang selalu menuntut haknya untuk dijunjung tinggi, sebaiknya kita juga menghormati alam, agar alam dapat senantiasa selalu terjalin secara selaras. Hormat

17 Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics. Sixth Edition. hlm.67.

18

http://metro.tempo.co/read/news/2015/05/07/064664370/dijual-ilegal-kakatua-jambul-kuning-seharga-rp-32-juta diakses pada tanggal 16 september 2015 jam 18.03

19


(14)

terhadap alam sudah cukup mengakomodasi hak asasi alam.20 Dengan banyaknya kasus-kasus terhadap satwa liar yang dilindungi, menjadi bukti bahwa hak asasi alam belum terpenuhi. Maka dari hal itu dibutuhkan hukum untuk melindunginya sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound “law as a tool of social engineering” sehingga diharapkan hukum dapat menjadi pemecah masalah di masyarakat.21

IUCN mengadakan pertemuan, dimana hasil dari pertemuan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan yang dituangkan dalam Convention on

International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (selanjutnya

disebut dengan CITES). CITES adalah perjanjian internasional yang memiliki tujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesimen satwa dan tumbuhan liar tidak mengancam kelangsungan hidup mereka. CITES ditandatangani sejak 3 Maret 1973 di Washington D.C., Amerika Serikat oleh 80 negara. Perdagangan satwa liar yang dilindungi juga dilakukan secara lintas batas negara-negara, sehingga pengaturan mengenai perdagangan spesimen langka pun harus diatur secara internasional.22

Demi terlaksananya maksud dan tujuan dari pembentukan CITES, negara-negara di dunia ikut meratifikasi konvensi ini. Salah satu negara-negara-negara-negara yang meratifikasi CITES adalah Indonesia dan Australia. Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora menyatakan bahwa Indonesia ikut

20 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010, hlm.

122-136

21 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, 1986, Bandung:

Binacipta, hlm. 9


(15)

meratifikasi CITES. Dengan adanya keputusan presiden tersebut, kemudian Indonesia membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Konservasi Hayati). Australia meratifikasi CITES melalui pembentukan Environment Protection and Biodiverstity Conservation Act 1999 (selanjutnya disebut dengan EPBC).

Indonesia dan Australia memang sama-sama meratifikasi CITES untuk melindungi satwa liar yang berada di negara masing-masing. Namun, sistem hukum yang berbeda juga akan berdampak kepada pembuatan peraturan. Perbedaan pembuatan peraturan tidak hanya didasari oleh perbedaan sistem hukum, tetapi juga faktor lain seperti kaidah, lembaga dan budaya. Indonesia menganut sistem hukum

civil law akibat dari jajahan Belanda yang juga menganut civil law. Sedangkan

Australia menganut sistem hukum common law yang berasal dari Inggris, Australia juga merupakan bagian dari negara-negara persemakmuran Inggris (commonwealth

nations). Dari perbedaan sistem hukum ini kita dapat melihat bahwa Indonesia yang

menganut civil law yang terpaku pada asas legalitas yang menjadikan undang-undang sebagai acuan kurang mengiringi perubahan yang terjadi di masyakat, di sisi lain Australia yang menganut common law menganut judge made law sangat mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat. Sebagai perbandingan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 belum pernah diamandemen sampai dengan saat ini, sementara EPBC sejak tahun 1999 hingga tahun 2015 telah mengalami 45 kali amandemen.23


(16)

Berdasarkan data dan fakta yang telah diuraikan, nampak bahwa antara Indonesia dan Australia terdapat persamaan berkenaan dengan keanekaragaman satwa, namun terdapat perbedaan dalam hal bagaimana sistem hukum di masing-masing negara melindungi keanekaragaman satwa. Oleh sebab itu perlu dilakukan studi penelitian hukum untuk memberikan masukan demi perkembangan peraturan hukum di Indonesia perihal perlindungan satwa liar yang dilindungi. Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, penulis belum menemukan adanya karya tulis atau karya ilmiah lain yang membahas judul tersebut.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, maka penulis membuat penelitian

yang berjudul “Perbandingan Hukum Antara Pengaturan Perlindungan Satwa

Liar yang Dilindungi di Indonesia dan di Australia Dikaitkan dengan

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan mengenai perlindungan satwa liar yang dilindungi di Indonesia dan Australia, dikaitkan dengan berlakunya ketentuan-ketentuan

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)?

