MANTRA MENUMBAI PADA MASYARAKAT MELAYU ROKAN :Kajian Struktur Teks,Konteks Sebagai Bahan Ajar Di SMA.

(1)

MANTRA MENUMBAI LEBAH PADA MASYARAKAT MELAYU ROKAN

(KAJIAN STRUKTUR TEKS, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI, DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMA)

TESIS

diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

MASPURI NIM 1103975

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

Pembimbing I

Prof. Dr. H. Iskandarwassid, M.Pd

Pembimbing II

Dr. Dadang Anshori, M.Si. NIP 197204031999031002

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Dr. Sumiyadi, M.Hum. NIP 196603201991031004


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Mantra Menumbai Lebah pada Masyarakat Melayu Rokan (Kajian Struktur, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Ajar di SMA)” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Mei 2013 Yang membuat pernyataan,


(4)

ABSTRAK

Judul tesis ini adalah “Mantra dalam Upacara Menumbai Lebah Pada Masyarakat Melayu Rokan: Kajian Struktur Teks, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Ajar di SMA”. Pertanyaan-pertanyaan

penelitian pada penelitian ini adalah bagaimana proses upacara menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan; bagaimana struktur teks mantra menumbai lebah masyarakat Melayu Rokan; bagaimana konteks penuturan mantra menumbai lebah masyarakat Melayu Rokan; apa fungsi mantra menumbai lebah bagi masyarakat Melayu Rokan; dan bagaimana memanfaatkan mantra dalam upacara menumbai lebah sebagai bahan ajar bahasa dan sastra di SMA. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan segala pertanyan penelitian tersebut. Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa mantra memiliki struktur bunyi yang beraturan, asonansi dan aliterasi, irama, makna, konteks penuturan, dan fungsi bagi penuturnya.


(5)

ABSTRACT

The title of this thesis is "Mantra in ceremony Menumbai Bees In Rokan Malay Society: Study Structural Text, Context, Function, and Utilization of Instructional Material for Senior High School ". Research questions in this research is how the ceremony at menumbai bee Rokan Malay community, how the structure of the text spell menumbai bee Rokan Malay community, how the context of the narrative spell menumbai bee Rokan Malay society: what the functions of spell menumbai bee Rokan Malay for the Malay community, and how utilizing the ceremony menumbai bee spell as language teaching materials and literature in senior high school. The purpose of this study is to describe all the research the question above. The result of this research discribed that spell has a sound structure is irregular, assonance and alliteration, rhythm, meaning, narrative context, and functions for the speakers.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

PERNYATAAN ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan Masalah ... 6

C. Pertanyaan-pertanyaan Penelitian ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Definisi Operasional ... 8

BAB II KAJIAN TEORETIS MANTRA DALAM MENUMBAI LEBAH A. Kebudayaan ... 10

1. Pengertian Kebudayaan ... 11

2. Unsur-unsur Kebudayaan ... 12

3. Wujud Kebudayaan ... 12

B. Foklor ... 13

1. Ciri-ciri Foklor ... 14

2. Bentuk-bentuk Foklor ... 16

C. Sastra Lisan ... 17

1. Pengertian Sastra Lisan ... 17

2. Ciri-ciri Sastra Lisan ... 18

3. Fungsi Sastra Lisan ... 19

D. Upacara ... 20

E. Mantra ... 22

1. Jenis-jenis Mantra ... 23

2. Ciri-ciri Mantra ... 24

3. Mantra Bagian Dari Puisi Lama ... 25

F. Struktur Teks ... 26

1. Bunyi ... 28

a. Rima ... 29

b. Asonansi dan Aliterasi ... 30

c. Irama ... 31

2. Kata ... 32

a. Makna Denotatif dan Konotatif ... 32

b. Pilihan Kata (Diksi)... 34

c. Gaya Bahasa ... 35

G. Ko-Teks ... 38

H. Konteks Penuturan ... 39


(7)

J. Upaya Pelestarian Mantra Dalam Upacara Menumbai Lebah ... 43

1. Dasar Pemikiran ... 43

2. Alternatif Upaya Pelestarian ... 44

3. Pemilihan Bahan Ajar Berdasarkan Latar Belakang Budaya ... 45

4. Bahan Ajar ... 46

a.Tujuan Pembuatan Bahan Ajar ... 47

b.Bentuk dan Jenis Bahan Ajar ... 49

c.Langkah-langkah Pembuatan Ajar ... 49

d.Handout ... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian... 55

B. Lokasi Penelitian ... 57

1. Lingkungan Budaya Penelitian ... 59

a. Alam Fisik ... 59

b. Alam Hayati ... 60

2. Kondisi Masyarakat ... 61

3. Unsur-unsur Budaya... 62

4. Adat Monografi Rokan Hulu ... 64

C. Data Penelitian ... 70

1. Sumber Data ... 70

2. Data ... 70

D. Teknik Pengumpulan Data ... 72

E. Teknik Analisis Data ... 74

F. Pedoman Analisis ... 75

BAB IV PROSES UPACARA MENUMBAI LEBAH, STRUKTUR TEKS, KONTEKS PENUTURAN DAN FUNGSI MANTRA DALAM UPACARA MENUMBAI LEBAH A. Deskripsi Data ... 76

1. Menumbai Lebah ... 77

a. Waktu ... 78

b. Pelaku ... 78

c. Alat ... 79

d. Pembagian Madu ... 80

e. Pewarisan ... 81

f. Proses Upacara Menumbai Lebah ... 81

B. Analisis Data ... 86

1. Lokasi Penelitian ... 86

2. Unsur-unsur Kebudayaan ... 91

3. Analisis Perihal Menumbai Lebah ... 82

a. Waktu ... 82

b. Pelaku ... 84

c. Alat ... 85

d. Pembagian Madu ... 86


(8)

4. Proses Upacara Menumbai Lebah ... 87

5. Analisis Struktur Teks ... 98

a. Analisis Struktur Teks MMl-1 ... 98

1) Rima ... 98

2) Asonansi dan Aliterasi ... 99

3) Irama ... 101

4) Makna Denotasi dan Konotasi ... 102

5) Gaya Bahasa ... 104

a) Diksi ... 104

b) Majas ... 105

b. Analisis Struktur Teks MML-2 ... 106

1) Rima ... 106

2) Asonansi dan Aliterasi ... 107

3) Irama ... 109

4) Makna Denotasi dan Konotasi ... 111

5) Gaya Bahasa ... 114

a) Diksi ... 114

b) Majas ... 115

c. Analisis Struktur Teks MML-3 ... 116

1) Rima ... 116

2) Asonansi dan Aliterasi ... 120

3) Irama ... 125

4) Makna Denotasi dan Aliterasi ... 128

5) Gaya Bahasa ... 138

a) Diksi ... 138

b) Majas ... 139

d. Analisis Struktur Teks MML-4 ... 141

1) Rima ... 141

2) Asonansi dan Aliterasi ... 143

3) Irama ... 144

4) Makna Denotasi da Konotasi ... 146

5) Gaya Bahasa ... 148

a) Diksi ... 148

b) Majas ... 149

e. Analisis Struktur Teks MML-5 ... 151

1) Rima ... 151

2) Asonansi dan Aliterasi ... 151

3) Irama ... 152

4) Makna Denotasi dan Konotasi ... 153

5) Gaya Bahasa ... 154

a) Diksi ... 154

b) Majas ... 155

6. Analisis Konteks Penuturan ... 155

7. Analisis Fungsi ... 161

C. Pembahasan Hasil Analisis Data ... 168


(9)

2. Struktur Teks ... 169

3. Konteks Penuturan ... 172

4. Fungsi ... 173

BAB V PEMANFAATAN MANTRA DALAM UPACARA MENUMBAI LEBAH SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMA A. Upaya Pelestarian Dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah di Sekolah ... 176

B. Dampak yang Diharapkan ... 177

C. Mantra Sebagai Bahan Ajar di SMA ... 178

1. Analisis Kurikulum ... 178

2. Analisis Sumber Bahan Ajar ... 179

3. Peta Bahan Ajar... 180

4. Handout Materi Mantra dalam Upacara Menumbai Lebah ... 181

5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 184

BAB VI PENUTUP A. Simpulan ... 190

1. Proses Pelaksanaan Upacara Menumbai Lebah ... 190

2. Struktur Mantra Upacara Menumbai Lebah ... 191

3. Konteks Penuturan Mantra Dalam Upacara Menumbai Lebah 192

4. Fungsi Mantra Dalam Upacara Menumbai Lebah ... 192

5. Pemanfaatan Mantra Menumbai Lebah Sebagai Bahan Ajar Di SMA ... 193

B. Saran ... 194

DAFTAR PUSTAKA ... 196 LAMPIRAN


(10)

BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini berisikan latar belakang penelitian, batasan masalah penelitian, pertanyaan-pertanyaan penelitian atau rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian (manfaat teoretis dan praktis), dan defenisi operasional penelitian.

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Perubahan zaman yang demikian berkembang mengubah segala sendi kehidupan masyarakat. Orientasi masyarakat saat ini lebih pada nilai finansial, segala sesuatu selalu diukur dengan materi dan mengetepikan berbagai norma serta budaya lokal. Selain itu, zaman globalisasi berdampak negatif pada kehidupan di tengah masyarakat dengan mengedepankan perbedaan suku, agama, dan strata sosial. Pada akhirnya perbedaan tersebut menjadi jurang pemisah yang berdampak pada konflik suku, agama, dan ras (SARA).

Ancaman globalisasi akan terus merambah ke berbagai hal, tidak hanya mengancam segi ekonomi masyarakat akibat berbondong-bondongnya investor menanamkan modal ke negeri ini karena mereka melihat demikian subur untuk memperkaya diri, tetapi juga upah buruh di Indonesia yang sangat murah menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi investor asing. Tidak berakhir sampai di situ, budaya lokal yang menjadi jantung dan nadi kehidupan bermasyarakat pun tidak luput dari masalah tersebut. Budaya yang hidup dan bergantung pada alam seperti air, tanah, dan hutan keberlansungannya sekarang sudah terancam akibat keserakahan manusia pada zaman ini.

Apabila tempat keberlangsungan budaya terusik, budaya tersebut tidak akan bertahan di tengah komunitasnya, dan tidak mempungkiri bahwa budaya tersebut akan mengalami kepunahan. Hal ini diungkapkan Al-Azhar (2009:15) bahwa keberlangsungan budaya “sarang tradisi” memang tidak dapat terlepas dari lingkungan alamiahnya. Apabila lingkungan alamiahnya terusik,


(11)

2

keberlangsungannya pun akan terganggu, sehingga ekspresi-ekspresi kebudayaan pun akan mati dengan sendirinya.

