PERLINDUNGAN HUKUM BURUNG JALAK BALI MENURUT CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA.
1
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM BURUNG JALAK BALI
MENURUT
CONVENTION ON INTERNATIONAL
TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA
AND FLORA
DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI
INDONESIA
NI PUTU MIRAYANTHI UTAMI 1203005266
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
(2)
2
PERLINDUNGAN HUKUM BURUNG JALAK BALI
MENURUT
CONVENTION ON INTERNATIONAL
TRADE OF ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA
AND FLORA
DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI
INDONESIA
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Univeritas Udayana
NI PUTU MIRAYANTHI UTAMI 1203005266
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
(3)
(4)
(5)
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat, dan anugrah yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Burung Jalak Bali Menurut Convention on International Trade in Engdangered Species of Wild Fauna and Flora dan Penerapan Hukumnya di Indonesia”. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh CITES sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap spesies yang terancam punah khususnya burung Jalak Bali dari perdagangan ilegal.
Penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi ini banyak mendapat bimbingan, dukungan, dan motivasi dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H., selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas Udayana.
2. I Ketut Sudiartha, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.
3. I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.
4. I Wayan Suardana, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.
(6)
6
5. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. I Gede Putra Ariana, S.H.,M.Kn., selaku Sekertaris Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, semangat dan saran-saran yang berguna bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan motivasi, saran, bimbingan, dan pengarahan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. I Gusti Agung Mas Jayantiari, S.H.,M.Kn., selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang telah memberikan banyak bimbingan dan petunjuk selama menjalani masa perkuliahan.
10. Seluruh dosen dan staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat bagi penulis.
11. Keluarga penulis yang tercinta, Ayah I Ketut Mudawan dan Ibu Ni Nyoman Sri Mudani, SH.,MH yang selalu memberikan semangat, dukungan dan motivasi kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada adik penulis tercinta I Made Galih
(7)
7
Hendrawan yang selalu setia menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12.“I Wayan Candra Premana”, yang selalu sabar, setia menemani, membantu memberikan semangat, motivasi kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
13. Sahabat-sabahat seperjuangan penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tercinta: Ima Rahmat, Widiastuti, Cahyani, Yuli Kartika, Dewi Juliantini, Manik, Indy Apriyani, Kharisma, Komala, Antoni Giri, Jaya Nugraha, Faris, Dwi Krisna, Denny, Chika, Puspita, Hendra, Wisnu Diatmika, Andy, Mitha Rosa, Tebo, dan sahabat lainnya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu terima kasih banyak. 14. Terima Kasih juga kepada angkatan 2012 atas dukungannya selama
perkuliahan ini.
15. Terima kasih banyak kepada seluruh anggota BEMFH: kak Arsad, Kak Ciria, Angga, Jaya, Gek Nanda, Genta, Ajus, Dedek, Desak, Taufik, Agung wedanta, Gek Emik, Jerry, Koling, Indra, Dek Jimbot, dan seluruh anggota BEMFH yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih banyak atas pengalamannya dan bantuannya selama ini.
16. Sahabat-sahabat tersayang penulis: Yuli Anggreni, Sera Harlistya, Metta Yustia, Putri Krisna, Elysa Aprilia, Pricilia Christianti, Ayu Purwaningsih, Bayu Pradiva, Pradnya Nugraha, Agus Wardiana, Agus Nurrachmat, Karisma Surya Candra, Taufiq Hermawan, Yunita, Okta Phianitha, Rien
(8)
8
Wira, Dewi Urwasi, Ary Wahyundari, Yudhi, dan Duder’s KKN Duda Timur terima kasih banyak atas dukungan dan semangat kalian.
17. Terakhir untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulus berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis tidak lupa mengharapkan saran dan kritik atas skripsi ini.
Denpasar, 30 Januari 2016 Penulis
(9)
9
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ... i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... iv
HALAMAN KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN DAFTAR ISI ... ix
HALAMAN DAFTAR TABEL ... xii
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xiii
ABSTRAK ... xiv
ABSTRACT... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 10
1.3 Ruang Lingkup Masalah... 10
1.4 Orisinalitas Penelitian... 11
1.5 Tujuan Penelitian... 12
a. Tujuan Umum ... 12
b. Tujuan Khusus ... 12
1.6 Manfaat Penelitian... 13
a. Manfaat Teoritis... 13
(10)
10
1.7 Landasan Teoritis ... 13
1.8 Metode Penelitian ... 19
a. Jenis Penelitian ... 19
b. Jenis Pendekatan... 20
c. Bahan Hukum... 22
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 24
e. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG CITES DAN PENGATURAN PERDAGANGAN SATWA LANGKA... 26
2.1 Sejarah Hukum Lingkungan Internasional dan Cites ... 26
2.1.1 Sejarah Hukum Lingkungan Internasional ... ... 27 2.1.2 Sejarah CITES... 33
2.2 Perjanjian Internasional Terkait CITES ... 39
2.3 Pengertian Perdagangan Satwa Langka... 47
2.4 Pengaturan Perdagangan Satwa Langka... 55
2.4.1 Ketentuan Nasional Tentang Perdagangan Satwa Langka ... 56
2.4.2 Ketentuan CITES Tentang Perdagangan Satwa Langka ... 61
BAB III PENGARUH CITES DAN PERLINDUNGAN BURUNG JALAK BALI DI INDONESIA ... 66
(11)
11
3.1 Pengaruh CITES Dalam Perdagangan Burung Jalak Bali di
Indonesia... 66
3.2 Perlindungan Burung Jalak Bali dan Pengelolan Kawasan Taman Nasional... 84
BAB IV FAKTOR DAN UPAYA YANG DILAKUKAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI BURUNG JALAK BALI DARI PERDAGANGAN DI INDONESIA... 90
4.1 Faktor Penyebab Terjadinya Perdagangan Burung Jalak Bali di Indonesia ... 90
4.2 Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Melindungi Burung Jalak Bali Dari Perdagangan ... 95
BAB V PENUTUP ... 109
5.1 Kesimpulan... 109
5.2 Saran ... 110 DAFTAR PUSTAKA
(12)
12
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Aves (burung) yang Dilindungi Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 ... 78 Tabel 2 : Daftar Jenis-jenis Satwa liar yang Dilindungi Hasil Operasi Polisi Kehutanan Balai BKSDA Bali Tahun 2015... 104
(13)
13
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Imiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi atau plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
(14)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia terletak pada garis 60 LU – 110 LS dan 950 BT – 1410 BT. Dengan demikian, Indonesia terletak di daerah khatulistiwa. Letak ini menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Yang diketahui bahwa 17.000 pulau yang didalam wilayahnya terdapat berbagai macam jenis spesies yang unik dan endemik. Jenis-jenis hewan yang ada di Indoensia diperkirakan berjumlah sekitar 220.000 jenis yang terdiri dari atas lebih kurang 200.000 serangga (±17% fauna serangga di dunia), 4.000 jenis ikan, 2.000 jenis burung, serta 1.000 jenis reptilia dan amphibia.
Salah satu yang menjadi kekayaan hayati di Indonesia adalah fauna yang memiliki beragam macam jenisnya salah satunya spesies burung yang secara ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves. Dimana burung atau unggas adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari burung kolibri yang kecil mungil hingga burung unta, yang lebih tinggi dari orang. Diperkirakan terdapat sekitar 8.800 – 10.200 spesies burung diseluruh dunia, sekitar 1.500 jenis ditemukan di Indonesia.