2. Bagaimana persamaan dan perbedaan dari pengaturan mengenai perlindungan satwa liar yang dilindungi di Indonesia dan Australia?


(17)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji dan memahami pengaturan hukum mengenai satwa liar yang dilindungi di Indonesia dan Australia dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan Environment Protection and Biodiversity Conservation Act 1999 dan melihat kesesuainnya berdasarkan Convention on International Trade of Wild Fauna

and Flora (CITES).

2. Untuk mengkaji dan memahami persamaan dan perbedaan pengaturan hukum mengenai satwa liar yang dilindungi di Indonesia dan di Australia.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum mengenai perlindungan satwa liar yang dilindungi di Indonesia dan dapat mengadaptasi hal baik dari perkembangan hukum perlindungan satwa liar yang dilindungi di Australia.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang akan hal-hal yang diatur dalam peraturan perlindungan satwa


(18)

liar yang dilindungi yang diterapkan di Australia untuk dapat diadopsi sesuai dengan ideologi demokrasi Pancasila di Indonesia guna memenuhi kesejahteraan masyarakat diimbangi dengan pelestarian ekosistem sumber daya alam hayati.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis

Hukum bertujuan untuk menjamin keteraturan dan ketertiban, tujuan tersebut tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir hidup bermasyarakat yaitu keadilan.24 Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum bertujuan untuk mengayomi subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban menurut hukum, yaitu manusia.25 Namun, selain manusia, hukum juga seharusnya dapat mengayomi lingkungan yang mendukung kehidupan manusia. Lingkungan sangat rentan terhadap perlakuan manusia, karena manusia tidak selalu memperlakukan alam dengan baik tetapi juga dengan buruk. Kerusakan lingkungan merupakan perbuatan jahat manusia, sehingga masyarakat dan/atau pemerintah wajib menghukum perbuatan-perbuatan merusak lingkungan.26

Sumber daya alam harus dilindungi untuk kepentingan manusia sendiri, dimana manusia membutuhkan alam untuk menyokong kehidupannya yang membutuhkan banyak kebutuhan. Sonny Keraf didalam bukunya mengatakan

24 Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000, hlm.

50

25 Zaeni Asyhadie, Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013,

hlm.61.


(19)

bahwa alam memiliki hak asasi. Berbeda dengan hak asasi manusia, alam tidak dapat menuntut haknya secara langsung, namun alam memiliki hak legal yang merupakan undang-undang ataupun peraturan lain yang dibuat oleh negara untuk melindungi alam. 27 Alam tidak bisa menuntut haknya untuk dipenuhi, karena itu sebagai manusia harus menghormati alam, dengan demikian kita sudah mengakomodasi hak asasi alam. Dalam penelitian ini yang diutamakan dari alam adalah hewan, sehingga apabila kita menghormati alam, maka kita akan mengakomodasi hak asasi hewan.

Negara merupakan wadah bangsa untuk mencapai cita-cita atau tujuan bangsanya.28 Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana sudah disebutkan di atas adalah untuk menjamin keteraturan dan ketertiban yang berujung keadilan. Dalam penelitian ini, keadilan yang ditekankan adalah keadilan bukan hanya manusia sebagai subjek hukum, namun juga lingkungan atau sumber daya alam.

Green constitution sering dipakai untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu

dengan ide perlindungan lingkungan hidup. Penuangan kebijakan lingkungan (green policy) ke dalam produk perundang-undangan biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan green legislation. Karena itu, jika norma hukum tersebut diadopsikan ke dalam teks undang-undang dasar, maka hal itu disebut green

constitution. Green constitution sudah diterapkan di beberapa negara, seperti

Konstitusi Portugal 1976, Konstitusi Spanyol 1978, Konstitusi Polandia 1997, dan Konstitusi Ekuador 1998. Indonesia memiliki green constitution yang

27 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010, hlm.