Problematik ini merambat hampir seluruh wilayah di negeri ini, mulai dari perkotaan hingga ke polosok desa, dan salah satu contoh adalah kebudayaan di Riau. Riau merupakan daerah yang termasuk dalam ruang lingkup semenanjung Melayu yang terkenal dengan khazanah budaya lokal semenjak dahulu, serta banyak seniman dan pujangga yang melahirkan karya berkualitas tinggi terlahir di sana. Kebudayaan lokal tersebut menjadi sebuah kebanggaan bagi tanah Melayu, seperti menumbai, bokoba, rabab, nyanyian panjang, moambiak onau, dan masih banyak lain. Demikian juga halnya dengan seniman dan karya sastra yang terlahir dari tanah Melayu seperti Raja Ali Haji dengan karya Gurindam Dua Belas, Tennas dengan karya Tunjuk Ajar Melayu, dan lain sebagainya. Selain itu karya sastra khas Riau seperti, syair, pantun, dan talibun, sekaligus menjadi ciri khas masyarakat Melayu bagi masyarakat daerah lain.

Namun, yang mencemaskan adalah Riau sekarang tidak lagi seperti dahulu yang dapat dibanggakan. Pada saat ini sangat jelas terlihat perubahan sejak masuknya sistem ekonomi kapitalis serta erosi budaya asing. Eksplorasi dan eksploitasi alam yang membabi buta membawa dampak buruk pada lingkungan alamiah tempat budaya bergantung, pengundulan hutan, pembangunan pabrik-pabrik, pencemaran air dan udara sehingga susah untuk mencari air bersih, dan imigran yang kian hari semakin melonjak angkanya untuk mengeruk hasil alam semakin mempersempit ruang untuk budaya itu bertahan. Hal lain yang tampak adalah perubahan pola pikir masyarakat mulai menganaktirikan budaya lokal dan menganut budaya barat yang sudah barang tentu tidak sesuai dengan karakter bangsa ini. Tempat ibadah yang seharusnya diramaikan dan menjadi pilar bagi masyarakat Melayu sekarang sudah mulai sunyi akibat terlena oleh kecanggihan teknologi seperti siaran TV, cara berpakaian orang Melayu yang tertutup sekarang sudah mulai seperti orang yang miskin pakaian, acara-acara adat seperti upacara-upacara, berpantun, bokoba sudah mulai tersisih karena sudah dianggap kuno. Jadi erosi budaya tidak lagi sekadar mengancam hal yang konkret tetapi


(12)

sudah menjamur kepada pola pikir dan cara pandang masyarakat itu sendiri, dan ini adalah akibat masyarakat sudah kurang memaknai budaya lokal dengan baik.

Jika khazanah budaya lokal seperti tradisi lisan sudah mulai menghilang dari peredaran, maka nilai, ajaran, dan petuah akan pergi bersamanya niscaya krisis moral dan akhlak akan terjadi. Budaya lokal seperti tradisi lisan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat komunitasnya karena mengandung nilai-nilai luhur. Hal senada diungkapkan Sibarani (2012:2) bahwa tradisi budaya atau tradisi lisan masa lalu mengandung nilai dan norma yang dapat dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak memperkuat identitas dan karakter mereka dalam menghadapi masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan (way of life) pedoman dalam kehidupan. Selanjutnya Sudjiman (1995:15) mengungkapkan bahwa tradisi lisan banyak sifatnya mendidik bimbingan moral, keteladanan, kearifan hidup yaitu hidup bermasyarakat dan beragama. Selain itu, tradisi lisan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat sebagai media pendidikan dan media hiburan (Al-Azhar, 2009:15). Budaya seperti tradisi lisan tidak hanya dapat digali nilainya sebagai pembentukan karakter, tetapi tradisi lisan juga sebagai pelipur lara dan perisai jiwa ketika dalam keletihan bagi masyarakat komunitasnya.

Mengingat demikian besar manfaat tradisi lisan bagi masyarakat, perlu kiranya kebudayaan atau tradisi lisan untuk dilestarikan sebagai bentuk penyelamatan budaya masa lalu, pedoman hidup masa sekarang dan persiapan pada masa yang mendatang. Berkenaan dengan pelestarian tradisi lisan Sibarani (2012:11) mengatakan bahwa tradisi lisan tidak hanya kelisanan yang membutuhkan tuturan seperti pribahasa, dongeng, legenda, mantra, dan pantun, tetapi juga bagaimana kelisanan itu diwariskan secara epistemologis, untuk apa diwariskan secara aksiologis, siapa yang mewariskan, kepada siapa diwariskan, dan segala hal yang berhubungan dengan konteks kelisanan.

Salah satu budaya atau terdisi lisan di tanah Melayu yang membutuhkan perhatian dan pemertahanan dari keganasan zaman globasisi dan sistem ekonomi kapitalis adalah tradisi menumbai lebah. Hutan (kepungan sialang) yang tempat keberlangsungan budaya menumbai lebah dialihfungsikan menjadi lahan


(13)

4

perkebunan sawit, kemudian ditambah lagi pembajakan kayu yang membabi buta sehingga mempersempit keberlangsungan tradisi menumbai tersebut. Tradisi menumbai lebah merupakan sebuah tradisi masyarakat Melayu yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Menumbai lebah itu sendiri adalah mengambil madu lebah yang bersarang pada pohon yang bernama sialang.

Tradisi menumbai lebah tersebar di berbagai daerah di Riau, seperti Siak, Kampar, Pelalawan, dan Rokan Hulu. Khusus untuk daerah Rokan Hulu tradisi menumbai lebah lebih banyak dijumpai di kecamatan Rokan IV Koto terutama di desa Tandikat. Bagi masyarakat setempat budaya tersebut sudah tidak asing lagi karena sudah berlangsung sejak nenek moyang terdahulu. Menumbai lebah biasanya dilakukan pada malam gelap dan tidak dibenarkan pada bulan terang atau di siang hari, karena akan berakibat buruk pada penumbai dan masyarakat sekitar. Orang yang melakukan menumbai lebah disebut “pawang“ oleh masyarakat Melayu Rokan, biasanya mereka adalah orang yang sudah profesional dalam menumbai. Pohon tempat lebah bersarang disebut pohon “sialang”, pohon tersebut sengaja dibiarkan tumbuh dan dilarang untuk ditebang oleh pemuka adat. Sistem kepemilikan pohon silang bersifat milik pribadi atau milik persukuan. Selain itu, pawang menggunakan alat-alat tradisional yang dibuat sendiri untuk melakukan menumbai lebah seperti lantak, ember, tali, tangga, dan lain-lain.

Upacara atau ritual biasanya tidak terlepas dari mantra, demikian juga halnya menumbai lebah. Mantra adalah tautan kata-kata yang dipercayai memiliki kekuatan tersendiri bagi penutur yakni dukun atau pawang. Mantra dipandang sebagai media bagi pawang untuk menjalankan menumbai lebah, baik media komunikasi dengan penunggu pohon sialang maupun sebagai media penghubung dengan lebah yang berupa rayuan dan pujian. Mantra berbeda halnya denga puisi dan pantun yang tidak memiliki konteks penuturan atau bisa dibacakan di mana dan kapan saja, tetapi mantra sangat bergantung pada waktu dan tampat ketika penuturannya agar memiliki kekuatan magis. Hal senada diungkapkan oleh Djamaris (1990:22) bahwa mantra tidak dituturkan sembarangan tempat dan waktu namun memiliki konteks dan waktu tertentu agar mantra memiliki kekuatan magis. Selanjutnya Rosidi (1994:278) menegaskan bahwa mantra memiliki


(14)

kekuatan majik yang dicapai dengan permainan bahasa, rayuan atau perintah yang harus diturut oleh hyang atau dewa, dan manjur ketika dituturkan dalam konteks yang tepat.

Mantra adalah bagian sastra lisan yang sudah tua umurnya, pengarangnya sudah tidak dikenal karena bentuk pewarisannya secara turun temurun dalam bentuk lisan. Mantra termasuk bagian dari puisi lama yang keberadaannya tersebar diseluruh tanah air Indonesia karena masyarakat tempo dahulu sangat dekat dengan mantra dalam kegiatannya sehari-hari, misalnya pada masyarakat Melayu dikenal dengan berbagai macam jenis mantra yakni mantra pertanian (menatau, bertanam, menuai) pengobatan, pengasih, dan lain-lain. Keberadaan mantra di tengah masyarakat memang agak sedikit tersembunyi karena mantra dipandang sesuatu yang tabu dan orang-orang tertentu yang bisa menggunakannya.

Tradisi menumbai lebah yang merupakan khazanah budaya lokal ini, tak rela rasanya jika semakin hari semakin memudar dikikis kekejaman zaman apalagi terperosok kepada jurang kepunahan. Oleh karena itu, harus ada perhatian khusus dari berbagai kalangan untuk melestarikan budaya tersebut. Banyak bentuk-bentuk pelestarian yang bisa dilakukan terutama dalam dunia pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan dipandang sebagai wadah yang cukup optimal untuk mengenalkan budaya lokal kepada generasi muda sebagai stafet budaya di masa mendatang. Masyarakat sekolah seperti guru dipandang sebagai ujung tombak yang mampu memberikan pamahaman kepada siswa, selanjutnya dengan memasukkan budaya lokal kedalam materi bahan ajar di sekolah sebuah langkah yang tepat untuk melestarikan budaya. Pendidikan nonformal juga merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap pelestarian sebuah budaya. Pelestarian melalui pendidikan nonformal bisa dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada masyarakat betapa pentingnya melestarikan budaya sendiri sebagai bekal dan jati diri anak cucu di masa mendatang.

Penelitian yang berkenaan dengan menumbai sudah pernah diteliti oleh seorang budayawan Riau yang bernama Tenas Efendi pada tahun 1989 dengan judul Menumbai: Upacara Tradisional Mengambil Madu Lebah di Daerah Riau.


(15)

6

Penelitian tersebut lebih mengeksplorasi tentang proses upacara menumbai tersebut, serta hal-hal yang menyokong berlangsungnya upacara menumbai lebah, namun penelitian tersebut tidak mengkaji unsur dalam upacara seperti mantra. Kemudian penelitian tentang mantra juga sudah pernah dilakukan pada tahun (2012) oleh mahasiswa pascasarjana UPI jenjang S2 yang bernama Nazriani yakni Mantra dalam Upacara Pesondo. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa mantra memiliki struktur dan memiliki fungsi bagi penuturnya.

Penelitian ini memfokuskan pada proses upacara menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan (kajian struktur teks, konteks penuturan, fungsi, dan pemanfaatannya sebagai bahan ajar di SMA). Tujuan penelitian ini adalah untuk melestarikan budaya menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan, dengan memasukkan salah satu unsur tradisi menumbai lebah yakni mantra sebagai bahan ajar di SMA.

B. Batasan Masalah Penelitian

Pada hakikatnya penelitian berawal dari sebuah masalah, adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan, muncullah penelitian untuk menjawab masalah serta memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Pada penelitian ini, peneliti membatasi masalah pada kajian struktur teks, konteks penuturan, fungsi, dan pemanfaatan mantra menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan sebagai bahan ajar di SMA. Struktur teks meliputi pembahasan bunyi (rima, asonansi dan aliterasi, irama), dan makna konotatif dan denotatif, diksi, dan gaya bahasa. Konteks penuturan mengacu pada siapa yang membaca mantra, di mana dibacakan, siapa yang mendengarkan pembacaan mantra, dan bagaimana suasana pada saat mantra dibacakan. Fungsi membahas fungsi mantra bagi masyarakat Melayu Rokan, sedang pemanfaatan mantra adalah membuat hasil penelitian ini sebagai bahan ajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.


