Refleksi Kosmologi Terhadap Pola Kampung Studi Kasus : Desa Bawömataluo, Nias Selatan

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kosmologi Dan Sistem Religi Masyarakat Nias 2.1.1. Pengertian Kosmologi

Kosmologi berasal dari kata yunani “kosmos” dan “logos”. “kosmos” berarti susunan,atau ketersusunan yang baik (Bakker, 1995). Sedangkan “logos” juga berarti keteraturan,sekalipun dalam “kosmologi” lebih tepat diartikan sebagai “azas-azas rasional” (Kattsof, 1986). Kosmologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur dan alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek.

2.1.2. Kosmologi Masyarakat Nias

Ada banyak pendapat tentang kosmologi masyarakat nias dari beberapa sumber. Pada zaman dulu, Masyarakat Nias beranggapan bahwa Inada Samihara Luo atau Maha Sihai adalah dewa yang tertinggi yang menciptakan alam semesta (universe), termasuk juga menciptakan dewa dan manusia. (Laiya,'23:1983). Menurut mitologi Nias,nenek moyang mereka diturunkan dari lapisan langit paling atas bernama “Teteholi Ana‟a” suatu negeri yang indah sekali di dunia Di dunia atas banyak terdapat dewa-dewa. Diantaranya dewa-dewa yang terpenting adalah “Lowolangi” yang dianggap sebagai raja di dunia atas. Dewa-dewa ini disebut juga penguasa langit, memberi terang dan kehidupan bagi semua makhluk.Perkataan Lowalangi berasal dari: “Luo” artinya matahari, “belangi” artinya langit, yang artinya penguasa langit, pemberi terang hidup bagi semua


(2)

makhluk (Siahaan, 1979). Selain kedua dewa tersebut di atas, masyarakat juga percaya tentang adanya Dewi Silewe yang sering dianggap sebagai penghubung antara Lawalangi dan Laturadano (Hadiwinoto, 2008).

Dewa-dewa yang lain adalah:

a. Madayo dan Faoha, adalah dewa kejahatan.

b. Nadowya, ialah dewa yang membuat tanaman dan membuat manusia mati. c. Sacho, ialah dewa mendatangkan panas dan hujan.

d. Laeniliti, ialah dewa yang mendatangkan hujan dan embun pada malam hari.

e. Segelodano, ialah dewa lubang. f. Tuha Yangarefa, ialah dewalaut. g. Ba‟uwadano, ialah dewa bumi. h. Sibayawachi, ialah dewa padi.

Lature Dano adalah dewa yang menopang bumi Nias. la berbentuk ular naga raksasa. la melingkarkan badannya (isa'eraini mbotonia) pada bagian bawah bumi Nias yang berbentuk bundar bagaikan periuk tanah. Karena itu Lature Dano menjadi alasnya agar tidak mudah goyang atau terguling. Ketika Lature Dano marah pada manusia Nias, maka ia menggerakkan badannya, lalu bumi pun bcrgoyang dan gempa bumi terjadi. Kalau versi sebelumnya dikatakan bahwa penjaga bumi pulau Nias adalah dua orang leluhur bernama Ba'uwadanohia dan Lasorogae Sitoludaha, maka dalam cerita versi yang satu mi, sosok kedua leluhur


(3)

tadi berubah vvujud dari manusia menjadi ular naga raksasa bernama Lature Dano/Latura Dano (Duha,2008).

Penulis berkeyakinan bahwa ular naga raksasa itu hanyalah ungkapan simbolik yang menggambarkan kesaktian/kekuatan (fa'abiJlo) yang luar biasa dari kedua leluhur, sehingga bisa menjaga dan melindungi bumi pulau Nias.

Omo Niha/Omo Hada adalah media ekspresi jiwa, imajinasi, pikiran, ide-ide dan refleksi dunia orang Nias sehingga menghadirkan simbol Lature Dano pada rumahnya. Hal itu sangat mudah dipahami pada model rumah adat di Gomo, Bawb'lato, Idanogawo dan terutama di Telukdalam yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang. Badan rumah, mulai dari sikholi atau ewe sampai batas balok panjang sebagai penutup ujung atas papan dinding keliling rumah merupakan simbol atau refleksi dari dunia tengah atau dunia riil yang didiami oleh orang Nias "Ono Niha." Rumah Adat menjadi simbol dunia (cosmologi) dari Ono Niha. Struktur atas mulai dari satu tingkat di atas lago-lago atau scjajar dengan pangkal lawa-lawa (tuwu-tuwu) hingga kc atas, merupakan simbol "dunia atas." Struktur bagian tengah (badan rumah) merupakan "dunia tengah" dan Struktur bawah merupakan dunia bawah. Pada rumah Telukdalam, antara dunia bawah dan dunia lengah dibatasi olch sikholi (ewe), sedangkan antara dunia tengah dan dunia atas dibatasi oleh lago-lago. Lago-lago berarti penutup, seolah dunia tengah itu lebih penting sehingga pada bagian itu harus ditutup dan di bawahnya juga dikawal oleh sikholi. Di dalam rumah terdapat berbagai pembatas dan tingkatan yang menggambarkan batas-batas norma adat istiadat 'oto'oto mbdwo/silusiiu mbowd dan tingkatan status sosial 'bosi mbowd." Ini berarti bahwa fungsi Omo


(4)

Niha sebagai dunia nyata bagi Ono Niha, sungguh merefleksikan keseluruhan kosmologi Ono Niha yang terdiri 3 dunia yaitu, dunia atas, tengah dan bawah (Duha, 2008).

Demikian juga pada rumah adat di Nias Utara yang berbentuk oval (bundar) atau bulat telur. Rumah adat yang telah menjadi simbol dunia (kosmologi) orang Nias itu, ditopang oleh dewa yang meiingkarkan badanya di sekeliling badan rumah (isa'eraini mboto nomo), supaya rumah itu tidak oleng. Kehadiran dewa itu tcrwujud pada balok atau ring panjang yang melingkar sekeliling rumah yang disebut 'ladea.' Kemudian kepalanya menjulur kc dcpan seperti ular. Komponen rumah yang menjulur ke depan itu disebut 'ewe' atau 'ni'oboho/niolasara.' Karena rumah itu bulat, maka ladea yang seharusnya menyatu dengan ewe, harus dipisahkan (dipotong). Itulah yang menjadi akibat modifikasi arsitektur dari model persegi empat menjadi bundar. Tidak semua rumah di Nias Utara dan Barat memasang atau memiliki 'ewe,' lebih umum hanya dipasang balok yang disebut '(www gahe.' Balok tuwu gahe itu diukir dengan berbagai ornamen yang disebut 'ni'ogaeliu' atau 'ni'olasara/ni'oboho (Duha, 2008).

Sikholi atau ewe merupakan simbol kehadiran Lature Dano yang menopang seluruh papan dinding rumah pada struklur tengah. Sikholi/ewe yang memiliki kepala menjulur ke depan inenyerupai kepala ular yang siap mematuk. Seolah ada dua ular naga rakasa yang menopang dan menjaga bagian bawah dari rumah sebagai dunia nyata yang terkecil dari Ono Niha. Lature Dano yang menjaga runiah itu. Untuk runiah bangsawan di Telukdalam, khususnya Omo


(5)

Nifolasara, selain sikholi sebagai simbol kehadiran Lature Dano yang mengawal rumah itu, masih ada tiga kepala naga 'lasara' sebagai pelengkapnya. Ketiga kepala lasara tersebut di pasang di bagian muka rumah. Satu di tengah dan di samping, persis di alas balok panjang sikoli kiri-kanan. Seolah mau menyampaikan bahwa masih ada yang lebih kuat di atas Lature Dano. Kepercayaan bahwa masih ada yang lebih kuat dan lebih bcrkuasa dari Lature Dano, gampang dipahami. Kalau orang Nias sangat pcrcaya pada leluhur atau roh leluhur, maka jelas bahwa Lature Dano masih merniliki atasan, yaitu ayahnya dan seluruh nenek moyangnya. Kalau kita mengikuti uraian Faogoli Harefa pada bagian sebelumnya, maka ayah dari Lature Dano dengan nama lain Ba'uwadano atau juga Nazuwa Dano yaitu Sirao (Duha, 2008).

