MANTRA DALAM UPACARA PESONDO: KAJIAN STRUKTUR TEKS, KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN DAN FUNGSI SERTA KEMUNGKINAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA LISAN DI SMA.

(1)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Lembar Pengesahan

Lembar Pernyataan i

Kata Pengantar ii

Ucapan Terima Kasih iv

Abstrak viii

Daftar Isi ix

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah Penelitian 1

B. Batasan Masalah Penelitian 9

C. Rumusan Masalah Penelitian 9

D. Tujuan Penelitian 10

E. Manfaat Penelitian 10

F. Definisi Operasional 12

G. Asumsi Penelitian H. Penelitian yang Relevan

BAB II PENGKAJIAN MANTRA DALAM UPACARA PESONDO A. Pengantar

13 14

15

B. Pengertian Kebudayaan 15

C. Pengertian Folklor 19

1. Ciri-ciri folklor 21

2. Jenis-jenis Folklor 23

3. Fungsi Folklor 24

D. Tradisi Lisan 26

E. Sastra Lisan 31

F. Mantra 35

1. Struktur Teks 46

a. Formula Sintaksis 46

b. Formula Formulaik 48

c. Bentuk 49

d. Formula Bunyi 49

e. Gaya Bahasa 52

f. Tema 59

2. Konteks Penuturan 60

3. Proses Penciptaan 61

4. Fungsi 62

G. Upacara Adat 65

H. Upaya Pelestarian Mantra dalam Upacara Pesondo 1. Dasar Pemikiran

2. Alternatif Upaya Pelestarian Mantra dalam Upacara Pesondo

70 70 72 73


(2)

3. Sastra Lisan dalam KTS 4. Pemilihan Bahan Ajar 5. Bahan Ajar

75 76 80

I. Analisis Struktural 85

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pengantar 89

B. Metode Penelitian 89

C. Lokasi Penelitian 90

D. Sumber Data 91

E. Teknik Pengumpulan Data 91

F. Instrumen Penelitian 93

G. Informan 94

H. Teknik Analisis Data I. Pedoman Analisis data J. Alur Penelitian

96 96 98 BAB IV PROSES UPACARA PESONDO, STRUKTUR TEKS,

KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN DAN FUNGSI MANTRA

A. Pengantar B. Deskripsi Data

99 99

1. Letak Kabupaten Buton Utara 99

2. Lingkungan Budaya Penelitian 100

3. Upacara Pesondo 110

C. Hasil Analisis data 125

1. Proses Upacara Pesondo 125

2. Analisis Struktur Teks Mantra dalam Upacara Pesondo 128

a. Analisis Struktur Teks Mantra MUP- 1 128

1). Formula Sintaksis MUP-1 128

2). Sistem Formula Mantra MUP-1 130

3). Formula Bunyi Mantra MUP-1 131

a. Rima 131

b. Asonansi dan Aliterasi 132

c. Irama 133

4). Gaya bahasa dalam Mantra MUP-1 134

a. Diksi 134

b. Paralelisme 135

c. Majas 135

5). Tema 135

b. Analisis Struktur Teks Mantra MUP-2 136

1). Formula Sintaksis MUP- 2 136

2). Sistem Formula Mantra MUP-2 146

3). Formula Bunyi Mantra MUP-2 148


(3)

b. Asonansi dan Aliterasi 152

c. Irama 154

4). Gaya Bahasa dalam Mantra MUP-2 156

a. Diksi 156

b. Paralelisme 159

c. Majas 161

5). Tema 161

c.Analisis Struktur Teks Mantra MUP-3 161

1). Formula Sintaksi MUP-3 162

2). Sistem Formula Mantra MUP-3 182

3). Formula bunyi Mantra MUP-3 185

a. Rima 185

b. Asonansi dan Aliterasi 187

c. Irama 192

4). Gaya Bahasa dalam Mantra MUP-3 195

a. Diksi 196

b. Paralelisme 197

c. Majas 201

5). Tema 201

3. Konteks Penuturan Mantra dalam Upacara Pesondo 202 4. Proses Penciptaan Mantra dalam Upacara Pesondo 205

5. Fungsi Mantra dalam Upacara Pesondo 207

D. Pembahasan Hasil Analilisis 208

1. Upacara Pesondo 208

2. Struktur Teks Mantra dalam Upacara Pesondo 210

3. Konteks penuturan Mantra dalam Upacara Pesondo 214 4. Proses Penciptaan Mantra dalam Upacara Pesondo 215

5. Fungsi Mantra dalam Upacara Pesondo 216

BAB V PEMANFAATAN MANTRA DALAM UPACARA PESONDO SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA LISAN DI SMA

A. Pengantar

218 B. Upaya Pelestarian dalam Pembelajaran Sastra Lisan di Sekolah 218

C. Dampak yang diharapkan 220

D. Mantra sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA 1. Analisis Kurikulum

220 220 2. Analisis Sumber Belajar

3. Menentukan Bahan Ajar 4. Peta Bahan Ajar

5. Handout Materi Mantra dalam Upacara Pesondo 6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

E. Transformasi Upacara Pesondo ke dalam Bentuk Seni

F. pengintegrasian Nilai-nilai dalam Upacara Pesondo dalam Kehidupan Masyarakat Kulisusu 222 222 223 224 225 230 239 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN


(4)

6.1. Simpulan 245

6.2. Saran 253

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(5)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang beragam yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kekayaan budaya dan tradisi itu sudah menjadi ciri khas yang unik serta sudah menjadi identitas bangsa. Dalam kurun waktu yang lampau sebelum manusia mengenal tulisan (aksara) segala sesuatunya dilakukan secara lisan termasuk proses pewarisan budaya dan tradisi seperti pewarisan cara hidup, karya sastranya, kepercayaan (religi), upacara adat (ritual), sistem pengetahuan, dan sebagainya. Jadi, karena proses pewarisannya secara lisan itulah kemudian dikenal dengan istilah tradisi lisan. Tak dapat disangkal bahwa kebudayaan yang paling banyak di Indonesia adalah budaya atau tradisi lisannya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Karena kelisanannya itulah budaya (tradisi lisan) menjadi sesuatu yang unik, sebab segala bentuk tata cara hidup, pola berpikir, adat kebiasaan dan masih banyak lagi harus disampaikan secara lisan dan turun-temurun serta hanya mengandalkan daya ingatan manusia saja.

Tradisi lisan merupakan hasil atau sumber kebudayaan daerah yang memiliki nilai-nilai luhur, moral mengenai tatanan kehidupan suatu masyarakat pada waktu tertentu untuk dijadikan cerminan hidup kebudayaan dan komunikasi antargenerasi. Seiring dengan peradaban manusia yang kian berkembang dan maju, perkembangan tradisi lisan mulai terdesak dengan munculnya tradisi tulis.


(6)

Tradisi lisan sebagai produk masyarakat lampau perlahan mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya.

Bila ditilik lebih dalam tradisi lisan bangsa Indonesia memiliki potensi yang cukup tinggi untuk mampu bersaing dengan budaya asing. Seyogianya pelestarian tradisi tulis harus seimbang dengan pelestarian tradisi lisan khususnya sastra lisan, sebab tradisi lisan merupakan manifestasi dari kebudayaan nasional serta merupakan khazanah budaya Indonesia demi terbentuknya corak dan karakteristik kepribadian bangsa. Rusyana (2008:2) mengemukakan bahwa

sesuatu disebut tradisi apabila hal itu telah tersedia di masyarakat, berasal dari masyarakat sebelumnya, yaitu telah mengalami penerusan turun-temurun antargenerasi. Tradisi dapat berwujud sebagai barang dan jasa serta perpaduan antara keduanya. Sebagai barang, tradisi merupakan produk dari masa lalu yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebagai jasa, tradisi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang jenis dan caranya sudah tentu. Kegiatan yang demikian itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam produk barang dan jasa itu terkandung nilai dan norma yang juga ikut diwariskan bersama-sama dengan barang dan jasa yang mengandungnya. Tradisi lisan yaitu tradisi yang diteruskan dengan ujaran tindakan.

Tradisi lisan merupakan segala bentuk pewarisan adat-istiadat yang lahir dari suatu kelompok masyarakat yang disampaikan atau diwariskan secara lisan kepada tiap generasi. Setiap tradisi pastilah memiliki kandungan nilai-nilai, makna, dan fungsi bagi masyarakat. Sebuah tradisi merupakan sebuah pengikat secara adat bagi masyarakat pendukungnya, sebuah tradisi dapat juga dikatakan sebagai cerminan hidup dan cara pandang adab kebiasaan sebuah kelompok masyarakat.


(7)

Sastra daerah adalah bagian dari tradisi lisan. Perkembangan sastra daerah tidak pesat dan ramai perkembangannya dibandingkan dengan perkembangan sastra tulis. Sastra daerah lebih dikenal dengan sastra lisan meliputi prosa dan puisi lisan yang dalam penyampaiannya menggunakan bahasa lisan serta masih menggunakan bahasa daerah sedangkan untuk sastra modern menggunakan bahasa tulis. Sastra daerah atau sastra lisan ini dikenal dan populer hanya pada masyarakat pemiliknya sehingga ia tidak begitu dikenal oleh masyarakat luar, sementara itu karya sastra moderen lebih bersifat umum dari segi bahasa yang digunakannya. Fungsi sastra lisan mungkin perlu disamakan dengan fungsi karya sastra sekarang ini yaitu seperti yang dikemukakan oleh Horatius yakni bersifat dulce et utile. Sudjiman (1995: 15) mengungkapkan bahwa

sastra lisan banyak yang sifatnya mendidik bimbingan moral, keteladanan, kearifan hidup, yaitu hidup bermasyarakat dan hidup beragama. Sifat lain dari sastra lisan adalah menghibur yakni dalalam sastra lisan terdapat kemerduan permainan bunyi, keteraturan rima, serta gaya bahasa dan majas. Dalam penyajiannya, sastra lisan banyak yang memikat, menyejukkan perasaan, dan menimbulkan rasa keindahan sehingga persoalan hidup yang tidak menyenangkan terlupakan untuk sesaat.

