Respon Buruh Terhadap Program Bpjs Ketenagakerjaan Dampingan Solidaritas Buruh Sumatera Utara (Sbsu)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Dunia ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2014 menunjukan adanya
sedikit penurunan, hal ini dapat dilihat dari bertambahnya pengangguran dan
meningkatnya kelompok penduduk yang tidak bekerja. Pada bulan Februari 2013 ada
115.929.612 jiwa penduduk yang bekerja dan menurun menjadi 114.628.026 jiwa
pada bulan Agustus 2014. Hal ini membuktikan adanya penurunan jumlah penduduk
yang bekerja sebanyak 1.301.586 jiwa. Pada bulan Februari 2013 pengangguran di
Indonesia mencapai 7.240.897 jiwa atau sama dengan 5,88 persen dan mengalami
peningkatan pada bulan Agustus 2014 menjadi 7.244.905 jiwa atau 5,94 persen dari
jumlah seluruh penduduk Indonesia (http://www.bps.go.id diakses pada tanggal 28
Oktober 2015 Pukul 22.44 WIB).
Terjadinya mogok kerja buruh menuntut perbaikan upah, pada dasarnya
adalah karena dalam penentuan upah, buruh tidak diikutsertakan. Transparansi dan
obyektivitas mengenai kemampuan ekonomi perusahaan sangat diperlukan. Apabila
perusahaan tidak obyektif dan tidak transparan dalam pembukuan keuangan dan
tidak berkeinginan memberikan upah yang layak, maka senjata satu-satunya bagi
buruh adalah mogok bekerja. Buruh di Negara berkembang masih lemah dalam
negosiasi mengenai upah. Upah buruh di Indonesia adalah yang terendah dikawasan
Asia Tenggara kecuali Vietnam, dibanding dengan tingkat upah di Negara-negara
ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Philipina.
Lembaga Internasional memonitor “social dumping” seperti pembatasan
kebebasan memilih pekerjaan, penghindaran perlindungan terhadap pengangguran,
1
pembayaran upah yang tidak sama, tempat kerja yang tidak aman dan tidak sehat,
pembatasan jam kerja, pembantasan hak untuk membentuk organisasi buruh dan hak
untuk melakukan pemogokan. Apabila Indonesia dikategorikan masih melanggar hak
asasi buruh oleh ILO, maka baik Amerika Serikat maupun negara-negara
Eropalainnya akan menghentikan impor barang-barang ke Indonesia. Bila ekspor
terhambat, maka perusahaan tidak mampu membayar upah buruhnya. Pendapatan
perusahaan mengalami penurunan dan membawa pemutusan hubungan kerja sampai
penutupan perusahaan. Hal ini akan mengakibatkan kegoncangan perekonomian
negara yang tidak menutup kemungkinan terganggunya stabilitas negara.
Kasus yang pernah terjadi yang dialami oleh buruh sepatu Nike di Indonesia,
yaitu Kasus Kusnadi. Pada kasus Kusnadi (1996), isunya sewaktu bekerja terjadi
kebakaran di PT. Garuda Indawa yang memproduksi tas-tas Nike. Kusnadi berhasil
menyelamatkan diri bersama dua rekan perempuan tetapi tubuhnya sempat terbakar.
Kusnadi bersama dua temannya dipecat, dan selama dua puluh satu bulan kemudian
barulah Nike memberikan biaya pengobatan sebesar 95 dollar Amerika Serikat dan
900 dollar Amerika Serikat sebagai pengganti biaya pengobatan. Jumlah tersebut
sama dengan jumlah 7 bulan upahnya, yang sangat berarti bagi kusnadi yang
menanggung seorang isteri dan dua orang anak (Sulaiman, 2008:9-12).