Masyarakat nias percaya bahwa masusia pertama yang diturunkan ke dunia adalah bernama Hia. Cara penurunan Hia dalam Teteholi Ana‟a sangat berbeda engan saudara-saudaranya yang lain. Sebelum ia diturunkan, ia memohon agar ayahnya membuat satu istana „omo‟ lengkap dengan perabotnya. Setelah 9 tahun lamanya untuk memenuhi segala permintaannya, barulah balugu sirao menurunkan Hia bersama rumah dan perlengkapannya tadi “nidada fabaya osali, nidada fabaya omo.”

Disamping rumah dan segala perlengkapan, ia juga memohon agar ayahnya menurunkan bersama dia segala sesuatu tentang ukuran/takaran/timbangan (afore, lauru, ba fali‟era), bibit segala tanaman, binatang, bibit sirih, pinang, tembakau, dan segala macam perhiasan, serta


(6)

berbagai macam patung adat (adu). Karena itulah Hia Walangi Sinada mempunyai pokok segala peraturan „huku‟. Ia tinggal di Gomo dengan upaca kebesaran.

Masyarakat Nias sebagai sebuah masyarakat tradisional dalam kaitannya dengan hasil budaya megalitik tentu memiliki religi yang dianut pada masanya. Sisa tinggalan dimaksud masih kita jumpai hampir di seluruh wilayah Nias khususnya pada perkampungan-perkampungan tradisional. Perkampungan tradisional dimaksud adalah perkampungan yang masih menggunakan pola perkampungan lama yaitu dengan pemilihan tempat tinggal di atas bukit atau pada areal yang didatarkan dan dikelilingi perbukitan dengan rumah berarsitektur rumah panggung dengan bentuk yang khas, saling berhimpitan, berbaris dan berhadap-hadapan.

Sisa kebudayaan lama tersebut ada yang berbentuk bangunan monumental dan ada juga dalam bentuk lisan. Keberadaan kebudayaan tersebut merupakan gambaran dari masyarakat Nias yang tentunya agak berbeda dengan gambaran masyarakat Nias saat ini. Salah satu hal yang digambarkan oleh sisa kebudayaan masa lalu diantaranya adalah religi. Untuk mengetahui unsur-unsur yang ada pada religi lama dimaksud maka beberapa aspek kebudayaan Nias yang juga disebut folklor dan sekaligus menjadi simbol dari kebudayaan Nias menjadi aspek pengamatan. Folklor sebagai sebuah simbol dianggap memiliki unsurunsur religi yang dapat dihimpun menjadi konsep religi lama masyarakat Nias. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan tinggalan arkeologis (folklor bukan lisan) di Nias merupakan sebuah sistem budaya (Hadiwinoto, Dkk. 2008).

Bentuk-bentuk folklor yang ada di Nias dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya saling kait mengkait dan sebagian memunculkan atau menghasilkan berbagai variasi. Artinya dalam sebuah satuan unsur budaya dapat juga merupakan sebuah sistem tersendiri di dalamnya. Sebut saja religi yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, di dalamnya terdapat sistem dengan satuan-satuan unsur yang ada padanya saling


(7)

kait-mengkait. Adapun satuan unsurunsur yang ada pada religi diantaranya adalah kosmologis, ritus, pendeta/tokoh agama, sarana upacara, dan lainnya (Hadiwinoto, Dkk. 2008).

Setiap tahapan upacara owasa/faulu diikuti dengan mendirikan bangunan megalitik yang tingginya sesuai dengan tahapan yang dilakukan seperti pendirian batu tegak di depan rumah atau pendirian arca adu zatua di dalam rumah. Setiap tingkatan upacara tersebut mewakili tingkatan lapisan langit, sehingga bentuk dan ukuran dari banguna megalitik adalah representasi dari tingkatan langit. Dalam anggapan masyarakat bahwa Setiap tingkatan upacara yang telah dilakukan maka orang tersebut akan berada pada lapisan langit sesuai dengan tingkatan upacara yang telah dilakukan. Mengingat roh leluhur dapat mempengaruhi kehidupan orang yang hidup di alam nyata maka upacara-upacara yang berkaitan selalu dilakukan dalam upaya selalu mendapatkan perlindungan dan bantuan untuk meningkatkan status di alam nyata dan di alam lain (lapisan langit yang lain). Kepercayaan akan adanya kehidupan di alam lain selain alam nyata dan adanya hubungan yang erat antara alam lain dengan alam nyata juga terlihat dari kepercayaan akan adanya struktur, dimana unsur yang paling atas mempengaruhi atau menciptakan unsur di bawahnya (Hadiwinoto, Dkk. 2008).

Di dalam alam lain dianggap memiliki struktur atau tingkatan vertikal dimana tingkatan yang berada di atasnya lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan dengan tingkatan di bawahnya. Dalam struktur antara alam nyata dan alam tidak nyata maka alam nyata dianggap lebih-rendah dibandingkan dengan alam tidak nyata (alam lain). Maka dari itu di dalam hoho terjadinya bumi dan langit disebutkan bahwa bumi adalah berada pada tingkatan yang ke-1 yang merupakan hasil bentukan dari lapisan yang ke-2 yang artinya bumi berada pada tingkatan yang paling awah. Struktur yang ada pada kosmologis tersebut ditemukan juga pada penguasa wilayah seperti penguasa alam atas yaitu


(8)

Lowalangi dan penguasa alam bawah yaitu Laturedanb. Selain itu juga ditemukan pada berbagai struktur organisasi sosial maupun struktur pada masyarakat. Dapat dikatakan bahwa struktur kosmologis memiliki hubungan yang erat dengan struktur yang ada pada masyarakat. Bentuk struktur di masyarakat yang diterapkan berkaitan dengan struktur pada religi yaitu terlihat pada penghormatan pada leluhur. Struktur tersebut jelas menunjukkan bahwa senioritas memiliki kewenangan yang lebih sehingga leluhur sebagai sebuah satuan struktur berada di atas struktur yang ada pada keluarga kecil ataupun besar. Karena kewenangannya tersebut maka dilakukan penghormatan.

Bentuk penghormatan terhadap leluhur itu diwujudkan dalam simbol arca yang disebut adu zatua. Arca ini diletakkan di dalam rumah adat pada kisi-kisi tembok ataupun pada bagian di sekitar tiang penyangga utama. Penghormatan terhadap leluhur tersebut juga ditemukan pada keseharian masyarakat Nias yang masih menyebut kata leluhur jika mendapatkan musibah atau mendapatkan keberuntungan. seperti salah satu tokoh desa Bawömataluo yaitu-”Hikayat Manao menemukan batu yang memiliki nada yang sesuai dengan yang diinginkan maka disebutlah kata leluhur sebagai ungkapan terimakasih. Penyebutan leluhur .tersebut mengindikasikan bahwa leluhur yang dianggap berada di alam lain masih memiliki hubungan yang erat dengan keturunannya di alam nyata. Ungkapan dalam bentuk terimakasih tersebut jelas menunjukkan bahwa leluhur dapat mempengaruhi kehidupan keturunannya. Untuk menjaga agar kepercayaan terhadap leluhur tetap dalam sebuah sistem maka struktur masyarakat dalam sebuah satuan keluarga baik sangatlah penting dalam kaitannya dengan kepercayaan terhadap leluhur. sebagai contoh adalah silsilah dalam hoho turunnya leluhur masyarakat Nias jelas disebutkan adanya silsilah awal masyarakat Nias yang kemudian menghasilkan keturunan hingga sekarang. Folklor yang memuat silsilah awal tersebut selalu disampaikan dalam berbagai ritual penting masyarakat seperti perkawinan, kematian dan juga owasa/faulu


(9)

(meningkatkan status sosial).

