SOS Rohingya 3 Maungdaw yang Terisolir d
SOS Rohingya (3): Maungdaw yang
Terisolir dan Ancaman Krisis Pangan
ACTNews, JAKARTA – Tujuh pekan sudah peristiwa serangan sekelompok orang ke 4 pos
perbatasan di Desa Kyikan Pyin, yang menewaskan 9 orang Polisi Penjaga Perdamaian,
berlalu. Namun tindak kekerasan yang berlangsung di wilayah Maungdaw, Provinsi
Rakhine, masih jauh dari reda. Operasi keamanan gabungan antara militer (Tatmadaw) dan
Polisi Penjaga Perbatasan Myanmar masih terus berlangsung. Mangdauw masih menjadi
‘zona operasi militer’.
Hingga awal pekan ketujuh sejak peristiwa itu atau pekan keempat November ini, sejumlah
tindak kekerasan di wilayah Maundaw masih saja terjadi. Kalanda Press Network/KPN, satu
Kantor Berita Independen penyaji informasi tentang Rohingya-Arakan, dan mitra lokal Aksi
Cepat Tanggap (ACT) mengabarkan sejumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh
Tatmadaw dan Polisi Penjaga Perbatasan.
Warga Desa Lu Dan lari tungganglanggang ketakutan begitu tahu aparat keamanan
mendatangi desa mereka, Senin (20/11). Mereka berlarian terjun ke sungai dan melawan
arusnya demi menyelamatkan diri. Melihat warga berlarian aparat melepaskan tembakan ke
arah mereka. Mitra lokal ACT mengabarkan beberapa warga tewas di tempat, jenazahnya
bergelimpangan di pinggir sungai.
Sehari berikutnya, Selasa (21/11) pagi sebelum matahari terbit aparat masuk ke Dusun Lu
Pan Pyin Desa Kyet Yoe Pyin, Nga Sar Kyu Desa Oo Shye Kyar. Kalanda Press
Network melaporkan aparat melakukan kekerasan seksual terhadap 40 perempuan warga
dusun. Masih menurut laporan KPN, hari Rabu (22/11) 50 anggota militer mengepung Desa
Myaw Taung dan mengumpulkan kaum perempuannya di satu tempat dan meminta mereka
menghadirkan suami-suami mereka ke desa dalam waktu tiga hari. Menurut saksi mata,
dalam aksi ini aparat kemudian melakukan penodaan kepada hampir 20 perempuan.
Di Desa Balu Khali (Thee Chaung) dan Powet Chaung, aparat menangkap 2 warga desa
dan menganiaya beberapa warga. Aparat juga mengumpulkan para perempuan dan
meminta mereka untuk memberitahu kemana suami mereka pergi, dengan ancaman
pembakaran rumah. Sementara di Desa Kyaa Gaung Taung militer menangkapi laki-laki
tersisa di desa, menjarah dan melakukan kekerasan seksual kepada warga perempuan
dan gadis remaja desa itu. Belum cukup, aparat menyita 5 sepeda motor dan beberapa
panel surya, serta menjarah barang-barang berharga serta menghauncurkan perabotan di
setiap rumah warga.
Operasi militer dengan berbagai tindak kekerasan masih saja terus terjadi, meski pada 14
Oktober silam, mengutip The Myanmar Times, Kantor Kepresidenan mengeluarkan
pernyataan bahwa mereka yang berada dibalik serangan 9 Oktober adalah kelompok
“Aqamul Mujahidin”. Pernyataan pemerintah itu juga menyebut serangan tersebut telah
direncanakan dengan baik enam bulan sebelumnya, dengan bantuan pendanaan dari luar
negeri dan banyak mempersuasi anak-anak muda Rohingya.
Penasehat Negara, Aung San Suu Kyi yang tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke
India pertengahan Oktober, di harian Hindustan Times edisi 18 Oktober terdengar sangat
hati-hati mengomentari informasi itu. “Kami belum tahu detilnya. Kami juga tidak tahu
(perencanaan) enam bulan sebelumnyya itu terjadi dimana. Kami menerima informasi kalau
organisasi itu mendapatkan pendanaan dari banyak negara Islam. Itu hanyalah informasi
yang datang dari satu sumber, kami tidak berani mengatakan kalau (informasi) itu benarbenar sahih,” katanya.
