Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara Kabupaten Nias Dan Kabupaten Nias Selatan

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN

ANTARA KABUPATEN NIAS DAN KABUPATEN NIAS SELATAN

SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH :

YAKIN RAHMAT ZEBUA 070501050

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ekonomi 2010


(2)

ABSTRACT

This research aimed to analyze the development disparity between Nias Regency with South Nias Regency, knowing the pattern and structure of economic growth, proving the validity of Kuznets hypothesis, and analyze the leading economic sectors (economic potential) in both of these regency. This research uses secondary data in the form of time series data from the years 2003-2008 and analysis tool used are Williamson Index, Typology Klassen, Kuznets hypothesis, and Location Quotient.

The results of this research indicates that the development disparity that occurred in Nias Regency was higher than in South Nias Regency, but the development disparity in both of these regency is low (IW <0.3). Based on the Klassen tipology analyse, both of these regency include relatively disadvantaged areas (Quadrant IV). Kuznets hypothesis also applies to both of these regency. The result of Location Quotient analysis indicates that the leading economic sectors (basis sector) in Nias Regency are agriculture sector (primary sector) and the service sector (tertiary sector). While the leading economic sectors (basis sector) in South Nias Regency is agriculture (primary sector).

Keywords: Development Disparity, Williamson Index, Typology Klassen, Kuznets Hypothesis, Location Quotient.


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan antara Kabupaten Nias dengan Kabupaten Nias Selatan, mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi, membuktikan berlakunya hipotesis Kuznets, serta menganalisis sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi ekonomi) di kedua kabupaten tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series dari tahun 2003-2008, dan alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson, Tipologi Klassen, Hipotesis Kuznets, dan Location Quotient.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan yang terjadi di Kabupaten Nias lebih tinggi dari Kabupaten Nias Selatan, tetapi ketimpangan pembangunan di kedua kabupaten ini tergolong rendah (IW < 0,3). Berdasarkan analisis tipologi klassen, kedua kabupaten ini termasuk daerah relatif tertinggal (Kuadran IV). Hipotesis Kuznets juga berlaku untuk kedua kabupaten ini. Hasil analisis Location Quotient menunjukkan bahwa sektor ekonomi unggulan (sektor basis) di Kabupaten Nias adalah sektor pertanian (sektor primer) dan sektor jasa (sektor tersier). Sedangkan sektor yang unggul (sektor basis) di Kabupaten Nias Selatan adalah sektor pertanian (sektor primer).

Kata kunci : Ketimpangan Pembangunan, Indeks Williamson, Tipologi Klassen, Hipotesis Kuznets, Location Quotient.


(4)

KATA PENGANTAR

Pujian, kemuliaan, dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan anugerah-Nya yang tiada terkira di dalam kehidupan penulis, terutama penyertaan-Nya di dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa bukan karena kekuatan dan kepandaian penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, tetapi semua hanya karena kasih dan penyertaan-Nya yang tiada berkesudahan, Tuhan tidak membiarkan penulis berjalan sendirian. Tuhan, terimakasih untuk hikmat dan kebijaksanaan yang Engkau berikan sehingga penulis dapat melewati setiap badai, cobaan dan tantangan selama penulisan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana ekonomi (S-1) di Fakultas Ekonomi, Departemen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara. Secara khusus skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua penulis. Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis

Ketimpangan Pembangunan Antara Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan”.

Selama menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis juga banyak menerima dukungan, baik moril maupun materi, dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, sebagai Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.


(5)

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc. Sc, PhD, sebagai Sekretais Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing sekaligus Dosen Wali penulis yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan bimbingan dari awal pengerjaan sampai dengan selesainya skripsi ini.

5. Bapak Kasyful Mahali, SE, M.Si, sebagai Dosen Pembanding I yang telah memberikan saran-saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si, sebagai Dosen Pembanding II yang juga telah memberikan saran-saran untuk penyempurnaan skripsi ini. 7. Seluruh staf pengajar yang turut membimbing penulis selama perkuliahan

dan staf pegawai yang membantu dalam urusan administrasi di Fakultas Ekonomi pada khususnya dan Universitas Sumatera Utara pada umumnya. 8. Seluruh staf pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera

Utara, terutama bagian perpustakaan yang dengan ramah selalu bersedia membantu penulis untuk mendapatkan data-data yang diperlukan.

9. Kedua orangtua penulis yang terkasih, Ayahanda Alm. Baziduhu Zebua dan Ibunda Saliria Gowasa, yang selalu mendukung penulis dalam doa, maupun materi serta kasih sayang dan semangat yang selalu penulis dapatkan dari kecil sampai sekarang, terutama selama perkuliahan sampai skripsi ini terselesaikan.

10.Saudara-saudara penulis (Abang : Samahato dan Yanius ; Kakak : Henny, Yeni, dan Destati ; Adek : Nove) juga yang selalu mendukung dan memberi perhatian kepada penulis.


(6)

11.Seseorang yang sangat spesial, Nitry Dewi Sari Daeli, yang selalu mendoakan, mencintai dan mendukung penulis, dan selalu bersedia membantu penulis ketika ada masalah terutama dalam penulisan skripsi ini.

12.Disciple of Christ (B’Hendra, K’Nesry, Teo dan Anton), kelompok kecil penulis yang menjadi tempat penulis berbagi dalam suka dan duka, yang telah bertumbuh dalam pengenalan yang mendalam tentang Allah dan kehidupan kristiani.

13.Forum Mahasiswa Nias-Universitas Sumatera Utara (ForMaN-USU), organisasi mahasiswa Nias yang penulis ikuti, dimana menjadi wadah bagi penulis untuk berbagi, terutama dalam bentuk pemikiran untuk membangun Kepulauan Nias pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

14.Teman-teman di Ekonomi Pembangunan stambuk 2007 yang merupakan rekan seperjuangan dengan penulis untuk belajar dan meraih cita-cita. Mereka juga banyak mendukung dan membantu penulis selama perkuliahan sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini, terkhusus kepada Bona, Anton, Teo, Era, Mira, Sofyan dan lain-lain.

15.Senior dan junior penulis di Ekonomi Pembangunan, serta teman-teman di Fakultas Ekonomi dan di seluruh Universitas Sumatera Utara dengan tidak disebut namanya satu persatu, yang pernah ada bersama-sama dengan penulis melewati hari-hari di kampus.

16.Semua lapisan masyarakat dan instansi terkait yang telah turut membantu dan mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini.


(7)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca demi penulisan yang lebih sempurna di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan membantu semua pihak yang memerlukannya.

Terimakasih.

Medan, Desember 2010 Penulis,

Yakin Rahmat Zebua NIM. 070501050


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 9

2.2 Ketimpangan Pembangunan Daerah ... 18

2.3 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah ... 24

2.4 Dampak Ketimpangan Pembangunan ... 30

2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan ... 33

2.6 Penelitian Terdahulu ... 35

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 39

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 39

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.4 Metode Pengolahan Data... 40

3.4.1 Indeks Williamson ... 40

3.4.2 Tipologi Klassen ... 41

3.4.3 Hipotesis Kuznets... 42

3.4.4 Location Qoutient... 43

3.5 Definisi Operasional ... 45

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan ... 46

4.1.1 Kondisi Geografis ... 46

4.1.2 Administratif Pemerintah ... 49


(9)

4.1.4 Kondisi Perekonomian ... 57

4.1.5 Potensi Daerah ... 63

4.2 Analisis dan Pembahasan ... 74

4.2.1 Indeks Williamson ... 74

4.2.2 Tipologi Klassen ... 77

4.2.3 Hipotesis Kuznets... 79

4.2.4 Location Quotient... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 89

5.2 Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

1.1Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dan Indonesia Tahun 2003-2008 ... 2 1.2Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias dan

