Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias (Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan)

(1)

KAJIAN DIMENSI SOSIAL POLITIK TERHADAP RENCANA

PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI

DI PULAU NIAS

(Studi Komparatif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD

Kabupaten Nias Selatan)

TESIS

Oleh

ANALISMAN ZALUKHU

067024003/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

KAJIAN DIMENSI SOSIAL POLITIK TERHADAP RENCANA

PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI

DI PULAU NIAS

(Studi Komparatif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD

Kabupaten Nias Selatan)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)

dalam Program Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANALISMAN ZALUKHU

067024003/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : KAJIAN DIMENSI SOSIAL POLITIK TERHADAP RENCANA PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI DI PULAU NIAS (Studi Komparatif pada DPRD

Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan) Nama Mahasiswa : Analisman Zalukhu

Nomor Pokok : 067024003

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Drs. Henry Sitorus, MA) Ketua

(Drs. Sudirman, MSP) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 2 Juni 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Henry Sitorus, MA Anggota : 1. Drs. Sudirman, MSP

2. Drs. H. M. Husni Thamrin, M.Si 3. Drs. Kariono, M.Si


(5)

PERNYATAAN

KAJIAN DIMENSI SOSIAL POLITIK TERHADAP RENCANAPEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI

DI PULAU NIAS

(Studi Komparatif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 2 Juni 2008


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan karena terjadinya perbedaan keputusan politik pada kedua lembaga Dewan di Pulau Nias mengenai pembentukan Provinsi Tapanuli. DPRD Kabupaten Nias tidak menyetujui dan menolak bergabung dalam rencana pembentukan Provinsi Tapanuli sedangkan DPRD Kabupaten Nias Selatan menyetujui pembentukan Provinsi Tapanuli. Kemudian yang dijadikan sebagai responden, masing-masing 40 orang anggota DPRD Kabupaten Nias dan 30 orang anggota DPRD Kabupaten Nias Selatan, sehingga total keselurahan populasi yang menjadi responden adalah 70 orang (total population). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dimensi sosial politik yang melatarbelakangi keputusan DPRD Kabupaten Nias dan untuk mengetahui dimensi sosial politik yang melatarbelakangi keputusan DPRD Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode komparatif dimana data yang digunakan berasal dari survei cross sectional dimana dimensi sosial politik dari Anggota DPRD Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan akan dijadikan sebagai fokus penelitian untuk menjadikan penelitian ini sebagai penelitian dengan rancangan analitik.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa nilai kesukuan ternyata masih mendominasi keputusan DPRD Kabupaten Nias untuk tidak mendukung pemekaran Provinsi Tapanuli. Hal itu berhubungan dengan euforia kesukuan yang terlihat secara spontan karena identifikasi Provinsi Tapanuli dengan suku Batak. Kemudian pengetahuan mengenai konsep otonomi daerah juga sangat menentukan perbedaan keputusan. Pengetahuan tentang otonomi daerah yang kurang dimengerti secara baik dan benar ternyata memberikan kontribusi negatif terhadap penolakan dimaksud hal ini terjadi pada DPRD Kabupaten Nias. Dalam konteks penelitian ini, nilai pribadi ternyata tidak bermakna. Artinya keputusan yang diambil ternyata mengabaikan nilai pribadi yang dimiliki oleh Anggota DPRD, tetapi lebih didominasi oleh perspektif environment determinis yakni keputusan yang diambil oleh individu merupakan cerminan dari kehendak masyarakat dan lingkungan dimana individu tersebut berdomisili. Sosialisasi terhadap pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias ternyata sangat minim sehingga kedepan hal ini perlu mendapat perhatian dari Pemerintah dan Panitia Pemekaran Provinsi Tapanuli.


(7)

ABSTRACT

This research was conducted in Districts of Nias and South Nias due to difference in political decision in two Board in Instituions of Nias Island regarding establisment of Tapanuli Province. Regional Parliament of Nias District di not egree and event refuse to join the establisment plan of Tapanuli Provice, whilw regional Parliement of South Nias District agreed it. The respondents were : 40 members of regional parliament in Nias District, and 30 members regional parliament in South Nias district, thus total population as respondent was 70 peoples (total population). The objective of this research was to know socialpolitical dimension anderlying the decision of regional parliament of Nias District and to know socialpolitical dimension anderlying the decision of regional parliament of South Nias District. This research was conducted by using comparetive method approach in which the data used was gained from cross-sectional survei, and socialpolitical dimension of regional parliament of Nias District and South Nias District should be made as focus of research to make this research as analytical design.

Based on result of research, it could be concluded that value of preference really dominated Regional Parliament of Nias District to not support the expantion of Tapanuli Province. This was related to preference euphoria seen spontaneously because Tapanuli Povince was identified with Batak ethnic group. And the knowledge of regional autonomy concept was determinant of the difference in decision. Inappropriate understanding of regional autonomy in fact, contributed negatively to refusal, as a case in Regional Parlement of Nias District. In this reseacrh context, personal value was insignificant. It means, the decision taken really ignored the personal value possessed by parliament members, but it was more dominated by perspective of environmnet determinis, i.e,. decision taken by individual was reflection of community desire and enviromant in which the individual is living. Sosialization regarding the expantion of Tapanuli Province in Nias Island was in fact very minimum, thus in the future this matter should be considered by Goverment and Committee for Expansion of Tapanuli Province.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur diucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kesehatan dan keselamatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tujuan dari penulisan tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis mengajukan sebuah judul “KAJIAN DIMENSI SOSIAL POLITIK TERHADAP RENCANA PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI DI PULAU NIAS (Studi Komparatif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan).”

Di dalam penulisan ini tidak sedikit hambatan yang penulis temui. Namun, berkat kesungguhan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

3. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai penguji.

4. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Drs. Henry Sitorus, MA, selaku Ketua Pembimbing yang telah membimbing dengan arief dan penuh kesabaran di sela-sela kesibukan beliau. 6. Bapak Drs. Sudiman, MSP, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah

membimbing dengan arief dan penuh kesabaran di sela-sela kesibukan beliau. 7. Bapak Drs. H. M. Husni Thamrin, M.Si, selaku Dosen Pembanding I yang

telah banyak memberikan saran dan kritikan demi kesempurnaan tesis ini. 8. Bapak Drs. Kariono, M.Si, selaku Dosen Pembanding II yang juga telah

banyak memberikan saran dan kritikan demi kesempurnaan tesis ini.

9. Segenap tim pengajar Program Magister Studi Pembangunan (MSP) Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya, yang telah berupaya mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

10. Teman-teman Angkatan IX (Achmad Fadly, Ahmad Muzawwir, Andy Siregar, Dedy Rustam Alamsyah Nst, Denni Rovi S. Meliala, Eli Sudarman, Fahri Azhari, Ghazali Rahman, Hendra Dermawan Siregar, Lantika Purba, Latifah Hanum Daulay, Maya Soraya, Meilani Tarigan, Muhammad Abduh Riza, Murniati, Ody Dody Prasetyo, Onggung P.G. Purba, Pardomuan


(10)

Nasution, Pinta Omastri Pandiangan, Rehia Karenina Isabella Barus, Sri Rahmayani, Syahrul Halim, Syafrida Fitrie, Teuku Al Fiady dan Valdesz Junianto Nainggolan).

11. Seluruh Pegawai Administratif Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Magister Studi Pembagunan (Dina Rahma Nst, S.Sos, Iwan dan Dadek) yang telah memudahkan proses administrasi penulis, dan

12. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan tesis ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Kemudian, khususnya penulis menyampaikan rasa sayang serta terima kasih yang tidak terhingga kepada yang tercinta istriku Adalia Ndruru, SE dan anak – anakku yang tersayang Mercye Zalukhu, Adinda Zalukhu dan Aldrik Juang Zalukhu yang selalu memberi perhatian, dorongan dan kasih sayang pada penulis sehingga memberikan spirit bagi penulis dalam menyelesaikan tesis dan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Ng. Zalukhu dan Ibunda Atiria Lase serta kedua mertua penulis B. Ndruru dan Sarida Hulu yang penulis sadari setiap saat mendo’akan kesuksesan dan kebahagiaan anak dan menantunya. Kepada Saudara penulis Fotarisman Zalukhu, S.KM., M.Si penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.


(11)

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, baik dari berbagai aspek metodologis maupun substansi teoritis lainnya. Oleh sebab itu segala saran dan kritikan demi kesempurnaan tesis ini dengan senang hati penulis terima. Mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi Program Magister Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sebagai khasanah pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah/ DPRD Kabupaten Nias dan Pemerintah/ DPRD Kabupaten Nias Selatan serta pemerhati pemekaran Provinsi Tapanuli. Akhirnya dengan berserah diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa kiranya semua yang kita lakukan menjadi kemuliaan bagi-Nya. Amin.

Medan, 2 Juni 2008 Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Analisman Zalukhu

Tempat/ Tanggal Lahir : Batoto, Nias/ 11 Nopember 1973 Jenis Kelamin : Laki – laki

Agama : Kristen Protestan

Status : Kawin

Nama Ayah : Ng. Zalukhu

Nama Ibu : Atiria Lase

Alamat : Jl. Kapten Purba I, Perumahan Bekal Asri Blok R No. 01 Medan

Pendidikan :

1979 – 1985 : SD Negeri No. 071141 Tefao Nias 1985 – 1988 : SMP Negeri I Gunung Sitoli 1988 – 1991 : SMA Pemda I Gunung Sitoli 1991 – 1995 : FISIP USU Medan

Pengalaman Organisasi :

Ketua Osis SMA Pemda I Gunung Sitoli tahun 1989 – 1991

Wakil Ketua Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi FISIP USU tahun 1992 – 1993 Pendiri LSM Lembaga Pengkajian Strategi Pembagunan Kabupaten Nias tahun 1999


(13)

Wakil Sekretaris PDI Perjuangan Kabupaten Nias tahun 1999 – 2001 Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Nias tahun 2001 – 2006 Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara tahun 2005 – 2010

Pengalaman Kerja :

Pembimbing pada BT/ BS Medica Medan tahun 1994 – 1996 Supervaisor pada PT. Erlangga Cabang Medan tahun 1996 – 1998

Ketua Lintas Pelaku Jaring Pengaman Sosial Kabupaten Nias tahun 1999 – 2000 Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Fraksi PDI Perjuangan tahun 2004 – 2009


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xxiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

BAB I PENDAHULUAN ... .. 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Desentralisasi dalam UU Otonomi Daerah ... 11

2.2 Syarat dan Prosedur Administrasi Pemekaran Wilayah .. 26

2.3 Sejarah Keresidenan Tapanuli ... 35

2.4 Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli ... 37

2.5 Kajian Dimensi Sosial Politik atas Keputusan Politik... 42

2.6 Pemekaran Provinsi Gorontalo (sebagai informasi) ... 56

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 62

3.1 Jenis Penelitian ... 62

3.2 Konsep Penelitian ... 62

3.3 Kerangka Penelitian... 63

3.4 Populasi dan Lokasi Penelitian ... 64

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 64

3.6 Teknik Analisa Data ... 64

3.7 Jadwal Penelitian ... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 67

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitan... 67

4.1.1 Kabupaten Nias... 67

4.1.2 Kabupaten Nias Selatan... 81

4.2 Hasil Penelitian ... 86

4.3 Uji Statistik ... 161


(15)

BAB V PENUTUP ... 176

5.1 Kesimpulan ... 176

5.2 Saran – saran ... 177


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul 1 Konflik antar daerah pascapemekaran ... 32 2 Komitmen DPR pada kepentingan rakyat, pribadi, atau

partai...

