Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM-1) pada saat Kehamilan, Persalinan, Pelepasan Plasenta dan Nifas pada Preeklamsia dan Kehamilan Normal
BAB I
PENDAHULUAN
1.5.
Latar Belakang
Preeklamsia merupakan sindrom spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria pada
kehamilan lebih dari 20 minggu (Wiknjnosastro 2010). Preeklamsia dan
eklamsia sampai saat ini masih merupakan masalah besar dalam
pelayanan obstetri (kebidanan) dan merupakan salah satu penyebab
utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin selain perdarahan dan
infeksi (Tanjung, Siddik, Hariman, 2005).
Secara keseluruhan, preeklamsia menjadi komplikasi pada 3-8%
kehamilan dan menimbulkan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia
(Carty, Delles, 2010). Sebanyak 10-15% dari mortalitas pada ibu hamil
disebabkan
oleh
preeklamsia
(Duley,
2009).
Di
negara
sedang
berkembang, tingkat preeklamsia sebagai penyebab kematian tersebut
dapat mencapai 42%. Sedangkan di Indonesia, penelitian di RS H. Adam
Malik dan RS Pirngadi Medan pada tahun 2000-2002 dijumpai angka
kejadian preeklamsia/eklamsia sebanyak 7%(Girsang, 2004).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2010
menunjukkan angka 220 per 100.000 kelahiran hidup dan merupakan
tertinggi di Negara ASEAN. Menurut MDGs target AKI untuk tahun 2015
adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih jauh dari target
yang harus dicapai. Sementara berdasarkan survei demografi dan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 AKI (yang berkaitan dengan
kehamilan, persalinan dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka kematian ibu akibat eklamsia di Indonesia pada tahun 2001
adalah 23,7% dan menurun pada tahun 2008 menjadi 13%. Dibandingkan
dengan negara tetangga kita Malaysia, angka kematian ibu menunjukkan
angka 281 per 100.000 kelahiran hidup, dan angka kematian ibu akibat
eklamsia di Negara tersebut adalah sebesar 14,1% dari total kematian ibu
(Roeshadi, 2007).
Tingginya mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan di
Indonesia selain disebabkan etiologi yang tidak jelas, juga oleh perawatan
dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistim
rujukan yang belum sempurna.Upaya penanggulangan penyakit ini akan
memberikan hasil yang lebih baik apabila dapat ditangani pada stadium
dini. Dengan demikian, deteksi dini merupakan kunci keberhasilan
penanganan penyakit ini sehingga dapat dilakukan intervensi terhadap
perjalanan penyakit agar dapat dihindari timbulnya akibat buruk terhadap
ibu maupun janin (Birawa,Hadisaputra, Hadijono, 2009).
Penelitian membagi upaya deteksi dini preeklamsia menjadi 5
golongan besar, yaitu : pemeriksaan baku pada perawatan antenatal
(ANC = Ante Natal Care), pemeriksaan hematologi, pemeriksaan sistem
vaskuler, pemeriksaan biokimia dan USG (ultrasonografi) (Sibai, Stella,
2009).
Dalam ilmu klinis, ada kecenderungan untuk fokus pada prediksi
marker awal/ deteksi dini karena memungkinkan kita untuk membuat
Universitas Sumatera Utara
perencanaan manajemen yang tepat, mengenali komplikasi secara dini,
dan selanjutnya merencanakan langkah-langkah pencegahan sehingga
akhirnya meningkatkan hasil secara keseluruhan. Suatu kehamilan
dibatasi hingga 40 minggu, dan karena preeklamsia didefinisikan sebagai
hipertensi dan proteinuria pada paruh kedua kehamilan, yaitu setelah 20
minggu kehamilan (Ahmed, 2011).