Kabupaten Nias Selatan Tahun 2003-2008 ... 4 4.1 Data Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Desa Di Kabupaten Nias ... 50 4.2 Data Kecamatan, Jumlah Desa/Kelurahan dan Satuan Lingkungan

Setempat (SLS) di Kabupaten Nias Selatan Tahun 2008 ... 52 4.3 Data Jumlah Penduduk Kabupaten Nias dan

Kabupaten Nias Selatan Tahun 2003-2008 ... 54 4.4 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dan

Komponennya di Kabupaten Nias Tahun 2003-2008 ... 57 4.5 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dan

Komponennya di Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2003-2008 ... 57 4.6 PDRB, Pendapatan Per Kapita, dan Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten Nias Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2003-2008 ... 58 4.7 PDRB, Pendapatan Per Kapita, dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten

Nias Selatan Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2003-2008 ... 61 4.8 PDRB Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan ADHK 2000

Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2007-2008 (Miliar Rupiah) ... 62 4.9 Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Nias dan

KabupatenNias Selatan, Tahun 2007-2008 (Ton) ... 65 4.10 Data Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Nias dan

Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2007-2008 (Ton) ... 67 4.11 Produksi Daging Menurut Jenis Ternak di Kabupaten Nias

dan Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2007-2008 (Ton)... 70 4.12 Produksi Daging Menurut Jenis Unggas di Kabupaten Nias

dan Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2007-2008 (Ton)... 71 4.13 Produksi Telur Menurut Jenis Unggas Kabupaten Nias

dan Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2007-2008 (Ton)... 71 4.14 Indeks Williamson Kabupaten Nias dan

Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2003-2008 ... 74 4.15 Indeks Williamson dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias

dan Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2003-2008 ... 81 4.16 Nilai LQ Setiap Sektor di Kabupaten Nias dan


(11)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kurva Lorenz ... 19

3.1 Tipologi Klassen ... 42

3.2 Kurva Kuznets U terbalik ... 43

4.1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias ... 59

4.2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias Selatan ... 60

4.3 Indeks Williamson Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan ... 75

4.4 Tipologi Klassen Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan ... 79

4.5 Hipotesis Kuznets di Kabupaten Nias ... 80


(12)

ABSTRACT

This research aimed to analyze the development disparity between Nias Regency with South Nias Regency, knowing the pattern and structure of economic growth, proving the validity of Kuznets hypothesis, and analyze the leading economic sectors (economic potential) in both of these regency. This research uses secondary data in the form of time series data from the years 2003-2008 and analysis tool used are Williamson Index, Typology Klassen, Kuznets hypothesis, and Location Quotient.

The results of this research indicates that the development disparity that occurred in Nias Regency was higher than in South Nias Regency, but the development disparity in both of these regency is low (IW <0.3). Based on the Klassen tipology analyse, both of these regency include relatively disadvantaged areas (Quadrant IV). Kuznets hypothesis also applies to both of these regency. The result of Location Quotient analysis indicates that the leading economic sectors (basis sector) in Nias Regency are agriculture sector (primary sector) and the service sector (tertiary sector). While the leading economic sectors (basis sector) in South Nias Regency is agriculture (primary sector).

Keywords: Development Disparity, Williamson Index, Typology Klassen, Kuznets Hypothesis, Location Quotient.


(13)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan antara Kabupaten Nias dengan Kabupaten Nias Selatan, mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi, membuktikan berlakunya hipotesis Kuznets, serta menganalisis sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi ekonomi) di kedua kabupaten tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series dari tahun 2003-2008, dan alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson, Tipologi Klassen, Hipotesis Kuznets, dan Location Quotient.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan yang terjadi di Kabupaten Nias lebih tinggi dari Kabupaten Nias Selatan, tetapi ketimpangan pembangunan di kedua kabupaten ini tergolong rendah (IW < 0,3). Berdasarkan analisis tipologi klassen, kedua kabupaten ini termasuk daerah relatif tertinggal (Kuadran IV). Hipotesis Kuznets juga berlaku untuk kedua kabupaten ini. Hasil analisis Location Quotient menunjukkan bahwa sektor ekonomi unggulan (sektor basis) di Kabupaten Nias adalah sektor pertanian (sektor primer) dan sektor jasa (sektor tersier). Sedangkan sektor yang unggul (sektor basis) di Kabupaten Nias Selatan adalah sektor pertanian (sektor primer).

Kata kunci : Ketimpangan Pembangunan, Indeks Williamson, Tipologi Klassen, Hipotesis Kuznets, Location Quotient.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pembangunan merupakan proses perbaikan kualitas segenap bidang kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat/warganya. Namun, seringkali kemajuan yang dimaksud terutama mengacu pada kemajuan di bidang ekonomi, maka pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi dapat mendukung pencapaian tujuan atau mendorong perubahan-perubahan atau pembaharuan bidang kehidupan lainnya.

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang bersifat multidimensional yang mencakup berbagai perubahan atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 2006 : 22). Jadi, pada hakikatnya pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan. Untuk itu, proses pembangunan ekonomi tidak terjadi sendirinya, tetapi memerlukan berbagai usaha yang konsisten dari berbagai pihak untuk memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi umat manusia.

Seringkali keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari tingginya pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perubahan dari Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat


(15)

nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tingkat daerah dari tahun ke tahun. Suatu ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Secara teoritis dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan suatu masyarakat, semakin baik tingkat kesejahteraannya. Namun disisi lain jika tingginya pendapatan masyarakat tidak disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan maka hal tersebut belum mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya secara keseluruhan.

Seperti halnya dengan provinsi Sumatera Utara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dan relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Meskipun pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara cenderung membaik dan meningkat, namun tidak cukup untuk menilai keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi memang merupakan kondisi yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Sirojuzilam, 2008 : 23).

Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dan Indonesia Tahun 2003-2008

Tahun Sumatera Utara (%) Indonesia (%)

2003 4,81 4,10

2004 5,74 5,03

2005 5,48 5,69

2006 6,20 5,50

2007 6,90 6,28

2008 6,39 6,06

Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara

Tolak ukur keberhasilan pembangunan tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi tetapi juga dari struktur ekonomi, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, dan semakin kecilnya kesenjangan pendapatan antar


(16)

penduduk, antar daerah dan antar sektor. Presiden bank dunia, James D. Wolfensohn mengatakan bahwa “Tujuan utama kita dalam pembangunan adalah untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi di antara negara-negara di dunia dan di dalam negara itu sendiri” (Todaro, 2006 : 3).

Ketimpangan wilayah merupakan salah satu permasalahan yang pasti timbul dalam pembangunan. Ketimpangan yang lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan antar wilayah.

Ketimpangan pembangunan antar wilayah terjadi sebagai konsekuensi atas pembangunan yang terkonsentrasi dan terdapatnya perbedaan-perbedaan antar daerah, seperti perbedaan kandungan sumber daya alam, konsentrasi kegiatan ekonomi, kondisi demografi (kuantitas dan kualitas), fasilitas dan infrastruktur, strategi pembangunan daerah serta alokasi dana pembangunan antar daerah.

Kabupaten Nias dan Nias Selatan merupakan dua kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Kedua kabupaten ini merupakan kabupaten yang tertinggal bila dibandingkan dengan kabupaten lainnya yang ada di Sumatera Utara. Data tahun 2008 mengungkapkan bahwa kedua kabupaten ini masih cukup tertinggal di segala bidang baik dari segi pendapatan per kapita, laju pertumbuhan ekonomi maupun indeks pembangunan manusia.

BPS Sumatera Utara mencatat bahwa pada tahun 2008 Kabupaten Nias memiliki pendapatan per kapita sebesar Rp 4.182.887, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,70%, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 67,55%. Kabupaten Nias Selatan memiliki pendapatan per kapita sebesar Rp 4.217.115,


(17)

pertumbuhan ekonomi sebesar 5,50%, IPM sebesar 65,59%. Sedangkan Sumatera Utara memiliki pendapatan per kapita sebesar Rp 8.140.606, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,30%, IPM sebesar 73,29%.