(16)

C. Pertanyaan-pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti dengan membuat pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut ini.

1. Bagaimana proses upacara menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan?

2. Bagaimana struktur teks mantra menumbai lebah masyarakat Melayu Rokan?

3. Bagaimana konteks penuturan mantra menumbai lebah masyarakat Melayu Rokan?

4. Apa fungsi mantra menumbai lebah bagi masyarakat Melayu Rokan?

5. Bagaimana memanfaatkan mantra dalam upacara menumbai lebah sebagai bahan ajar Bahasa dan Sastra di SMA.

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan kepahaman kepada masyarakat untuk melestarikan budaya lokal yang tengah di pintu kepunahan akibat sunami budaya asing. Secara khusus kiranya dapat mendeskripsikan beberapa hal dibawah ini, yaitu:

1. mendeskripsikan proses upacara menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan;

2. mendeskripsikan struktur mantra menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan;

3. mendeskripsikan konteks penuturan mantra menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan;

4. mendeskripsikan fungsi mantra bagi masyarakat Melayu Rokan; 5. mendeskripsikan hasil penelitian sebagai bahan ajar sastra di SMA.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini hendaknya dapat dirasakan dari berbagai kalangan. Manfaat penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


(17)

8

1. Manfaat Secara Teoretis

“Kegamangan penelitian foklor” diungkapkan oleh Suwardi Endaswara. Ini menggambarkan bahwa penelitian foklor masih sekadar kepentingan suatu instansi dan motivasi sesaat. Belum banyak yang bisa diberikan untuk perkembangan foklor itu sendiri dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sejauh ini, dan masih sekadar sebuah hasil tulisan di atas kertas. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan secara teoretis dapat bermanfaat bagi khazanah teradsi lisan atau foklor itu sendiri. Dan juga sebagai bahan penelitian selanjutnya bagi peneliti lain di kemudian hari.

2. Manfaat Secara Praktis

Bukan hanya dampak pada tataran teori, namun dampak secara praktis jauh akan lebih bermanfaat jika dapat dirasakan di tengah masyarakat. Adapun dampak secara praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a) memunculkan rasa kepemilikan bagi masyarakat setempat tehadap budaya tersebut;

b) memberikan pandangan kepada generasi muda agar dapat melestarikan budayanya sendiri;

c) bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini dapat menyadarkan supaya mencintai budaya di daerahnya masing-masing;

d) memberikan semangat kepada peneliti selanjutnya untuk mengkaji dan meneliti budaya di tanah airnya sebagai wujud kepedulian terhadap budaya sendiri.

F. Definisi Operasional Penelitian

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, perlu kiranya peneliti merumuskan beberapa batasan definisi operasional yang menyangkut penelitian ini, yakni sebagai berikut ini.

1. Kajian struktur teks mantra menumbai lebah meliputi kajian bunyi , makna, dan gaya bahasa. Bunyi dalam konteks penelitian ini akan dibahas rima (pengulangan bunyi), asonansi dan aliterasi (pengulangan huruf vokal dan


(18)

pengulangan konsonan), dan irama (pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut bunyi bahasa). Kemudian makna yang akan dikaji dalam struktur ini adalah makna denotatif dan makna konotatif (makna asli atau sesungguhnya dan makna lain). Selanjutnya gaya bahasa meliputi kajian diksi (pilihan kata) dan majas.

2. Kajian konteks penuturan mantra menumbai lebah meliputi tempat mantra dituturkan, waktu mantra dituturkan, penutur mantra, petutur mantra atau audiens, dan suasana pada saat mantra dibacakan.

3. Kajian fungsi mantra menumbai lebah adalah memaparkan fungsi mantra bagi masyarakat Petalangan. Fungsi di sini mengacu kepada peran mantra dalam upacara menumbai lebah.

4. Pemanfaatan mantra menumbai lebah sebagai alternatif bahan bahasa dan sastra Indonesia di SMA, berdasarkan kurikulim KTSP.

5. Proses upacara menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan meliputi kajian waktu pelaksanaan upacara, alat yang digunakan serta fungsinya, dan pelaku upacara serta makna ginestetiknya dalam upacara tersebut.


(19)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab III berisikan metodologi penelitian sebagai acuan dalam penelitian ini. Metodologi penelitian ini mencakup metode penelitian, lokasi penelitian, data penelitian (data dan sumber data), teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik atau penelitian etnografi karena pada awalnya banyak digunakan untuk penelitian antropologi budaya. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang penelitiannya digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah di mana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data bersifat deduktif, dan hasil trianggulasi (gabungan), analisis bersifat deduktif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan pada makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2010:1). Selanjutnya, Syaodih (2007:60) mengatakan penelitian kualitatif (qualitative research) adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara individual atau kelompok.

Di sisi lain, Koentjaraningrat (202:329) melihat penelitian kualitatif sebagai penelitian yang sifat etnografi yaitu suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu bangsa dengan pendekatan antropologi. Penekanan yang serupa juga diungkapkan oleh Fathoni (2005:98) karena bahan mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa di suatu komunitas dari suatu daerah tertentu menjadi pokok deskripsi sebuah karangan etnografi, maka dibagi ke dalam bab-bab tentang unsur-unsur kebudayaan menurut suatu tata urut yang sudah baku. Susunan tata urut tersebut disebut sebagai kerangka etnografi.

Spradley (Creswel, 1998:487) menguraikan langkah-langkah dalam penelitian etonografi, sebagai berikut:


(20)

a. menetapkan informasi; b. mewawancarai informan; c. membuat catatan etnografis; d. mengajukan pertanyaan deskriptif; e. melakukan anilisis wawancara; f. membuat analisis domain; g. membuat analisis taksonomik; h. mengajukan pertanyaan kontras; i. membuat analisis kontras;

j. menemukan tema-tema budaya; dan k. menulis suatu etnografi

Hal serupa dilakukan oleh Sukmadinata (2010:95) dengan memaparkan tentang karakteristik kualitatif, yakni:

1) kajian naturalistik: melihat situasi nyata yang berubah secara alamiah, terbuka, tidak ada rekayasa pengontrolan variabel;

2) analisis induktif: mengungkap data khsusus, detail, untuk menemukan kategori dimensi, hubungan penting dan asli, dengan pertanyaan terbuka; 3) data kualitatif: deskripsi rinci-dalam, persepsi-pengalaman orang;

4) holistic: totalitas fenomena dipahami sebagai sistem yang kompleks, keterkaitan menyeluruh tak dipotong padahal dipisah, sebab-akibat;

5) hubungan dan persepsi pribadi: hubungan akrab peneliti-informan, persepsi dan pengalaman pribadi peneliti penting untuk pemahaman fenomena-fenomena;

6) dinamis: perubahan terjadi terus, lihat proses desain fleksibel;

7) orientasi keunikan: tiap situasi khas, pahami sifat khusus dan dalam konteks sosial-historis, analisis silang kasus, hubungan waktu-tempat;

8) empati netral: subjektif murni, tidak dibuat-buat.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah penelitian kualitatif atau dapat juga disebut penelitian folklor karena memiliki salah satu objek kajian yang sama pada awalnya yakni penelitian tentang budaya pada suatu masyarakat.


(21)

57

B. Lokasi Penelitian

Letak penelitian ini temasuk dalam bagian daerah Kabupaten Rokan Hulu, kabupaten tersebut adalah salah satu kabupaten dari 12 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau. Pada awalnya Kabupaten Rokan Hulu hanya bagian daerah dari Kabupaten Kampar, namun pada tanggal 12 oktober tahun 1999 terjadi pemekaran. Kabupaten Kampar dimekarkan menjadi beberapa kabupaten yakni Kabupaten Pelalawan ibukotanya Kerinci, Kabupaten Kampar ibukotanya Bangkinang, dan Kabupaten Rokan Hulu ibukotanya Pasir Pengaraian.

Kalau dibuka lembaran sejarah, daerah Kabupaten Rokan Hulu pada abad ke 13 sudah menjadi wilayah kerajaan Majapahit. Hal ini tercatat di dalam kitab “Negara Kertagama” karangan Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun 1364 M, dalam syaor 13 disebutkan “seluruh pulau Sumatra (Melayu) telah menjadi daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit meliputi Rakan (Rokan)…..”. Dalam sumber yang lain juga disebutkan seperti Kronik Cina. Dari penggalan sejarah di atas digambarkan bahwa dahulu Kabupaten Rokan Hulu namanya adalah Rokan.

Di Kabupaten Rokan Hulu tempo dulu terdapat beberapa kerajaan yakni Kerajaan Tambusai ibunegerinya Dalu-dalu, Kerajaan Rambah ibunegerinya Pasir Pengaraian, Kerajaan Kepenuhan ibunegerinya Koto Tengah, Kerajaan Rokan IV Koto ibunegerinya Rokan, dan Kerajaan Kuntodarussalam ibunegerinya Kotolamo. Pada masa kolonial wilayah Rokan Hulu dibagi mejadi dua, pertama wilayah Rokan Kanan terdiri dari 3 kerajaan yakni Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah, dan Kerajaan Kepenuhan. Kedua, wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari dua kerajaan yakni Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kuntodarussalam, dan ditambah kampung dari Kerajaan Siak yaitu Kewalian Tandun dan Kabun (Syam, 2012). Bangunan kerajaan-kerajaan tersebut masih berdiri megah hingga saat ini seperti Istana Kerajaan Rokan IV koto di Tepi Sungai Rokan (lihat di lampiran), namun secara kepemerintahan sudah bergabung seiring dengan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Secara Georagrafi posisi letak Kabupaten Rokan Hulu berada pada titik kordinat 00 25’ 20” LU - 010 25’ 41” LU dan 1000 02’ 56’ - 1000 56’ 59’ BT,


(22)

memiliki luas wilayah 7.449,85 kilometer persegi dengan kondisi morfologi bervariasi dari daratan alluvial sampai vulkanik yang terjal di bagian barat mulai dari ketinggian 5 sampai 1.125 m dpl, bagian barat kemiringan lebih 40% dengan luas sekitar 99.135 ha, seluas 53.578 ha dengan kemiringan 15-40%, sedangkan kemiringan antara 2-15% seluas 13.266 ha, selebihnya 360.943 ha dengan kemiringan 0-2%.

Kabupaten Rokan Hulu berbatasan dengan beberapa kabupaten lainnya, batas-batas wilayah Kabupaten Rokan Hulu sebagai berikut:

1. sebelah utara berbatasn dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu Provinsi Sumatra Utara;

2. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar;

3. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat Provinsi Sumatra Barat;

4. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hilir. Secara administratif Kabupaten Rokan Hulu memiliki 16 daerah kecamatan, 7 daerah kelurahan, dan 149 daerah desa. Berikut ini nama 16 daerah kecamatan yang berda di kabupaten Rokan Hulu.

