Penambahan Bit (Beta Vulgaris L.) Sebagai Pewarna Alami Terhadap Daya Terima dan Kandungan Zat Gizi Kerupuk Merah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keamanan pangan kini menjadi salah satu hal yang mendapat perhatian
serius dari pemerintah. Hal ini dipicu oleh sering terjadinya peristiwa keracunan
makanan yang dialami masyarakat. Dampak keracunan makanan akan
memprihatinkan jika kita sadari bahwa banyak masyarakat yang masih
kekurangan gizi. Apabila mereka terkena keracunan makanan maka status
gizinya akan semakin memprihatinkan (Hidayat, 2006).
Berdasarkan data Sentra Informasi Keracunan (SIker) Nasional pada
bulan april sampai juni 2015 terdapat 56 berita insiden keracunan yang terjadi di
berbagai wilayah Indonesia. Keracunan akibat pangan mendominasi sebanyak
50 insiden. Keracunan akibat pangan berturut-turut disebabkan oleh pangan
jajanan sebanyak 8 insiden keracunan dengan jumlah korban 379 orang.
Pada dasarnya makanan yang ada di alam ini aman untuk dikonsumsi.
Akan tetapi saat dilakukan pengolahan oleh manusia, maka kemungkinan
pencemaran

dapat

terjadi.


Selama

pengolahan,

manusia

sering

kali

menambahkan bahan kimia yang tidak seharusnya dikonsumsi misalnya seperti
logam berat, bahan pengawet yang bukan untuk makanan dan zat pewarna
tekstil. Pengolahan yang tidak baik tersebut dapat menyebabkan rusaknya nilai
gizi makanan (Hidayat, 2006).
Umumnya, pangan olahan diberikan bahan tambahan pangan (BTP)
dalam jumlah kecil yang bertujuan untuk memperbaiki sifat organoleptik
(berupa cita rasa, tampilan dan tekstur) pangan serta untuk mengawetkan

Universitas Sumatera Utara


pangan dalam jangka waktu tertentu. Salah satu BTP yang sering ditambahkan
pada pangan adalah zat pewarna. Berdasarkan asalnya, zat pewarna dapat
dibedakan menjadi zat pewarna alami dan zat pewarna sintetik atau buatan. Zat
pewarna alami yaitu zat warna yang dapat dihasilkan dari tumbuhan, hewan,
mineral, atau sumber alami lain. Sedangkan zat pewarna sintetik adalah pewarna
yang diperoleh melalui proses sintesis secara kimiawi. Tujuan penambahan zat
pewarna pada pangan untuk memperbaiki warna atau tampilan pangan yang
mengalami perubahan selama proses pengolahan, menyeragamkan warna
pangan, dan meningkatkan daya tarik pangan tersebut (SIKer Nas, 2014)
Zat pewarna telah lama digunakan pada makanan. Pada awalnya zat warna
yang digunakan adalah zat warna alami dari tumbuhan dan hewan. Namun
dengan berkembangnya teknologi, kini zat warna sintetik lebih banyak
digunakan. Bagi produsen kecil harga zat pewarna sintetik dianggap cukup
mahal, maka mereka beralih ke zat pewarna tekstil karena lebih murah dan
cerah warnanya, contohnya: Rhodamin B untuk warna merah dan Metanil
Yellow untuk warna kuning. Padahal penggunaan zat pewarna tekstil pada
makanan telah dilarang oleh pemerintah karena berdampak buruk terhadap
kesehatan apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Rhodamin B dan
Metanil Yellow sering digunakan untuk mewarnai kerupuk, terasi, permen,

sirup, biskuit, sosis, makaroni, cendol dan ikan asap (Hidayat, 2006).
Kerupuk merupakan suatu jenis makanan kecil yang sudah lama dikenal
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kerupuk dapat dikonsumsi sebagai
makanan selingan maupun sebagai variasi dalam lauk pauk. Sebagai komoditi

Universitas Sumatera Utara

dagangan kerupuk termasuk kedalam jenis produk industri yang mempunyai
potensi cukup baik. Saat ini pemasarannya berkembang tidak hanya di dalam
negeri, tetapi juga di luar negeri seperti Belanda, Singapura, Hongkong, Jepang,
Suriname dan Amerika Serikat (Koswara, 2009).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, kapasitas produksi
kerupuk di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 17.694 ton, pada tahun 2007
sebesar 17.871 ton dan pada tahun 2008 sebesar 18.959 ton. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa produksi kerupuk mengalami peningkatan dari tahun
ketahun, sehingga dapat diartikan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang
mengkonsumsi kerupuk sehingga permintaan terhadap produksi kerupuk juga
semakin meningkat.
Salah satu kerupuk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
adalah kerupuk merah. Kerupuk merah yang juga dikenal identik dengan

makanan khas Padang adalah makanan pelengkap yang sering dijumpai saat
menyantap lontong sayur, lontong pecal, nasi goreng, soto, mie goreng, mie
rebus dan nasi ampera. Kerupuk merah dibuat dari tepung tapioka dengan
sedikit bahan rempah dan diberi pewarna merah (Wahyono, 2000).
Zat pewarna yang digunakan pada pembuatan kerupuk seringkali
menggunakan zat pewarna yang dilarang. Hasil penelitian Zadiar (2010) pada
kerupuk merah yang dijual dibeberapa pasar Kodya Padang menunjukkan
bahwa semua (100%) zat warna merah yang digunakan dalam pembuatan
kerupuk merah adalah rhodamin B yaitu pewarna tekstil yang dilarang
penggunaannya untuk pengolahan makanan. Hasil penelitian Murtiyanti (2012)