Kabupaten Nias memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada tahun 2008 dimana lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. Namun bila diperhatikan tren dari tahun-tahun sebelumnya maka pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nias lebih rendah dari pada Sumatera Utara.

Tingginya pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nias pada tahun 2008 berasal dari peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2008 PDRB atas dasar harga konstan 2000 Kabupaten Nias adalah Rp 1.855.076,73 juta, sedangkan tahun 2007 sebesar Rp 1.738.560,13 juta. Sektor yang paling banyak memberi kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Nias adalah sektor pertanian sebesar Rp 729.955,55 juta, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp 453.367,56 juta, dan sektor jasa-jasa sebesar Rp 209.913,34 juta (Nias dalam angka 2009).

Tabel 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2003-2008

Tahun Kabupaten Nias (%) Kabupaten Nias Selatan (%)

2003 7,07 -

2004 5,13 7,16

2005 -3,33 -2,12

2006 4,65 3,99

2007 6,64 4,83

2008 6,70 5,50

Sumber : www.sumut.bps.go.id

Sedangkan Kabupaten Nias Selatan memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup rendah pada tahun 2008 dibandingkan dengan daerah-daerah lain dan


(18)

Sumatera Utara, meskipun pertumbuhan ekonominya tersebut merupakan tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. PDRB Kabupaten Nias Selatan atas dasar harga konstan 2000 tahun 2008 adalah sebesar Rp 1.150.631,51 juta. Sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB adalah sektor pertanian sebesar Rp 494161.07 juta, disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp 278.568,24 juta, dan sektor bangunan sebesar Rp 127.363,13 juta (Nias Selatan dalam angka 2009).

Salah satu jalan untuk mengurangi ketimpangan wilayah adalah menyelenggarakan pembangunan, meskipun pembangunan tidak serta merta dapat mengurangi ketimpangan wilayah. Untuk itu diperlukan pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah dilaksanakan dengan tujuan mencapai sasaran pembangunan nasional serta meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat yang adil dan merata. Oleh karena itu pembangunan ditujukan untuk mengatasi masalah kesenjangan antar daerah (regional disparity).

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108).

Dalam pelaksanaan pembangunan daerah ada baiknya diawali berdasarkan prioritas dan pemilihan-pemilihan yang mempunyai nilai strategis dan memberikan dampak positif bagi Kabupaten Nias dan Nias Selatan dengan


(19)

mengetahui dan membangun sektor-sektor ekonomi yang memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kedua kabupaten tersebut.

Meskipun Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan banyak memiliki kesamaan seperti sektor ekonominya didominasi oleh sektor pertanian, etnis/suku yang sama, dan letak geografis yang sama (berada dalam pulau yang sama), tetapi masih terdapat ketimpangan pembangunan yang diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain : perbedaan potensi ekonomi daerah, konsentrasi kegiatan ekonomi, kondisi demografi (kuantitas dan kualitas), mobilitas barang dan jasa, strategi pembangunan daerah serta alokasi dana pembangunan antar daerah.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut dan melihat sejauh mana ketimpangan yang terjadi antar Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan serta menganalisis potensi ekonomi yang dimiliki oleh kedua daerah tersebut, sehingga dalam penelitian ini penulis mengangkat judul tentang “Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara Kabupaten Nias

dengan Kabupaten Nias Selatan”. 1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah yang menjadi dasar kajian dalam penelitian yang akan dilakukan, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana ketimpangan pembangunan yang terjadi antara Kabupaten Nias dengan Kabupaten Nias Selatan?

2. Bagaimana pola dan struktur pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan?


(20)

3. Apakah hipotesis Kuznets berlaku di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan?

4. Apakah sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi ekonomi) yang dapat menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis dan mengetahui ketimpangan pembangunan yang terjadi antara Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.

2. Mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nias dan Nias Selatan.

3. Mengetahui apakah hipotesis Kuznets berlaku di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.

4. Menganalisis dan mengetahui sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi ekonomi) yang ada di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.

Selain itu, penelitian ini juga memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai bahan studi, literatur, dan tambahan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi, peneliti, dan mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang akan melakukan penelitian selanjutnya.

2. Sebagai tambahan, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada terutama menyangkut topik yang sama.

3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni.


(21)

4. Sebagai bahan informasi, masukan, dan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan ekonomi Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Regional

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108).

Pembangunan regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor returns) dalam daerah di batasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah biasanya di ukur menurut output atau tingkat pendapatan.

Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan transformasi pengetahuan (Adisasmita 2005 dalam Manik, 2009 : 32).

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005 : 46).

Perhitungan pendapatan wilayah pada awalnya dibuat dalam harga berlaku. Namun agar dapat melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke kurun


(23)

waktu berikutnya, harus dinyatakan dalam nilai riel, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi), yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment, yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah.

Pertumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor, sebagian bersifat intern dan sebagian lagi bersifat ekstern dan sosio politik. Fakto-faktor yang berasal dari daerah itu sendiri meliputu distribusi faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal sedangkan salah satu penentu ekstern yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan daerah tersebut.

Glasson (1997) menjelaskan bahwa region dapat diklasifikasikan menjadi daerah homogeny (homogeneous region), daerah administrasi (administrative

region) dan daerah nodal (nodal region).

Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.

Ada beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, diantaranya : (1) Teori Basis Ekspor; (2) Teori Pertumbuhan


(24)

Jalur Cepat; (3) Teori Pusat Pertumbuhan; (4) Teori Neoklasik; (5) Model Kumulatif Kausatif; dan (6) Model Interregional.

2.1.1 Teori Basis Ekspor

Teori Basis Ekspor (Export Base Theory) dipelopori oleh Douglas C. North (1995) dan kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956). Teori ini membagi sektor produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam suatu wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (non-basis). Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non-basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri.

Teori basis ekspor menggunakan dua asumsi, yaitu, Asumsi pokok atau yang utama bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen (independent) dalam pengeluaran, artinya semua unsur pengeluaran lain terikat (dependent) terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti diluar pertambahan alamiah, hanya peningkatan ekspor saja yang dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor lain terikat oleh peningkatan pendapatan daerah. Sektor lain hanya meningkat apabila pendapatan daerah secara keseluruhan meningkat. Asumsi kedua adalah bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan berpotongan.

Beberapa hal penekanan dalam model teori basis ekspor yaitu, antara lain : a. Bahwa suatu daerah tidak harus menjadi daerah industri untuk dapat


(25)

keuntungan komparatif (keuntungan lokasi) yang dimiliki oleh daerah tersebut;

b. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan dapat dimaksimalkan bila daerah yang bersangkutan memanfaatkan keuntungan komparatif yang dimiliki menjadi kekuatan basis ekspor;

c. Ketimpangan antar daerah tetap sangat besar dipengaruhi oleh variasi potensi masing-masing daerah.

Model teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Richardson, besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu daerah. Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya akan semakin kecil apabila dibandingkan dengan total pendapatan.

2. Ekspor jelas bukan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Ada banyak unsur lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti : pengeluaran atau bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

3. Dalam melakukan studi atas suatu wilayah, multiplier basis yang diperoleh adalah rata-ratanya bukan perubahannya. Menggunakan multiplier basis rata-rata untuk proyeksi seringkali memberikan hasil yang keliru apabila nilai multiplier dari tahun ke tahun.

4. Beberapa pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan sebagai alat proyeksi maka masalah time lag (masa tenggang) harus diperhatikan.