Salah satu bentuk sastra lisan yang ada di setiap daerah adalah mantra. Mantra dapat dikatakan sebagai karya sastra lisan atau daerah yang paling tua usianya. Kehadiran suatu mantra berkaitan erat dengan kepercayaan manusia dengan dunia gaib dan dunia supranatural. Mantra dikenal sebagai sebuah kumpulan kata yang mengundang efek kekuatan gaib. Bahasa yang digunakan dalam mantra adalah banyak menggunakan istilah kuno, penuh dengan simbol-simbol dan bersifat konotatif dan kadang sulit dimengerti. Namun disitulah letak kesakralan sebuah mantra. Mantra diucapkan oleh seorang pawang atau dukun


(8)

atau orang yang memiliki kekuatan atau keahlian. Pengucapan sebuah mantra harus didukung pula oleh konteks penuturannya artinya mantra tidak boleh diucapkan di sembarang tempat. Konteks penuturan sebuah mantra biasanya ada dalam setiap upacara-upacara ritual. Dalam upacara ritual, mantra digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan, Dewa, leluhur, atau makhluk gaib lainnya.

Setiap daerah di pelosok Nusantara tentu memiliki tradisi yang salah satunya adalah upacara adat. Upacara adat merupakan suatu aktivitas atau rangkaian tindakan yang diatur oleh adat atau hukum yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang berhubungan dengan berbagai peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Upacara adat itu dapat berupa upacara ritual inisiasi, siklus hidup (kelahiran, beranjak dewasa, menikah, dan kematian), upacara memohon hujan, membuka ladang, menanam padi dan sebagainya.

Kehadiran sebuah tradisi berupa upacara ritual yang diyakini suatu masyarakat pendukungnya sebagai warisan leluhur mempunyai makna dan fungsi di antaranya sebagai media hiburan, media pendidikan, dan media sosial. Sebagai media pendidikan upacara ritual siklus hidup banyak memberikan nasihat, perintah dan larangan agar seseorang menjadi orang yang baik. Namun nilai yang positif yang diemban sebuah upacara ritual tidak seperti yang diharapkan terutama pada masyarakat yang sudah modern pola pemikirannya. Pudentia (2009: 18) menyatakan bahwa


(9)

masalah yang dihadapi masyarakat pemilik tradisi dewasa ini adalah makin memudarnya kekuatan religi termasuk di dalamnya ritual dan upacara tradisional yang sesungguhnya merupakan kekuatan masyarakat di daerah-daerah yang dapat dijadikan sebagai perekat bersama.

Kekuatan religi yang mulai memudar ini banyak disebabkan oleh makin menipisnya kesadaran masyarakat pendukungnya akan tradisi yang dimilikinya. Masuknya budaya luar juga tak bisa dipungkiri dapat memengaruhi budaya lokal. Pemikiran masyarakat yang maju dan modern bisa menjadi pemicu menipisnya tingkat intensitas pelaksanaan upacara ritual tersebut. Masyarakat perlu diingatkan bahwa sebuah tradisi hadir bukan hanya sebagai pengenal budaya daerah saja, tetapi juga dapat menjadi media untuk mendidik masyarakat.

Pendidikan sebenarnya bukan hanya dilakukan di lingkungan formal atau lingkungan sekolah, tetapi dapat pula dilakukan di lingkungan keluarga dan di lingkungan masyarakat (sosial). Pendidikan merupakan sebuah proses, dan proses pendidikan itu dapat berlangsung di mana saja, kapan saja, dan dalam konteks mana saja termasuk dalam konteks tradisi dan budaya.

Pengenalan tradisi khususnya sastra lisan di lingkungan sekolah adalah salah satu upaya untuk melestarikan budaya daerah. Siswa harus diajak untuk mengenali karya sastra daerahnya agar mereka lebih menghargai hasil budaya daerahnya sendiri, seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Seyogianya pada materi sastra daerah di sekolah guru tidak harus memperkenalkan hasil sastra daerah di luar daerahnya, tetapi lebih memperkenalkan kepada siswa tentang karya sastra daerahnya sendiri.


(10)

Pengenalan budaya dan tradisi di lingkungan sekolah merupakan upaya pelestarian budaya daerah. Melalui pendidikan di sekolah budaya/tradisi dapat diawetkan. Guru adalah ujung tombak pewarisan tradisi dan siswa adalah generasi muda penerus tradisi.

Salah satu daerah di Indonesia yang masih kental dengan tradisi khususnya upacara adat dan sastra lisan adalah Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara memiliki 32 sub etnis. Etnis mayoritasnya adalah etnis Muna, Tolaki, Buton. Daerah ini dapat dikatakan sebagai daerah yang banyak memiliki kekayaan budaya dan tradisi khususnya tradisi lisan dan sastra lisan. Pada tiap etnis ini memiliki tradisi yang berbeda-beda. Salah satunya adalah upacara adat (ritual) yang mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi sebagai prinsip hidup masyarakat pendukungnya. Salah satu etnis yang memiliki keragaman budaya dan tradisi adalah etnis Kulisusu, yang terletak di sebelah utara pulau Buton Sulawesi Tenggara. Suku Kulisusu atau sering dikenal dengan nama Ereke dalam perjalanan sejarahnya menurunkan cerita secara lisan dari generasi ke generasi. Keragaman tradisi lisan suku Kulisusu (Ereke) sendiri tampak salah satunya dalam pelaksanaan upacara pesondo yakni salah satu upacara siklus hidup pada masyarakat Kulisusu (Ereke). Upacara ini hanya dilakukan bagi anak pertama saja dalam satu keluarga. Upacara ini bertujuan untuk menghindarkan anak dari gangguan roh jahat dan penyakit yang sifatnya turunan dari nenek moyangnya. Masyarakat Kulisusu pada umumnya masih percaya bahwa apa yang penah dilakukan atau penyakit yang diderita oleh nenek moyangnya pada masa lampau akan dirasakan kembali oleh anak cucunya. Selain itu upacara ini juga merupakan


(11)

upacara yang bersifat mendidik si anak dengan memberinya petuah-petuah atau nasihat kelak ia dewasa dan menjadi anak yang baik. Orang tua akan merasa bersalah jika si anak mengalami kelainan atau penyakit akibat tidak disondo. Selama proses pelaksanaan, upacara pesondo menggunakan mantra sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan makhluk gaib. Melalui pengucapan mantra ini masyarakat percaya bahwa mantra ini akan mendatangkan keselamatan dan perlindungan dari arwah leluhur mereka. Pelaksanaan upacara pesondo dalam masyarakat Kulisusu berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap makhluk gaib, roh leluhur yang oleh mereka dinamakan tonuana, benda-benda keramat serta tempat-tempat yang dikeramatkan. Mantra yang diucapkan akan menghubungkan mereka dengan kepercayaan mereka tersebut terhadap apa yang mereka inginkan dan mereka harapakan.

Peran pesondo pada masa sekarang ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk dilakukan sebagian masyarakat Kulisusu apalagi untuk dipelajari oleh generasi sekarang karena berbagai alasan. Para orang tua yang mengetahui prosesi upacara sekaligus bertindak sebagai kepala upacara sedikit sekali jumlahnya serta sudah berusia lanjut. Kehadirannya dalam kehidupan masyarakat menjadi jarang, padahal kehadiran tradisi lisan mempunyai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan keberlanjutan dan ketahanan sebuah tradisi. Keberlanjutan sebuah tradisi lisan tergantung pada pewarisannya dalam hal ini kepedulian masyarakat pendukungnya terutama pelaku tradisi tersebut dalam mewariskan ke generasi berikutnya. Apabila hal ini dibiarkan, maka kita bisa kehilangan tradisi yang bergitu berharga. Hal tersebut mengajak kita untuk


(12)

berpikir positif tentang perlunya pewarisan dan pelestarian tradisi lisan tersebut. Perkembangan zaman yang serba modern sekarang ini membuat tradisi ini terkikis tingkat pelaksanaan maupun kepercayaan di tengah masyarakat pemiliknya sendiri. Kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari upacara pesondo ini menjadi motivasi bagi penulis untuk melakukan penelitian guna melestarikan salah satu warisan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetangahkan sebuah upacara adat yang mulai perlahan hilang kepercayaannya atau mengalami degradasi di tengah-tengah masyarakat pendukungnya.

Penelitian ini memfokuskan pada proses upacara pesondo kajian struktur teks, konteks, proses penciptaan mantra dan fungsi upacara pesondo bagi masyarakat Kulisusu. Tujuan lain dalam penelitian ini adalah untuk melestarikan salah satu unsur dalam upacara pesondo yakni dengan memasukan mantra yang digunakan dalam upacara pesondo sebagai pengembangan bahan ajar sastra khususnya sastra lisan di SMA.

Penelitian tentang upacara pesondo sudah pernah dilakukan oleh Kasto dengan judul Nilai-nilai Upacara Pesondo dalam Pembinaan Mental Anak (2001) dan tasrin dengan judul penelitian Nilai Ungkapan Upacara Pesondo dalam Pembinaan Mental Anak (2003). Penelitian yang dilakukan oleh Tasrin dan Kasto ini lebih menekankan pada makna tuturannya atau ungkapan dalam upacara pesondo menurut hasil penelitian keduanya tuturan dalam upacara pesondo mengandung nilai pendidikan, agama, moral, dan sosial kemasyarakatan. Tuturan dalam upacara pesondo dapat membina mental seorang anak. Penelitian tersebut


(13)

hanya memfokuskan pada makna ungkapannya saja tanpa melihat proses dan struktur teks secara keseluruhan ungkapan/tuturan yang digunakan.

B. Batasan Masalah Penelitian

Sebuah penelitian selalu beranjak dari masalah. Penelitian pada hakekatnya adalah upaya untuk mencari jawaban yang benar dan logis dari suatu masalah yang didasarkan atas data empiris yang terpercaya. Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah pada kajian struktur teks mantra, konteks penuturan , proses penciptaan, dan fungsi mantra dalam upacara pesondo bagi masyarakat Kulisusu sebagaimana judul yang diajukan yakni “Mantra dalam upacara Pesondo: Kajian struktur teks, konteks, proses penciptaan dan Fungsi serta Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Bahan Ajar sastra di SMA”.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan batasan masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah proses pelaksanaan upacara pesondo?

2. Bagaimanakah struktur teks mantra dalam upacara Pesondo? 3. Bagaimanakah konteks penuturan mantra dalam upacara pesondo? 4. Bagaimanakah proses penciptaan mantra dalam upacara pesondo? 5. Apa fungsi upacara pesondo bagi masyarakat Kulisusu?