Berdasarkan data yang dikompilasi International Labour Organization (ILO),
rata-rata upah buruh per Februari 2013 di Jakarta hanya sebesar Rp 27-73 ribu per
hari atau setara dengan US$ 2,85-7,55 per hari. Angka itu lebih rendah dari upah di
Cina yaitu rata-rata US$ 4,6 -7,9 per hari, Thailand US$ 7,3-10,4 per hari, Malaysia
US$ 8,5-9,6 per hari, Filipina US$ 10,2-11,1 per hari, Taiwan US$ 20 per hari, Hong
Kong US$ 28,8 per hari, Korea Selatan US$ 35,7 per hari. Meski demikian upah
buruh Indonesia lebih tinggi ketimbang Vietnam US$ 2,22-3,17 per hari, Kamboja
2
US$ 2,03 per hari, dan Myanmar US$ 0,5 per hari (http://www.tempo.co diakses
pada tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 15.05 WIB).
Salah satu bukti nyata rendahnya kinerja perusahaan dalam memenuhi hak
buruhnya terjadi di PT. Hockinda Citra Lestari pada tanggal 1 Juni 2014. Perusahaan
yang memproduksi kompor bermerek Hock ini melakukan pemutusan hubungan
kerja (PHK) kepada 653 buruh. Buruh yang berjumlah dari 653 hanya 110 orang
yang sudah diberikan uang konfensasi dan 543 buruh lainnya belum jelas
penyelesaiannya. Beberapa mantan buruhnyapun menyebarkan selebaran kertas di
kantor DPRD Deli Serdang pada hari Senin tanggal 1 Juni 2015 yang berisi
ungkapan kekecewaan mereka mengenai kinerja dari dinas tenaga kerja dan
pertambangan (http://tribunnews.com diakses pada tanggal 29 Oktober 2015 Pukul
15.40 WIB).
Pada tanggal 3 Juli 2015, Gabungan Buruh Indonesia (GBI) yang terdiri dari
40 (empat puluh) federasi dan empat konfederasi serikat buruh menentang revisi
Peraturan Pemerintah mengenai Jaminan Hari Tua (JHT), sebagai aksi penolakan
GBI melakukan demonstran di Bundaran Hotel Indonesia, dan demo berlangsung
pada pukul 15.30 WIB. Sesuai UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU 40 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, pencairan JHT bisa dilaksanakan setelah seorang pekerja memiliki
masa kerja selama lima tahun. Bila setelah masa kerja lima tahun itu pekerja
bersangkutan masih terus bekerja, maka penerima upah tersebut dapat mencairkan
JHT sebesar 10 persen. Namun bila pekerja itu berhenti bekerja atau pensiun, dia
dapat mencairkan seluruhnya. Akan tetapi melalui ketentuan baru ini, seorang
pekerja baru bisa mencairkan JHT yang menjadi haknya setelah memiliki masa kerja
selama 10 tahun. Tidak hanya buruh, kebijakan baru BPJS ketenagakerjaan terkait
3
pencairan dana JHT mendapat penolakan dari masyarakat. Buktinya, kurang dari 24
jam sejak petisi penolakan kebijakan diunggah di halaman Change.org, sudah lebih
dari 37 ribu netizen memberi dukungan. Jumlah ini pun terus bertambah
(http//www.okezone.com diakses pada tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 15.50 WIB).
Hubungan kerja antara tenaga kerja atau buruh dan pengusaha perlu
diarahkan pada terciptanya kerjasama yang serasi yang dijiwai oleh Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945 dimana masing-masing pihak saling menghormati,
saling membutuhkan, saling mengerti peranan serta hak dan kewajibannya.
Pemerintah diharapkan melakukan pengawasan. Pembinaan dan penegakan hukum
dalam bidang ketenagakerjaan di Negara ini, khususnya dalam bidang jaminan sosial
untuk mewujudkan pengembangan tenaga kerja secara ideal (Ramli, 1997:1).
Menyadari akan pentingnya peningkatan pelayanan perusahaan demi
memenuhi hak-hak normatif buruh, maka pemerintah mengeluarkan program
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) yang sekarang dikenal dengan nama
Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. PT Jamsostek
(Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1947 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang kecelakaan kerja,
Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) Nomor 48 Tahun 1952 jo Peraturan Mentri
perburuhan (PMP) Nomor 8 Tahun 1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha
penyelenggaraan kesehatan buruh, Peraturan Pemerintah Perburuhan (PMP) Nomor
15 Tahun 1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, Peraturan Pemerintah
Perburuhan (PMP) Nomor 5 Tahun 1964 tentang pembentukan Yayasan Dana
Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya Undang-Undang No.14 Tahun 1969
tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Secara kronologis proses lahirnya asuransi
sosial tenaga kerja semakin transparan.