(26)

5. Ada kasus dimana suatu daerah yang tetap berkembang pesat meski ekspornya relatif kecil. Pada umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat banyak ragam kegiatan dan satu kegiatan saling membutuhkan dari produk kegiatan lainnya.

Harry W. Richardson dalam bukunya Elements of Regional Economics (Tarigan, 2005 : 56) memberi uraian sebagai berikut:

dimana :

Yi = pendapatan daerah Ei = pengeluaran daerah Mi = impor daerah Xi = ekspor daerah

2.1.2 Teori Pertumbuhan Jalur Cepat

Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1955 (Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri). Perkembangan sektor tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan


(27)

sektor-sektor adalah membuat sektor-sektor-sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung. menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor lain yang terkait akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.

Selain itu perlu diperhatikan pandangan beberapa ahli ekonomi (Schumpeter dan ahli lainnya) yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (entrepreneurship) dalam masyarakat. Jiwa usaha berarti pemilik modal mampu melihat peluang dan mengambil resiko untuk membuka lapangan kerja baru untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.

2.1.3 Teori Pusat Pertumbuhan

Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.

Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkosentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan : daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian, atau daerah pedesaan.


(28)

Keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya agglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale) atau agglomeration (economic of localization) (Tarigan, 2005 : 159). Economic of scale adalah keuntungan karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien.

Economic of agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut terdapat

berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan produk, dan lain sebagainya.

Hubungan antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih terbelakang dapat dibedakan sebagai berikut : (1) Generatif : hubungan yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya; (2) Parasitif : hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya; (3) Enclave (tertutup) : dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang.

Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya

multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat


(29)

2.1.4 Teori Neoklasik

Teori Neoklasik (Neo-classic Theory) dipelopori oleh Borts Stein (1964), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Roman (1965) dan Siebert (1969). Dalam negara yang sedang berkembang, pada saat proses pembangunan baru dimulai, tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence), sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence). Hal ini disebabkan pada negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi.

Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan regional.

2.1.5 Model Kumulatif Kausatif

Model kumulatif kausatif (Cummulative Causation Models) dipelopori oleh Gunnar Myrdal (1975) dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh Kaldor. Teori ini menyatakan bahwa adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread Effect” dan “Back Wash Effect”. Spread Effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah miskin. Dengan timbulnya daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap produk daerah-daerah miskin. Dengan demikian mendorong pertumbuhannya.


(30)

Namun Myrdal yakin bahwa dampak spread effect ini lebih kecil daripada

back wash effect. Pertambahan permintaan terhadap produk daerah miskin

tersebut terutama barang-barang hasil pertanian oleh daerah kaya tentu saja mempunyai nilai permintaan yang rendah, sementara konsumsi daerah miskin terhadap produk daerah kaya akan lebih mungkin terjadi. Para pelopor teori ini menekankan pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi perbedaan yang semakin menonjol.

2.1.6 Model Interregional

Model ini merupakan perluasan dari teori basis ekspor dengan menambah faktor-faktor yang bersifat eksogen. Selain itu, model basis ekspor hanya membahas daerah itu sendiri tanpa memperhatikan dampak dari daerah tetangga. Model ini memasukkan dampak dari daerah tetangga, sehingga model ini dinamakan model interregional (Tarigan, 2005 : 58).

Dalam model ini diasumsikan bahwa selain ekspor, pengeluaran pemerintah dan investasi juga bersifat eksogen dan daerah itu terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang berhubungan erat. Dengan memanipulasi rumus pendapatan yang pertama kali ditulis Keynes, oleh Richardson merumuskan model interregional ini menjadi :

dimana :

Yi = regional income Ci = regional consumption Ii = regional investment


(31)

Xi = regional exports Mi = regional import

Sumber-sumber perubahan pendapatan regional (Tarigan, 2005 : 60) dapat berasal dari :

1. Perubahan pengeluaran otonomi regional, seperti : investasi dan pengeluaran pemerintah,

2. Perubahan pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang berada dalam suatu sistem yang akan terlihat dari perubahan ekspor,

3. Perubahan salah satu di antara parameter-parameter model (hasrat konsumsi marjinal, koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak marjinal).

2.2 Ketimpangan Pembangunan Daerah

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan (disparity). Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata. Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal dari pada tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan. Terdapat beberapa bentuk-bentuk ketimpangan dalam pembangunan daerah.


(32)

2.2.1 Distribution Income Disparities

Terdapat berbagai macam alat yang dapat dijumpai dalam mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk (Distribution Income

Disparities), diantaranya yaitu :

1. Kurva Lorenz (Lorenz Curve)

Kurva Lorenz secara umum sering digunakan untuk menggambarkan bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama periode tertentu, misalnya, satu tahun.

Gambar 2.1 Kurva Lorenz

Kurva Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi/bujur sangkar dengan bantuan garis diagonalnya. Garis horizontal menunjukkan persentase penduduk penerima pendapatan, sedangkan garis vertikal adalah persentase pendapatan. Semakin dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi diagonal

50%

25%

Garis Pemetaaan

Kurva Lorenz

0 B

Persentase Penerima Pendapatan

P

er

sent

as

e P

enda

pa

tan

100% 50%

A C


(33)

berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi. Kemungkinan yang digambarkan kurva Lorenz diatas yaitu :

a. Jika kurva Lorenz adalah diagonal 0A maka terlihat 50% penduduk (penerima pendapatan) memperoleh 50% pendapatan, menggambarkan pembagian pendapatan sempurna merata.

b. Jika 50% penduduk yang paling rendah pendapatannya menerima 25% pendapatan, tergolong pada pembagian pendapatan cukup merata (kurva Lorenz 0CA).

c. Jika kurva Lorenz adalah sisi siku 0BA, maka 100% penduduk sama sekali tidak memperoleh pendapatan, menggambarkan pembagian pendapatan sempurna tidak merata.

2. Gini Index

Kelemahan kurva Lorenz adalah sulit diaplikasikan, maka seorang sarjana statistik matematik mencoba mengkuantifikasi konsep kurva Lorenz tersebut yaitu Mr. Gini, yang selanjutnya hasil pendapatnya dikenal dengan Gini Index/Gini

Ratio. Gini index adalah ukuran ketimpangan pendapatan agregat yang angkanya

berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Menurut Gini setiap kurva Lorenz dapat dihitung nilai angkanya yang selanjutnya disebut angka Gini dengan cara membagi luas yang dibentuk kurva Lorenz tersebut dengan total pendapatan. Dari gambar kurva Lorenz dapat terlihat :

a. Jika kurva Lorenz adalah 0CA maka


(34)

c. Jika kurva Lorenz adalah sisi siku 0BA maka = 1, yaitu merata tidak sempurna.

Dengan demikian semakin kecil Gini index, maka semakin merata, sedang

Gini index yang semakin besar menunjukkan distribusi pendapatan yang makin

tidak merata. Maksimum dan minimum nilai G adalah : 0 ≤ G ≤ 1 . Untu k menghitung Gini Index yaitu :

dimana :

G = Gini Index

Pi = Persentase kumulatif jumlah penduduk sampai kelas ke-i Qi = Persentase kumulatif jumlah pendapatan sampai kelas ke-i I = 1,2,3,....n

G = 0, Perfect Equality G = 1, Perfect Inequality 3. Kriteria Bank Dunia

Berdasarkan kriteria Bank dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi menjadi tiga kategori yaitu :

a. 20% penduduk berpendapatan tinggi b. 40% penduduk berpendapatan sedang c. 40% penduduk berpendapatan rendah


(35)

Dimana kriteria ketimpangannya adalah

1. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional < 12% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan tinggi. 2. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional

12% - 17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan sedang/moderat.

3. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional > 17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan rendah. 2.2.2 Regional Income Disparities

Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan antar daerah di dalam wilayah suatu negara.

