Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keterlambatan Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada Pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Agensi
Keberhasilan penetapan anggaran secara tepat waktu dipengaruhi oleh pihakpihak yang terlibat dalam penyusunan anggaran yaitu pihak eksekutif dan
legislatif, dalam teori keagenan hubungan yang terjalin antara kedua pihak ini
dinamakan dengan hubungan keagenan dimana terdapat dua pihak yang
melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni yang memberikan kewenangan atau
kekuasaan (disebut prinsipal) dan yang menerima kewenangan (disebut agen).
Menurut Andvig et al (2001) dalam Halim dan Abdulah (2006) principal-agent
model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna dalam menjelaskan
masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan kondisi, yakni
(1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan
yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan
kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya
lebih sempit.
Kebijakan otonomi daerah di Indonesia telah membawa perubahan yang
sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau legislatif. Hal ini menunjukkan
bahwa di antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan (Halim &

Abdullah, 2006). Perubahan ini juga berimplikasi pada semakin besarnya peran
legislatif dalam pembuatan kebijakan publik,termasuk penganggaran daerah.

Universitas Sumatera Utara

Proses anggaran diawali dengan penetapan tujuan, target dan kebijakan
anggaran. Proses ini memerlukan waktu yang telah ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Kesamaan persepsi antara berbagai pihak
tentang apa yang akan dicapai dan keterkaitan tujuan dengan berbagai program
yang akan dilakukan sangat krusial bagi kesuksesan anggaran. Pencapaian
konsensus alokasi

sumber daya menjadi pintu pembuka bagi pelaksanaan

anggaran. Proses panjang dari penentuan tujuan ke pelaksanaan anggaran
seringkali melewati tahap yang melelahkan, sehingga perhatian terhadap tahap
penilaian dan evaluasi sering diabaikan (Bastian, 2006).
Proses perencanaan dan penyusunan APBD di tingkat satuan kerja dan
pemerintah daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, secara garis besar sebagai berikut:

1.

SKPD menyusun rencana strategis (Renstra-SKPD) yang memuat visi, misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang bersifat
indikatif sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing,

2.

penyusunan

Renstra-SKPD

dimaksud

berpedoman

pada

rencana


pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). RPJMD memuat arah
kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum,
dan program SKPD, lintas SKPD, dan program kewilayahan,
3.

pemda menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang merupakan
penjabaran dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk
jangka waktu satu tahun yang mengacu kepada Renja Pemerintah,

Universitas Sumatera Utara

4.

Renja SKPD merupakan penjabaran dari Renstra SKPD yang disusun
berdasarkan evaluasi pencapaian pelaksanaan program dan kegiatan tahuntahun sebelumnya,

5.

RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas, pembangunan
dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik

yang dilaksanakan langsung oleh pemda maupun ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat,

6.

kewajiban daerah sebagaimana dimaksud di atas adalah mempertimbangkan
prestasi capaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan
perundang-undangan,

7.

RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan,

8.

Penyusunan RKPD diselesaikan selambat-lambatnya akhir bulan Mei tahun
anggaran sebelumnya,

9.


RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Selanjutnya proses penyusunan APBD yang terjadi di tingkat eksekutif

dan legislatif, sebagai berikut:
1.

proses yang terjadi di eksekutif yaitu secara keseluruhan berada di tangan
sekretaris daerah yang bertanggungjawab mengkoordinasikan seluruh
kegiatan penyusunan APBD, sedangkan proses penyusunan belanja rutin
disusun oleh bagian keuangan pemda. Proses penyusunan penerimaan
dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja
pembangunan disusun oleh Bappeda (bagian penyusunan program dan bagian
keuangan),

Universitas Sumatera Utara

2.

proses penyusunan APBD di tingkat legislatif dilakukan berdasarkan tata

tertib DPRD yang bersangkutan.
Selanjutnya penetapan APBD dilaksanakan dengan melalui tiga tahap

sebagai berikut:
1.

