MENJADI MELAYU YANG ISLAM SEBUAH POLITI

“MENJADI MELAYU YANG ISLAM”:
SEBUAH POLITIK IDENTITAS ETNIS MINORITAS DALAM,
MENGHADAPI DOMINASI NEGARA DAN ETNIS
MAYORITAS1
Oleh
Amilda

Pendahuluan
Sebagai negara yang multietnis serta multikultur, Indonesia dibentuk oleh
berbagai tipe kebudayaan dan sistem kepercayaan, dari yang memiliki tingkat
budaya yang rumit hingga komunitas dengan budaya yang sederhana, dari agama
monotheisme hingga sistem kepercayaan yang bersifat animistis. Kesemuanya
hidup bersama dalam sebuah ruang publik yang memaksa satu sama lain saling
berhubungan dan berinteraksi, sangat sulit bagi suatu etnis untuk mengisolasi diri
dari proses interaksi budaya ini. Keadaan ini juga didorong dengan semakin
terbukanya akses orang untuk melakukan mobilitas dari satu daerah ke daerah
lain, karena alasan ekonomi atau yang lainnya. Akibatnya, suatu komunitas tidak
hanya dituntut untuk berinteraksi dengan etnis “tetangga asli” mereka, yaitu
tetangga yang memang telah hidup berdampingan sejak dahulu, namun mereka
juga dihadapkan dengan etnis lain yang kadangkala tidak mereka kenal bagaimana
budaya “tetangga baru” mereka.

Proses pertemuan dan interaksi antar etnis dan keyakinan yang berbeda
kadang kala berlangsung dengan mulus tanpa menimbulkan konflik horizontal di
dalam kehidupan sehari-hari, kadang kala proses ini berlangsung tidak mulus,
terjadi konflik horizontal sehingga menimbulkan kerugian dari masing-masing
pihak. Indonesia memiliki sejarah panjang terhadap konflik horizontal yang
terjadi antar etnis, walaupun acapkali tidak ingin diakui sebagai konflik dan

1

Makalah/Paper telah dipresentasikan pada forum “Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
ke-11”, bertempat di Bangka Belitung, 10 s.d. 13 Oktober 2011. diselenggarakan oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI.

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang.

kerusuhan etnis. Kegagalan untuk saling membangun kepercayaan antar etnis
yang hidup bersama ini mendorong kerap terjadinya konflik yang berbau SARA.
Dalam proses interaksi antar etnis dan keyakinan tersebut didasarkan pada
posisi masing-masing etnis. Etnis dan komunitas yang memiliki dominasi, baik
kekuasaan politik atau ekonomi, akan menempati posisi dominan, begitu pula

etnis atau komunitas yang memiliki populasi besar memiliki posisi mayoritas.
Posisi mayoritas yang dominan ini memberikan kekuasaan untuk menentukan
nilai budaya, keyakinan, dan pola hidup yang seharusnya berlaku dalam suatu
masyarakat secara luas. Tuntutan terhadap nilai-nilai dominan tersebut mendorong
komunitas etnis minoritas mengkonversi pola hidup, budaya, dan kepercayaan
mereka mengikuti pola hidup dan budaya masyarakat mayoritas. Pilihan ini bukan
suatu yang mudah untuk mereka lakukan sehingga acap menimbulkan
permasalahan terhadap identitas mereka, budaya mereka, serta pandangan
kosmologi mereka pun mengalami perubahan yang drastis akan sangat berbeda.
Perubahan drastis ini akan sangat berdampak dalam kehidupan individu maupun
komunitasnya, terdapat goncangan besar dalam kehidupan dari masing-masing
individu dalam komunitas tersebut.
Islam sebagai agama sekaligus menjadi dasar dari sistem nilai yang
menjadi pedoman dari etnis mayoritas, yaitu Melayu. Islam juga menjadi lambang
identitas dari etnis Melayu. Sebagai sebuah identitas, Islam juga dijadikan acuan
untuk menempatkan kepercayaan lain sebagai subdominan, yang umumnya dianut
oleh masyarakat minorita harus menyesuaikan diri dengan sistem nilai dominan
tersebut. Dominasi ini mendorong sistem kepercayaan lain, terutama sistem
kepercayaan lokal2, harus mengkonversi kepercayaan dan budaya mereka
mengikuti kepercayaan dan budaya dominan sehingga terjadi proses konversi

identitas dari etnis minoritas mengikuti kepercayaan dan budaya etnis mayoritas.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana identitas yang
dibangun oleh suatu komunitas minoritas acapkali dipengaruhi oleh tuntutan dari
komunitas mayoritas. Tuntutan tersebut acapkali memunculkan fenomena
konversi identitas dan sistem kepercayaan sebagai strategi yang dipilih untuk
2

Kepercayaan local dalam tulisan ini adalah kepercayaan yang berasal dan tumbuh dalam suatu
komunitas. Kepercayaan tersebut tidak berafiliasi pada agama-agama modern yang diakui oleh
negara. Sistem kepercayaan ini dalam sistem pemerintah dikategorikan sebagai budaya.

2

dapat menjadi bagian dari identitas mayoritas. Relasi ini tampak jelas dalam relasi
di ruang publik dimana masing-masing komunitas memainkan identitas masingmasing. Untuk menjawab permasalah tersebut, maka pertanyaan penelitian ini
adalah (1) Bagaimana situasi yang dihadapi oleh komunitas etnis minoritas
sekarang sehingga mengkonversi kehidupan yang diwariskan oleh leluhur mereka
dengan nilai-nilai masyarakat mayoritas? (2) Bagaimana mereka membangun
identitas baru mereka pasca melakukan konversi budaya dan kepercayaan
tersebut? (3) Bagaimana posisi etnis minoritas pasca konversi tersebut dalam

sturktur masyarakat mayoritas?