4
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan
hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977
diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1977 tentang pelaksanaan program Asuransi
Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja atau
pengusaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengikuti
program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK). Terbit pula Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 34 Tahun 1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara Asuransi
Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) yaitu Perum ASTEK.
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 1995 ditetapkannya PT Jamsostek
sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi
kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan
kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti
sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undangundang itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal 34
ayat (2), yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan
rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan
motivasi maupun produktivitas kerja.
5
Kiprah
Perusahaan
PT.Jamsostek
(Persero)
yang
mengedepankan
kepentingan dan hak normatif tenaga kerja di Indonesia dengan memberikan
perlindungan empat program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya terus
berlanjutnya hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Tahun
2011, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1
Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum Publik.
PT.Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial) ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),
Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dengan penambahan Jaminan
Pensiun mulai 1 Juli 2015.
Dimulai pada tanggal 1 Juli 2015, buruh dapat mencairkan dana Jaminan Hari
Tua (JHT) berubah dari 5 tahun kepesertaan menjadi 10 tahun dan pencairannya
dibatasi 10 persen untuk kebutuhan sehari-hari, 30 persen untuk kebutuhan
membayar atau membeli rumah, dan tidak dapat dicairkan keduanya. Jika buruh atau
peserta BPJS Ketenagakerjaan ingin mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT)
sepenuhnya maka peserta harus menunggu hingga usia 56 tahun, meninggal dunia,
atau mengalami cacat total tetap (Kumpulan Peraturan PUU Program BPJS
Ketenagakerjaan,2014 & http//www.bpjsketenagakerjaan.go.id diakses pada tanggal
30 Oktober 2015 Pukul 01.35 WIB).
Kemudian peraturan Jaminan Hari Tua (JHT) dianggap tidak adil bagi buruh
atau pekerja, sebab peraturan itu dirasakan sangat memberatkan buruh itu sendiri.
6
Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan jaminan sosial yang iurannya diambil dari gaji
buruh tiap bulannya. Peraturan baru ini menyebabkan banyak pertentangan dan
kekecewaan pada Presiden Jokowi dimana beliau telah gagal dan dianggap
merugikan pihak buruh dan dirasakan tidak adil dalam memberikan keputusan
(http//www.news.detik.com diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 Pukul 01.46
WIB).
Berdasarkan banyaknya kontra dalam peraturan baru tersebut, dan untuk
mengantisipasi kerusahan atau demo buruh, peraturan tersebut kemudian di revisi
dan mulai berjalan pada tanggal 1 September 2015, dimana prosedur pencairan uang
JHT yang dibatasi hanya 10 persen untuk persiapan pensiun, 30 persen untuk biaya
perumahan, dan 100 persen ketika sudah berumur 56 tahun, itu nantinya hanya
berlaku bagi peserta-peserta BPJS ketenagakerjaan yang masih aktif bekerja.
Sementara yang sudah berhenti bekerja, baik itu di PHK, dan mengundurkan diri,
JHT bisa diambil sepenuhnya setelah menunggu satu bulan masa berhenti sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 yang telah direvisi dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015, serta melampirkan dokumen-dokumen
yang telah ditetapkan.Pemerintah akhirnya mengambil keputusan bahwa iuran
jaminan pensiun BPJS ketenagakerjaan sebesar 8 persen. Iuran ini akan ditanggung
pengusaha sebesar 5 persen dan oleh pekerja sebanyak 3 persen. Pelaksanaan iuran
itu
akan
berlaku
serentak
mulai
tanggal
1
Juli
2015
(http//www.bpjsketenagakerjaan.go.id diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 Pukul
02.00 WIB).
Menurut hasil penelitian pada tahun 2014, yang berjudul Respon Karyawan
terhadap pelaksanaan Program BPJS ketenagakerjaan di PT.Mutiara Mukti Farma.