Penyampaian dan Pembahasan Raperda tentang APBD
Menurut ketentuan dari Pasal 104 Permendagri No. 13 Tahun 2006,
Rancangan peraturan daerah (Raperda) beserta lampiran-lampirannya yang
telah disusun dan disosialisasikan kepada masyarakat untuk selanjutnya
disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling lambat pada minggu
pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun anggaran
yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan
keputusan bersama ini harus sudah terlaksana paling lama 1 (satu) bulan
sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dimulai. Atas dasar persetujuan
bersama tersebut, kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala
daerah tentang APBD yang harus disertai dengan nota keuangan. Raperda
APBD tersebut antara lain memuat rencana pengeluaran yang telah
disepakati bersama. Raperda APBD ini baru dapat dilaksanakan oleh
pemerintahan kabupaten/kota setelah mendapat pengesahan dari Gubernur

terkait.

2.

Evaluasi Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah
tentang Penjabaran APBD
Raperda APBD pemerintahan kabupaten/kota yang telah disetujui dan
rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD sebelum
ditetapkan oleh Bupati.Walikota harus disampaikan kepada Gubernur untuk

Universitas Sumatera Utara

dievaluasi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja. Evaluasi ini
bertujuan demi tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan
kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan
aparatur, serta untuk meneliti sejauh mana APBD kabupaten/kota tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi
dan/atau peraturan daerah lainnya. Hasil evaluasi ini sudah harus dituangkan
dalam keputusan gubernur dan disampaikan kepada bupati/walikota paling
lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanaya Raperda APBD

tersebut.
3.

Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD
Tahapan terakhir ini dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Desember

tahun anggaran sebelumnya. Setelah itu Perda dan Peraturan Kepala Daerah
tentang penjabaran APBD ini disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada
Gubernur terkait paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal ditetapkan.

2.1.2

Keterlambatan Penetapan APBD
Ssesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No 58/2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah pasal 53 ayat 2 dan Permendagri no 13/2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 116 ayat 1, penetapan rancangan APBD
tahun berjalan paling lambat adalah 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.
Maka keterlambatan penetapan anggaran terjadi ketika melewati awal tahun

anggaran yang baru. Dengan demikian keterlambatan penetapan APBD terjadi

Universitas Sumatera Utara

ketika dokumen APBD ditetapkan setelah tanggal 1 Januari sebagai awal tahun
fiskal yang baru.
Keterlambatan penetapan APBD berarti terjadi ketidaktepatan waktu
sesuai jadwal yang telah ditentukan. Tepat waktu diartikan bahwa informasi harus
disampaikan sedini mungkin agar dapatdigunakan sebagai dasar dalam
pengambilan

keputusan

ekonomi

dan

untuk

menghindari


tertundanya

pengambilan keputusan tersebut.
Persoalan keterlambatan penetapan APBD berdampak secara sistematis
terhadap siklus pengelolaan keuangan daerah. Pertama, lambatnya penyerapan
belanja APBD dalam bentuk pelayanan publik dan kegiatan proyek yang dapat
segera mendorong perekonomian di daerah awal tahun. Kedua, tingginya dana kas
daerah yang menganggur pada pertengahan tahun anggaran. Indikator tersebut
adalah adanya kas daerah yang disimpan di Bank Indonesia melalui Bank
Pembangunan Daerah (BPD). Ketiga, tingginya aktivitas kegiatan/proyek di
daerah pada akhir tahun menjelang tutup buku anggaran. Penumpukan pencairan
anggaran di akhir tahun dianggap tidak efektif untuk mendorong perekonomian
masyarakat. Oleh karenanya, pemda sangat sibuk mengejar target anggaran hanya
untuk tujuan terpenuhinya ”kinerja keuangan” ditahun tersebut. Permasalahan ini
mengindikasikan lemahnya manajemen penganggaran dan pelaksanaannya oleh
pemerintah. Keempat, upaya percepatan belanja daerah di akhir tahun yang tidak
efektif tersebut semakin menimbulkan permasalahan baru ketika daerah tidak
mampu sepenuhnya menghabiskan anggaran belanjanya.


Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Koordinasi eksekutif dan legislatif
Dalam Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah dijelaskan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah
(DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, selanjutnya dalam Pasal 151 ayat 2 undang-undang
tersebut diatas juga dijelaskan

bahwa DPRD kabupaten wajib melakukan

koordinasi dengan bupati dalam menetapkan program pembentukan Perda
Kabupaten dimana salah satunya adalah Perda tentang APBD.
Koordinasi dapat diartikan sebagai suatu usaha yang sinkron dan teratur
untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan
untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran
yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah
mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan
pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu
dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu
sendiri (Hasibuan, 2007).
Koordinasi merupakan salah salah satu fungsi manajemen yang memegang
peranan sama penting dan setara dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya,
kesuksesan koordinasi akan menjamin keberhasilan pelaksanaan pekerjaan atau
pencapaian tujuan organisasi. Dalam hal penetapan APBD, pemahaman yang baik

Universitas Sumatera Utara

atas koordinasi memungkinkan eksekutif dan legislatif dapat merencanakan dan
melaksanakan koordinasi dengan baik
Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda, agar
kegiatan dari pada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masingmasing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal, agar
memperoleh hasil secara keseluruhan. Koordinasi yang efektif adalah suatu
keharusan untuk mencapai administrasi / manajemen yang baik dan merupakan
tanggungjawab yang langsung dari pimpinan. Koordinasi dan kepemimpinan
tidak bisa dipisahkan satu sama lain oleh karena itu satu sama lain saling
mempengaruhi. Setiap pimpinan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif
akan menjadi pengarah untuk mendayagunakan dan meningkatkan hubungan
orang-organisasi, menciptakan iklim yang kondusif untuk memotivasi orangorang , bekerja sama secara efektif, sehingga tujuan dapat dicapai. Akan lebih
baik apabila tujuan orang, organisasi, dan masyarakat dapat menyatu (Davis, et.
al), dalam (Afiah, 2009). Kepemimpinan yang efektif akan menjamin koordinasi
yang baik sebab pemimpin berperan sebagai koordinator.
Koordinasi adalah suatu proses dimana pimpinan mengembangkan pola
usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan
tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Handoko (2003) mendefinisikan
koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan
kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidangbidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara
efisien. kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan
bermacam-macam satuan pelaksanannya (Handoko, 2003).
2.1.4

Kompetensi eksekutif dan legislatif
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 27 ayat 1 (i), bahwa kepala

daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah, maka dibutuhkan
kompetensi dari kepala daerah yang memadai untuk melaksanakan hal tersebut,
selanjutnya dalam undang-undang No. 32 tahun 2004 pasal 40 menjelaskan
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat
daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah, dan
pasal 41 menjelaskan DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Peran eksekutif dan legislatif dalam pertimbangan penyusunan kebijakan fiskal,
dalam proses anggaran, dan sampai pada penyelenggaraan akuntansi di sektor
publik sangatlah penting. Peran itu menyangkut kapabilitas analitis yang
mencakup pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman eksekutif dan legislatif,
terutama di bidang akuntansi dan penganggaran. Ketiadaan latar belakang
dibidang akuntansi akan berdampak pada fungsi penganggaran dan akuntansi,
yaitu pada kemungkinan tidak digunakannya informasi akuntansi di dalam proses
anggaran dan di dalam banyak keputusan keuangan lainnya (Afiah, 2009).
Wangi dan Ritonga (2010) menjelaskan bahwa anggota dari organisasi
sektor publik khususnya yang terlibat dalam penyusunan APBD hendaknya
memiliki dasar ilmu yang berkaitan dengan sistem penyusunan anggaran.
Eksekutif daerah yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau
ekonomi akan lebih teliti dan detil dalam penyusunan anggaran karena dianggap

Universitas Sumatera Utara

lebih memahami sistem penyusunan anggaran. Dengan pemahaman tersebut
tentunya dapat mempengaruhi proses penyusunan APBD. Sebagaimana
dinyatakan oleh Wangi dan Ritonga (2010) bahwa latar belakang pendidikan
mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan penyusunan APBD atau ketepatan
waktu penyusunan APBD.
Tim anggaran eksekutif atau yang sering dikenal TAPD (Tim Anggaran
Pemerintah Daerah) adalah elemen dari eksekutif yang bertugas dan berwenang
dalam proses penyusunan anggaran (APBD) di tataran eksekutif. Tim anggaran
eksekutif / TAPD Kabupaten Labuhanbatu sesuai dengan Keputusan Bupati
Labuhanbatu

Nomor 903/129/DPPKAD/2014 Tanggal 5 Juni 2014 tentang

Pembentukan Tim Anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten labuhanbatu
mempunyai tugas sebagai berikut :
1.

Menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dengan KUA, PPA yang telah
disetujui dan dokumen perencanaan lainnya serta capaian kerja, indikator
kinerja, kelompok sasaran kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan
harga, serta sinkronisasi program kegiatan antar SKPD,

2.

Melaksanakan asistensi RKA yang diajukan oleh Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD)

3.

Melakukan koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu,

4.

Menuangkan RKA-SKPD yang telah dibahas dan disempurnakan ke dalam
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Kabupaten Labuhanbatu,

5.

Menyusun Rancangan Peraturan Bupati terkait dengan Pelaksanaan APBD,

Universitas Sumatera Utara

6.

Menyusun

Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan

Daerah tentang Penjabaran APBD Kabupaten Labuhanbatu,
7.

Melaporkan Rancangan KUA dan PPAS APBD kepada Bupati Labuhanbatu
sebelum disampaikan kepada DPRD Kabupaten Labuhanbatu.
Anggaran

yang

ditetapkan

menjadi

dasar

bagi

eksekutif

untuk

melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi
legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja eksekutif
dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah (Abdullah dan Asmara, 2006).
Tim anggaran legislatif atau Badan Anggaran merupakan alat
kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal
masa jabatan keanggotaan DPRD. Badan Anggaran terdiri dari pimpinan DPRD,
satu wakil dari setiap komisi dan utusan fraksi berdasarkan perimbangan jumlah
anggota. Badan Anggaran mempunyai tugas sebagai berikut :
1.

memberikan aran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada
Kepala Daerah dalam mempersiapkan RAPBD selambat-lambatnya lima
bulan sebelum ditetapkannya APBD,

2.

memberikan

saran

dan

pendapat

kepada

Kepala

Daerah

dalam

mempersiapkan penetapan, perubahan dan perhitungan APBD sebelum
ditetapkan dalam rapat paripurna,
3.

memberikan saran dan pendapat kepada DPRD mengenai pra rancangan
APBD, RAPBD, perubahan dan perhitungan APBD yang telah disampaikan
oleh Kepala Daerah,

4.

memberikan saran dan pendapat terhadap rancangan perhitungan anggaran
yang disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD,

Universitas Sumatera Utara

5.

menyusun anggaran belanja DPRD dan memberikan saran terhadap
penyusunan anggaran belanja sekretariat DPRD.

2.1.5

Kepentingan eksekutif dan legislatif
Proses penyusunan

hingga pembahasan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah selalu terdapat unsur kepentingan baik dari eksekutif maupun
legislatif. Kepentingan ada yang berbeda ada pula yang sama. Kepentingan
Legislatif bisa digolongkan menjadi dua, yakni kepentingan formal dan
kepentingan informal. Kepentingan formal berupa hasil komitmen dari rapat
internal badan anggaran dan informal berupa kepentingan partai pengusungnya
dan konstituennya. Sedangkan kepentingan dari pihak eksekutif secara normatif
adalah fokus pembangunan yang kemudian di breakdown dalam Rancangan
Kerja Pemerintah Daerah (Ramadhan, 2012).
Kepentingan yang dibahas di internal tim anggaran eksekutif, terkait
dengan kepentingan masyarakat dan anggaran setiap Satuan Kerja dan Perangkat
Daerah. Kepentingan masyarakat tersebut masuk melalui musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang) mulai dari tingkat desa/kelurahan
hingga tingkat kabupaten. Kemudian kepentingan tersebut dipilah-pilah mana
yang menjadi prioritas dan superprioritas. Dalam hal ini yang menjadi prioritas
adalah bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Ketiga bidang ini
menjadi superprioritas disebabkan oleh dua hal, yakni (1) merupakan acuan dari
pemerintah pusat dan provinsi, (2) merupakan problem yang paling utama dari
Kabupaten Labuhanbatu selanjutnya dimasukkan kedalam Rancangan Kerja
Pemerintah Daerah setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah yang kemudian