Kepercayaan akan adanya alam lain selain alam yang kita tinggali, bahwa roh hidup di alam lain dan dapat mempengaruhi kehidupan orang yang masih hidup juga adanya lapisan langit yang berstruktur erat kaitannya dengan ritus yang harus di jalankan dalam upaya pencapaian tingkatan sosial tertentu. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara kehidupan di alam nyata dengan kehidupan di alam lain. Konsep-konsep kepercayaan tersebut terutama kepercayaan terhadap leluhur jelas bukan merupakan produk agama baru, dengan kata lain bahwa kepercayaan masyarakat Nias masa lampau adalah religi yang banyak dipraktikkan pada masa-masa prasejarah (megalitikum). Sebagian religi dimaksud masih diterapkan dibeberapa tempat hingga kini terutama terjadi pada masyarakat Nias Selatan. Masyarakat sering mencampur aduk konsep-konsep kosmologi mereka kenal. Percampuran itu dilakukan karena tidak dikenalnya lagi dan tidak berlakunya konsep kosmologis tersebut dalam masyarakat. Sehingga tak jarang berbagai folklor yang mengandung kosmologi sering bercampur-aduk antara konsep kosmologi masyarakat Nias Utara dengan konsep kosmologi Nias Selatan. Religi masyarakat Nias Utara pada prinsipnya sama dengan religi masyarakat Nias Selatan yaitu`kepercayaan akan adanya dunia lain, meskipun lapisannya berbeda. Adanya penghormatan terhadap leluhur dan adanya kepercayaan akan roh penguasa pohon (animisme /dinamisme). Dalam upaya memahami kebudayaan Nias, aspek folklor memegang peran yang sangat penting, karena berbagai unsur kebudayaan sangat mungkin terangkum padanya. Folklor yang didefinisikan sebagai kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun di an tara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja,2002). Folklor akan menggambarkan bagaimana


(10)

sebuah konsep religi lama Nias dapat diamati. Selain itu diungkapkan juga bahwa folkIor dianggap memberikan gambaran akan kondisi masyarakat pada masa itu baik itu kondisi alam, manusia dan masyarakatnya, kondisi hukum dan adat istiadat, ritus, religi, dan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa foikior yang ada pada masyarakat Nias adalah sebuah symbol (Hadiwinoto, Dkk. 2008).

Hoho: Folklor Lisan

a. Hoho terjadinya Bumi dan Langit

Dalam folklor ini disebutkan bahwa langit itu ada 9 (sembilan) lapisan. Lapisan ke-1 adalah bumi dimana kita hidup dan lapisan selanjutnya (ke-2, ke-3, dan seterusnya sampai ke-9 merupakan lapisan di-atasnya). Pembentukan lapisan-lapisan itu dimulai dari pembentukan lapisan-lapisan ke-9 dan lapisan-lapisan ke-8 berasal dari lapisan ke-9, lapisan ke-7 berasal dari lapisan ke-8 begitu seterusnya sampai lapisan ke-1 (bumi) yang berasal dari lapisan ke-2 (Mendrofa; 1981) dan (Telaumbanua; 2006).

b. Hoho Turunnya Leluhur

Tidak lama kemudian dari langit lahirlah Zagoro Zebua. Dialah Hia yang diturunkan sebagai nenek moyang pertama Yang diturunkan oleh Sirao

la diturunkan dengan tali emas di Börönadu, Sifalagö Gomo

Disertai dengan berbagai bibit tanaman, peralatan pertanian, berbagai ukuran Kemudian kumpulah sembilan nenek untuk membuat aturan adat ... (Mendrofa; 1981) dan (Sonjaya, 2007).


(11)

c. Hoho Fabolosi (folklor kematian) Hai bapakku engkau telah meninggalkan kami Kita tidak bertemu lagi

Engkau akan berpulang ke leluhurmu

Engkau telah nieninggalkan kami dengan kesedihan ... (wawancara dengan Hikayat Manao, 2008).

2.1.3. Kepercayaan Masyarakat Nias

Religi juga dikatakan sebagai sebuah simbol, hal ini dikemukakan oleh J. van Baal (1971),sebagai berikut:

“religi adalah suatu sisteni simbol yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol-simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan diri dan penguasaan diri”

Dengan demikian maka sebuah simbol dalam bentuk folklor adalah suatu sistem religi, artinya ada unsur-unsur tertentu yang terdapat dalam sirnbol merupakan unsur dari religi. Salah satu unsur yang membentuk religi adalah keyakinan, namun religi yang hanya berlandaskan keyakinan saja belum dapat dikatakan sebagai religi, barulah bila ada upacara yang dikaitkan dengan keyakinan tersebut religi yang menyeluruh terbentuk (Firt: 1972, Radam:2001). Pernyataan tersebut kiranya dapat digunakan dalam menguraikan konsep-konsep religi lama di Nias sebelum dilengkapi dengan upacara yang berkaitan. Pendekatan yang digunakan dalam memahami kebudayaan Nias khususnya religi


(12)

adalah empirik-normatif yaitu pendekatan dengan melihat apa saja aspek budaya dalam bentuk berbagai folklor dan juga norma-norma yang dikandungnya (Agus:2006).

Sistem religi atau kepercayaan, pada orang Nias adalah unsur kebudayaan yang masih tetap terjaga walau dalam perkembangannya sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Dalam sistem religi orang Nias dahulu mereka percaya bahwa yang menciptakan manusia adalah dewa-dewa, yang diperumpamakan dengan patung-patung dan disembah. Mereka juga menghormati roh-roh orang-orang tua, nenek moyang. Sekarang, pada umumnya masyarakat Nias memeluk ajaran Kristiani. Sebetulnya, ketika ada penyebaran agama baru, masyarakat tidak serta merta meninggalkan sistem kepercayaan mereka, melainkan menyesuaikan agama baru tersebut dengan adat istiadat mereka.

Percaya kepada Ilah-Ilah (Dewa-Dewa) adalah bentuk dari kepercayaan kuno masyarakat Nias. Dewa-dewa yang menjadi sembahan masyarakat Nias dahulu adalah Dewa Pencipta yaitu Inada Samihara Luo atau Maha Sihai, Dewa Dunia atas atau Lowalangi, Dewa Dunia tengah disebut dengan Nadjaria Mbanua atau Silewe Nazarata, dan Dewa Dunia Bawah disebut Laturo Dano. Selain dewa-dewa itu, masyarakat Nias juga percaya terhadap roh-roh arwah orang tua dan berbagai roh lainnya yang jahat maupun yang baik turut dipercayai dan dihormati. Terdapat juga berbagai patung dan benda-benda yang menjadi simbol perlambangan isi dunia seperti matahari, bulan, bintang, pohon-pohon besar, binatang-binatang yang dianggap sakral, turut dipercayai dan disembah. Atas dasar ini kepercayaan kuno masyarakat Nias disebut politheisme, agama Fanomba


(13)

Adu (idolatry), fetisisme, dinamisme dan animisme. (Laiya dalam T. Duha, 20:2004).

Menurut kepercayaan orang Nias leluhur mereka itu turun dari Gomo (Nias Selatan) dan dari tempat inilah tersebar keseluruh penjuru Nias sekarang ini. Orang Nias maupun Pulau Nias disebut Niha. Menurut cerita orang-orang tua waktu orang asing datang kesana penduduk selalu berteriak “Niha Si”. Niha artinya orang (manusia) si adalah penunjuk atau kata sandang. Peristiwa seperti itu sering terjadi dan ucapan “Niha Si” selalu berulang diucapkan orang. Akhirnya sebutan itu menjadi populer dikalangan orang-orang asing yang datang ke Nias. Kemudian orang-orang asing menyebut mereka “Niha Si” yang maksudnya adalah penduduk atau orang Nias. Demikian proses terjadinya nama Nias dari ucapan “Niha Si” menjadi “Nihas” kemudian menjadi Nias. Penduduk Nias menyebut dirinya Ono Hiha (Ono = anak, Niha = orang). Jadi Ono Niha artinya anak orang (manusia) atau orang Nias. Negeri ini disebut “Tano Niha” atau Banua Niha (Siahaan, 1979).