6. Bagaimanakah mengemas mantra dalam upacara pesondo untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar sastra lisan di SMA?


(14)

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk melestarikan salah satu tradisi atau budaya daerah yang hampir mengalami kepunahan, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk memperoleh deskripsi yang berkaitan dengan

1. proses pelaksanaan upacara pesondo 2. struktur teks mantra upacara pesondo

3. konteks penuturan mantra dalam upacara pesondo 4. proses penciptaan mantra dalam upacara pesodo 5. fungsi upacara pesondo bagi masyarakat Kulisusu

6. pemanfaatan mantra dalam upacara pesondo sebagai bahan ajar sastra lisan di SMA.

Tujuan pertama adalah untuk memahami proses atau jalannya upacara pesondo. Tujuan kedua sampai tujuan keempat adalah untuk mengungkap struktur isi kandungan mantra dalam upacara pesondo, tujuan kelima adalah untuk mengetahui kegunaan upacara pesondo di tengah-tengah masyarakat Kulisusu, dan tujuan keenam adalah untuk membuat suatu langkah upaya pelestarian ke dalam lingkungan sekolah yakni dengan memasukan mantra sebagai alternatif bahan ajar sastra lisan di SMA.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi khalayak. Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:


(15)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu budaya, khususnya folklor, tradisi lisan, sastra lisan khususnya puisi lama (mantra). Hal ini penting untuk dijadikan referensi bagi penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut: a. Bagi masyarakat pemilik budaya yakni masyarakat Kulisusu dapat

menumbuhkan sikap kepemilikan budaya dan tradisi pesondo.

b. Dapat menumbuhkan semangat generasi muda untuk terus melestarikan budaya bangsa yang sarat akan nilai-nilai kehidupan. c. Hasil analisis dari penelitian ini akan diimplementasikan ke dalam

pembelajaran sastra lisan dan muatan lokal bahasa daerah Kulisusu sebagai bekal pengetahuan yang sekait dengan hakikat bahan ajar. d. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara pesondo ini dapat

diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari seorang anak maupun siswa sebagai anggota suatu masyarakat.

e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat merangsang para peneliti lainnya untuk melakukan penelitian sejenis yang ada di tanah air sebagai wujud kepedulian akan budayanya.


(16)

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalah penafsiran dalam penelitian ini, penulis merumuskan beberapa batasan definisi operasional sebagai berikut:

1. Mantra adalah satu jenis puisi lama yang ada di Indonesia khususnya di Kabupaten Buton Utara. Mantra adalah kumpulan kata yang mengandung kekuatan gaib atau bersifat magic.

2. Pesondo merupakan salah satu upacara adat (ritual) yang wajib dilakukan bagi setiap keluarga untuk anak pertamanya baik anak laki-laki maupun anak perempuan.

3. Kajian struktur teks adalah analisis secara mendalam pada teks mantra yang diucapkan selama proses upacara berlangsung. Struktur teks meliputi formula sintaksis, formula, formula bunyi (rima, asonansi dan alitrasi serta irama), gaya bahasa (diksi, paralelisme dan majas) serta tema.

4. Kajian tentang konteks penuturan adalah analisis secara mendalam tentang konteks atau situasi atau suasana ruang dan waktu perihal penuturan mantra dalam upacara pesondo yang melibatkan penutur dan pendengar.

5. Kajian proses penciptaan adalah analisis secara mendalam tentang ide kreatif penciptaan sebuah mantra dalam upacara pesondo.

6. Kajian fungsi adalah analisis secara mendalam untuk mengetahui semua hal yang berkaitan dengan objek yang diteliti dalam hal ini yang


(17)

menjadi objek penelitian adalah upacara pesondo yakni fungsi atau kegunaan bagi masyarakat Kulisusu Kabupaten Buton Utara.

7. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan (bahan tertulis maupun tak tertulis) yang digunakan untuk membantu guru dalam proses pembelajaran.

G. Asumsi Penelitian

Asumsi penelitian yang akan digunakan dan menjadi pedoman dalam peneitian adalah sebagai berikut.

1. Upacara pesondo merupakan salah satu unsur budaya dan pula dapat dikatakan sebagai folklor atau tradisi masyarakat Kulisusu yang ikut memperkaya khazanah kebudayaan nasional.

2. Mantra sebagai alat komunikasi dengan arwah leluhur mengiringi setiap lakuan dalam upacara pesondo. Mantra adalah salah salu tradisi yang diwariskan leluhur untuk para generasinya.

3. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan tradisi upacara pesondo khususnya teks mantra dalam upacara pesondo adalah denga dijadikan teks mantra sebagai alternatif bahan ajar sastra lisan (puisi lama) pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. 4. Pengenalan mantra di sekolah adalah sebagai salah satu upaya

pelestarian tradisi agar siswa mengenali tradisi dan budayanya sendiri. 5. Nilai-nilai dalam upacara pesondo dapat diaplikasikan dalam


(18)

H. Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang mantra dalam upacara pesondo yang dilakukan oleh penulis ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heri Isnaini (2007) dari Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan judul Mantra Asihan: Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi. Penelitian yang dilakukan oleh Heri Isnaini adalah penelitian dalam rangka penyusunan skripsi.

Penelitian yang relevan berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Badrun (2003). Penelitian yang dilakukannya adalah guna penyusunan disertasi dengan judul penelitian Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukkan, Proses Penciptaan dan Fungsi.


(19)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pengantar

Bab III ini mencakup lokasi penelitian, langkah-langkah atau cara-cara yang ditempuh dalam rangka menjaring data yang berhubungan dengan penelitian serta langkah-langkah analisis data yang dilakukan peneliti.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah peneliti lapangan yaitu penelitian tentang folklor lisan dan sebagian lisan yang ada pada suatu masyarakat. Folklor lisan yang akan dikaji adalah berupa mantra yang diucapkan dalam upacara pesondo. Folklor sebagian lisan itu adalah yang berupa upacara adat/ritual daur hidup yang terdapat di Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Porovinsi Sulawesi Tenggara yakni upacara pesondo. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif etnografi atau lebih dikenal dengan model etnografi. Model etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Penelitian dengan model etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat.

Pendekatan etnografi yang penulis gunakan mengacu pada pendapat Hutomo (Endraswara, 2006: 51) yang memberikin karakteristik atau ciri-ciri penelitian etnografi yaitu (a) sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empiris (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari; (b) peneliti


(20)

sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data; (c) bersifat pemerian (deskripsi), artinya mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat, dibaca lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian mengombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan; (d) studi kasus; (e) analisis bersifat induktif; (f) di lapangan peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang ditelitinya; (g) data dan informan harus berasal dari tangan pertama; (h) kebenaran data harus dicek dengan data lain; (i) orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan juga), konsultan, serta teman sejawat; (j) titik berat perhatian harus pada pandangan emik bukan pandangan etik; (k) dalam pengumpulan data menggunakan purposive sampling dan bukan probabilistik statistik; (l) menggunakan data kualitatif.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berada di wilayah Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di salah satu wilayahnya yaitu di Kecamatan Kulisusu Induk. Pemilihan kecamatan Kulisusu Induk sebagai wilayah penelitian sebab di daerah ini merupakan pusat kota, puast pemerintahan daerah dan sebagian besar masyarakatnya masih mempertahankan kehidupan tradisional, masih memegang teguh ajaran nenek moyang misalnya gotong-royong, pelaksanaan haroa pada tiap-tiap hari besar Islam maupun sebagai pelengkap ritual, selain itu di daerah ini terdapat keraton bagian dari kesultanan Buton.

Kecamatan Kulisusu induk adalah tempat tinggalnya para tokoh adat atau tokoh masyarakat serta memiliki sedikit banyak pande yang mengetahui hal


(21)

ikhwal tentang upacara pesondo. Daerah lain sering memanggil pande dari daerah Kulisusu induk ini untuk memimpin jalannya upacara pesondo. Dari segi kemudahan komunikasi dan perjalanan peniliti, wilayah ini termasuk mudah dan cepat dijangkau. Selain itu sarana transportasi dan bahan-bahan pendukung lainnya cukup memadai dan mudah diperoleh.

D. Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah proses upacara pesondo serta mantra yang diucapkan dalam upacara pesondo serta peraga adat yang menyertainya. Data pendukung lainnya adalah data dari hasil wawancara dan observasi.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Dalam penelitian kualitatif model etnografi pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah). Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah teknik observasi (participant observation) dan teknik wawancara (wawancara tak terstruktur, terstruktur dan semi terstruktur).

Teknik observasi akan melibatkan tiga objek sekaligus yaitu lokasi tempat penelitian berlangsung, para pelaku dengan peran-peran tertentu, dan aktivitas para pelaku yang dijadikan sebagai objek penelitian (Ratna, 2010: 220). Melalui observasi alamiah (natural) dan wawancara mendalam, data yang terkumpul akan


(22)

semakin lengkap. Data yang diperoleh dari pengamatan dan wawancara secara natural akan lebih bermakna.

Untuk memudahkan kerja peneliti dalam mengumpulkan data, peneliti dibantu oleh perangkat-perangkat atau alat berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, catatan lapangan, taperecorder dan handycam. Masing-masing perangkat tersebut memiliki fungsi:

• Pedoman wawancara yakni digunakan sebagai rujukan pertanyaan yang akan diajukan terhadap responden dalam melaukan wawancara.

• Pedoman observasi yakni digunakan sebagai patokan dalam melakukan observasi ketika berada di lapangan penelitian. • Catatan lapangan digunakan untuk mencatat bagian-bagian

penting dari observasi dan wawancara yang mungkin mempengaruhi hasil pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian yang dilakukan.

Tape recorder digunakan untuk merekam proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti dan responden serta untuk merekan tuturan mantra yang digunakan. Hasil rekaman ini selanjutnya ditranskripsi dan diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia.

Handycam digunakan untuk merekam gambar (proses upacara pesondo) yang menjadi objek penelitian.


(23)

F. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen kunci. Hal ini didasarkan atas pendapat Nasution (2003, 55-56), bahwa:

1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat berreaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian.

2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.

3. Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami situasi dalam segala seluk-beluknya.

4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata-mata. Untuk memahaminya kita sering perlu merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita.

5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat menagfsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah pengamatan untuk mentes yang timbul seketika.

6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan, atau penolakan.