Universitas Sumatera Utara

anggaran dan programnya diartikulasikan sebagai kepentingan eksekutif melalui
Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
Sebelum kepentingan eksekutif dibawa dalam pembahasan dengan
Badan Anggaran, terlebih dahulu dilakukan pembahasan ditataran tim anggaran.
Kepentingan yang dibahas meliputi semua kepentingan masyarakat yang masuk
melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbang), hasil
Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) dan usulan dari Satuan Kerja
Perangkat Daerah baik proyek atau program maupun anggaran. Selanjutnya
setelah usulan-usulan program atau proyek dari Satuan Kerja Perangkat Daerah
dan kepentingan masyarakat dibahas di dalam internal tim anggaran eksekutif
Selanjutnya diartikulasikan sebagai kepentingan eksekutif yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dimasukkan dalam Rancangan
Kerja Perangkat Daerah (RKPD). Rancangan Kerja Pemerintah daerah ini
berlaku hanya selama satu tahun saja.
TAPD membawa usulan setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah dan
kepentingan

masyarakat

yang

masuk

melalui

mekanisme

musyawarah

perencanaan pembangunan daerah untuk dibahas bersama dengan Badan
Anggaran Legislatif. Selain itu ada kepentingan dari dewan sendiri yakni terkait
dengan hal kesekretariatan, yang pengajuannya melalui sekretaris DPRD
kemudian diusulkan kepada TAPD. Usulan setiap SKPD yang dimajukan sudah
merujuk pada visi dan misi kepala daerah yang kemudian dijabarkan kedalam
Rancangan Kerja Pemerintah Daerah. Apabila dari segi anggarannya kepentingan
eksekutif adalah usulan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tercantum
dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Platfon Prioritas Anggaran Sementara.

Universitas Sumatera Utara

Kepentingan yang dibahas di legislatif daerah atau yang lebih sering
disebut sebagai Badan Anggaran sama halnya dengan eksekutif daerah
mempunyai kepentingan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Kepentingan yang dimiliki oleh pihak legislatif memiliki sedikit
perbedaan dengan pihak eksekutif meskipun secara garis besar bisa dikatakan
sama. Jika kepentingan yang dibawa eksekutif adalah usulan program dan
anggaran dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah serta kepentingan publik
yang masuk melalui proses musyawarah perencanaan pembangunan, mulai dari
tingkat kelurahan/desa hingga tingkat kabupaten. maka di pihak legislatif ada
dua kepentingan yakni, kepentingan publik yang dibawa melalui proses Jaring
Aspirasi Masyarakat yang dilaksanakan waktu reses sebanyak tiga kali dan
kepentingan yang berasal dari misi partai, titipan pemilihnya atau dalam kata
lain kepentingan konstituennya dan kepentingan mitra kerja yang terintegrasi
dalam komisi.
Kepentingan publik yang dibawa adalah terkait dengan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan dan pemenuhan kebutuhan kostituennya dalam
bentuk proyek atau program yang diarahkan kepada daerah pemilihan setiap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kebutuhan atau kepentingan
konstituen dianggap juga sebagai kepentingan publik “sempit” karena ruang
lingkupnya adalah hanya daerah pemilihan. Kepentingan publik yang dibawa
setiap anggota legislatif berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini
dikarenakan kebutuhan masyarakat setiap daerah pemilihan berbeda. Untuk itu
hasil dari proses Jaring Aspirasi Masyarakat dibahas di dalam tataran internal
legislatif hingga tercapai kesepakatan bersama. Jaring aspirasi masyarakat

Universitas Sumatera Utara

dilaksanakan tiga kali selama setahun yakni ketika waktu reses. Oleh karena
adanya perbedaan kepentingan publik yang masuk seringkali terjadi perdebatan
mana yang diakomodir. Kepentingan yang masuk melalui Jaring Aspirasi
Masyarakat sulit sekali dipertemukan dalam tataran internal legislatif. Hal ini
dikarenakan anggota legislatif lebih cenderung bersifat sektoral.
kedua kepentingan yang berbeda di antara pihak eksekutif dan legislatif,
diusahakan menjadi satu kesepahaman diantar kedua lembaga tersebut, dan untuk
mencapai hal tersebut dilakukan negosiasi. Negosiasi yang dilakukan kedua belah
pihak dilakukan melalui dua mekanisme, yakni mekanisme formal dan informal.
Mekanisme formal ini dilakukan melalui forum-forum atau rapat-rapat resmi baik
di wilayah internal hingga melibatkan kedua belah pihak. Mekanisme informal
dilaksanakan setelah forum-forum resmi, namun hal ini juga mengakibatkan
terjadinya penggeseran anggaran atau pengurangan alokasi yang kemudian
dimasukkan ke pos-pos lain sesuai kesepakatan badan anggaran dan tim anggaran
eksekutif ataupun dimasukkan ke tahun anggaran selanjutnya sehingga
memungkinkan terjadinya proses transaksional (Ramadhan, 2012).