Konstruksi Identitas di Rana Publik
Asumsi awal dari penelitian ini berangkat dari pandangan Weber, manusia
melakukan suatu tindakan karena mereka menyadari melakukan hal tersebut untuk
mencapai apa yang mereka kehendaki. Tindakan yang muncul kemudian
merupakan perwujudan dari bentuk kesadaran manusia tersebut. Kesadaran
tersebut membentuk, apa yang disebut oleh Weber sebagai struktur sosial,
sedangkan cara hidup merupakan produk dari pilihan yang termotivasi. Dalam
pandangan ini makna dari sebuah tindakan menjadi sangat penting (Jones,
2009:114). Kesadaran individu ini mendorong manusia melakukan pilihan-pilihan
yang dipandangnya strategis sebagai sebuah bentuk survival strategy mereka
menghadapi lingkungan fisik dan sosialnya.
Salah satu bentuk survival strategy tersebut adalah melakukan konversi
identitas etnisitas, yaitu mengadopsi identitas etnis yang baru untuk mengganti
identitas etnis asalnya. Salah satu factor pendorong konversi identitas ini adalah
konversi agama dan keyakinan. Fenomena konversi identitas ini tidak dapat
dilepaskan dari struktur sosial suatu masyarakat yang lebih luas. Diskusi tentang
hubungan etnisitas tidak dapat dilepaskan dari asumsi bahwa beberapa etnis
dominant secara budaya, politik, dan ekonomi akan memutuskan sebuah bentuk

identitas etnis yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat tersebut, sehingga hanya
terjadi perubahan satu arah dimana etnis minoritas harus mengikuti atau
menyesuaikan diri dengan identitas etnis mayoritas (Nagata, 1974).

3

Identitas, dalam studi Antropologi dan studi budaya, lebih dilihat sebagai
sebuah identitas budaya yang terwujud dalam bentuk komunikasi. Pada kondisi
relasi yang bersifat asimetris ini, etnis dominant tidak hanya memiliki kekuasaan
untuk menentukan identitas dominan tetapi juga memiliki kuasa untuk membuat
klaim-klaim tentang ‘siapa kita’ dan ‘bagaimana kita’ harus berhubungan dengan
‘yang lain’. Konstruksi sosial sangat menekankan pada bentuk-bentuk komunikasi
yang terjadi satu dengan yang lain, tidak hanya sebatas penyampaian pesan tetapi
juga pembuatan klaim-klaim tentang ‘siapa kita’ dan hubungannya dengan yang
lain’. Identitas tersebut diwujudkan dalam praktek-praktek sosial yang dibangun
dari dua sisi yaitu sisi individu dan sisi sosial. Pembentukan identitas ini sangat
ditentukan oleh sejarah masa lalu dan keadaan masa sekarang, dan proses
pembentukannya tidak dapat dilepaskan dari peran kekuasaan, siapa yang
berperan membentuk dan mengendalikan klaim-klaim tersebut (Holland, dkk.
1998). Penggunaan klaim-klaim tersebut menjadi penting dalam menunjukkan

identitas individu dalam suatu struktur sosial.
Menurut

Alasuutari (2004), dalam menganalisis konsep konstruksi

identitas sebagai sebuah proses tidak dapat dilepaskan dari empat konsep penting
yang tidak dapat dipisahkan yaitu (1) posisi dari subjek, (2) legitimasi, (3) strategi
peniruan, serta (4) kesadaran kelompok. Penelitian identitas budaya dalam
penelitian ini akan menggunakan konsep dasar tersebut, dimana identitas tidak
dapat dipisahkan dari konsep posisi subjek. Posisi subjek adalah posisi dimana
individu atau kelompok menempatkan diri dalam sebuah aturan yang berkaitan
dengan masyarakat yang lebih luas. Subyek bertindak sebagai agen yang dapat
bertindak dalam kondisi tertentu. Dengan kata lain identitas tersebut bersifat
ambigu, sangat tergantung kepada individu-individu pendukung identitas tersebut
(Lemont, 2002).

Satu Etnis dengan Berbagai Identitas
Penyebutan terhadap Orang Rimba merujuk pada banyak nama yang
digunakan untuk menunjuk pada satu etnis. Penyebutan yang berbeda-beda ini
sangat sarat dengan kepentingan politik dari masing-masing pemiliknya.

Penamaan atau penyebutan merupakan bentuk dari kontrol sosial suatu

4

masyarakat, dikaitkan dengan prinsip klasifikasi yang dibuat oleh pemiliknya,
sehingga dapat menunjukan adanya hubungan hirarkhi dan kekuasaan dari satu
kelompok terhadap kelompok yang lain. Hirarki tersebut akan menunjukan
bagaimana bentuk dari sebuah struktur dominasi dapat terjadi. Kehadiran hirarki
dan kekuasaan dalam proses penamaan dan penyebutan dapat dilihat dari proses
sejarah suatu masyarakat, kategori-kategori yang dimunculkan menunjukkan
kuatnya peran dominasi kekuasaan untuk mengklasifikasikan mana yang beradab
dengan tidak, asli dengan tidak asli (Brown, 1993:658-660).
Dominasi kekuasaan menjadi sangat jelas ketika membahas tentang
penyebutan Orang Rimba. Masing-masing kelompok yang berinteraksi dengan
mereka akan memberikan penamaan yang berbeda dengan merujuk pada satu
komunitas. Sejarah panjang Orang Rimba menunjukan bagaimana hirarki mereka
dalam konteks masyarakat luas, misalnya seluruh literatur pemerintah kolonial
Belanda menyebut mereka sebagai Kubu, mengadopsi sebutan yang digunakan
oleh masyarakat Melayu untuk menyebut mereka. Pemerintah menyebut mereka
dengan sebutan Suku Anak Dalam, sedangkan mereka lebih senang menyebut

dirinya sebagai Orang Rimba.
Sebutan “Kubu” dipergunakan oleh masyarakat Melayu untuk merujuk
kepada Orang Rimba. Kata Kubu mengandung konotasi yang negatif sebagai
manusia yang tidak beradab, tidak berpakaian, jorok, makan babi, dan tidak Islam.
Konotasi negatif dari penyebutan tersebut diikuti dengan dibentuknya stereotype
negatif tentang mereka sebagai bentuk penegasan yang menempatkan mereka
pada posisi tidak sama dengan gambaran masyarakat umumnya. Stereotype
negatif yang dibangun berdasarkan kesan yang ditimbulkan dari perbedaan
tersebut dan sangat dipengaruhi oleh nilai agama mereka. Orang Kuba dipandang
seperti anjing, sehingga haram untuk diajak masuk ke dalam rumah orang Melayu.
Untuk memperkuat konotasi tersebut masyarakat Melayu membangun mitos
tentang Orang Kubu yang memiliki ‘ilmu’ yang hebat, bila orang luar meludah di
depan mereka maka orang itu akan mengikuti mereka ke hutan dan tidak akan bisa
kembali lagi.
Berdasarkan literatur bangsa Eropa, keberadaan Orang Kubu telah dikenal
sejak abad 19. Tulisan tersebut merupakan laporan yang dibuat oleh pegawai