Menurut kepercayaan lama orang Nias, bahwa setelah manusia meninggal rohnya akan pergi kesuatu tempat yaitu sorga atau neraka. Orang yang telah banyak (mengadakan pesta semasih hidupnya rohnya pergi ke sorga). Bagi orang yang miskin yang tidak sanggup mengadakan pesta semasih hidupnya rohnya akan pergi ke hutan “gema” (nenas). Setelah satu minggu mayat dikuburkan, harus memotong babi supaya roh itu pergi dari rumah. Bila tidak diadakan upacara memotong babi, maka roh orang meninggal itu akan tetap berada dalam rumah dan akan mengganggu seiisi rumah. Roh-roh yang meninggal itu ada yang


(14)

menjadi “Berahu” (hantu). Ada juga yang menjadi angin dan menjadi kupu-kupu. Masyarakat Nias pada tingkat peradaban yang masih rendah dahulu, masih berpikir realistis. Belum berpikir abstrak. Segala sesuatu yang dipikirkan selalu kongkrit. Persoalan yang menyangkut kehidupan manusia bersifat abstrak kurang dapat diterima dalam pikiran mereka pada masa itu. Oleh sebab itu segala sesuatunya mereka usahakan harus bersifat kongkrit. Begitu juga dalam bidang kepercayaan, mereka jadikan dalam bentuk-bentuk Kongkrit. Dengan demikian dilakukan pemujaan-pemujaan dan penyembahan (Siahaan, 1979)..

Religi asli orang Nias disebut “Sanomba Adu” (penyembah berhala). Menurut istilah Teluk Dalam disebut “Saloha Adu” dan menurut istilah Kuncaningrat disebut “Molohi Adu” Ketiga istilah diatas perlu diteliti lagi. Yang disembah adalah roh-roh nenek moyang “malaikat Zatua” yang bersifat turun menurun. Sebagai tempat raoh-roh itu dibentuk patung dari kayu. Patung itu sifatnya realis berjenis laki-laki dan perempuan, dan dirawat baik-baik. Dahulu setiap rumah penduduk orang Nias ada Patung Leluhur masing-masing. Disamping terdapat juga patung yang ditempatkan di rumah berhala pada “Osali” (Balai Desa). Patung itu tempatkan di Osali untuk kepentingan umum. Orang yang datang ke Osali dapat bersama-sama menyembahnya. Rumah berhala tidak ada didirikan tersendiri. Patung Zatua itu mereka sembah dan puja dengan melakukan upacara pemotongan babi untuk dipersembahkan. Belakangan ini pengertian Osali berubah menjadi gereja, tempat menyembah Tuhan (Siahaan, 1979).


(15)

Didalam buku HIKAYA NADU yang di tulis oleh P.johannes M. Hammerle OFM cap. pada tahun 1995. Menjelaskan tentang berbagai sejarah patung yang di sembah pada zaman dulu oleh masyarakat nias yang di letakan di dalam rumah. Penjelesan tersebut di dapatkan dari beberapa narasumber terpercaya yang merupakan tokoh-tokoh adat masyarakat nias. Rumah manusia itu harus dilihat dalam hubungan erat dengan agama, dengan adat dan dengan hidup manusia seluruhnya. Semuanya merupakan satu kesatuan, satu kosmos yakni alam nias. (Hammerle, 1990). Ada pun jenis-jenis patung yang di letakan di dalam rumah adalah:

1. Lowalangi si sagörö.

Berada di atas langit,patungnya tidak di buat. Tetapi segala doa di sampaikan kepadanya. Patung yang lain berguna sebagai prajuritnya atau pesuruhnya dan yang menyampaikan segala doa-doa kepadanya.

2. Tuha mbumbu

Patung ini di letakan di bagian tertinggi rumah. patung tuha mbumbu ini berhubungan dengan patung laowö. Berkatalah laowö kepada tuha mbumbu,katanya: mintalah rejeki kepada lowalangi si sagörö.

3. Laowö.

Laowö sanaya talu mbatö,ba dete taru gazi so / laowö di letakan di atas taru gazi yang berada di tengah rumah.

segala doa disampaikan kepadanya dan patung laowö menyampaikan kepada tuha mbumbu.


(16)

Kazia nuwu ya‟ia adu soya si so ba dete galisi ma buatö ba gambölö tanö na ba nomo, tola to‟ese yawa ma‟ifu. Tanö si tou ma‟ifu ma tanö föna maifu ba nahia sabölö nifosumange tefa‟anö zi tölu nadu lawölö / Kazia nuwu merupakan patung yang memiliki jumlah yang banyak yang berada di sebelah kanan dinding rumah bagian depan,bisa lebih dinaikan sedikit lagi keatas. Sedikit di bagian bawah atau dibagian depan di tempat yang lebih di hormati atau tempat yang lebih sakral di letakan patung lawölö. Patung ini ini merupakan gambaran dari kakek moyang mereka. Patung ini dibuat banyak dan di letakan berderetan.

5. Si 3 Adu Lawölö / Ke 3 patung lawölö. 1. Lawölö horö

2. Lawölö wa‟abe‟e

3. Lawölö nadu ndra ama ma lawölö nuwu.

Lö la findrakö zi tölu lawölö andre, ba hiza lumö-lumö lawölö zi findra ma fa‟abölönia. Hewa‟e la tötöi göi Ofanöwa Nadu,ba hiza adu andrö toröi ba nahania, ha lumö-lumö zi findra / Mereka tidak memindahkan ke tiga patung lawölo tersebut,tetapi bayangan atau kekuatannya yang berpindah. Meskipun mereka seringa mengatakan Pergilah Patung,namun patung tersebut tinggal di tempatnya,hanya bayangan nya yang pindah.

Andrö börö da‟ö tesöndra göi nadu lawölö ba zinga mbawandruhö nomo,mato lima ngawua, nifa‟anö moroi baero faoma fatambai bawandruhö tenga bakha ba nomo. Itulah sebabnya terdapat juga patung


(17)

lawölö di samping pintu rumah,dan berjumlah 5 buah,di susun dari luar bersebelahan dengan pintu bukan dari dalam rumah.

6. Si 3 tendro luluö.

Si 3 nadu andre bakha ba wuröma so:

Amania,tuania,awenia. So‟omo la‟agö ba dalinga wuröma na no lahalö niha ba wangandrö löfö. Duma-dumania no bohou lafangowalu nonora,no lahalö niha,ba iada‟a mo‟ömö ira börö mböwö ba wangowalu. me no mo‟ömö ira ba mböwö wangowalu. Andre mbörö Ifuli lahaogö tendro-tendro luluö,mangandrö ira,lataba öra gadao,labe ba wiga ba lafahuru khö luluö. La‟andrö harazaki e na‟ö sökhi mbawira,la‟andrö harazaki ba gana‟a ba mendrua manö harazaki ba niha. / ke 3 tendro luluö : bapaknya,kakeknya,neneknya. sang pemilik rumah mengambil posisi di samping sesudah mereka memanjatkan doa agar di beri rejeki. Misalnya baru saja mereka menikahkan anak mereka laki-laki,mereka telah mengambil istri untuk anak mereka, jadinya mereka mempunyai utang karena mahalnya jujuran dalam pernikahan anak mereka. Itu sebabnya mereka kembali merapikan tendro-tendro luluo,mereka berdoa,mereka memotong ayam jantan,mereka letakan didalam piring dan mereka berikan kepada luluö. Mereka berdoa agar deberi rezeki agar di berkati ternak babi mereka, mereka mendoakan agar diberi rejeki dalam bentuk emas atau harta dan juga terhadap mereka agar selalu di berkati.