122-136


(20)

tercermin dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi29:

“(1)Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan [Pasal 28 H ayat (1)]; (3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.[Pasal 33 ayat (3)];

(4)Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.[Pasal 33 ayat (4)]”

Green constitution yang sudah disebutkan dalam pasal di atas selanjutnya

diaplikasikan dengan adanya peraturan-peraturan sesuai dengan hirarki perundang-undangan. Contohnya seperti dalam penulisan ini yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, peraturan-peraturan teknisnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Dengan adanya green constitution, maka dapat disimpulkan bahwa negara sudah mengakomodasi untuk mencapai tujuan hukum. Selanjutnya agar tujuan hukum tersebut dapat terwujud, perlu adanya penegakan hukum. Penegakan hukum dapat dipenuhi dengan terpenuhinya 3 unsur sistem hukum menurut Lawrence Friedman, yaitu:


(21)

a. Struktur (legal structure) yaitu menyangkut aparat penegak hukum.

b. Substansi (legal substance) yaitu meliputi perangkat perundang-undangan. c. Budaya (legal culture) yaitu hukum yang hidup yang dianut dalam

masyarakat. 30 2. Kerangka Konseptual

a. Studi perbandingan hukum

Perbandingan hukum adalah suatu pengetahuan dan metode mempelajari ilmu hukum dengan meninjau lebih dari satu sistem hukum, dengan meninjau kaidah dan/atau aturan hukum dan/atau yurisprudensi serta pendapat ahli yang kompeten dalam berbagai sistem hukum tersebut, untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan, sehingga dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan dan konsep-konsep tertentu, dan kemudian dicari sebab-sebab timbulnya persamaan dan perbedaan secara historis, sosiologi, analitis, dan normatif.

Perbandingan hukum yang ditelaah dari penulisan hukum ini adalah perbandingan hukum sebagai metode. Sebagai suatu metode, perbandingan hukum dianggap sebagai suatu cara untuk menelaah hukum secara komprehensif dengan mengkaji juga sistem, kaidah, pranata, dan sejarah hukum dari lebih dari satu negara atau lebih dari satu sistem hukum, meskipun sama-sama masih berlaku dalam satu negara.31

b. Perlindungan Lingkungan Hidup

30 Lawrence Friedman, American Law: An Introduction, terjemahan Wishnu Basuki, Jakarta:

Tatanusa, 2001, hlm. 18-25.


(22)

Berdasarkan Pasal 1 poin 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan Perlindungan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

c. Satwa Liar yang Dilindungi

Menurut Pasal 1 poin 7 Undang-Undang Konservasi Hayati, yang dimaksud dengan satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan/atau air, dan/atau udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

Satwa liar yang dilindungi menurut Pasal 20 Undang-Undang Konservasi Hayati adalah sebagai berikut:

“(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis: a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;

b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi. (2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam:

a. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan; b. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Dalam penjelasan Undang-Undang Konservasi Hayati menyebutkan: “Ayat (1)

Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.


(23)

Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimaksudkan untuk melindungi spesies tumbuhan dan satwa agar jenis tumbuhan dan satwa tersebut tidak mengalami kepunahan.

Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu tergantung dari tingkat keperluannya yang ditentukan oleh tingkat bahaya kepunahan yang mengancam jenis bersangkutan Ayat (2)

Jenis tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan meliputi jenis tumbuhan dan satwa yang dalam keadaan bahaya nyaris punah dan menuju kepunahan. Tumbuhan dan satwa yang endemik adalah tumbuhan dan satwa yang terbatas penyebarannya, sedangkan jenis yang terancam punah adalah karena populasinya sudah sangat kecil serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena pengaruh habitat maupun ekosistemnya.

Jenis tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang dalam arti populasinya kecil atau jarang sehingga pembiakannya sulit.”

Dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, terdapat daftar jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, contohnya seperti Anoa, Binturong, Kakatua Gofin, Penyu Pipih, dan lain sebagainya.

d. CITES

CITES adalah konvensi internasional yang bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi karena terancam punah. Berlaku di Indonesia sejak tanggal 15 Desember 1978 yang ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora.


(24)

Dalam penelitian ini salah satu yang akan dibahas adalah peraturan yang berkenaan dengan perdagangan satwa liar yang dilindungi, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan trade. Trade sebagaimana disebutkan dalam artikel 1 poin C CITES adalah sebagai berikut:

“(c) “Trade” means export, re-export, import and introduction from the sea;

(d) “Re-export” means export of any specimen that has previously been imported;

(e) “Introduction from the sea” means transportation

into a State of specimens of any species which were taken in the marine environment not under the

jurisdiction of any State;”

Sehingga trade dapat diartikan perdagangan yang merupakan ekspor, re-ekspor, impor, dan pengatar dari laut yang merupakan transportasi spesimen laut yang tidak berada dalam yurisdiksi negara manapun.

F. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Metode Penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum yang mempergunakan sumber-sumber sekunder yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder atau data kepustakaan.32

2. Jenis penelitian

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status

32 Rommy Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Semarang: Ghalia Indonesia,


(25)

fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisahkan menurut kategorinya untuk memperoleh kesimpulan.33

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan undang-undang (statute

approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi

yang bersangkutan dengan perlindungan satwa liar yang dilindungi dan pendekatan komparatif (comparative approach) yaitu dengan membandingkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dengan Environment Protection and Biodiversity Conservation Act 1999.34

4. Jenis Data

Oleh karena penelitian hukum (normatif) mempunyai metode tersendiri dibandingkan dengan metode penelitiann ilmu-ilmu sosial lainnya, hal itu berakibat pada jenis datanya. Dalam penelitian hukum yang selalu diawali dengan premis normatif, datanya juga diawali dengan data sekunder. Bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, jenis datanya (bahan hukum) adalah:

a. Bahan-bahan hukum primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dari perjanjian internasional yaitu Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora 1973, bahan-bahan hukum

33 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2005, hlm. 32.

34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2011, hlm.


(26)

yang mengikat dari Negara Indonesia, dan bahan-bahan hukum yang mengikat dari Negara Australia, yang terdiri dari:

Indonesia Australia

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Environment Protection and Biodiversity Conservation Act 1999

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Environment Protection and Biodiversity Conservation Regulation 1999

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

Animal Welfare Act 2002

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

Queensland Animal Care and Protection Act 2001

Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1979 tentang Convention on

International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora

1973

Tabel 1.1 Peraturan-peraturan di Indonesia dan Australia Terkait Satwa Liar yang Dilindungi


(27)

b. Bahan-bahan Hukum Sekunder

Badan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum.35

c. Bahan-bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia.36

5. Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif. Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu peraturan yang bersifat umum ke peraturan yang bersifat khusus. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis dengan metode perbandingan

35 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004, hlm. 32


(28)

hukum untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari peraturan perlindungan satwa liar yang dilindungi di Indonesia dan Australia.37

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi atau tugas akhir dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang penelitian, identifikasi, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II: PENGATURAN PERLINDUNGAN SATWA LIAR

DILINDUNGI BERDASARKAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan memberikan penjelasan mengenai pengaturan perlindungan satwa liar yang dilindungi di Indonesia dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, dan kajian terhadap

37 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia


(29)

keberadaan lembaga penegak hukum yang berperan dalam mendukung upaya perlindungan satwa liar yang dilindungi.

BAB III: PENGATURAN PERLINDUNGAN SATWA LIAR

DILINDUNGI BERDASARKAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI AUSTRALIA

Pada bab ini penulis akan memberikan penjelasan mengenai pengaturan perlindungan satwa liar yang dilindungi di Australia dilihat dari Environment Protection and Biodiversity Conservation

Act 1999, Environment Protection and Biodiversity Regulation 1999, dan kajian terhadap keberadaan lembaga penegak hukum yang

berperan dalam mendukung upaya perlindungan satwa liar yang dilindungi.

BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN PENGATURAN

PERLINDUNGAN SATWA LIAR DILINDUNGI DI

INDONESIA DAN AUSTRALIA DIKAITKAN DENGAN

CONVENTION ON INTERNASIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA

(CITES)

Pada bab ini penulis akan menguraikan perbandingan pengaturan mengenai perlindungan satwa liar yang dilindungi di Indonesia dan di Australia, dengan melihat persamaan dan perbedaan dan menganalisis hal-hal yang menyebabkan terjadinya persamaan dan


(30)

perbedaan tersebut untuk kemudian dikaji hal-hal apa saja yang dapat diadaptasi ke dalam sistem hukum Indonesia.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bagian akhir ini, penulis akan memaparkan kesimpulan berdasarkan uraian-uraiaan pada bagian sebelumnya serta memaparkan saran yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis guna mewujudkan pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat Indonesia.


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Indonesia dan Australia sama-sama tunduk kepada CITES, namun dalam daftar listing parties milik CITES, tercatat Indonesia memberlakukan asesi terhadap CITES, sedangkan Australia meratifikasi CITES. Australia sebagai negara yang meratifikasi CITES mengatur hal-hal mengenai CITES dalam peraturan perundang-undangannya melalui Pasal 303CA sampai dengan Pasal 303CN EPBC Act. Indonesia hanya mengasesi sehingga CITES tidak wajib untuk mengatur mengenai ketentuan mengenai CITES dalam peraturan perundang-undangannya, oleh karena itu dalam perundang-undangan Indonesia, penulis tidak menemukan pasal-pasal khusus yang mengatur mengenai CITES. Namun, dalam beberapa pasal yang terdapat dalam perundang-undangan Indonesia disebutkan bahwa pasal tersebut dibentuk dalam rangka pelaksanaan CITES. CITES membebaskan kepada negara-negara anggotanya untuk memberlakukan peraturan yang lebih ketat atau melarang sepenuhnya terhadap perdagangan satwa liar dilindungi. Sehingga, Indonesia dan Australia pada intinya sama-sama memberlakukan bahwa perdagangan satwa liar dilindungi adalah hal yang dilarang.


(32)

2. Secara keseluruhan, pengaturan mengenai perlindungan satwa liar dilindungi di Indonesia dan Australia memiliki inti yang sama. Namun, persamaan dan perbedaan pengaturan perlindungan satwa liar dilindungi dibagi oleh penulis berdasarkan legal substance, legal structure, dan legal culture.

Hasil penelitian berdasarkan legal substance, maka didapat persamaan dan perbedaan sebagai berikut:

1. Penggolongan kategori punah

Penggolongan kategori satwa yang dilindungi di Indonesia dan Australia berbeda. Australia membagi satwa terancam punah ke dalam lima kategori, sedangkan Indonesia membagi satwa menjadi dua kategori saja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pembagian kategori yang diatur oleh perundang-undangan Australia akan lebih efektif untuk diterapkan.

2. Tindakan yang dilarang;

Pengaturan terhadap tindakan yang dilarang dalam rangka melindungi satwa liar dilindungi dalam peraturan perundang-undangan Australia dan peraturan perundang-undangan Indonesia adalah sama. Tindakan-tindakan yang dilarang diantaranya adalah membunuh, melukai, mengambil, menyimpan/memelihara, memindahkan/mengangkut, dan memperniagakan. Namun, peraturan perundang-undangan Australia memiliki pengaturan mengenai strict liability yang tidak dimiliki oleh peraturan perundang-undangan Indonesia. Strict liability adalah kelalaian dalam melakukan tindakan yang sangat berbahaya sehingga seseorang diwajibkan untuk memikul segala kerugian yang ditimbulkan.


(33)

3. Perdagangan satwa liar dilindungi;

Peraturan perundang-undangan Indonesia dan Australia sama-sama mengatur bahwa perdagangan satwa liar dilindungi adalah tindakan yang dilarang. 4. Sanksi terhadap perdagangan satwa liar dilindungi.