Menyusul pernyataan pemerintah itu, pada 15 Oktober justru muncul pernyataan lain, dari
sebuah kelompok yang menamakan dirinya sebagai “Faith Movement”. Dalam pernyataan
persnya kelompok ini menyatakan bertanggungjawab atas serangan 9 Oktober lalu. Mereka
menyampaikan, bahwa mereka adalah putra dari tanah Arakan yang dipaksa oleh satu
situasi mengerikan yang kemudian harus mereka hadapi dengan gerakan menentukan
nasib sendiri dan atasnama pembelaan diri.
Mereka menambahkan bahwa mereka berupaya mendapatkan sesuatu yang fundamental
seperti hak-hak dasar namun dengan cara yang sah dan memenuhi keadilan bagi semua
orang Arakan. Termasuk orang-orang Rohingya yang tak bersalah dan warga sipil yang
tewas akibat serangan militer yang terus-menerus terjadi. “Kami berdiri tunggal sebagai
organnisasi independen yang bebas dari semua elemen teror apapun.”
Meski sudah ada dua pernyataan yang terlihat saling bertentangan itu, tidak serta merta
meredakan tindakan-tindakan kekerasan di lapangan. Dengan alasan, untuk membersihkan
anasir kelompok penyerang, operasi militer itu masih terus berlangsung hingga hari ini.
Arakan Rohingya National Organization (ARNO), organisasi perwakilan komunitas
Rohingya yang berbasis di London, merilis pernyataan sikapnya. Dalam rilis pernyataan
sikap itu, ARNO mencatat sejak 12 November, pihak pemerintah justru semakin
memperkeras aksi dengan menurunkan kekuatan besar militer dan menggunakan
helikopter serbu dan artileri berat. Organisasi ini juga mencatat, penyerbuan ke desa-desa
dan penggeledahan rumah, aksi tembak sembarangan serta pengepungan desa masih saja
terus terjadi. ARNO mendapatkan laporan, warga desa yang melarikan diri karena
ketakutan, dikejar atau dihalang-halangi dengan tembakan hingga ke persawahan, lembah
dan hutan. Aksi ii terjadi di Desa Myaw Taung, Dargyizar, Yekhechaung Kwasone, Pwinpyu
Chaung, Thu Oo La, Longdun, Kyin Chaung (Bawli Bazar) dan Desa Wabaek in Northern
Maungdaw.
Berbeda dengan ARNO, Human Right Watch (HRW) menyajikan fakta yang sama sekali tak
bisa terbantahkan: citra satelit! Dalam rentang tanggal 8 sampai 10 November lalu, lewat
foto satelit mereka, terpindai 820 infrastruktur baru hancur karena api di 5 desa berbeda di
sekitar Maungdaw. Citra baru dari satelit ini menambah total infrastruktur yang rata dengan
tanah akibat api menjadi 1.250. Dokumentasi ini mengundang Dua Besar AS untuk PBB,
Samantha Power dan Pewarta Khusus PBB di Myanmar, Yanghee Lee berkomentar.
Samantha mendesak pemerintah Myanmar mengijinkan pengamat internasional
menginvestigasi, pun memulihkan akses organisasi-organisasi kemanusiaan untuk dapat
memberi bantuan.
Di Jenewa, Yanghee Lee, mengkritik tindakan para pemangku kekuasaan setempat yang
telah “mengunci” wilayah pemukiman Rohingya selama tujuh minggu. Ia mengungkapkan,
kunjungan lapangan yang dilakukan salah satu pejabat duta besar PBB termasuk duta
besar beberapa negara ASEAN selama dua hari pada awal November lalu cenderung
dibatasi oleh Pemerintah Myanmar. Hal ini mengakibatkan data yang mereka kumpulkan
untuk penanganan krisis kemanusiaan di negara tersebut amat terbatas.