52

3 Jadwal penelitian ... 65

4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (Anggota DPRD Kabupaten Nias) ... 86 5 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

(Anggota DPRD Kabupaten Nias Selatan) ……….. 86 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

(Anggota DPRD Kabupaten Nias) ………... 87 7 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

(Anggota DPRD Kabupaten Nias Selatan) ... 87 8 Otonomi daerah merupakan sebuah upaya memperkuat sendi

NKRI mengingat NKRI adalah sebuah keputusan bersama dari the founding father yang telah berjuang untuk

kemerdekaan RI ………... 88

9 Otonomi daerah merupakan sebuah pilihan sulit yang harus dibuat oleh para penentu keputusan kala itu, di bawah bayang-bayang kemungkinan terjadinya federalisme ……….. 89 10 Otonomi daerah melanggar hak hukum warga negara yang

menginginkan tetap terjalinnya persatuan dan kesatuan NKRI

dari Sabang sampai Merauke ………... 90 11 Landasan hukum konsep otonomi daerah tertuang di dalam

konstitusi UUD 1945 dan perubahan-perubahannya ……... 90 Halaman


(17)

12 Konsep otonomi daerah berarti pemberian kewenangan kepada daerah seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri ………... 91 13 UU No. 32/ 2004 merupakan penerjemahan dari niat

mengenai otonomi daerah dan yang sekarang digunakan sebagai landasan pokok dalam membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan daerah otonom ... 91 14 Otonomi daerah berada di bawah kendali MPR dan DPR

serta DPD sebagai pemilik kedaulatan yang terepresentasi dalam pemilihan umum mengenai pemilihan langsung ... 92 15 Otonomi daerah saat ini dalam pelaksanaannya terdapat

sejumlah kendala dan kelemahan-kelemahan ... 92 16 Pembentukan sebuah daerah baru mengacu kepada

kemampuan daerah, keinginan masyarakat lokal serta political will pemerintah pusat ... 93 17 Sejak kebijakan otonomi daerah dilaksanakan, telah muncul

banyak daerah baru, yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan saat belum ditetapkannya kebijakan otonomi daerah ... 93 18 Otonomi daerah membedakan konsep sentralisasi,

desentralisasi, dan dekonsentrasi secara tegas dan jelas ... 94 19 Otonomi daerah akan meningkatkan partisipasi politik

masyarakat lokal ...

94 20 Otonomi daerah merupakan sebuah upaya memperkuat sendi

NKRI mengingat NKRI adalah sebuah keputusan bersama dari the founding fathers yang telah berjuang untuk kemerdekaan RI ... 95 21 Otonomi daerah merupakan sebuah pilihan sulit yang harus

dibuat oleh para penentu keputusan kala itu, di bawah bayang-bayang kemungkinan terjadinya federalisme ………. 95 22 Otonomi daerah melanggar hak hukum warga negara yang

menginginkan tetap terjalinnya persatuan dan kesatuan NKRI


(18)

23 Landasan hukum konsep otonomi daerah tertuang di dalam konstitusi UUD 1945 dan perubahan-perubahannya ………... 96 24 Konsep otonomi daerah berarti pemberian kewenangan

kepada daerah seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri ………... 97 25

UU No. 32/ 2004 merupakan penerjemahan dari niat mengenai otonomi daerah dan yang sekarang digunakan sebagai landasan pokok dalam membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan daerah otonom ... 97 26 Otonomi daerah berada di bawah kendali MPR dan DPR

serta DPD sebagai pemilik kedaulatan yang terepresentasi dalam pemilihan umum mengenai pemilihan langsung ... 98 27 Otonomi daerah saat ini dalam pelaksanaannya terdapat

sejumlah kendala dan kelemahan-kelemahan ... 98 28 Pembentukan sebuah daerah baru mengacu kepada

kemampuan daerah, keinginan masyarakat lokal serta political will pemerintah pusat ... 99 29 Sejak kebijakan otonomi daerah dilaksanakan, telah muncul

banyak daerah baru, yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan saat belum ditetapkannya kebijakan otonomi daerah ... 99 30 Otonomi daerah membedakan konsep sentralisasi,

desentralisasi, dan dekonsentrasi secara tegas dan jelas ... 100 31 Otonomi daerah akan meningkatkan partisipasi politik

masyarakat lokal ... 100 32 Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli erat kaitannya

dengan masalah sejarah di masa lalu yang melibatkan peristiwa historis pembentukan keresidenan ... 101 33 Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan gagasan

yang telah diakomodir oleh pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui adanya tim peneliti kelayakan yang secara independen diberikan wewenang untuk memberikan masukan kepada Gubernur ... 101


(19)

34 Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli diwarnai oleh keinginan untuk meningkatkan percepatan pembangunan pantai Barat yang lebih lambat pertumbuhannya dibandingkan dengan kawasan Pantai Timur ………..

102 35 Penentuan calon ibu kota provinsi adalah salah satu masalah

yang sampai sekarang masih mengganjal dalam usulan pembentukan Provinsi Tapanuli ... 103 36 Masih pro kontranya pembentukan Provinsi Tapanuli

memperlihatkan masih belum padunya pengamatan seluruh warga masyarakat dalam melihat latar belakang, tujuan dan mekanisme pembentukan Provinsi Tapanuli ... 103 37 Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli tidak melibatkan

seluruh eks Keresidenan Tapanuli sejak awal, termasuk masyarakat di Kabupaten Nias ... 104 38 Deklarasi masyarakat di Tarutung adalah salah satu moment

penting dukungan masyarakat yang cukup luas terhadap pembentukan Provinsi Tapanuli ... 104 39 Pimpinan DPRD Sumatera Utara telah mengeluarkan

rekomendasi untuk mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli, namun juga mengeluarkan rekomendasi mengenai adanya suara yang kontra terhadap rencana usulan pembentukan Provinsi Tapanuli ……….. 105 40 Sampai dengan saat ini sudah ada 7 daerah tingkat II yang

secara institusional, DPRD dan Kepala Daerah menyetujui usulan bergabung dengan Provinsi Tapanuli ………... 105 41 Sesungguhnya daerah-daerah eks keresidenan Tapanuli

belum layak dimekarkan untuk menjadi satu provinsi ... 106 42 Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli juga

mengikutsertakan Kabupaten Nias dan Nias Selatan, meski secara budaya kedua wilayah ini tidak begitu dekat dengan wilayah lain yang berada di kawasan bekas Keresidenen Tapanuli ... 106


(20)

43 Pembentukan Provinsi Tapanuli akan memberikan manfaat bagi kemajuan masyarakat di Kabupaten Nias ... 107 44 Pembentukan Provinsi Tapanuli lebih didominasi oleh

kepentingan ekonomi sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan keinginan masyarakat eks Keresidenan

Tapanuli ………... 107

45

Pembentukan Provinsi Tapanuli lebih didominasi oleh kepentingan politik sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan keinginan masyarakat eks Keresidenan Tapanuli ... 108 46

Jarak Kabupaten Nias dengan rencana ibukota Provinsi Tapanuli merupakan pertimbangan yang penting dalam mendukung Pembentukan Provinsi Tapanuli ...

108 47

Dukungan jalan dan alat pengangkutan (transportasi) merupakan pertimbangan yang penting dalam mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli ...

109 48

Pembentukan Provinsi Tapanuli perlu, mengingat demikian luasnya wilayah Provinsi Sumatera Utara yang sekarang sehingga berpotensi mengurangi perhatian Pemprovsu pada Kabupaten Nias ...

109 49

Dukungan dari pemerintahan Provinsi Sumatera Utara untuk mewujudkan Provinsi Tapanuli selama ini masih sangat minim ... 110

50

Pembentukan Provinsi Tapanuli akan memberikan manfaat yang besar bagi pengembangan birokrasi, penampungan tenaga kerja, serta pembangunan infrastruktur yang lebih baik di Kabupaten Nias ...

110 51

Pembentukan Provinsi Tapanuli akan menambah alokasi APBD setiap tahun ke Kabupaten Nias ...