2.1.6 Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD
Sanksi dapat diartikan sebagai suatu ganjaran yang dapat memberikan
efek jera kepada individu atau organisasi yang diberikan sanksi tersebut.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2005 yang telah diubah dengan PP
Nomor 65 Tahun 2010 tentang

Sistem

Informasi Keuangan Daerah

menjelaskan keterlambatan APBD dalam konteks pengenaan sanksi adalah
apabila penyampaian APBD terjadi setelah melewati batas waktu yaitu tanggal

Universitas Sumatera Utara

31 Januari, namun demikian pemerintah pusat tidak langsung secara tegas
mengenakan sanksi pada tanggal 1 Februari. Dikarenakan 1 bulan kemudian
pemerintah pusat baru menerbitkan peringatan tertulis kepada pemda. Apabila
sampai dengan 2 bulan setelah diterbitkannya peringatan tertulis pada tanggal 1
Maret tahun fiskal yang baru APBD masih belum ditetapkan, sanksi dikenakan
pada pada daerah yang lewat dari tanggal 30 April. Sanksi tersebut adalah
penundaan pencairan sebesar 25% dari Dana Alokasi Umum (DAU) perbulan
mulai bulan Mei sampai dengan bulan ditetapkannya APBD. Mengenai sanksi
penundaan Dana Alokasi Khusus (DAK), Pencairan hanya diberikan pada
daerah yang telah menyampaian Perda APBD yang sudah ditetapkan sebelum
batas waktu yaitu tanggal 31 Januari tahun fiskal yang baru. Namun demikian,
kelemahan mekanisme ini adalah hanya berlaku bagi daerah-daerah yang
menerima transfer DAK berdasarkan ketetapan daerah penerima DAK. Bagi
daerah yang tidak menerima DAK tidak ada motivasi yang sangat kuat untuk
menggerakkan dipercepatnya penetapan APBD. DAK juga bersifat proyek fisik
yang erat kaitannya dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa yang konon
menjadi momok bagi aparat pemerintahan. Ditambah lagi dengan laporan
pertanggungjawabannya yang harus tepat waktu secara triwulanan kepada 3
menteri (Menteri Keuangan, Menteri Teknis dan Menteri Dalam Negeri) sebagai
persyaratan pencairan DAK tahap berikutnya. Adalah sangat tidak adil jika
dikarenakan kesalahan yang dilakukan Kepala Daerah dan Anggota DPRD yang
terlambat mengesahkan Perda APBD masyarakat harus ikut merasakan akibat
dari sanksi penundaan DAU tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya Pasal 312 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang pemerintah daerah mewajibkan Kepala daerah dan DPRD menyetujui
bersama rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum
dimulainya tahun anggaran setiap tahun. Jika DPRD dan kepala daerah yang
tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya
tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud peraturan tersebut diatas,
maka Kepala Daerah dan Anggota DPRD dikenai sanksi administratif berupa
tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan selama 6 (enam) bulan, tetapi sanksi tersebut tidak dapat
dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD
disebabkan oleh kepala daerah terlambat menyampaikan rancangan Perda
tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.1.7

Peraturan Perundangundangan
Dalam hal ini, Peraturan Perundangundangan yang dimaksud adalah

peraturan yang menjadi acuan dalam penyusunan APBD diantaranya , UndangUndang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah
diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU
Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah mengalami perubahan sebanyak tiga
kali.

Universitas Sumatera Utara

Selain peraturan – peraturan tersebut diatas juga terdapat peraturan menteri
dalam negeri yang secara khusus mengatur tentang pedoman penyusunan APBD
yang terbit setiap tahun, dan seringkali mengatur hal-hal yang rinci sekali, yang
membuat pemerintah daerah harus senantiasa menyesuaikan dengan ketentuan
tersebut bahkan bisa dikatakan seolah-olah membatasi kewenangan daerah dalam
menentukan prioritas pembangunan daerahnya. Adanya peraturan menteri tersebut
seolah-olah menjadi operasionalisasi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.