5

pemerintah Belanda. Mereka membagi Orang Kubu menjadi dua kategori, Kubu

jinak (civilized Kubu) dan Kubu liar (wild Kubu). Kubu jinak adalah Orang Kubu
yang hidup lebih menetap/semimenetap dan telah membuka ladang, sehingga
mereka sudah pada tahap menuju ke kondisi beradab (Hagen:1908; dan Schebesta
dalam Sanbukt, 1984). Kubu liar sebutan bagi mereka yang masih hidup di dalam
hutan dan menjauhi kehidupan masyarakat Melayu serta tidak berladang.
Gambaran serupa ditulis oleh van Dongen (1913) tentang Orang Kubu, sewaktu ia
menjadi kontrolir BB untuk wilayah Keresidenan Palembang.
Berdasarkan sejarah tentang penyebutan Orang Kubu sangat bernuasa
dominasi dari masyarakat Melayu, kacamata agama digunakan untuk menilai
Orang Kubu dan menempatkan mereka pada posisi yang sangat hina, seperti
anjing. Anjing dalam agama Islam bermakna orang kafir yang pantas untuk
dibunuh. Para pegawai kolonial dan ilmuan berikutnya tetap melanggengkan
sebutan tersebut untuk menunjukan dominasi kebudayaan mereka atas
kebudayaan yang mereka pandang sebagai masyarakat primitf dan tidak beradab.
Sebutan Suku Anak Dalam diberikan pemerintah untuk menggantikan
konotasi negatif dari sebutan Kubu. Oleh negara, mereka dikategorikan sebagai
masyarakat terasing, sebutan ini berkonotasi sebagai masyarakat yang marginal,
tinggal di pedalaman, serta memiliki budaya yang tidak sama dengan budaya
mainstream yang ada di masyarakat. Cara hidup mereka yang berpindah-pindah
dan lebih senang mencari hasil hutan dipandang oleh negara sebagai budaya malas

sehingga menghambat pembangunan. Salah satu indikator dari kemajuan
kehidupan masyarakat dalam pembangunan apabila masyarakat memiliki pola
kehidupan yang stabil ditandai dengan pola kehidupan yang menetap. Indikator ini
sangat sulit untuk diterapkan kepada masyarakat Suku Anak Dalam, sehingga
program utama bagi negara adalah menetapkan mereka dalam satu pola
pemukiman seperti masyarakat umumnya.
Berdasarkan cara pandang ini, Suku Anak Dalam menjadi target dari
negara untuk diberadabkan agar mereka kembali memiliki budaya yang sama
dengan masyarakat Indonesia lainnya, yaitu hidup di rumah dengan pola menetap,
memiliki agama yang sama dengan sebagian besar masyarakat umumnya,
menerima sistem pendidikan formal yang telah disediakan oleh negara, mau

6

menerima kehadiran fasilitas kesehatan, serta berinteraksi dengan masyarakat
lainnya. Semua target yang ingin dicapai oleh negara terhadap mereka merupakan
bentuk nyata dari dominasi kekuasaan negara yang tidak dapat menerima bila
mereka hidup dengan budaya mereka yang berbeda.
Suku Anak Dalam sebagai pengganti bagi penyebutan Kubu masih
mengandung konotasi negatif bahwa mereka itu tidak beradab, terbelakang,

malas, dan menghambat pembangunan. Tidak ada perlakuan yang berbeda dengan
penyebutan Kubu yang diberikan oleh orang Melayu dan pemerintah kolonial
Belanda. Penyebutan Suku Anak Dalam dirasa lebih bertujuan proyek untuk
membuat mereka menjadi beradab.
Kedua penyebutan di atas diberikan oleh orang luar, sedangkan mereka
menyebut dirinya sebagai Orang Rimba dengan ungkapan “awo’a Orang Rimba”.
Penamaan ini sebagai counter identitas terhadap penyebutan yang diberikan oleh
masyarakat Melayu dan pemerintah yang dianggap oleh mereka sebagai suatu
yang buruk. Sebutan Orang Rimba sangat berkaitan dengan identitas mereka yaitu
‘rimba’. Pernyataan mereka bahwa ‘rimbo nia halom awok, putih halom mati
awok’ menggambarkan betapa pentingnya keberadaan rimba dalam kehidupan
mereka, musnah hutan berarti kematian bagi mereka. Bagi Orang Rimba, rimba
bukan hanya lokasi tempat tinggal tetapi rimba merupakan tempat mereka
meletakkan identitas dan kebudayaan mereka.

Pertarungan Stereotype demi Sebuah Legitimasi
Secara tradisional, tetangga asli komunitas Orang Rimba adalah
masyarakat Melayu3. Wilayah kehidupan Orang Rimba, dahulu terpisah jauh dari
perkampungan masyarakat Melayu, perkampungan Melayu, umumnya dibangun
dipinggir-pinggir sungai besar sedangkan lokasi penghidupan Orang Rimba
berada di hulu-hulu sungai. Pada perkembangan kemudian, hutan-hutan sebagai
kawasan hidup dan pencarian Orang Rimba berubah menjadi kawasan pemukiman
transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini mendekatkan jarang dan
interaksi antara Orang Rimba dengan masyarakat lainnya seperti masyarakat
Melayu dan Jawa.
3

Penelitian ini dilakukan di wilayah sekitar Bukit Duabelas, kawasan Air Hitam, Kec. Pauh,
Kabupaten Merangin Jambi.