Saat ini di Indonesia terdapat beberapa jenis yang tergolong ke dalam spesies burung yang merupakan endemik asli Indonesia dan tidak ditemukan di daerah lain. Jenis spesies burung yang asli (hidup secara alami) di Indonesia
(15)
adalah 10 spesies. Sepuluh jenis burung asli Indonesia tersebut adalah sebagai berikut: Trulek Jawa (Vanellus Macropterus), Tokhtor Sumatera (Carpococcyx Viridis), Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi), Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea), Merpati Hutan Perak (Columba Argentina), Perkici Buru (Charmosyna Toxopei), Celepuk Siau (Otus Siaoensis), Anis-Betet Sangihe (Colluricincla Sanghirensis), Elang Flores (Spizaetus Floris), Gagak Bangai (Corvus Unicolor)1
Hal ini terjadi sesuai dengan hasil pengamatan pada tahun 2007, di Bali setiap tahunnya 500 ekor burung diselundupkan dan diperdagangkan. Jumlah ini tidaklah sedikit dan sebagaian besar diantaranya merupakan spesies-spesies yang dilindungi seperti kakatua jambul kuning (cacatua galerita),kakatua hitam (lorius lory), dan Jalak Bali(Leucopsar Rothschildi).2
Salah satu kasusnya yaitu terjadi pada bulan Februari dan Juli 2013 dimana, disitanya 6 ekor burung Jalak Bali atas dugaan satwa tersebut akan diperdagangankan secara ilegal dan ditangkapnya seorang kewarganegaran Thailand yang akan menyelundupkan 2 ekor burung Jalak Bali, namun kejadian tersebut digagalkan oleh pihak terkait.
Terlebih lagi burung Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi) yang merupakan satwa yang dikategorikan dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) sebagai satwa kritis dan berdasarkan konservasi perdagangan internasional bagi jasad liar CITES (Convention on International Trade in
1
Kutilang Indonesia, 2011, Daftar Appendiks CITES
URL:http://www.kutilang.or.id/2011/07/04/daftar-apendiks-cites/. diakses pada tanggal 9 April 2016 17.00 wita
(16)
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dimasukan dalam Appendiks I, yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan. Dan saat ini perdagangan satwa yang dilindungi tidak hanya memperdagangkan secara konvensional namun, sudah memanfaatkan dunia maya. Sejumlah situs internet dijadikan tempat berdagang satwa liar, antara lain di Toko Bagus, Kaskus, dan Berniaga. Dan mereka juga mempromosikan melalui situs jejaring sosial yaitu Facebook. Namun pada kenyataannya Lembaga Profauna Indonesia mencatat perdagangan satwa dilindungi secaraonline mencapai 303 ekor satwa yang terdiri dari 27 spesies.3
Bisnis menguntungkan yang melibatkan banyak pihak pelaku, mulai dari perburu, penampung, tukang offset (taxidemist) hingga eksportir, yang membentuk suatu mata rantai perdagangan tersendiri. Menurut analisis WWF (Word Wildlife Found) dan TRAFFIC4 tahun 2010 nilai perdagangan tumbuhan dan satwa secara internasional (termasuk perdagangan ilegalnya) mencapai USD 170 miliar per tahun. Khusus untuk satwa yang dilindungi, nilai perdagangannya di tingkat internasional mencapai USD 30 miliar per tahun.5
Dan parahnya lagi perdagangan satwa ini tidak hanya satwa secara utuh namun, penjualan organ-organ tubuh satwa langka juga, yang berkedok petshop atau toko jual beli hewan peliharaan maupun toko barang antik. Sehingga
3
Eko Widianto, 2012, “Profauna: Perdagangan satwa liar kini online” URL: http://nasional.tempo.co/read/news/2012/12/28/206450895/profauna-perdagangan-satwa-liar-kini-online. diakses pada tanggal 1 Oktober 2015 09.25 wita
4
TRAFFIC adalah sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 1976 dan bergerak di bidang konservasi yang bekerja sama sekretariat CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), Anggota dari TRAFFIC dipilih oleh WWF dan CITES.
5
(17)
perdagangan secaraonlineinilah yang menyulitkan petugas untuk melacak pelaku perdagangan satwa langka yang terancam punah itu.
Sehubungan dengan banyaknya dan tidak terkendalinya masalah-masalah perdagangan terhadap satwa langka, sebuah organisasi yaitu International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memberikan perlindungan terhadap satwa, maka digagaslah sebuah instrumen internasional yaitu Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang mengatur tentang perdagangan fauna dan flora yang hampir punah. Indonesia telah mengaksesi CITES melalui Keputusan Presiden No.43 Tahun 1978 yang mengikat (enter into force) Indonesia untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dalam CITES.
Kemudian lebih komperhensif Indonesia telah menetapkan Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konvensi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini menentukan kategori atau kawasan suaka alam dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengamanan keanekaragaman satwa langka, serta ekosistemnya. Selain itu pemerintah telah menetapkan Peraturan Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1990 yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dimana telah ditetapkan jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi karena satwa tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan jumlah persebarannya yang pada saat ini makin terancam kepunahannya, termasuk salah satunya burung Jalak Bali. Pemerintah telah menerbitkan pula Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan
(18)
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Namun sayangnya undang-undang yang ada sepertinya hanya sekedar wacana yang tidak dirasakan keberadaaanya karena faktanya perdagangan tersebut semakin liar.
Mengingat pentingnya lingkungan dengan wawasan global, seperti konsep perlindungan keseimbangan ekologi (protection on ecological balance of the biosphere), keseimbangan kebijakan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dalam rangka daya dukung lingkungan yang berkelanjutan (sustainable development), perlindungan lingkungan untuk kepentingan general masa kini dan masa depan (imperative goal for mankind), kebijakan pemerintah yang menyeluruh (large schale policy), dan tindakan yang bersifat usaha bersama (common effort) untuk kepentingan bersama (common interest). Dimana satwa langka merupakan salah satu bagian dari lingkungan. Maka penulis tertarik membahas permasalahan tersebut dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM
BURUNG JALAK BALI MENURUT CONVENTION ON
INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA
AND FLORA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas yang telah penulis uraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) terhadap upaya penegakan hukum perdagangan spesies di Indonesia?
(19)
2. Bagaimana perlindungan hukum burung Jalak Bali dari perdagangan menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan hambatan yang dialami pemerintah dalam mengendalikan perdagangan tersebut?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari kesimpangsiuran dari permasalahan pokok, maka dipandang perlu adanya penegasan dan pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas guna terarahnya pembahasan dan mencegah meluasnya permasalahan. Mengingat keterbatasan kemampuan yang Penulis miliki, untuk itu pembahasan penulisan skripsi ini akan dibatasi ruang pada permasalahan yang sesuai dengan rumusan permasalahan yang diajukan yaitu:
1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai pengaruh pengaturan CITES secara internasional, dan pengaruh CITES secara nasional sebagai upaya penegakan hukum perdagangan spesies di Indonesia
2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai bentuk perlindungan hukum burung Jalak Bali dari perdagangan menurut CITES, dan hambatan yang dialami pemerintah dalam mengendalikan perdagangan tersebut.
(20)
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penelitian tentang Perlindungan Hukum Burung Jalak Bali Menurut Convention on International Trade in Endangered Speciesof Wild Fauna and Flora dan Penerapan Hukumnya di Indonesia belum pernah diteliti sebelumnya. Namun, ditemukan beberapa hasil atau tulisan yang hampir memiliki landasan yang sama dengan perlindungan spesies, antara lain:
No Peneliti dan Judul Penelitian Rumusan Masalah 1. I Wayan Ery Yanata Utama
(Unud 2012) Penerapan Sanksi Pidana Penangkapan dan Perniagaan Penyu Hijau
1. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelanggaran penangkapan dan perniagaan penyu hijau.