Berdasarkan analisis data, dapat dirumuskan yaitu, dari aspek persepsi dapat
7
diketahui bahwa responden sebagai peserta program BPJS ketenagakerjaan memiliki
persepsi yang positif. Hal tersebut dapat dilihat dari pengetahuan peserta menegenai
program BPJS ketenagakerjaan, meskipun informasi yang didapat dari sosialisasi
masih kurang namun beberapa peserta berusaha mencari informasi lain seperti dari
media masa.
Kemudian dari aspek sikap, dapat diketahui bahwa responden sebagai peserta
program BPJS ketenagakerjaan memiliki sikap yang positif. Hal dapat dilihat dari
tingkat kepuasan karyawan yang puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh
petugas BPJS ketenagakerjaan, namun waktu pemberian dana klaim, karyawan
merasa kurang sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pihak penyelenggara.
Sedangkan dari aspek partisipasi, menunjukkan bahwa responden sebagai
peserta program BPJS ketenagakerjaan memiliki partisipasi yang negatif. Hal
tersebut dapat dilihat dari keterlibatan peserta dalam mengikuti sosialisasi dan
kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh BPJS ketenagakerjaan. Peserta kurang aktif
dalam melaksanakan kegiatan dan juga kewajiban sebagai peserta BPJS
ketenagakerjaan
Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) adalah organisasi serikat buruh
yang mengedepankan terlindungnya hak-hak buruh serta terjadinya perbaikan
terhadap kondisi kerja maupun syarat-syarat kerja yang lebih baik dan manusiawi
dan mengupayakan kesejahteraan hidup kaum buruh dan keluarganya, didirikan pada
tanggal 26 Juli 1999. Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) berbentuk Federasi
(gabungan) dari serikat-serikat buruh sektoral di unit kerja (perusahaan) dan serikat
buruh berdasarkan tempat tinggal. Sebagai salah satu bentuk kesadaran Solidaritas
Buruh Sumatera Utara (SBSU) kepada hak-hak normatif buruh, Solidaritas Buruh
Sumatera Utara (SBSU) mendampingi buruh untuk mendapatkan Asuransi Jaminan
8
Sosial demi tercapainya kelayakan buruh. Hingga saat ini SBSU menaungi 10 basis
yang setiap basis mendampingi buruh yang sudah diikutsertakan dalam Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis
merasa tertarik untuk meneliti bagaimana respon buruh dampingan Solidaritas Buruh
Sumatera Utara (SBSU) terhadap program-program Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) ketenagakerjaan. Maka penulis menyusun penelitian ini dalam satu
karya
ilmiah
dengan
judul
“Respon
Buruh
terhadap
Program BPJS
Ketenagakerjaan Dampingan Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU)”.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis, maka
masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut “bagaimana respon buruh
terhadap program BPJS ketenagakerjaan dampingan Solidaritas Buruh Sumatera
Utara?”.
1.3
Tujuan dan manfaat penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui respon buruh terhadap program BPJS ketenagakerjaan dampingan
Solidaritas Buruh Sumatera Utara.
9
1.3.2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai refrensi dalam
rangka:
a. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berhubungan dengan
jaminan sosial kepada tenaga kerja.
b. Pengembangan kebijakan dan model pelayanan BPJS ketenagakerjaan.
1.4
Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam enam bab, dan adapun sistematika penulisan
dalam penelitian sebagai berikut:
BAB I
:
Pendahuluan
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
:
Tinjauan Pustaka
Bab ini berisikan uraian Konsep-Konsep dan Teori yang
berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka
pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.
BAB III
:
Metode Penelitian
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi
penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.
BAB IV
:
Deskripsi Lokasi Penelitian
Bab ini berisikan tentang gambaran umum tentang lokasi
dimana penulis melakukan penelitian.
10
BAB V
:
Analisis Data
Bab ini berisikan uraian tentang data yang diperoleh dari hasil
penelitian beserta analisisnya.