7

Dekatnya jarak pemukiman dan semakin seringnya Orang Rimba
bersentuhan dengan masyarakat desa membawa dampak yang sangat besar dalam
kehidupan komunitas Orang Rimba. Dalam kosmologi Orang Rimba, orang
Melayu

dan

orang

terang4

merupakan

sumber

penyakit

yang

dapat

membahayakan. Keyakinan ini diwujudkan Orang Rimba dengan aturan yang
melarang mereka membuat pemukiman dekat dengan pemukiman orang terang.
Orang Melayu sebagai sumber penyakit ini dicerminkan dari kata
‘melayu’. Sanbukt (1984) menjelaskan bahwa kata “melayu” memiliki konotasi
yang negatif bagi Orang Rimba. Berdasarkan kata dasarnya ‘layu’ yang diartikan
sebagai keadaan yang tidak berguna sebagai akibat dari penyakit atau sihir.
Konsep ‘melayu’ ini dikonotasikan Orang Rimba dalam ‘natong melayu’ yang
diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan keadaan layu. Kata orang “me-layu”
menandakan sesuatu yang menghancurkan kehidupan yaitu orang membawa
kesialan bagi Orang Rimba melalui penyakit yang mereka bawa. Tempat orang
Melayu merupakan tempat dimana dewo penyakit’on bermukim yaitu di hilir
sungai.
Pada sisi yang lain, masyarakat Melayu menyebut Orang Rimba dengan
sebutan ‘kubu’. Kata Kubu berasal dari kata ‘ngubu’. Dalam bahasa Melayu
Jambi, kata ‘ngubu’ diasosiasikan dengan mencari hidup di dalam hutan. Pada
perkembangannya kata “Kubu’ mengalami konotasi negatif sabagai makhluk yang
bodoh, bakhil, atau bego (Sitepu, 1993:2). Konotasi ini mirip dengan yang
digambarkan oleh masyarakat Melayu Jambi bahwa Orang Kubu5 sebagai orang
yang bodoh, susah diatur, dan terbelakang (Prasetijo, 2010:152). Selain itu,
masyarakat Melayu juga memandang Orang Rimba sebagai makhluk yang ‘kotor’
karena memakan babi, tidak mandi, dan tidak beragama Islam, sehingga mereka
tidak layak untuk diperlakukan sebagaimana manusia umumnya. Stereotype yang
dimiliki oleh masyarakat Melayu ini tampak dalam perilaku keseharian mereka.
4

Sebutan Orang Terang merujuk pada semua orang yang berasal dari luar dunia mereka, baik
orang trans maupun orang Melayu yang tinggal di dekat mereka.
5
Gambaran ini juga sebutkan dalam literature Belanda yang menggambarkan kondisi yang
dipandang ‘primitf’seperti diungkapkan Dongen (1913) mereka tidak mengenakan pakaian hanya
menggunakan cawat, sekujur tubuh mereka dibalut oleh penyakit kurap. Mereka sangat
menyerahkan hidup mereka kepada hasil hutan yang mereka peroleh. Atau Loeb (1927) yang
menyebutkan bahwa Orang Kubu sebagai pemakan segalanya dan menempati posisi yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan tetangga mereka, etnis Melayu.

8

menjadi pemandangan yang biasa ketika Orang Rimba bertamu ke rumah orang
Melayu tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam rumah atau mereka diberi
makan dengan ditempatkan dikantong plastik hitam atau mereka akan diberikan
gelas dan piring dari plastik atau kaleng, semuanya harus dibedakan. Perilaku
berbeda ini didasarkan pada alasan bahwa Orang Rimba makan babi, yang
dilarang oleh Islam sehingga apa yang digunakan oleh mereka berarti najis yang
diharamkan oleh agama. Perilaku yang berbeda diberikan ketika masyarakat
Melayu menerima dan memberikan makan kepada orang yang bukan muslim
yang datang ke rumah mereka, bagi mereka, orang non muslim yang makan babi
juga tetap lebih baik dari pada Orang Rimba, karena mereka lebih bersih.
Pandangan negatif yang dimiliki oleh masyarakat Melayu ini juga
diperkuat oleh pandangan negara. Negara melihat bahwa keberadaan Orang
Rimba dengan pola hidup, budaya, dan sistem kepercayaan mereka dianggap
sebagai suatu yang ‘terbelakang’, primitif, dan tidak beradab sehingga harus
diubah dan dijadikan lebih ‘beradab’. Salah satu cara untuk menghilangkan
gambaran negatif tentang Orang Rimba, maka Departemen Sosial mengganti
penyebutan kata Kubu dengan sebutan ‘Suku Anak Dalam” atau SAD.
Kondisi Orang Rimba yang sangat terbelakang ini dipandang akan
menimbulkan masalah sosial bagi masyarakat, cara hidup mereka tidak sesuai
dengan pola hidup dan budaya masyarakat sekarang sehingga akan memberikan
citra buruk bagi keberhasilan pembangunan. Masyarakat yang dicap terasing ini
dipandang belum sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
Indonesia6, bahkan mereka juga dianggap sebagai bagian dari masalah sosial di
Indonesia (Depsos, 1983). Salah satu standar yang menentukan tingkat
kebaradaban suatu masyarakat adalah mereka hidup pada pemukiman yang tidak
layak huni serta sangat terikat dengan sistem nilai budaya mereka sehingga sulit
untuk menerima perubahan. Berdasarkan pandangan tersebut maka Orang Rimba
harus meninggalkan pola hidup dan budaya mereka yang tidak beradab tersebut

6

Berdasarkan Keppres Nomor 111 tahun 1999, Negara mengkategorikan Suku Anak Dalam
sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT) yaitu suatu kelompok sosial budaya yang bersifat lokal
dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan pembangunan sosial, ekonomi, dan
politik

