Ibu Anak Anak retardasi Zebedeus

Ibu Anak-Anak Zebedeus
Matius 20: 20-28
Dr. Pdt. Ebenhaizer I Nuban Timo
Emai: ebenhur65@yahoo.co.id
Saya mempunyai seorang mahasiswa wali yang sudah dua tahun (6 sementer) kuliah
senin-kamis sehingga IPK-nya merosot menjadi 0.6. Fakultas merencanakan untuk men-DOkan dia. Sebagai dosen wali saya menelepon ibu anak itu. Dua minggu berselang si ibu
terbang dari Alor ke Salatiga. Dengan mata yang basah dan rawut wajah mohon pengasihan si
ibu meminta saya untuk memberi waktu satu semester lagi bagi si anak. “Saya akan damping
anak saya. Saya tahu biayanya mahal, tapi sudilah bapak ngomong dengan pemimpinan
fakultas agar anak saya jangan di-DO-kan.”1
Saya menceritakan ini untuk mengatakan bahwa ibu dan ayah yang menyayangi anakanak pasti akan melakukan apa saja demi kebaikan anak-anak. Inilah juga yang kita baca
tentang ibu dari anak-anak Zebedeus seperti yang dikisahkan dalam Matius 20:20-28. Ibu ini
datang kepada Yesus dan meminta hal yang terbaik bagi kedua orang anaknya: Yakobus dan
Yohanes. Dia tahu bahwa permintaan itu janggal dan relatif kurang sopan. Tapi ia toh
memberanikan diri. Ia meminta Yesus memberikan posisi yang penting bagi kedua anaknya.
Saya membaca khotbah dari seorang pendeta tentang teks ini di website. Baru saja
khotbah itu mulai, si pendeta berkata begini: “Ibu Yakobus dan Yohanes menawarkan anakanaknya supaya ketika Yesus berada di kemuliaanNya, mereka mendapat jabatan ring satu.”
Lalu dia bilang: “Permohonan ini sungguh-sungguh kasar dan picik.” Saya kaget. Sewaktu
kecil, saya biasa mendengar almarhum Mama berdoa minta Tuhan supaya Tuhan memberikan
yang terbaik bagi kami anak-anaknya. Apakah salah kalau orang tua meminta kepada Tuhan
hal-hal yang terbaik bagi anak-anaknya? Saya benar-benar terkejut waktu membaca penilaian

negatif terhadap perbuatan ibu anak-anak Zebedeus. Ya.. Gampang sekali kita mencela ibu
ini, padahal hampir pasti semua ibu, termasuk ibu dari si pendeta itu juga meminta hal yang
sama kepada Tuhan.
Setiap ibu punya ambisi supaya anak-anaknya menjadi orang terkemuka. Anak-anak
juga punya kerinduan serupa. Ambisi pada dirinya sendiri bukan sesuatu yang jahat. Saya
bangun pagi-pagi dan berkemas ke tempat kerja karena saya berambisi. Istri saya bangun
untuk menyiapkan bubur dan teh saat matahari belum terbit dan ketika penghuni rumah
masih tidur lelap supaya anak-anaknya bisa menjadi manusia jempol. Tanpa ambisi apalagi
jika ambisi untuk hal-hal yang positif maka hidup akan menjadi tawar. Ibu dari anak-anak
Zebedeus memiliki ambisi yang positif. Ia bahkan memberitahukan ambisinya itu kepada
Yesus. Apakah itu salah?
Yesus juga tidak menolak permintaan si ibu. Dia membuat komentar yang tujuannya
membuat si ibu dan kedua anaknya melihat dengan jelas apa sebenarnya yang mereka minta.
Ambisi orang tua bagi anak-anak adalah baik, tetapi seringkali ada bahaya yang tidak orang
tua sadari, yakni mereka cenderung memaksakan ambisi mereka kepada anak-anak. Saya
kenal satu keluarga. Mereka dikarunia anak tunggal. Si ayah berambisi anaknya menjadi
dokter. Satu tahun menjalani kuliah kedokteran, si anak menelpon saya. “Bapa pendeta…
1 Khotbah ini disampaikan dalam ibadah Minggu, 13 Maret 2016 di Jemaat GPIB Penabur
Solo.


1

Saya tidak mau jadi dokter. Saya lebih suka jadi pendeta. Saya coba ikut permintaan ayah.
Sudah satu tahun saya kuliah, tetapi saya tidak bisa konsentrasi. Bapa pendeta tolong daftar
saya di fakultas teologi. Bapa pendeta juga bantu saya ngomong dengan ayah.” Si anak
sekarang kuliah teologi tahun ketiga. Awalnya si ayah marah pada anaknya, juga marah
kepada saya. Tapi sekarang semua sudah kembali normal.
Ini contoh konkret bahwa tidak selalu cita-cita orang tua bagi anak jatuh sama dengan
cita-cita anak. Baiklah orang tua ingat bahwa rencana mereka bagi anak-anak seringkali
berbeda dengan kehendak anak-anak dan juga kehendak Allah. Pernyataan Yesus kepada ibu
anak-anak Zebedeus: “Kamu tidk tahu apa yang kamu minta” bukan untuk mencela
melainkan untuk membuat si ibu belajar menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak anakanaknya dan dengan kehendak Tuhan.
Yesus tidak hanya berbicara dengan si ibu. Dia juga berbicara dengan kedua anak dari
ibu tadi: “Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?” Pertanyaan ini juga
tidak mengandung maksud menolak permintaan mereka. Yesus menunjukkan kepada mereka
harga yang harus mereka bayar jika menghendaki posisi di ring satu dalam jajaran para
pengikut Yesus. Pendapat umum di kalangan warga gereja tentang mengikut Yesus biasanya
bercorak triumfalis, artinya mengikut Yesus adalah jaminan sukses, menjalani jalur tol (bebas
hambatan) dan telah mengantongi voucer masuk sorga. “Aku anak raja…! Engkau anak
raja…! Kita semua anak raja!” Lagu ini boleh kita sebut mewakili gambaran umum orang