111 52

Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli erat kaitannya dengan masalah sejarah di masa lalu yang melibatkan peristiwa historis pembentukan keresidenan ... 111 53

Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan gagasan yang telah diakomodir oleh pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui adanya tim peneliti kelayakan yang secara


(21)

independen diberikan wewenang untuk memberikan masukan kepada Gubernur ... 112

54

Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli diwarnai oleh keinginan untuk meningkatkan percepatan pembangunan pantai Barat yang lebih lambat pertumbuhannya dibandingkan dengan kawasan pantai Timur ………... 113 55

Penentuan calon ibu kota provinsi adalah salah satu masalah yang sampai sekarang masih mengganjal dalam usulan pembentukan Provinsi Tapanuli ... 113 56 Masih pro kontranya pembentukan Provinsi Tapanuli

memperlihatkan masih belum padunya pengamatan seluruh warga masyarakat dalam melihat latar belakang, tujuan dan mekanisme pembentukan Provinsi Tapanuli ... 114 57 Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli tidak melibatkan

seluruh eks Keresidenan Tapanuli sejak awal, termasuk masyarakat di Kabupaten Nias Selatan ... 114 58 Deklarasi masyarakat di Tarutung adalah salah satu moment

penting dukungan masyarakat yang cukup luas terhadap pembentukan Provinsi Tapanuli ... 115 59 Pimpinan DPRD Sumatera Utara telah mengeluarkan

rekomendasi untuk mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli, namun juga mengeluarkan rekomendasi mengenai adanya suara yang kontra terhadap rencana usulan pembentukan Provinsi Tapanuli ………... 115 60 Sampai dengan saat ini sudah ada 7 daerah tingkat II yang

secara institusional, DPRD dan Kepala Daerah menyetujui usulan bergabung dengan Provinsi Tapanuli ………... 116 61 Sesungguhnya daerah-daerah eks keresidenan Tapanuli

belum layak dimekarkan untuk menjadi satu provinsi ... 116 62 Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli juga

mengikutsertakan Kabupaten Nias Selatan, meski secara budaya kedua wilayah ini tidak begitu dekat dengan wilayah lain yang berada di kawasan bekas Keresidenen Tapanuli ... 117 Pembentukan Provinsi Tapanuli akan memberikan manfaat


(22)

63 bagi kemajuan masyarakat di Kabupaten Nias Selatan ... 117

64 Pembentukan Provinsi Tapanuli lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan keinginan masyarakat eks Keresidenan

Tapanuli ………... 118

65 Pembentukan Provinsi Tapanuli lebih didominasi oleh kepentingan politik sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan keinginan masyarakat eks Keresidenan ... 118 66 Jarak Kabupaten Nias Selatan dengan rencana ibukota

Provinsi Tapanuli merupakan pertimbangan yang penting dalam mendukung Pembentukan Provinsi Tapanuli ... 119 67 Dukungan jalan dan alat pengangkutan (transportasi)

merupakan pertimbangan yang penting dalam mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli ... 120 68 Pembentukan Provinsi Tapanuli perlu, mengingat demikian

luasnya wilayah Provinsi Sumatera Utara yang sekarang sehingga berpotensi mengurangi perhatian Pemprovsu pada Kabupaten Nias Selatan ... 120 69 Dukungan dari pemerintahan Provinsi Sumatera Utara untuk

mewujudkan Provinsi Tapanuli selama ini masih sangat minim ... 121 70 Pembentukan Provinsi Tapanuli akan memberikan manfaat

yang besar bagi pengembangan birokrasi, penampungan tenaga kerja, serta pembangunan infrastruktur yang lebih baik di Kabupaten Nias Selatan ... 121 71 Pembentukan Provinsi Tapanuli akan menambah alokasi

APBD setiap tahun ke Kabupaten Nias Selatan ... 122 72 Keputusan partai merupakan otoritas yang saya yakini harus

dijalankan apapun konsekuensinya termasuk dalam keputusan saya terhadap Provinsi Tapanuli ... 123 73 Pilihan yang berhubungan dengan kebijakan yang


(23)

seluruh aspek yang ada ... 123

74 Masalah otonomi semisal rencana pembentukan Provinsi Tapanuli adalah masalah yang menentukan dan harus dipikirkan dengan matang ... 124 75

Otonomi adalah sebuah pertanggung-jawaban politik yang harus diperjuangkan oleh wakil rakyat pasca reformasi dan tuntutan adanya desentralisasi sebagai pengejawantahan UU No. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah …………. 124 76 Konsekuensi dari tindakan politik adalah risiko yang harus

ditanggung oleh anggota DPRD dipertanggungjawabkan kepada masyarakat yang diwakili ... 125 77 Masyarakat memiliki peran penting untuk menentukan arah

otonomi dan pemekaran daerah termasuk dalam rencana pembe tukan Provinsi Tapanuli ... 126 78 Anggota DPRD sejatinya bertanggung-jawab kepada

masyarakat melalui mekanisme pertemuan dengan konstituen, termasuk dalam memutuskan pilihan pembentukan Provinsi Tapanuli ……….. 126 79 Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli adalah isu penting

yang sangat menentukan nasib masyarakat yang saya wakili dan keputusan DPRD Kabupaten Nias tentang itu sudah tepat... 127 80 Mendukung atau tidak mendukung pembentukan Provinsi

Tapanuli amat bergantung pada sikap dan dukungan anggota DPRD Kabupaten Nias ... 128 81 Arah otonomi daerah di daerah ini masih belum bisa menjadi

konsep penting dalam merumuskan pilihan mendukung Provinsi Tapanuli ………. 128 82 Keputusan DPRD Kabupaten Nias mengenai rencana

pembentukan Provinsi Tapanuli telah dibahas dengan matang di DPRD Kabupaten Nias serta mengakomidir saran dan masukan dari organisasi-organisasi sosial yang ada ... 129


(24)

83 Keputusan DPRD Kabupaten Nias tentang pembentukan Provinsi Tapanuli sesungguhnya secara pribadi saya tidak

sependapat ……… 130

84 Keputusan tentang Provinsi Tapanuli didasarkan pada pendapat tokoh masyarakat di Kabupaten Nias ………... 130 85

Pemberitaan media massa mengenai kegiatan dan harapan-harapan ke depan mengenai Provinsi Tapanuli turut mempengaruhi sikap dan dukungan anggota DPRD Kabupaten Nias dalam mengambil keputusan tentang Provinsi Tapanuli ... 131 86 Kehadiran dan sosialisasi dari panitia pemekaran

pembentukan Provinsi Tapanuli kepada masyarakat di Kabupaten Nias sesungguhnya sangat diharapkan selama ini.. 132 87 Nasihat dari sesama anggota DPRD perlu dipertimbangkan

untuk menyetujui atau tidak menyetujui pembentukan Provinsi Tapanuli ………. 132 88 Keputusan partai merupakan otoritas yang saya yakini harus

dijalankan apapun konsekuensinya termasuk dalam keputusan saya terhadap Provinsi Tapanuli ... 133 89 Pilihan yang berhubungan dengan kebijakan yang

mempengaruhi masyarakat luas mutlak mempertimbangkan seluruh aspek yang ada ... 134 90 Masalah otonomi semisal rencana pembentukan Provinsi

Tapanuli adalah masalah yang menentukan dan harus dipikirkan dengan matang ... 134 91 Otonomi adalah sebuah pertanggung-jawaban politik yang

harus diperjuangkan oleh wakil rakyat pasca reformasi dan tuntutan adanya desentralisasi sebagai pengejawantahan UU No. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah …………. 135 92 Konsekuensi dari tindakan politik adalah risiko yang harus

ditanggung oleh anggota DPRD dipertanggungjawabkan kepada masyarakat yang diwakili ... 136 Masyarakat memiliki peran penting untuk menentukan arah


(25)

93 otonomi dan pemekaran daerah termasuk dalam rencana pembentukan Provinsi Tapanuli ... 136 94 Anggota DPRD sejatinya bertanggung-jawab kepada

masyarakat melalui mekanisme pertemuan dengan konstituen, termasuk dalam memutuskan pilihan pembentukan Provinsi Tapanuli ……….. 137 95

Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli adalah isu penting yang sangat menentukan nasib masyarakat yang saya wakili dan keputusan DPRD Kabupaten Nias Selatan tentang itu sudah tepat ... 138 96 Mendukung atau tidak mendukung pembentukan Provinsi

Tapanuli amat bergantung pada sikap dan dukungan anggota DPRD Kabupaten Nias Selatan ... 138 97 Arah otonomi daerah di daerah ini masih belum bisa menjadi

konsep penting dalam merumuskan pilihan mendukung Provinsi Tapanuli ………. 139 98 Keputusan DPRD Kabupaten Nias Selatan mengenai rencana

pembentukan Provinsi Tapanuli telah dibahas dengan matang di DPRD Kabupaten Nias Selatan serta mengakomidir saran dan masukan dari organisasi-organisasi sosial yang ada ... 140 99 Keputusan DPRD Kabupaten Nias Selatan tentang

pembentukan Provinsi Tapanuli sesungguhnya secara pribadi saya tidak sependapat ………... 140 100 Keputusan tentang Provinsi Tapanuli didasarkan pada

pendapat tokoh masyarakat di Kabupaten Nias Selatan …….. 141 101 Pemberitaan media massa mengenai kegiatan dan

harapan-harapan ke depan mengenai Provinsi Tapanuli turut mempengaruhi sikap dan dukungan anggota DPRD

Kabupaten Nias Selatan dalam mengambil keputusan tentang Provinsi Tapanuli ... 142 102 Kehadiran dan sosialisasi dari panitia pemekaran

pembentukan Provinsi Tapanuli kepada masyarakat di Kabupaten Nias Selatan sesungguhnya sangat diharapkan


(26)

103

Nasihat dari sesama anggota DPRD perlu dipertimbangkan untuk menyetujui atau tidak menyetujui pembentukan

Provinsi Tapanuli ………. 143 104 Nilai budaya harus tetap menjadi pegangan meski berada

dalam lingkungan politik ... 144 105

Masih banyak nilai budaya yang berguna dalam otonomi daerah semisal budaya bermusyawarah dan mengambil keputusan yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung keputusan politik dan yang selama ini selalu dimanfaatkan

oleh DPRD ………... 144

106

Untuk menentukan arah politik, perlu tetap

mempertimbangkan budaya yang ada di masyarakat ... 145

107

Rencana pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan inisiatif yang tidak berakar pada budaya Nias ………..

145 108

Jikalau didukung, Provinsi Tapanuli kelak akan mengadopsi budaya yang ada di Pulau Nias dan mengembangkannya dengan lebih maksimal ………

146 109

Suku Nias memiliki posisi yang sejajar dalam mutu budaya dengan suku lain ...

147 110 Suku Nias seharusnya menjadi suku yang mendominasi dan

menentukan keputusan pembentukan Provinsi Tapanuli ... 147 111

Suku Nias harus dibangun secara independen untuk kelak menjadi provinsi mandiri di wilayah Sumatera Utara ...

148 112

Pengambilan keputusan di bidang otonomi daerah seharusnya melibatkan para tokoh adat dan budaya Nias ...

148 113

Budaya Nias akan terancam jika berada di dalam Provinsi Tapanuli ...