Saat ini wanita yang mengalami preeklamsia hanya dapat dikenali
dengan munculnya gejala klinis seperti hipertensi dan proteinuria.. Tidak
ada tes prediktif untuk mengidentifikasi wanita hamil yang kelak akan
berkembang menjadi preeklamsia, demikian juga mana yang dapat
berkembang menjadi onset dini atau lanjut, jenis ringan atau berat,
bahkan berubah menjadi eklamsia. Prevalensi preeklamsiayang tinggi
(5%), dikaitkan dengan resiko tinggi yang mengancam kehidupan ibu yang
mencapai 10-15% dari seluruh kematian ibu selama kehamilan.
Selanjutnya, menjadi jelas bahwa ada komplikasi jangka pendek dan
jangka panjang bagi bayi yang lahir lebih awal, dengan berat badan lahir
rendah, atau setelah terpapar oleh lingkungan stres seperti pada
preeklamsia. Dari 99 wanita preeklamsia dalam penelitian Garcia,
sebanyak 43,7% wanita mengalami kompikasi serius berupa abrupsio
plasenta, sindrom HELLP, sampai kelanjutan ke eklampsia. Selain itu,
komplikasi terburuk pada bayi dapat terjadi kematian janin dalam rahim.
Wanita yang mengalami preeklamsia juga memiliki resiko tinggi terhadap
masalah kesehatannya di kemudian hari seperti prevalensi penyakit
kardiovaskuler yang tinggi (Garcia, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Preeklamsia memiliki dampak yang tinggi pada morbiditas dan
mortalitas ibu dan bayi, sehingga terus menjadi subyek klinis yang intensif
dan
untuk
dilakukan
penelitian
dasar
yang
bertujuan
untuk
mengidentifikasi serum baru ataupun marker yang efektif untuk menilai
resiko dan mengurangi komplikasi yang timbul. Pada tahun 2004,
penanda serum untuk memprediksi preeklamsiamemasuki era baru
dengan berbagai penelitian tentang VEGF reseptor-1, sFlt-1, PIGF yang
diidentifikasi sebagai penanda serum terjadinya preeklamsia, namun
belum memberikan hasil yang memuaskan. Untuk itu diperlukan upaya
yang ditujukan pada identifikasi baru untuk memprediksi preeklampsi yang
akurat pada trimester pertama kehamilan. Hal Ini akan memungkinkan
penggunaan terapi profilaksis atau pencegahan yang efektif sedini
mungkin selama kehamilan. Penanda serum yang mampu memprediksi
preeklamsia dengan tingkat deteksi yang baik dan nilai positif palsu yang
rendah akan membuka jalan bagi peningkatan perawatan antenatal dan
perinatal (Petla, 2013).
Aktivasi sel endotel masih merupakan pusat permasalahan pada
pathogenesis
preeklamsia
oleh
karena
terjadi
disfungsi/kerusakan
endotel. Teori disfungsi endotel sebagai penyebab preeklamsia yang
ditandai dengan dikeluarkannya Molekul Perekat Sel (CAM = cell
adhesion molecule) akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian para ahli
(Krauss,Emons, Kuhn, 2002).
Disfungsiendotel menyebabkan permeabilitas vaskularmeningkat
sehingga menyebabkan edema danproteinuria. Jika terjadi disfungsi
Universitas Sumatera Utara
endotel maka pada permukaan endotel akan mengekspresikan molekul
adhesi,
seperti
vascular
cell
adhesion
molecule-1
(VCAM-1)dan
intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1).Peningkatan kadar soluble
VCAM-1 ditemukan dalamsupernatant kultur sel endotel yang diinkubasi
denganserum penderita preeklamsia, tetapi tidak dijumpaipeningkatan
molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin (Fotis, 2012)
VCAM-1 merupakan reseptor permukaan sel yang diekspresikan
pada sel endotel dan mesotelial yang berfungsi untuk mengatur aktivitas
leukosit (Yurkovetsky, 2010). Beberapa penelitian telah melaporkan
bahwa plasenta berfungsi sebagai sumber sitokin inflamasi di sirkulasi,
termasuk peningkatan VCAM-1 pada kondisi preeklamsia (Agarwal,
2011). Farzadina, Ayatollahi, Hasan, et al (2009) tidak menunjukkan
adanya perbedaan kadar serum VCAM-1 pada wanita normal dengan
wanita preeklamsia ringan, tetapi ada perbedaan antara VCAM-1 serum
antara wantia dengan preeklamsia ringan dan berat. Adapun kadar
VCAM-1 dan preeklamsia sangat bervariasi berdasarkan lokasi geografi
dan ras.
