Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1. Definisi
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit radang parenkim paru karena
infeksi bakteri Mycobaterium tuberculosis. Penyebaran bakteri ini dapat terjadi
melalu udara secara droplet. Tuberkulosis paru termasuk pneumonia yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari
keseluruhan kejadian penyakit

tuberkulosis,

sedangkan 20% selebihnya

merupakan tuberkulosis ektrapulmonal (di luar paru). Diperkiran sepertiga
penduduk dunia pernah terinfeksi bakteri M. tuberculosis (Djojodibroto, 2007).
2.1.2. Mycobacterium tuberculosis
M. tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982 pada isolasi
patogen dari lesi. Morfologi dari bakteri ini adalah berbentuk batang yang tahan

asam, ramping, lebar 0,4µm, panjang 3-4µm, tidak berspora, dan tidak bergerak.
Bakteri ini dapat diwarnai dengan menggunakan metode khusus (Ziehl-Nelsen,
Kinyoun, fluorescence) (Kayser, 2005).
Bakteri ini menunjukan peningkatan pertumbuhan pada keadaan dengan
kadar CO2 10% dan pH berkisar antara 6,5 sampai 6,8 (Plorde, 2004).
Pembelahan bakteri ini membutuhkan waktu 12-18 jam sehingga kultur bakteri ini
harus diinkubasi selama tiga sampai delapan minggu pada suhu 37oC hingga
proliferasi terlihat secara makroskopis (Kayser, 2005).
Bakteri-bakteri mycobacterium kaya akan lipid. Termasuk di dalamnya
adalah asam mycolic

(asam lemak rantai panjang, C78–C90), waxes, dan

phosphatides. Di dalam sel, sebagian besar lipid berikatan dengan protein dan
polisakarida. Kompleks Muramyl dipeptide (dari peptidoglikan) dengan asam
mycolic dapat menyebabkan pembentukan granuloma; phospholipids memicu

6

nekrosis kaseous. Lipid berperan dalam ketahanan bakteri ini terhadap asam.

Penghilangannya dengan menggunakan asam yang kuat dapat menghancurkan
sifat tahan asam . Sifat tahan asam juga dapat hilang setelah dilakukan sonikasi
pada sel mycobacterium (Jawetz, 2007)

Gambar 2.1 Pewarnaan M. tuberculosis dengan Metode Ziehl-Nelsen (merah)
Sumber : Color Atlas of Medical Microbiology (Kayser, 2005)

7

2.1.3. Patogenesis TB Paru
a. Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis paru terjadi karena bakteri M. tuberculosis dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada
atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap bakteri dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan
(Amin & Asril, 2009) . Partikel bakteri yang berada dalam udara bebas berbentuk
aerosol dengan ukuran 1-5µm. Jika kita menghirupnya maka aerosol akan
menetap di bagian distal saluran pernapasan melewati bronkiolus terminal (Mason
& Summer, 2010).

Individu yang terinfeksi M. tuberculosis pertama kalinya, pada mulanya
hanya memberikan reaksi seperti ada benda asing dalam saluran pernapasannya.
Hal ini disebabkan karena tubuh tidak mempunyai pengalaman dengan bakteri ini
(Djojojdibroto, 2007). Kemudian bakteri akan bermultiplikasi dan difagosit oleh
makrofag. Bakteri ini bisa melanjutkan multiplikasinya di dalam makrofag atau
menjadi dorman untuk beberapa tahun. Beberapa bakteri terbawa ke bagian hilus
dan nodus limfe mediastinum serta ke organ lainnya, termasuk hati, limpa, selaput
otak, dan ginjal (Mason & Summer, 2010). Setelah 3-10 minggu, M. tuberculosis
akan mendapat perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh.
Proses pembentukan pertahanan imunitas seluler akan lengkap setelah 10 minggu
(Djojodibroto, 2007).
Setelah minggu ketiga, bakteri yang difagosit akan dicerna oleh makrofag
dan umumnya akan mati. Namun, M. tuberculosis yang virulen akan bertahan
hidup. Bakteri yang tidak virulen juga akan tetap hidup jika makrofag dan
pertahanan tubuh lemah. Orang yang terinfeksi tidak mengetahui bahwa ia
terinfeksi karena tidak ada gejala atau tanda-tanda yang terlihat. Jika dilakukan tes
mantoux (setelah 3 minggu terinfeksi), akan terbukti bahwa ia telah terinfeksi M.