Sanksi terhadap pelaku perdagangan satwa liar dilindungi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan peraturan perundang-undangan Australia relatif sama. Yang membedakan adalah sanksi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan Australia lebih berat dari sisi denda, yang apabila dikonversi ke dalam rupiah mencapai angka milyaran rupiah. Sedangkan sanksi penjara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan Indonesia lebih berat dari sisi pidana penjara, yaitu maksimum penjara lima tahun.

Legal structure dalam melaksanakan perlindungan terhadap satwa liar terdiri

dari Management Authority dan Scientific Authority. Di Indonesia, Management

Authority dijalankan oleh Departemen Kehutanan, sedangkan Scientific Authority dijalankan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Management Authority dan Scientific Authority di Australia dijalankan oleh Australian Government Department of the Environment. Namun, berdasarkan

penelitian yang penulis lakukan, tugas dan fungsi Management authority dan

Scientific Authority yang diatur dalam perundang-undangan Australia lebih jelas

dan lebih lengkap.

Legal culture di Australia lebih baik dibandingkan di Indonesia dengan

dibuktikannya bahwa tingkat kejahatan di Australia lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kejahatan di Indonesia. Hal ini juga berdampak kepada


(34)

perlindungan terhadap satwa liar dilindungi di kedua negara. Dengan kesadaran hukum yang tinggi, Australia memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku perdagangan satwa liar dilindungi. Sementara di Indonesia pelaksanaan perundang-undangan dalam melindungi satwa liar dilindungi masih belum optimal, bahkan sanksi yang diberikan pun masih tergolong ringan.

B.Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka penulis ingin memberikan saran sebagai berikut:

1. Indonesia perlu mencermati aturan hukum di Australia, khusunya mengenai sanksi terhadap kegiatan perdagangan satwa liar dilindungi. Sanksi terhadap kegiatan perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia harus diubah dan dibuat menjadi lebih berat agar menimbulkan sifat preventif dan efek jera.

Strict liability yang dimiliki oleh Australia juga dapat diadopsi dan diatur

dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai upaya untuk lebih meningkatkan perlindungan bagi satwa liar dilindungi.

2. Selain pengaturan mengenai strict liability, Indonesia juga dapat mengadopsi penggolongan satwa terancam punah. Penggolongan/klasifikasi satwa terancam punah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Australia lebih rinci sehingga dapat menangani potensi kepunahan satwa secara lebih tepat sasaran.


(35)

3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan satwa liar dilindungi perlu diberikan kepada setiap lapisan masyarakat demi meningkatkan kesadaran hukum secara merata.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

A. Sonny Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Alacs, Erica dan Arthur George. 2008. Australian Journal of Forensic Sciencee Wildlife Across Our Borders: A Review of The Illegal Trade in Australia.

Canberra: Taylor & Francis Group.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Eddy Pratomo. 2011. Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum,

dan Ratifikasi. Bandung: Alumni.

Friedman, Lawrence (terjemahan Wishnu Basuki). 2001. American Law: An

Introduction. Jakarta: Tatanusa. London: Macmillan Press.

Garner, Robert. 2000. Environmental Politics: Britain, Europe and the Global

Environment.

Jimly Ashiddiqie. 2009. Green Constitution. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Johnny Ibrahim. 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing.

Mankiw, N. Gregory. 2014. Principles of Economics. Sixth Edition. Boston: Cengage Learning.

Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum

Nasional. Bandung: Binacipta.

Mochamad Indrawan, Richard B. Primack, dan Jatna Supriatna. 2012. Biologi

Konservasi Edisi Revisi. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Mochtar Kusumaatmadja, dan Arief Sidharta. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Muhammad Erwin. 2009. Hukum Lingkungan dalam Kebijaksanaan Pembangunan

Lingkungan Hidup. Bandung: Refika Aditama.


(37)

Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum dan Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia Group.