1. Kecamatan Bangun Purba 2. Kecamatan Kabun

3. Kecamatan Kepenuhan

4. Kecamatan Kunto Darussalam 5. Kecamatan Rambah

6. Kecamatan Rambah Hilir 7. Kecamatan Rambah Samo 8. Kecamatan Rokan IV Koto 9. Kecamatan Tambusai 10.Kecamatan Tambusai Utara 11.Kecamatan Tandun

12.Kecamatan Ujungbatu

13.Kecamatan Pagaran Tapah Darussalam 14.Kecamatan Bonai Darussalam


(23)

59

15.Kecamatan Kepenuhan Hulu 16.Kecamatan Pendalian IV Koto.

Dari 16 kecamatan di atas daerah penelitian termasuk dalam kecamatan Rokan IV Koto, Desa Cipang Kanan, Dusun Tandikat. Untuk lebih jelasnya letak dusun Tandikat tersebut, dapat dilihat pada pada peta yang telah dilampirkan pada lampiran.

1. Lingkungan Budaya Penelitian

Lingkungan budaya yang akan dipaparkan dalam tesis ini meliputi alam fisik, kondisi masyarakat, dan unsur-unsur budaya.

a. Alam Fisik

Alam fisik yang akan dimaksud meliputi kondisi tanah, air, dan udara atau lebih tepat digunakan kata iklim di Kabupaten Rokan Hulu. Untuk lebih jelas akan dijabarkan di bawah ini.

1) Tanah

Kabupaten Rokan Hulu terdiri dari satuan dataran rendah dan satuan perbukitan. Sebagian besar Kabupaten Rokan Hulu terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian 0-50 m dari permukaan laut yang meliputi dataran banjir sungai, sungai dan terbentuknya endapan permukaan. Kemiringan lerengnya sekitar 0o – 3o (hampir datar) dan satuan perbukitannya mempunyai ketinggian 50 – 150 m dari daerah sekitarnya dengan kemiringan antara 3o – 15o. Berdasarkan kondisi geologinya Kabupaten Rokan Hulu tersusun dari batuan pasir, sedimen, batuan lanau, dan lignit. 2) Air

Di derah kabupaten Rokan Hulu terdapat beberapa sungai yang terbesar di berbagai daerah. Sungai tersebut masih sangat alami, airnya jernih dan belum tercemari. Adapun sungai-sungai yang ada di Rokan Hulu adalah Sungai Rokan Kanan hulunya terdapat di Pinarik, Sungai Rokan Kiri hulunya di Rao Sumatera Barat, Sungai Sosah hulunya berada di Tapung Tapsel bermuara di Kualo Batang Sosa, Batang Kumu hulunya di Tapsel


(24)

dan bermuara di Kualo TukMusolin, Sungai Duo berhulu di Sei Salak bermuara di Kualo Sungai Duo, Sungai Suligi bermuara di Sungai Siak. Di antara sungai-sungai yang ada di wilayah Kabupaten Rokan Hulu terdapat tiga sungai besar yaitu Sungai Rokan Kanan (151,9 km), Sungai Rokan Kiri (204,1 km) dan Batang Sosah. Sungai besar tersebut adalah simpul dari beratus-ratus sungai kecil yang ada di Rokan Hulu yang kemudian bermuara ke Sungai Rokan bahagian hilir dengan panjang lebih kurang 100 km, kedalaman rata-rata 6-8 meter serta lebar 92 meter dan 13.177km2.

3) Udara (iklim)

Secara umum daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1000-300mm pertahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Kota Pekanbaru 193 hari, Kabupaten Indragiri Hulu 178 hari, Kabupaten Pelalawan 147 hari, Kabupaten Rokan Hulu 136 hari, dan Kabupaten Kampar dengan jumlah hari hujan 110 hari. Jumlah Curah Hujan tertinggi pada tahun 2009 terjadi di Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3 349, 0 mm, disusul Kota Pekanbaru sebesar 3 214, 4 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kota Dumai sebesar 635,0 mm. Selanjutnya menurut catatan Stasiun Meteorologi suhu udara rata-rata di kabupaten Rokan Hulu menunjukkan 28,0 celcius dengan suhu maksimum 36,0 celcius dan suhu minimum 21,0 celcius.

b. Alam Hayati

Alam hayati terdiri dari hewan dan tumbuhan. Secara umum gambaran alam hayati yang ada di kabupaten Rokan Hulu adalah sebagai berikut:

1) Hewan

Pada umumnya masyarakat Melayu Rokan banyak yang memelihara ternak seperti ayam, bebek, kambing, sapi, kuda, kerbau dan lain-lain. Dalam menggembala ternak biasanya masyarakat memiliki lahan tersendiri yang dikhususkan untuk lahan ternak, hal ini disebabkan adanya hukum adat yang


(25)

61

mengatur bahwa binatang ternak seperti kambing, sapi, kerbau, dan sejenisnya tidak dibenarkan untuk dilepaskan begitu saja mengingat banyak masyarakat yang menanam tanaman dan dikhawatirkan hewan ternak tersebut akan merusak tanaman masyarakat. Selain itu banyak juga masyarakat pecinta burung seperti burung hijau daun, murai, kuwau, serindit, onggang dan masih banyak lagi nama-nama burung yang lain yang tak mungkin disebutkan satu-persatu. Khusus di kecamatan Rokan IV koto di desa Cipang Kiri setiap tahun disibukkan dengan memukat burung kuaran, burung tersebut cukup ajaib karena datang sekali dalam enam bulan setelah itu hilang dan tidak tahu entah kemana perginya. Ukurannya sebesar burung punai dan dagingnya sangat lezat, burung tersebut bukan saja dikonsumsi oleh masyarakat setempat tetapi dijual ke luar daerah. Jika ingin menikmati burung tersebut di rumah makan Riau, maka setiap porsinya ditawarkan dengan harga yang mahal antara Rp 40.000-50.000.

2) Tumbuhan

Mengingat tanah daerah Rokan hulu yang subur sehingga memungkinkan ditumbuhi oleh berbagai macam tanaman yang tumbuh, baik yang ditanam secara sengaja maupun yang tumbuh secara alami. Tumbuhan yang ditanam secara sengaja ada yang bersifat makan pokok sehari-hari dan adapula yang tanaman untuk sebagai lahan pekerjaan bagi masyarakat. Tumbuhan bersifat kebutuhan sehari-hari misalnya padi, ubi, talas, kacang tanah, kacang hijau, labu, sawi, terung, cabe, jagung, dan sebagainya. Kemudian tanaman yang ditanam sebagai sebagai bentuk usaha adalah gambir, karet, kayu manis, cengkeh, dan sawit. Selanjutnya tumbuhan yang tumbuh secara alami di tanah Melayu Rokan seperti kayu gaharu, meranti, tomosu, modang, pulai, dan sebagainya.

2. Kondisi Masyarakat

Masyarakat di Kabuapten Rokan hulu terdiri atas penduduk asli yakni Masyarakat Melayu Rokan dan masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang berasal dari berbagai suku daerah di Indonesia seperti suku Jawa, Sunda, Batak,


(26)

Nias, Minang, dan sebagainya. Kedatangan pendatang ke kabupaten Rokan Hulu dikarenakan berbagai alasan, salah satu alasan yang pokok adalah menjalani peraturan pemerintah orde baru yakni transmigrasi. Alasan lain adalah penempatan kerja seperti PNS dan karyawan pabrik.

3. Unsur-unsur Budaya

Unsur-unsur kebudayaan pada masyarakat Rokan Hulu pada dasarnya sesuai dengan tujuh unsur kebudayaan yang dipaparkan pada bab II. Unsur-unsur kebudayaan Kabupaten Rokan Hulu lebih jelas adalah sebagai berikut:

a. Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan formal yang ada di kabuapten Rokan Hulu tidak ada perbedaan dengan daerah lain, dimulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Jenjang pendidikan tersebut tersebar di setiap kecamatan di kabupaten Rokan Hulu kecuali perguruan tinggi hanya ada di ibukota kabuapeten yakni di Pasir Pengaraian. Perguruan tinggi yang ada di Kabupaten Rokan Hulu adalah Universitas Pasir Pengarain dan Politeknik Pasir Pengarain. Selain Pendidikan formal ada juga pendidikan nonformal seperti PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan PDTA (Pendidikan Diniyah Ta’maliyah Awaliyah).

b. Agama dan Kepercayaan

Riau sebelum agama Islam datang agama yang berkembang adalam Hindu, hal ini ditandai dengan candi Muara Takus yang terletak di XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar. Namun setelah agama Islam datang kepercayaan masyarakat berubah yakni mengikuti ajaran agama Islam, bahkan orang Melayu identik dengan Islam. Untuk masyarakat Melayu Rokan Hulu menganut agama Islam 100 persen, bahkan ibukota kabupatennya diberi nama dengan “Negeri Seribu Suluk”. Gelar tersebut diberi karena di Rokan Hulu sangat banyak dijumpai surau tempat suluk, bahkan pusat tarikat Nasbandiyah.


(27)

63

c. Bahasa

Bahasa merupakan media komunikasi yang efektif untuk digunakan berinteraksi dalam kehidupan. Bahasa asli masyarakat Kabupaten Rokan Hulu adalah bahasa Melayu dialek Rokan, bahasa tersebut mirip dengan bahasa masyarakat Minang di Kabupaten Pasaman Timur Provinsi Sumatra Barat. Selain itu ada juga masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, Batak, dan Minang.

d. Mata Pencaharian

Aktivitas masyarakat Kabupaten Rokan Hulu bervariasi namun sebagian besar banyak yang berprofesi sebagai petani sawit dan karet. Selain itu, masyarakat banyak juga yang berprofesi sebagai guru, pegawai, polisi, tentara, pedagang, peternak, wiraswasta, dan pengusaha.

e. Peralatan dan Perlengkapan Masyarakat

Menggeliatnya zaman merubah pola hidup masyarakat tidak terkecuali masyarakat Melayu Rokan. Pola hidup masyarakat Melayu Rokan Sudah mengarah ke pola hidup masyarakat modern, namun tetap saja sebagian masih ada yang mempertahan pola hidup tradisional. Peralatan yang tampak menonjol perubahannya adalah model rumah, alat perlengkapan rumah tangga, alat pertanian, dan transportasi. Pertama, model rumah masyarakat pada awalnya berbentuk panggung dan berbahan kayu, sekarang berubah menjadi rumah beton. Kedua, alat rumah tangga yang digunakan pada awalnya sangat tradisional seperti memasak air, menanak nasi, dan sebagainya dengan kayu, tetapi sekarang sudah memakai alat yang berlistrik seperti magic com, dispenser, dan sebagainya. Ketiga, alat transportasi seperti kuda, perahu, dan boat sekarang sekarang muncul kendaraan seperti mobil, kapal, dan lain-lain. Terakhir alat pertanian seperti cangkul dan kerbau sebagai alat untuk menggarap sawah, tetapi sekarang sudah menggunakan bajak, rontok, dll.