2. Mengapa penyu hijau (Chelonia Mydas) perlu dilindungi.
2. I Putu Asmara Francesco Confessa (Unud 2012) Suatu Kajian Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1990 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
1. Bagaimanakah pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilakukan di Indonesia.
2. Lembaga manakah yang menetapkan dan bertugas mendokumentasikan, memelihara dan mengelola hasil pengkajian dan penelitian serta pengembangannya.
Sehingga penulis sudah memenuhi aspek dari orisinalitas penelitian, jika masih terdapat penelitian hukum yang sama, hal tersebut diluar pengetahuan dari
(21)
penulis, diharapkan penulisan hukum ini dapat menambahkan atau melengkapi dari sebelumnya.
1.5 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.
2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.
3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.
4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan masyarakat.
5. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum. b. Tujuan Khusus
Secara lebih rinci tujuan penulisan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk dapat mengurai dan menganalisis pengaruh Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap upaya penegakan hukum perdagangan spesies di Indonesia. 2. Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk perlindungan
(22)
burung Jalak Bali serta hambatan dalam mengendalikan perdagangan yang terjadi.
1.6 Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum internasional, khususnya hukum lingkungan internasional, yang saat ini masih banyak terjadi masalah yang berkaitan dengan hukum lingkungan internasional.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya untuk mengembangkan wawasan dan pendewasaan cara berfikir serta meningkatan daya nalar terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan perlindungan spesies langka khususnya burung Jalak Bali sesuai dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, pengaruhnya, penegakkan hukumnya di Indonesia serta hambatan oleh pemerintah dalam mengendalikan perdagangan yang terjadi.
(23)
1.7 Landasan Teoritis
Penelitian ilmiah ini berpedoman pada kaidah dan norma hukum internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum internasional adalah ketentuan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.6
Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum kordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Sehingga, berbeda halnya dengan tertib hukum nasional (yang bersifat subordinasi), dalam tertib hukum koordinasi (hukum internasional) tidak terdapat lembaga-lembaga yang bersangkutpaut dengan hukum dan pelaksanaannya dalam hukum internasional tidak terdapat kekuasaan eksekutif, tidak terdapat lembaga legislative, tidak terdapat lembaga kehakiman (yudisial), dan tidak terdapat lembaga kepolisian.7
Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu:
1. Mazhab/Ajaran Hukum Alam
Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa -bangsa. Negara-negara tunduk dan terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antar negara mereka karena hukum internasional itu merupakan bagian
dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “ hukum alam”.
6
(24)
Kontribusi terbesar ajaran mazhab hukum lama bagi hukum internasional bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mahzab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antar bangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.
2. Mazhab/Ajaran Hukum Positif
Ada beberapa mahzab yang termasuk ke dalam kelompok Mahzab atau Ajaran Hukum Positif, yaitu:
a. Mazhab/Teori Kehendak Negara8
Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari ajaran atau mahzab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional.
Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari hukum nasional (c.q hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht).
(25)
b. Mazhab/Teori Kehendak Bersama Negara-negara9
Mazhab ini berusaha untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum internasional itu mengikat bukan karena kehendak masing-maisng negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama masing-masing negara itu dimana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik.
c. Mazhab Wina10
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara (yang kerap juga disebut sebagai aliaran voluntaris) melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist).
Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian
(26)
seterusnya hingga sampai pada puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai hipotessa asal (urpsungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pact sunt servanda.
3. Mazhab Perancis11
Suatu mahzab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum internasional dengan kontruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan kedua mahzab sebelumnya (Mahzab Hukum Alam dan Mahzab Hukum Positif) muncul di Perancis. Karena itu, Mahzab ini dikenal sebagai Mahzab Perancis.
Dalam garis besarnya. Mahzab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor
yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa memiliki harsat untuk hidup bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mahzab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.
(27)
Perbahasan persoalan tempat dan kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidnag hukum, hukum internasional merupakan bagian dari pada hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagian suatu perangkat ketentuan-ketentuan ada asas-asas yang efektif yang benar-benar hidup didalam kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan efektif pula dengan ketentuan-ketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling penting adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masing-masing lingkungan kebangsaan yang dikenal dengan nama hukum nasional.
Di dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua pandangan tentang hukum internasional ini yaitu pandangan yang dinamakanVoluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara. Berdasarkan pandangan ini maka muncul paham dualisme yang melihat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah. Sedangkan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Berdasarkan pandangan tersebut, maka munculah paham monisme yang melihat hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.12
(28)
Disamping itu terdpaat juga Teori Efektifitas Hukum, untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini akan dipergunakan teori efektifitas pelaksanaan hukum dari Soejono Soekanto bahwa efektifitas hukum yang dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) Faktor kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) Faktor petugas/penegakan hukum; (3) Faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) Faktor masyarakat atau Faktor kebudayaan masyarakat. Berikut ini penjelasan dari Soejono Soekanto masing-masing faktor:13
a. Faktor Hukum
Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawatahan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran ini, tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapan sebagai berikut:
a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan (teori
13
(29)
kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.14
Kalau dikaji lebih dalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur diatas, sebab apabila tidak: (1) Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) Apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius contituendum).
Berdasarkan penjelasan diatas, tampak betapa rumitnya persoalan efektifitas hukum di Indonesia. Oleh karena itu suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada empat faktor yang telah disebutkan.
b. Faktor Penegak Hukum
Pengertian dari istilah “penegakan hukum” demikian luas karena
mancakup baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam hal penegakan hukum. Menurut Soeono Soekanto bahwa:
Penegak hukum pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam
(30)
tetapi pula “peace maintenance” kalangan itu mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.15
Oleh karena itu yang dimaksud penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas strata atas, menegah dan bawah. Artinya didalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Didalam hal penegakkan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum menghadapi hal-hal sebagai berikut:
a) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?
b) Sampai batas-batas mana petugas berkenaan memberikan kebijakan?
c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat?
d) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya?16
c. Faktor Sarana/Fasilitas
15
Ibid, h.13.
16
(31)
Fasilitas/sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin ketik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralat-alatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadi kemacetan. Mungkin ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti, (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
d. Faktor Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud ini adalah kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat
(32)
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Adanya asumsi yang menyatakan bahwa apabila semakin besar peran sarana pengendalian sosial selain hukum seperti agama dan adat istiadat, semakin kecil peran hukum, seperti hanya peraturan yang mengatur tentang spesies langka mempunyai peran yang sangat besar terhadap pelanggaran/perdagangan spesies langka. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya didalam segala hal, selama masih ada sarana lain yang ampuh. Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat yang terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Terkait dengan hal tersebut perlu diungkapan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu (1) Penyuluhan hukum yang teratur; (2) Pemberian teladan yang baik dari petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) Pelembagaan yang terencana dan terarah.
e. Faktor Kebudayaan
Masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiil. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup struktur, substansi, dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah atau bentuk dari sistem tersebut. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya
(33)
merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperannan dalam hukum adalah sebagai berikut:
1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman
2) Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan
3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/ inovasitisme
Pasangan nilai ketertiban dan ketentraman sebenarnya sejajar dengan nilai kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Hal ini berarti bahwa didalam hukum publik nilai ketentraman boleh diabaikan, sedangkan didalam hukum perdata nilai ketertiban sama sekali tidak diperhatikan. Pasangan nilai ketertiban dan ketentraman, merupakan pasangannilai yang bersifat universal; mungkin keserasiannya berbeda menurut keadaan masing-masing kebudayaan, dimana pasangan nilai tadi diterapkan.
Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang melibatkan antar negara di dunia saling bertemu, menembus lintas batas negara masing-masing untuk membuat suatu jalur serta jaringan-jaringan di bidang perdagangan yang ada.
Selain itu perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemersatu negara-negara di dunia, disebut demikian karena adanya fakor perbedaan yang menjadi latar belakang dari masing-masing negara. Perbedaan disini dalam arti bahwa setiap negara mempunyai karakteristik berbeda-beda yang menjadi unsur dari suatu negara tersebut, misalnya perbedaan dari segi sumber daya alam, iklim,
(34)
geografi, demografi, struktur ekonomi dan juga struktur sosial. Masing-masing karakteristik tersebut tentunya menyebabkan adanya suatu keunggulan tertentu, serta disisi lain juga memiliki kekurangan.17
Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan internsional oleh sarjana hukum perdagangan internasional, yaitu Profesor Aleksander Goldstajn, diantaranya adalah:
a. Prinsip dasar kebebasan berkontrak
Merupakan prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas, meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati, termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya, serta kebebasan untuk memillih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dan lain.
Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentang dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.
b. PrinsipPact Sunt Servanda
Adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum didunia menghormati prinsip ini.
c. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
17
(35)
Arbitrase dalam perdagangan internasionala adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh karena itulah, prinsip ketiga ini memang relevan. Goldstajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunakaan arbitrase ini dijadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
“moreover to the extent that the settlement of differences is referred to arbritration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other that those applied in courts. Arbitrations appear more ready to interpret rules freely taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy that the enforcement of foreign court decisions is conducive to apreference for arbitrations.”
d. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
Prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasional, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Perusakan
(36)
atau tidak langsung terhadap fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku lingkungan hidup.” Perdagangan hewan juga
merupakan salah satu cara yang dilakukan manusia sebagai bagian dari perusakan lingkungan hidup.
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan “Satwa Liar adalah
semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.”18
Pengertian perjanjian internasional dalam pengertian umum dan luas perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi adalah:19
“Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional.”
Demikian pula dari bagian hukum perjanjian internasional Konvensi Wina 1969 Pasal 2b menyatakan20: Aksesi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu aksesi tidak berlaku surut melainkan baru mengikat sejak penandatanganan aksesi. Indonesia merupakan
18
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
19
I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional, CV Mandar Maju, Bandung, h. 12.
(37)
salah satu negara didunia yang mengaksesi Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah atau CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Aksesi tersebut terwujud dengan membentuk UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melalui Keppres No. 43 Tahun 1978 tentang aksesi CITES.
Mengingat negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum maka untuk terwujudnya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap satwa yang dilindungi perlu dilakukan penegakkan hukum secara tegas dengan membentuk tim terpadu yang terdiri dari instansi terkait. Selain penegakkan hukum secara nasional Indonesia juga bisa berpartisipasi dalam penegakkan hukum secara internasional. Salah satunya sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional.
1.8 Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.21
Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi maka diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
(38)
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi untuk menghasilkan argumentasi, teori, dan konsep baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.22
b. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain:
1. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) 3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)
5. Pendekatan Frasa (words & Pharase Approach) 6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Pendekatan Kasus (The Case Approach), yang dilakukan dengan menelaah kasus-kasus yang secara khusus berkaitan dengan perdagangan spesies langka khususnya burung Jalak
22
(39)
Bali untuk mendapatkan informasi tambahan terkait dengan penelitian. Hal ini dapat dilihat dari kasus ditangkapnya orang Thailand yang bermukim di Indonesia melakukan penyelundupan dua burung Jalak Bali ke Thailand dengan menggunakan pesawatChina Airlinesmelalui bandara Sukarno Hatta Jakarta. Dimana penangkapan ini dilakukan oleh Polisi Daerah Jakarta dan petugas PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) Departemen Kehutanan dengan dibantu oleh Profauna Indonesia. Sampai berita ini diturunkan, pengadilan masih memproses kelanjutan dari kasus tersebut.
2. Pendekatan Fakta (The Fact Approach),yang dilakukan dengan menelaah dan mengkaji fakta-fakta yang terjadi dalam suatu masalah. Serta digunakan untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi dalam peningkatan jumlah perdagangan ilegal spesies langka khususnya burung Jalak Bali. Dimana tidak hanya perdagangan melalui pasar-pasar hewan namun juga sudah merambah dunia maya melalui situs-situs online.
3. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), yang dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.23 Sesuai dengan peraturan yang digunakan diantaranya Undang-Undang No. 32 tahun 1990 tentang Perlindungan dan
(40)
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Keppres No.43 Tahun 1978 Tentang Aksesi CITES, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan/Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, Vienna Convention on the Law of Treaties 1969
c. Bahan Hukum
Suatu penelitian normatif itu sumber bahannya adalah bahan sekunder yaitu bahan yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan hukum, yang merupakan hasil penelitian dan pengolaan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang
(41)
biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi.24 Maka berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini akan dipergunakan sumber bahan hukum sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang otoritas (autoritatif), yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu dan berisfat mengikat.25 Bahan hukum yang digunakan diwujudkan dalam: Konvensi Perdagangan Internasional tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah, perundang-undangan, dan hukum internasional.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.26 Bahan hukum sekunder dalam skripsi ini terdiri dari buku literatur, jurnal hukum, skripsi, dan internet, pendapat para sarjana .
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (kamus bahasa Indonesia, black temporary dictionary), dan ensiklopedia.27
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
24
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembaharuan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,Mandar Maju, Bandung, h. 65.
25
Zainuddin Ali, 2010,Metode Penelitian Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, h.47.
26
(42)
Dalam usulan penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi kepustakaan atau dokumentasi (Documentary Studies). Studi dokumen adalah suatu langkah awal dari setiap penelitian hukum, baik normatif maupun sosiologis.28 Pengumpulan bahan-bahan hukum dalam penulisan skripsi ini diperoleh melalui:
1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan perundang-undangan atau konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur, penelitian kepustakaan, membaca, melihat, mendengarkan maupun, sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum melalui media internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.29
e. Teknik Analisis
Dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang telah diperoleh penulis, teknik pengelolaan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa
28
(43)
adanya.30 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi hukum dan selajutnya diajukan argumentasi. Argumentasi disini dilakukan oleh penulis untuk memberikan penilaian mengenai benar atau salah maupun apa yang seharusnya menurutnya hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dan hal ini tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain.
Teknik lainnya yang penulis gunakan dengan teknik analisis, yaitu pemaparan secara detail dari penjelasan yang didapat pada tahap sebeumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.31
(44)
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG CITES DAN PENGATURAN PERDAGANGAN SATWA LANGKA
1.1 Sejarah Hukum Lingkungan Internasional dan CITES
Segala sesuatu didunia ini erat hubungannya satu dengan lain. Antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan hewan antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan dan bahkan antara manusia dengan benda-benda mati sekalipun. Manusia sebagai bagian dari ekosistem dan juga sebagai pengelola sitem. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan.1
Sehingga kesadaran akan tugas dan kewajiban untuk mengatur adanya keselarasan dan keseimbangan antara keseluruhan komponen ekosistem baik ekosistem alamiah maupun ekosistem buatan. Gerakan perlindungan ekosistem adalah salah satu gerakan yang membebaskan manusia dari ancaman berupa bahaya-bahaya oleh buatannya sendiri. Salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam melindungi lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur perlindungan lingkungan hidup.2
1
Kusnadi Hardjasoemantri, 1995, Hukum Perlindungan Lingkungan, Gadjamada University Press, Yogyakarta, h. 1.