(24)

G. Informan

Penentuan informan dalam sebuah penelitian sangat penting dalam sebuah penelitian, sebab melalui informanlah data diperoleh. Salah satu cara untuk menentukan informan adalah dengan cara snowball. Snowball artinya informan dimulai dengan jumlah kecil (satu orang), kemudian atas rekomendasi orang tersebut, informasi semakin besar sampai jumlah tertentu. Informan akan berkembang terus sampai mendapat data jenuh. Hal yang penting dalam menentukan siapa informan kunci adalah dengan mempertimbangkan: (a) orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi tentang masalah yang diteliti, (b) usia telah dewasa, (c) sehat jasmani dan rohani, (d) bersikap netral, tidak memiliki kepentingan pribadi, dan (e) berpengetahuan luas. Pada saat etnografer ke lapangan mengambil data mereka akan mendengarkan maupun berperan serta (Endraswara, 2006; 57).

Berdasarkan pendapat di atas maka yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah tokoh adat dan pande sondo (orang yang memimpin jalannya upacara), informan lain adalah masyarakat Kulisusu yang berada di Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara.

H. Teknik Analisis data

Analisis adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan (Nasution, 2003: 126). Analisis adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam


(25)

unit-unit, melakukan sintesa, menyususn ke dalam pola, memili mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2010: 89).

Analisis data dilakukan terus menerus baik ketika masih dalam tahap pengumpulan data maupun setelah data terkumpul seluruhnya. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah (1) reduksi data, (2) displai data, (3) verifikasi atau mengambil sebuah kesimpulan. Tahap reduksi data maksudnya adalah data yang diperoleh dari lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan yang terinci. Uraian atau laporan itu perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema atau polanya. Hal ini akan memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Tahap display data adalah penyajian data yang biasanya dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Displai data akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang dipahami tersebut. Tahap berikutnya dalam analisis data tahap verifikasi atau mengambil sebuah simpulan (Sugiyono, 2010:95). Untuk lebih jelasnya langkah-langkah dalam analisis data adalah:

1. Mengumpulkan data yang didapat dari lapangan dengan teknik observasi dan wawancara serta hasil dokumentasi tentang upacara pesondo;


(26)

2. Menerjemahkan hasil wawancara dari bahasa daerah Kulisusu ke dalam bahasa Indonesia guna memudahkan proses analisis.

3. Menyusun secara sistematis data-data tersebut serta menguraikannya secara deskriptif;

4. Menganalisis data sesuai dengan teori yang digunakan. Untuk menganalisis masalah pertama digunakan metode etnografi. Satuan kajiannya adalah konteks situasi dan konteks sosial budaya serta unsur-unsur budaya yang ada di dalam masyarakat Kulisusu. Untuk menganalisis teks (struktur) mantra digunakan teori struktural. Setelah itu ditambahkan dengan metode etnografi yang berkaitan dengan konteks penuturan dan proses penciptaan mantra, serta fungsi mantra dalam upacara pesondo.

5. Menyusun dan merancang model pelestarian upacara pesondo; 6. Menarik kesimpulan.

I. Pedoman Analisis

Pedoman analisis digunakan sebagai patokan atau teori yang digunakan dalam menganalisis proses upacara pesondo, struktur teks, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi mantra dan pengembangan bahan ajar sastra di SMA.

No Tujuan penelitian Data temuan Pedoman analisis 1. Mendeskripsikan

proses upacara pesondo

Tahap-tahap pelaksanaan dalam upacara, alat dan benda yang digunakan, gerakan-gerakan yang dilakukan,

Teori folklor dan etnografi.


(27)

makanan yang disajikan dan tuturan atau mantra yang dibacakan dalam upacara.

2. Mendeskripsikan struktur teks

mantra dalam

upacara pesondo

Bentuk teks, struktur teks, bunyi, gaya bahasa, dan tema mantra.

Teori struktural, sinatksis, dan teori Lord

3. Konteks penuturan

mantra dalam

upacara pesondo

Waktu, suasana, tempat, tujuan penuturan, penutur , dan pendengar mantra.

Teori Lord,

4. Proses penciptaan upacara pesondo

Pewarisan mantra dalam upacara pesondo

Teori Lord

5. Fungsi mantra Fungsi religi, fungsi pendidikan, fungsi sosial dan sebagai proyeksi angan-angan masyarakat Kulisusu.

Teori etnografi

dan Fungsi

folklor

6. Bahan ajar sastra lisan di SMA

Pemanfaatan mantra dalam upacara pesondo sebagai pengembangan materi ajar puisi lama di sekolah.

Pembelajaran puisi lama di sekolah sesuai dengan KTSP


(28)

J. ALUR PENELITIAN Masalah/rumusan

masalah

Tujuan penelitian

Landasan teori

Metode penelitian

Observasi dan

wawancara Data

penelitian Klasifikasi

data Analisis

data

Penyusunan bahan ajar

kesimpulan Analisis bahan ajar


(29)

BAB V

PEMANFAATAN MANTRA DALAM UPACARA PESONDO SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA LISAN DI SMA

A. Pengantar

Pada BAB II telah diuaraikan secara ringkas mengenai upaya pelestarian mantra dalam upacara pesondo. Upaya pelestarian yang dimaksud adalah dalam bentuk pemanfaatan mantra sebagai materi atau bahan ajar sastra khususnya sastra lisan (puisi lama) di SMA. Upaya pelestarian lainnya adalah nilai-nilai yang ada dalam upacara pesondo dapat diaplikasikan ke dalam pendidikan di masyarakat dan beberapa mata pelajaran yang terkait misalnya mata pelajaran seni budaya dan mata pelajaran muatan lokal.

B. Upaya Pelestarian dalam Pembelajaran Sastra Daerah di Sekolah

Sastra daerah adalah ujung pangkal perkembangan sastra modern dewasa ini. Sebagai bagian dari hasil kebudayaan sastra daerah perlu diperhatkan sebagaimana pelestarian pada hasil-hasi budaya yang lain. Pengenalan sastra lama di sekolah merupakan pengenalan kepada siswa tentang khasanah sastra Indonesia yang beragam dan khas di masing-masing daerah. Pengenalan sastra daerah khususnya puisi lama (mantra, pantun, syair dan sebagainya) akan turut memberi konstribusi bagi upaya pelestarian budaya/tradisi dari ambang kepunahan. Melalui pembelajaran sastra lama (puisi lama) diharapkan siswa lebih mengenali dan mencintai budaya daerahnya sendiri sehingga menimbulkan rasa bangga dan optimis terhadap karya sastra dari daerahnya. Apabila mereka tidak


(30)

mengenali karya sastra berupa tradisi atau budaya daerahnya sendiri, tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi asing dalam lingkungan budayanya sendiri. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah mereka tidak menyukai budayanya sendiri.

Tujuan pengajaran sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern tentu sama karena keduanya memiliki nilai-nilai positif untuk pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Rahmanto (1988:16) bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.

Karya sastra lama memiliki ciri khas bahasa khas dan unik bersifat arkhaik/kuno misalnya terdapat dalam bahasa puisi lama khususnya mantra. Pengenalan mantra di sekolah bagi siswa bukan untuk mengajari mereka menggunakan mantra untuk kepentingan pribadi tetapi mengenalkan mereka bahwa mantra adalah salah satu genre puisi lama yang sudah tua usianya. Kedudukannya sama dengan puisi lama yang lain seperti pantun dan syair.

Pengenalan materi mantra tidak mengurangi esensi dari tujuan pendidikan dan tujuan pengajaran sastra sebab melalui bahasa mantra dapat menambah keterampilan berbahasa siswa walaupun bahasa mantra kadang bersifat kuno/arkhaik. Hal ini bisa menambah keterampilan berbahasa siswa, mantra dapat meningkatkan pengetahuan budaya siswa, siswa lebih mengenal khasanah sastra


(31)

daerahnya yang begitu kaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan bisa menunjang pembentukkan watak.

C. Dampak yang Diharapkan

Dampak yang diharapkan dari upaya pelestarian mantra dalam upacara pesondo melalui pembelajaran apresiasi sastra di sekolah adalah sebagai berikut:

a. Siswa lebih mengenali dan menghargai upacara pesondo khususnya mantra yang digunakannya sebagai karya sastra daerahnya yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang perlu untuk dilestarikan. Hal ini merupakan bagian dari apresiasi budaya.

b. Siswa dapat memperoleh pengetahuan tambahan tentang puisi lama khususnya mantra (mantra dalam upacara pesondo).

c. Para guru Bahasa dan Sastra indonesia di sekolah dapat memanfaatkan mantra dalam upacara pesondo sebagai alternatif bahan ajar untuk pengajaran sastra lama dan pertunjukkan drama.

D. Mantra sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA 1) Analisis Kurikulum

Pada pengembangan silabus mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XII semester 1 tingkat sekolah menengah atas (SMA) memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar dan materi pembelajaran yang berkenaan dengan sastra lisan dalam hal ini puisi lama. Salah satu jenis puisi lama itu adalah mantra. Pada silabus tercantum standar kompetensi dan kompeten dasar sebagai berikut.


(32)

Mata pelajaran : Bahasa dan sastra Indonesia

Kelas/Semester : XII/1

Standar Kompetensi : Berbicara (menanggapi pembacaan tentang puisi lama).

Kompetensi Dasar Materi pembelajaran Kegiatan

pembelajaran

Jenis bahan ajar Menanggapi

pembacaan puisi

lama tentang lafal,

intonasi, dan

ekspresi

-Puisi lama

-Menanggapi

pembacaan puisi

dari segi lafal,

intonasi dan

ekspresi

-Membacakan puisi

lama di depan

teman-teman

dengan lafal,

intonasi, dan

ekspresi.

-Menaggapi

pembacaan puisi

lama tentang lafal,

intonasi dan

ekspresi.

-Memperbaiki cara

pembacaan berdasarkan masukan dari guru dan teman-teman

- Handout

- Kaset

rekaman.

- Radio.

Berdasarkan pedoman silabus tersebut, mantra dalam upacara pesondo mempunyai kesempatan yang baik untuk dijadikan sebagai salah satu pembelajaran apresiasi sastra khususnya apresiasi sastra lisan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam kesempatan itu upacara pesondo dapat dikenali oleh siswa sebagai salah satu budaya dan tradisi daerahnya. Hal ini akan dapat menimbulkan pada diri siswa rasa bangga dan optimis terhadap budaya dan tradisi daerahnya. Pengenalan puisi lama khususnya mantra pada siswa adalah


(33)

untuk menimbulkan sikap apresiatif terhadap puisi lama yang dimiliki daerahnya sebagai salah satu kearifan lokal.