(28)

f. Sistem Kekerabatan

Pepatah adat yang berbunyi “kociak bosubuik namo godang bosubuik gola” artinya kecil disebutkan nama besar dipanggilkan gelarnya, menunjukkan bahwa masyarakat Melayu Rokan memiliki sistem kekerabatan di tengah keluarga dan masyarakat. Adapun sistem kekerabatan pada masyarakat Melayu Rokan adalah sebagai berikut:

a) omak/ondeik adalah panggilan untuk ibu kandung; b) ayah/abah adalah panggilan untuk ayah kandung; c) buyuang adalah panggilan untuk anak laki-laki; d) upiak adalah panggilan untuk anak perempuan;

e) kawo/uda/ulong adalah panggilan untuk saudara laki-laki tua; f) uni adalah panggilan untuk panggilan untuk saudara perempuan; g) mamak adalah panggilan untuk saudara laki-laki ibu;

h) etek adalah panggilan untuk adik ibu perempuan;

i) apak tuo adalah panggilan untuk saudara bapak yang tertua; j) uci adalah panggilan untuk nenek;

k) datuak/ niniak adalah panggilan untuk kakek;

l) kakak/somondo adalah panggilan untuk kakak ipar atau adik ipar laki-laki; m) amei adalah panggilan untuk mertua perempuan;

n) mamak adalah panggilan untuk mertua laki-laki; o) pobisen/abet adalah panggilan untuk anak paman.

4. Adat Monografi Rokan Hulu

Sistem kerajaan yang dulu berkembang di tanah Rokan Hulu tidak hilang begitu saja, namun masih tetap ada terutama dalam sistem gelar adat dan nama suku. Adapun adat monografi Rokan Hulu menurut Syam (2012) berikut ini.

a. Adat monografi Luhak Tambusai

1) Suku Melayu grl Dt. Kemalo Kajo Bendaro 2) Suku Ampu, pucuk suku glr. Dt. Kumalo Kayo 3) Suku Kuti, pucuk suku glr. Dt. Paduko Rajo


(29)

65

5) Suku Seberang, pucuk suku glr. Dt. Rangkayo Maharadjo 6) Suku Pungkuik, pucuk suku glr. Dt Majo Laksamano 7) Suku Mais, pucuk suku Dt. Perkaso Rajo

8) Suku Bonuo, pucuk suku glr. Dt. Radjuko Rajo

9) Suku Mondiliang, pucuk suku glr. Dt. Perdana Monti (tolan musyawaratnya Raja dan membawahi masyarakat sukunya) Sibah Dalam

10)Induk Dalam, kepala induk glr. Raja Mansur

11)Induk Simajo Rokan, kepala induk glr. Majo Rokan 12)Induk Simajo Lelo, kepala induk glr. Simajo Lelo 13) Induk Seri Marajo, kepala induk glr. Seri Marajo 14) Induk Majo Rajo, kepala induk glr. Majo Rajo

b. Adat monografi Luhak Rambah

1) Suku Ampu, glr Dt. Panduko Simarajo 2) Suku Melayu, glr. Dt. Paduko Maharajo 3) Suku Moniliang, glr. Dt. Rangkayo Maharajo 4) Suku Bonuo, glr. Junu Ampu

5) Suku Pungkuik, glr. Dt. Temenggung

6) Suku Kandang Kopuh, glr. Dt. Peduko Majo Lelo 7) Suku Kuti, glr. Dt. Peduko Besar

8) Suku Anak Raja-raja yang diketuai oleh Sutan Mahmud 9) Suku Nan Seratus, glr. Dt. Setia Raja

10) Suku Non Limo Puluh, glr. Dt. Seramo

c. Adat monografi Luhak Kepenuhan 1) Suku Melayu, glr. Dt. Bendaharo

2) Suku Melayu Induk Naro Beringin, glr. Seri Peduko 3) Suku Melayu Induk Paso, glr. Mentari Lelo

4) Suku Melayu Induk Kepala Badang, glr. Rangkayo Sutan


(30)

6) Suku Moniliang, glr Dt. Rangkayo Marajo 7) Suku Pungkuik, glr. Dt. Peduko Jolelo 8) Suku Kandang Kopuh, glr. Dt. Bijo Angso 9) Suku Mais, glr Dt. Temenggung

10)Suku Kuti, glr Dt. Maharajo Nando 11)Suku Ampu, glr. Dt. Bidjo Radjo 12)Suku Nan Seratus, glr. Dt. Nindo

13)Suku Anak Rajo, glr St. Ibrahim (Sultan Saidi)

14)Suku Anak raja Induk Tanjung Alam, glr. Rajo Gegar Alam 15)Suku Anak rajo-rajo Induk Pasir Limau Manis, glr. Tengku Besar

d. Adat monografi Luhak Kuntodarussalam 1) Negeri Koto Intan

a) Suku Melayu glr. Dt. Bendaharo b) Suku Melayu glr. Dt. Gompo Alam c) Suku Melayu Tiga Induk glr. Dt. Paduko d) Suku Melayu Panjang, glr. Dt Semarajo e) Suku Domo. glr. Datuk kayo

f) Suku Melayu Tengah, glr. Dt. Perdana Putra g) Suku Empat Induk, glr. Dt. Paduko Besar h) Suku Ciniago, glr. Dt. Rangkayo Mudo i) Suku Petopang, glr. Dt. Peduko Besar 2) Negeri Kotalama

a) Suku Melayu Besar, glr. Dt. Bendaharo b) Suku Petopang, glr. Dt. Sripaduko

c) Suku Melayu Tiga Induk, glr. Datuk Tenaro Dirajo d) Suku Melayu empat Induk, glr. Dt. Lelo Mudo e) Suku Melayu Glr. Dt. Leksmano

f) Suku Muniliang, glr. Dt. Majo Indo g) Suku Pungkuik, glr. Dt. Rangkayo Sutan 3) Kampung Muara Dilam


(31)

67

a) Suku Melayu, glr. Dt. Rajo Kemalo b) Suku Muniliang, glr. Dt. Rajo Bendaro c) Suku Domo, glr. Dt. Kemalo Indo

4) Kampung Sungai Murai

a) Suku Melayu, glr. Dt. Laksmano

b) Suku Muniliang, glr. Dt. Rio Tulang gunung c) Suku Domo, glr. Dt. Batin Majolelo

5) Kampung Kasang Mungkal

a) Suku Melayu, glr. Dt. Ulak Mando b) Suku Muniliang, glr. Dt. Majo Sinaro c) Suku Domo, glr. Dt. Laksmano 6) Kampung Titian Gading

a) Suku Melayu glr. Dt. Rangkayo Maharajo b) Suku Muniliang, glr. Datuk Majo Sinaro c) Suku Domo, glr. Dt. Paduko Laksmano 7) Kampung Sontang

a) Suku Melayu, glr. Dt. Penghulu Besar b) Suku Muniliang, glr. Dt. Rangkayo Mudo c) Suku Muniliang, glr. Dt. Laksmano 8) Kampung Bonai

a) Suku Melayu, glr. Dt. Majo Lelo Pati b) Suku Muniliang, glr. Dt. Batuah c) Suku Domo, glr. Dt. Laksmano 9) Kotalamo, Suku yang beradat

a) Suku Melayu. glr. Dt. Bendahara b) Suku Melayu Besar, glr, Dt. Bendahara c) Suku Pungkuik, glr. Dt. Tando Dirajo

d) Suku Melayu Tiga Induk, glr. Dt. Sri Paduko


(32)

1) Penghulu Rokan

a) Suku Mais, glr. Dt. Bendaharo b) Suku Bendang, glr. Dt. Tumogong c) Suku Melayu Pokomo, glr. Dt. Pokomo d) Suku Ciniago, glr. Dt. Biji Dirajo e) Suku Petopang, glr. Dt. Paduko Marajo f) Suku Petopang, glr. Dt. Rangkayo Marajo g) Suku Potopang, glr. Dt. Rajo nan Besar h) Suku Melayu, glr. Dt. Tolanso

i) Suku Muniliang, glr. Dt. Saitamo j) Suku Melayu , glr. Dt. Setio Rajo

k) Pongulu Pasa (pemerintah sebelum masuk suku) 2) Penghulu Pendalian

a) Suku Mais, glr. Dt. Tomogong b) Suku Mniliang, glr. Dt. Sijelo c) Suku Piliang, glr. Dt. Maharajo

d) Suku Petopang, glr. Dt. Rangkayo Bungsu e) Suku Petopang, glr. Dt. Bimbo Rajo f) Suku Melayu, glr. Dt. Marajo Besar 3) Penghulu Lubuk Bendahara

a) Suku Melayu, glr. Dt. Bendaharo b) Suku Piliang, glr. Dt. Tomongong

c) Suku Petopang, glr. Dt. Rangkayo Marajo d) Suku Moniliang, glr. Dt. Biji Dirajo e) Suku Piliang, glr. Dt. Paduko Marajo f) Suku Nan Seratus, glr. Dt. Kemalo Sutan 4) Penghulu Ujungbatu

a) Suku Melayu,glr. Dt. Bendaro b) Suku Ciniago, glr. Dt. Bimbo c) Suku Muniliang, glr. Dt. Biji Dirajo d) Suku Melayu, glr. Dt. Kemalo Sutan


(33)

69

e) Suku Melayu, glr. Dt. Paduko Sinaro

f. Adat monografi Kewalian Negeri Tandun Dan Kabun 1) Suku Domo di Tandun, glr. Bendahara Mudo 2) Suku Melayu di Kabun, glr. Dt. Bendaharo Mudo 3) Suku Melayu di Kota Ranah, glr. Dt. Bendaharo Mudo 4) Suku Petopang di Aliantan, glr. Dt. Bendaharo Mudo 5) Suku Caniago di Tandun, glr. Dt. Maharajo Besar 6) Suku Piliang di Tandun, glr. Dt. Biji Angso 7) Suku Melayu di Tandun, glr. Dt. Penghulu Besar 8) Suku Piliang Kecil, glr. Dt. Majo Kayo

9) Suku Domo Kecil, Dt. Tomonggong

10) Suku Melayu di Kabu, glr. Dt. Setia Angso 11)Suku Melayu di Kabun, glr. Dt. Paduko Rajo 12)Suku Piliang di Kabun, glr. Dt. paduko Tuan 13)Suku Caniago diKabun, glr. Dt. Paduko Simarajo 14)Suku Petopang Kecil, glr. Dt. Podomo

15)Suku melayu Kecil, glr. Dt. Majo Kayo

16)Suku Melayu di Kota Ranah, glr. Dt. Paduko Sinando 17)Suku Domo di Kota Ranah, glr. Dt. Marajo

18)Suku MElayu Bawah, glr. Dt. Sinaro 19)Suku Domo, glr. Dt. Penghulu Besar 20)Suku Melayu Bukit, glr. Dt. Majo Indo 21)Suku Petopang, glr. Dt. Paduko Marajo 22)Suku Aliantan, glr. Dt. Paduko Jolelo 23)Suku Melayu Bukit Gear, glr. Dt. Jelo Sakti 24)Suku Muniliang di Aliantan, glr. Dt. Majo Kayo 25)Suku Muniliang Kecil, glr. Dt. Temenggung 26)Suku Piliang, glr. Dt. Biji Angso


(34)

C. Data Penelitian 1. Sumber Data

Sumber data dapat diartikan sebagai wadah inti data dapat dikumpulkan oleh peneliti. Sumber data dalam penelitian adalah pelaku menumbai lebah atau pawang (panggilan oleh masyarakat Melayu rokan), serta orang-orang yang dianggap memiliki kapasitas tentang data yang dicari seperti pemuka adat. Dengan kata lain sumber data dalam penelitian ini bersumber dari wawancara dengan masyarakat yang dianggap memiliki pengetahuan tentang menumbai lebah, dan yang kedua berasal dari observasi di lapangan atau lebih spesifiknya adalah observasi pada saat proses upacara menumbai lebah. Informan sebagai sumber data penelitian ini terdiri atas tiga orang pawang yakni Nusin, Aman, dan Simeh.