BAB VI
:
Penutup
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran
yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah
dilaksanakan.
11
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Dunia ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2014 menunjukan adanya
sedikit penurunan, hal ini dapat dilihat dari bertambahnya pengangguran dan
meningkatnya kelompok penduduk yang tidak bekerja. Pada bulan Februari 2013 ada
115.929.612 jiwa penduduk yang bekerja dan menurun menjadi 114.628.026 jiwa
pada bulan Agustus 2014. Hal ini membuktikan adanya penurunan jumlah penduduk
yang bekerja sebanyak 1.301.586 jiwa. Pada bulan Februari 2013 pengangguran di
Indonesia mencapai 7.240.897 jiwa atau sama dengan 5,88 persen dan mengalami
peningkatan pada bulan Agustus 2014 menjadi 7.244.905 jiwa atau 5,94 persen dari
jumlah seluruh penduduk Indonesia (http://www.bps.go.id diakses pada tanggal 28
Oktober 2015 Pukul 22.44 WIB).
Terjadinya mogok kerja buruh menuntut perbaikan upah, pada dasarnya
adalah karena dalam penentuan upah, buruh tidak diikutsertakan. Transparansi dan
obyektivitas mengenai kemampuan ekonomi perusahaan sangat diperlukan. Apabila
perusahaan tidak obyektif dan tidak transparan dalam pembukuan keuangan dan
tidak berkeinginan memberikan upah yang layak, maka senjata satu-satunya bagi
buruh adalah mogok bekerja. Buruh di Negara berkembang masih lemah dalam
negosiasi mengenai upah. Upah buruh di Indonesia adalah yang terendah dikawasan
Asia Tenggara kecuali Vietnam, dibanding dengan tingkat upah di Negara-negara
ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Philipina.
Lembaga Internasional memonitor “social dumping” seperti pembatasan
kebebasan memilih pekerjaan, penghindaran perlindungan terhadap pengangguran,
1
pembayaran upah yang tidak sama, tempat kerja yang tidak aman dan tidak sehat,
pembatasan jam kerja, pembantasan hak untuk membentuk organisasi buruh dan hak
untuk melakukan pemogokan. Apabila Indonesia dikategorikan masih melanggar hak
asasi buruh oleh ILO, maka baik Amerika Serikat maupun negara-negara
Eropalainnya akan menghentikan impor barang-barang ke Indonesia. Bila ekspor
terhambat, maka perusahaan tidak mampu membayar upah buruhnya. Pendapatan
perusahaan mengalami penurunan dan membawa pemutusan hubungan kerja sampai
penutupan perusahaan. Hal ini akan mengakibatkan kegoncangan perekonomian
negara yang tidak menutup kemungkinan terganggunya stabilitas negara.
Kasus yang pernah terjadi yang dialami oleh buruh sepatu Nike di Indonesia,
yaitu Kasus Kusnadi. Pada kasus Kusnadi (1996), isunya sewaktu bekerja terjadi
kebakaran di PT. Garuda Indawa yang memproduksi tas-tas Nike. Kusnadi berhasil
menyelamatkan diri bersama dua rekan perempuan tetapi tubuhnya sempat terbakar.
Kusnadi bersama dua temannya dipecat, dan selama dua puluh satu bulan kemudian
barulah Nike memberikan biaya pengobatan sebesar 95 dollar Amerika Serikat dan
900 dollar Amerika Serikat sebagai pengganti biaya pengobatan. Jumlah tersebut
sama dengan jumlah 7 bulan upahnya, yang sangat berarti bagi kusnadi yang
menanggung seorang isteri dan dua orang anak (Sulaiman, 2008:9-12).