149 114

Untuk keberhasilan pembentukan Provinsi Tapanuli maka seharusnya seluruh suku dan budaya yang ada pada eks Keresidenan Tapanuli harus diberdayakan tanpa ada yang merasa ditinggalkan ... 149 Bila pembentukan Provinsi Tapanuli disetujui oleh Pemerintah Pusat dan dan Kabupaten Nias tetap dimasukkan


(27)

115 di dalamnya, maka masyarakat dan DPRD Kabupaten Nias akan menerimanya ... 150 116

Prinsip otonomi yang diserahkan kepada Kabupaten/ Kota, karena itu pembentukan Provinsi Tapanuli tidak menambah atau mengurangi otonomi Kabupaten Nias ... 151 117 Terbentuknya Provinsi Tapanuli akan membuka peluang

yang lebih besar untuk menjadi anggota DPRD Provinsi ... 151 118 Terbentuknya Provinsi Tapanuli akan meningkatkan

kehidupan ekonomi, sosial dan politik masyarakat di Kabupaten Nias ... 152 119 Nilai budaya harus tetap menjadi pegangan meski berada

dalam lingkungan politik ... 152 120 Masih banyak nilai budaya yang berguna dalam otonomi

daerah semisal budaya bermusyawarah dan mengambil keputusan yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung keputusan politik dan yang selama ini selalu dimanfaatkan

oleh DPRD ………... 153

121 Untuk menentukan arah politik, perlu tetap mempertimbangkan budaya yang ada di masyarakat ... 154 122 Rencana pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan inisiatif

yang tidak berakar pada budaya Nias Selatan ………. 154 123 Jikalau didukung, Provinsi Tapanuli kelak akan mengadopsi

budaya yang ada di Pulau Nias dan mengembangkannya dengan lebih maksimal ……… 155 124 Suku Nias memiliki posisi yang sejajar dalam mutu budaya

dengan suku lain ... 155 125 Suku Nias seharusnya menjadi suku yang mendominasi dan

menentukan keputusan pembentukan Provinsi Tapanuli ... 156 126 Suku Nias harus dibangun secara independen untuk kelak

menjadi provinsi mandiri di wilayah Sumatera Utara ... 157 Pengambilan keputusan di bidang otonomi daerah seharusnya


(28)

127 melibatkan para tokoh adat dan budaya Nias Selatan ... 157

128 Budaya Nias Selatan akan terancam jika berada di dalam Provinsi Tapanuli ... 158 129

Untuk keberhasilan pembentukan Provinsi Tapanuli maka seharusnya seluruh suku dan budaya yang ada pada eks Keresidenan Tapanuli harus diberdayakan tanpa ada yang merasa ditinggalkan ... 158 130 Bila pembentukan Provinsi Tapanuli disetujui oleh

Pemerintah Pusat dan dan Kabupaten Nias Selatan tetap dimasukkan di dalamnya, maka masyarakat dan DPRD Kabupaten Nias Selatan akan menerimanya ... 159 131 Prinsip otonomi yang diserahkan kepada Kabupaten/ Kota,

karena itu pembentukan Provinsi Tapanuli tidak menambah atau mengurangi otonomi Kabupaten Nias Selatan ... 160 132 Terbentuknya Provinsi Tapanuli akan membuang peluang

yang lebih besar untuk menjadi anggota DPRD Provinsi ... 160 133 Terbentuknya Provinsi Tapanuli akan meningkatkan

kehidupan ekonomi, sosial dan politik masyarakat di Kabupaten Nias Selatan ... 161 134 Hasil Uji Statistik ... 162


(29)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul

1 Kerangka penelitian ………. 63 Halaman


(30)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Daftar kuesioner Kabupaten Nias ………. 181 2 Daftar kuesioner Kabupaten Nias Selatan……….. 203


(31)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keinginan sebagian masyarakat dan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif di beberapa kabupaten/kota eks keresidenan Tapanuli untuk membentuk provinsi Tapanuli di wilayah Sumatera Utara menarik untuk dikaji dan didalami secara ilmiah karena ternyata beberapa kabupaten/kota yang merupakan eks keresidenan Tapanuli telah menyatakan keputusan politiknya untuk menolak bergabung dalam rencana pembentukan provinsi Tapanuli dimaksud. Singkatnya dapat dikatakan bahwa dalam rencana pembentukan provinsi ini telah terjadi pro dan kontra pada kabupaten/kota, silang pendapat berbagai kalangan, baik di daerah maupun di pusat, mobilisasi massa untuk melakukan demonstrasi di lembaga-lembaga pemerintahan, munculnya isu primordialisme etnik, Isu SARA sampai pada sinyalemen pemaksaan kehendak dari sekelompok orang.

Yang lebih menarik lagi untuk dikaji adalah lahirnya keputusan politik di pulau Nias yang diimplementasikan dalam bentuk keputusan dewan. DPRD Kabupaten Nias yang memiliki anggota 40 orang telah mengeluarkan Keputusan DPRD Kabupaten Nias No: 02/KPTS-DPRD/2007 tentang pernyataan pendapat terhadap rencana pembentukan Provinsi Tapanuli Pasal 3 keputusan DPRD Kabupaten Nias tersebut menyatakan tidak menyetujui dan menolak Kabupaten Nias bergabung dan atau digabungkan dalam wilayah Provinsi Tapanuli dan tetap eksis


(32)

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Provinsi Sumatera Utara sementara itu Kabupaten Nias Selatan yang memiliki anggota DPRD sebanyak 30 orang teleh mengeluarkan Keputusan DPRD Kabupaten Nias Selatan No: 04/KPTS/2006 tentang Persetujuan Pembentukan Provinsi Tapanuli menyatakan bahwa DPRD Kabupaten Nias Selatan menyetujui pembentukan Provinsi Tapanuli dan bergabung didalamnya.

Berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten Nias yang berseberangan dengan keputusan DPRD Kabupaten Nias Selatan muncul dua pertanyaan. Pertama, apa mungkin satu pulau ini nantinya dibelah menjadi dua provinsi? Kedua atau hal ini merupakan cara untuk menggagalkan pembentukan provinsi Tapanuli?

Pada pertemuan tanggal 3 Mei 2007 antara Panitia Khusus DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan eksekutif dan ketua DPRD Kabupaten/Kota di wilayah rencana Provinsi Tapanuli, Wakil Bupati Nias menyatakan bahwa ada beberapa pertimbangan sehingga Kabupaten Nias tidak karena bergabung dengan rencana pembentukan Provinsi Tapanuli antara lain dari segi historis pembentukan Provinsi Tapanuli pada awalnya direncanakan sebagai salah satu manifestasi eks keresidenan Tapanuli, ternyata daerah Kabupaten/kota yang tergabung dalam eks keresidenan tersebut tidak dilibatkan seluruhnya.

Ditambahkannya, dari aspek geografis, kepulauan Nias terpisah 92 mil laut dari daratan pulau Sumatera. Bila dilihat dari sarana dan prasarana transportasi yang tersedia saat ini, jarak tempuh Gunung Sitoli-Medan hanya 50 menit dengan pesawat udara dibandingkan dengan perjalanan laut sekitar 10 jam Gunung Sitoli-Sibolga


(33)

ditambah perjalanan darat sekitar lima jam dari Sibolga–Siborongborong yang diusulkan sebagai calon ibukota provinsi Tapanuli nantinya (Waspada, 4 Mei 2007).

Pada pertemuan masyarakat Nias di kota Medan dengan pemerintah Kabupaten Nias dalam rangka pelantikan panitia pemekaran kota Gunung Sitoli di Balai Rasa Sayang Hotel Polonia medan, pada pertengahan Mei 2007, Ketua DPRD Kabupaten Nias Selatan menegaskan bahwa keputusan mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli sudah final dalam paripurna DPRD Kabupaten Nias Selatan karena pemekaran membawa banyak manfaat bagi masyarakat, sambil mencontohkan kahidupan masyarakatnya di wilayah Kabupaten Nias Selatan yang makin baik dan hal tersebut merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Nias. Kondisi inilah yang terjadi dalam rencana pemekaran provinsi Tapanuli di Pulau Nias.

Di tingkat Provinsi Sumatera utara, Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara dan Gubernur Sumatera Utara telah mengeluarkan dua surat tentang aspirasi masyarakat atas rencana pemekaran Provinsi Sumatera Utara ini, yakni satu surat tentang adanya aspirasi masyarakat yang setuju dengan pembentukan provinsi Tapanuli, dan satu surat juga tentang adanya aspirasi masyarakat yang menolak pembentukan provinsi Tapanuli.

Kalau dilihat kebelakang, UU No.22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 tahun 2004 merupakan landasan hukum yang membawa konsekuensi amat penting pascawacana demokrasi yang berkembang di tahun 1998. Dengan lahirnya UU tersebut wajah Indonesia berubah begitu cepat dan memiliki


(34)

sebuah dasar hukum bagi perubahan-perubahan lain secara khusus dalam penataan pembangunan di negara kita, termasuk dalam hal otonomi dan pemekaran daerah.

Berbagai perubahan yang muncul dari lahirnya UU tersebut di atas antara lain bisa dilihat dari segi politik segi pemerintahan. Dari sistem politik saja, dihasilkan paket UU politik, yaitu mengenai pembentukan Partai Politik, Pemilu Legislatif, dan Dewan Perwakilan Daerah.

Dari sistem pemerintahan, lahir pula konsep pemerintahan daerah. Daerah kemudian menjadi sebuah sistem yang mendapatkan perlakuan dan kebijakan khusus dari pemerintah, tapi bukan menjadi bagian dari Pemerintah Pusat. Pada saat yang sama, perubahan lain yang tidak kalah penting adalah dijadikannya daerah-daerah Indonesia sebagai penanggungjawab dari sejumlah kegiatan pembangunan yang dilimpahkan kepada daerah oleh pusat.

Memang, ditinjau dari sejarahnya, pemekaran daerah adalah sebuah konsep di mana masyarakat harus belajar untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri melalui pembangunan yang diselenggarakan dan merupakan skenarion sebagai skenario baru dari pembangunan model sentralistik yang sebelumnya menjadi konsep pembangunan di bawah Orde Baru. Masyarakat Indonesia harus belajar untuk mengurus dirinya sendiri, karena hal tersebut dimungkinkan sekali dalam penerapan UU mengenai pemerintahan daerah tadi. Tanggungjawab yang dimaksud bukan hanya dengan memberikan pajak kepada daerahnya sendiri, namun mengandung beban bahwa pemerintah di daerah baru harus benar-benar diawasi dan diperhatikan.


(35)

Konsep ini sebelumnya amat mustahil ditemukan. Biasanya masyarakat hanya menjadi penonton yang baik. Tidak pernah dilibatkan apalagi diharapkan peranannya. Namun dengan adanya jaminan dalam pemerintahan daerah tadi, melalui berbagai mekanisme yang didisain untuk itu, partisipasi publik di segala bidang memang kelihatannya semakin meningkat.