2. Data

Data merupakan jantung dari sebuah penelitian sekaligus sebagai sebuah alat untuk mengukur kualitas penelitian tersebut. Dalam penelitian kualiatif kelengkapan data merupakan sesuatu yang harus paling terpenting, meskipun terkadang kondisi di lapangan yang memaksa untuk bekerja keras agar terkumpulnya data yang komplit serta mampu menjawab pertanyaan atau masalah dalam penelitian.

Data pada penelitian ini ada dua, pertama data primer dan data sekunder. Yang dimaksud dengan data primer dalam penilitian ini adalah teks mantra menumbai lebah, sedangkan data sekundernya adalah segala aspek untuk sampai ke mantra. Aspek yang dimaksud seperti ritual, alat yang digunakan dalam ritual, waktu, dan pelaku ritual.

Proses pengumpulan data pada dasarnya sudah dimulai pada bulan Desember 2012, peneliti melakukan studi pendahuluan di Siak Sri Indrapura pada suku Petalangan. Hal ini dilakukan mengingat data utama penelitian ini adalah berupa mantra dan ritual, oleh karenanya dipandang penting untuk melakukan studi pendahuluan sebagai bentuk perkenalan dan bagian dari sebuah etika yang harus dipatuhi. Peneliti menemui tokoh ketua Lembaga Adat Melayu Siak pada saat itu


(35)

71

yakni bapak Hamdan Saily, peneliti menceritakan tujuan dan maksud kedatangan kepada beliau dan mendapatkan tanggapan yang baik dari beliau sebagai pemerhati budaya lokal. Beliau juga sebagai media peneliti untuk sampai kepada juragan, tetapi itu bukanlah nama aslinya karena nama aslinya adalah Nusin. Pertemuan saat itu hanya sebagai pengantar saja karena belum masuk pada kagiatan inti.

Pada bulan Februari tepatnya tanggal 2 tahun 2013, peneliti turun ke lapangan setelah menyelesaikan berbagai administrasi mulai dari kampus, KESBANG Provinsi Riau, KESBANG Kabupaten Siak, kecamatan, dan terakhir Desa Sungai Mempura. Langkah manis pada studi pendahuluan terkesan sebuah kenangan, karena kedatangan kedua kalinya tak seperti pada kedatangan pertama yang kesannya terbuka. Wawancara peneliti dengan pak Nusin kurang lancar karena dari beberapa pertanyaan yang diajukan cenderung tidak jawab, alasannya adalah tradisi menumbai lebah tidak dapat diberikan kepada sembarangan orang, dengan kata lain untuk dapat mengetahui hal-hal seperti mantra harus memenuhi syarat, salah satu syaratnya adalah orang tempatan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan guru. Begitu juga halnya ketika peneliti ingin mengobservasi proses upacara menumbai lebah berbagai alasan yang berujung pada penolakan yang beliau lontarkan. Melihat kondisi seperti ini, maka peneliti berkoordinasi dengan salah tokoh adat atau seniman Riau yakni Bapak S. Berrein SR. Kemudian beliau menyarankan untuk mengalihkan penelitian ke daerah Rokan kabupaten Rokan Hulu, karena menurut beliau di kecamatan Rokan IV Koto merupakan salah satu tempat yang masih banyak dijumpai tradisi menumbai lebah.

Pada tanggal 15 februari 2013 atas saran beliau peneliti mencoba untuk datang ke kecamatan Rokan IV Koto, desa Cipang Kiri Hilir, dusun Tandikat untuk menemui bapak Nasir. Pak Nasir adalah salah sorang pengambil madu sialang, orang Melayu Rokan memanggilnya dengan pawang. Setelah bertemu dengan beliau, peneliti langsung mengutarakan hajat kedatangan kepadanya, syukur Alhamdulillah dengan besar hati beliau menerima dan bersedia untuk memberikan segala hal yang berhubungan dengan menumbai lebah. Kemudian beliau juga memberikan saran untuk mencari informan tambahan di desa sebelah


(36)

yakni desa Cipang Kiri Hulu dusun Seikijang dan Pintukuari. Akhirnya peneliti dapat menemukan dua pawang dari dua dusun tersebut dengan mudah sebagai perbandingan dan memperkaya data tentang menumbai lebah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data penelitian tentang mantra menumbai lebah masyarakat Melayu Rokan pada bidang kajian struktur, konteks penuturan, dan fungsinya. Peneliti menggunakan sejumlah teknik, yaitu sebagai berikut:

1. Interview (Wawancara)

Esterberg mendefensikan wawancara “a meeting of two persons to axchange information and idea thorugh question and responses, resulting in communication and join contruction of meaning about particular topic”. Artinya wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Jenis wawancara yang digunakan pada penelitian adalah wawancara semistruktur. Wawancara semistruktur temasuk dalam kategori in-dept interview, di mana pihak yang diwawancarai diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2010:73).

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini berpedomankan pada instrumen, hal ini bertujuan agar wawancara yang dilakukan di lapangan lebih terarah dan terfokus kepada pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji. Selain itu instrumen juga berperan untuk mengontrol arah dari pembicaraan antara peneliti dengan informan agar tidak terlalu jauh dari target utama yang ingin dicapai. Namun satu hal yang harus dipahami bahwa terkadang instrumen penelitian kualitatif tidak akan sama perkembangannya di lapangan dengan instrument penelitian kuantitatif, karena sudah menjadi kebiasaan pada penelitian kualitatif bahwa pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan selalu beranak, atau dengan kata lain satu pertanyaan yang tercantum dalam instrumen bisa berkembang menjadi beberapa pertanyaan baru. Secara garis besar Poin wawancara ditanyakan pada penelitian ini meliputi lima hal, yakni berkenaan pelaku proses upacara menumbai lebah, waktu pelaksanaan, konteks penuturan mantra dalam proses upacara, dan alat yang digunakan dalam proses upacara.


(37)

73

Untuk lebih jelas pertanyaan-pertanyaan berkenaan empat poin di atas, dapat dilihat pada lampiran II.

2. Observasi

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para peneliti hanya akan dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dengan bantuan alat yang canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil maupun yang jauh dapat diobservasi dengan jelas (Nasution, 1988). Observasi dapat dibagi menjadi dua, yakni observasi partisipatif (participant observation) dan observasi nonpartisipatif. Observasi partisipatif adalah peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut mengerjakan apa yang dilakukan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dan dukanya. Selanjutnya observasi nonpartisipatif adalah peneliti tidak terlibat langsung dengan aktivitas yang sedang diamati, namun peneliti hanya sebagai pengamat independen.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi nonpartisipatif untuk melihat secara langsung tentang kegiatan masyarakat Melayu Rokan untuk mendapat gambaran eksplisit tentang menumbai lebah masyarakat Melayu Rokan.Untuk lebih terarah dan terfokusnya observasi yang dilakukan di lapangan, maka peneliti membuat pedoman observasi sebagai acuan dan pedoman. Kisi-kisi pedoman observasi tersebut dapat dilihat pada lampiran II.

Selanjutnya, untuk memudahkan dalam pengumpulan data pada penelitian ini, maka peneliti menggunakan alat teknolgi. Adapun alat teknologi yang digunakan adalah camera, handycam, tape recorder. Alat teknogi tersebut diharapkan dapat memudahkan dalam proses pengumpulan data penelitian ini.


(38)

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tetentu. Analisis di lapangan digunakan model Miles dan Huberman melalui tiga tahapan yakni reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan simpulan (conclusion).

Tahap reduksi data maksudnya adalah merangkum, memilih hal yang pokok, menfokuskan pada hal yang penting, dan dicari tema dan polanya. Tahap selanjutnya adalah penyajian data (display data), pada tahap ini penyajian data yang biasanya dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Tahap terakhir dalam analisis data adalah tahap verifikasi atau mengambil sebuah simpulan (Sugiyono, 2010: 95).

Untuk lebih mudah dipahami dan lebih jelas langkah-langkah dalam analisis data dalam penelitian ini, dituangkan sebagai berikut:

1. mengumpulkan data yang didapat dari lapangan dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara serta hasil dokumentasi dari beberapa alat penelitian berupa camera, handycam, dan tape recorder dari ritual menumbai lebah;

2. menerjemahkan data dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia supaya mudah dalam menganalisis data;

3. mengelompokkan data dan menguraikannya;

4. menganalisis data sesuai dengan teori yang digunakan. Untuk upacara menumbai lebah, konteks penuturan, dan fungsi mantra digunakan teori metode etnografi. untuk menganalisis kajian struktur teks mantra digunakan teori struktural model Van Djik;

5. menyusun bahan pembelajaran untuk SMA; 6. menarik simpulan.


(39)

75

Pedoman Analisis

Proses upacara menumbai lebah, struktur teks, konteks penuturan, konteks penuturan, fungsi, dan pemanfaatan sebagai bahan ajar di SMA.

No Tujuan penelitian Data Teori Analisis

1. Mendeskripsikan upacara menumbai lebah

Tahapan pelaksanaan upacara menumbai lebah, alat yang digunakan pada proses upacara tersebut, pelaku menumbai lebah, dan berdendang mantra.

Teori folklor

2. Mendeskripsikan struktur teks mantra menumbai lebah

Bentuk teks mantra, struktur mantra, bunyi, makna, dan gaya bahasa.

Teori Pradopo

3. Konteks penuturan mantra Meliputi waktu, suasana, tempat, tujuan penuturan, dan listener dari penuturan mantra menumbai lebah tersebut.

Struktural Van Djik

4. Fungsi mantra Fungsi dalam upacara menumbai lebah, dalam dunia pendidikan, dan fungsi sosial bagi masyarakat Rokan.

Teori Sibarani

5. Upaya pelestarian Pemanfaatan mantra menumbai lebah sebagai bahan ajar di sekolah SMA.


(40)

BAB V

PEMANFAATAN MANTRA DALAM UPACARA MENUMBAI LEBAH SEBAGAI BAHAN AJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Sebagaimana yang telah dipaparkan di bab II tentang upaya pelestarian mantra dalam upacara menumbai lebah, maka dalam bab ini akan dibuat bentuk konkret upaya pelestarian tersebut dengan memanfaatkan mantra sebagai materi bahan ajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah SMA.