Berdasarkan data yang dikompilasi International Labour Organization (ILO),
rata-rata upah buruh per Februari 2013 di Jakarta hanya sebesar Rp 27-73 ribu per
hari atau setara dengan US$ 2,85-7,55 per hari. Angka itu lebih rendah dari upah di
Cina yaitu rata-rata US$ 4,6 -7,9 per hari, Thailand US$ 7,3-10,4 per hari, Malaysia
US$ 8,5-9,6 per hari, Filipina US$ 10,2-11,1 per hari, Taiwan US$ 20 per hari, Hong
Kong US$ 28,8 per hari, Korea Selatan US$ 35,7 per hari. Meski demikian upah
buruh Indonesia lebih tinggi ketimbang Vietnam US$ 2,22-3,17 per hari, Kamboja
2
US$ 2,03 per hari, dan Myanmar US$ 0,5 per hari (http://www.tempo.co diakses
pada tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 15.05 WIB).
Salah satu bukti nyata rendahnya kinerja perusahaan dalam memenuhi hak
buruhnya terjadi di PT. Hockinda Citra Lestari pada tanggal 1 Juni 2014. Perusahaan
yang memproduksi kompor bermerek Hock ini melakukan pemutusan hubungan
kerja (PHK) kepada 653 buruh. Buruh yang berjumlah dari 653 hanya 110 orang
yang sudah diberikan uang konfensasi dan 543 buruh lainnya belum jelas
penyelesaiannya. Beberapa mantan buruhnyapun menyebarkan selebaran kertas di
kantor DPRD Deli Serdang pada hari Senin tanggal 1 Juni 2015 yang berisi
ungkapan kekecewaan mereka mengenai kinerja dari dinas tenaga kerja dan
pertambangan (http://tribunnews.com diakses pada tanggal 29 Oktober 2015 Pukul
15.40 WIB).
Pada tanggal 3 Juli 2015, Gabungan Buruh Indonesia (GBI) yang terdiri dari
40 (empat puluh) federasi dan empat konfederasi serikat buruh menentang revisi
Peraturan Pemerintah mengenai Jaminan Hari Tua (JHT), sebagai aksi penolakan
GBI melakukan demonstran di Bundaran Hotel Indonesia, dan demo berlangsung
pada pukul 15.30 WIB. Sesuai UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU 40 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, pencairan JHT bisa dilaksanakan setelah seorang pekerja memiliki
masa kerja selama lima tahun. Bila setelah masa kerja lima tahun itu pekerja
bersangkutan masih terus bekerja, maka penerima upah tersebut dapat mencairkan
JHT sebesar 10 persen. Namun bila pekerja itu berhenti bekerja atau pensiun, dia
dapat mencairkan seluruhnya. Akan tetapi melalui ketentuan baru ini, seorang
pekerja baru bisa mencairkan JHT yang menjadi haknya setelah memiliki masa kerja
selama 10 tahun. Tidak hanya buruh, kebijakan baru BPJS ketenagakerjaan terkait
3
pencairan dana JHT mendapat penolakan dari masyarakat. Buktinya, kurang dari 24
jam sejak petisi penolakan kebijakan diunggah di halaman Change.org, sudah lebih
dari 37 ribu netizen memberi dukungan. Jumlah ini pun terus bertambah
(http//www.okezone.com diakses pada tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 15.50 WIB).
Hubungan kerja antara tenaga kerja atau buruh dan pengusaha perlu
diarahkan pada terciptanya kerjasama yang serasi yang dijiwai oleh Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945 dimana masing-masing pihak saling menghormati,
saling membutuhkan, saling mengerti peranan serta hak dan kewajibannya.
Pemerintah diharapkan melakukan pengawasan. Pembinaan dan penegakan hukum
dalam bidang ketenagakerjaan di Negara ini, khususnya dalam bidang jaminan sosial
untuk mewujudkan pengembangan tenaga kerja secara ideal (Ramli, 1997:1).
Menyadari akan pentingnya peningkatan pelayanan perusahaan demi
memenuhi hak-hak normatif buruh, maka pemerintah mengeluarkan program
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) yang sekarang dikenal dengan nama
Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. PT Jamsostek
(Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1947 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang kecelakaan kerja,
Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) Nomor 48 Tahun 1952 jo Peraturan Mentri
perburuhan (PMP) Nomor 8 Tahun 1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha
penyelenggaraan kesehatan buruh, Peraturan Pemerintah Perburuhan (PMP) Nomor
15 Tahun 1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, Peraturan Pemerintah
Perburuhan (PMP) Nomor 5 Tahun 1964 tentang pembentukan Yayasan Dana
Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya Undang-Undang No.14 Tahun 1969
tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Secara kronologis proses lahirnya asuransi
sosial tenaga kerja semakin transparan.