Lee selanjutnya memberikan perhatian khusus pada laporan yang didapat di area di mana
operasi keamanan makin ditingkatkan semenjak delegasi internasional mengadakan
kunjungan ke wilayah konflik tersebut. “Pemerintah Burma sudah mengakui mengakui
pihaknya telah menggunakan helikopter tempur untuk mendukung operasi militer. Selain itu,
masih ada beberapa klaim yang belum terverifikasi terkait serangan balasan terhadap
penduduk Rohingya yang telah menceritakan pengalaman buruknya kepada delegasi yang
berkunjung,” tuturnya.
“Jangan sampai pasukan keamanan diberikan kekuasaan penuh untuk meningkatkan
operasinya dengan dalih telah diberikannya akses kepada delegasi internasional. Tindakan
mendesak sangat diperlukan untuk mengeluarkan sebuah resolusi untuk mencari jalan
keluar bagi situasi konflik tersebut,” tambah Lee.
Sementara, Direktur HNW untuk wilayah Asia Brad Adams mengatakan, fakta hadirnya citra
baru titik api dari satelit mengonfirmasi bahwa tingkat kerusakan yang terjadi di desa desa
Rohingya itu jauh lebih besar dan terjadi di banyak tempat, lebih dari yang diakui
pemerintah Burma. “Serangkaian kekerasan yang menimbulkan kerusakan di lima desa itu,
adalah kejadian yang memprihatinkan, dan seharusnya pemerintah Burma melakukan
investigasi dan mengadili mereka yang bertanggung jawab. Partisipasi PBB sangat penting
dalam hal ini, agar investigasi itu kredibel,” imbuh Brad.
Hasil pencitraan 820 infratrusktur dari satelit Human Rights Watch beresokusi tinggi yang
terekam tanggal 10, 17 dan 18 November itu, menjadi tambahan baru bagi 430 pencitraan
infrastruktur yang hancur sebelumnya pada tanggal 13-15 November. Dari 820 bangunan
ynag hancur itu, 255 berada di Desa Yae Khat Chaung Gwa Son; 265 di Desa Dar Gyi Zar;
65 di Desa Pwint Hpyu Chaung; 15 di Desa Myaw Taung dan 220 bangunan di Desa
Wapeik.
Wilayah Maungdaw warga muslim Rohingya memang menjadi mayoritas dan tinggal di
lebih dari 150 desa, sementara populasinya mencapai 200.000 jiwa lebih. Sebelum
terjadinya krisis keamanan, Maungdaw sendiri dikenal memiliki masalah pada kecukupan
gizi anak-anaknya. Selama ini anak-anak Maungdaw yang menyandang status gizi buruk
ada lebih dari 3.000 anak. Sementara yang menyandang status gizi kurang (moderate
accute malnutristion) tercatat ada 37.000 anak.
Kini, dalam situasi menjadi ‘zona militer’, Maungdaw terisolasi. Lebih dari 18.000 orang
harus berpindah dari lingkungan tempat tinggalnya. Sementara sisanya hidup dalam
keterkungkungan, tak dapat mengakses bahan pangan. Satelit HRW yang memindai titiktitik kebakaran insfrasturktur itu termasuk juga bangunan pasar-pasar yang berada di dekat
desa. Belum lagi mereka tak bisa memanen padi ke sawah. Mereka dalam kondisi
rentanmengalami krisis pangan.
Diperkirakan sekitar 20.000 – 30.000 etnis Rohingya terkurung, tak bisa berpindah tempat
akibat penghadangan atau blokade. Hanya mengandalkan bantuan yang diberikan oleh
pemerintah. Tidak ada lembaga kemanusiaan, pegiat HAM bahkan jurnalis yang bisa
masuk ke sana. Bahkan warga sipil Myanmar pun tak dijinkan masuk ke Maungdaw. Akses
satu-satunya menuju Maungdaw, yakni Sittwe kini juga dalam status siaga. Tak boleh
kedatangan warga asing.