(45)
2.1.1 Sejarah Hukum Lingkugan Internasional
Hukum lingkungan Internasional (Huklin) merupakan bidang baru (new development) dalam Sistem Hukum Internasional (Johnston). Bidang baru ini dianggap dari Hukla Baru dengan nama Hukum Lingkungan Laut Internasional.3
Selain itu Hukum Lingkungan Internasional adalah keseluruhan kaedah, asas-asas, lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan kaedah tersebut dalam kenyataan. Hukum atau keseluruhan kaedah dan asas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan asas yang terkandung didalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara, termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara-negara, diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan internasional.4
Hakikat dan karakter lingkungan hidup membutuhkan sistem hukum yang mampu menyerap sifat khas lingkungan hidup ke dalam fungsi dari setiap komponen sistem ekosistem, mengembangkan daya individual setiap komponen sistem tanpa mengabaikan karakter kolektifnya, sebagai bagian dari suatu keseluruhan sistem, menjaga stabilitas proses sistem sebagai keseluruhan, dan meningkatkan kualitas ekosistem dari derajat yang paling rendah ke derajat yang lebih tinggi, dalam rangka pemeliharaan suatu proses sistem yang berkelanjutan.
3
Daud Silalahi, SH, 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,PT Alumni, Bandung, h. 138.
(46)
Pada prinsipnya bahwa tindakan pengaturan hukum lingkungan internasional sesuai untuk hal-hal berikut:5
a. Persoalan-persoalan pencemaran dan kontaminasi samudera-samudera dan atmosfer, karena hal ini mungkin merupakan objek dari pemanfaatan umum, sebagian lagi karena ketidakmungkinan dalam hal-hal tertentu melokalisir pengaruh-pengaruh dari zat-zat pencemaran dan kontaminasi.
b. Spesies-spesies yang dilindungi dan suaka-suaka alam, dengan alasan bahwa hal ini merupakan warisan bersama umat manusia. Perjanjian-perjanjian internasional mungkin perlu untuk mengawasi ekspor, impor, dan jual-beli spesies-spesies yang terancam punah.
c. Penipisan sumber-sumber daya laut, mengingat ketergantungan manusia terhadap laut sebagai sumber protein.
d. Pemantauan perubahan-perubahan dalam atmosfer bumi, iklim, dan kondisi-kondisi musim.
e. Pemantauan standar-standar internasional terhadap baku mutu lingkungan.
f. Pengawasan timbal balik dan pengendalian atas operasi-operasi industri tertentu di semua negara, dimana operasi-operasi tersebut dapat membahayakan lingkungan, untuk menghilangkan rangsangan-rangsangan guna memperoleh keuntungan kompetitif
5
(47)
dengan mengabaikan akibat-akibat dari proses-proses yang membahayakan lingkungan. Prosedur-prosedur untuk tindakan internasional dalam kasus ini telah diberikan oleh konvensi-konvensi buruh internasional, yang mana salah satu tujuannya untuk menjamin bahwa kompetisi ekonomi antar negara-negara tidak menghalangi realisasi standar-standar yang layak bagi kondisi-kondisi kerja.
Dalam perkembangannya hukum lingkungan internasional, ditinjau dari segi hubungan timbal balik antara hukum dan perkembangan kesadaran lingkungan internasional (international environmental awareness), dapat diklasifikasikan atas tiga tahap:
a. Tahap Pertama
Hukum lingkungan internasional berkembang jauh sebelum kesadaran lingkungan internasional lahir, yaitu sejak munculnya berbagai kasus lingkungan yang melibatkan negara-negara sebagai pihak perkara, seperti dalam Kasus Trail Smailer (1938) dan Kasus Lake Lonux (1975), sementara kesadaran lingkungan internasional baru berkembang pada tahun 1960-an, sejak Rachel Carson menuliskan bukunya yang sangat menyita perhatian dunia,The Silent of Spring (1962).6
b. Tahap Kedua
Tahap ini terjadi bersamaan dengan bangkitnya kesadaran lingkungan internasional. Rachel Carson pada tahun 1962 telah menulis The Silent of
(48)
Spring, sebuah buku yang menggambarkan buruknya akibat kerusakan lingkungan terhadap kehidupan dan berandil besar bagi kebangkitan kesadaran lingkungan hidup internasional dalam kaitan dengan perlindungan lingkungan.7
Kesadaran internasional yang kian meluas mendorong PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup (United Nations Conference on Human Environment), 5 sampai 16 juni 1972, di Stockholm, Swedia dihadiri 113 negara, 21 organ resmi PBB, 16 organisasi antara pemerintah (NGOs) dan 258 organisasi non pemerintah NGOs termasuk LSM.8
Konferensi tersebut menghasilkan:
1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup (United Nation Deklaration on Human Environment), terdiri dari Mukadimah (Preamble) dan 26 asas (Stockholm Declaration);dan
2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi.
c. Tahap Ketiga
Perkembangan hukum lingkungan internasional pada tahap ketiga diwarnai dengan munculnya berbagai ketentuan internasional yang berorientasi kepada perlindungan lingkungan global seperti Konvensi Wina 1985, Protokol Montreal 1987, Konvensi Perubahan Iklam 1992, Konvensi Keragaman Hayati 1992, Konvensi Perlindungan Hutan Tropis
7
(49)
1992, dan berbagai ketentuan lain yang bersifat bilateral maupun multilateral, regional maupun sub-regional.
Menurut Declaration of The United Nations Conference on the Human Enviromentada 26 prinsip tentang perbuatan internasional dan nasional di bidang lingkungan. Di antara prinsip-prinsip itu terdapat tiga prinsip hukum internasional lingkungan, yakni:9
1. Negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber-sumber sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungannya.
2. Negara bertanggungjawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dalam wilayah yuridiksi atau pengawasan tidak menyebabkan kerugian bagi lingkungan negara lain atau lingkungan wilayah di luar batas yuridiksi nasionalnya.
3. Negara berkewajiban untuk bekerja sama mengembangkan lebih lanjut hukum internasional yang mengatur pertanggungjawaban dan kompensasi bagi korban polusi dan kerugian lingkungan lain yang disebabkan oleh kegiatan sejenis pada wilayah di luar yuridiksi nasionalnya.
Sehingga dapat diartikan bahwa Deklarasi Stockholm 1972 merupakan pilar perkembangan Hukum Lingkungan Internasional Modern, artinya semenjak saat itu hukum lingkungan berubah sifatnya dari use-oriented menjadi environtement-oriented. Hukum Lingkungan yang bersifat use-oriented maksudnya produk hukum yang selalu mermberikan hak kepada
(50)
masyarakat internasional untuk mengekploitasi lingkungan dan sumber daya alam tanpa membebani kewajiban untuk menjaga, melindungi, dan melestarikannya.10
Produk hukum yang bersifat environtement-oriented adalah produk hukum yang tidak saja memberi hak kepada manusia untuk memakai tetapi juga membebani manusia dengan suatu kewajiban untuk menjaga, melindungi dan melestarikannya, misalnya Konvensi Hukum Laut 1982, konvensi ini tidak saja memberikan hak untuk mengekploitasi dan mengekplorasi sumber daya kelautan, tetapi juga memberikan kewajiban kepada negara-negara agar menjaga lingkungan laut dari perusakan dan pencemaran dalam hal tersebut, kewajiban menjaga lingkungan ini diatur khusus pada Part XII Konvensi Laut 1982.