1.6.
Rumusan Masalah
Dari berbagai teori yang dikemukakan pada saat ini, yang
menyelidiki faktor penyebab preeklamsia, namun penyebabnya belum
diketahui dengan pasti. Demikian juga insiden penyakit ini yang bervariasi
di seluruh dunia. Beberapa teori yang banyak dianut adalah: (1) teori
kelainan vaskularisasi plasenta; (2) teori iskemia plasenta, radikal bebas,
Universitas Sumatera Utara
dan disfungsi endotel; (3) teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin;
(4) teori adaptasi kardiovaskuler; (5) teori defisiensi genetik; (6) teori
defisiensi gizi; (7) teori inflamasi.
Pada
teori
iskemia
plasenta,
radikal
bebas,
dan
disfungsi
endoteldijelaskan bahwa pada kerusakan endotel, menyebabkan berbagai
patofisiologi terjadinya gejala-gejala pada preeklamsia, seperti pada
pembuluh
darah,
kerusakan
endotel
menyebabkan
vasokonstriksi
pembuluh darah sehingga terjadinya hipertensi. Pada ginjal, fungsi renal
akan
meningkat
dikarenakan
kerusakan
endotel
sehingga
filtrasi
glomerulus terganggu dan menyebabkan proteinuria. Kerusakan endotel
tersebut mengeluarkan faktor-faktor pro dan anti inflammasi sebagai
contoh VCAM-1 yang merupakan faktor pro inflammasi. Hal inilah yang
mendorong peneliti melakukan penelitian dan dengan latar belakang
permasalahan tersebut, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah VCAM-1 sebagai salah satu penanda disfungsi endotel
berperan besar sebagai penyebab preeklamsia
2. Apakah terdapat perbedaan kadar VCAM-1 pada saat kehamilan,
setelah pemberian magnesium sulfat, saat persalinan dan nifas (24
jam post partum) pada Preeklamsia Berat dibanding Kehamilan
Normal (Normotensi)
3. Apakah ada korelasi antara kadar VCAM-1 dengan tekanan darah
pada saat kehamilan, setelah pemberian magnesium sulfat, saat
Universitas Sumatera Utara
persalinan dan nifas (24 jam post partum) pada Preeklamsia Berat
dibanding Kehamilan Normal (Normotensi)
1.7.
Tujuan Penelitian
1.7.1. Tujuan umum
Untuk menganalisis kerusakan endotel sebagai salah satu
penyebab preeklamsia berat dengan memeriksa VCAM-1.
1.7.2. Tujuan khusus
1. Menganalisis
perbedaan
antara
kadar
VCAM-1
pada
saat
kehamilan,setelah pemberian magnesium sulfat, saat persalinan dan
nifas (24 jam post partum).
2. Menganalisis korelasi antara kadar VCAM-1 dengan tekanan darah
pada ibu hamil, setelah pemberian magnesium sulfat, saat persalinan
dan nifas (24 jam post partum) dengan preeklamsia berat dan
kehamilan normal (Normotensi).
1.8. Manfaat Penelitian
Publikasi ilmiah internasional yang telah disetujui adalah berjudulSoluble
Vascular Cell Adhesion Molecule-1 and Magnesium sulphate with
Nifedipine treatment in Indonesian women with severe preeclampsia,
2016. Dari uraian diatas maka manfaat penelitian ini adalah agar:
4. Pemahaman tentang preeklamsia menjadi lebih baik.
5. Sebagai dasar untuk penatalaksanaan PEB (aktif/ pasif).
6. Pengaruh pemberian MgSO4 terhadap perbaikan kerusakan endotel.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.5.