Salah satu isu penting yang menarik untuk dibahas pascapenerapan UU pemerintahan daerah adalah mengenai pembentukan daerah. Pembentukan daerah diatur dalam UU mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU No. 32 Bab II Pasal 4 Ayat (3), menyatakan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan berbagai daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari suatu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Untuk pembentukan daerah tersebut, sejumlah syarat disebutkan antara lain syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan, sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 5 Ayat (1) sampai dengan (5).

Pembentukan daerah di Indonesia selama tujuh tahun terakhir memang berjalan dengan cepat. Selama kurun waktu tahun 1999 hingga tahun 2007 sudah terbentuk 173 daerah otonom baru, yang terdiri dari tujuh provinsi, 135 Kabupaten dan 31 kota, sehingga pada tahun 2007 jumlah keseluruhan Daerah Otonom adalah 492 yang terdiri dari 33 provinsi dan 459 Kabupaten/kota (Kompas, 15 September 2007).

Bila di bandingkan sejak awal kemerdekaan, Indonesia hanya terdiri dari delapan provinsi, yakni Sumatera, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Ini berarti, selama 62 tahun


(36)

Indonesia Merdeka, seusai lepasnya Timor-Timur, jumlah provinsi membengkak menjadi 33 provinsi. Bahkan sekarang ini masih terdapat usulan pembentukan daerah baru yang mengantri pembahasan di DPR RI (Komisi II).

Dalam Pasal 2 PP No. 129 Tahun 2000 disebutkan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat. b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.

c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah. d. Percepatan pengelolaan potensi daerah.

e. Peningkatan keamanan dan ketertiban.

f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Menurut Tri Ratnawati (2006: 333), minimal ada empat faktor pendorong/penyebab tingginya semangat elit-elit daerah untuk melakukan pemekaran wilayah, yakni:

1. Dalam rangka efektifitas/efesiensi (administrative dispersion) mengingat wilayah yang begitu luas, penduduk yang menyebar dan ketertinggalan pembangunan.

2. Kecenderungan untuk melakukan homogenisasi daerah berdasarkan etnis, bahasa,agama dan lain-lain.

3. Adanya kemajuan fiskal yang dijamin oleh undang-undang bagi daerah-daerah pemekaran seperti DAU,bagi hasil dari SDA,PAD dan lain-lain.


(37)

4. Bureaucratic and political rent- seeking yaitu motif elit-elit tertentu (lokal maupun nasional) untuk memburu rente atau mengejar keuntungan ekonomis dan politis melalui pemekaran.

Apapun alasan dari daerah-daerah yang berencana melakukan pemekaran wilayah, kenyataannya sampai saat ini semangat untuk melakukan pemekaran, baik pemekaran provinsi maupun Kabupaten kota terus berlangsung. Salah satu rencana pembentukan daerah yang sedang digagas di Provinsi Sumatera Utara adalah usulan membentuk Provinsi Tapanuli (Protap).

Rencana Protap awalnya digagas oleh sekelompok masyarakat yang membawa ide Keresidenan Tapanuli yang sampai sekarang masih belum terbentuk. Lagipula, ada kesan bahwa selama ini terjadi kesenjangan antara kawasan pantai Barat dengan kawasan pantai Timur di wilayah Sumatera Utara yang sudah terlebih dahulu maju. Setelah mengalami berbagai tarik ulur, usulan ini kemudian diperkuat oleh kajian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hasil kajian kemudian dibawa oleh tim yang dibentuk secara terpadu sebagai usulan yang lebih komprehensif.

Namun yang terlihat adalah bahwa usulan pembentukan Protap telah membawa pro dan kontra, bukan saja pada Provinsi Sumatera Utara sendiri, namun juga pada daerah masing-masing yang direncanakan menjadi daerah yang bergabung bersama Provinsi Tapanuli. Salah satu di antaranya dapat dilihat pada keputusan yang berbeda yang dihasilkan oleh DPRD. DPRD Kabupaten Nias Selatan, ternyata memberikan rekomendasi berupa dukungan kesediaan untuk bergabung dengan rencana Provinsi Tapanuli, sementara DPRD dari daerah yang sama-sama berada


(38)

dalam wilayah geografis serupa, yaitu DPRD Kabupaten Nias, justru menghasilkan rekomendasi penolakan.

George Carslake Thomson (Harun, 2006: 152) menyatakan bahwa ada tiga sebab utama yang melatarbelakangi perbedaan pendapat khususnya terhadap peristiwa-peristiwa politik yang terjadi, yakni: pertama, perbedaan pendapat terhadap fakta. Kedua, perbedaan estimasi tentang cara mencapai tujuan yang lebih baik. Ketiga, penghayatan yang berbeda tentang tujuan yang hendak dicapai.

Kajian terhadap perbedaan sikap pada kedua lembaga DPRD ini amat penting untuk dilihat dengan baik. Sikap DPRD, tidak dapat dipungkiri, merupakan sebuah sikap elit yang amat menentukan dalam pembentukan daerah. Karena itu perbedaan ini mungkin sebagai sebuah representasi dari kondisi dan situasi masyarakat di daerah tersebut.

Dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu, setidaknya setiap orang termasuk elit politik sekalipun, harus mempertimbangkan dua hal. Pertama, hal-hal yang berasal dari wacana internalnya sendiri. Kedua, hal-hal yang berhubungan dengan wacana eksternal. Kombinasi atas kedua hal ini akan melahrikan sebuah sikap yang terimplementasikan dengan keputusan-keputusan, termasuk dalam bidang politik.


(39)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini mencoba mengungkapkan secara ilmiah dimensi-dimensi sosial politik yang terdapat pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan sehingga terjadi keputusan yang berbeda atas rencana pembentukan Protap pada hal secara geografis kedua Kabupaten ini berada dalam satu kepulauan Nias dengan aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, seperti aspek budaya, religi, suku, mata pencarian dan lain sebagainya yang relatif homogen, namun dalam rencana pembentukan Provinsi Tapanuli keputusan DPRDnya ternyata berbeda.

Berdasarkan hal tersebut, ada dua masalah penelitian yang muncul, yakni: 1. Apa dimensi sosial-politik yang melatarbelakangi keputusan DPRD

Kabupaten Nias atas rencana pembentukan Provinsi Tapanuli?

2. Apa dimensi sosial-politik yang melatarbelakangi keputusan DPRD Kabupaten Nias Selatan atas rencana pembentukan Provinsi Tapanuli?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dimensi sosial-politik yang melatarbelakangi keputusan DPRD Kabupaten Nias.

2. Mengetahui dimensi sosial-politik yang melatarbelakangi keputusan DPRD Kabupaten Nias Selatan.


(40)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan kajian publik mengenai rencana pembentukan Provinsi Tapanuli. Kajian ini dapat digunakan sebagai perbandingan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai dimensi sosial politik dari usulan pembentukan provinsi tersebut.

2. Sebagai kajian penting dalam upaya melihat dengan lebih baik peta sosial politik di Pulau Nias yang berhubungan dengan pembentukan daerah, dalam hal ini rencana Provinsi Tapanuli.

3. Menjadi bahan masukan dalam pengambilan keputusan baik oleh legislatif maupun eksekutif, dari daerah sampai pusat, dalam merespon rencana pembentukan Provinsi Tapanuli.


(41)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Desentralisasi dalam UU Otonomi Daerah

Kehadiran UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan revisi atas UU No.22 tahun 1999 tetap membuka peluang akan pemekaran daerah-daerah provinsi dan kabupaten seperti diatur dalam Bab II pasal 4 dan pasal 5 UU No.32 Tahun 2004 tersebut. Kondisi ini tentu saja menjadi dasar hukum dan pemicu semangat bagi daerah-daerah di Indonesia untuk tetap mengusulkan pemekaran di daerahnya masing-masing, baik pemekaran provinsi maupun pemekaran kabupaten/kota.

Secara yuridis, pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai aturan teknis sebagai petunjuk lanjutan atas UU No.32 tahun 2004 tersebut seperti Peraturan Presiden (PP) No.28 tahun 2005 tentang Pembentukan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Disamping itu ada PP No. 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah yang telah diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya dan belum dicabut atau direvisi sampai saat ini. Dengan PP tersebut diharapkan bahwa pembentukan suatu daerah otonomi baru benar-benar memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis.

Tujuan pembentukan otonomi daerah sesungguhnya sejalan dengan tujuan ditetapkannya desentralisasi pemerintahan dalam suatu negara. Pasal 18 UUD 1945


(42)

mengatur sistem pemerintahan di Indonesia yang terdiri dari pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Pembentukan pemeritahan daerah dilatarbelakangi oleh kondisi wilayah negara indonesia yang sangat luas, beranekaragam budaya, etnis, dan sebagainya sehingga menyulitkan bila segala sesuatu diurus oleh pemerintah pusat yang berkedudukan di ibu kota negara, Jakarta.

Supaya penyelenggaraan pemerintahan lebih efektif dan efesien ke seluruh pelosok wilayah negara Indonesia maka dibentuklah pemerintahan daerah yang menyelenggarakan urusan-urusan atau fungsi-fungsi pemerintahan di daerah,khususnya yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Penyerahan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan menyelenggarakan pemerintahan di daerah sesuai dengan kepentingan masyarakat itulah yang disebut dengan desentralisasi.

Memang secara teoritis, konsep desentralisasi lebih banyak berkonotasi positif dibandingkan dengan negatifnya. Desentralisasi sering diasosiasikan dengan kedekatan, keterkaitan, otonomi, partisipasi, akuntabilitas dan demokrasi.

Banyak pendapat ahli mengenai aspek-aspek positif dari desentralisasi. The Liang Gie (Tri Ratnawati, 2006: 379) menyatakan alasan-alasan diperlukannya desentralisasi adalah:

1. Dilihat dari sudut politik, sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukkan kekuasaan pada satu pihak saja yang akhirnya dapat menimbulkan tirani.


(43)

2. Dalam bidang politik, penyelenggataan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.

3. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suaatu pemerintahan yang efesien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pemritah pusat. 4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat

sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.

5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.

Riwu Kiwo,(1997: 13-15) menyatakan bahwa kelebihan asas desentralisasi adalah :

1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.