Sumber : act.id
Donasi : klik disini
Terisolir dan Ancaman Krisis Pangan
ACTNews, JAKARTA – Tujuh pekan sudah peristiwa serangan sekelompok orang ke 4 pos
perbatasan di Desa Kyikan Pyin, yang menewaskan 9 orang Polisi Penjaga Perdamaian,
berlalu. Namun tindak kekerasan yang berlangsung di wilayah Maungdaw, Provinsi
Rakhine, masih jauh dari reda. Operasi keamanan gabungan antara militer (Tatmadaw) dan
Polisi Penjaga Perbatasan Myanmar masih terus berlangsung. Mangdauw masih menjadi
‘zona operasi militer’.
Hingga awal pekan ketujuh sejak peristiwa itu atau pekan keempat November ini, sejumlah
tindak kekerasan di wilayah Maundaw masih saja terjadi. Kalanda Press Network/KPN, satu
Kantor Berita Independen penyaji informasi tentang Rohingya-Arakan, dan mitra lokal Aksi
Cepat Tanggap (ACT) mengabarkan sejumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh
Tatmadaw dan Polisi Penjaga Perbatasan.
Warga Desa Lu Dan lari tungganglanggang ketakutan begitu tahu aparat keamanan
mendatangi desa mereka, Senin (20/11). Mereka berlarian terjun ke sungai dan melawan
arusnya demi menyelamatkan diri. Melihat warga berlarian aparat melepaskan tembakan ke
arah mereka. Mitra lokal ACT mengabarkan beberapa warga tewas di tempat, jenazahnya
bergelimpangan di pinggir sungai.
Sehari berikutnya, Selasa (21/11) pagi sebelum matahari terbit aparat masuk ke Dusun Lu
Pan Pyin Desa Kyet Yoe Pyin, Nga Sar Kyu Desa Oo Shye Kyar. Kalanda Press
Network melaporkan aparat melakukan kekerasan seksual terhadap 40 perempuan warga
dusun. Masih menurut laporan KPN, hari Rabu (22/11) 50 anggota militer mengepung Desa
Myaw Taung dan mengumpulkan kaum perempuannya di satu tempat dan meminta mereka
menghadirkan suami-suami mereka ke desa dalam waktu tiga hari. Menurut saksi mata,
dalam aksi ini aparat kemudian melakukan penodaan kepada hampir 20 perempuan.
Di Desa Balu Khali (Thee Chaung) dan Powet Chaung, aparat menangkap 2 warga desa
dan menganiaya beberapa warga. Aparat juga mengumpulkan para perempuan dan
meminta mereka untuk memberitahu kemana suami mereka pergi, dengan ancaman
pembakaran rumah. Sementara di Desa Kyaa Gaung Taung militer menangkapi laki-laki
tersisa di desa, menjarah dan melakukan kekerasan seksual kepada warga perempuan
dan gadis remaja desa itu. Belum cukup, aparat menyita 5 sepeda motor dan beberapa
panel surya, serta menjarah barang-barang berharga serta menghauncurkan perabotan di
setiap rumah warga.
Operasi militer dengan berbagai tindak kekerasan masih saja terus terjadi, meski pada 14
Oktober silam, mengutip The Myanmar Times, Kantor Kepresidenan mengeluarkan
pernyataan bahwa mereka yang berada dibalik serangan 9 Oktober adalah kelompok
“Aqamul Mujahidin”. Pernyataan pemerintah itu juga menyebut serangan tersebut telah
direncanakan dengan baik enam bulan sebelumnya, dengan bantuan pendanaan dari luar
negeri dan banyak mempersuasi anak-anak muda Rohingya.
Penasehat Negara, Aung San Suu Kyi yang tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke
India pertengahan Oktober, di harian Hindustan Times edisi 18 Oktober terdengar sangat
hati-hati mengomentari informasi itu. “Kami belum tahu detilnya. Kami juga tidak tahu
(perencanaan) enam bulan sebelumnyya itu terjadi dimana. Kami menerima informasi kalau
organisasi itu mendapatkan pendanaan dari banyak negara Islam. Itu hanyalah informasi
yang datang dari satu sumber, kami tidak berani mengatakan kalau (informasi) itu benarbenar sahih,” katanya.