Jelas bahwa semua hasil dari Konferensi Stockholm bermanfaat dan berfungsi untuk mengidentifikasi bidang-bidang dimana kaidah-kaidah hukum lingkungan internasional, yang dapat diterima masyarakat internasional, dapat diterapkan dan juga bidang-bidang dimana pembentukan kaidah-kaidah hukum lingkungan harus berhadapan dengan rintangan-rintangan yang tidak dapat diatasi. Sampai taraf tersebut, Konferensi Stockholm memberikan landasan-landasan untuk pembangunan hukum lingkungan internasional.
10
(51)
1.1.2 Sejarah CITES
CITES adalah sebuah rezim perjanjian internasional yang mengatur perdagangan spesies tertentu dari flora dan fauna liar, yakni spesies yang termasuk kategori terancam punah, begitu pula bagian-bagian dari spesiesnya. Konvensi ini didasari adanya kenyataan banyak terjadi perburuan terhadap spesies yang terancam punah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan maraknya perdagangan ilegal yang sifatnya mengeksploitasi flora maupun fauna.
CITES merupakan sebuah jawaban atas dua buah usaha yang dilakukan secara internasional untuk memprotes manejemen kehidupan margasatwa diantara kekuasaan negara-negara kolonial, yaitu Konvensi London11 tahun 1900 yang dirancang untuk memastikan konvensi dari seluruh spesies dan hewan liar di Afrika yang kegunaannya ditujukan untuk manusia, yang kedua adalah konvensi London Tahun 1933 berkenaan dengan preservasi flora dan fauna di masing-masing negaranya.
Kedua perjanjian ini mengandung elemen penting dari sebuah sistem yang mengatur masalah eksploitasi kehidupan satwa liar yang dilakukan tanpa memikirkan kelanjutannya, yakni dilakukan dengan cara-cara pembatasan perburuan atas spesies terancam yang terdapat di dalam anneks, pembatasan atas perdagangan gading-gading gajah yang dilakukan secara ilegal dan pemberian ijin ekspor untuk produk-produk satwa liar tertentu. Pengecualian diberikan untuk koleksi yang bersifat ilmiah, dan atas spesimen yang diperlukan sebelum
11
(52)
perjanjian tersebut berlaku dan mengikat. Dalam Konvensi London tahun 1933, setiap impor atas spesies otoritas dalam teritori darimana spesies itu berasal.
Pembatasan impor dalam konvensi tersebut yang tadinya hanya diberlakukan di Afrika namun kemudian diperluas oleh Inggris terhadap daerah koloniah lainnya, yakni India sedangkan Belanda memberlakukannya kepada Indonesia. Namun sayangnya perjanjian ini gagal membentuk sebuah institusi pembuat dan pengambil keputusan dan sekretariat. Ketentuan mengenai kontrol ekspor dan impor atas spesies terancam kemudian dicontoh dalam dua konvensi regional yaitu The Washington Convention on Nature Protection and Wild Life Preservation in the Western Hemisphere, dan The 1968 Algiers African Convention on the Conservation of Nature and Natural Resources.12
Satu lagi konvensi internasional yang menjadi dasar bagi pembentukan CITES adalah konvensi internasional yang mengatur masalah perburuan dan penangkapan paus, yang terbentuk pada tahun 1946. Selama tahun 1950-an, pemerhati masalah konservasi yang dipimpin oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) mulai khawatir bahwa terjadi peningkatan perdagangan internasional satwa dan bagian dari tubuhnya akan mengancam populasi dan berkelangsungan spesies tertentu, dengan mengeluarkan rancangan-rancangan resolusi yang menyatakan untuk adanya pembatasan impor dari spesies-spesies tertentu. Spesies-spesies utama yang menjadi perhatian adalah macan tutul yang kulitnya diperdagangkan, primata yang dijadikan bahan eksperimen medis, dan buaya yang kulitnya diperdagangkan.
12
Peter H. Sand, “Whither CITES? The Evolution of a Treaty Regime in the Border Land of Trade and Environment” URL: http://www.etil.org/journal/vo118/No1/art2-03.html. Diakses
(53)
Tahun 1960-an muncul dorongan internasional untuk lebih memperhatikan masalah perdagangan satwa ini dengan mengeluarkan seruan yang mengatakan bahwa perdagangan internasional satwa adalah perdagangan ilegal. IUCN yang pertama mengatakan perlu diadakan resolusi untuk pembentukan suatu konvensi internasional untuk meregulasi kegiatan ekspor, transit, dan impor dari spesies-spesies dan bagian tubuhnya yang langka dan terancam akan kepunahan dalam sidang majelisnya pada tahun 1963 di Nairobi, Kenya. Komite Legislasi dan Administrasi IUCN yang terdiri dari 125 negara mulai melakukan persiapan pertama untuk merancang konvensi pada tahun 1964 bersama dengan PBB dan GATT. Keberhasilan IUCN ditunjukan dengan adanya Animal Restriction of Importation Act di Inggris. Undang-undang ini mempunyai tiga objektif utama, yaitu:13
1. Untuk membantu memelihara binatang dari bahaya kepunahan dengan mengendalikan impor;
2. Untuk memberi contoh kepada negara lain; dan
3. Untuk mendukung undang-undang yang melindungi negara asal dengan pemindahan pasar untuk penangkapan ilegal/penyelundupan binatang.
Ditahun sama juga Majelis Umum PBB meminta untuk membentuk International Convention on Regulation of Export, Transit, and Import of Rase or Threatened Wildlife Species or Their Skins and Thophies. Sehingga dirancang, dipersiapkan dan disirkulasikan setelah tahun 1967 oleh IUCN Enviromental Law
(54)
Center di Bonn, Jerman Barat. Revisi rancangan tersebut dilakukan pada tahun 1961 dan 1971 berdasarkan pendapat-pendapat yang diberikan oleh 31 pemerintah negara-negara berorganisasi non pemerintah (NGO) dimana peran para NGO dalam pembentukan CITES lebih besar dibanding negara. Rancangan selanjutnya adalah untuk membicarakan masalah dalam perbedaan pendekatan nasional yang diambil oleh setiap negara untuk mengurangi perdagangan dan eksploitasi satwa liar, juga perbedaan pandangan mengenai konsep “endangered spesies”. Sehingga akhirnya disirkulasikan lagi rancangan baru ke negara-negara pada Agustus 1969 dan Maret 1971. Akan tetapi banyak negara yang tidak puas dengan rancangan Maret 1971 termasuk yang sudah banyak terlibat dalam proses pembuatan rancangan. Mereka percaya bahwa rancangan rakyat sangat lemah untuk menghasilkan tujuan konvensi spesies, adanya pemikiran bahwa rancangan ini lebih mencerminkan pandangan dari negara-negara pengimpor satwa dari Eropa, khususnya Eropa Barat.