9

dan menggantinya dengan budaya pemukiman menetap dan mengganti sistem
kepercayaan mereka dengan agama yang benar.
Usaha untuk menjadikan Orang Rimba lebih beradab, maka pemerintah
menerapkan program Pemukiman Kembali Masyarakat Tertinggal (PKMT).
Program pemukiman ini akan menjadi awal dari usaha menanamkan dasar-dasar
kehidupan masyarakat Melayu yaitu membangun sistem sosial yang diakui oleh
negara seperti pada kampung-kampung Melayu dan usaha menanamkan bentuk
keyakinan yang benar, dengan mengenalkan dan mengajarkan agama Islam
kepada Orang Rimba.
Dominasi etnis Melayu dan negara terhadap Orang Rimba, tidak dapat
dipisahkan dari sejarah keberadaan Orang Rimba.di Jambi. Keberadaan Orang
Rimba diakui berdasarkan struktur sosial politik di Jambi pada masa Kesultanan
Jambi, terutama dikaitkan dengan peran Orang Rimba dalam kehidupan
perekonomian pada masa itu melalui konsep hubungan serah naik jajah turun.
Aturan serah naik jajah turun ini berkaitan dengan pendistribusian ekonomi dan
pajak dari hulu ke hilir. Karena Orang Rimba berdiam dan mencari penghidupan
di tanah raja, maka mereka wajib menyerahkan wajib jajah kepada raja (Prasetijo,
2010:120). Orang yang berhak memungut pajak tersebut adalah jenang, sebagai
wakil raja di wilayah tersebut. Jenang adalah orang Melayu yang bertugas
mengumpulkan pajak Orang Rimba kepada raja dan mendistribusikan serah naik
(pemberian raja) kepada Orang Rimba.
Selain kepatuhan dengan jenang sebagai wakil raja, secara adat Orang
Rimba akan patuh kepada waris mereka. Bila jenang merupakan ikatan politik
dengan Orang Rimba, maka waris merupakan ikatan kekerabatan/dulur antara
Orang Rimba dengan masyarakat Melayu. Waris merupakan konsep yang
diadopsi dari konsep hukum waris dalam agama Islam. Waris Orang Rimba
adalah masyarakat asli Tanah Garo, sehingga dapat disimpulkan bahwa waris
Orang Rimba adalah orang Melayu. Sebagai waris, ia memiliki hak waris dan
kuasa waris. Hak waris berkaitan dengan pembagian harta, dan kuasa waris
berkaitan dengan hak pengaturan. Orang Rimba harus patuh kepada keputusan
waris dan wajib memberikan sebagian hasil yang ia peroleh kepada warisnya
sebagai bagian dari hak waris (Amilda & Laksono, 2004).

10

Relasi kepatuhan ini diatur dalam seloka adat yang menyatakan “Pangkal
waris Tanah Garo, ujung waris tanah Serengam, Air Hitam tanah bejenang.
Berdasarkan seloka ini maka Orang Rimba mengakui bahwa mereka memiliki
pangkal waris di Tanah Garo, ujung waris di Serengam, dan jenang mereka di Air
Hitam. Berdasarkan seloka ini maka Orang Rimba memiliki posisi subordinat dari
masyarakat Melayu, karena berperan sebagai waris mereka, selain itu mereka pun
menjadi subordinat dalam relasi dengan negara, ditandai dengan peran jenang
sebagai perantara. Konsep ini masih tetap dipertahankan oleh Orang Rimba,
walaupun tidak seketat dulu, hal ini dibuktikan dengan sebutan raja kepada setiap
aparat pemerintah yang berhubungan dengan mereka.

Membangun Identitas Baru sebagai Upaya untuk Diakui
Dominasi masyarakat Melayu dan negara terhadap Orang Rimba lambatlaun mempengaruhi identitas Orang Rimba sebagai etnis minoritas. Fenomena
konversi identitas sebagai akibat dari pengaruh dominasi masyarakat Melayu,
tampak pada komunitas Orang Rimba di Air Hitam. Interaksi yang sangat intensif
dengan penduduk transmigrasi dan hilangnya peran jengan Air Hitam berdampak
pada reorientasi Orang Rimba terhadap jatidirinya. Tetap mempertahankan diri
sebagai Orang Rimba dan aturan adatnya, ternyata bukan suatu yang mudah untuk
dipertahankan. Rimba sebagai identitas sudah tidak banyak lagi yang tersisa,
mereka hidup terkepung oleh pemukiman transmigrasi dan perkebunana kelapa
sawit.
Usaha untuk melakukan konversi identitas tersebut ditandai dengan
meninggalkan aturan adat Orang Rimba dengan bediom atau bermukim,
berkampung. Ketika seorang Rimba telah memutuskan untuk bediom, maka ia
telah mencampok adat atau telah meninggalkan adat dan menjadi orang dusun.
Ketika seorang telah memutuskan untuk bediom maka langkah selanjutnya yang
harus ia lakukan adalah menjadi Islam dengan ditandai dengan bersunat, sehingga
ia dapat diterima oleh masyarakat desa, terutama masyarakat Melayu. Sehingga

11

dapat dikatakan bahwa konversi identitas ini berupa konversi budaya dan
kepercayaan7.
Konversi identitas ini umumnya terjadi melalui program PKMT yang
dilakukan oleh Departemen Social. PKMT ini bertujuan untuk menjadikan Orang
Rimba memiliki pola hidup dan budaya seperti masyarakat umumnya, sehingga
mereka perlu untuk dibina. Pemukiman dibangun merujuk pada konsep in situ
yaitu membangun pemukiman di tempat asal komunitas Orang Rimba tersebut.
Indikator keberhasilan program ini adalah jumlah rumah yang dapat dibangun,
jumlah individu yang dapat dimukimkan, serta jumlah individu yang dapat diIslam-kan.
Keberhasilan PKMT yang dilakukan oleh Kementerian Sosial dengan
Kabupatern Sorolangun Jambi adalah Pemukiman Komunitas Adat Tertinggal
Sungai Renah Manis, di desa Lubuk Bedorong, Kec. Limun, Kabupaten
Sorolangun. Pemukiman ini diperuntukkan bagi Orang Rimba kelompok
Tumenggung Mantap. Populasi kelompok Sungai Renah Manis terdiri dari 14 KK
dengan 57 jiwa. Kehidupan kelompok ini ditopang oleh hasil perkebunan karet,
secara administratif lokasi pemukiman mereka menjadi RT tersendiri pada Desa
Lubuk Bedorong. Berbeda dengan masyarakat Melayu di Lubuk Bedorong yang
beragama Islam, maka Orang Rimba kelompok Tumenggung Mantap ini
memeluk agama Kristen. Hingga sekarang pendeta mereka masih rutin
mengunjungi mereka setiap bulannya (Laporan Bioregional Warsi Jambi, 2008).
Di lokasi pemukiman mereka terdapat rumah sekolah yang difasilitasi oleh
pihak gereja, materi pengajarannya baru sebatas baca, tulis dan hitung. Sebagian
anak-anak Orang Rimba dari kelompok ini ada yang disekolahkan SD, SMP, dan
diasramakan di Singkut ataupun Sarolangun. Peran geraja yang besar dalam
kehidupan Orang Rimba berpotensi menjadi sumber konflik dengan masyarakat
desa yang beragama Islam. Konflik yang bernuansa SARA terjadi pada tahun
2004 di Sungai Kutur, desa Tanjung Raden, Kecamatan Limun, Kabupaten
Sorolangun. Konflik dipicu oleh tindakan pembakaran gereja di Sungai Kutur oleh

7

Dibeberapa tempat, Orang Rimba melakukan konversi identitas dengan berdiom dan melakukan
konversi kepercayaan mereka menjadi beragama Kristen seperti yang terjadi pada beberapa
keluarga di Pamenang dan Limun. Pilihan agama yang dipeluk sangat terkait dengan siapa yang
mendampingin mereka pada saat proses konversi ini terjadi.