2) Analisis Sumber Belajar

Kriteria analisis terhadap sumber belajar dilakukan berdasarkan ketersediaan, kesesuaian, dan kemudahan dalam memanfaatkannya. Berdasarkan hal tersebut, maka sumber belajar yang digunakan berkenaan dengan mantra ini adalah buku kumpulan puisi lama, buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia serta rekaman pembacaan mantra dalam upacara pesondo.

Buku kumpulan puisi lama banyak tersedia di perpustakaan sekolah begitu pula dengan buku teks bahasa dan sastra Indonesia untuk kelas XII. Penggunaan rekaman pembacaan mantra disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yakni membacakan puisi lama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang sesuai. Penyajian rekaman ini adalah untuk memberikan contoh pembacaan mantra yang dibacakan oleh pande. Sumber belajar yang digunakan disesuaikan dengan ketersediaan dan kemudahan dalam memanfaatkannya.

3) Menentukan Bahan Ajar

Bahan ajar yang digunakan bekenaan dengan puisi lama ini adalah bahan ajar berupa bahan ajar cetak yakni dalam bentuk handout dan audio. Pemilihan bahan ajar handout disebabkan bahan ajar ini sederhana serta menyajikan informasi yang lebih banyak serta lebih rinci karena menyajikan poko-pokok matrinya saja. Pemilihan bahan ajar berupa audio dipilih berdasarkan pada tujuan dan penilaian yang dilakukan terhadap hasil karya peserta didik yaitu menirukan


(34)

apa yang mereka dengar. Dalam hal ini siswa membacakan mantra dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat berdasarkan apa yang mereka dengar dari bahan ajar audio tersebut.

Pemilihan bahan ajar cetak berupa handout ini disesuiakan dengan kelayakan isi, kebahasaan, penyajian, dan kegrafikan. Berdasarkan kelayakan isi materi yang disajikan berupa mantra ini sudah disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pengenalan mantra di tingkat SMA disesuaikan dengan kebutuhan bahan ajar yang terkait dengan pembelajaran puisi lama. Mantra memiliki pelafalan, intonasi serta ekspresi ketika dibacakan. Dalam KD siswa atau peserta didik dituntut agar bisa membacakan puisi lama dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang sesuai. Untuk itu materi ajar berupa mantra ini dapat memenuhi kebutuhan bahan ajar yang dimaksud.

Pengenalan mantra dapat menambah wawasan siswa. Khususnya siswa yang berada di daerah asal mantra akan dapat menambah pengetahuannya tentang karya sastra dari daerahnya sendiri. Siswa akan memeroleh wawasan terhadap lingkungan budayanya sendiri. Selain itu, materi ajar berupa mantra khususnya mantra dalam upacara pesondo memiliki kandungan nilai moral dan nilai-nilai sosial yang dapat diterapkan pada kehidupan siswa.

4). Peta Bahan Ajar

SK KD Materi Pembelajaran judul BA

Mengungkapkan pendapat tentang pembacaan puisi. Menanggapi pembacaan puisi lama (mantra) tentang lafal, intonasi, dan ekspresi.

1.Puisi lama (mantra).

2.Pengertian lafal,

intonasi, dan ekspresi.

3.Pembacaan mantra

.berdasarkan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.

Handout:

Mantra adalah salah satu jenis puisi lama.


(35)

5) Handout Materi Mantra dalam Upacara Pesondo

Judul: Mantra dalam Upacara Pesondo sebagai Puisi Lama Masyarakat Kulisusu

Puisi lama merupakan salah satu khasanah sastra Indonesia. Puisi lama identik dengan puisi lisan dan masih menggunakan bahasa daerah. Mantra adalah salah satu jenis puisi lama yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Mantra biasanya dibacakan oleh seorang pawang/dukun dalam berbagai situasi misalnya pada saat berburu, menangkap ikan, dalam proses upacara ritual dan sebagainya. Dalam membacakan sebuah mantra, seorang pande atau dukun sangat memerhatikan lafal, intonasi dan ekpresi, sebab salah pengucapan akan membuat kekuatan gaib dalam mantra tidak kuat lagi.

Lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang di suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa (KBBI, 2003: 623). Lafal dalam mantra berkenaan dengan pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan oleh seorang dukun, pawang atau pande. Intonasi adalah adalah lagu kalimat, sedangkan ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan (memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya). Berikut ini contoh petikan mantra yang dibacakan dalam proses upacara pesondo:

Isa, orua, otolu, opaa, olima, onoo, opicu, hoalu, osio Mosio kako eme-emeu

Mosio kako ta’i-ta’iu

Mosio kako bhongo-bhongou Mosio kako lolu-loluu

Mosio kako luke-lukeu


(36)

Ingkoo mensondoako inureu Ingkoo mensondoako inuwiu Isee pompodea larangkouni Isee pompodea sara batauga Isee pompodea sara wolio Isee pompodea sara mataoleo Isee pompodea sara lahumoko

Isa, orua, otolu, opaa, olima, onoo, opicu, hoalu, osio Mamosio kumbidhawau

Mamosio kumbiu Mamosio waailiu Mamosio luabhiriu

Isa, orua, otolu, opaa, olima, onoo, opicu, hoalu Hohalu bahagiau

Hohalu rajakiu Hohalu umuruu Hohalu sangkoleou

Bou cuncu, bou lagi, bou melee, bou meumuru, bou meramba Ngkana rumbia wengke

Ngkana nipa ntekaka

Isa, orua, otolu, opaa, olima, onoo, opicu, hoalu

Ingkoo mehalu-halu, ingkoo mecucurangi iseemo pompodea Mewangu kau pisaa, mewangu kau umeme.

6) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Nama Sekolah : SMA Negeri 1 Kulisusu Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas/ Semester : XII/1

Alokasi waktu : 2 x 45 menit (1 X pertemuan) 1. Standar kompetensi


(37)

2. Kompetensi dasar

Menanggapi pembacaan puisi lama (mantra) tentang lafal, intonasi, dan ekspresi.

3. Indikator

a. Mampu membacakan puisi lama di depan teman-teman dengan lafal. Intonasi dan ekspresi yang sesuai.

b. Mampu menanggapi pembacaan puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.

4. Materi pembelajaran

Puisi lama merupakan salah satu khasanah sastra Indonesia. Puisi lama identik dengan puisi lisan dan masih menggunakan bahasa daerah. Mantra adalah salah satu jenis puisi lama yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Mantra biasanya dibacakan oleh seorang pawang/dukun dalam berbagai situasi misalnya pada saat berburu, menangkap ikan, dalam proses upacara ritual dan sebagainya. Dalam membacakan sebuah mantra, seorang pande atau dukun sangat memerhatikan lafal, intonasi dan ekpresi, sebab salah pengucapan akan membuat kekuatan gaib dalam mantra tidak kuat lagi.

Lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang di suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa (KBBI, 2003: 623). Lafal dalam mantra berkenaan dengan pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan oleh seorang dukun, pawang atau pande. Intonasi adalah adalah lagu kalimat, sedangkan ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan (memperlihatkan atau


(38)

menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya). Berikut ini contoh petikan mantra yang digunakan dalam proses upacara pesondo:

Isa, orua, otolu, opaa, olima, onoo, opicu, hoalu, osio Mosio kako eme-emeu

Mosio kako ta’i-ta’iu

Mosio kako bhongo-bhongou Mosio kako lolu-loluu

Mosio kako luke-lukeu

Ingkoo mensondhoako lakeau Ingkoo mensondoako inureu Ingkoo mensondoako inuwiu Isee pompodea larangkouni Isee pompodea sara batauga Isee pompodea sara wolio Isee pompodea sara mataoleo Isee pompodea sara lahumoko

Isa, orua, otolu, opaa, olima, onoo, opicu, hoalu, osio Mamosio kumbidhawau

Mamosio kumbiu Mamosio waailiu Mamosio luabhiriu

Isa, orua, otolu, opaa, olima, onoo, opicu, hoalu Hohalu bahagiau

Hohalu rajakiu Hohalu umuruu Hohalu sangkoleou

Bou cuncu, bou lagi, bou melee, bou meumuru, bou meramba Ngkana rumbia wengke

Ngkana nipa ntekaka

Isa, orua, otolu, opaa, olima, onoo, opicu, hoalu

Ingkoo mehalu-halu, ingkoo mecucurangi iseemo pompodea Mewangu kau pisaa, mewangu kau umeme.

5. Model pembelajaran

Pada pembelajaran ini, model yang digunakan adalah berdasarkan pendekatan CTL (Contextual teaching Learning) dengan beberapa strateginya


(39)

yaitu menemukan, konstruktisme, bertanya, masyarakat belajar, dan refleksi serta penilaian yang sebenarnya.

6. Kegiatan pembelajaran

Kegiatan Awal

a. Guru membuka pelajaran (2 menit).

b. Guru menyampaikan informasi tentang standar kompetensi, kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan (3 menit).

c. Guru menyampaikan secara garis besar tentang puisi lama (12 menit). d. Guru bercerita singkat tentang upacara pesondo serta mantra yang

digunakannya (15 menit).

e. Guru menjelaskan tentang lafal, intonasi dan ekspresi dalam pembacaan mantra (7 menit).

Kegiatan Inti

a. Siswa membaca handout yang berisi materi tentang pusi lama, teks mantra dalam upacara pesondo (2 menit).

b. Siswa menyimak pembacaan mantra melalui radio (5 menit).

c. Siswa berdiskusi tentang lafal, intonasi, dan ekspresi mantra dalam upacara pesondo (7 menit).

d. Siswa secara bergiliran membacakan teks mantra upacara pesondo dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang sesuai di depan teman-temannya (15 menit).


(40)

e. Siswa mendengarkan dan menanggapinya serta memberi masukan yang tepat (10 menit).

Kegiatan Akhir

a. Siswa menyimpulkan puisi lama (mantra) berdasarkan lafal, intonasi, dan ekspresi (10 menit).

b. Guru menutup pembelajaran (2 menit).