Latar Belakang
Preeklamsia merupakan sindrom spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria pada
kehamilan lebih dari 20 minggu (Wiknjnosastro 2010). Preeklamsia dan
eklamsia sampai saat ini masih merupakan masalah besar dalam
pelayanan obstetri (kebidanan) dan merupakan salah satu penyebab
utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin selain perdarahan dan
infeksi (Tanjung, Siddik, Hariman, 2005).
Secara keseluruhan, preeklamsia menjadi komplikasi pada 3-8%
kehamilan dan menimbulkan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia
(Carty, Delles, 2010). Sebanyak 10-15% dari mortalitas pada ibu hamil
disebabkan
oleh
preeklamsia
(Duley,
2009).
Di
negara
sedang
berkembang, tingkat preeklamsia sebagai penyebab kematian tersebut
dapat mencapai 42%. Sedangkan di Indonesia, penelitian di RS H. Adam
Malik dan RS Pirngadi Medan pada tahun 2000-2002 dijumpai angka
kejadian preeklamsia/eklamsia sebanyak 7%(Girsang, 2004).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2010
menunjukkan angka 220 per 100.000 kelahiran hidup dan merupakan
tertinggi di Negara ASEAN. Menurut MDGs target AKI untuk tahun 2015
adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih jauh dari target
yang harus dicapai. Sementara berdasarkan survei demografi dan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 AKI (yang berkaitan dengan
kehamilan, persalinan dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka kematian ibu akibat eklamsia di Indonesia pada tahun 2001
adalah 23,7% dan menurun pada tahun 2008 menjadi 13%. Dibandingkan
dengan negara tetangga kita Malaysia, angka kematian ibu menunjukkan
angka 281 per 100.000 kelahiran hidup, dan angka kematian ibu akibat
eklamsia di Negara tersebut adalah sebesar 14,1% dari total kematian ibu
(Roeshadi, 2007).
Tingginya mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan di
Indonesia selain disebabkan etiologi yang tidak jelas, juga oleh perawatan
dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistim
rujukan yang belum sempurna.Upaya penanggulangan penyakit ini akan
memberikan hasil yang lebih baik apabila dapat ditangani pada stadium
dini. Dengan demikian, deteksi dini merupakan kunci keberhasilan
penanganan penyakit ini sehingga dapat dilakukan intervensi terhadap
perjalanan penyakit agar dapat dihindari timbulnya akibat buruk terhadap
ibu maupun janin (Birawa,Hadisaputra, Hadijono, 2009).
Penelitian membagi upaya deteksi dini preeklamsia menjadi 5
golongan besar, yaitu : pemeriksaan baku pada perawatan antenatal
(ANC = Ante Natal Care), pemeriksaan hematologi, pemeriksaan sistem
vaskuler, pemeriksaan biokimia dan USG (ultrasonografi) (Sibai, Stella,
2009).
Dalam ilmu klinis, ada kecenderungan untuk fokus pada prediksi
marker awal/ deteksi dini karena memungkinkan kita untuk membuat
Universitas Sumatera Utara
perencanaan manajemen yang tepat, mengenali komplikasi secara dini,
dan selanjutnya merencanakan langkah-langkah pencegahan sehingga
akhirnya meningkatkan hasil secara keseluruhan. Suatu kehamilan
dibatasi hingga 40 minggu, dan karena preeklamsia didefinisikan sebagai
hipertensi dan proteinuria pada paruh kedua kehamilan, yaitu setelah 20
minggu kehamilan (Ahmed, 2011).
Saat ini wanita yang mengalami preeklamsia hanya dapat dikenali
dengan munculnya gejala klinis seperti hipertensi dan proteinuria.. Tidak
ada tes prediktif untuk mengidentifikasi wanita hamil yang kelak akan
berkembang menjadi preeklamsia, demikian juga mana yang dapat
berkembang menjadi onset dini atau lanjut, jenis ringan atau berat,
bahkan berubah menjadi eklamsia. Prevalensi preeklamsiayang tinggi
(5%), dikaitkan dengan resiko tinggi yang mengancam kehidupan ibu yang
mencapai 10-15% dari seluruh kematian ibu selama kehamilan.