8


tuberculosis karena hasil tes mantoux menunjukkan hasil positif (Djojodibroto,
2007).
M. tuberculosis akan membelah diri secara lambat di alveolus. Tempat
bakteri membelah ini kemudian menjadi lesi inisial (Initial lung lesion) tempat
pembentukan granuloma yang kemudian mengalami nekrosis dan perkijuan
(kaseasi) di tengahnya. Infeksi ini biasanya berhasil dibatasi agar tidak menyebar
dengan cara terbentuknya fibrosis yang mengelilingi granuloma. Nodus limfa
yang menampung aliran cairan limfa yang berasal dari lesi inisial juga terinfeksi
sehingga juga meradang. Lesi inisial ketika meradang disebut fokus inisial atau
sarang primer (Ghon). Fokus inisial dikelilingi oleh sel epiteloid, histiosit, dan sel
datia Langhans, sel limfoid, dan jaringan fibrosa. Fokus inisial yang meradang
bersama kelenjar limfa yang meradang disebut kompleks primer (Ranke)
(Djojodibroto, 2007).
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:




Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit


bekas garis-garis fibrotik,

kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya
>5mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivitasi lagi karena bakteri


yang dorman.
Berkomplikasi dan menyebar secara: a) per kontinuitatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan
maupun paru sebelahnya. Bakteri juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus, c) secara limfogen ke organ-organ tubuh lain,
dan d) secara hematogen ke organ tubuh lain.

9

b. Tuberkulosis Pasca Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis pasca primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis pasca
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat
menjadi sumber penularan. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil (PDPI,
2006)..
Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut (PDPI, 2006):
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik) . Nasib kaviti ini :



Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang



disebutkan diatas .
Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

10



Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).


Gambar 2.2 Perkembangan Sarang Tuberculosis Post Primer
Sumber : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006)
2.1.4. Gejala Klinis TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke sarana pelayanan kesehatan dengan gejala

11

tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Menkes RI, .2009).


Demam biasanya subfebril walaupun terkadang dapat mencapai 40-410C.

Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat
timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam sehingga
pasien merasa ridak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini
sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya



infeksi bakteri tuberkulosis yang masuk.
Batuk atau batuk berdahak merupakan gejala yang banyak ditemukan.
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering (non-produktif) kemudian sering timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa



batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Sesak napas belum dirasakan saat awal perjalanan penyakit. Sesak napas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah




meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada agak jarang ditemukan. Terjadi jika infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua



pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.
Malaise sering ditemukan berupa anoreksia, badan semakin kurus (BB
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala
malaise ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara
tidak teratur (Amin & Asril, 2009).

2.1.5. Diagnosis TB Paru
Anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis TB. Gejala klinis
TB dapat digolongkan menjadi 2 bagian yaitu respiratorik dan sistemik. Untuk
gejala respiratorik yaitu batuk ≥3 minggu, batuk berdahak/berdarah, sesak napas

12


dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik yaitu demam, malaise, keringat malam,
anoreksia, dan berat badan menurun (PDPI, 2006).
Menurut Kepmenkes RI pada tahun 2009, penegakan diagnosis TB paru
dapat dilakukan dengan cara :
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan (PDPI,
2006) ialah bila :






2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1
kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif

b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
bakteri TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
e. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

13

Gambar 2.3 Skema Alur Diagnosis TB paru
Sumber : Pedoman Penanggulangan TB Kepmenkes RI 2009

14

2.1.6. Pengobatan TB Paru
Dibawah ini adalah pedoman penanggulangan TB di Indonesia menurut
Depkes RI pada tahun 2011.
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan, dan mencegah
terjadinya resistensi bakteri terhadapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan adalah yang tergolong
pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah
ini:

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

15

Tabel 2.2 Jenis, sifat, dan dosis OAT lini pertama

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:


OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan



sangat dianjurkan.
Untuk

menjamin

kepatuhan

pasien

menelan

obat,

dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)


olehseorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.

Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

16

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, Sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu


pirazinamid and etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiridari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.



Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.

17

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)
masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisanresep.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:






Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori I

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

18

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori I

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:






Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.5 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori II

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

19

Tabel 2.6 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori II

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)
Catatan:


Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk



streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.



khusus.

Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan

Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi
4ml.(1ml = 250mg).

c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

20

Tabel 2.8 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lini kedua.
Efek samping OAT
Tabel 2.9 Efek samping ringan OAT

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

21

Tabel 2.10 Efek samping berat OAT

Sumber : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006)

2.2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003)
mengungkapkan bahwa sebelum mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan: awareness, yakni mengetahui objek;
interest, yakni tertarik kepada objek; evaluation, yakni menimbang baik tidaknya
objek; trial, yakni mencoba perilaku baru; dan adoption, yakni berperilaku dengan
sadar pada tentang objek.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan

22

1. Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk di dalamnya adalah mampu mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh objek yang telah
dipelajari atau rangsangan yang telah diberikan. Tingkatan ini merupakan
tingkat pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukurnya antara
lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dsb.
2. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi secara benar. Kata kerja untuk mengukurnya
antara

lain

menjelaskan,

menyebutkan

contoh,

menyimpulkan,

meramalkan, dsb.
3. Aplikasi (Aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat
iartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip,
dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kata kerja untuk
mengukurnya

antara

lain

menggambarkan

(membuat

bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dsb.
5. Sintesis (Synthesis), merujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

23

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu:
pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar,
dan informasi (Mubarak et al., 2007).