12

Orang Dusun Sungai Kudis. Pelaku pembakaran gereja diberi sanksi hanya satu
tahun penjara dari tuntutan selama 17 tahun penjara. Orang rimba di Sungai Kutur
sampai saat ini tidak puas dengan sanksi yang dijatuhkan pada pelaku
pembakaran. Berbagai label stereotipe menunjukkan akumulasi konflik tidak
dapat diabaikan, didalamnya mengandung emosi, sakit hati, dan tidak adil.
Konversi identitas dari Orang Rimba menjadi orang Melayu dengan
memilih berkampung dan memeluk agama formal juga dilakukan oleh kelompok
Orang Rimba yang bermukim di Sungai Air Panas, Desa Bukit Subang,
Kecamatan Pauh, Kabupantan Sorolangun, Jambi. Orang Rimba Air Panas dengan
pemimpinnya

Tumenggung

Besiring

dan

Miring,

memutuskan

untuk

meninggalkan identitas Orang Rimbanya dan menjadi orang dusun dan beragama
Islam. Proses ini terjadi sekitar tahun 1998, dengan diadakannya program TSM
(Transmigrasi Swakarsa Mandiri) oleh Densos, Deptrans, dan PT SAL. Tujuan
program ini adalah untuk mengajak Orang Rimba yang hidupnya masih
terbelakang agar dapat hidup lebih baik serta memberikan kemapanan ekonomi
mereka melalui program perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan oleh PT
SAL (Sanbukt dan Warsi, 1998:17-18).
Pembangunan pemukiman bagi Orang Rimba berafiliasi kepada desa
Pematang Kabau sebagi RT tersendiri yaitu RT 01 RW 3, sehingga secara
administrasi pemukiman ini diakui sebagai bagian formal desa. Dengan diakuinya
secara formal keberadaan Orang Rimba dalam administrasi desa menjadikan
Orang Rimba tersebut bagian dari desa sehingga berhak memperoleh KTP dan
Kartu Sehat, seperti warga masyarakat desa yang lain. KTP dan fasilitas lainnya
merupakan bukti formal keberadaan mereka di desa. Pemukiman ini dilengkapi
dengan fasilitas SD Air Panas, yang awalnya merupakan sekolah rintisan bagi
anak-anak Orang Rimba di Air Panas dan Air Hitam, pada perkembangannya
sekolah ini sempat ditinggalkan ketika diubah menjadi sekolah formal yang
menerapkan kurikulum Pendidikan Agama Islam. Sejak peristiwa tersebut, anakanak Orang Rimba yang tidak bermukim memilih untuk tidak melanjutkan
pendidikan mereka, dan sekarang sekolah ini lebih banyak mengajar anak-anak
orang Melayu yang berkebun karet di sekitar lokasi tersebut.

13

Keberhasilan memukimkan dan mengislamkan 23 KK atau 98 jiwa Orang
Rimba dipandang sebagai keberhasilan pemerintah, karena mereka telah berhasil
menjadikan Orang Rimba lebih beradab seperti masyarakat Melayu yang lainnya.
Berbeda dengan Orang. Berbeda dengan pemukiman Orang Rimba yang terdapat
di Sungai Renah Manis yang beragama Kristen, kurang mendapat pengakuan
klaim keberhasilan, maka pemukiman Air Panas selalu menjadi bentuk
percontohan keberhasilan tersebut, salah satu aspek penting dari keberhasilan
tersebut adalah berhasil menjadikan Orang Rimba seperti masyarakat Melayu,
berdiam atau berkampung dan beragama Islam.

Permainan Simbol untuk Sebuah Pengakuan Identitas
Ketika memutuskan berkampung, maka Orang Rimba akan tercabut dari
adat leluhur mereka. Mereka tidak lagi mau untuk menyebut atau disebut dengan
sebutan Orang Rimba atau Kubu, begitu pula sebaliknya, Orang Rimba yang
masih memegang adat nenek moyang mereka sudah tidak lagi mengakui bahwa
mereka adalah bagian dari komunitas Orang Rimba. Bagi Orang Rimba yang
memilih untuk mengganti identitasnya menjadi orang desa dan Islam, bukan juga
hal yang mudah untuk menperoleh pengakuan atas identitas baru mereka,
masyarakat desa masih tetap menganggap mereka sebagai Orang Rimba atau
Kubu, yang berstatus lebih rendah dari mereka.
Usaha Orang Rimba mengkonversi identitas lamanya ke identitas barunya
akan selalu diikuti dengan mengunakan strategi peniruan dan membangun
kesadaran baru sesuai dengan apa yang dituntut oleh identitas baru tersebut. Pada
proses membangun strategi peniruan ini, penggunaan identitas, antara identitas
baru dan lama, akan bersifat ambigu, sangat tergantung kepada posisi subjeknya.
Ambiguisitas ini akan tampak dari pemaknaan simbol-simbol identitas baru
tersebut, sangat ditentukan oleh kepentingan subjek (Alasuutari, 2004).
1) Islam sebagai jalan menebus dosa
Menjadi Islam, bagi Orang Rimba, selalu identik dengan tidak makan babi
karena babi merupakan suatu yang diharamkan dalam budaya Melayu dan agama
Islam, berbeda dengan budaya lama mereka dimana babi menjadi sumber
makanan utama sebagai lauq godong serta lambang kehebatan bagi seorang laki-