Menyusul pernyataan pemerintah itu, pada 15 Oktober justru muncul pernyataan lain, dari
sebuah kelompok yang menamakan dirinya sebagai “Faith Movement”. Dalam pernyataan
persnya kelompok ini menyatakan bertanggungjawab atas serangan 9 Oktober lalu. Mereka
menyampaikan, bahwa mereka adalah putra dari tanah Arakan yang dipaksa oleh satu
situasi mengerikan yang kemudian harus mereka hadapi dengan gerakan menentukan
nasib sendiri dan atasnama pembelaan diri.
Mereka menambahkan bahwa mereka berupaya mendapatkan sesuatu yang fundamental
seperti hak-hak dasar namun dengan cara yang sah dan memenuhi keadilan bagi semua
orang Arakan. Termasuk orang-orang Rohingya yang tak bersalah dan warga sipil yang
tewas akibat serangan militer yang terus-menerus terjadi. “Kami berdiri tunggal sebagai
organnisasi independen yang bebas dari semua elemen teror apapun.”
Meski sudah ada dua pernyataan yang terlihat saling bertentangan itu, tidak serta merta
meredakan tindakan-tindakan kekerasan di lapangan. Dengan alasan, untuk membersihkan
anasir kelompok penyerang, operasi militer itu masih terus berlangsung hingga hari ini.
Arakan Rohingya National Organization (ARNO), organisasi perwakilan komunitas
Rohingya yang berbasis di London, merilis pernyataan sikapnya. Dalam rilis pernyataan
sikap itu, ARNO mencatat sejak 12 November, pihak pemerintah justru semakin
memperkeras aksi dengan menurunkan kekuatan besar militer dan menggunakan
helikopter serbu dan artileri berat. Organisasi ini juga mencatat, penyerbuan ke desa-desa
dan penggeledahan rumah, aksi tembak sembarangan serta pengepungan desa masih saja
terus terjadi. ARNO mendapatkan laporan, warga desa yang melarikan diri karena
ketakutan, dikejar atau dihalang-halangi dengan tembakan hingga ke persawahan, lembah
dan hutan. Aksi ii terjadi di Desa Myaw Taung, Dargyizar, Yekhechaung Kwasone, Pwinpyu
Chaung, Thu Oo La, Longdun, Kyin Chaung (Bawli Bazar) dan Desa Wabaek in Northern
Maungdaw.
Berbeda dengan ARNO, Human Right Watch (HRW) menyajikan fakta yang sama sekali tak
bisa terbantahkan: citra satelit! Dalam rentang tanggal 8 sampai 10 November lalu, lewat
foto satelit mereka, terpindai 820 infrastruktur baru hancur karena api di 5 desa berbeda di
sekitar Maungdaw. Citra baru dari satelit ini menambah total infrastruktur yang rata dengan
tanah akibat api menjadi 1.250. Dokumentasi ini mengundang Dua Besar AS untuk PBB,
Samantha Power dan Pewarta Khusus PBB di Myanmar, Yanghee Lee berkomentar.
Samantha mendesak pemerintah Myanmar mengijinkan pengamat internasional
menginvestigasi, pun memulihkan akses organisasi-organisasi kemanusiaan untuk dapat
memberi bantuan.
Di Jenewa, Yanghee Lee, mengkritik tindakan para pemangku kekuasaan setempat yang
telah “mengunci” wilayah pemukiman Rohingya selama tujuh minggu. Ia mengungkapkan,
kunjungan lapangan yang dilakukan salah satu pejabat duta besar PBB termasuk duta
besar beberapa negara ASEAN selama dua hari pada awal November lalu cenderung
dibatasi oleh Pemerintah Myanmar. Hal ini mengakibatkan data yang mereka kumpulkan
untuk penanganan krisis kemanusiaan di negara tersebut amat terbatas.