7. Si lima adu lawölö ba mbawandruhö / Ke 5 patung lawölo yang berada di pintu.


(18)

Baero zi tölu ngawua nadu moroi yawa no mege,ba lafa‟anö na sa darua tö ba zinga mbawandruhö sibai, yaiya da‟ö / Selain ke 3 patung lawölö,dan mereka membuat dua lagi di samping pintu yaitu :

a. Bagabölö,nifaigi moroi bakha ba nomo / Sebelah kanan,jika dilihat dari dalam rumah : Lawölö famaila/lawölö fanabe‟e

b. Bagambera / Sebelah kiri : Lawölö famahowu/lawölö samahowuö

Tebai möi ira baomo,na no mangawuli ira moroi ba danö na no lahalö högö. La‟ombkha‟ö ira ua khö lawölö samahowu‟ö si so ba gambera mbawandruhö. Na lö‟ö,ba mofökhö ira dania,la‟utaö ndro. Sambua nadu lawölö nitaru‟ö göi ba dete da böla gana‟a ba dalina wöröma,ba wuröma bakha. Lö fa‟abölö khö L luö ba wuröma bakha,na lö ba ngainia lawölö. Lumö-lumö zi findra / Mereka tidak boleh kembali ke rumah,jika mereka telah kembali dari berburu kepala manusia. Mereka berdoa dulu kepada lawölö samahowuö yang berada di sebelah kiri pintu masuk rumah. jika tidak maka mereka akan sakit,memuntahkan darah. Satu patung lawölö yang di letakan di tempat penyimpanan emas. Tidak akan ada kekuatan L luo di dalam wuröma jika tidak ada di sampingnya bayangan atau roh yang berpindah dari lawölö.

8. Siburuci

Siburici merupakan istri dari laowö soaya göba. 9. Ziraha horö


(19)

Patung ini merupakan leluhur dari patung lawölö. Ukuran nya sangat besar di bagaikan manusia,padanyalah mereka bersanda jika telah kembali berburu kepala manusia,Begitu juga dengan senjata seperti tombak,pedang dan peralatan perang lain nya di sandarkan padanya.

10. Laowö so‟aya göba

Patung yang bersampingan dengan ziraha horö dan istrinya siburuci.

Di dalam buku tersebut juga bapak Hechamböwö Giawa salah satu narasumber di dalam buku ini menjelaskan Skema atau gambaran cara kerja patung-patung tersebut, yaitu:

1. Abölö moguna si öfa ngawalö nadu da‟e: / Lebih berguna ke empat buah patung ini:

I. Adu nuwu / Patung nuwu. II. Adu lawölö / Patung lawölo. III. Laowö sanaya talu mbatö / IV. Tendro luluo /

Fao-fao ira zi öfa andre ba wangandrö harazaki ma löfö ba nomo khöra,mendrua manö na so zo fökhö / Ke empat patung tersebut selalu bersama untuk meminta rejeki di rumah mereka, atau mendoakan jika ada orang yang sakit.

2. Tola manö lö tebulö ba nahania sambua adu,ba hiza lumönia zi findra,kekuatania zi möi ba naha hezo moguna ia / Bisa saja patung tersebut tidak berpindah dari tempatnya,namun bayangan nya atau rohnya


(20)

yang berpindah, kekuatan nya yang pergi atau berpindah kemana ia di butuhkan.

3. Angandrowa moroi khö zo omo andrö nifaema göi. Duma-duma na no la‟andrö khö nadu nuwu,ba ira nadu nuwu lafaema dania khö tuha mbumbu. Ma na ibözi wondrahi ere misi yawa ba zuwu zagö, ba si fatema yawa ia göi ,ifa‟ema misi yawa / Doa-doa dari penghuni rumah tersebut di sampaikan juga. Misalnya jika mereka berdoa atau memohon kepada patung nuwu,maka para patung nuwu akan menyampaikan kepada patung mbumbu. Jika ere atau dukun atau menamukul gendang di atas atap rumah,dia menyampaikan doa-doa tersebut ke atas.

4. Si 3 nadu lawölo yaiya da‟e: / Ke 3 patung lawölö yaitu: I. Lawölö horö.

II. Lawölö wa‟abe‟e.

III. Lawölö nadu ndra ama, (= adu nuwu)

Hewa‟e lamane wangumaö OFANöWA NADU , ba hiza lö lafabua si tölu nadu andre / walaupun mereka mengatakan PERGILAH PATUNG, tapi mereka tidak memindahkan patung tersebut.

Adu toroi,lumö-lumö zi möi / patung tinggal, banyangan atau roh yang pergi.

Andrö mbörö tesendra göi adu lawölö tanö baero ba zinga mbawandruhö nomo fatambai / itulah sebabnya terdapat patung lawölö dibagian luar di samping pintu berhadap-hadapan atau bersampingan.


(21)

Tanö ba gambera / sebelah kiri : Lawölö famahowu.

5. Itema wa‟abölö moroi si yawa tuha mbumbu bai ifa‟ema khö laowö so‟aya göba. Ba laowö soaya göba same‟e fa‟abölö andrö khö ziraha horö,adu horö ma khö lawölö ba zinga mbawandruhö/ Diterimanya kekuatan dari tuha mbumbu dan di sampaikan nya kepada laowö so‟aya göba. Jadi laowö soaya göba yang memberi kekuatan kepada ziraha horö,adu horö ataupun kepada lawölö yang berada disamping pintu.

a. Khö ziraha horö mangandrö ira na möi ba wamunu / kepada zihara horö mereka memohon atau berdoa jika mereka ingin membunuh. b. Khö lawölö ba zinga mbawandruhö la‟angona‟ö na mofanö ira /

kepada lawöla di samping pintu mereka pamit jika ingin pergi.

c. Ba laombakhaö ira göi khönia na mangawuli ira. Na lö la‟ombakhaö ira,ba mofökhö ira dania / mereka juga mengabari jika mereka telah kembali, jika mereka tidak mengabari,mereka akan sakit nanti.

6. Moroi ba zi tölu tendro luluo ba wuröma,ha sara ni sömba ba wangandrö löfö. Lö wa‟abölö khö luluö ba wuröma bakha na lö ba ngainia lawölö / Dari ke 3 patung tendro luluö, hanya ada satu patung yang di sembah untuk mendoakan agar di beri rejeki. Tidak akan ada kekuatan luluö ba wuröma jika tidak ada lawölö di sampingnya.

7. Si 3 adu si sindro ba salo ba zinga mbagole si tou barö kazia nazu ya‟ia da‟e adu horö,laowö so‟aya göba ba fo‟omo nia siburici,tola nifabua ba nifasindro ba talu mbatö ma ba dete gawina si tou ba newali. Khö nazu horö lasaita‟ö mbaluse,toho ba gari,he na mofanö ira ba danö be he na no


(22)

mangawuli ira / ke 3 patung yang berdiri di lantai di samping di bawah kazia nazu yaitu adu horö,laowö soaya göba dan isrinya siburici,patung ini bisa dipindahkan dan berdirikan di tengah rumah atau di halaman rumah. kepada patung horö di letakan perisai,tombak,dan pedang,jika mereka pergi ke ladang ataupun saat kembali.

Gambaran atau skema menurut Bapak Hechamböwö Giawa:

Gambar 2.1. Skema menurut Bapak Hechamböwö Giawa.

Tuha mbumbu Adu kazia nuwu

Laowö

Si 3 lawölö Si 3 tendro

luluo

Si 5 lawölö

Laowö so‟aya göba

Siraha horö

siburuci Kekuatannya berpindah

Kekuatan/bayangan Bayangan/roh

Bayangan/kekuatannya yang berpindah

Kekuatan nya/bayan gan atau rohnya yang berpindah

Awina/newali Ke 3 patung

ini bisa di pindahkan


(23)

2.2. Sistem Sosial Masyarakat Nias

Struktur sosial masyarakat Nias bermula dari pernikahan dan dengan cara membeli marga yaitu dengan mengadakan upacara owasa. Dengan pernikahan maka terbentuk pula sistem kekerabatan yang berbentuk Patrilineal di masyarakat Nias karena pihak laki-laki yang dapat menurunkan marganya .