kristen tentang hidup sebagai pengikut Yesus.
Gambaran ini tidak sepenuhnya salah. Yesus sendiri tidak menyangkali hal itu. Dia
berkata kepada kedua anak Zebedeus: “Hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiriKu, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa
Bapa-Ku telah menyediakannya.” Yesus mau katakan bahwa hal itu merupakan urusan nanti,
di masa depan. Sang Bapa, yakni Allah akan menentukan hal itu. Yesus lalu mengajak
Yakobus dan Yohanes mengarahkan perhatian kepada masa kini. Hidup masa kini dari para
pengikut Yesus bukan hidup sebagai pangeran atau putri raja, melainkan sebagai serdadu,
karena kehidupan masa kini dari para pengikut Kristus adalah sebuah peperangan (Ef.6:12).
“Laskar Kristen Maju Masuklah Perang.” Setidak-tidaknya perang melawan nafsu untuk
menjadi besar dan berkuasa dan belajar menjadi serdadu yang siap menjalankan perintah dan
taat mengerjakan tugas-tugas.
Yesus tidak ingin menjanjikan masa depan secara instan, cepat saji, sebab menurut
Yesus apa yang akan diperoleh di masa depan, di dalam kerajaan Sang Bapa memiliki
hubungan erat dengan apa yang dijalani dan dilakukan pada masa kini. Jelasnya kunci untuk
dapat duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus pada masa Dia dinyatakan sebagai raja oleh
Allah adalah pada bagaimana menjalani kehidupan pada masa kini. Jalan untuk mendapatkan
kemenangan, kehormatan, kebesaran dan triomfalisme di masa depan bukan jalan yang lebar
dan bebas hambatan. Yesus menggambarkan jalan itu dalam ayat 27 dan 28 dengan kata
melayani. Mereka yang mau berada di ring satu bersama Yesus, pada masa kini harus hidup
sebagai pelayan-pelayan.

Di sorga, orang kaya dalam cerita Yesus tentang Lazarus, tidak berada di ring satu
bersama Bapa Abraham karena selama hidupnya di bumi dia tidak menjalani hidup dalam
semangat sebagai hamba. Selama di bumi, demikian dikatakan Lukas kepada kita: “Orang
kaya yang itu selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria
2

dalam kemewahan (Luk. 16:19). Tentu ini tidak bermaksud mencela pesta-pesta yang kita
adakan. Tidak! Yang dicela dari hidup orang kaya itu ialah tak pernah ada padanya niat untuk
melayani sesama, termasuk Lazarus yang selalu mengemis di depan rumahnya.
“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,
dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu”
(Mat. 20:26-27). Inilah nasehat Yesus kepada dua orang anak Zebedeus yang memilik hasrat
untuk diijinkan menjadi orang-orang di ring satu dalam kerajaan sorga. Dalam kitab Wahyu
(6:11; 7:9) orang-orang berada di ring satu di sekitar tahta Allah digambarkan sebagai yang
berpakaian jubah putih. Itu adalah pakaian kebanggaan. Setiap orang menginginkan pakaian
itu. Yakobus dan Yohanes juga mendambakannya. Mereka mendorong si ibu untuk meminta
hal itu pada Yesus. Meminta kepada Yesus hal-hal terbaik untuk kehidupan kini dan nanti,
bukanlah hal yang salah dan harus dicela. Salah seorang penjahat di atas salib juga meminta
hal itu dari Yesus. Makin banyak orang datang kepada Yesus dengan membawa permohonan
seperti ibu anak-anak Zebedeus justru makin baik. Bahkan Yesus sendiri menugaskan muridmuridNya untuk itu seperti yang kita baca dalam Matius 28:19-20.

Merindukan berada dalam rombongan para pemakai jubah putih di sekitar tahta Allah
adalah sebuah keberanian iman. Tapi haruslah kita ingat bahwa jubah putih itu baru bisa kita
kenakan, jika pada masa kini kita menjalani hidup sebagai orang-orang yang memakai kain
lampin, yakni pakaian yang hanya layak digunakan oleh orang-orang yang hidup sebagai
pelayan dan hamba (Luk. 17:10). Bahkan kepada kain lampin tadi perlu ditambahkan lagi
kain kafan sebagai tanda penaklukan yang total dari kehendak kita kepada kehendak Allah.
Kemuliaan (jubah putih) yang Yesus terima dari Sang Bapa didahului dengan kesediaanNya
mengenakan kain lampin dan kain kafan.
“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,
dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.”
Inilah spiritualitas kain lampin dan kain kafan sebagai kualitas hidup masa kini dari orangorang yang merindukan jubah putih dan berada dalam ring satu di kerajaan sorga. Ibu anakanak Zebedeus menggambarkan jubah putih dan posisi ring satu itu dengan metafora yang
menarik, yakni duduk di kiri dan kanan Yesus. Untuk tetap berada dalam metafora tadi, maka
Yesus mengingatkan Yakobus dan Yohanes agar selama menjalani hidup di masa kini
keduanya tidak boleh duduk lipat tangan. Mereka harus berdiri mengulurkan tangan dan
bekerja mengikuti teladan Anak Manusia: “Yang datang bukan untuk dilayani, melainkan
untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang"
(Mat. 20:28).

3