Konferensi Stockholm 1972 merupakan titik balik dari perkembangan pembentukan CITES. Konferensi Stockholm juga menghasilkan terbentuknya United Nations Environment Programme (UNEP) yang kemudian mendorong pembentukan CITES. Berdasarkan tekanan dari konferensi tersebut dengan didasari premis bahwa perdagangan satwa harus dikontrol atau dilarang berdasarkan daftar spesies terancam yang bersifat global, IUCN meresponnya dalamGeneral Assemblymembentuk CITES.14
14
(55)
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah adalah perjanjian internasional antar negara yang disusun berdasarkan resolusi disidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. CITES dibentuk pada tanggal 3 Maret 1973, pada pertemuan para wakil 80 negara di Washington, D.C dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1975, yang berkantor di Jenewa, Swiss dengan menyediakan dokumen-dokumen asli dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol.15
Konvensi ini bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Jika diuraikan, maka didapati ada 4 hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu:16
a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
b. Meningktnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi;
d. Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over ekspoitasi melalui kontrol perdagangan internasional.
15
Anonim, “CITES” URL: http://www.CITES.org/eng/disc/structure2.shtml. Diakses pada tanggal 14 November 2015 22.36 wita.
16
(56)
Jika dilihat dari 80 negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Belgia, Kosta Rika, Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia, Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand, Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela.17
Negara-negara yang menandatangani konvensi CITES disebut sebagai Parties dengan meratifikasi, menerima, dan menerapkan Konvensi CITES. Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan menjadi Parties. Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat menjadi Parties dengan acceding konvensi. Pada tanggal 21 Januari 2009, 175 negara telah bergabung menjadi anggota Kovensi dimana Bosnia dan Herzegovina sebagai negara terakhir yang bergabung. Sebanyak 18 negara anggota PBB tidak menjadi anggota CITES, yaitu Andorra, Angola, Bahrain, East Timor, Haiti, Irak, Kiribati, Lebanon, Maldives, Pulau Marshall, Micronesia, Nauru, Korea Utara, Sudan Selatan, Tajikistan, Tonga, Turkmenistan, dan Tuvalu. Konvensi CITES tidak berlaku di Pulau Faroe.
2.2 Perjanjian Internasional Terkait CITES
Perjanjian internasional dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah: kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud
17
(57)
untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.18
Beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut suatu perjanjian internasional antara lain: traktat yang merupakan pengambil alihan dari istilah tractaatdalam bahasa Belanda atau istilah treatydalam bahasa Inggris, Konvensi yang berasal dari kata convention dalam bahasa Inggris, deklarasi yang berasal dari kata declaration, statuta yang berasal dari kata statute, pakta yang berasal dari katapact, protokol yang berasal dari kata protocol,piagam yang merupakan terjemahan dari kata charter, persetujuan yang merupakan terjemahan dari kata agreement, dan istilah perjanjian yang merupakan istilah generik untuk menyebut segala macam dan bentuk perjanjian.19 Proses perumusan perjanjian internasional dilakukan dengan penunjukkan masing-masing pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk melakukan perundingan.
Setelah melakukan proses perundingan antara wakil-wakil para pihak, maka tahap kedua yaitu penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian dimana hal ini menunjukan bahwa para pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan atas naskah perjanjian. Dalam Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa: “The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by the vote of two thirds of the States present and voting,
unless by the same majority they shall decide to apply a different rule”20. Sesuai
18
I Wayan Parthiana,Op.cit, h. 12.
(58)
dengan hal tersebut ketentuan pengadopsian naskah perjanjian CITES21 dilakukan melalui konferensi internasional dengan persetujuan dari dua per tiga negara-negara yang hadir dan memberikan suaranya, berbagai usulan amandemen yang dari semua peserta disampaikan ke sekretariat sekurang-kurangnya 90 hari sebelum rapat, amandemen memiliki kekuatan bagi anggota ketika telah disetujui selama 60 hari setelah dua per tiga peserta setuju mengamandemen instrumen ini.
Tahap lanjutan dari penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian adalah pengontentikan atau pengesahan yang akan meningkatkan status dari naskah perjanjian sehingga naskah tersebut menjadi final dan definitif.
“The text of a treaty is established as authentic and definitive:
a) by such procedure as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or”22
dalam Convention on International Trade in Engdangered of Wild Fauna and Flora (CITES), instrumen perjanjian internasional tersebut terdapat didalam Article XX Ratification, acception, approval dan Article XXI Accesion. Bahwa negara peserta diberikan kebebasan memlilih cara apa yang akan dilakukan untuk mengesahkan CITES ini. Article XXI dijelaskan konvensi memberikan jangka waktu yang tidak terbatas untuk negara yang melakukan pengesahan dengan cara aksesi.
Setelah secara resmi diterima, naskah yang otentik perjanjian tersebut belum mengikat para pihak, maka untuk terikat pada perjanjian suatu negara perlu menyatakan persetujuannya untuk terikat ataupun menolak secara tegas untuk
21
Article XVIIConvention on International Trade in Endangered of Spesies Wild Fauna and Flora(CITES)
(59)
tidak terikat. Karena persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada suatu perjanjian adalah manifestasi dari kedaulatan negara. Sebagai negara berdaulat, dia tidak bisa dipaksa oleh kekuatan apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional.
Dijelaskan dalam Konvensi Wina 1969 bahwa:23
“The consent of a state to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when:
a) the treaty provides that signature shall have that effect;
b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that signature shoukd have that effect; or
c) the intention of the States to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative or was expressed during the
negotiation.”
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagaipartiesdalam merumuskan CITES yang merupakan perjanjian internasional dilakukan dengan cara signature (penandatanganan), untuk mengikat anggotanya. Hal ini diatur didalam Article XIX CITES bahwa: “The present Convention shall be open for signature at Washington until 30th April 1973 and thereafter at Berne until 31st December
1974”24. Oleh Indonesia CITES ditandatangani di Washington pada bulan Maret 1973.25
Setelah penandatanganan, persetujuan untuk terikat pada perjanjian dinyatakan salah satunya dengan aksesi, dalam Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa:26
“The consent of a State to be bound by treaty is expressed by accesion when:
23
Article 12 point 1Konvensi Wina 1969
24
Article XIXConvention on International Trade in Endangered of Spesies Wild Fauna and Flora(CITES)
(60)
a) the treaty provides that such consent may be expressed by that State by means of accession;
b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession; or c) all the parties have subsequently agreed that such consent may be
expressed by that State by means of accession.”
Aksesi atau pengesahan perjanjian internasional dalam hukum nasional diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 memberikan acuan bahwa Pengesahan Perjanjian Internasional dengan undang-undang bila tentang:27
1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; 2) Perubahan wilayah/penetapan batas wilayah negara RI;
3) Kedaulatan/hak berdaulat negara; 4) HAM & lingkungan hidup; 5) Pembentukan kaidah hukum baru; 6) Pinjaman/ hibah luar negeri.