A. Upaya Pelestarian dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah di Sekolah

Sekolah merupakan bengkel yang dipercayai mampu mencetak manusia berpendidikan dan berpengetahuan yang luas, mampu melihat segala bentuk alam, perilaku alam, mahluk yang menghuni alam, dan budaya-budaya yang menjadi aktivitas mahluk tersebut baik yang tersurat maupun yang tersirat. Peran yang begitu besar dari sekolah menjadi pilihan yang tepat untuk dijadikan sebagai wadah pelestarian budaya terhadap siswa sebagai pewaris atau penerima tongkat esatafet budaya pada masa mendatang.

Pengenalan sastra lisan di sekolah juga dipandang sebagai usaha memperkenalkan kahazanah budaya lokal yang begitu bervariasi yang tersebar dari Sabang sampai Merouke kepada pemiliknya, karena masih terlalu banyak generasi saat ini yang belum mamahami budayanya sendiri. Jika pendangkalan pemahaman budaya lokal dibiarkan maka tidak menepis kemungkinan hari demi hari budaya lokal akan terus menemui ajalnya dan punah akibat ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Materi sastra lisan seperti puisi lama (mantra, pantun, syair, gurindam, dll) memperkenalkan sekaligus membuat langkah pelestarian terhadap generasi muda.

Dalam pengenalan sastra lisan kepada siswa di sekolah sekaligus mengungkap nilai-nilai yang terkadung di dalamnya, sehingga dapat dijadikan pelajaran dan pedoman untuk pembentukan watak yang baik di tengah masyarakat yang hetrogen. Sebagaimana yang diungkapkan Rahmanto (1998:16) bahwa


(41)

177

pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya empat manfaat yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, membangun cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.

Melalui pengenalan sastra lisan seperti mantra dapat menunjang berbagai kemampuan siswa seperti keterampilan berbahasa dengan mangakaji struktur yang ada pada mantra tersebut, cipta dan rasa melalui pengatahuan konteks penggunaan atau ritualnya, dan pembangunan watak dari nilai-nilai yang terkandung dari segala aspek budaya tersebut. Kemudian sastra lisan seperti mantra dapat juga memberikan gambaran kepada siswa bahwa meskipun orang terdahulu terbatas dalam segi infrastruktur, tetapi mereka tetap berkarya dan tidak mejadikan keterbatasan tersebut sebagai penghalang, apatah lagi kita yang hidup di zaman yang serba canggih ini yang memungkinkan untuk berkarya lebih dari orang dahulu dengan memanfaatkan segala fasilitas yang serba lengkap dan canggih.

B. Dampak yang Diharapkan

Harapan pada hakekat selalau dimunculkan terhadap sesuatu yang positif, dan begitu juga halnya berkenaan budaya menumbai lebah ini. Pelestarian mantra dalam upacara menumbai lebah di sekolah pada pembelajaran sastra diharapakan mampu meberikan sumbangsi yang bermafaat terhadap berbagai kalangan untuk pemertahanan budaya tersebut di masa sekarang dan keberlangusungan di masa mendatang. Untuk lebih spesifik dampak yang diharapkan dipaparkan sebagai berikut ini.

1. Siswa dapat memahami dan mengenali budaya lokal seperti menumbai lebah dan karya sastra lainnya yang mengandung nilai-nilai kerafian yang patut untuk diteladani dalam kehidupan sehari-hari.

2. Memperkaya pengetahuan siswa tentang karya sastra terutama puisi lama seperti mantra, syair, pantun, gurindam, dan sebagaianya.


(42)

3. Memberikan penyegaran dan pemahaman kepada siswa sebagai stafet pewaris budaya masa mendatang agar mempertahankan budaya lokal di tengah erosi budaya asing.

4. Memberikan masukan kepada para guru di sekolah, kususnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia agar memanfaatkan budaya lokal atau sastra lisan sebagai bahan ajar.

C. Mantra Sebagai Bahan Ajar di SMA 1. Analisis Kurikulum

Pada kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran) mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat sekolah menengah atas (SMA) semester satu memuat standar kompetensi tradisi lisan melalui pokok pembahasan puisi lama. Dalam hal pembagian puisi lama terbagi kedalam beberapa bentuk seperti pantun, girindam, syair, dan mantra. Dari beberapa macam karya sastra yang tergolong kepada puisi lama, maka difokuskan kepada mantra karena penelitian ini membahas tentang mantra. Untuk lebih jelas mengenai standar kompetensi yang dimuat dalam silabus berkenaan mantra dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas/Semester : XII/1

Standar Kompetensi : Berbicara (menaggapi pembacaan tentang puisi lama) Kompetensi Dasar Materi

Pembelajaran

Kegiatan Pembelajaran Jenis bahan ajar Menanggapi

pembacaan puisi lama tentang lafal, intonasi, dan eskpresi

- Puisi lama - Menaggapi pembacaan puisi dari segi lafal, intonasi, dan ekspresi.

- Siswa membacakan puisi di depan dengan memperhatikan lafal, intonasi, dan ekspresi. - Siswa menaggapi pembacaan puisi dari

- Handout - Audio


(43)

179

temannya dengan menelaah lafal, intonasi dan ekspresi. - Guru dan siswa lain

memberikan masukan terhadap siswa yang membacakan puisi.

Silabus di atas memberikan pedoman dan memberikan celah atau kesempatan terhadap puisi lama seperti mantra menumbai lebah untuk dimasukkan menjadi salah satu bahan ajar Bahasa dan Sastra dalam bentuk apresiasi sastra, khususnya sastra lisan. Melalui momen ini juga memberikan kesempatan terbaik untuk memperkenalkan budaya lokal atau budaya siswa sendiri secara lebih mendalam agar tumbuh rasa cinta dan tanggung jawab sebagai pewaris tunggal di masa mendatang.

2. Analisis Sumber Bahan Ajar

Sumber bahan ajar merupakan salah hal yang penting dan penentu keberhasilan dalam upaya mencapai tujuan dari pembelajaran. Analisis terhadap bahan ajar pada dasarnya lebih mengacu kepada kesesuaian, ketersediaan, dan kemudahan dalam pemanfaatan dalam proses pembelajaran di sekolah. Dalam konteks puisi lama dan pemabahasan mantra menumbai lebah, bahan ajar yang cocok adalah teks mantra menumbai lebah berupa handout dan rekaman bacaan mantra dalam upacara menumbai lebah.

Teks mantra merupakan sumber pokok untuk pengajaran mantra tersebut, sedangkan rekaman dapat dijadikan acuan dan pedoman bagi guru dan siswa dalam membacakan mantra dengan memperhatikan pelafalan, intonasi serta eskpresi layaknya seperti sorang pawang dalam membacakannya. Teks dan rekaman merupakan sumber bahan ajar kontekstual dan mudah dalam penggunaanya.


(44)

Sumber bahan ajar yang digunakan dalam hal ini terdiri atas dua bentuk yakni handout dan rekaman. Handout dipandang dapat menggambarkan tentang upacara menumbai lebah dan mantra yang digunakan dalam proses upacara menumbai lebah tersebut, sedangkan rekaman merupakan rujukan bagaimana pelafalan, intonasi, dan ekspresi dalam membaca mantra seperti yang dicontohkan pawang dalam membaca mantra menumbai lebah.

3. Peta Bahan Ajar

Peta bahan ajar merupakan potret secara keseluruhan seperti SK, KD, materi, dan bentuk bahan ajar. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari peta bahan ajar di bawah ini.

Keterangan

SK : Standar Kompetensi KD : Kompetensi Dasar MP : Materi Pembelajaran JBA : Judul Bahan Ajar

SK •

Mengungkapkan pendapat tentang pembacaan puisi

KD

• Menanggapi tentang pembacaan puisi lama (mantra) yang meliputi lafal, intonasi, ekspresi

MP

• Puisi lama (mantra)

• Pengertian lafal, intonasi, dan

JBA •


(45)

181

4. Handout Materi Mantra dalam Upacara Menumbai Lebah

Tradisi menumbai lebah merupakan budaya lokal masyarakat Melayu Riau. Menumbai lebah adalah mengambil madu lebah dari pohon sialang oleh pawang pada saat malam gelap dengan menggunakan alat-lat tradisonal seperti tali, ember, tunam atau obor. Upacara menumbai lebah masing sangat tradsional, karena terikat oleh waktu dan hukum adat yang dibuat oleh pemuka adat setempat.

Di Riau, keberadaan tradisi menumbai tersebar diberbagai daerah seperti di Kampar, Pelalawan, Siak Sri Indrapura, Pasir Pengarain, Dumai, Rokan Hilir, dan di Rokan IV Koto. Keberadaan tradisi menumbai lebah yang hampir merata di deseluruh wilayah Riau, tidak membuat tradisi tersebut berbeda dalam proses upacaranya, namun hanya berbeda dalam dilalek bahasa mantranya saja.

Upacara menumbai lebah dilaksanakan oleh orang tertentu atau dipanggil pawang oleh masyarakat masyarakat Melayu Rokan dan dibantu oleh beberapa orang anggota, ritual diawali sebelum memanjat sialang hingga selesai yakni sebelum pawang dan anggotanya turun dari pohon sialang. Dalam setiap tahapan-tahapan upacara, pawang membacakan mantra sebagai media komunikasi antara pawang dengan lebah dan penunggu pohon sialang.

Mantra adalah gubahan bahasa yang memiliki kekuatan magis, dan dibacakan oleh pawang atau dukun. Mantra merupakan bagian dari puisi lama yang keberadaanya tersebar di tengah masyarakat, hal ini disebabkan oleh masyarakat dahulu menggunakan mantra sebagai bagian dari kegiatannya sehari-hari. Mantra terbagi menjadi dua yaitu mantra kebaikan dan mantra kejahatan. Mantra kebaikan adalan mantra yang digunakan untuk hal yang baik, seperti mantra membuka lahan, mantra melaut, mantra pengobatan, mntr berburu, dan lain sebagainya. Adapun mantra keburukan adalah mantra yang digunakan untuk hal-hal yang buruk, misalnya mantra mencuri, mantra santet, mantra gayung, dan sebagainya. Mantra menumbai lebah adalah mantra yang digunakan untuk mngambil madu, dan tergolong pada mantra yang kebaikan.

Kebanyakan mantra dibacakan oleh pawang atau dukun dengan cara berbisik-bisik dan hanya dipahami oleh penuturnya saja, namun mantra menumbai


(46)

lebah dibacakan dengan suara yang lantang dan berirama. Kemudian dalam penuturan mantra menumbai lebah pawang melafalkan dengan jelas, intonasi yang teratur, dan berekspresi agar menimbulkan kekuatan magis. Lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang di suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa, intonasi adalah keberaturan naik turunnya nada dalam bertutur, dan ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan (memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya).