7. Alat/bahan dan Sumber Belajar

Media:

a. Kaset rekaman pembacaan teks mantra dalam upacara pesondo. b. radio

Sumber Belajar:

- Teks mantra dalam upacara pesondo. - Buku kumpulan puisi lama.

- Buku teks mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. 8. Penilaian

- Jenis : tugas individu. - Bentuk : performansi. - Soal evaluasi:


(41)

1. Bacakanlah secara nyaring di hadapan teman-temanmu teks mantra dalam upacara pesondo dengan memerhatikan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat!

2. Tanggapilah pembacaan mantra yang dibacakan oleh temanmu tentang lafal, intonasi dan ekspresinya!

Pedoman penilaian:

Nama siswa:

Pembacaan mantra Sangat tepat Tepat Tidak tepat Lafal

Intonasi Ekspresi

Keterangan:

1. Sangat tepat = 8 2. Tepat = 7 3. Tidak tepat = 5

E. Transformasi Upacara Pesondo ke dalam Bentuk Seni

Transformasi adalah pengubahan bentuk dan fungsi. Pembicaraan mengenai transformasi upacara pesondo adalah pengubahan bentuk upacara pesondo dari konteks upacara ritual diubah fungsinya ke dalam bentuk seni.


(42)

Bentuk seni yang dimaksud di sini adalah dalam bentuk naskah drama. Transformasi ini dilakukan untuk menjadikan upacara pesondo yang mulai mengalami degradasi lebih diapresiasi oleh masyarakat pendukungnya. Naskah drama yang disusun ini dapat dijadikan sebagai bahan ajar drama di sekolah-sekolah ataupun sanggar-sanggar seni di masyarakat. Transformasi yang pertama dilakukan adalah transformasi bahasa, yakni dari bahasa daerah Kulisusu ke bahasa Indonesia kemudian transformasi dari segi alur dan konteks penuturannya. Bahasa yang digunakan dalam naskah ini menggunakan bebeapa kutipan teks mantra dalam upacara pesondo. Naskah drama tentang upacara pesondo ini dapat dijadikan sebagai seni pertunjukkan teater yang dapat di lakukan oleh siswa di sekolah maupun sanggar-sanggar seni di Buton Utara.

Menurut Rahmanto (1988: 89) “drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan mengasyikkan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari masyarakat”. Berbeda dengan prosa, drama dapat ditonton oleh banyak orang dan menyenangkan sebab ada tindakan atau gerak (action) dari para pemainnya. Drama biasanya berupa pemaparan kehidupan yang nyata yang dipentaskan di atas panggung.

Tujuan utama dalam mempelajari drama adalah untuk memahami bagaimana suatu tokoh harus diperankan dengan sebaik-baiknya dalam suatu pementasan. Dalam pembelajaran drama di sekolah, guru atau pelatih bertanggung jawab untuk memperkenalkan siswa pada kondisi pementasan drama (Rahmanto, 1988:90).


(43)

Upacara pesondo dapat dijadikan sebagai bahan untuk pembelajaran drama di sekolah. Tujuannya adalah sama dengan bahan ajar puisi lama di atas yaitu sama-sama melestarikan tradisi serta untuk mendekatkan siswa dengan lingkungan budayanya sendiri. Berikut disajikan naskah drama upacara pesondo dengan judul pesondo. Drama ini terdiri dari empat adegan, memiliki alur yang sederhana dan karakter tokoh yang datar.

Judul: pesondo Para pemain:

• Bapak • Ibu • Nenek • Pande sondo

• Seorang anak yang bernama La Ode. Adegan I

Panggung menggambarkan sebuah ruang tengah, nampak sebuah meja makan di tengahnya. Seorang perempuan tua (nenek) duduk sambil memakan sirih. Ibu muncul duduk di samping ibu.

Nenek : “sudah berapa tahun anakmu Ima?” Ibu : “ sudah tujuh tahun ina”.

Nenek : “ (sambil memelintir daun sirih mencampurnya dengan kapur lalu dikunyahnya) hmm...kalau begitu sudah saatnya dia disondo apalagi dia anak pertama. Rundingkanlah dengan suamimu


(44)

bagaimana baiknya.” Ibu : “Baik ina”.

(Bapak muncul berpakaian rapi hendak ke kantor. Ibu berdiri menyiapkan sarapan untuk Bapak. Bapak duduk di samping nenek).

Bapak : “Ada apa ina? Di mana la Ode?”

Nenek : “Dia baru saja ke sekolah, (mengatur posisi duduknya) begini La Ode itu sudah besar dan belum juga dia disondo. Usianya sekarang ini adalah saat yang tepat untuk dia disondo. Saya khawatir jangan sampai dia ditegur oleh tonuana. Apalagi dia anak pertama”. Ibu : “Betul kata naina (menyerahkan segelas kopi ke arah Bapak).

Bagaimana menurut Bapak”?

Bapak : “(meminum kopinya) Bagaimana baiknya saja. Kalian atur saja. Saya berangkat kerja dulu assalamu’alaikum”

Ibu : “Wa’alaikum salam. (Berbalik ke arah nenek) jadi ina apa yang harus kita lakukan”?

Nenek : “Beritahulah kerabat dan tetangga kita supaya mereka turut membantu.

Ibu : “Baiklah, kalau begitu sebentar siang saya akan mengabari mereka”.

(Lampu padam).

Adegan II: malam hari di sebuah rumah tampak seorang ibu dan seorang anak duduk melantai di atas sebuah tikar. Anak berbaring di pangkuan ibunya. Ibu menyanyikan


(45)

lagu bue-bue nsolo.

La Ode : “Ma...kata nenek saya mau disondo? kapan ma?”

Ibu : “(membelai kepala anaknya) iya nak, insya Allah senin depan”. La Ode : “Apa itu pesondo ma? Untuk apa itu pesondo?”

Ibu : “Supaya nantinya kamu menjadi anak yang baik, pintar, dengar nasehat orang tua, dan menjadi anak yang kuat ngkana rumbia wengke, ngkana nipa ntekaka”.

Nenek : (muncul dengan membawa singkong rebus meletakannya di depan ibu). “Makan dulu singkongnya mumpung masih hangat” (duduk bersandar di dinding sambil memakan singkong La Ode dan Ibu bersamaan mengambil singkong.

La Ode : “Aduh!” (meniup-niup tanganya). Nenek

dan ibu

: (bersamaan) “Hati-hati singkongnya masih panas”.

La Ode : Nenek, saya akan diapakan?

Nenek : Kamu akan didoa-doakan supaya tambah sehat, tambah pintar, jadi anak yang baik, selalu menjaga adik-adiknya. Mosio kako bhongo-bhongou, mosio kako luke-lukeu, mosio kako bhongo-bhongou, iseemo pompodhea ingko’o mehalu-halu ingko’o mecucurangi. Kamu mau kan menjadi anak yang baik?

La Ode : Iya mau nek. Lalu apa lagi nek? Saya kan tidak nakal?

Nenek Supaya bila kamu dewasa kamu bisa mencari rezeki yang halal hingga kamu menjadi orang yang berguna dan bahagia hohalu bahagiau, hohalu rajakiu. Kita kan sedang mencari kesehatan, kebaikan dan menghilangkan segala


(46)

La Ode : baik bu (hening lampu padam).

Adegan III

Nampak sebuah ruang tamu rumah dengan perabot yang serba moderen. Suami istri sedang duduk santai. Suami membaca koran dan si istri sibuk dengan membuka-buka majalah kosmetik.

Suami : (meminum kopinya) tadi wa Ima datang ke sini dia memberitahu kalau La Ode pekan depan akan disondo, kita harus datang, kasian dia sudah

keburukan, jadi segalanya harus dipersiapkan dengan matang ya. Mudahan-mudahan La Ode tidak lagi merasakan sara larangko’uni, sara batauga, sara wolio, dan sara mata’oleo.

La Ode : Nama-nama apa itu nek?

Nenek : Itu nama-nama tempat di Buton Utara ini, siapa tau nenek moyangmu dulu berasal dari salah satu daerah itu.

Ibu : Tapi kenapa tempat itu harus disebut dalam upacara ina?

Nenek : Ya...Siapa tau nenek moyang kita dulu berasal dari tempat itu menderita penyakit yang susah disembuhkan, untuk itu harus disebut supaya anak ini tidak merasakannya.

Ibu : Oh begitu rupanya

Nenek : Jangan lupa buat kanawa untuk makanan pada saat upacara Ibu : Iya nanti sebelum hari H akan dibuat kanawa.

Nenek : Undanglah kerabat dan tetangga kita agar mereka datang membantu kita Ibu : Nak, masuklah ke kamar malam sudah larut.


(47)

jauh-jauh datang ke mari hanya untuk mengundang kita pergi menghadiri hajatan anaknya.

Istri : (masih sibuk membolak-balik majalahnya) hajatan apa Pak? Bukannya La Ode baru berusia tujuh tahun?

suami : Katanya mau disondo, sangat baik diupacarakan pada saat umur begitu. Nanti kalau Harimah sudah berusia 7 tahun kita juga akan menggelar hajatan pesondo, agar dia menjadi anak yang baik dan menuruti nasehat orang tua.

Istri : (melihat ke arah suami) itu upacara untuk apa sih Pak? Emang penting ya dilakukan? Di kota saya dulu tidak ada upacara seperti itu.

suami : (memandang istrinya,) itu salah satu upacara di kampung saya. Itu upacara yang penting bagi seorang anak, sebab ia akan diberi nasehat-nasehat untuk pegangan hidupnya agar ia menjadi orang yang baik, tangguh, cerdas, dan sehat. Selain itu upacara ini adalah upacara untuk memohon pertolongon dan perlindungan kepada Tuhan agar selalu diberi kesehatan dan arwah leluhur agar tidak mengganggu si anak. Upacara ini juga dapat mengobati penyakit kulit seperti gatal-gatal atau kudisan.

istri : Ah, gak masuk akal deh Pak, ini kan zaman modren. Masa sih masih percaya dengan hal-hal yang seperti itu. Lagi pula sekarang kan banyak dokter spesialis kulit. Kalau gatal-gatal atau kudisan berobat saja ke dokter untuk apa harus hajatan seperti itu, pak? Mungkin akan sama saja biaya yang dikeluarkan.