Rommy Hanitjo Soemitro. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri. Semarang: Ghalia Indonesia.

Shelton, Dinah. 2011. International Law and Domestic Legal Systems:

Incorporation, Transformation, and Persuasion. New York: Oxford

University.

Soedjiran Resosoedarmo, Kuswata Kartawinata, dan Apriliani Soegiarto. 1986.

Pengantar Ekologi. Bandung: Remadja Karya.

Soehino. 2008. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.

Soerjono Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Takdir Rahmadi. 2011. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Threaten Species Scientific Committee. 2014. Threatened Species Committee

Guidelines for Assessing the Conservation Status of Native Species According to the Environment Protection and Biodiversity Act 199 and Environment Protection and Biodiversity Conservation Regulations 2000.

Canberra: Australian Government Departement of the Environment.

Tim Penyusun Kamus. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Zaeni Asyhadie, dan Arief Rahman. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.


(38)

Queensland Animal Care and Protection Act.

C.PRANALA LUAR

https://cites.org/eng/disc/what.php

https://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.php http://conservationbytes.com/2011/10/06/little-left-to-lose/

http://dokumen.tips/documents/teori-sistem-hukum-friedman.html

http://www.environment.gov.au/biodiversity/wildlife-trade/cites/how-cites-works

http://metro.tempo.co/read/news/2015/05/07/064664370/dijual-ilegal-kakatua-jambul-kuning-seharga-rp-32-juta

http://rainforests.mongabay.com/deforestation/archive/Australia.htm http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.VflNZuuD5sM

http://wwf.panda.org/who_we_are/wwf_offices/australia/environmental_problems _in_australia/

http://www.animalsaustralia.org/take_action/protect-endangered-australian-animals/

http://www.australia.com/en/facts/australias-animals.html

http://www.australiangeographic.com.au/topics/wildlife/2011/08/australias-wildlife-blackmarket-trade/

http://www.australianwildlife.org/wildlife.aspx https://www.comlaw.gov.au/Series/C2004A00485 www.ea.gov.au/epbc

http://www.slp.wa.gov.au/faq.nsf/Web/Topics/C39627DF9C3527E348256CA800 0DCBE5?opendocumentwww.environment.gov.au

http://www.numbeo.com/crime/rankings_by_country.jsp?title=2015-mid


(39)

http://www.mongabay.co.id/2016/06/18/perburuan-sisi-nyata-menderitanya-kehidupan-satwa-liar-selain-alih-fungsi-hutan/

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/04/12/o5ismx282-empat-penyelundup-trenggiling-dihukum-27-bulan-penjara

http://www.mirror.co.uk/news/world-news/most-outrageous-animal-smuggling-attempts-5639499


(1)

113

Universitas Kristen Maranatha perlindungan terhadap satwa liar dilindungi di kedua negara. Dengan kesadaran hukum yang tinggi, Australia memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku perdagangan satwa liar dilindungi. Sementara di Indonesia pelaksanaan perundang-undangan dalam melindungi satwa liar dilindungi masih belum optimal, bahkan sanksi yang diberikan pun masih tergolong ringan.

B.Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka penulis ingin memberikan saran sebagai berikut:

1. Indonesia perlu mencermati aturan hukum di Australia, khusunya mengenai sanksi terhadap kegiatan perdagangan satwa liar dilindungi. Sanksi terhadap kegiatan perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia harus diubah dan dibuat menjadi lebih berat agar menimbulkan sifat preventif dan efek jera. Strict liability yang dimiliki oleh Australia juga dapat diadopsi dan diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai upaya untuk lebih meningkatkan perlindungan bagi satwa liar dilindungi.

2. Selain pengaturan mengenai strict liability, Indonesia juga dapat mengadopsi penggolongan satwa terancam punah. Penggolongan/klasifikasi satwa terancam punah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Australia lebih rinci sehingga dapat menangani potensi kepunahan satwa secara lebih tepat sasaran.


(2)

114

Universitas Kristen Maranatha 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan satwa liar dilindungi perlu diberikan kepada setiap lapisan masyarakat demi meningkatkan kesadaran hukum secara merata.