2.3. Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan yang
dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga
masyarakat tidak saja sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat
melakukan anjuran yang berhubungan dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan
dalam promosi kesehatan diperlukan sebagai upaya dalam meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran, disamping pengetahuan, sikap, dan tindakan
(Maulana, 2007).
Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan
dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2011).
Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
penting sacara langsung ataupun menggunakan media. Dalam program
penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung per orangan sangat penting
artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini
ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani
pengobatan sacara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat
dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar
dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media
massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk
mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru dari “suatu penyakit yang tidak
dapat disembuhkan dan memalukan” menjadi “suatu penyakit yang berbahaya
tapi bisa disembuhkan”.
Penyuluhan langsung per orangan dapat dianggap berhasil bila penderita
bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya, penderita

24

datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan, anggota keluarga
penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.

2.4. Pengawas Menelan Obat (PMO)
PMO adalah seseorang yang secara sukarela membantu pasien TB dalam
masa pengobatan hingga sembuh. Syarat seseorang bisa menjadi PMO antara lain:




Sehat secara jasmani dan rohani serta bisa baca tulis



Tinggal dekat dengan pasien



Disetujui oleh pasien dan petugas kesehatan



Bersedia membantu pasien secara sukarela



Dikenal, dipercaya, dan disegani oleh pasien

Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien (Depkes RI, 2009)
Orang-orang yang bisa menjadi PMO adalah anggota keluarga atau

kerabat pasien tinggal serumah, tetangga, teman atau atasan, tokoh agama (tokoh
masyarakat atau tokoh adat juga termasuk), kader kesehatan (posyandu, juru
pemantau), anggota organisasi kemasyarakatan, anggota organisasi keagamaan,
dan atau petugas kesehatan (bidan, perawat, dll) (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan Kepmenkes RI No. 364 tahun 2009 tentang Pedoman
Penanggulangan TB di Indonesia, tugas PMO adalah sebagai berikut :




Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.



Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.



ditentukan.

Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana
pelayanan kesehatan.
Tugas seorang PMO bukan untuk mengganti kewajiban pasien menmbil

obat dari sarana pelayanan kesehatan.

25

2.5. Kepatuhan Berobat
Kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Ester, 2000). Secara umum
ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau
memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan
yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan
akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan (Bart, 1994).
Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan
menjadi empat bagian (Ester, 2000), yaitu :
1. Pemahaman tentang Instruksi
Tak seorang pun mematuhi instruksi jika orang tersebut salah paham
tentang instruksi yang diberikan padanya. Ditemukan bahwa lebih dari 60%
pasien yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti
tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini
disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan
informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak
memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.
Menurut Ester (2000), pendekatan praktis untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dapat dilakukan dengan cara, yaitu :
a. Buat instruksi yang jelas dan mudah diinterpretasikan.
b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang
harus diingat.
c. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat,
maka akan ada “efek keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal
yang pertama kali ditulis.
d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal
penting perlu ditekankan.

2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatnya

26

interaksi profesional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk
memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang
diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa
penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga
menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga
juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari
anggota keluarga yang sakit.
4. Keyakinan, sikap, Kepribadian
Ahli

psikologis

telah

menyelidiki

tentang

hubungan

antara

pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan
bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh
dengan orang yang gagal. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang
yang lebih mengalami depresi, sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki
kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih
memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal et al dalam Ester
(2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu
yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program
pengobatan.
Menurut Schwartz & Griffin dalam Bart (1994), riset tentang ketaatan
pasien didasarkan atas pandangan tradisional mengenai pasien sebagai
penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat
dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya dianggap sebagai
masalah kontrol. Riset berusaha untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok
pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur
dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan,
sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti
penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri. Usaha-usaha ini

27

sedikit berhasil, seseorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya
memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional
dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku
ketaatan sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan
perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai
kesehatannya.
Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan (Bart,
1994) disebutkan:
1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan
Perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat
buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), saran mengenai gaya
hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, serta
pengobatan dengan efek samping.
Tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut
dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78%, untuk kesakitan kronis
dengan cara pengobatan jangka panjang, tingkat tersebut menurun sampai
54%.
2. Komunikasi antara pasien dan dokter
Berbagai aspek komunukasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat
ketidaktaatan misalnya, informasi dengan pengawasan yang kurang,
ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter serta
ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.
3. Variabel-variabel sosial
Secara umum, orang-orang yang merasa menerima penghiburan, perhatian,
dan pertolongan yang dibutuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya
cenderung lebih mengikuti nasihat medis daripada pasien yang kurang
mendapat dukungan sosial.
4. Ciri-ciri individual
Variabel-variabel

demografis

juga

digunakan

untuk

meramalkan

ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika Serikat kaum wanita, kaum kulit
putih dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Puskesmas Teladan Tahun 2005

1 29 111

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011

12 86 78

Hubungan Keberadaan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan Keteraturan Berobat Pasien TB Paru Kasus Baru di Puskesmas Ciputat Tahun 2015

0 14 57

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015

0 4 90

Perbedaan Status Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Menelan Obat Penderita TB Paru Tahun 2009.

0 0 1

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015

0 0 14

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015

0 1 4

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015

0 2 4

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015 Appendix

0 0 19