14

laki. Perbedaan budaya dan keyakinan ini menandakan bahwa menjadi orang desa
dan masuk Islam berarti merubah pola hidup dan budaya mereka pula.
Seorang informan mengungkapkan alasannya masuk Islam, baginya,
masuk Islam berarti memilih jalan menuju keselamatan dan kebaikan serta
menebus dosa mereka selama ini. Menjadi Islam bukanlah hal mudah bagi Orang
Rimba, karena Islam melarang semua nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka. Islam kebalikan dengan keyakinan nenek moyang Orang Rimba,
misalnya mereka dilarang makan babi, mereka harus menutup auratnya, hidup di
hutan yang kotor, serta tidak pernah sembahyang. Karena perilaku dosa mereka
itulah sehingga orang desa menganggap mereka rendah dan selalu menghina dan
mengolok-olok mereka.
2) Mengganti nama menjadi nama Islam dan bersunat
Simbol terpenting yang dijadikan aklamasi bahwa seorang Orang Rimba
telah mengkonversi identitasnya adalah dengan melakukan sunat. ‘telah bersunat’
menandakan seorang laki-laki Orang Rimba telah sah menjadi bagian dari agama
Islam dan masyarakat Melayu. Sebelum proses bersunat dilakukan, Orang Rimba
yang masuk Islam akan terlebih dahulu mengucapkan syahadat dan biasanya
diikuti dengan penggantian nama rimba mereka menjadi nama yang bernuasa
islami seperti nama rimbanya Besiring kemudian berganti menjadi Muhammad
Ali, seorang Miring berganti nama menjadi Muhammad Helmi, atau si Nyelempit
kemudian menjadi Susilowati.
Ketika nama baru telah diperoleh, maka nama rimba pun sudah tidak
dikehendaki lagi untuk digunakan. Orang-orang desa lainnya akan memanggil
mereka dengan nama baru tersebut. Pergantian nama ini sepertinya menjadi suatu
keharusan bagi mereka, dengan nama baru maka mereka pun sudah resmi
menyandang identitas budaya yang baru pula, yaitu identitas sebagai orang desa,
dengan budaya Melayu dan beragama Islam. Apabila nama rimba mereka
digunakan, maka mereka akan merasa dihina, nama lama sudah tidak dikehendaki
lagi oleh pemiliknya.
3) Hidup bersih
Menjadi Islam berarti menuntut Orang Rimba untuk selalu hidup bersih,
seperti yang selalu diucapkan oleh Datuk Kri, imam masjid di Air Panas. Hidup

15

bersih berarti mereka harus selalu mandi dengan menggunakan sabun serta
menurup aurat. Cawot sebagai pakaian mereka dulu harus ditinggalkan dan
menggantikannya dengan pakaian yang umumnya dipakai oleh orang desa
umumnya. Para perempuannya tidak lagi berkembang, bahkan beberapa dari
mereka telah menggunakan jilbab ketika harus hadir di forum desa. Pakaianpakaian tersebut akan selalu mereka cuci dengan menggunakan sabun. Sabun
menjadi suatu yang wajib sekarang, begitu pula ketika mereka mandi juga
menggunakan sabun, dahulu merupakan pantangan yang dilarang adat Rimba
karena bau wangi dari sabun akan menghalangi datangnya dewo.
Piring dan gelas yang telah mereka gunakan harus selalu dicuci dan
diletakkan pada tempat yang bersih pula. Hidup bersih ini merupakan usaha untuk
mengubah stereotype negatif yang dimiliki oleh masyarakat Melayu terhadap
mereka. Pilihan ini bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan oleh Orang
Rimba.
4) Mengikuti ritual-ritual Islam
Sebagai seorang muslim, Orang Rimba di Air Panas juga melakukan ritual
keagamaan seperti dilakukan oleh masyarakat muslim lainnya. Mereka melakukan
sholat dan mengaji seperti layaknya muslim umumnya. Guru yang mengajarkan
mereka sholat dan mengaji didatangkan oleh Depsos. Sang guru diberikan rumah
tepat di sebelah masjid tersebut. Menurut penuturan sang guru, Orang Rimba yang
telah memeluk Islam, masih susah untuk diajak melakukan sholat lima waktu,
mereka hanya sholat pada hari Jum’at di masjid tersebut. Hal ini diakui oleh
Orang Rimba tersebut bahwa sangat sulit bagi mereka untuk menghafalkan doadoa sholat, bila sholat Jum’at mereka dapat meniru imam terhadap gerakan dan
bacaannya. Kondisi ini sangat dapat dimaklumi oleh masyarakat muslim lainnya,
“mereka baru belajar, jadi masih bagus mau sholat Jum’at dari pada tidak sama
sekali”.
Mereka juga ikut terlibat pada aktifitas keagamaan yang sifatnya
kemasyarakatan seperti acara syukuran dan maulud yang dilaksanakan di Masjid
Air Panas. Ketika ada keluarga mereka yang sembuh dari sakit, mereka akan
meminta imam masjid untuk mengundang umat Islam lainnya untuk membacakan
doa syukur atas kesembuhan tersebut. Acara syukuran tersebut akan dikelola oleh

16

imam masjid tersebut, ia hanya memberikan uang maka imam akan mengurus
semuanya, menyediakan makanan, mengundang warga, serta menyiapkan masjid
tempat acara dilangsungkan. Ketika doa selamat dibacakan, hanya Orang Rimba
yang punya hajat saja yang duduk di depan, yang lainnya adalah warga desa.
Orang Rimba umumnya akan mengambil tempat dibarisan paling belakang,
menurut mereka, mereka belum hapal doa-doanya sehingga sebaiknya duduk di
belakang agar tidak mengganggu yang lainnya.
5) Menikah dengan orang etnis lain
Bagi Orang Rimba, upaya konversi identitas ini akan benar-benar berhasil
apabila seorang laki-laki Rimba dapat menikah dengan orang etnis lain, seperti
Melayu atau Jawa. Pernikahan tersebut akan menjadi simbol bahwa Orang Rimba
tersebut telah benar-benar diterima oleh masyarakat desa. Tidak banyak laki-laki
Orang Rimba yang dapat menikah dengan perempuan bukan Orang Rimba.
Kesulitan untuk memperoleh jodoh ini yang akhirnya mendorong pemuda Orang
Rimba yang telah berkampung dan beragama Islam untuk kembali ke rimba dan
menjalankan ajaran nenek moyang mereka.
Pernikahan antar pemuda Orang Rimba yang telah masuk Islam dengan
gadis bukan kelompok Orang Rimba, sangat jarang terjadi, diantaranya di Air
Panas, antara Naim, anak laki-laki pemimpin dari perkampungan Air Panas,
dengan Romiyati, gadis Jawa warga Desa Mentawak pada tahun 2000. Pasangan
yang lain adalah Siddik, pemuda Orang Rimba yang telah menjadi anak angkat
Rio Sayuti, seorang waris Tanah Garo dengan Ratna, gadis Tanah Garo,
perkawinan tersebut terjadi tahun 2003. Asimilasi melalui jalur perkawinan ini
sangat sulit terjadi karena orang desa, terutama etnis Melayu masih tetap
memandang rendah Orang Rimba meskipun ia telah berkampung dan beragama
Islam, masyarakat memandang perkawinan tersebut hanya untuk mendapatkan
harta bagi perempuannya.