Lee selanjutnya memberikan perhatian khusus pada laporan yang didapat di area di mana
operasi keamanan makin ditingkatkan semenjak delegasi internasional mengadakan
kunjungan ke wilayah konflik tersebut. “Pemerintah Burma sudah mengakui mengakui
pihaknya telah menggunakan helikopter tempur untuk mendukung operasi militer. Selain itu,
masih ada beberapa klaim yang belum terverifikasi terkait serangan balasan terhadap
penduduk Rohingya yang telah menceritakan pengalaman buruknya kepada delegasi yang
berkunjung,” tuturnya.
“Jangan sampai pasukan keamanan diberikan kekuasaan penuh untuk meningkatkan
operasinya dengan dalih telah diberikannya akses kepada delegasi internasional. Tindakan
mendesak sangat diperlukan untuk mengeluarkan sebuah resolusi untuk mencari jalan
keluar bagi situasi konflik tersebut,” tambah Lee.
Sementara, Direktur HNW untuk wilayah Asia Brad Adams mengatakan, fakta hadirnya citra
baru titik api dari satelit mengonfirmasi bahwa tingkat kerusakan yang terjadi di desa desa
Rohingya itu jauh lebih besar dan terjadi di banyak tempat, lebih dari yang diakui
pemerintah Burma. “Serangkaian kekerasan yang menimbulkan kerusakan di lima desa itu,
adalah kejadian yang memprihatinkan, dan seharusnya pemerintah Burma melakukan
investigasi dan mengadili mereka yang bertanggung jawab. Partisipasi PBB sangat penting
dalam hal ini, agar investigasi itu kredibel,” imbuh Brad.
Hasil pencitraan 820 infratrusktur dari satelit Human Rights Watch beresokusi tinggi yang
terekam tanggal 10, 17 dan 18 November itu, menjadi tambahan baru bagi 430 pencitraan
infrastruktur yang hancur sebelumnya pada tanggal 13-15 November. Dari 820 bangunan
ynag hancur itu, 255 berada di Desa Yae Khat Chaung Gwa Son; 265 di Desa Dar Gyi Zar;
65 di Desa Pwint Hpyu Chaung; 15 di Desa Myaw Taung dan 220 bangunan di Desa
Wapeik.
Wilayah Maungdaw warga muslim Rohingya memang menjadi mayoritas dan tinggal di
lebih dari 150 desa, sementara populasinya mencapai 200.000 jiwa lebih. Sebelum
terjadinya krisis keamanan, Maungdaw sendiri dikenal memiliki masalah pada kecukupan
gizi anak-anaknya. Selama ini anak-anak Maungdaw yang menyandang status gizi buruk
ada lebih dari 3.000 anak. Sementara yang menyandang status gizi kurang (moderate
accute malnutristion) tercatat ada 37.000 anak.
Kini, dalam situasi menjadi ‘zona militer’, Maungdaw terisolasi. Lebih dari 18.000 orang
harus berpindah dari lingkungan tempat tinggalnya. Sementara sisanya hidup dalam
keterkungkungan, tak dapat mengakses bahan pangan. Satelit HRW yang memindai titiktitik kebakaran insfrasturktur itu termasuk juga bangunan pasar-pasar yang berada di dekat
desa. Belum lagi mereka tak bisa memanen padi ke sawah. Mereka dalam kondisi
rentanmengalami krisis pangan.
Diperkirakan sekitar 20.000 – 30.000 etnis Rohingya terkurung, tak bisa berpindah tempat
akibat penghadangan atau blokade. Hanya mengandalkan bantuan yang diberikan oleh
pemerintah. Tidak ada lembaga kemanusiaan, pegiat HAM bahkan jurnalis yang bisa
masuk ke sana. Bahkan warga sipil Myanmar pun tak dijinkan masuk ke Maungdaw. Akses
satu-satunya menuju Maungdaw, yakni Sittwe kini juga dalam status siaga. Tak boleh
kedatangan warga asing.
Sumber : act.id
Donasi : klik disini