Selanjutnya, menjadi jelas bahwa ada komplikasi jangka pendek dan
jangka panjang bagi bayi yang lahir lebih awal, dengan berat badan lahir
rendah, atau setelah terpapar oleh lingkungan stres seperti pada
preeklamsia. Dari 99 wanita preeklamsia dalam penelitian Garcia,
sebanyak 43,7% wanita mengalami kompikasi serius berupa abrupsio
plasenta, sindrom HELLP, sampai kelanjutan ke eklampsia. Selain itu,
komplikasi terburuk pada bayi dapat terjadi kematian janin dalam rahim.
Wanita yang mengalami preeklamsia juga memiliki resiko tinggi terhadap
masalah kesehatannya di kemudian hari seperti prevalensi penyakit
kardiovaskuler yang tinggi (Garcia, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Preeklamsia memiliki dampak yang tinggi pada morbiditas dan
mortalitas ibu dan bayi, sehingga terus menjadi subyek klinis yang intensif
dan
untuk
dilakukan
penelitian
dasar
yang
bertujuan
untuk
mengidentifikasi serum baru ataupun marker yang efektif untuk menilai
resiko dan mengurangi komplikasi yang timbul. Pada tahun 2004,
penanda serum untuk memprediksi preeklamsiamemasuki era baru
dengan berbagai penelitian tentang VEGF reseptor-1, sFlt-1, PIGF yang
diidentifikasi sebagai penanda serum terjadinya preeklamsia, namun
belum memberikan hasil yang memuaskan. Untuk itu diperlukan upaya
yang ditujukan pada identifikasi baru untuk memprediksi preeklampsi yang
akurat pada trimester pertama kehamilan. Hal Ini akan memungkinkan
penggunaan terapi profilaksis atau pencegahan yang efektif sedini
mungkin selama kehamilan. Penanda serum yang mampu memprediksi
preeklamsia dengan tingkat deteksi yang baik dan nilai positif palsu yang
rendah akan membuka jalan bagi peningkatan perawatan antenatal dan
perinatal (Petla, 2013).
Aktivasi sel endotel masih merupakan pusat permasalahan pada
pathogenesis
preeklamsia
oleh
karena
terjadi
disfungsi/kerusakan
endotel. Teori disfungsi endotel sebagai penyebab preeklamsia yang
ditandai dengan dikeluarkannya Molekul Perekat Sel (CAM = cell
adhesion molecule) akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian para ahli
(Krauss,Emons, Kuhn, 2002).
Disfungsiendotel menyebabkan permeabilitas vaskularmeningkat
sehingga menyebabkan edema danproteinuria. Jika terjadi disfungsi
Universitas Sumatera Utara
endotel maka pada permukaan endotel akan mengekspresikan molekul
adhesi,
seperti
vascular
cell
adhesion
molecule-1
(VCAM-1)dan
intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1).Peningkatan kadar soluble
VCAM-1 ditemukan dalamsupernatant kultur sel endotel yang diinkubasi
denganserum penderita preeklamsia, tetapi tidak dijumpaipeningkatan
molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin (Fotis, 2012)
VCAM-1 merupakan reseptor permukaan sel yang diekspresikan
pada sel endotel dan mesotelial yang berfungsi untuk mengatur aktivitas
leukosit (Yurkovetsky, 2010). Beberapa penelitian telah melaporkan
bahwa plasenta berfungsi sebagai sumber sitokin inflamasi di sirkulasi,
termasuk peningkatan VCAM-1 pada kondisi preeklamsia (Agarwal,
2011). Farzadina, Ayatollahi, Hasan, et al (2009) tidak menunjukkan
adanya perbedaan kadar serum VCAM-1 pada wanita normal dengan
wanita preeklamsia ringan, tetapi ada perbedaan antara VCAM-1 serum
antara wantia dengan preeklamsia ringan dan berat. Adapun kadar
VCAM-1 dan preeklamsia sangat bervariasi berdasarkan lokasi geografi
dan ras.