Jeffrey G. Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkosentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Williamson menggunakan Williamson Index (Indeks Williamson) untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson menggunakan PDRB per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas bahwa yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan tingkat


(36)

kesejahteraan antar kelompok. Formulasi Indeks Williamson secara statistik adalah sebagai berikut :

Keterangan :

IW = Indeks Williamson

Yi = Pendapatan per kapita daerah i

Y = Pendapatan per kapita rata-rata seluruh daerah fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah

Angka koefisien Indeks Williamson adalah 0 < IW < 1. Jika Indeks Williamson semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil atau semakin merata dan sebaliknya angka yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar. Walaupun indeks ini memiliki kelemahan yaitu sensitive terhadap defenisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan artinya apabila ukuran wilayah yang digunakan berbeda maka akan berpengaruh terhadap hasil perhitungannya, namun cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

2.2.3 Urban Rural Income Disparities

Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pedesaan umumnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan.

Urban Rural Income Disparities (Ketimpangan pembangunan/pendapatan antara


(37)

lebih terfokus pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pembangunan wilayah pedesaan.

Hal ini terlihat dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan pedesaan (trickling down effects), justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan (backwash effects).

Faktor internal pedesaan seperti sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar dan minimnya kesempatan kerja, juga menghambat perkembangan wilayah pedesaan. Sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar menyebabkan mahalnya biaya penyediaan barang dan jasa publik secara efektif untuk masyarakat pedesaan. Relatif melimpahnya jumlah tenaga kerja yang tanpa disertai ketersediaan kesempatan kerja dibandingkan dengan kawasan non-pedesaan, menjadikan masyarakat pedesaan tidak produktif.

2.3 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah

Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan (Riadi, 2007 : 2). Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu,


(38)

ketimpangan/kesenjangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.

Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash

effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap

pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999 dalam Pakpahan, 2009 : 26).

Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah (Manik, 2009 : 23) yaitu :

2.3.1 Perbedaan kandungan sumber daya alam

Terdapatnya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya alam pada masing-masing daerah akan mendorong timbulnya ketimpangan antar daerah. Kandungan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, atau kesuburan lahan tentunya mempengaruhi proses pembangunan di masing-masing daerah. Ada daerah yang memiliki minyak dan gas alam, tetapi daerah lain tidak memilikinya. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang cukup besar, tetapi daerah tidak ada. Demikian pula halnya dengan tingkat kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah.

Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan


(39)

sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya yang relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam yang lebih rendah. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain.

2.3.2 Perbedaan Kondisi Demografi

Faktor utama lain yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan antar daerah adalah jika terdapat perbedaan kondisi demografi yang cukup besar antar daerah. Kondisi demografi meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan tingkah laku masyarakat daerah tersebut.

Perbedaan kondisi demografi ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan antar daerah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografi yang baik akan cenderung memiliki produktivias kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografinya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah.


(40)

2.3.3 Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Mobilitas barang dan jasa (perdagangan) antar daerah jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Sebagaimana kita ketahui bahwa bila kegiatan perdagangan (baik internasional maupun antar wilayah) kurang lancar maka proses penyamaan harga faktor produksi (Factor

Price Equilization) akan terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan

akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi.

Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Bila mobilitas barang tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja di suatu daerah yang tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkan. Akibatnya, ketimpangan antar daerah akan cenderung tinggi. Mobilitas barang dan jasa ini mengacu pada penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas di dalam suatu daerah, seperti : jalan, jembatan, alat transportasi baik darat, laut maupun udara dan lain-lain.

2.3.4 Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah

Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar daerah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendah.


(41)

Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula, apabila konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadinya pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.

Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas, batubara dan bahan mineral lainnya. Terdapatnya lahan yang subur juga turut mempengaruhi, khususnya menyangkut pertumbuhan kegiatan pertanian. Kedua, meratanya fasilitas trasnportasi, baik darat, laut, dan udara juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah. Ketiga, kondisi demografi (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumber daya manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik.

2.3.5 Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah

Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat menarik lebih banyak investasi pemerintah dan swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan tenaga kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Demikian juga sebaliknya


(42)

terjadi bila investasi pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah ternyatalebih rendah.

Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan antardaerah cenderung tinggi. Akan tetapi sebaliknya bilamana sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar daerah akan cenderung lebih rendah.

Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam hal ini kekuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah, sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan pula oleh ongkos transportasi baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsenstrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk ke dalam keuntungan lokasi ini adalah keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana investasi cenderung lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kondisi ini menyebabkan perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah pedesaan.


(43)

2.4 Dampak Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan pembangunan telah memberikan berbagai dampak terhadap daerah dan masyarakat. Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut (www.bappenas.go.id) adalah :

2.4.1 Banyak Wilayah-Wilayah yang Masih Tertinggal Dalam Pembangunan Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain :

a. Terbatasnya akses trasnportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif maju.

b. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar.

c. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia.

d. Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah secara langsung.

e. Belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.


(44)

2.4.2 Belum Berkembangnya Wilayah-Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh Banyak wilayah-wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, antara lain : (a) adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan; (b) belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasaan di daerah; (c) belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta; (d) belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah; (e) masih lemahnya koordinasi, sinergi dan kerja sama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah dan masyarakat serta antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan; (f) masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi; (g) keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (h) belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.

Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat, karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang, wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai


(45)

penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang.

2.4.3 Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang

Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wiayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan illegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan sosial.

Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking” sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan daerah. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah. Sementara itu daerah-daerah pedalaman yang ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduk nya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar pemerintah. 2.4.4 Kesenjangan Pembangunan Antara Kota dan Desa

Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh : (a) investasi ekonomi


(46)

cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan; (b) kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi di pedesaan; (c) peran kota yang diharapakan dapat mendorong perkembangan pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan. 2.4.5 Pengangguran, Kemiskinan dan Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia

Dampak utama dari ketimpangan pembangunan adalah pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dampak ini merupakan dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan kurangnya investasi baik dari pemerintah maupun swasta, dan mengakibatkan terjadinya pengangguran. Jika pengangguran terjadi maka biasanya disusul terjadinya kemiskinan. Kemiskinan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (generasi berikutnya) cenderung rendah, karena terbatasnya kemampuan untuk menikmati pendidikan akibat rendahnya pendapatan masyarakat bahkan cenderung tidak ada sama sekali, sehingga masyarakat lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan yang paling krusial yaitu makanan dan minuman.

2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan

Simon Kuznets (dalam Todaro, 2006 : 253) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk (ketimpangan membesar), namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik” (Hipotesis Kuznets).

Dalam hal ini, pembuktian hipotesis Kuznets dilakukan dengan membuat grafik antara pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan (Indeks


(47)

Williamson). Jika kurva yang dibentuk oleh hubungan antara variabel tersebut menunjukkan kurva U-terbalik, maka hipotesis Kuznets terbukti bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi ketimpangan yang membesar dan pada tahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun, namun pada suatu waktu ketimpangan akan menaik dan demikian seterusnya.

Dewasa ini, terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada tahap-tahap awal pembangunan ditribusi pendapatan cenderung memburuk, namun kemudian membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannya dengan kondisi-kondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. Menurut model Lewis, tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern, yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas terhitung tinggi.

Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Di samping itu, imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik menurun. Jadi, walaupun Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang dapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut konsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Namun terlihat bahwa, dampak pengayaan sektor tradisional dan modern terhadap ketimpangan pendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah, sehingga perubahan neto


(48)

pada ketimpangan bersifat mendua (ambiguous), dan validitas empiris kurva Kuznets masih patut dipertanyakan.

Terlepas dari perdebatan metodologisnya, beberapa ekonom pembangunan tetap berpendapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunan ketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari.