(3)

115 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

A. Sonny Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Alacs, Erica dan Arthur George. 2008. Australian Journal of Forensic Sciencee

Wildlife Across Our Borders: A Review of The Illegal Trade in Australia. Canberra: Taylor & Francis Group.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Eddy Pratomo. 2011. Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum, dan Ratifikasi. Bandung: Alumni.

Friedman, Lawrence (terjemahan Wishnu Basuki). 2001. American Law: An Introduction. Jakarta: Tatanusa. London: Macmillan Press.

Garner, Robert. 2000. Environmental Politics: Britain, Europe and the Global Environment.

Jimly Ashiddiqie. 2009. Green Constitution. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Johnny Ibrahim. 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing.

Mankiw, N. Gregory. 2014. Principles of Economics. Sixth Edition. Boston: Cengage Learning.

Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta.

Mochamad Indrawan, Richard B. Primack, dan Jatna Supriatna. 2012. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Mochtar Kusumaatmadja, dan Arief Sidharta. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Muhammad Erwin. 2009. Hukum Lingkungan dalam Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: Refika Aditama.


(4)

116 Universitas Kristen Maranatha Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum dan Edisi Revisi. Jakarta:

Prenadamedia Group.

Rommy Hanitjo Soemitro. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri. Semarang: Ghalia Indonesia.

Shelton, Dinah. 2011. International Law and Domestic Legal Systems: Incorporation, Transformation, and Persuasion. New York: Oxford University.

Soedjiran Resosoedarmo, Kuswata Kartawinata, dan Apriliani Soegiarto. 1986. Pengantar Ekologi. Bandung: Remadja Karya.

Soehino. 2008. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.

Soerjono Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Takdir Rahmadi. 2011. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Threaten Species Scientific Committee. 2014. Threatened Species Committee Guidelines for Assessing the Conservation Status of Native Species According to the Environment Protection and Biodiversity Act 199 and Environment Protection and Biodiversity Conservation Regulations 2000. Canberra: Australian Government Departement of the Environment.

Tim Penyusun Kamus. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Zaeni Asyhadie, dan Arief Rahman. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.


(5)

117 Universitas Kristen Maranatha Queensland Animal Care and Protection Act.

C.PRANALA LUAR

https://cites.org/eng/disc/what.php

https://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.php http://conservationbytes.com/2011/10/06/little-left-to-lose/

http://dokumen.tips/documents/teori-sistem-hukum-friedman.html

http://www.environment.gov.au/biodiversity/wildlife-trade/cites/how-cites-works

http://metro.tempo.co/read/news/2015/05/07/064664370/dijual-ilegal-kakatua-jambul-kuning-seharga-rp-32-juta

http://rainforests.mongabay.com/deforestation/archive/Australia.htm http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.VflNZuuD5sM

http://wwf.panda.org/who_we_are/wwf_offices/australia/environmental_problems _in_australia/

http://www.animalsaustralia.org/take_action/protect-endangered-australian-animals/

http://www.australia.com/en/facts/australias-animals.html

http://www.australiangeographic.com.au/topics/wildlife/2011/08/australias-wildlife-blackmarket-trade/

http://www.australianwildlife.org/wildlife.aspx https://www.comlaw.gov.au/Series/C2004A00485 www.ea.gov.au/epbc

http://www.slp.wa.gov.au/faq.nsf/Web/Topics/C39627DF9C3527E348256CA800 0DCBE5?opendocumentwww.environment.gov.au

http://www.numbeo.com/crime/rankings_by_country.jsp?title=2015-mid


(6)

118 Universitas Kristen Maranatha

http://www.mongabay.co.id/2016/06/18/perburuan-sisi-nyata-menderitanya-kehidupan-satwa-liar-selain-alih-fungsi-hutan/

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/04/12/o5ismx282-empat-penyelundup-trenggiling-dihukum-27-bulan-penjara

http://www.mirror.co.uk/news/world-news/most-outrageous-animal-smuggling-attempts-5639499