2.2 Review Peneliti Terdahulu
Peneliti mencoba menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
keterlambatan penetapan APBD. Penelitian empiris membuktikan bahwa yang
mempengaruhi penetapan APBD berbeda-beda. Perbedaan ini mungkin saja
disebabkan oleh beberapa faktor misalnya data yang digunakan, perbedaan
tempat penelitian, perbedaan periode pengamatan penelitian dan lain sebagainya.
Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menguji pengaruh
beberapa variabel terhadap keterlambatan penetapan APBD. Penelitian Wangi
dan Ritonga (2010) yang berjudul identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya
keterlambatan dalam penyusunan APBD (studi kasus kabupaten rejang lebong
tahun anggaran 2008-2010) yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan
APBD, khususnya di Kabupaten Rejang Lebong dan hasil penelitian ini telah
menemukan bahwa faktor hubungan eksekutif dan legislatif, latar belakang
pendidikan, indikator kinerja, komitmen, penyusun APBD secara keseluruhan

Universitas Sumatera Utara

memberikan pengaruhnya terhadap keterlambatan penyusunan APBD sebesar
70,983%,
Selanjutnya Kartiko (2011) dengan menggunakan model persamaan
regresi logit diperoleh hasil bahwa formasi pemerintahan berupa single minority
party, minority coalition, majority coalition, dan single majority party
mempengaruhi keterlambatan penetapan APBD. Semakin kuat dukungan partai
eksekutif di parlemen semakin cepat penetapan APBD-nya. Namun demikian
seberapa lama delay penetapan APBD yang terjadi tidak dipengaruhi oleh 4
formasi pemerintahan tersebut yang ditunjukkan melalui estimasi model data
panel. Hasil Penelitian ini juga menjelaskan bahwa sebelum batas waktu
keterlambatan – 1 Januari tahun fiskal baru – ketegangan eksekutif-legislatif
dipengaruhi oleh 4 formasi pemerintahan daerah dan besarnya total belanja
APBD. Setelah pemerintahan daerah tersebut gagal memenuhi ketepatan waktu
penetapan APBD sebelum batas waktu, faktor-faktor yang mempengaruhi
lamanya penetapan APBD antara lain adalah besarnya total belanja APBD, dan
kepemilikan sumber daya alam. Sedangkan besarnya nilai gaji dan tunjangan
anggota DPRD ternyata mempercepat penetapan APBD.
Sedangkan Sutaryo dan Carolina (2012) dalam penelitiannya yang
bertujuan untuk menguji pengaruh karakteristik pemerintah daerah terhadap
ketepatan waktu penetapan APBD pemerintah daerah di Indonesia. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 197 pemerintah daerah di Indonesia pada
tahun 2012. Penelitian ini menggunakan data softcopy penetapan APBD tahun
2012 yang diperoleh dari Kemendagri RI, data softcopy laporan keuangan
pemerintah daerah yang diperoleh dari BPK RI serta data eksekutif dan DPRD

Universitas Sumatera Utara

yang diperoleh dari website pemerintah daerah dan KPU RI. Penelitian ini
menggunakan binary logistic regression untuk menguji hipotesis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa status pemerintah daerah, latar
belakang pendidikan kepala daerah, ukuran DPRD, komposisi DPRD, current
ratio dan debt to equity ratio berpengaruh terhadap ketepatan waktu penetapan
APBD. Sementara itu, ukuran pemerintah daerah dan umur kepala daerah tidak
berpengaruh terhadap ketepatan waktu penetapan APBD. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa ukuran pemerintah daerah dan komposisi DPRD
berpengaruh terhadap keterlambatan waktu penetapan APBD, sedangkan status
pemerintah daerah, umur kepala daerah, latar belakang pendidikan kepala
daerah, ukuran DPRD, current ratio dan debt to equity ratio tidak berpengaruh
terhadap ketidaktepatan waktu penetapan APBD.
Penelitian oleh Subechan dkk (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan
Penyebab keterlambatan penetapan APBD Kabupaten Kudus TA 2009 sampai
dengan TA 2013 dapat dijelaskan faktor komitmen dan kepentingan eksekutif,
yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 22,617 %., faktor koordinasi dan
komunikasi antara eksekutif dan legislatif, yang menjelaskan variasi seluruh
item sebesar 18,366 %, faktor kompetensi dan komitmen legislatif, yang
menjelaskan variasi seluruh item sebesar 8,993 %, faktor koordinasi dan
kompetensi SKPD, yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 8,603 %,
faktor peraturan perundang-undangan, yang menjelaskan variasi seluruh item
sebesar 7,258 %.
Hasil-hasil penelitian terdahulu secara singkat dapat dilihat pada Tabel
2.1 sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1.
Hasil Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti
Wangi
Ritonga
2010

Kartiko,
(2011)

Judul
&

Variabel Independen

Hasil Yang Diperoleh

Identifikasi FaktorFaktor
Penyebab
terjadinya
Keterlambatan
Dalam Penyusunan
APBD (Studi Kasus
Kabupaten Rejang
Lebong
TahunAnggaran
2008-2010)

Pengaruh
ketidakmayori
tasan partai politik
kepala daerah dalam
DPRD
(divided
government)
terhadap
keterlambatan pe
netapan
APBD
(budget delay)
berdasarkan
perspektif ekonomi
politik

1. devided government
2. belanja APBD,
3. gaji dan tunjangan
DPRD
4. sumber daya alam.
5. masa kepemimpinan
kepala daerah
6. besaran dana alokasi
umum

Faktor

faktor
:
Hubungan Eksekutif dan
Legislatif,
Latar
Belakang
Pendidikan,
Indikator Kinerja,
Komitmen,
Penyusun APBD secara
keseluruhan memberikan
sebesar
pengaruhnya
70,983
%
terhadap
keterlambatan penyusunan
APBD
1. formasi
pemerintahan
berupa single minority
party, minority coalition,
majority coalition, dan
single majority party
mempengaruhi
keterlambatan penetapan
APBD.
2. semakin kuat dukungan
partai
eksekutif
di
parlemen semakin cepat
penetapan APBD-nya.
3. setelah
pemerintahan
daerah tersebut gagal
memenuhi
ketepatan
waktu penetapan APBD
sebelum batas waktu,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi lamanya
penetapan APBD antara
lain adalah besarnya
total belanja APBD, dan
kepemilikan
sumber
daya alam.
4. nilai gaji dan tunjangan
anggota
DPRD
mempercepat penetapan
APBD.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1.
Hasil Penelitian Terdahulu (lanjutan)
Nama
Peneliti
Sutaryo dan
Carolina
2012

Subechan,
dkk
2014

Judul

Variabel Independen

Hasil Yang Diperoleh

Ketepatan
waktu
Penetapan Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Daerah
Pemerintah Daerah
di Indonesia

Variabel Independen :
Status
Pemerintah
Derah, Size Pemerintah
Daerah,
Latar
Belakang Pendidikan
Kepala Daerah, Umur
Kepala
Daerah,
Ukuran
DPRD,
Komposisi
DPRD,
Current Ratio, Debt to
Equity Ratio

Status Pemerintah Daerah,
Latar
Belakang
Pendidikan
Kepala
Daerah, Ukuran DPRD,
dan Komposisi DPRD
berpengaruh
terhadap
Ketepatan Waktu dalam
menetapkan
APBD,
namun Size Pemerintah
Daerah dan Komposisi
Daerah, Umur Kepala
Daerah, tidak berpengaruh
terhadap Ketepatan Waktu
dalam menetapkan APBD

Analisis
Faktorfaktor
Penyebab
Keterlambatan
Penetapan
APBD
Kabupaten Kudus

Variabel independen :
Komitmen
dan
Kepentingan
Eksekutif, Koordinasi
dan Komunikasi antara
Eksekutif
dan
Legislatif, Kompetensi
dan
Komitmen
Legislatif, Koordinasi
dan
Kompetensi
SKPD,
Peraturan
Perundang-undangan.

Dalam pengujian lanjutan
Size Pemerintah Daerah,
dan Komposisi DPRD
berpengaruh
terhadap
Keterlambatan Penetapan
APBD
Penyebab keterlambatan
penetapan
APBD
Kabupaten Kudus TA
2009 sampai dengan TA
2013 dapat dijelaskan oleh
5 faktor dengan varian
sebesar 65,837 % yakni
komitmen
dan
kepentingan
eksekutif,
koordinasi
dan
komunikasi
antara
eksekutif dan legislatif,
kompetensi dan komitmen
legislatif,
koordinasi dan kompetensi
skpd, peraturan perundangundangan.

Universitas Sumatera Utara