Selain keiunikan penuturan, dalam mantra menumbai lebah juga mengandung unsur kebahasan, seperti diksi, gaya bahasa, makna, dan sebagainya. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari mantra menumbai lebah di bawah ini.

Mantra Menumbai Lebah Masyarakat Melayu Rokan

Bobuah kopoyang danto Bobuah bo arei-arei Botuah lantak nan tigo Bonamo bujang godombei

Diguah lantak rang Tapung Sangkuten panden dari jao

Toguah-toguah lantak bogantuang Sangkuten baden dengen nyao Paduko menggantang timah Ko puwun bojaga manih

Mano ko datuak non punyo rumah Assalamualaikum kami nak nayiak

Mongapo ijuak diumbai Masaklah buah kayu polam Mongapo itam duduk bojuntei Monanti bulan kolam

Godiguah lantak rang topuang Kesiak di dalam timbunan tulang Daen jorambang jawek tangen ku Kasiahnyo buken alang-alang

Mari kito boradu punei Ikolah punei dari jauah Mari kito boradu urei Ikolah urei non kami bao Anak lobah anak linurun Ko tigo anak kolik-kolik


(47)

183

Lobah ko tido dianta turun Ikuik borintiang tunam bobolik

Ko bukik pungkangken batu Non ko lurah tangguaklah udang Itom manih sensengken baju Kami monengok panou boturang Ayam ugok non panjang susuah Tolumpek ko sobaliak batang Usah mougok usah morusuah

Buek ken sambek ko gunuang ledeng Dimano kuau bobunyi

Di ateh daen lingkanang Dimano kito bojanji Di ateh daen jorambang Concang-concang kaki tonawen Diconcang di buku buluah Momintak kami ko awen

Bintang ko jangen dibori tumbuah Titi pomatang sagu

Torontak di awua lemen Buken kami sajo monjunjuang Titah nabi Sulaiman

Daun torok jatuah molayang Jatuah ko Siak Indragiri

Tidua sokolok jangen bangun sayang Dimano tompek buanglah diri

Ko topuang mongambiak donden To ambiak donden botino

Tokopuang-kopuang kami di daen Baden dilingkuang lauten Cino Siapo punyo panden ko

Pandenlah sudah bobuang biluluaknyo Siapo punyo lambayen ko

Bak bungo kombang isuak Moramu situpei bolang Bolang kolalu ko kakinyo Elok-elok ujuang monyoborang Ujuanglah sarek dek isinyo

siapo punyo panden ko


(48)

siapo punyo lambayen ko bak bungo kombang bo induak

5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana pelaksanaan pembelajaran merupakan salah perangkat pembelajaran yang disiapkan oleh guru dengan mengembangkan kurikulum yakni KD yang tetapkan oleh pemerintah. Hal ini sebenarnya memberikan keleluasaan kepada guru untuk lebih kreatif dan menentukan hal yang terbaik untuk peserta didiknya sendiri. Adapun rencana pembelajaran yang dibuat berdasarkan KD dan sumber pembelajaran telah dipaparkan di atas adalah sebagai berikut.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Nama Sekolah : SMA Negeri Rokan IV Koto Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas/Semester : XII/1

Alokasi Waktu : 2x45 menit (1 x pertemuan)

A. Standar Kompetensi

Berbicara: mengungkapkan pendapat tentang pembacaan puisi

B. Kompetensi Dasar

Menanggapi pembacaan puisi lama (mantra) berkenaan lafal, intonasi, dan ekspresi

C. Indikator

1. Siswa mampu membacakan puisi lama (mantra) di depan kelas dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang benar.

2. Siswa mampu menanggapi pembacaan puisi lama (mantra) dengan memperhatikan lafal, intonasi, dan eskpresi.

D. Materi Pembelajaran 1. Puisi lama (mantra)

Mantra merupakan bagian dari sastra lama atau sastra klasik yang wujudnya berbentuk abstrak dan bentuk penyebarannya dari mulut ke mulut. Dalam Kamus


(1)

194

Perangkat pembelajaran dalam konteks ini ditujukan pada pembuatan bahan ajar Bahasa dan Satra Indonesia sesuai dengan budaya lokal seperti mantra dalam upacara menumbai lebah. Hal tersebut juga cukup berlandasan, karena pada kelas XII semester 1 terdapat standar kompetensi pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tentang pembacaan puisi lama dengan memerhatikan lafal, intonasi, dan ekspresi. Bahan ajar yang bersumberkan dari mantra menumbai lebah dapat dibuat handout yang memuat tentang mantra serta penjabaran lafal, intonasi, dan ekspresi. Selain itu kaset atau file pembacaan mantra oleh pawang dapat juga dijadikan bahan ajar untuk rujukan bagaimana membaca mantra menumbai lebah yang baik dan benar layaknya pembacaan pawang pada saat proses menumbai lebah dengan memerhatikan lafal, intonasi, dan ekspresi.

B. Saran

Saran dalam hal ini dapat diberikan oleh peneliti untuk sebagai bentuk pelestarian budaya, dan saran dari pihak lain terhadap penelitian yang bersifat positif. Saran dari peneliti adalah:

1. kepada pihak yang memiliki kekuatan dan wewenang agar memerhatikan budaya lokal dari pengikisan budaya asing;

2. kepada masyarakat tempatan sebagai komunitas budaya lokal agar menimbulkan rasa kepemilikan terhadap budaya sendiri, seperti tradisi menumbai lebah;

3. kepada generasi muda Melayu Rokan sebagai pewaris budaya seperti menumbai lebah pada masa mendatang, agar tidak menganaktirikan budaya sendiri dan mengagung-agungkan budaya asing;

4. kepada tenaga pendidik agar lebih kreatif untuk mengangkat budaya lokal ke dalam ranah pendidikan agar peserta didik mengenali budayanya sendiri;

5. kepada peneliti-peneliti budaya selanjutnya agar terus menggali budaya lokal, serta mengungkapkan hal-hal yang dianggap tabu ke permukaan sebagai wujud kepedulian tehadap budaya sendiri.


(2)

195

Saran kedua adalah dari pihak kedua atau pembaca penelitian ini, agar dapat kiranya memberikan masukan-masukan yang bersifat positif demi kesempurnaan penelitian ini, maklumlah peneliti hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf sehingga sangat memungkinkan terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan penelitian ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Amarinza, Pe Ediruslan, dkk. 1989. Koba Sastra Lisan Orang Riau : Dalam Dialeg Daerah Rokan Hilir. Pekanbaru: Pemprov Tingkat 1 Riau.

Ambary, Abdullah. 1968. Masalah Sastra Indonesia. Bandung: Djantika.

Azhar, Al. Koba Gombang Dang Tuongku: Nilai-nilai Pendidikan dalam Koba. Pekanbaru: Depdikbud

Badrun, Ahmad. 2003. Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan dan Fungsi. Jakarta: Unversitas Indonesia.

Belawati, Tian. 2003. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Pusat Penerbitan UT. Soeranto,Djoko. 2012. Kajian Teori Handout.[online]

Tersedia:http://teras-fisika.blogspot.com/2012/12/kajian-teori-handout.html [16 Mei 2013]. Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa Struktur Internal, Pemakaian, dan

Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Chairil. 2009. Handout. [online] tersedia: http://chai-chairil.blogspot.com/ [16 Mei 2013].

Creswell, Jhon W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. London. United Kingdom: Sage Publication. Daud, Harun. 2001. Mantra Melayu: Analisiss Pemikiran. Malaysia: Sains

Malaysia.

Davies, L.K. 1971. The Managament Learning. London: Mc Graw-hill.

Danandjaja, James. 1984. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: Grafiti Pers.

Djamaris, Edwar. 1990. Foklor Amerika Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti.

____________. 1990. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klsaik. Jakarta: Balai Pustaka.

Endawarsa, Suwardi. 2002. Metodologi Penelitian Foklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pesindo.

Junus, Umar.1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.


(4)

Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta ____________. 1990. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta:

Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 2010. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Luxembrurg. 1988. Tentang Sastra. Jakarta: Intermesa.

Liliweri, Alo. 2009. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Muslich, Masnur. 2010. Fonologi Bahasa Indonesia :Tinjauan Deskriptif Sitem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara

Marni, Tien. 2009. Yang Berfaedah dalam Kisah: Nilai-nilai Pendidikan dalam Cerita Burung Gasing Daerah Kampar. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Nazriani. 2012. Mantra dalam Upacara Pesondo: Kajian Struktur Teks, Konteks, Proses Penciptaan, dan Fungsi Serta Kemungkinan Pemanfaatan Sebahan Bahan Ajar di SMA (Tesis). Bandung: UPI.

Pradopo, Rachmat. 2010. Pengakajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press.

Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Prastowo, Andi. 2012. Paduan kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

____________. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: Diva Press.

Ramlan, M. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yoyakarta: CV Karyono. Rafiek, M. 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Rafika

Aditama.

Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Satra. Yogyakarta: Kanisius.

Rosidi, Ajip. 1995. Sastra dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(5)

Rusyana, Yus. 2008. Tradisi sebagai Tumpuan Kreatifitas Seni. Bandung: Sunan Ambu Press.

Sibarani, Robert. 2010. Kearifan Lokal (Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Sims, Martha C. & Martine Stephens. 2005. Living Folklore: An Introduction to the Study of People and Their Traditions. Logan, Utah: Utah State University Press.

Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Surakarta: Pustaka Pelajar.

Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesian dalam Budaya. Jakarta: Wideatama Widya Satra.

Sutaresmi, Sutaresmi dan Fasya, Mahmud. 2011. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Bandung: UPI Press.

Sugiyono. 2011. Metode Peneliitan Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Albeta.

Sugiyono. 2010. Memahami Peneliitan Kualitatif. Bandung: Albeta Sukmadinata, N.Y.2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:Rosda. Supartono. 2009. Ilmu Dasar Budaya. Bogor: Ghalia Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi :Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudikan, Setya Yuwana. 2007. Antropologi Sastra. Surabaya: Unesa Unvesity Press.

Spardley, James. P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar dan Teori

Pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.

Syam, Yusri. 2012. Adat Monografi Rokan Hulu. [online] tersedia: http//Rokan.org [12 Ferbruari 2013].

Tim Pusat Penelitian Kebudayaan Riau. 2005. Budaya Tradisional Melayu Riau. Pekanbaru: Depdikbud.

Taum, Yosep. Y. 2011. Studi Sastra Lisan. Yogyakarta: Lamalera.

Sadi Hutomo, Saripan. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI


(6)

Munandar, Soelaeman 2000. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: Rafika Aditama.

Yuniawati. 2012. Strategi Menyiapkan Bahan Aja [online] tersedia:http://yuni-yuniawati.blogspot.com/ [16 Mei 2013]

Widagdho, Djoko. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Waluyo, J Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Sastra. Jakarta: Erlangga. Wellek&Werren. 1989. Teori Kesustraan. Jakarta: Gramedia.

Zaenal, Khayat. 2011. Kiat Menyusun Bahan Ajar.[online] tersedia:http//bahan-ajar.blogspot.com [14 mei 2013].