Sebuah pernikahan akan membentuk sebuah keluarga Inti (batih) di masyarakat Nias disebut sangombatö, Keluarga batih memiliki kelompok keluarga yang lebih luas terdiri dari keluarga inti dari putra-putranya yang telah menikah dan tinggal di satu rumah atau dalam satu wilayah dan memiliki satu kesatuan ekonomis. Hal ini disebut masyarakat Nias sangombatö sebua. Gabungan Sangombatö sebua yang berasal dari satu leluhur disebut oleh masyarakat Nias adalah mado (marga). Fungsi mado adalah untuk membatasi perkawinan dengan mada yang sama (exogami mado ). (Dananjaya, 1982).

Proses perkawinan di masyarakat Nias bisa menggambarkan secara jelas hubungan kekerabatan masyarakatnya. Di Nias, pernikahan tidak hanya menjadi urusan antara dua orang (calon mempelai pria dan wanita), tetapi urusan satu keluarga dengan keluarga lain, antara satu kelompok sangombatö sebua dengan kelompok sangombatö sebua lainnya. Akhirnya, perkawinan juga menjadi urusan banua dengan banua lainnya. Sebuah perkawinan memiliki tahapan yang jelas. Dalam perkawinan harus ada persetujuan dari kedua belah pihak perempuan. Persetujuan yang diberikan tidak hanya sebatas dati orangtua masing-masing pihak, melainkan melibatkan kerabat-kerabat dekat mereka (sifatalifus atau


(24)

faiwasa), Dengan melibatkan seluruh kerabat segala sesuatu dalam proses perkawinan akan sukses.

Seperti yang digambarkan oleh Bambowo Laiya di desa Boto Kabupaten Nias Selatan proses perkawinan dimulai dengan pertunangan. Tetapi sebelum pertunangan dilaksanakan, orangtua pihak laki-laki harus memanggil kerabat-kerabatnya dan membicarakan maksud tujuan sembari meminta persetujuan. Setelah adanya persetujuan para kerabat, tahap berikutnya orangtua menunjuk salah satu kerabatnya untuk menjadi perantara keluarga, untuk menemui keluarga calon mempelai perempuan. Biasanya yang menjadi perantara adalah penetua-penetua desa atau kerabat yang dianggap bijaksana. Apabila orangtua pihak perempuan menyetujui rencana tersebut, mereka akan mengatur waktu untuk upacara pertunangan resmi yang disebut famatuasa.

Setelah rencana rampung, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan pertunangan. Tapi sebelumnya pihak pengantin pria harus menyiapkan bowo (mahar) yang akan diserahkan pada keluarga pengantin perempuan pada saat untuk meminang sebelum pernikahan. Saat peminangan bowo yang dibawa disebut fasamanomano (kunci pembicaraan). Adapun besar emas yang diberikan dalam pertunangan ini berbeda-beda besarnya, tergantung dari keluarga siapa yang meminang dan keluarga siapa yang dipinang. Jika yang dipinang adalah keluarga bangsawan, biasanya menuntut 6-12 batu emas. Sedangkan untuk rakyat biasa hanya berkisar 1 - 3 batu emas. Satu batu sama dengan 10 gram emas. (Bambowo Laiya, 1983). Setelah pertunangan, calon menantu laki-laki boleh bebas untuk datang ke rumah perempuan.


(25)

Bila pertunangan dilanjutkan pada pernikahan, maka pihak dari keluarga pria harus menyelesaikan bowo perkawinan (jujuran ) yang telah disepakati dengan pihak keluarga perempuan. Adapun jumlah dari jujuran yang diminta ini bervariatif, Sekarang ini jumlah yang diberikan bisa berbentuk uang ataupun emas. Setelah diterima oleh pihak keluarga perempuan dan sejumlah kerabatnya, maka jujuran tersebut dibagi pada kaum kerabat keluarga perempuan. Di antara penerima jujuran tersebut adalah kakek calon pengantin perempuan dari pihak ayah, neneknya dari pihak ibu, saudara laki-laki dari pihak ibu, saudara laki-laki dari nenek pihak ibu, saudara laki-laki dari pihak ayah, saudara laki-Iakinya, dan juga saudara perempuan calon pengantinnya bukan anak perempuan paling tua.

Bagi masyarakat Nias bowo atau jujuran yang diberikan ketika masa pernikahan adalah simbol kehormatan, kedudukan, dan prestise (harga diri). Semakin tinggi jujuran yang diminta maka semakin tinggi juga status mereka dalam masyarakat. Dalam hal ini jujuran tidak hanya memberi kepada kaum kerabat perempuan tetapi juga menerima. Setelah acara pemikahan selesai, kedua pengantin baru akan diundang oleh kerabat dari pihak perempuan untuk datang ke rumahnya. Setelah diberi petuah dan nasihat dari kerabat pihak perempuan, mereka menerima sepasang babi untuk dipelihara.

Dapat dilihat disini dengan adanya pernikahan, sistem kekerabatan masyarakat Nias tetap terpelihara hingga sekarang. Jujuran yang diberikan tidak mesti dinilai dari materi yang diberikan tetapi sebagai sarana yang dapat memperkokoh hubungan kekeluargaan.


(26)

Sistem kekerabatan di Nias bermula dari pernikahan, sebab dengan pernikahan akan menjadi sebuah sangambatö atau kelompok unit kekerabatan terkecil dalam struktur sosial yang terdiri dari satu keluarga inti (nuclear family) dan berasal dari garis keturunan kakek yang sama. Unit-unit kelompok kekerabatan yang berasal dari satu keluarga akan menjadi sebuah sangambatö sebua. Unit kelompok sangombatö sebua ini nantinya menjadi sebuah kelompok mapa (marga). Gabungan sangombatö sebua dengan dengan sangombatö sebua lainnya yang tidak berasal dari satu kakek akan menjadi kerabat yang luas disebut (sifatalifusö). Dari sifatalifusömaka terbentuk masyarakat kampung yang disebut sisambua banua atau ono banua, yaitu terdiri dari beberapa marga (mado), serta merasa setiap warga dalam satu kampung terikat dalam jalinan kekerabatan.

Sebenarnya banua adalah langit, semesta, alam, dan manusianya, dan yang memerintah banua itu adalah Lowalani (dewa atas) dan Laiuro dana(dewa bawah). Jadi dalam struktur sosial masyarakat Nias ada disebut Si'ulu (bangsawan). Si'ulu adalah golongan masyarakat yang memiliki kedudukan tertinggi dalam sebuah banua secara turun temurun, Ia merupakan perlambangan dari lowalani sebagai penjaga keharmonisan di bumi. Dan perlambangan dari dewa bawah (laturo dano) adalah masyarakat yang disebut dengan Sato (masyarakat biasa). Si'ulu adalah pencipta serta pendiri kamppung. Pengukuhan seseorang menjadi Si'ulu dilakukan dengan pesta kebesaran disebut upacara Owasa. Si'ulu ini dibagi menjadi dua status yaitu Balo Si'ulu adalah Si'ulu yang memerintah banua, dan Si'ulu Balugu yang hanya memiltki status bangsawan.


(27)

Seseorang yang memiliki predikat Si'ulu dalam melaksanakan tugasnya memerintah banua ia ditemani oleh Si'ila. Si'ila berasal dari satoatau rakyat kebanyakan, mereka ini adalah kaum yang dianggap bijaksana berasal dari rakyat biasa dan ditunjuk oleh Si'ulu untuk menjadi teman diskusi dalam Orahu (musyawarah desa). Adapun keputusan dari orahu (musyawarah desa) yang selalu memutuskan adalah Si'ulu, sebab Si'ulu memiliki wewenang lebih besar dari Si'ila.

Lapisan masyarakat selanjutnya adalah kaum Ere (pemuka agama kuno) dalam adat Nias, Berhubung.sekarang Ini agama kuno Nias yang menyembah berhala (nadu) sudah sangat jarang dijumpai, maka kaum ere sekarang ini disebut dengan “orang pintar” seperti dukun dan semacamnya. Selain itu ere juga pintar berbicara masalah adat istiadat. Sedangkan masyarakat kebanyakan (rakyat biasa) dalam sebuah banua disebut dengan sato. Dalam mitos kosmologi orang Nias Ere adalah penyampai antara dewa atas dengan dewa bawah, ere disimbolkan kepada Silewe Nazarata.