(48)

Suami : Hmm....daerah saya itu ma, masih percaya dengan hal-hal seperti itu, bagi kami kepercayaan tentang hal-hal supranatural atau pelaksanaan upacara ritual sudah mendarah daging di hati kami, dan ditanamkan sejak kami masih kecil agar kami menjadi anak yang baik, saling menghargai, menyayangi dan menghormati. Jika kami tidak melakukan upacara itu orang para orang tua akan merasa bersalah dan takut kualat karena tidak melaksanakan adat. Kami takut dengan sanksi yang akan kami terima nantinya, orang tua kami menyebutnya dengan balaa. istri : Aduh bapak tidak usah lebay seperti itu deh.

suami : Lebay bagaimana, ma? Itulah daerah kami unik dan khas, jujur saya merindukan susana sepertri itu dan saya ingin menggelar hajatan adat untuk Harimah anak kita.

istri : Tapi pak, walau tidak diupacarakan pe...pes...pesin itu.... suami : Pesondo ma

istri : Ya.. yang itulah Harimah lahir dengan tubuh yang sehat dan Papa lihat sendiri dari masih bayi dia sudah kelihatan cerdasnya, jadi untuk apa lagi dia diupacarakan?

suami : Mama ini bicara apa sih? (berdiri) Papa dulu waktu masih kecil seusia La Ode juga diupacarakan, dulu kami termasuk keluarga yang tidak mampu. Saya sering sakit dan banyak kudis di sekujur tubuh saya. Kata dukun saya ditegur oleh nenek moyang saya. Sudah berbagai jenis obat saya minum, tapi tak kunjung sembuh juga bertahun-tahun saya menderita penyakit itu. Akhirnya atas saran nenek saya kami pun


(49)

menggelar upacara pesondo, dan percaya atau tidak Ma, sehari setelah upacara itu saya merasakan badan saya sehat sekujur tubuh saya tidak gatal-gatal lagi. Dan saya percaya itu berkat doa orang tua dan leluhur saya. Semenjak itu saya berniat dalam hati kelak anak cucu saya akan saya adakan upacara pesondo.

istri : Memangnya sekarang La Ode sakit-sakit Pa?

suami : Upacara pesondo digelar tidak harus sakit tidak merasakan sakit pun tetap digelar selama ia masih anak pertama. Agar ia senantiasa sehat walafiat.

istri : Ya sudah, terserah Papa sajalah, kalau bapak tetap ngotot.

suami : Bukan ngotot Ma, tapi ini adat. Adat yang harus dijunjung tinggi oleh anggota masyarakatnya. Toh adat dan tradisi mengajarkan tentang hal-hal yang positif bagi seorang anak, mengapa tidak kita lakukan saja. istri : Ya...ya...ya...terserahlah kalau begitu.

suami : Ya...akan kita gelar upacara pesondo untuk Harimah jika dia sudah berusia 7 tahun.

(Keduanya diam lampu padam) Adegan IV

Ibu membelai-belai wajah La ode yang mulai terlelap di pangkuannya

Ibu : Nak...engkaulah harapan keluarga, kelak bila engkau dewasa jadilah seperti daun rumbia yang selalu mekar, tegarlah seperti pohon nipa yang berdiri kokoh, berbuat baiklah pada sesama agar engaku


(50)

disayangi orang banyak. Carilah rezekimu di tempat mana saja asal rezeki yang halal. (La Ode menggeliat kedinginan, ibu menyelimutinya dengan sarung tenun khas Kulisusu).

_SELESAI_

F. Pengintegrasian Nilai-nilai dalam Upacara Pesondo dalam Kehidupan Masyarakat Kulisusu

Nilai budaya adalah hasil budaya yang tak benda selain norma dan hukum, konsep-konsep, baik yang terkait dengan kehidupan manusia maupun alam semesta, termasuk teknologi dan karya sastra sebagai komposisi konseptual (Sedyawati, 2008: 279). Nilai budaya dalam masyarakat tertentu tetap dianggap sebagai pemandu perilaku yang menentukan keberadaban (kebajikan, kesantunan, keanggunan, dan sebagainya). Rangkaian tindakan upacara dianggap mempunyai makna simbolik yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah.

Kepercayaan dan keyakinan masyarakat Kulisusu tentang kekuasan tertinggi telah berubah dengan masuknya agama Islam, namun pelaksanaan upacara ritual tetap dilakukan. Hal ini dikarenakan budaya dan tradisi yang masih mengakar kuat di hati masyarakat Kulisusu. Nilai-nilai kehidupan banyak terdapat dalam setiap pelaksanaan upacara ritual. Simbol-simbol yang digunakan dalam upacara ritual selalu merujuk kepada Tuhan, leluhur, alam semesta dan hubungan sesama manusia. Nilai-nilai yang ada dalam budaya atau tradisi (upacara ritual) selalu bersifat baik atau positif.


(51)

Nilai yang paling tinggi yang dijunjung oleh masyarakat Kulisusu adalah nilai religi. Nilai ini adalah nilai yang pertama kali diajarkan kepada seorang anak. Nilai religi ini berhubungan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kulisusu yaitu percaya pada kekuatan supranatural. Nilai religi ini memberikan sanksi yang sifatnya supranatural tidak dapat dilihat dalam kenyataan kehidupan manusia.

Upacara pesondo sebagai salah satu hasil kebudayaan memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kulisusu. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara pesondo yang paling dominan adalah nilai budaya, nilai sosial dan nilai pendidikan. Nilai-nilai ini dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya pada usia kanak-kanak, agar seorang anak itu menjadi anak yang diharapkan oleh orang tua dan keluarganya.

Masyarakat Kulisusu sering melakukan kegiatan haroa. Kegiatan ini merupakan suatu kegiatan untuk memohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam pelaksanaannya haroa menggunakan makanan-makanan yang dibacakan dengan doa-doa yang diambil dari surat-surat pendek dalam Alquran. Sebelum agam Islam masuk ke Kulisusu doa-doa yang digunakan adalah berupa mantra-mantra. Makanan yang sudah disajikan dan dibacakan doa ini selanjutnya dimakan bersama-sama. Makanan ini dianggap sebagai makanan yang diberkahi dan membawa kebaikan. Setelah haroa selesai biasanya dilanjutkan dengan membagi-bagikan makanan, anak-anak yang hadir, saat inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh mereka. Acara haroa ini dianggap sebagai


(52)

ajang untuk berkumpulnya suatu keluarga. Sejak kecil anak sudah dibiasakan dengan acara-acara ritual seperti ini. Nilai yang didapat dalam haroa ini selain nilai religi adalah nilai kebersamaan dan kekeluargaan dan nilai untuk saling menghargai. Sebelum upacara pesondo dilakukan pertama-tama yang dilakukan adalah dengan menggelar haroa ini.

Nilai kebersamaan dan nilai kekeluargaan serta nilai untuk saling menghargai ini dapat diterapkan pada pendidikan formal maupun pada masyarakat. Nilai-nilai ini akan mengajarkan kepada siswa sebagai warga masyarakat agar memiliki sikap selalu menjaga kebersamaan agar tidak tercerai-berai. Jika semua orang memiliki sikap kekeluargaan maka tidak ada lagi permusuhan di antara kelompok masyarakat itu.

Melalui upacara pesondo ini anak diajar untuk menjadi anak yang baik, mandiri dan bertanggung jawab. Dalam masyarakat Kulisusu seorang anak apalagi anak pertama harus bertanggung jawab menjaga saudara-saudaranya dan dapat menjadi harapan orang tuanya. Hal ini sesuai dengan pepatah masyarakat Kulisusu pehawaki kumawasano, harganio mengkaa-kano, maasiako mengkaandi-andino (ingat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, hargai orang yang lebih tua dan sayangi orang atau saudara yang masih muda).

Ajaran tersebut ditanamkan pada anak sejak ia masih kecil, agar menghargai orang tua dan orang yang lebih tua dan menyayangi orang atau saudara yang masih muda. Ajaran dalam upacara pesondo ini sangat baik dilakukan bagi seorang anak dan masyarakat Kulisusu pada khususnya utamanya


(53)

dalam bersikap dan bergaul. Pepatah lain menyatakan kunukui kuliu wutou yang artinya cubit kuli sendiri, jangan saling menyakiti, bila kamu rasa sakit maka orang lain pun akan sakit dengan perbuatanmu tersebut. Ajaran-ajaran seperti ini sangat baik bila diajarkan pada seorang anak yang belum tersentuh oleh arus derasnya kehidupan. Upacara ini baik dilakukan bagi anak yang masih polos agar nasehat dan ajaran yang disampaikan mudah diterima. Jika sudah tertanam sejak dari kecilnya maka ia akan terbiasa untuk melakukan hal-hal yang baik.

Nilai pendidikan dalam upacara pesondo merupakan pendidikan pertama yang diterima oleh seorang anak sebelum ia melanjutkan kejenjang pendidikan formal. Ungkapan-ungkapan mantra dalam upacara pesondo yang dapat dijadikan sebagai ajaran bagi kehidupan seorang anak adalah

mosio kako bhongo-bhongou, mosio kako luke-lukeu, mosio kako lolu-loluu, kutipan mantra ini memberikan pemaknaan bahwa hilangkanlah segala bentuk kebodohanmu, ketololan dan kedunguanmu. Belajarlah dengan sungguh-sungguh agar engkau menjadi anak yang berguna bagi orang tua dan bagi siapapun.

hohalu bahagiau, hohalu umuruu, hohalu rajakiu. Kutipan mantra

ini mengandung pengertian bahwa carilah kebahagiaanmu, carilah penghidupanmu (nafkah) dan carilah rejeki. Mantra ini mengandung makna agar seorang anak berusaha dan bekerja keras agar menjadi orang yang sukses dan bahagia. Masyarakat Kulisusu terkenal dengan keuletan dan kerja keras mereka untuk mencari


(54)

uang. selalu mau bekerja asal pekerjaan yang halal. Nilai kerja keras inilah yang bayak ditemukan pada masyarakat Kulisusu.