4
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan
hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977
diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1977 tentang pelaksanaan program Asuransi
Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja atau
pengusaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengikuti
program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK). Terbit pula Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 34 Tahun 1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara Asuransi
Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) yaitu Perum ASTEK.
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 1995 ditetapkannya PT Jamsostek
sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi
kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan
kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti
sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undangundang itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal 34
ayat (2), yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan
rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan
motivasi maupun produktivitas kerja.
5
Kiprah
Perusahaan
PT.Jamsostek
(Persero)
yang
mengedepankan
kepentingan dan hak normatif tenaga kerja di Indonesia dengan memberikan
perlindungan empat program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya terus
berlanjutnya hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Tahun
2011, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1
Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum Publik.
PT.Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial) ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),
Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dengan penambahan Jaminan
Pensiun mulai 1 Juli 2015.
Dimulai pada tanggal 1 Juli 2015, buruh dapat mencairkan dana Jaminan Hari
Tua (JHT) berubah dari 5 tahun kepesertaan menjadi 10 tahun dan pencairannya
dibatasi 10 persen untuk kebutuhan sehari-hari, 30 persen untuk kebutuhan
membayar atau membeli rumah, dan tidak dapat dicairkan keduanya. Jika buruh atau
peserta BPJS Ketenagakerjaan ingin mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT)
sepenuhnya maka peserta harus menunggu hingga usia 56 tahun, meninggal dunia,
atau mengalami cacat total tetap (Kumpulan Peraturan PUU Program BPJS
Ketenagakerjaan,2014 & http//www.bpjsketenagakerjaan.go.id diakses pada tanggal
30 Oktober 2015 Pukul 01.35 WIB).
Kemudian peraturan Jaminan Hari Tua (JHT) dianggap tidak adil bagi buruh
atau pekerja, sebab peraturan itu dirasakan sangat memberatkan buruh itu sendiri.
6
Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan jaminan sosial yang iurannya diambil dari gaji
buruh tiap bulannya. Peraturan baru ini menyebabkan banyak pertentangan dan
kekecewaan pada Presiden Jokowi dimana beliau telah gagal dan dianggap
merugikan pihak buruh dan dirasakan tidak adil dalam memberikan keputusan
(http//www.news.detik.com diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 Pukul 01.46
WIB).
Berdasarkan banyaknya kontra dalam peraturan baru tersebut, dan untuk
mengantisipasi kerusahan atau demo buruh, peraturan tersebut kemudian di revisi
dan mulai berjalan pada tanggal 1 September 2015, dimana prosedur pencairan uang
JHT yang dibatasi hanya 10 persen untuk persiapan pensiun, 30 persen untuk biaya
perumahan, dan 100 persen ketika sudah berumur 56 tahun, itu nantinya hanya
berlaku bagi peserta-peserta BPJS ketenagakerjaan yang masih aktif bekerja.
Sementara yang sudah berhenti bekerja, baik itu di PHK, dan mengundurkan diri,
JHT bisa diambil sepenuhnya setelah menunggu satu bulan masa berhenti sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 yang telah direvisi dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015, serta melampirkan dokumen-dokumen
yang telah ditetapkan.Pemerintah akhirnya mengambil keputusan bahwa iuran
jaminan pensiun BPJS ketenagakerjaan sebesar 8 persen. Iuran ini akan ditanggung
pengusaha sebesar 5 persen dan oleh pekerja sebanyak 3 persen. Pelaksanaan iuran
itu
akan
berlaku
serentak
mulai
tanggal
1
Juli
2015
(http//www.bpjsketenagakerjaan.go.id diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 Pukul
02.00 WIB).
Menurut hasil penelitian pada tahun 2014, yang berjudul Respon Karyawan
terhadap pelaksanaan Program BPJS ketenagakerjaan di PT.Mutiara Mukti Farma.