Dalam struktur sosial masyarakat Nias juga dikenal kaum Sawuyu (budak), kaum ini adalah golongan yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya dilakukan para bangsawan). Sejak itu mereka menjadi budak bagi bangsawan tersebut. Ada lagi lapisan sosial yang terendah dalam masyarakat Nias yaitu binu.,Menurut tradisi masyarakat Nias dahulu binu adalah budak yang kepalanya dipenggal untuk dijadikan sembahan, atau menjadi teman


(28)

di dalam kubur jika ada seorang bangsawan yang meninggal. (J. Sonjaya, 2008). Binu digunakan, sebagai elemen tambahan dalam pembuatan sebuah bangunan.

“Binu perlu untuk bangunan rumah, gelar bangsawan, atau penyambutan pengantin putri (Zebus 2006: IOS). Binu juga perlu bagi salawa (kepala kampung) atau bangsawan yang mengadakan owasa (pesta jasa), sebagaimana ditulis Harefa (1939: 89)”

Binu biasanya didapatkan dari hasil perang (tawanan perang) ataupun diculik. (Dananjaya, 49:1982). Pada zaman dahulu binu digunakan juga untuk menaikkan status seseorang dalam banua. Bisa saja seseorang rakyat biasa yang statusnya hanya Sato menjadi seorang bangsawan karena banyak memiliki binu. Semakin banyak seseorang memiliki binu maka semakin naik Pula derajat orang itu di mata masyarakat. Apalagi kalau perbuatan yang dilakukannya tidak bisa dibalas oleh keluarga yang diculik atau dibunuhnya. (J. Sonjaya, 2008).

Andrew Beatty dalam bukunya, Social Exahange, menulis:

Ada tiga orang bersaudara keturunan bangsawan berasal dari desa Sifalagö yaitu Laia, Ndruru dan Bu'ulölö. Mereka bertiga membuka daerab di Sifalagö Gomo untuk dijadikan banua. Dari mereka bertiga dikumpulkan emas yang berasal dari Laia, babi dari si Ndrudu, namun si Bulölötidak bisa menyumbangkan apapun karena ia tidak memiliki emas, babi, dan istri; maka dari itu si Bu‟ulölö tidak bisa menjadi bagian orang yang mendirikan kampung tersebut.

Untuk memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh saudara-saudaranya maka si Bu'ulölöpergi mengembara hingga akhirnya sampai di daerah Mazingb


(29)

dan ia menculik beberapa orang di sang untuk dijadikan binu. Setelah ia bunuh tawanannya kemudian diserahkan kepada saudara-saudaranya akhirnya ia mendapatkan status seperti yang dijanjikan oleh Laia dan Ndruru kepadaya, yaitu Laiya memberikan sebagian emasnya padanya begitu juga Ndruru memberikan sebagian dari babinya untuk Bu'ulölö. (Beatty, 23-24 : 1992).

Sekarang ini Sawuyu dan binu sudah ditiadakan. Pelarangan ini diterapkan semenjak masuknya agama Kristen ke pulau Nias dan pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan di Nias bagian utara dan tengah, lapisan sosial yang terdapat di sans adalah Salawa yang setingkat dengan Si'ulu di Nias Selatan, dan yang lainnya disebut dengan ono banua (warga masyarakat). Penetua-penetua kampung disebut satua banua setingkat dengan kaum Si'ila di Nias selatan, –satua banua berfungsi sebagai penasehat Salawa. (Skripsi A.F. Fau, 46:1997)

Menurut James Dananjaya (49:1982) lapisan sosial masyarakat di Nias bersifat exklusif, karena pergerakan dalam lapisan tersebut sebatas antar golongan saja. Misalnya anggota golongan dari sato dapat menjadi golongan anggota Si'da, tetapi tidak dapat memasuki wilayah, lapisan Si'ulu. Supaya dapat memasuki golongan Si'ulu harus dibuatpesta owasayang terdiri dari beberapa tingkat dan ini memerlukan biaya yang mahal dan sekarang makin sulit dilaksanakan.

Setiap Banua di Nias memiliki hubungan sosial dengan banua yang lain karena telah terjalin kekerabatan masyarakat yang erat walaupun tidak dari satu mado. Biasanya banua yang terjalin tersebut berdekatan dengan wilayah banua sekitarnya. Juga bisa clikarenakan ada hubungankekerabatan karena salah seorang dari kerabat mereka menikah dengan orang banua lain. Banua-banua yang telah


(30)

memiliki hubungan sosial yang erat biasanya bergabung dan menjadi sebuah öri (negeri). Pemimpin sebuah öri disebut Tuhenori. Dahulu öri dibentuk untuk menyatukan banua yang memiliki hubungan kekerabatan dan berfungsi untuk bersatu melawan musuh yang datang menyerang.

Selain Tuhenoriyang memimpin sebuah ori, dan Si'ulu yang memimpin banua, ada juga yang dinamakari kepala kampung atau kepala desa. Kepala desa bertugas untuk masalah pemerintahan dengan struktur yang sudah ada. Sedangkan urusan adat dipegang dan menjadi otoritas pemuka adat banua. Satudengan lainnya tidak bisa dicampuri namun untuk memutuskan masalah di desa mereka tetap harus berdiskusi dan diputuskan bersama. Perlu diakui yang umum terjadi kepala desa juga berasal dari golongan Si'ulu. Tetapi sekarang kepala desa berasal dari golongan satoasal ia bisa diterima oleh masyarakat, berpendidikan bagus, tidak memiliki cacat sosial. (MPBI-UNESCO, 15:2007).


(1)

Bila pertunangan dilanjutkan pada pernikahan, maka pihak dari keluarga pria harus menyelesaikan bowo perkawinan (jujuran ) yang telah disepakati dengan pihak keluarga perempuan. Adapun jumlah dari jujuran yang diminta ini bervariatif, Sekarang ini jumlah yang diberikan bisa berbentuk uang ataupun emas. Setelah diterima oleh pihak keluarga perempuan dan sejumlah kerabatnya, maka jujuran tersebut dibagi pada kaum kerabat keluarga perempuan. Di antara penerima jujuran tersebut adalah kakek calon pengantin perempuan dari pihak ayah, neneknya dari pihak ibu, saudara laki-laki dari pihak ibu, saudara laki-laki dari nenek pihak ibu, saudara laki-laki dari pihak ayah, saudara laki-Iakinya, dan juga saudara perempuan calon pengantinnya bukan anak perempuan paling tua.

Bagi masyarakat Nias bowo atau jujuran yang diberikan ketika masa pernikahan adalah simbol kehormatan, kedudukan, dan prestise (harga diri). Semakin tinggi jujuran yang diminta maka semakin tinggi juga status mereka dalam masyarakat. Dalam hal ini jujuran tidak hanya memberi kepada kaum kerabat perempuan tetapi juga menerima. Setelah acara pemikahan selesai, kedua pengantin baru akan diundang oleh kerabat dari pihak perempuan untuk datang ke rumahnya. Setelah diberi petuah dan nasihat dari kerabat pihak perempuan, mereka menerima sepasang babi untuk dipelihara.

Dapat dilihat disini dengan adanya pernikahan, sistem kekerabatan masyarakat Nias tetap terpelihara hingga sekarang. Jujuran yang diberikan tidak mesti dinilai dari materi yang diberikan tetapi sebagai sarana yang dapat memperkokoh hubungan kekeluargaan.


(2)

Sistem kekerabatan di Nias bermula dari pernikahan, sebab dengan pernikahan akan menjadi sebuah sangambatö atau kelompok unit kekerabatan terkecil dalam struktur sosial yang terdiri dari satu keluarga inti (nuclear family) dan berasal dari garis keturunan kakek yang sama. Unit-unit kelompok kekerabatan yang berasal dari satu keluarga akan menjadi sebuah sangambatö sebua. Unit kelompok sangombatö sebua ini nantinya menjadi sebuah kelompok mapa (marga). Gabungan sangombatö sebua dengan dengan sangombatö sebua lainnya yang tidak berasal dari satu kakek akan menjadi kerabat yang luas disebut (sifatalifusö). Dari sifatalifusömaka terbentuk masyarakat kampung yang disebut sisambua banua atau ono banua, yaitu terdiri dari beberapa marga (mado), serta merasa setiap warga dalam satu kampung terikat dalam jalinan kekerabatan.