Terhadap Pasal 10 ini Undang-Undang No.24 Tahun 2000 yang berkaitan dengan Keppres No.43 Tahun 1978 tentang Aksesi CITES menjelaskan bahwa Pengesahan Perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda
(61)
dan kerja sama perlindungan penanaman modal serta pengesahan yang bersifat teknis.28
Adapun pengaturan perlindungan satwa langka di tingkat internasional yang berkaitan dengan CITES, salah satunya pengaturan hukum lunak di tingkat internasional ialah semua produk hukum internasional yang tidak mempunyai kekuatan mengikat (binding power) tapi digunakan sebagai dasar pembentukan hukum masa yang akan datang.29Yang menjadi hukum lunak tersebut antara lain:
a. Deklarasi Stockholm 1972
Deklarasi ini merupakan sejarah yang penting dalam perkembangan hukum lingkungan, sehingga perkembangan lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat, baik bertaraf nasional, regional, maupun internasional. Dengan dikeluarkannya konferensi tentang penanganan lingkungan hidup, ini berhasil melahirkan sebuah konsep atau pola pembangunan yang disebut dengan pola pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)dengan wawasan lingkungan yaitu suatu konsep yang mengatur pola pembangunan dengan memperhatikan lingkungan supaya kelestarian lingkungan tersebut dapat terus terjaga sehingga dapat dinikmati oleh generasi yang selanjutnya. Dalam suatu resolusi khusus, konferensi menetapkan tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia”
28
Ibid,h. 38
(1)
4. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Pasal 3 berbunyi: “Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan dalam bentuk:
a. Pengkajian, penelitian, dan pengembangan; b. Penangkaran;
c. Perburuan; d. Perdagangan; e. Peragaan; f. Pertukaran;
g. Budidaya tanaman obat-obatan; dan h. Pemeliharaan untuk kesenangan.
Pasal 18 ayat (1) berbunyi “tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwaliar yang tidak dilindungi.”
Ayat (2) berbunyi “tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari:
a. Hasil penangkaran;
b. Pengambilan atau penangkaran dari alam.”
Pasal 19 ayat (1) berbunyi “perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut Hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi Menteri.”48
5. Keputusan Presiden No. 43 tahun 1973tentang Pengesahan CITES
48
Pasal 3, 18 ayat (1) dan (2), serta Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
(2)
6. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005, melalui peraturan tersebut memberikan tata cara atau prosedur49 untuk dapat meminimal perdagangan yang terjadi terhadap tumbuhan dan satwa liar. 7. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007,
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setiap daerah diberikan tanggungjwab oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai pelaksana50 untuk melakukan penyidikan dibidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati.
Peraturan tersebutlah menjadi hukum positif di Indonesia sebagai dasar dalam penegakan perlindungan terhadap satwa-satwa yang dilindungi.
2.4.2 Ketentuan CITES Tentang Perdagangan Satwa Langka
Indonesia adalah negara kesatuan yang berdaulat dan akan selalu menjaga komitmen berbagai kesepakatan terhadap perjanjian hukum internasional, salah satunya dalam bidang perdagangan tumbuhan dan satwa liar. Konvensi pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan adalah CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), dimana CITES adalah konvensi mengenai perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan yang terancam punah. Dengan tujuan bahwa untuk memastikan perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan liar (atau bagian
49
Pasal 76 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar
50
Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.
(3)
dan produk olahannya yakni produk yang terbuat dari bagiannya) tidak mengancam kelestariannya.51
Mekanisme penggolongan perlindungan berdasarkan Appendiks, dimana satwa dan tumbuhan yang dianggap harus dilindungi dan diatur ke dalam tiga jenis Appendiks:52
1. Appendiks I
Appendiks I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial. Jumlahnya sekitar 800 spesies yang terancam punah apabila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendiks I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misal untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Appendiks II dengan beberapan persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non detriment finding. Berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Appendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak.
51
Lampiran Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang Aksesi CITES. 52
Haryo Limanseto, 2015, “Jaga Alam, Lindungi Flora dan Fauna Indonesia” Majalah Warta Bea dan Cukai Nomor 01331/SK/DIRDJEN-PG/SIT/1972, 20 Juni 1970, h 6-7.
(4)
Tumbuhan dan satwa liar yang termasuk ke dalam Appendiks I CITES di Indonesia ialah: Mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9 jenis, Pisces 2 jenis, total 63 jenis satwa dan 23 tumbuhan. Jenis aves misalnya Anis Bentet Sangihe (Colluricincla sanghirensis), Celepuk Siau (Otus siaoensis), Cikalang Christmas (Fregata andrewsi),Dara Laut China (Sterna bernsteini), Gagak Banggai (Corvus unicolor),Ibis Karau (Pseudibis davisoni),Kacamata Sangihe (Zosterops nehrkorni), Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea), Kehicap Boano (Monarcha boanensis), Merpati Hutan Perak (Columba argentina), Perkici Buru (Charmosyna toxopei), Punai Timor (Treron psittaceus), Seriwang Sangihen (Eutrichomyias rowleyi), Sikatan Aceh (Cyornis ruckii), Tokhtor Sumatera (Carpococcy viridis), Maleo Sekanwor (Macrocephalon maleo), Curik Balik (Leucopsar rotschildi).
Ada beberapa spesies yang masuk ke dalam Appendiks I namun jika spesies tersebut berasal dari negara tertentu akan menjadi Appendiks II, Appendix III atau bahkan Non Appendix. Misalnya buaya muara (Crocodylus porosus)masuk dalam Appendiks I kecuali populasi dari Indonesia, Australia dan Papua New Guinea termasuk dalam Appendiks II.
2. Appendiks II
Appendiks II memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahannya, tetapi mungkin akan terancam apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Jumlahnya sekitar 32.500 spesies. Selain itu, Appendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Appendiks I. Otoritas pengelola dari
(5)
negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.
Spesies di Indonesia yang termasuk dalam Appendiks II yaitu Mamalia 96 jenis, Aves 239 jenis, Reptil 27 jenis, Insekta 26 jenis, Bivalvia 7 jenis, Anthozoa 152 jenis, total 546 jenis satwa dan 1002 jenis tumbuhan (dan beberapa jenis yang termasuk dalam CoP 13). Satwa jenis aves yang masuk dalam Appendiks, misalnya: Beo Nias/Tiong emas (Gracula religiosa), Angsa Batu Christmas (Papasula abbotti), Bangau Storm (Ciconia stormi), Berkik Gunung Maluku (Scolopax rochussenii), Burung Madu Sangihe (Aethopyga duyvenbodei), Celepuk Flores (Otus alfredi), Celepuk Biak (Otus beccarii), Delimukan Wetar (Gallicolumba hoedtti), Gagak Flores (Corvus florensis), Jalak Putih (Sturnus melanopterus), Kasturi Ternate (Lorius garrulus), Kehicap Biak (Monarcha brehmii), Kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), Kehicap Tanah Jampea (Monarcha everetti), Kuau Kerdil Kalimantan (Polyplectron schleiermacheri), Kowak Jepang (Gorsachius goisagi), Luntur Gunung (Apalharpactes reinwardtii), Mandar Talaud (Gymnocrex talaudensis), Nuri Talaud (Eos histrio), Opior Buru (Madanga ruficollis), Pergam Timor (Ducula cineracea), Punai Timor (Treron psittaceus), Trinil Nordmann (Tringa guttifer), Sikatan Matinan (Cyornis sanfordi), Sikatan Lompobattang (Ficedula bonthaina), Serindit Flores (Loriculus flosculus), Serindit Sangihe (Loriculus catamene).
Dalam daftar kouta ekspor TSL alam Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA, jenis satwa yang masuk dalam Appendiks II dan tidak
(6)
dilindungi undang-undang yang diperbolehkan untuk diekspor sebanyak 104 spesies. Beberapa jenis, walaupun tidak dilindungi namun tidak ada kouta tangkap dari alam untuk ekspor karena sedang diusulkan untuk dilindungi maupun karena populasinya sudah semakin menurun.
3. Appendiks III
Appendiks III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam Appendiks II, bahkan Appendiks I. Jumlah yang masuk ke dalam Appendiks II sekitas 300 spesies. Spesies yang dimasukkan ke dalam Appendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam salah satu anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin(COO). Di Indonesia tidak ada spesies yang masuk ke dalam Appendiks III ini.