2. Keseimbangan dan keserasian daerah tidak perlu menunggu antara bermacam-macam instruksi dari pusat.


(44)

4. Dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi kepentingan tertentu, khususnya desentralisasi teritorial dapat lebih mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan/keperluan dan keadaan khusus daerah. Jika terjadi hal yang tidak baik untuk suatu daerah tertentu, maka lebih mudah ditiadakan atau diadakan dengan ketentuan-ketentuan tambahan.

5. Dengan adanya desentralisasi, daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang baik bagi seluruh negara dapat dijalankan pada seluruh negara.

6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pihak pemerintah pusat. 7. Secara psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi

daerah-daerah karena sifatnya lebih langsung pada sasaran.

Tetapi kelemahan asas desentralisasi bukan tidak ada. Beberapa di antaranya adalah:

1. Karena besarnya organisasi pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit birokrasi.

2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak, yang membutuhkan tindakan yang cepat, kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.

3. Dapat mengurangi birokrasi, dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat menimbulkan ego kedaerahan.

4. Keputusan yang diambil, memerlukan waktu yang lama, khususnya karena memerlukan proses perundingan yang panjang.


(45)

5. Penyelenggaraan desentralisasi memerlukan biaya yang besar dan untuk memperoleh keseragaman teritotial. Sebaliknya, bagi hal-hal yang kebaikannya terbatas hanya khusus untuk daerah tertentu, maka penerapannya juga hanya untuk khusus daerah tertentu saja.

Menurut Rondinelli et al. (1983). Desentralisasi melahirkan penguatan, baik dalam bidang finansial maupun legal (dalam arti mengatur dan mengambil keputusan sendiri) dari unit-unit daerah. Dengan kekuasaan yang otonom, aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara substansial diserahkan kepada unit-unit pemerintahan daerah. Karateristik utama dari desentralisasi menurut Rondinelli, et al adalah:

1. Adanya unit-unit pemerintahan lokal yang otonom, independen dan secara jelas dipersepsikan sebagai tingkat pemerintahan yang terpisah dengan otoritas yang diberikan kepadanya, dengan hanya sedikit atau malah tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat.

2. Pemerintah lokal yang memiliki batas-batas geografis yang jelas dalam mana,mereka melaksanakan otoritas dan memberikan pelayanan publik.

3. Pemerintahan lokal yang memiliki status sebagai korporat dan memiliki kekuasaan untuk mengelola sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan

funsi-fungsinya.

Konsekuensi desentralisasi adalah lahirnya daerah otonom. Daerah otonom memiliki beberapa ciri, di antaranya adalah berada di luar hirarki organisasi pemerintah pusat, memiliki kewenangan bertindak, tidak berada di bawah


(46)

pengawasan langsung pemerintah pusat, bebas berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat, tidak diintervensi oleh pemerintah pusat, mengandung integritas sistem, memiliki batas-batas tertentu, dan memiliki identitas (Hoessein; 1997).

Sementara itu menurut Smith (Suahasil Nazara 2007:13) (belum dipublikasikan) desentralisasi akan melahirkan pemerintahan daerah (local self government), sedangkan dekonsentrasi akan melehirkan pemerintah lokal (local state government atau field administration). Menurut Smith, desentralisasi memiliki berbagai ciri, antara lain penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonomi; fungsi yang diserahkan merupakan fungsi yang tersisa (residual functions); penerima wewenang adalah daerah otonom; penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan, wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal; wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum atau bersifat abstrak; wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual atau bersifat konkret; keberadaan daerah otonom adalah diluar hirarki organisasi; serta menciptakan political variety dan diversity of structure dalam politik (Hoessein, 2000).

Dalam perjalanan sistem desentralisasi pemerintahan, di daerah-daerah dibentuk pemerintah daerah (local government) yang merupakan badan hukum yang terpisah dari pemerintah pusat (central government) (Hoessein,2000). Kepada


(47)

pemerintah-pemerintah daerah tersebut, diserahkan sebagian dari fungsi-fungsi pemerintahan (yang sebelumnya merupakan fungsi pemerintah pusat) untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Di samping itu,kepada daerah-daerah diserahkan pula sumber-sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai fungsi-fungsi yang telah diserahkan. Demikian pula secara organisasi, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui suatu sistem pemilihan umum.

Dengan demikian, pemerintah daerah merupakan suatu lembaga yang mempunyai kekuasaan otonomi untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya sendiri, menentukan bagaimana menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaannya tersebut dan menentukan bagaimana cara-cara menbiayainya. Pelaksaanaan desentralisasi kemudian dapat dilihat pada berbagai aspek sistem pemerintahan daerah yang ada, separti aspek keuangan, aspek pelimpahan kewenangan, aspek kepegawaian, serta sikap dan perilaku para elite di tingkat pusat maupun daerah.

Penafsiran terhadap desentralisasi dan otonomi daerah sering berbeda, namun pada prinsipnya antara dua konsep tersebut terdapat suatu hubungan yang searah. Hidayat (Suahasil Nazara, 2007: 14) menjelaskan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu dengan lainnya. Lebih spesifik, bisa disimpulkan bahwa otonomi daerah sangat ditentukan oleh seberapa jauh wewenang telah didelegasikan oleh pemerintah pusat keperintah daerah. Itulah sebabnya, dalam studi pemerintahan daerah, para analis sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara bersamaan. Namun


(48)

jika konsep dari dua istilah tersebut dipahami berdasarkan perspektif hubungan negara dan masyarakat (state society relation), maka sesungguhnya terdapat suatu persamaan hakiki antara keduanya. Dalam hal definisi desentralisasi, meskipun terdapat perbedaan dalam formulasi, namun keduanya memiliki dasar filosofis yang sama yaitu untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat.

Pemberian otonomi kepada daerah secara teoretis dilatarbelakangi oleh tujuan politik maupun administratif yang ingin dicapai oleh pemerintah suatu negara. Menurut Maddick (1963), tujuan politik dari pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk menciptakan kesadaran masyarakat sipil (cipil conciousness) dan kedewasaan politik (political maturity) masyarakat melalui pemerintah daerah. Penyebaran kedewasaan politik dapat dilakukan melalui partisipasi masyarakat dan melalui pemerintahan yang responsif yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal ke dalam kebijakan yang diambilnya dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut, Lughlin (1981) mengemukakan bahwa sistem pemerintahan daerah diperlukan untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis.

Smith (1985) juga berpendapat bahwa keberadaan pemerintah daerah diperlukan untuk mencegah munculnya kecenderungan sentrifugal yang terjadi karena adanya perbedaan etnis, agama, dan unsur-unsur primordial lainnya di daerah-daerah.

Nijin mengutip pendapat Rondinelli (1984), Maddick (1963) dan Smith (1985), menyatakan bahwa secara rasional keberadaan pemerintah daerah adalah


(49)

untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam aktivitas-aktivitas perencanaan, pengambilan keputusan, pengadaan pelayanan masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan melalui desentralisasi. Tidak ada pemerintah pusat dari suatu negara yang besar yang dapat secara efektif menentukan apa yang harus dilakukan dalam semua aspek kebijakan publik. Demikian pula, tidak ada pemerintah pusat yang dapat secara efektif mengimplementasikan kebijakan dan program-programnya ke seluruh daerah secara efisien (Bowman & Hampton, 1983). Karena itu diperlukan unit-unit pemerintahan di tingkat lokal yang kemudian diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan tertentu, baik atas dasar prinisp devolusi (di Indonesia dikenal dengan prinsip desentralisasi) maupun atas dasar prinsip dekonsentrasi. Kedua jenis pilihan (devolusi dan dekonsentrasi) tersebut akan memiliki implikasi yang sangat berbeda satu sama lain dalam penerapannya. Meskipun ada kecenderungan bahwa prinsip yang satu selalu lebih besar dari prinsip yang lain. Pendulum devolusi atau dekonsentrasi akan selalau bergerak ke kedua sisi, tergantung dari kebijakan politik dari elit pemerintahan suatu negara. Namun demikian, secara empiris terlihat bahwa negara dengan tingkat ekonomi dan politik yang relatif mapan, cenderung untuk lebih menerapkan prinsip desentralisasi daripada dekonsentrasi.

Penerapan otonomi daerah di Indonesia tetap diwarnai oleh pilihan penguatan desentralisasi atau dekonsentrasi. Perubahan-perubahan peraturan perundangan mengenai pemerintahan daerah (mulai dari UU No. 1 tahun 1945 hingga UU No. 32 Tahun 2004) merupakan indikasi dari perubahan pilihan politik di tingkat nasional.


(50)

Secara umum, terdapat beberapa alasan mengapa desentralisasi merupakan suatu pilihan dalam sistem pemerintahan negara-negara di dunia (Salomo dan Ikhsan, 1999). Pertama, ada anggapan bahwa desentralisasi pemerintahan mencerminkan pengelolaan aspek-aspek pemerintahan dan kehidupan sehari-hari secara lebih demokratis. Melalaui desentralisasi pemerintahan, rakyat daerah diberi kesempatan yang lebih besar untuk menentukan keinginannya, karena mereka memang dianggap lebih mengetahui apa yang mereka inginkan dan mengetahui keadaan daerahnya sendiri. Dengan demikian merekalah yang dianggap paling pantas untuk menentukan kebijaksanaan pembangunan daerahnya. Pada negara berkembang, pemerintah daerah dianggap mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam meningkatkan partisispasi masyarakat daerah dalam proses pembangunan (Cohrane, 1983). Kedua, karena adanya berbagai alasan teknis yang dapat dilihat dari berbagai segi, seperti segi ekonomi, geografis, etnis, budaya, dan sejarah. Panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh, mulai dari perencanaan pembangunan maupun pelaksanaannya, membuat sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dinilai jauh lebih efisien. Karena dengan desentralisasi, dapat dilakukan pemotongan sejumlah jalur birokrasi yang panjang dan tidak perlu. Dengan demikian, desentralisasi dapat mengurangi adanya overload (kelebihan beban) dan congestion (pemusatan) administrasi dan komunikasi di tingkat pusat. Demikian pula, hamparan wilayah yang luas dari suatu negara dengan keadaan geografis yang bisa sangat berbeda antara suatu negara dengan daerah lainnya, menuntut penanganan yang khusus bagi setiap daerah. Smith (1985) bahkan mengatakan bahwa kebutuhan akan berbagai bentuk atau derajat pada sistem


(51)

pemerintahan yang terdesentralisasi, merupakan suatu hal yang bersifat universal. Bahkan bagi negara–negara yang sangat kecil sekali pun pemerintahan daerah dengan tingkat ekonomi tertentu tetap dibutuhkan. Etnis, budaya dan sejarah, bahkan bahasa yang berbeda yang menghasilkan sistem sosial yang berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya merupakan alasan lain mengapa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dibutuhkan dalam suatu negara. Sedangkan menurut Sidik (1994; 2000) pelaksanaan desentralisasi sistem pemerintahan memiliki beberapa keuntungan, antara lain menyebarkan pusat pengambilan keputusan (decongestion); kecepatan dalam pengambilan keputusan; pengambilan keputusan yang realistis; penghematan (economic efficiency); keikutsertaan masyarakat local (local participation); serta solidaritas nasional (national solidarity).