Sebenarnya banua adalah langit, semesta, alam, dan manusianya, dan yang memerintah banua itu adalah Lowalani (dewa atas) dan Laiuro dana(dewa bawah). Jadi dalam struktur sosial masyarakat Nias ada disebut Si'ulu (bangsawan). Si'ulu adalah golongan masyarakat yang memiliki kedudukan tertinggi dalam sebuah banua secara turun temurun, Ia merupakan perlambangan dari lowalani sebagai penjaga keharmonisan di bumi. Dan perlambangan dari dewa bawah (laturo dano) adalah masyarakat yang disebut dengan Sato (masyarakat biasa). Si'ulu adalah pencipta serta pendiri kamppung. Pengukuhan seseorang menjadi Si'ulu dilakukan dengan pesta kebesaran disebut upacara Owasa. Si'ulu ini dibagi menjadi dua status yaitu Balo Si'ulu adalah Si'ulu yang memerintah banua, dan Si'ulu Balugu yang hanya memiltki status bangsawan.


(3)

Seseorang yang memiliki predikat Si'ulu dalam melaksanakan tugasnya memerintah banua ia ditemani oleh Si'ila. Si'ila berasal dari satoatau rakyat kebanyakan, mereka ini adalah kaum yang dianggap bijaksana berasal dari rakyat biasa dan ditunjuk oleh Si'ulu untuk menjadi teman diskusi dalam Orahu (musyawarah desa). Adapun keputusan dari orahu (musyawarah desa) yang selalu memutuskan adalah Si'ulu, sebab Si'ulu memiliki wewenang lebih besar dari Si'ila.

Lapisan masyarakat selanjutnya adalah kaum Ere (pemuka agama kuno) dalam adat Nias, Berhubung.sekarang Ini agama kuno Nias yang menyembah berhala (nadu) sudah sangat jarang dijumpai, maka kaum ere sekarang ini disebut dengan “orang pintar” seperti dukun dan semacamnya. Selain itu ere juga pintar berbicara masalah adat istiadat. Sedangkan masyarakat kebanyakan (rakyat biasa) dalam sebuah banua disebut dengan sato. Dalam mitos kosmologi orang Nias Ere adalah penyampai antara dewa atas dengan dewa bawah, ere disimbolkan kepada Silewe Nazarata.

Dalam struktur sosial masyarakat Nias juga dikenal kaum Sawuyu (budak), kaum ini adalah golongan yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya dilakukan para bangsawan). Sejak itu mereka menjadi budak bagi bangsawan tersebut. Ada lagi lapisan sosial yang terendah dalam masyarakat Nias yaitu binu.,Menurut tradisi masyarakat Nias dahulu binu adalah budak yang kepalanya dipenggal untuk dijadikan sembahan, atau menjadi teman


(4)

di dalam kubur jika ada seorang bangsawan yang meninggal. (J. Sonjaya, 2008). Binu digunakan, sebagai elemen tambahan dalam pembuatan sebuah bangunan.

Binu perlu untuk bangunan rumah, gelar bangsawan, atau penyambutan pengantin putri (Zebus 2006: IOS). Binu juga perlu bagi salawa (kepala kampung) atau bangsawan yang mengadakan owasa (pesta jasa), sebagaimana ditulis Harefa (1939: 89)”

Binu biasanya didapatkan dari hasil perang (tawanan perang) ataupun diculik. (Dananjaya, 49:1982). Pada zaman dahulu binu digunakan juga untuk menaikkan status seseorang dalam banua. Bisa saja seseorang rakyat biasa yang statusnya hanya Sato menjadi seorang bangsawan karena banyak memiliki binu. Semakin banyak seseorang memiliki binu maka semakin naik Pula derajat orang itu di mata masyarakat. Apalagi kalau perbuatan yang dilakukannya tidak bisa dibalas oleh keluarga yang diculik atau dibunuhnya. (J. Sonjaya, 2008).

Andrew Beatty dalam bukunya, Social Exahange, menulis:

Ada tiga orang bersaudara keturunan bangsawan berasal dari desa Sifalagö yaitu Laia, Ndruru dan Bu'ulölö. Mereka bertiga membuka daerab di Sifalagö Gomo untuk dijadikan banua. Dari mereka bertiga dikumpulkan emas yang berasal dari Laia, babi dari si Ndrudu, namun si Bulölötidak bisa menyumbangkan apapun karena ia tidak memiliki emas, babi, dan istri; maka dari itu si Bu‟ulölö tidak bisa menjadi bagian orang yang mendirikan kampung tersebut.

Untuk memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh saudara-saudaranya maka si Bu'ulölöpergi mengembara hingga akhirnya sampai di daerah Mazingb


(5)

dan ia menculik beberapa orang di sang untuk dijadikan binu. Setelah ia bunuh tawanannya kemudian diserahkan kepada saudara-saudaranya akhirnya ia mendapatkan status seperti yang dijanjikan oleh Laia dan Ndruru kepadaya, yaitu Laiya memberikan sebagian emasnya padanya begitu juga Ndruru memberikan sebagian dari babinya untuk Bu'ulölö. (Beatty, 23-24 : 1992).

Sekarang ini Sawuyu dan binu sudah ditiadakan. Pelarangan ini diterapkan semenjak masuknya agama Kristen ke pulau Nias dan pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan di Nias bagian utara dan tengah, lapisan sosial yang terdapat di sans adalah Salawa yang setingkat dengan Si'ulu di Nias Selatan, dan yang lainnya disebut dengan ono banua (warga masyarakat). Penetua-penetua kampung disebut satua banua setingkat dengan kaum Si'ila di Nias selatan, –satua banua berfungsi sebagai penasehat Salawa. (Skripsi A.F. Fau, 46:1997)

Menurut James Dananjaya (49:1982) lapisan sosial masyarakat di Nias bersifat exklusif, karena pergerakan dalam lapisan tersebut sebatas antar golongan saja. Misalnya anggota golongan dari sato dapat menjadi golongan anggota Si'da, tetapi tidak dapat memasuki wilayah, lapisan Si'ulu. Supaya dapat memasuki golongan Si'ulu harus dibuatpesta owasayang terdiri dari beberapa tingkat dan ini memerlukan biaya yang mahal dan sekarang makin sulit dilaksanakan.

Setiap Banua di Nias memiliki hubungan sosial dengan banua yang lain karena telah terjalin kekerabatan masyarakat yang erat walaupun tidak dari satu mado. Biasanya banua yang terjalin tersebut berdekatan dengan wilayah banua sekitarnya. Juga bisa clikarenakan ada hubungankekerabatan karena salah seorang dari kerabat mereka menikah dengan orang banua lain. Banua-banua yang telah


(6)

memiliki hubungan sosial yang erat biasanya bergabung dan menjadi sebuah öri (negeri). Pemimpin sebuah öri disebut Tuhenori. Dahulu öri dibentuk untuk menyatukan banua yang memiliki hubungan kekerabatan dan berfungsi untuk bersatu melawan musuh yang datang menyerang.

Selain Tuhenoriyang memimpin sebuah ori, dan Si'ulu yang memimpin banua, ada juga yang dinamakari kepala kampung atau kepala desa. Kepala desa bertugas untuk masalah pemerintahan dengan struktur yang sudah ada. Sedangkan urusan adat dipegang dan menjadi otoritas pemuka adat banua. Satudengan lainnya tidak bisa dicampuri namun untuk memutuskan masalah di desa mereka tetap harus berdiskusi dan diputuskan bersama. Perlu diakui yang umum terjadi kepala desa juga berasal dari golongan Si'ulu. Tetapi sekarang kepala desa berasal dari golongan satoasal ia bisa diterima oleh masyarakat, berpendidikan bagus, tidak memiliki cacat sosial. (MPBI-UNESCO, 15:2007).