Universitas Sumatera Utara

mengenai penggunaan zat pewarna pada pembuatan kerupuk menunjukkan dari
16 produsen kerupuk ditemukan 17 sampel kerupuk yang menggunakan
pewarna berbahaya yaitu merah 39% (Rhodamin B), kuning 22% (Methanyl
Yellow) dan hijau 13% (Malachite Green), sedangkan yang tidak menggunakan
pewarna adalah kerupuk putih sebanyak 6 sampel kerupuk (26%). Hasil
penelitian Dalimunthe (2010) pada jajanan anak sekolah dasar di Kabupaten
Labuhan Batu Selatan menunjukkan dari 28 sampel jajanan, terdapat 3 sampel

yang mengandung rhodamin B dengan kadar di dalam sampel adalah 0,6 ppm
pada es doger , 50 ppm pada saus tomat dan 59 ppm pada kerupuk.
Bahan pewarna kerupuk dapat diperoleh dari bahan pangan yang
memiliki zat warna alami yang menarik dan dapat menambah nilai gizi kerupuk.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan beberapa pewarna alami yang
diijinkan untuk pangan adalah kurkumin, klorofil, karamel, karoten, merah bit
dan antosianin (SIKer Nas, 2014).
Bit dikenal dengan nama akar bit atau bit merah, merupakan salah satu
varietas Beta Vulgaris. Tanaman ini masuk ke dalam kategori sayur-sayuran
berupa akar, mirip umbi-umbian yang bewarna merah. Bit dibudidayakan
terutama untuk produksi gula karena umbi bit mengandung gula sukrosa dalam
kadar yang tinggi. Selain sebagai pemanis, umbi bit saat ini juga dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber zat pewarna alami. Umbi bit memiliki ciri spesifik
bewarna merah. Walaupun bewarna merah umbi ini tidak memiliki pigmen
merah (antosianin), melainkan kaya akan pigmen betalain. Pigmen betalain yang
terdapat di bit ada dua kelompok yaitu pigmen betasianin yang bewarna merah

Universitas Sumatera Utara

violet dan pigmen betaxanthin yang bewarna kuning. Rata-rata bit mengandung

pigmen betalain sebesar 1.000 mg/100 gr berat kering atau 120 mg/100 gr berat
basah (Andarwulan, 2012).
Bit merupakan sumber potensial akan serat pangan serta berbagai
vitamin dan mineral yang dapat digunakan sebagai sumber antioksidan yang
potensial dan membantu mencegah infeksi. Bit juga mengandung karbohidrat,
protein dan lemak yang berguna untuk kesehatan tubuh (Wirakusumah, 2007).
Menurut Hidayat (2006) pewarna makanan alami sebenarnya tidak
semahal perkiraan masyarakat. Produk ini menjadi mahal karena melalui proses
yang cukup rumit sebelum dijual dalam bentuk serbuk. Namun, jika masyarakat
menggunakan langsung dari tanaman yang ada di sekitar maka produk ini
menjadi murah, bahkan dapat lebih murah dan gampang diperoleh dibandingkan
produk pewarna sintetik.
Pembuatan kerupuk dapat dilakukan dengan penambahan sari bit sebagai
zat pewarna alami. Pada pembuatan kerupuk ini akan menggunakan konsentrasi
sari bit yang berbeda. Penentuan konsentrasi ini diambil batas bawah dan batas
atas adonan, dari hasil percobaan pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti
batas bawah ditentukan dengan konsentrasi 25 % hal ini disesuaikan dengan
jumlah air yang digunakan yaitu sama dengan jumlah sari bit, sedangkan untuk
batas atas ditentukan dengan konsentrasi 50 % yaitu yaitu untuk menghasilkan
warna yang lebih merah pada kerupuk.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mencoba memanfaatkan bit
sebagai bahan pewarna alami dalam pembuatan kerupuk merah. Hal ini menarik

Universitas Sumatera Utara

untuk diteliti dalam sebuah penelitian yang berjudul “Penambahan Sari Bit
(Beta Vulgaris L.) Sebagai Pewarna Alami Terhadap Daya Terima dan
Kandungan Zat Gizi Kerupuk Merah”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumya, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana daya
terima dan kandungan zat gizi kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai
pewarna alami pada pembuatan kerupuk merah.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui daya terima dan kandungan zat gizi kerupuk dengan
penambahan sari bit sebagai pewarna alami.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui bagaimana daya terima (aroma, rasa, warna dan tekstur)
kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai pewarna alami.

2. Mengetahui bagaimana kandungan zat gizi (Serat, protein, lemak, Vitamin
C, kadar air dan kadar abu) kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai
pewarna alami.
3. Mengetahui kerupuk dengan penambahan sari bit yang mempunyai sifat
organoleptik terbaik.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan atau petunjuk bagi produsen maupun pengolah
makanan dalam memproduksi kerupuk merah yang aman untuk dikonsumsi.

Universitas Sumatera Utara

2. Menambah pengetahuan masyarakat bahwa bit dapat digunakan sebagai
alternatif pewarna makanan yang aman dan bergizi.
3. Menambah wawasan kepada penulis dalam aplikasi keilmuan tentang
pemanfaatan bit sebagai pewarna pada makanan.
4. Sebagai bahan pendukung, informasi dan pengembangan bagi penelitian
selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara