Pengaruh Metode Perlakuan Awal (Pre-Treatment) dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Fisik, Kimia, dan Fungsional Tepung Ubi Jalar Oranye

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ubi jalar (Ipomea batatas L.) di Indonesia belum dianggap sebagai
komoditas penting sebagai pemenuhan akan gizi karbohidrat. Masyarakat pada
umumnya beranggapan bahwa ubi jalar identik dengan makanan masyarakat kelas
bawah dan juga kebiasan masyarakat mengkonsumsi olahan panganan ubi jalar
yang masih terbatas pada produk makanan tradisional, seperti keripik, ubi rebus,
dan getuk membuat paradigma masyarakat kalau ubi jalar kurang menarik.
Padahal potensi ekonominya cukup baik, antara lain dapat diaplikasikan dalam
bidang bahan pangan, bahan subtitusi tepung terigu, bahan baku industri, dan
pakan ternak.
Ubi jalar merupakan salah satu komoditi pangan yang dapat tumbuh
dengan subur di Indonesia dan mampu beradaptasi di lahan yang kurang subur
dan kering. Produksi ubi jalar di Sumatera Utara pada tahun 2014 (ATAP) sebesar
146.622 ton, naik sebesar 29.951 ton dibandingkan produksi tahun 2013
(BPS Provinsi Sumatera Utara, 2015). Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat,
setelah padi, jagung, dan ubi kayu. Kandungan gizi lain dari ubi jalar adalah
protein, lemak, serat kasar, kalori, abu, mineral, dan juga beberapa vitamin,

seperti vitamin C, B1, B2, dan kandungan vitamin A yang baik untuk kesehatan
mata pada ubi jalar yang mempunyai warna kuning kemerahan. Semakin pekat
warna kuning kemerahan dari umbi, maka semakin tinggi pula kandungan
β-karotennya.

1
1
Universitas Sumatera Utara

2

Terdapat beberapa varietas ubi jalar, di antaranya ubi jalar putih, ubi jalar
ungu, ubi jalar kuning, dan ubi jalar oranye dengan berbagai macam bentuk,
warna kulit, dan daging umbi. Ubi jalar yang memiliki warna akan memberikan
hasil warna alami pada tepung dan hasil olahannya sehingga tampak lebih
menarik, seperti pada ubi jalar oranye yang mengandung β-karoten cukup tinggi
yang baik untuk kesehatan mata. Namun ubi jalar juga memiliki kekurangan,
yaitu daya simpan cenderung rendah karena kandungan airnya yang cukup tinggi
sehingga ubi jalar dapat cepat rusak dan dapat terjadi perubahan warna alami jika
ubi dibiarkan pada ruangan terbuka setelah dilakukan pengupasan tanpa dilakukan

perendaman. Ubi jalar mengandung polifenol oksidase yang dapat mengubah
warna daging ubi yang kontak dengan udara. Buah dan sayuran yang telah
dikupas kulitnya pada perlakuan awal akan mengalami reaksi pencoklatan
enzimatik atau timbulnya warna gelap pada daging umbi (Meyer, 1973).
Timbulnya warna gelap pada daging ubi tidak disukai oleh produsen karena akan
mempengaruhi hasil akhir tepung ubi jalar. Diharapkan dengan tidak
dilakukannya pengupasan dapat menekan warna gelap yang timbul akibat
perlakuan awal. Selain itu, perlakuan awal, seperti perendaman dalam sodium
metabisulfit (Na2S2O5) juga dapat menghindari terjadinya pencoklatan. Menurut
Purwanto, dkk. (2013) salah satu cara untuk menghambat reaksi pencoklatan
adalah dengan perendaman dalam sodium metabisulfit. Sodium metabisulfit dapat
berinteraksi dengan gugus karbonil, hasil reaksi tersebut dapat mengikat
melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Ada tidaknya
pengupasan dan pemberian sulfit dapat bertindak sebagai pelindung terhadap
panas dan oksidasi.

Universitas Sumatera Utara

3


Peningkatan nilai jual ubi jalar oranye, daya simpan, nilai gizi, dan
diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mengolah ubi jalar oranye menjadi
tepung karena kandungan airnya menjadi lebih rendah sehingga memiliki daya
simpan lebih panjang, biaya transportasi dapat diminimalisir, penyimpanan lebih
praktis, dan juga dapat digunakan sebagai tepung subtitusi dalam pembuatan kue,
biskuit, dan mie.
Beberapa kelemahan dari tepung ubi jalar oranye adalah dari segi warna
dan aroma yang dimilikinya. Warna tepung ubi jalar oranye dapat berubah dari
alaminya menjadi kecoklatan akibat reaksi pencoklatan enzimatis ketika proses
pengolahannya kurang tepat, seperti ketika ubi dikupas dan dibiarkan terbuka
tanpa perendaman. Umumnya aroma tepung ubi jalar oranye memiliki aroma khas
ubi jalar yang kurang disukai oleh konsumen karena menimbulkan bau langu. Hal
ini dapat terjadi karena degradasi β-karoten akibat proses pengeringan.
Salah satu cara mengatasi kelemahan tepung ubi jalar oranye adalah
dengan melakukan proses pengolahan melalui pemberian perlakuan awal
(pre-treatment) dengan ada atau tidaknya proses pengupasan, perendaman dalam
larutan sodium metabisulfit, dan pengendalian suhu pengeringan yang akan
memberikan pengaruh terhadap mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar
oranye, sehingga dapat meningkatkan aplikasinya dalam pembuatan produk
pangan.


Perumusan Masalah
Pemanfaatan ubi jalar oranye (Ipomea batatas L.) di Indonesia masih
rendah padahal ubi jalar oranye merupakan salah satu komoditi umbi yang dapat
diolah menjadi bahan baku tepung, namun disisi lain ubi jalar oranye memiliki

Universitas Sumatera Utara

4

kelemahan, yaitu warna yang dapat mengalami perubahan pada saat pengolahan
tepung dan memiliki aroma khas ubi jalar (bau langu) yang kurang disukai. Oleh
karena itu, diperlukan pengembangan proses pengolahan tepung ubi jalar oranye
dengan melihat pengaruh perlakuan awal (pre-treatment) dan pengaturan suhu
pengeringan terhadap mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye
yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan aplikasinya pada produk pangan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode
perlakuan awal dan suhu pengeringan tepung ubi jalar oranye dan menghasilkan

tepung ubi jalar oranye dengan mutu fisik, kimia, dan fungsional yang sesuai
untuk produk pangan.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di
Progam Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan, dapat mendorong penggunaan ubi jalar oranye dalam
bidang pangan, menjadi informasi ilmiah bagi pihak yang membutuhkan, dan
bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

Hipotesis Penelitian
Perbedaan metode perlakuan awal pada umbi dan suhu pengeringan serta
interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang berbeda terhadap mutu
fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye.

Universitas Sumatera Utara

5

TINJAUAN PUSTAKA


Ubi Jalar Oranye (Ipomea batatas L.)
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) memiliki banyak sebutan di Indonesia
seperti mantang di Banjar Kalimantan, ketela rambat di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Tidak hanya Indonesia, ubi jalar juga memiliki nama yang berbeda di
berbagai negara, seperti Spanyol dan Philipina dikenal dengan nama camote,
shaharkuand di India, kara-imo di Jepang, anamo di Nigeria, getica di Brazil,
apichu di Peru, dan ubitora di Malaysia (Koswara, 2009b).

Gambar 1. Ubi jalar oranye
Adapun klasifikasi tanaman ubi jalar berdasarkan Juanda dan Cahyono
(2000) adalah sebagai berikut :
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae
Kelas

: Dicotyledonae


Ordo

: Convolvulales

Famili

: Convolvulaceae

Genus

: Ipomoea

Spesies

: Ipomoea batatas L. Sin batatas edulis choisy.
Ubi jalar merupakan tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan baik di

daerah subtopis. Tanah yang memiliki pH 5,6-6,6 lebih baik untuk
5

5
Universitas Sumatera Utara

6

pertumbuhannnya, suhu optimal berkisar 24-25 oC dengan curah hujan baik
kisaran 750-1250 mm (Koswara, 2009b). Umur panen ubi jalar relatif pendek,
yaitu 4-5 bulan dengan produktivitas 10-30 ton/ha. Umumnya dalam satu tahun
ubi jalar dapat ditanam hingga dua kali. Semakin lama umur penyimpanan ubi
jalar akan membuat semakin manis rasanya (Widowati, 2009).
Secara umum ubi jalar terbagi dalam dua golongan, antara lain ubi jalar
yang berumbi keras karena kadar patinya yang tinggi dan ubi jalar berumbi lunak
karena banyak mengandung air. Warna daging ubi jalar bermacam-macam, ada
yang berwarna putih, kuning, jingga atau oranye, dan ungu (Koswara, 2009b).
Kulit umbi dari ubi jalar ada dua jenis, yaitu tebal dan tipis. Begitu juga dengan
kandungan getahnya, terdapat jenis yang bergetah banyak dan sedang atau sedikit.
Secara umum bentuk umbi dapat dibedakan seperti bentuk bulat dan lonjong
dengan bagian permukaannya rata atau tidak rata (Winarno dan Laksmi, 1973).
Secara umum kandungan proksimat ubi jalar oranye dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan proksimat ubi jalar oranye

No
1
2
3
4
5
6

Komposisi Gizi
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar serat (%)
Kadar protein (%)
Kadar lemak (%)
Kadar karbohidrat (%)

Jumlah
69,80
1,00
1,00

0,46
1,70
26,04

Sumber : Adepoju dan Adejumo (2015)

Pantastico (1986) menyatakan bahwa ubi jalar kuning memiliki warna
daging jingga atau oranye dengan bentuk cenderung lonjong dengan permukaan
kulit tidak rata, lunak dan kandungan vitamin A dan C tinggi. β-karoten
merupakan bahan pembentuk vitamin A dalam tubuh. Vitamin A baik untuk
kesehatan mata. Richana (2013) menyatakan bahwa pada ubi jalar terkandung

Universitas Sumatera Utara

7

β-karoten yang tinggi, seperti pada ubi jalar putih mengandung β-karoten
260 µg/100 g, ubi jalar berwarna kuning mengandung 2.900 µg/100 g, dan ubi
jalar oranye berwarna jingga mengandung 9.900 µg/100 g. Semakin pekat warna
jingga pada ubi, semakin tinggi pula β-karoten yang terkandung di dalamnya.

Adanya ikatan rangkap pada struktur kimia β-karoten menyebabkan β-karoten
tidak stabil terhadap reaksi oksidasi ketika terkena udara, cahaya, dan panas
(Tungriani, dkk., 2012). Struktur kimia β-karoten dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur β-karoten (Mac Dougall, 2002)
Tepung Ubi Jalar
Secara umum tepung terbuat dari padi-padian dan umbi-umbian yang
dihasilkan melalui beberapa tahapan hingga menjadi tepung kering. Tepung jika
diamati di mikroskop akan tampak seperti zat berbentuk butir-butir granula.
Tepung memiliki sifat tidak larut dalam air, sehingga akan mengendap jika
bercampur dengan air, tetapi jika dipanaskan sambil diaduk tepung akan
mengalami pengembangan lalu mulai mengental pada suhu 64-72

o

C. Ini

dinamakan proses gelatinisasi (Tarwotjo, 1998).
Menurut Iwansyah (2005) dalam Damayanthi (2011) suhu gelatinisasi
awal tepung ubi jalar adalah 76,5 oC dan maksimum suhu gelatinisasi adalah
106,5 oC. Tepung ubi jalar memiliki warna yang menarik sesuai dengan warna
bahan baku ubinya, seperti ungu, kuning, oranye, dan putih. Warna yang menarik

Universitas Sumatera Utara

8

dapat dihasilkan melalui proses pengolahan yang tepat. Jika kurang tepat akan
menurunkan mutu warna tepung menjadi berwarna kecoklatan. Umumnya tepung
umbi memiliki indeks glikemik rendah dengan pati resistennya yang tinggi
sehingga mampu mencegah timbulnya penyakit degeneratif (Widowati, 2009).
Warna tepung ubi jalar akan semakin gelap seiring dengan makin tingginya
kandungan abu dan juga akan cepat mengalami kerusakan jika kandungan
lemaknya tinggi (Zuraida dan Supriati, 2001). Standar mutu tepung ubi jalar dan
komposisi kimia tepung ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Standar mutu tepung ubi jalar
Kriteria
Kadar air (maks)
Keasaman (maks)
Kadar pati (min)
Kadar serat (maks)
Kadar abu (maks)

Tepung ubi jalar
15 %
4 ml 1 N NaOH/100 g
55 %
3%
2%

Sumber : Antarlina (1998)

Tabel 3. Komposisi kimia tepung ubi jalar oranye
Komponen
Air (%)
Abu (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Pati (%)
β-karoten (mg/100g)

Jumlah
8,67
3,45
3,48
1,27
83,94
65,31
3,43

Sumber : Ahmed, dkk., 2010

Pengeringan tepung dapat dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari
dan pengeringan dengan alat pengering buatan, seperti oven, pengering kabinet,
dan drum dryer. Pengeringan akan lebih efektif pada aliran udara yang terkontrol.
Pengeringan dengan alat pengering buatan umumnya berlangsung lebih cepat
daripada pengeringan matahari, selain itu warna bahan yang dikeringkan juga
lebih dapat dipertahankan (Koswara, 2009b).

Universitas Sumatera Utara

9

Pati
Pati adalah bentuk homopolimer dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri
dari amilosa (senyawa berantai lurus) dan amilopektin (senyawa bercabang).
Unit-unit glukosa pada amilosa liner yang dihubungkan melalui ikatan
α-1,4-glukosidik dengan jumlah unit glukosa antara ratusan sampai ribuan unit.
Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 3. Sedangkan unit-unit glukosa pada
amilopektin bercabang karena adanya ikatan α-1,6 pada titik tertentu. Struktur
amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4. Percabangannya relatif pendek karena
hanya 20-30 unit glukosa. Pati sering dijumpai dalam umbi-umbian, biji-bijian,
kentang, dan kacang-kacangan (Muchtadi, dkk., 1993).

Gambar 3. Struktur amilosa (Eliasson, 2004)

Gambar 4. Struktur amilopektin (Eliasson, 2004)
Menurut Greenwood (1975) dalam Koswara (2009a) pati tersusun paling
sedikit terdiri dari tiga komponen utama, yaitu 15-30 % amilosa, 70-85 %
amilopektin, dan 5-10 % material, seperti protein dan lemak. Struktur dan jenis
material tiap sumber pati berbeda-beda tergantung pada sifat botaninya.

Universitas Sumatera Utara

10

Umumnya pati umbi dan batang mengandung material antara lebih sedikit
daripada pati biji.
Metode fisika dalam proses modifikasi pati, seperti perlakuan pemanasan
atau perlakuan suhu dapat mengakibatkan permukaan granula pati terbuka
sehingga menyebabkan daya penetrasi lebih cepat dan pori-pori lebih besar.
Dengan adanya modifikasi pada ubi jalar oranye dapat mempengaruhi sifat tahan
panas yang dapat diminimalkan dan agar viskositas serta gelatinisasinya lebih
baik. Pati termodifikasi bersifat tidak larut air dingin. Kemampuan molekul pati
dalam mengikat molekul air melalui pembentukan ikatan hidrogen berpengaruh
terhadap swelling power (Retnaningtyas dan Putri, 2014).

Sodium Metabisulfit
Natrium metabisulfit atau sodium metabisulfit (Na2S2O5) secara fisik
berbentuk serbuk berwarna putih yang mudah larut dalam air dan sedikit larut
dalam alkohol, memiliki bau khas seperti sulfur dioksida dan mempunyai rasa
asam atau asin, dan lebih stabil daripada natrium bisulfit (Desrosier, 1988). Sulfit
digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit, dan
metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak
terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH dibawah 3. Selain sebagai pengawet,
sulfit juga dapat berinteraksi dengan gugus karbonil mengikat melanoidin
sehingga mencegah timbulnya warna coklat (Syarief dan Irawati, 1988). Struktur
kimia sodium metabisulfit dapat dilihat pada Gambar 5.

Universitas Sumatera Utara

11

Gambar 5. Sodium metabisulfit (Praja, 2015)
Menurut Lindsay (1996) dalam Erawati (2006) penggunaan metabisulfit
juga dapat dilakukan dengan cara disemprot atau direndam. Perlakuan ini akan
memberi kontrol yang efektif terhadap enzim pencoklatan yang dapat mengkatalis
proses oksidasi senyawa fenolik, seperti polifenol oksidase.
Salah satu komoditas yang mudah mengalami reaksi pencoklatan setelah
dikupas adalah ubi jalar. Terbentuknya reaksi pencoklatan diakibatkan karena
reaksi oksidasi dengan udara karena pengaruh enzim pencoklatan yang terdapat
dalam bahan pangan. Pencoklatan enzimatis adalah reaksi antara oksigen dan
senyawa fenol yang dikatalis oleh polifenol oksidase. Untuk menghindarinya,
setelah buah dikupas dan diiris hendaknya direndam dalam larutan sodium
metabisulfit 0,3 % selama lebih kurang satu jam (Widowati, 2009). Reaksi
pencoklatan dapat dicegah dengan penambahan sulfit sebelum bahan dikeringkan
dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Reaksi sulfit dalam mencegah pencoklatan (Danilewicz, dkk., 2008)

Universitas Sumatera Utara

12

Gas SO2 (sulfur dioksida) dapat diberikan dalam bentuk sulfit, bisulfit,
atau metabisulfit, selain bersifat sebagai zat pemucat sulfit juga dapat mengurangi
jumlah mikroba, menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan browning
enzimatik, mencegah reaksi browning nonenzimatik, serta bekerja sebagai agen
pereduksi (Winarno, 1993). Konsentrasi sodium metabisulfit yang semakin tinggi
akan membuat kandungan abu dalam tepung menjadi semakin meningkat karena
dalam sodium metabisulfit terdapat mineral Na dan S. Suhu pengeringan yang
rendah akan menghasilkan lebih sedikit kandungan abu pada bahan yang
mengalami penguraian (Kusumawati, dkk., 2012).

Pengeringan
Pengeringan merupakan proses berkurangnya kandungan air dari suatu
bahan hingga pada batas tertentu yang bertujuan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk. Beberapa keuntungan produk yang diolah dengan
proses pengeringan adalah masa simpannya lebih panjang, praktis karena
volumenya lebih kecil, mudah dalam penyimpanan dan pengangkutan. Semakin
tinggi suhu pengeringan berbanding terbalik dengan kadar patinya yang semakin
rendah, hal ini dikarenakan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan rusaknya
molekul pati pada saat pengeringan (Lidiasari, dkk., 2006).
Pengaruh pengeringan terhadap kualitas bahan pangan tergantung pada
jenis bahan yang akan dikeringkan, perlakuan pendahuluan, lama pengeringan,
jenis proses pengeringan, dan lain-lain. Semakin tinggi suhu dari pengeringan dan
semakin lama perlakuan pengeringan akan membuat semakin banyak pigmen
warna yang berubah (Susanto dan Saneto, 1994). Pengolahan tepung ubi jalar
dengan menggunakan suhu atau panas ternyata juga dapat menurunkan kandungan