2.6 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian oleh Lisna Pakpahan pada tahun 2009, tentang “Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten Tapanuli Utara dengan Kabupaten Deli Serdang”, menggunakan data time series dari tahun 1993-2007 dan menggunakan alat analisis Indeks Williamson dan Location

Quotient. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadi ketimpangan

pembangunan antar Kabupaten Tapanuli utara dengan Kabupaten Deli Serdang. Ketimpangan di Tapanuli utara tergolong rendah (mendekati 0) yang artinya ketimpangan yang terjadi di kabupaten Tapanuli Utara tidak terlalu besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar 0,074766 dan terendah pada tahun 2002 sebesar 0,046222. Begitu juga ketimpangan di Deli Serdang tergolong relatif kecil menurut standard ketimpangan yaitu 0-1 karena nilai IW Deli Serdang hanya berkisar 0,167921 yang artinya masih cenderung mendekati 0, akan tetapi apabila dibandingkan dengan nilai IW Tapanuli Utara, nilai IW Deli Serdang relative besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 0,167921 sedangkan ketimpangan terendah terjadi pada tahun 1997 sebesar 0,096482. Selain itu berdasarkan analisis LQ terlihat bahwa sektor yang potensial di Kabupaten Tapanuli Utara


(49)

adalah sektor pertanian, sedangkan di Kabupaten Deli Serdang sektor yang potensial adalah sektor industri/manufaktur.

2. Penelitian Fitri R. Manik pada tahun 2009, tentang “Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara Kota Medan dengan Kabupaten Simalungun” menggunakan data time series dari tahun 1988-2007 dan menggunakan alat analisis Indeks Williamson, Hipotesis Kuznets, Tipologi Klassen, dan Korelasi Pearson. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terjadi ketimpangan pembangunan sedang di Kota Medan (IW = 0,3-0,5) dan ketimpangan pembangunan rendah untuk Kabupaten Simalungun (IW < 0,3), serta hipotesis Kuznets berlaku untuk kedua wilayah tersebut. Berdasarkan Tipologi Klassen, Kota Medan termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) dan Kabupaten Simalungun termasuk daerah yang cepat berkembang (Kuadran III). Hasil Analisis Korelasi Pearson menunjukka n korelasi yang lemah antara pertumbuhan PDRB dengan Indeks Williamson dan tidak signifikan untuk Kota Medan dan Kabupaten Simalungun.

3. Penelitian oleh Paidi Hidayat, SE, Msi dan DRA. Raina Linda Sari, tentang “Analisis Ketimpangan Antar Kabupaten/Kota Pemekaran Di Sumatera Utara”, menggunakan data time series yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara untuk kurun waktu 2001-2006. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat analisis tipologi daerah (Klassen Typology) dan Indeks Williamson. Berdasarkan hasil analisis, maka disimpulkan bahwa : (1) Daerah pemekaran di Sumatera Utara yang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi adalah Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten


(50)

Samosir dan Kota Padang Sidimpuan memiliki pertumbuhan yang rendah dan masih dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. (2) Struktur ekonomi kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara masih didominasi oleh sektor primer (sektor pertanian dan sektor pertambangan/penggalian) kecuali Kabupaten Toba Samosir (sektor industri) dan Kota Padang Sidimpuan (sektor jasa-jasa). (3) Berdasarkan pola pembangunan ekonominya, daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Samosir merupakan daerah maju tapi tertekan. Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Mandailing Natal adalah daerah berkembang cepat. Sementara Kabupaten Nias Selatan dan Kota Padang Sidimpuan merupakan daerah pemekaran yang relatif tertinggal. (4) Bahwa ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara relative kecil atau lebih merata dengan angka Indeks Williamson sebesar 0,031.

4. RM. Riadi melakukan penelitian tentang “Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau” menggunakan data time series dari tahun 2003-2005. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, Sistem Kuadran dan Hipotesi Kuznets. Dari hasil penelitian disimpukan bahwa hanya Kota Pekanbaru yang temasuk dalam Kuadran I (high growth and high income). Daerah yang dikategorikan ke dalam tumbuh cepat tetapi rendah pendapatan adalah Kabupaten Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Siak. Indragiri Hilir, Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar dapat dikategorikan ke dalah tinggi pendapatan tetapi tumbuh lambat, sementara


(51)

daerah yang dikategorikan ke dalam rendah pendapatan dan tumbuh lambat adalah Rokan Hilir, Dumai dan Bengkalis. Selama periode pengamatan 2003-2005, terjadi ketimpangan pembangunan yang tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson, sedangkan berdasarkan Indeks Entropi Theil, ketimpangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadi pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan. Sebagai akibatnya tidak terbuktinya hipotesis Kuznets di Provinsi Riau yang mengatakan adanya kurva U terbalik.


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian. Adapun metode penlitian ini adalah sebagai berikut :

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah meneliti ketimpangan pembangunan antara Kabupaten Nias dengan Kabupaten Nias Selatan, mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi, membuktikan berlakunya hipotesis, serta menganalisis sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi ekonomi) di kedua kabupaten tersebut.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif yaitu data dalam bentuk angka-angka dan berkala (time series) dengan kurun waktu enam tahun (2003-2008). Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel, dan laporan-laporan penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan pencatatan


(53)

langsung berupa data time series dari tahun 2003-2008 dari BPS Provinsi Sumatera Utara.

3.4 Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan berbagai model analisis untuk melihat dan menjelaskan bentuk ketimpangan serta potensi ekonomi daerah yang ada. Model tersebut adalah sebagai berikut :

3.4.1 Indeks Williamson (IW)

Indeks Williamson ini dipakai untuk mengetahui besarnya ketimpangan suatu daerah yang pengukurannya berkisar antara 0-1. Jika IW dari hasil pengukuran semakin besar (mendekati 1) maka ketimpangan akan semakin besar atau sangat tidak merata dan jika semakin kecil (mendekati 0) maka semakin merata.

Rumus Indeks Williamson yang dipakai untuk menganalisis ketimpangan pembangunan antara Kabupaten Nias dengan Kabupaten Nias Selatan adalah sebagai berikut :

Keterangan :

IW = Indeks Williamson

Yi = Pendapatan per kapita Kabupaten Nias/Kabupaten Nias Selatan (Rupiah) Y = Pendapatan per kapita Provinsi Sumatera Utara (Rupiah)

fi = Jumlah Penduduk Kabupaten Nias/Kabupaten Nias Selatan (Jiwa) n = Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara (Jiwa)


(54)

Kriteria : 0 < IW < 1

IW = 0 = Ketimpangan sangat rendah (merata sempurna) IW < 0,3 = Ketimpangan rendah

IW = 0,3 – 0,5 = Ketimpangan sedang

IW = 0,5 – 1 = Ketimpangan sangat tinggi (tidak merata sempurna) 3.4.2 Tipologi Klassen

Tipologi Klassen merupakan alat analisis tipologi daerah yang digunakan untuk mengetahui pola daan struktur pertumbuhan ekonomi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita (PDRB per kapita). Dengan menggunakan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB per kapita sebagai sumbu horizontal, kemudian daerah yang diamati dapat dibagi ke dalam empat klasifikasi atau bidang kuadran, yaitu :

Kuadran I : Daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high

income), memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan

perkapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Provinsi Sumatera Utara.

Kuadran II : Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), memiliki pendapatan perkapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi Sumatera Utara.

Kuadran III : Daerah yang berkembang cepat (high growth but low income), memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan


(55)

perkapita lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi Sumatera Utara.

Kuadran IV : Daerah yang relatif tertinggal (low growth and low income), memiliki tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi Sumatera Utara.