1.6.
Rumusan Masalah
Dari berbagai teori yang dikemukakan pada saat ini, yang
menyelidiki faktor penyebab preeklamsia, namun penyebabnya belum
diketahui dengan pasti. Demikian juga insiden penyakit ini yang bervariasi
di seluruh dunia. Beberapa teori yang banyak dianut adalah: (1) teori
kelainan vaskularisasi plasenta; (2) teori iskemia plasenta, radikal bebas,
Universitas Sumatera Utara
dan disfungsi endotel; (3) teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin;
(4) teori adaptasi kardiovaskuler; (5) teori defisiensi genetik; (6) teori
defisiensi gizi; (7) teori inflamasi.
Pada
teori
iskemia
plasenta,
radikal
bebas,
dan
disfungsi
endoteldijelaskan bahwa pada kerusakan endotel, menyebabkan berbagai
patofisiologi terjadinya gejala-gejala pada preeklamsia, seperti pada
pembuluh
darah,
kerusakan
endotel
menyebabkan
vasokonstriksi
pembuluh darah sehingga terjadinya hipertensi. Pada ginjal, fungsi renal
akan
meningkat
dikarenakan
kerusakan
endotel
sehingga
filtrasi
glomerulus terganggu dan menyebabkan proteinuria. Kerusakan endotel
tersebut mengeluarkan faktor-faktor pro dan anti inflammasi sebagai
contoh VCAM-1 yang merupakan faktor pro inflammasi. Hal inilah yang
mendorong peneliti melakukan penelitian dan dengan latar belakang
permasalahan tersebut, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah VCAM-1 sebagai salah satu penanda disfungsi endotel
berperan besar sebagai penyebab preeklamsia
2. Apakah terdapat perbedaan kadar VCAM-1 pada saat kehamilan,
setelah pemberian magnesium sulfat, saat persalinan dan nifas (24
jam post partum) pada Preeklamsia Berat dibanding Kehamilan
Normal (Normotensi)
3. Apakah ada korelasi antara kadar VCAM-1 dengan tekanan darah
pada saat kehamilan, setelah pemberian magnesium sulfat, saat
Universitas Sumatera Utara
persalinan dan nifas (24 jam post partum) pada Preeklamsia Berat
dibanding Kehamilan Normal (Normotensi)
1.7.
Tujuan Penelitian
1.7.1. Tujuan umum
Untuk menganalisis kerusakan endotel sebagai salah satu
penyebab preeklamsia berat dengan memeriksa VCAM-1.
1.7.2. Tujuan khusus
1. Menganalisis
perbedaan
antara
kadar
VCAM-1
pada
saat
kehamilan,setelah pemberian magnesium sulfat, saat persalinan dan
nifas (24 jam post partum).
2. Menganalisis korelasi antara kadar VCAM-1 dengan tekanan darah
pada ibu hamil, setelah pemberian magnesium sulfat, saat persalinan
dan nifas (24 jam post partum) dengan preeklamsia berat dan
kehamilan normal (Normotensi).
1.8. Manfaat Penelitian
Publikasi ilmiah internasional yang telah disetujui adalah berjudulSoluble
Vascular Cell Adhesion Molecule-1 and Magnesium sulphate with
Nifedipine treatment in Indonesian women with severe preeclampsia,
2016. Dari uraian diatas maka manfaat penelitian ini adalah agar:
4. Pemahaman tentang preeklamsia menjadi lebih baik.
5. Sebagai dasar untuk penatalaksanaan PEB (aktif/ pasif).
6. Pengaruh pemberian MgSO4 terhadap perbaikan kerusakan endotel.
Universitas Sumatera Utara