Universitas Sumatera Utara

13

β-karoten yang terdapat di dalamnya. Menurut Bengtson, dkk., (2008) dalam
Oloo, dkk., (2014) pengolahan tepung ubi jalar dapat menurunkan kandungan
β-karoten hingga 25 % jika proses dilakukan dengan cara pengukusan,
pengeringan, dan penggorengan.
Proses pengeringan memberikan pengaruh perubahan sifat fisis dan kimia
terhadap pigmen warna dalam pangan. Bahan pangan segar biasanya berwarna
lebih terang dibandingkan setelah melalui proses pengolahan. Semakin tinggi
suhu dan semakin lama waktu pengeringan maka semakin banyak pula zat warna
yang akan berubah. Pigmen warna karotenoid akan mengalami perubahan selama
proses pengeringan. Tidak hanya zat warna, vitamin-vitamin seperti vitamin C
dapat hilang selama proses pengeringan karena sangat peka terhadap panas dan
oksidasi (Desrosier, 1988).

Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian Pangastuti, dkk. (2013) menunjukkan bahwa perlakuan
pendahuluan perendaman 24 jam dan perebusan 90 menit dapat meningkatan
kadar air, namun menurunkan kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan jika
dilakukan pengupasan kulit dengan adanya perlakuan pendahuluan maka dapat
menurunkan kadar air dan kadar lemak pada tepung kacang merah. Pengupasan
kacang merah dapat meningkatkan kecerahan, derajat putih sekaligus menurunkan
densitas kamba dan padat.
Hasil penelitian Ahmed, dkk. (2010) menunjukkan bahwa kandungan
fenolik pada tepung dengan perlakuan ubi jalar tidak dikupas memiliki jumlah
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ubi yang dikupas, karena pada kulit
terkandung fenolik dalam jumlah yang tinggi. Tidak hanya itu kandungan asam

Universitas Sumatera Utara

14

askorbat pada tepung yang mengalami perlakuan tidak dikupas menunjukkan
retensi lebih tinggi terhadap asam askorbat. Ada tidaknya pengupasan dan
pemberian sulfit dapat bertindak sebagai perisai terhadap panas dan oksidasi.
Perlakuan pemberian sulfit memberikan efek terhadap kualitas karakteristik
tepung ubi jalar dibandingkan yang tidak diberi perlakuan, sehingga dapat
meningkatkan kualitas produk dari segi warna, rasa, tingkat kemanisan, dan
nutrisinya.
Menurut Akaerue dan Onwuka (2010) dalam Pangastuti, dkk. (2013)
menunjukkan hasil penelitian bahwa tepung yang diproses tanpa pengupasan kulit
lebih cepat basah atau lebih cepat menyerap air dibandingkan tepung yang
diproses dengan adanya pengupasan kulit pada tepung kacang hijau. Hasil
penelitian menurut Adepoju dan Adejumo (2015) menunjukkan bahwa adanya
kulit pada ubi jalar dapat membantu mempertahankan nilai protein, karbohidrat,
tetapi menurunkan kandungan lemak di ubi jalar rebus.
Perbedaan suhu pengeringan dapat memberikan pengaruh terhadap
karakteristik fisik dan kimia tepung. Penelitian ini menggunakan tiga suhu yang
berbeda, yaitu 50 oC, 60 oC, dan 70 oC dan hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi suhu pengeringan maka tepung yang dihasilkan akan semakin
rendah kadar airnya sama halnya dengan kandungan protein tepung umbi yang
semakin rendah (Septiani, dkk., 2015).

Universitas Sumatera Utara