Gambar 3.1 Tipologi Klassen 3.4.3 Hipotesis Kuznets

Simon Kuznets mengatakan bahwa pada tahap pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk namun pada tahap selanjutnya distribusi pendapatannya akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time series) dalam distribusi pendapatan tampak seperti kurva berbentuk U terbalik (Todaro, 2006 : 253).

Hipotesis ini digunakan untuk melihat apakah terjadi ketimpangan distribusi pendapatan di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan pada tahap

awal pembangunan dan selama proses pembangunan berlangsung Kuadran III Kuadran I


(56)

(selama periode pengamatan). Hipotesis Kuznets dapat dibuktikan dengan membuat grafik antara pertumbuhan PDRB dengan Indeks Williamson.

Pertumbuhan PDRB (%)

Gambar 3.2 Kurva Kuznets U terbalik 3.4.4 Location Quotient (LQ)

Location Quotient (LQ) merupakan suatu metode untuk menghitung

perbandingan relatif sumbangan nilai tambah sebuah sektor di suatu daerah (kabupaten/kota) terhadap nilai tambah sektor yang bersangkutan dalam skala provinsi atau nasional. Dengan kata lain, metode ini dipergunakan untuk menganalisis dan menghitung potensi ekonomi (sektor-sektor ekonomi) yang dimiliki suatu daerah yang terdiri atas sektor basis dan sektor non basis. Dengan menggunakan metode LQ ini maka akan diketahui sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor unggulan penunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Rumus LQ adalah sebagai berikut :

Inde

ks

W

illia

ms

on


(57)

dimana :

LQij = Koefisien Location Quotient

Yij = PDRB sektor i di Kabupaten Nias/Kabupaten Nias Selatan (Rupiah) Yj = PDRB Kabupaten Nias/Kabupaten Nias Selatan (Rupiah)

Yi = PDRB sektor I di Provinsi Sumatera Utara (Rupiah) Y = PDRB Provinsi Sumatera Utara (Rupiah)

Kriteria hasil perhitungan koefisien LQ adalah jika suatu sektor memiliki koefisien LQ > 1, mengindikasikan adanya kegiatan ekspor di sektor tersebut atau sektor basis, dan sekaligus mengindikasikan bahwa sektor tersebut merupakan sektor yang berpotensi (sektor unggulan) dalam meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah tersebut. Namun bila suatu sektor memilki koefisien LQ < 1, mengindikasikan tidak ada kegiatan ekspor di sektor tersebut atau disebut sektor non basis, yang berarti bahwa sektor tersebut tidak/kurang potensional (unggul) untuk meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Dalam perhitungan nilai koefisien LQ ini, penulis menggunakan data PDRB menurut lapangan usaha Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000, kemudian mengelompokkan kesembilan lapangan usaha/sektor ini ke dalam tiga sektor lagi yaitu : Sektor Agriculture, Manufacture, dan Services.

Sektor Agriculture (pertanian) yang disebut juga sektor primer, meliputi pertanian, dan pertambangan dan penggalian. Sektor Manufacture (pengolahan) yang disebut juga sektor sekunder, meliputi industri, listrik, gas dan air minum, dan bagunan. Sektor Services (jasa/pelayanan) yang disebut sektor tersier,


(58)

meliputi perdagangan, hotel, restoran, pengangkutan dan konomunikasi, jasa keuangan, dan jasa-jasa lainnya.

3.5 Defenisi Operasional

1. Pendapatan per kapita adalah pendapatan per kapita Kabupaten Nias/Kabupaten Nias Selatan/Provinsi Sumatera Utara, atas dasar harga konstan dalam satuan rupiah.

2. Jumlah penduduk adalah jumlah penduduk yang bertempat tinggal di Kabupaten Nias/Kabupaten Nias Selatan/Provinsi Sumatera Utara, dalam satuan jiwa.

3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah PDRB Kabupaten Nias/Kabupaten Nias Selatan/Provinsi Sumatera Utara, atas dasar harga konstan dalam satuan rupiah.

4. Pertumbuhan ekonomi adalah persentase perubahan PDRB Kabupaten Nias/Kabupaten Nias Selatan/Provinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun, atas dasar harga konstan dalam satuan persen.

5. Ketimpangan pembangunan adalah ketimpangan pembangunan yang terjadi antara Kabupaten Nias dengan Kabupaten Nias Selatan yang merupakan perbedaan pembangunan yang dilihat dari pertumbuhan ekonomi daerah, pendapatan perkapita dan sebagainya.


(59)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan 4.1.1 Kondisi Geografis

Kabupaten Nias merupakan salah satu daerah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang berada di Kepulauan Nias sekitar 85 mil dari Sibolga. Sebelum daerah-daerah lain seperti Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat terbentuk maka luas wilayah Kabupaten Nias adalah 3.495,40 km2 (4,88% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara). Namun kondisi tahun 2009, luas wilayah Kabupaten Nias adalah 980,32 km2. Dalam penelitian ini data-data Kabupaten Nias yang diambil adalah mulai dari tahun 2003-2008, sehingga gambaran umum Kabupaten Nias yang dibicarakan adalah gambaran sebelum daerah-daerah lain dimekarkan menjadi kabupaten/kota (2003-2008), meskipun sesekali penulis akan membahas kondisi kabupaten Nias yang sekarang. Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletak pada garis 0o12’ – 1o32’ Lintang Utara (LU) dan 97o – 98o Bujur Timur (BT) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah :

 Sebelah Utara : Berbatasan dengan Pulau-pulau Banyak Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara.

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara.


(60)

Kabupaten Nias Selatan berada di sebelah barat Pulau Sumatera dengan jarak sekitar 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten Nias Selatan ini berada di sebelah selatan Kabupaten Nias yang berjarak sekita 120 km dari Gunungsitoli ke Telukdalam (ibukota Kabupaten Nias Selatan).

Luas Kabupaten Nias Selatan adalah 1.825,2 km2 dan terdiri dari 104 buah pulau. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Nias Selatan adalah :

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Nias

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Pulau-pulau Mentawai Provinsi Sumatera Barat

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Pulau-pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Samudera Hindia

Kondisi alam/topografi Kabupaten Nias dan Kabuapaten Nias Selatan hampir sama karena berada dalam satu kepulauan yaitu Kepulauan Nias, dimana kondisinya yaitu berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan tingginya di atas permukaan laut bervariasi antara 0-800 m, terdiri dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 24%, dari tanah bergelombang sampai berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit sampai pegunungan 51,2% dari keseluruhan luas daratan. Kondisi topografi demikian menyulitkan pembuatan jalan-jalan lurus dan lebar. Oleh karena itu, kota-kota utama terletak di tepi pantai.

Akibat letak kedua kabupaten ini dekat dengan garis khatulistiwa, maka curah hujan setiap tahun cukup tinggi. Pada tahun 2005, jumlah curah hujan di Kabupaten Nias mencapai 2.805 mm setahun atau rata-rata 234 mm per bulan


(61)

dengan banyaknya hari hujan mencapai 246 hari setahun atau rata-rata 21 hari per bulan, dan penyinaran matahari rata-rata 53% per bulan. Curah hujan yang paling besar terjadi pada bulan Oktober yaitu 595 mm dengan banyaknya hari hujan mencapai 30 hari hujan dan penyinaran matahari sebesar 39%, musim kemarau dan hujan silih berganti dalam setahun. Curah hujan dan banyaknya hari hujan yang paling rendah terjadi pada bulan Februari yaitu masing-masing 52 mm dan 14 hari hujan dengan penyinaran matahari sebesar 61%. Curah hujan yang tinggi setiap tahun mengakibatkan kondisi alam Kabupaten Nias sangat lembab dan basah dengan rata-rata kelembaban antara 89%-92%. Sedangkan di Kabupaten Nias Selatan rata-rata curah hujan per tahun 3.022 mm, dan banyaknya hari hujan dalam setahun 254 hari atau rata-rata 21 hari per bulan pada tahun 2008. Akibat banyaknya curah hujan maka kondisi alamnya sangat lembab dan basah. Musim kemarau dan hujan silih berganti dalam setahun.