Nilai-nilai ini sangat baik bila diterapkan dalam pendidikan formal maupun non formal yang mengajarkan kepada siswa dan peserta didik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai apa yang telah diajarkan dalam upacara pesondo tersebut. Nilai-nilai dan unsur-unsur dalam upacara pesondo ini bisa diaplikasikan ke dalam beberapa mata pelajaran di sekolah, misalnya mata pelajaran bahasa Indonesia berkenaan dengan sastra lisan dalam hal ini puisi lama yakni mantra dalam upacara pesondo dapat dijadikan sebagai bahan ajar sastra lisan di sekolah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pada mata pelajaran muatan lokal adalah untuk menjadikan upacara pesondo sebagai materi ajar terkait pendidikan kearfian lokal. Mata pelajaran seni budaya upacara pesondo dapat dijadikan sebagai materi tentang pengenalan budaya, tradisi dan seni masyarakat Kulisusu pada siswa sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai yang ada dalam upacara pesondo ini merupakan nilai yang terdapat dalam pendidikan karakter yang dapat diterapkan pada siswa di setiap jenjang pendidikan.

Pendidikan karakter bukan hanya dilakukan pada pendidikan formal, tretapi juga pada masyarakat. Pendidikan sosial masyarakat ini dapat ditempuh dengan upaya penanaman nilai-nilai pada seseorang mulai dari kecil berupa kebiasaan-kebiasaan baik sebelum ia memasuki pendidikan formal. Pendidikan sosial dimulai dari pendidikan keluarga, kemudian keluargalah yang memperkenalkan anak pada kehidupan sosialnya. Nilai kebersamaan,


(1)

243

uang. selalu mau bekerja asal pekerjaan yang halal. Nilai kerja keras inilah yang bayak ditemukan pada masyarakat Kulisusu.

Nilai-nilai ini sangat baik bila diterapkan dalam pendidikan formal maupun non formal yang mengajarkan kepada siswa dan peserta didik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai apa yang telah diajarkan dalam upacara pesondo tersebut. Nilai-nilai dan unsur-unsur dalam upacara pesondo ini bisa diaplikasikan ke dalam beberapa mata pelajaran di sekolah, misalnya mata pelajaran bahasa Indonesia berkenaan dengan sastra lisan dalam hal ini puisi lama yakni mantra dalam upacara pesondo dapat dijadikan sebagai bahan ajar sastra lisan di sekolah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pada mata pelajaran muatan lokal adalah untuk menjadikan upacara pesondo sebagai materi ajar terkait pendidikan kearfian lokal. Mata pelajaran seni budaya upacara pesondo dapat dijadikan sebagai materi tentang pengenalan budaya, tradisi dan seni masyarakat Kulisusu pada siswa sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai yang ada dalam upacara pesondo ini merupakan nilai yang terdapat dalam pendidikan karakter yang dapat diterapkan pada siswa di setiap jenjang pendidikan.

Pendidikan karakter bukan hanya dilakukan pada pendidikan formal, tretapi juga pada masyarakat. Pendidikan sosial masyarakat ini dapat ditempuh dengan upaya penanaman nilai-nilai pada seseorang mulai dari kecil berupa kebiasaan-kebiasaan baik sebelum ia memasuki pendidikan formal. Pendidikan sosial dimulai dari pendidikan keluarga, kemudian keluargalah yang memperkenalkan anak pada kehidupan sosialnya. Nilai kebersamaan,


(2)

244

kekeluargaan, cinta damai dan sebagainya perlu ditanamkan pada diri seseorang mulai dari kecil.

Langkah-langkah serta upaya penanaman nilai-nilai dalam upacara pesondo bagi seorang anak dalam keluarga adalah sebagai berikut:

a. Membiasakan anak agar selalu bangun pagi, karena pada pagi hari terdapat banyak kebaikan. Orang-orang mencari rezeki selalu di mulai pada pagi hari. Hal ini berkaitan dengan pelaksananaan proses upacara pesondo yang selalu dilakukan pada pagi hari yaitu ketika matahari pagi sedang naik. Menurut mereka saat itulah waktu yang tepat sebab manusia (masyarakat Kulisusu) selalu mencari kebaikan pada pagi hari.

b. Mengajarkan kepada anak agar belajara bersungguh-sungguh.

c. Membiasakan anak agar hidup mandiri.

d. Membiasakan anak agar selalu membantu pekerjaan orang tua.

e. Mengajarkan anak agar mau berusaha dan bekeraj keras. f. Mengajarakan kepada anak agar mencari rezeki yang halal.

Apabila upaya di atas benar-benar dijalankan oleh orang tua pada seorang anak, maka tidak menutup kemungkinan seorang anak akan tumbuh dengan memiliki sikap yang baik, karena sejak kecil sudah dibiasakan dengan kegiatan-kegiatan yang positif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Shaleh Nazili. 2011. Pendidikan dan Masyarakat. Yogyakarta: Sabda. Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:

Balai Pustaka.

Ambary, Abdullah. 1968. Masalah Sastra Indonesi. Bandung: Djatnika

Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Badrun, Ahmad. 2003. Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukkan, Proses Penciptaan, dan Fungsi (Disertasi). Jakarta: tidak dipublikasikan.

Berger, A Arthur. 2010. Pengantar Semiotika Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.Yogyakarta: Tiarawacana.

Clifton, James. A. 1968. Introduction To Cultural Anthropology. Boston: Hougton Mifflin Company.

Danandjaja, James. 2003. Folklor Amerika Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Daud, Harun. 2001. Mantera Melayu: Analisis Pemikiran. Malaysia: Sains Malaysia.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Panduan Pengembangan Silabus, dan Panduan Pengembangan RPP Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.

Depdiknas. 2009. Materi Pelatihan KTSP. Jakarta: Depdiknas.

Dirjen Dikti. 2009. Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan Pengembangan Kajian Langka Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Depdiknas.

Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.

Djuweng, Stephanus. 2008. Tradisi Lisan Dayak dan Modernisasi: Refleksi Metodologis Penelitian Sosial Positif dan Penelitian Parsitipatoris dalam Pudentia MPPS (editor). Metodologi kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.


(4)

Duija, I Nengah. 2011. Tradisi Lisan Maritim sebagai Kekuatan Kultural Masyarakat Bali (Analisi Kosmologi Ritual “samudra” dan “Danu Kertih”) dalam Warta ATL. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Ember&Ember. 1990. Anthropology. New Jersey: Englewood Cliffs.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress.

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.

Hutomo, S. Suripan. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Surabaya: HISKI.

Hoed, B,H. 2008. “Komunikasi Lisan sebagai dasar Tradisi Lisan” dalam Pudentia MPPS (Editor). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Isnaini, Heri. 2007. Mantra Asihan: Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi (skripsi). Bandung: Tidak dipublikasikan.

Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Katalog BPS: 1403.7409. 2009. Kabupaten Buton Utara dalam Angka. Kabupaten Muna Sultra: Badan Pusat Statistik.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Koentjaraningrat.1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia.

Kuntjara,Ester. 2006. Penelitian Kebudayaan, Sebuah Panduan Praktis. Yogyakarta: GrahaIlmu.

Liliweri, Alo. 2009. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lord, B Albert. 2000. The Singer Tales. USA: Harvard University Press. Luxemburg. 1989. Tentang sastra. Jakarta: Intermesa.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara.

Moertjipto,dkk. 1998. Upacara Tradisional Mohon Hujan di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Depdikbud.

Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nursisto. 2000. Ikhtiar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adi Cita.


(5)

Peursen, Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah mada University Press.

Prastowo, Andi. 2012. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press.

Pudentia. 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajarar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodolgi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana. 1978. Sastra Lisan Sunda Cerita karuhan, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Rusyana, Yus. 2008. Tradisi sebagai Tumpuan Kreatifitas Seni. Bandung: Sunan

Ambu Press.

Salleh, Muhammad Haji. 1995. Menyurat pada Dengung: Lipatan Lisan pada Sastra Tertulis (warta ATL Edisi Perdana). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya (Buku 2). Jakarta:Wideatama

Widya Sastra.

Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Surakarta: Pustaka Pelajar.

Sudikan, Setya Yuwana. 2007. Antropologi Sastra. Surabaya: Unesa University Press.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001.Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.

Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Spradley, James. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.


(6)

Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.

Taslim, Noriah. 2010. Lisan dan Tulisan Teks dan Budaya. Kuala Lumpur: Dawama Sdn. Bhd.

Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan. Yogyakarta: Lamalera. Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.

Wahyono, Parwatri. 2008.“Hakikat dan Fungsi Permainan Nini Thowok bagi Masyarakat Pendukungnya: Sebuah Studi Kasus di Desa Banyumudal-Gombong” dalam Pudentia MPPS (Editor). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Waluyo, J Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Wellek&Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Yusuf, Yusri dkk. 2001. Struktur dan Fungsi Mantra Bahasa Aceh. Jakarta: Depdiknas.

Zaimar, Okke. 2008. “Metodologi Penelitian Sastra Lisan” dalam Pudentia MPPS (Editor). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.


Dokumen yang terkait

STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, SIMBOL, MAKNA, DAN FUNGSI MANTRA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT ADAT RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG SERTA UPAYA PELESTARIANNYA.

6 8 38

Kajian Struktur Teks, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi, Dan Nilai Dalam Puisi Pupujian Di Kecamatan Cilamaya Wetan Kabupaten Karawang Serta Pelestariannya.

0 3 35

ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA.

12 37 62

TRADISI BERCERITA (KAPU-KAPUUNA) MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA :Kajian Struktur, Konteks Penuturan, Fungsi, serta Model dan Alternatif sebagai Bahan Ajar Apresiasi Sastra di SMA.

0 0 63

CARITA MAUNG PADJAJARAN DI KECAMATAN SURADE: Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Makna.

1 5 40

TRADISI BERTANI JAGUNG MASYARAKAT MUNA: Kajian Struktur Kegiatan, Struktur Teks, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi Mantra serta Model Pembelajarannya di SMA.

7 77 62

MANTRA MENUMBAI PADA MASYARAKAT MELAYU ROKAN :Kajian Struktur Teks,Konteks Sebagai Bahan Ajar Di SMA.

1 25 63

LAGU DOLANAN DI HEGARMANAH: STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN, DAN FUNGSI.

0 7 31

MANTRA RITUAL BABARIT: NILAI BUDAYA, STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN, DAN FUNGSI SERTA PELESTARIANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR APRESIASI SASTRA DI SMA.

5 53 75

LEGENDA NYI MAS GANDASARI DI KABUPATEN CIREBON: ANALISIS STRUKTUR, KONTEKS, FUNGSI, DAN NILAI SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR APRESIASI SASTRA DI SMA - repository UPI T IND 1303162 Title

0 0 3