Berbagai alasan lain mengenai desentralisasi sistem pemerintahan tersebut memperlihatkan bahwa pelaksanaan desentralisasi berkaitan dengan berbagai faktor. Berbagai studi telah dilakukan mengenai hal ini. Studi bank Dunia terhadap 45 negara di dunia ketiga pada dekade 1960-an (Rondinelli, 1983; Sidik, 1994; Sidik, 2000) meunjukkan bahwa tingkatan desentralisasi berhubungan dengan berbagai faktor seperti: a) umur negara, semakin tua dan semakin mapan suatu negara, semakin tinggi tingkat desentralisasinya; b) besar Produk Nasional Brutto (PNB), semakin besar PNB suatu negara, semakin tinggi pula desentralisasinya; c) media massa, semakin tersebar luas media massa di suatu negara, semakin tinggi tingkat industrialisasi yang relatif tinggi memiliki tingkat desentralisasi yang tinggi pula; dan e) jumlah


(52)

pemerintah daerah, negara dengan jumlah pemerintah daerah yang banyak, memiliki tingkat desentralisasi yang tinggi pula.

Hasil studi yang menunjukkan hubungan posistif kelima faktor tersebut di atas dengan desentralisasi, memperlihatkan bahwa faktor perkembangan sosial ekonomi negara mempengaruhi tingkat desentralisasi. Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi negara–negara di dunia yang sedang terjadi dewasa ini, maka sangat beralasan bila dikatakan bahwa pemerintahan yang terdesentralisasi akan cenderung semakin dilaksanakan pada masa-masa yang akan datang. Semakin kuat suatu negara dan semakin berhasil upaya pembangunannya, maka semakin kuat dorongan politik untuk menjangkau wilayah dan golongan yang lebih luas. Pada saat itu akan terlihat keterbatasan pemerintah pusat untuk mendukung perluasan layanan, karena semakin jauh jangkauan layanan yang ingin dicapai, maka semakin bersifat lokal dan spesifik tugas-tugas yang dihadapi, sehingga bila tugas-tugas tersebut tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dapat menimbulkan risiko ekonomi dan politik yang semakin tinggi. Namun demikian, satu faktor penting yang perlu diperkuat terlebih dahulu sebelum desentralisasi dapat dilaksanakan adalah kesatuan nasional yang tinggi. Setelah kesatuan nasional yang tinggi dicapai, maka desentralisasi dapat menjadi prinsip ideologis yang dihubungkan dengan tujuan-tujuan kemandirian, partisipasi rakyat, demokrasi dan pertanggungjawaban pemerintah serta aparatnya kepada rakyat secara keseluruhan. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa desentralisasi merupakan indikator dari kedewasaan suatu sistem politik dan sistem birokrasi yang terkandung di dalamnya.


(53)

Pelaksanaan desentralisasi dipengaruhi oleh berbagai hal. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi tersebut menurut Rondinell (1983) adalah: pertama, derajat komitmen politik serta dukungan administrasi yang diberikan, terutama oleh pemerintah pusat dan oleh elite serta masyarakat daerah itu sendiri. Kedua, adanya sikap dan perilaku serta kondisi kultural yang mendukung atau mendorong pelaksanaan desentralisasi di daerah. Ketiga, adanya suatu rancangan organisasi yang dapat mendukung program-program desentralisasi. Dan keempat, tersedianya sumber keuangan, tenaga kerja, serta infrastruktur yang memadai bagi penyelenggaraan program-program desentralisasi.

Pembahasan mengenai alasan perlunya desentralisasi secara umum, terlihat sejalan dengan keadaan di Indonesia. Keadaan geografis dengan belasan ribu pulau yang tersebar pada suatu hamparan wilayah yang sangat luas serta latar belakang kondisi sosial ekonomi dan budaya, sudah merupakan alasan yang cukup kuat bagi Indonesia untuk menerapkan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi para the founding fathers telah memiliki kesepakatan mengenai bangun negara yang akan dibentuk, yakni kesepakatan tentang negara kesatuan RI. Oleh karena itu, kesepakatan tersebut secara konstitusional dilestarikan pada Pasal 1 dan Pasal 18 UUD 1945.

Pemberian otonomi bagi daerah, tidak bisa dipandang sebagai suatu agenda yang terpisah dari agenda besar demokratisasi kehidupan bangsa. Otonomi harus dilaksanakan secara bersama-sama dan simultan dengan agenda-agenda demokratisasi yang lain, seperti pemberdayaan rakyat daerah, penegakan supremasi


(54)

hukum, penciptaan good governance, dan perubahan struktur perwakilan politik baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Karena itu, otonomi daerah tidak boleh dipandang semata-mata sebagai persoalan penyerahan urusan dari pusat ke daerah.

Sejalan dengan pembentukan pemerintahan daerah, muncul persoalan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Manan, 1984). Persoalan kewenangan, tugas dan tanggungjawab pemerintah negara, kemudian tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah melaksanakan sebagian kewenangan, tugas maupun tanggungjawab pemerintah, yakni kewenangan, tugas, maupun tanggungjawab yang telah diserahkan kepada daerah atau yang diakui sebagai urusan daerah yang bersangkutan. Sesuai dengan asas desentralisasi, maka hubungan antara pemerintah pusat dan daerah seharusnya memiliki beberapa kondisi berikut: pertama, tidak mengurangi hak-hak masyarakat daerah sebagai stakeholder dan salah satu pilar good governance untuk turut terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah; kedua, tidak mengurangi hak-hak daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting oleh daerah; ketiga, bentuk hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antara daerah yang satu dengan yang lain, dapat berbeda-beda sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah, serta keempat, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah.

Atas dasar kerangka sebagaimana dikemukakan di atas, pembentukan suatu daerah otonom (kabupaten, kota, maupun provinsi) beserta pemerintahannya,


(55)

memiliki implikasi yang sangat luas dan mencakup berbagai dimensi. Tujuan utama pembentukan daerah otonom yang baru adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di daerah otonom yang bersangkutan, dan umumnya di seluruh negara. Pembentukan suatu daerah otonom secara teoretis akan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pertumbuhan kehidupan berdemokrasi, mempercepat pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah, mempercepat pengelolaan potensi di daerah, meningkatkan keamanan dan ketertiban, serta meningkatkan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Mencermati tujuan –tujuan tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa pembentukan suatu daerah otonomi baru sesungguhnya amatlah mulia. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa pemerintah telah memberikan rambu-rambu, persyaratan administrasi dan teknis bagi sebuah calon daerah otonomi daerah baru. Artinya, suatu rencana pemekaran daerah tidak boleh hanya didorong oleh keinginan politis, kemauan sebagian kecil elite daerah, atau sekadar ikut-ikutan dengan daerah lain.

Bila aspirasi pemekaran suatu wilayah didasarkan pada pertimbangan yang tepat, maka akan memberikan makna yang penting bagi masyarakat. Dengan pemekaran, maka pusat pemerintahan dan pelayanan semakin dekat kepada masyarakat sehingga diharapkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan, pemerintahan, dan pembangunan di daerahnya akan meningkat.

Sebaliknya bila munculnya keinginan pemekaran suatu wilayah lebih didorong oleh emosional,primordialisme dengan semata-mata hanya ingin menjadi daerah otonom sendiri, tidak atas dasar persyaratan yang tepat, tidak


(56)

memperhitungkan potensi sumber daya yang ada diwilayah tersebut maka kedepan akan mempersulit kondisi kehidupan masyarakat di wilayah tersebut serta tidak akan menjamin pengembangan daerah ke arah yang lebih baik, bahkan bisa melemahkan ketahanan wilayah, karena tingginya beban dan persoalan yang dihadapi masyarakat.

Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri-RI pada tahun 2005 menunjukkan bahwa penerapan dan pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonomi daerah baru (pemekaran daerah) belum sesuai dengan tujuan utama tersebut (Depdagri, 2006: 122).

Menteri Dalam Negeri ad interim Widodo AS, pada peresmian Kabupaten Empat Lawang di Palembang, tanggal 20 April 2007 menyatakan bahwa banyak pembentukan daerah pemekaran yang belum berjalan sesuai tujuan awal. Hal ini tercermin dari adanya daerah pemekaran yang sulit berkembang dan menjadi beban keuangan negara. Hal ini tentu menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan elite-elite politik di daerah dalam mengangkat ide-ide pemekaran.

Oleh karenanya, peranan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) bersama intansi pemerintah yang berhubungan dengan proses pemekaran daerah sangat diharapkan kejelian dan ketegasannya dalam merekomendasikan layak atau tidaknya suatu daerah provinsi, kabupaten/kota dimekarkan.

2.2 Syarat dan Prosedur Administrasi Pemekaran Wilayah

Pasal 5 (Ayat 1-5) UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan : (1) pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat administratif,


(57)

teknis, dan fisik kewilayaan, (2) syarat adminsitratif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, (3) syarat administratif sebaaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, (4) syarat teknis sebagaimana dimaksud pda ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pemebentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, (5) syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit lima Kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan Kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Berdasarkan Pasal 5 UU 32 Tahun 2004 tersebut maka pada Pasal 3 PP No. 129 tahun 2000 disebutkan bahwa daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kemampuan Ekonomi b. Potensi Daerah

c. Sosial Budaya d. Sosial Politik


(58)

e. Jumlah Penduduk f. Luas Daerah

g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Selanjutnya, Pasal 16 PP No. 129/2000 menyatakan bahwa prosedur pembentukan/pemekaran daerah adalah sebagai berikut:

a. Ada kemauan politik dari pemerintahan daerah dan masyarakat yang bersangkutan.

b. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah.

c. Usul pembentukan provinsi disampaikan kepada pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang berada dalam wilayah provinsi dimaksud, yang dituangkan dalam keputusan DPRD.

d. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada pemerintahan cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD kabupaten/kota serta persetujuan DPRD provinsi yang dituangkan dalam keputusan DPRD. e. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan tim untuk melakukan observasi ke daerah-daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.