Di samping itu struktur batuan dan susunan tanah di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan pada umumnya labil, mengakibatkan sering terjadinya patahan pada jalan-jalan aspal dan longsor, demikian juga sering ditemui daerah aliran sungai yang berpindah-pindah.

Keadaan iklim kedua kabupaten ini dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 25,9o C per bulan dengan rata-rata minimum 21,2o C dan rata-rata maksimum 30,3o C. Kecepatan angin rata-rata dalam satu tahun sebesarr 5,6 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata kecepatan maksimum sebesar 19,8 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara. kondisi seperti ini disamping curah hujan yang tinggi mengakibatkan sering terjadinya badai besar. Musim badai laut setiap tahun biasanya terjadi antara bulan


(1)

Lampiran I

Jumlah Penduduk, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Pendapatan Per Kapita, dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias, Tahun 2003-2008

Tahun Jumlah Penduduk

(jiwa)

PDRB (Juta Rupiah)

Pendapatan Per Kapita

(Rupiah)

Pertumbuhan Ekonomi (%)

2003 422170 1532219.01 3615626 7.07

2004 433350 1610824.57 3717144 5.13

2005 441807 1557857.72 3524455 -3.3

2006 442019 1630289.49 3688279 4.65

2007 442548 1738560.13 3928523 6.64


(2)

Lampiran II

PDRB Menurut Lapangan Usaha ADHK 2000 Kabupaten Nias, Tahun 2003-2008 (Miliar Rupiah)

Lapangan Usaha Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pertanian 632,17 655,02 638,20 658,43 684,59 729,96 Petambangan dan

Penggalian 33,34 36,47 36,49 39,93 42,77 44,69 Industri Pengolahan 29,12 30,18 29,01 31,13 31,88 33,29 Listrik, Gas dan Air

Bersih 4,22 4,39 3,80 4,11 4,56 4,93

Bangunan 114,94 127,74 106,65 114,88 141,35 161,61 Perdagangan, Hotel

dan Restoran 375,93 392,11 399,33 415,33 431,94 453,37 Pengangkutan dan

Komunikasi 927,77 100,97 102,51 112,62 124,81 140,66 Keuangan,

Persewaan dan jasa Perusahaan

66,63 72,76 63,14 69,22 73,40 76,64

Jasa-jasa 183,11 191,18 178,41 184,64 203,26 209,91 PDRB 1.532,22 1.610,82 1.557,86 1.630,29 1.738,56 1.855,07

PDRB menurut sektor Agriculture (Primer), Manufacture (Sekunder), dan Services (Tersier) Kabupaten Nias, Tahun 2003-2008 (Miliar Rupiah) TAHUN Agriculture Manufacture Services

2003 665,51 148,27 718,44

2004 691,49 162,31 757,02

2005 674,68 139,46 743,39

2006 698,36 150,12 781,81

2007 727,36 177,79 833,41


(3)

Lampiran III

Jumlah Penduduk, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Pendapatan Per kapita, dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Nias Selatan,

Tahun 2003-2008 Tahun Jumlah

Penduduk (jiwa)

PDRB (Juta Rupiah)

Pendapatan Per Kapita

(Rupiah)

Pertumbuhan Ekonomi (%)

2003 275.422 953.882,71 3.450.234 - 2004 282.715 1.022.159.22 3.615.511 7.16 2005 288.233 1.000.491,01 3.471.119 -2.12 2006 271.016 1.040.370,89 3.838.639 3.99 2007 271.944 1.090.665,66 4.010.626 4.83 2008 272.848 1.150.631,51 4.217.115 5.50


(4)

Lampiran IV

PDRB Menurut Lapangan Usaha ADHK 2000 Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2003-2008 (Miliar Rupiah)

PDRB menurut sektor Agriculture (Primer), Manufacture (Sekunder), dan Services (Tersier) Kabupaten Nias Selatan, Tahun 2003-2008

(Miliar Rupiah)

TAHUN Agriculture Manufacture Services

2003 460,49 97,00 396,40

2004 494,88 104,50 423,59

2005 466,99 111,18 422,32

2006 468,05 121,38 450,95

2007 483,42 133,94 473,31

2008 511,83 147,25 492,55

Lapangan Usaha Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pertanian 449,93 482,37 453,32 453,69 466,87 494,16 Petambangan dan

Penggalian 10,55 12,50 13,67 14,36 16,54 17,67 Industri Pengolahan 11,75 13,67 13,71 14,44 15,95 17,56 Listrik, Gas dan Air

Bersih 1,76 2,91 1,89 2,05 2,20 2,33

Bangunan 83,49 87,92 95,58 104,88 115,79 17,56 Perdagangan, Hotel

dan Restoran 233,72 253,71 245,88 256,95 268,84 278,57 Pengangkutan dan

Komunikasi 53,17 56,84 58,34 63,19 65,83 67,70 Keuangan, Persewaan

dan jasa Perusahaan 33,50 35,50 37,86 40,59 41,58 42,33 Jasa-jasa 76,01 77,55 80,23 90,22 97,05 102,95 PDRB 953,88 1.022,16 1.000,49 1.040,37 1.090,67 1.150,63


(5)

Lampiran V

Jumlah Penduduk, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Pendapatan Per kapita, dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara,

Tahun 2003-2008

Tahun

Jumlah Penduduk

(jiwa)

PDRB (Juta Rupiah)

Pendapatan Per Kapita

(Rupiah)

Pertumbuhan Ekonomi (%) 2003 11890399 78805608.56 6609292 4.41 2004 12123360 83328948.58 6873420 5.74 2005 12326678 87897791.21 7130696 5.48 2006 12643494 93347404.39 7383039 6.2 2007 12834371 99792273.27 7775393 6.9 2008 13042317 106172360.1 8140606 6.3


(6)

Lampiran VI

PDRB Menurut Lapangan Usaha ADHK 2000 Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2003-2008 (Miliar Rupiah)

Lapangan Usaha

Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Pertanian 20.689,49 21.465,42 22.191,30 22.724,49 23.856,15 25.300,64 Petambangan

dan Penggalian 1.130,65 1.009,92 1.074,75 1.119,58 1.229,05 1.304,35 Industri

Pengolahan 19.298,24 20.337,03 21.305,37 22.470,57 23.615,20 24.305,23 Listrik, Gas

dan Air Bersih 660,80 681,20 716,25 738,31 739,92 772,94 Bangunan 4.536,03 4.883,08 5.515,98 6.085,61 6.559,30 7.090,65 Perdagangan,

Hotel dan Restoran

14.353,39 15.230,32 15.984,93 17.095,26 18.386,28 19.515,52 Pengangkutan

dan

Komunikasi

5.905,55 6.702,18 7.379,92 8.259,20 9.076,56 9.883,24 Keuangan,

Persewaan dan jasa

Perusahaan

4.749,77 5077,30 5.440,50 5.977,57 6.720,62 7.479,84

Jasa-jasa 7.481,69 7.942,51 8.288,79 8.876,81 9.669,20 10.519,96 PDRB 78.805,61 83.328,95 87.897,79 93.347,40 99.792,27 106.172,36

PDRB menurut sektor Agriculture (Primer), Manufacture (Sekunder), dan Services (Tersier) Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2003-2008

(Miliar Rupiah)

TAHUN Agriculture Manufacture Services

2003 21.820,14 24.495,06 32.490,40

2004 22.475,34 25.901,31 34.952,30

2005 23.266,06 27.537,60 37.094,13

2006 23.844,07 29.294,49 40.208,84

2007 25.085,20 30.914,41 43.852,65