Kesimpulan
Hubungan antara etnis mayoritas dengan minoritas pada umumnya terjadi
dalam relasi dominasi dan bersifat asymetrik. Hubungan dominasi dan asymetrik
ini menempatkan etnis mayoritas acapkali menuntut etnis minoritas menyesuaikan

17

diri bahkan menjadi bagian dari budaya mayoritas. Tuntutan ini tidak jarang pula
didukung oleh kebijakan politik pemerintahnya. Negara menetapkan standar
budaya yang ‘seharusnya’ dimiliki oleh semua etnis adalah berbudaya seperti
yang dimiliki oleh etnis mayoritas. Kebijakan ini diwujudkan dengan mendorong
budaya dan sistem kepercayaan yang tidak sesuai dengan budaya dan sistem
kepercayaan mayoritas harus berubah agar dapat diterima sebagai bagian dari
negara dan masyarakat umumnya.
Relasi pluralitas ini (multikultural dan multi kepercayaan) tidak akan dapat
dipisahkan dari relasi kekuasaan dan dominasi yang dimiliki oleh masing-masing
etnis/kepercayaan. Dalam struktur masyarakat Indonesia, Islam menempati posisi
dominan yang memiliki dominasi dalam menempatkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan masyarakat. Dominasi ini menempatkan komunitas Muslim memiliki
kekuasaan untuk memaksakan nilai-nilai Islam dalam struktur masyarakat
tersebut.
Orang Rimba dengan identitas budaya dan kepercayaan yang sangat
berbeda dengan budaya dan kepercayaan mayoritas, mengalami posisi subordinasi
dimana mereka dituntut untuk menyesuaikan diri dan berasimilasi dengan budaya
dan kepercayaan mayoritas. Tekanan ini mendorong sebagian Orang Rimba
melakukan konversi identitas dari identitas asal mereka sebagai Orang Rimba
menjadi orang Melayu atau orang dusun. Konversi ini menuntut strategi adaptasi
dengan melakukan strategi peniruaan simbol-simbol budaya dan agama Melayu
seperti menjadi Islam, mengganti nama mereka dengan nama Islami dan bersunat
hidup bersih, mengikuti ritual-ritual keagamaan, dan menikah dengan perempuan
dari orang etnis lain. Semua strategi ini dalam rangka mengukuhkan identitas baru
mereka yaitu identitas orang dusun yaitu orang Melayu dan beragama Islam.

Daftar Pustaka
Amilda dan P.M. Laksono. 2004. “Kuasa di Waris Eksploitasi Kelas untuk
Memperebutkan Sumber Daya Alam” dalam Jurnal Manusia dan
Lingkungan, Vol XI, No.1, Maret. pp. 47-53.
Andaya. Barbara Watson. 1993. To Live as Brothers: Southeast Sumatra in The
Seventeeth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawaii
Press.
Alasuutari, Pertti. 2004. Social Theory and Human Reality. London: SAGE
Publications Ltd.
18

Brown, Richard Harvey. 1993. “Cultural Representation and Ideological
Domination” dalam Social Forces, March, 71(3). pp. 657-676.
Denzing, Norman K. & Yvonaa S. Lincoln. 1994. “Introduction: Entering the
Field of Qualitative Research” dalam Norman K. Denzing & Yvonna S.
Lincoln. Handbook of Qualitative Research. California: SAGE
Publications, Inc.
Departemen Sosial RI. 1983. Petunjuk Kerja Pembimbing Kesejahteraan
Masyarakat Terasing. Jakarta: Direktorat Pembinaan Masyarakat
Terasing, Direktorat Jenderal Bina Sosial.
Dongen, van. 1913. “Nog Een en Ander Over de Koeboe” dalam Bijragen tot de
Taal Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Deel 67.
Gravenhagen, Martinus Nijhoff. Dialihbahasan oleh S. Hertini Adiwoso
dan Budi Prihatna. (naskah tidak dipublikasihkan). Jambi: Museum
Daerah Jambi.
Eriksen, Thomas Hylland. 1993. Ethnicity and Nationalism: Anthropological
Perspektives. Corolado: Pluto Press.
Hollan, Dorothy, William Lachicotte Jr, Debra Skinner, Carole Cain. 1998.
Identiy and Agency in Cultural World. London, England: Harvard
University Press
Jones. Pip. 2009. Pengantar Teori-teori Sosial---dari Teori Fungsionalisme
hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lamont, Michele. 2002. “Culture and Identity” dalam Handbooks of Sociological
Theory. Jonathan H. Turner (ed.). New York: Kluwer
Academic/Plenum Publishers.
Miles, Mathews B & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif, Buku
Sumber tentang Metode-metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohendi
Rohidi. Jakarta: UI Press.
Moloney, Gail & Iain Walker (ed.). 2007. Social Representation and Identity
Content, Process, and Power. New York: PalGrave MacMillan.
Nagata, Judith A. 1974. “What is a Malay? Situational Selection of Ethnic Identity
in a Plural Society” dalam American Ethnologist Volume 1, Issue 2.
p331-350.
Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera
Timur Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Prasetijo, Adi. 2010. Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang
Rimba Jambi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Shoorl, J.W. 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus
Modernisasi Irian Jaya. Jakarta: Grasindo.
Sitepu, R. 1993. “Kondisi dan Permasalahan Kesehatan Suku Anak Dalam di
daerah Sungai Terap dan Daerah Kejasung Dati II Batang Hari
Propinsi Jambi serta Alternatif Pemecahannya”. Makalah dalam
Seminar Meningkatkan Harkat dan Martabat Suku Anak Dalam di
Daerah Jambi. Universitas Jambi, 6 Desember.
Sundbukt, Oyvind dan Warsi. 1998. Orang Rimba: Penilaian Kebutuhan bagi
Pembangunan dan Keselamatan Sumberdaya, Laboran untuk Bank
Dunia. Jambi: Warsi.
19

Suparlan, Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam
Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suprayogo, Imam & Tobroni. 2001. Metode Penelitian Sosial-Agama. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya

20