(59)

f. Berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbagan Otonomi Daerah dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

g. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. h. Berdasarkan saran dan pendapat, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah

menyetujui usul pembentukan suatu daerah yang diputuskan dalam rapat anggota dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

i. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan daerah tersebut beserta Rancangan Pembentukan Daerah kepada Presiden.

j. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-Undangan pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan.

Tri Ratnawati (2006:342) mengkritik pasal 16 PP No. 129/2000 tentang prosedur panjang dan berbelit yang menunjukkan pendekatan elitis-birokratis dalam kebijakan pemekaran wilayah dan cenderung memanjinalkan partisipasi publik sehingga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang (misalnya oleh oknum-oknum “broker” atau “calo” yang menghubungkan antara daerah dengan pusat). Sebaiknya pemekaran wilayah dilakukan dengan persetujuan oleh rakyat secara langsung dengan


(60)

melalui semacam “referendum local” untuk menentukan pro (setuju) atau anti (menentang) pemekaran wilayah. Institusi-institusi birokrasi dan politik di tingkat lokal dan pusat (presiden dan DPR) cukup menyetujui/mengesahkan pilihan rakyat saja. sehingga DPOD harus dihapuskan karena sudah ada lembaga yang lebih legitimasinya, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah).

Mengenai keberadaan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) ini, Indra J. Piliang (2003: 38) menyatakan bahwa sebagai konsekuensi kehadiran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), maka salah satu lembaga yang perlu dipikirkan untuk dibubarkan adalah Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Hal ini didasarkan pada hasil amandemen UUD 1945 yang pada Pasal 22 b (1) menegaskan bahwa salah satu tugas DPD adalah mengajukan rancangan undang-undang tentang otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah. Dengan demikian peran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) sesungguhnya telah beralih kepada DPD.

Selain keberadaan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan DPD tersebut di atas, syarat-syarat tentang pemekaran ini cukup jelas diatur dalam UU Otonomi Daerah Pasal 5 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa syarat teknis yang menjadi dasar pembentukan daerah mencakup:

a. Faktor kemampuan ekonomi b. Potensi daerah

c. Sosial budaya d. Sosial politik


(61)

e. Kependudukan f. Luas daerah

g. Pertahanan dan keamanan

h. Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah

Selanjutnya, Bab V Pasal 16 Ayat (1) poin a PP No.129 tahun 2000 menyatakan bahwa dalam aspek politik, suatu pemekaran harus ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan. Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kemauan politik adalah terdapatnya pernyataan-pernyataan masyarakat melalui LSM-LSM, organisasi politik dan lain-lainnya, pernyataan gubernur/bupati/walikota bersangkutan yang dituangkan dalam bentuk persetujuan tertulis oleh kepala daerah dan DPRD setempat. Indikator sosial politik di sini dapat dilihat dari dua hal Pertama, tingkat partisipasi masyarakat dalam berpolitik, rasio penduduk yang ikut pemilu terhadap penduduk yang mempunyai hak pilih. Kedua, jumlah organisasi kemasyarakatan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa keinginan untuk melakukan pemekaran suatu daerah telah dilindungi dan diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan sejumlah tujuan, syarat-syarat dan tahapan/prosedur yang harus dilalui. Gaung pemekaran menjadi fenomenal, karena banyak kawasan di Indonesia seakan berlomba untuk melakukan pemekaran seperti di Jawa Barat, Papua, Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya, baik pemekaran kabupaten/kota maupun provinsi seperti lahirnya Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Gorontalo, Provinsi Banten, dan sebagainya.


(62)

Namun bukan berarti bahwa semua pemekaran wilayah di Indonesia bebas dari persoalan dan konflik setelah pemekaran. Data berikut menunjukkan beberapa contoh konflik antar daerah pascapemekaran wilayah.

Tabel. 1 Konflik Antar Daerah Pascapemekaran

Daerah Pemekaran Jenis Konflik Pihak yang bersengketa Kota Tasikmalaya Batas-batas wilayah

Perebutan Kewenangan Perebutan aset lemahnya pelayanan publik

Pemkot Tasikmalaya, Pemkab Tasikmalaya

Kabupaten Banggai Kepulauan

Pemindahan ibukota Masyarakat Kep. Banggai

Kota Salatiga Wacana pemekaran dengan mengambil sebagian desa

Pemkot Salatiga, Pemkab Semarang Kabupaten Mamasa Tapal batas Masyarakat di tapal batas

Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten

Mamasa Provinsi Sulawesi

Selatan

Perebutan aset Provinsi Sulawesi Barat

Provinsi Irian Jaya Barat

Pro-kontra pemekeran Masyarakat pulau Papua

Sumber : Majalah Ondihon, Mei 2007 hal. 14.

Menyangkut Pro Kontra Pemekaran Papua (Jurnal Penelitian Politik Vol. 3, 2006: 32), saat pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Barat tanggal 6 Februari 2003 oleh Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat di Manokwari, yang dihadiri oleh kurang lebih 15 ribu orang dari Kabupaten Manokwari, Sorong dan Fakfak, berlangsung secara damai


(63)

dan aman. Tidak ada gejolak, konflik, dan penentangan. Semuanya berjalan lancar dan aman. Namun, suasana serupa tidak terjadi saat pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah yang dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2003. Provinsi Irian Jaya Tengah dideklarasikan di Timika oleh keenam bupati dan ketua DPRD yang ada diwilayah provinsi itu. Saat pendeklarasian ternyata diwarnai oleh aksi penolakan sekelompok pendukung dan penentang pemekaran provinsi. Bentrokan antara yang pro dan kontra ini membawa korban meninggal dunia sebanyak empat orang, yaitu dua orang dari pihak penolak dan dua orang dari pihak pendukung.

Dalam konteks konflik, L.R.Pondy (Harun,2006:219) menyatakan bahwa ada beberapa elemen dasar yang memicu terjadinya konflik, yakni:

a. Kelangkaan sumberdaya. b. Sentimen pribadi.

c. Perbedaan kebijaksanaan. d. Persepsi tentang kondisi konflik.

e. Perilaku konflik sebagai produk dari perbedaan sifat pasif dan agresif, sifat positif dengan sifat negatif.

Selanjutnya, Leopold Van Wiese dan Howard Backer (Harun,2006: 220) menyatakan bahwa yang menjadi akar suatu konflik adalah:

a. Perbedaan orang perorangan yang terkait dengan pendidikan dan perasaan.

b. Perbedaan kebudayaan yang terkait dengan: 1) Pola-pola kebudayaan.


(64)

2) Pembentukan dan perkembangan kepribadian. 3) Pola-pola pendirian.

4) Perbedaan kepentingan, dan 5) Perubahan sosial.

Melihat kenyataan di atas maka dapat dikatakan bahwa untuk membentuk suatu daerah otonom baru sebagai hasil dari pemekaran wilayah sangat memerlukan kajian mendalam, atas berbagai aspek sehingga kelak daerah yang dimekarkan tesebut tidak menimbulkan masalah konflik horizontal di daerah, yang dapat menggangu keamanan dan ketertiban daerah, bangsa dan negara secara keseluruhan. Bahkan ketua DPD Ginanjar Kartasasmita menyatakan bahwa karena belum adanya grand design tentang jumlah provinsi, kabupaten dan kota yang diperlukan Indonesia serta banyaknya konflik yang terjadi akibat pemekaran maka pemerintah perlu melakukan/mengadakan moratorium usulan pemekaran baru sambil menunggu adanya grand design tersebut (ondihon, 207:13).

Di Provinsi Sumatera Utara selama era otonomi daerah beberapa kabupaten telah menjadi daerah otonomi baru, seperti Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Nias Selatan, Kota Padang Sidempuan, dan lain-lain. Sampai sejauh ini masih ada beberapa lagi yang sedang diusulkan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk dijadikan daerah otonomi baru.

Salah satu rencana pembentukan daerah yang sedang hangat pembahasannya saat ini adalah rencana pembentukan Provinsi Tapanuli. Dalam rencana tersebut


(1)

Bapak/Ibu/Saudara/I untuk mendukung keputusan politik dan selama ini selalu dimanfaatkan oleh DPRD.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

18.Untuk menentukan arah politik, perlu tetap mempertimbangkan budaya yang ada di masyarakat.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

19.Rencana pembentukan provinsi Tapanuli merupakan inisiatif yang tidak berakar pada budaya masyarakat Kabupaten Nias Selatan.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar


(2)

20.Jikalau didukung, Provinsi Tapanuli kelak akan mengadopsi budaya yang ada di Pulau Nias dan mengembangkannya dengan lebih maksimal.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

21.Suku Nias memiliki posisi yang sejajar dalam mutu budaya dengan suku lain. 1. Sangat Benar

2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

22.Suku Nias seharusnya menjadi suku yang mendominasi dan menentukan keputusan pembentukan Proivinsi Tapanuli.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar


(3)

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

24.Pengambilan keputusan di bidang otonmi daerah seharusnya melibatkan para tokoh adat dan budaya di Kabupaten Nias Selatan.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

25.Budaya Nias Selatan akan terancam jika berada dalam Provinsi Tapanuli. 1. Sangat Benar

2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

26.Untuk keberhasilan pembentukan Provinsi Tapanuli maka seharusnya seluruh suku dan budaya yang ada pad eks Keresidenan Tapauli harus diberdayakan tanpa ada yang merasa ditinggalkan.


(4)

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

27.Bila pembentukan Provinsi Tapanuli disetujui oleh pemerintah pusat dan Kabupaten Nias Selatan tetap dimasukkan didalamnya, maka masyarakat dan DPRD Kabupaten Nias Selatan akan menerimanya.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

28.Prinsip Otonomi yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota, karena itu terbentuknya Provinsi Tapanuli tidak menambah atau mengurangi otonomi Kabupaten Nias Selatan.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar


(5)

29.Terbentuknya Provinsi Tapanuli akan membuka peluang yang lebih besar bagi Bapak/Ibu/Saudara/I untuk menjadi anggota DPRD Provinsi.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar

5. Sangat Tidak Benar

30.Terbentuknya Provinsi Tapanuli akan meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik masyarakat di Kabupaten Nias Selatan.

1. Sangat Benar 2. Benar

3. Tidak Ada Pendapat 4. Sangat Benar


(6)