Berdasarkan analisis data, dapat dirumuskan yaitu, dari aspek persepsi dapat
7
diketahui bahwa responden sebagai peserta program BPJS ketenagakerjaan memiliki
persepsi yang positif. Hal tersebut dapat dilihat dari pengetahuan peserta menegenai
program BPJS ketenagakerjaan, meskipun informasi yang didapat dari sosialisasi
masih kurang namun beberapa peserta berusaha mencari informasi lain seperti dari
media masa.
Kemudian dari aspek sikap, dapat diketahui bahwa responden sebagai peserta
program BPJS ketenagakerjaan memiliki sikap yang positif. Hal dapat dilihat dari
tingkat kepuasan karyawan yang puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh
petugas BPJS ketenagakerjaan, namun waktu pemberian dana klaim, karyawan
merasa kurang sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pihak penyelenggara.
Sedangkan dari aspek partisipasi, menunjukkan bahwa responden sebagai
peserta program BPJS ketenagakerjaan memiliki partisipasi yang negatif. Hal
tersebut dapat dilihat dari keterlibatan peserta dalam mengikuti sosialisasi dan
kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh BPJS ketenagakerjaan. Peserta kurang aktif
dalam melaksanakan kegiatan dan juga kewajiban sebagai peserta BPJS
ketenagakerjaan
Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) adalah organisasi serikat buruh
yang mengedepankan terlindungnya hak-hak buruh serta terjadinya perbaikan
terhadap kondisi kerja maupun syarat-syarat kerja yang lebih baik dan manusiawi
dan mengupayakan kesejahteraan hidup kaum buruh dan keluarganya, didirikan pada
tanggal 26 Juli 1999. Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) berbentuk Federasi
(gabungan) dari serikat-serikat buruh sektoral di unit kerja (perusahaan) dan serikat
buruh berdasarkan tempat tinggal. Sebagai salah satu bentuk kesadaran Solidaritas
Buruh Sumatera Utara (SBSU) kepada hak-hak normatif buruh, Solidaritas Buruh
Sumatera Utara (SBSU) mendampingi buruh untuk mendapatkan Asuransi Jaminan
8
Sosial demi tercapainya kelayakan buruh. Hingga saat ini SBSU menaungi 10 basis
yang setiap basis mendampingi buruh yang sudah diikutsertakan dalam Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis
merasa tertarik untuk meneliti bagaimana respon buruh dampingan Solidaritas Buruh
Sumatera Utara (SBSU) terhadap program-program Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) ketenagakerjaan. Maka penulis menyusun penelitian ini dalam satu
karya
ilmiah
dengan
judul
“Respon
Buruh
terhadap
Program BPJS
Ketenagakerjaan Dampingan Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU)”.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis, maka
masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut “bagaimana respon buruh
terhadap program BPJS ketenagakerjaan dampingan Solidaritas Buruh Sumatera
Utara?”.
1.3
Tujuan dan manfaat penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui respon buruh terhadap program BPJS ketenagakerjaan dampingan
Solidaritas Buruh Sumatera Utara.
9
1.3.2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai refrensi dalam
rangka:
a. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berhubungan dengan
jaminan sosial kepada tenaga kerja.
b. Pengembangan kebijakan dan model pelayanan BPJS ketenagakerjaan.
1.4
Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam enam bab, dan adapun sistematika penulisan
dalam penelitian sebagai berikut:
BAB I
:
Pendahuluan
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
:
Tinjauan Pustaka
Bab ini berisikan uraian Konsep-Konsep dan Teori yang
berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka
pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.
BAB III
:
Metode Penelitian
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi
penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.
BAB IV
:
Deskripsi Lokasi Penelitian
Bab ini berisikan tentang gambaran umum tentang lokasi
dimana penulis melakukan penelitian.
10
BAB V
:
Analisis Data
Bab ini berisikan uraian tentang data yang diperoleh dari hasil
penelitian beserta analisisnya.
BAB VI
:
Penutup
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran
yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah
dilaksanakan.
11