Artikel Pendidikan Multikultural Ki Haja

Aku, Budayaku, dan Masa Depanku
Oleh:
Syarifah Haniyah Kafani
1604280
kafanish7@student.upi.edu
Abstrak
Pendidikan merupakan hal yang penting demi berlangsungnya kehidupan manusia. Bukan hanya di
Indonesia, namun di seluruh dunia. Namun dewasa ini, tumbuhnya kesadaran akan pentingnya
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mulai menunjukkan eksistensinya di Indonesia. Pasalnya,
pendidikan anak usia dini merupakan peletak pondasi kehidupan anak yang akan mempengaruhi
kelangsungan masa depannya. Berlangsungnya pendidikan anak usia dini harus sesuai dengan aspek
perkembangan anak dan seyogianya bersifat kebudayaan. Pendidikan yang bersifat kebudayaan
dimaksudkan untuk memberi tuntunan dalam hidup sehingga mereka memiliki jati diri yang dapat
menjaga diri mereka dari pengaruh negatif yang ada di sekelilingnya. Terlebih pada era globalisasi ini,
perkembangan teknologi telah menghantarkan budaya asing masuk dengan mudah ke Indonesia. Hal
itu tidak dapat kita pungkiri karena teknologi telah berkembang dengan pesat dan hal tersebut
merupakan salah satu dampak nyata yang tanpa sadar dapat membawa pengaruh negatif di Indonesia.
Tanpa adanya sifat kebudayaan pada pendidikan anak usia dini, lambat laun eksistensi budaya
Indonesia sebagai jati diri bangsa dapat terkikis mengingat anak usia dini merupakan penggenggam
masa depan bangsa. Salah satu cara agar terhindar dari dampak negatif budaya asing ialah penerapan
pendidikan yang bersifat kebudayaan seperti yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara. Maka dari

itu, perlu adanya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan anak usia dini yang bersifat kebudayaan,
sebagai upaya untuk mempertahankan nilai dan keberagaman budaya sebagai jati diri bangsa
Indonesia.
Kata kunci: Pendidikan, Anak usia dini, Kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara

A. Pendahuluan
Kesadaran akan kebutuhan pendidikan kini mengalami peningkatan.
Pendidikan secara universal dapat dipahami sebagai upaya pengembangan potensi
kemanusiaan secara utuh dan penanaman nilai-nilai kebudayaan yang dipercayai oleh
sekelompok orang untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Tanpa disadari, bangsa Indonesia berada pada kondisi krisis multikultural dan
multidimensi, mulai dari masalah ideologis, politik hingga pendidikan yang sarat
dengan kesenjangan dan konflik budaya yang tidak berkarakter. Hal tersebut berimbas
pada melemahnya kualitas pendidikan, yang meliputi: a) Kurikulum yang miskin
keterampilan, b) Motivasi dan orientasi pendidikan yang sarat dengan pola pikir
hedonis dan materialistis, c) Monopoli arti kecerdasan yang selama ini hanya
bersandar pada kemampuan kognitif, d) Metodologi pengajaran yang selama ini
mengekang kreativitas, e) Pola manajemen dan tenaga pengajar yang kurang
profesional, f) pola interaksi yang tidak efektif, g) evaluasi dan kebijakan yang
subjektif, h) Pola pikir masyarakat yang skolastik, dan i) Kondisi masyarakat yang


sarat akan kebodohan dan kemiskinan sebagai dampak logis dari tidak adanya nilai
optimal keberhasilan (quality outcomes) dalam proses pendidikan. (Hamijoyo,
2002:11 dalam Trianto, 2011 hal. 3-4)
Dewasa ini, isu yang hangat dalam dunia pendidikan ialah tentang
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini (PAUD). Dengan diberlakukannya
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, maka sistem pendidikan di Indonesia sekarang
terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikanan tinggi yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistemik. Oleh
karena itu, PAUD menjadi sangat penting, karena potensi kecerdasan dan dasar-dasar
perilaku seseorang berawal pada masa kanak-kanak terlebih masa kanak-kanank atau
pada usia dini merupakan usia emas (golden age) untuk mengembangkan potensi
secara optimal.
Pendidikan usia dini harus berdasarkan pada tahapan perkembangan anak dan
seyogianya bersifat budaya. Karena pada dasarnya Pendidikan anak usia dini adalah
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.(Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, BAB 1:1). Maka dari itu, penyelenggaraan

pendidikan anak usia dini harus berlandaskan pada tahapan perkembangan anak.
Selain itu pendidikan usia dini juga harus bersifat budaya, karena menurut Ki Hadjar
Dewantara, pendidikan ialah sebagai laku-kodrat (instinct) dalam hidup manusia yang
beradab serta bersifat kebudayaan (ceramah Ki Hadjar Dewantara dalam Rapat Besar
Umum Taman Siswa, Pusara 1952:159). Kebudayaan adalah perwujudan dari budi
pekerti (Ki Hadjar Dewantara, Pusara, 1952:170). Dan kondisi kekinian Indonesia
berada di tengah globalisasi yang mengikis kesadaran generasi muda terhadap warisan
tradisi budaya Indonesia sehingga dibutuhkan sebuah solusi untuk mengenalkan
kembali warisan tradisi budaya Indonesia. (Rohman & Wibowo, 2016). Berdasarkan
hal tersebut, pendidikan anak usia dini memang seharusnya bersifat kebudayaan dan
hal tersebut sesuai dengan pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang memang sepatutnya
diterapkan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pendidikan anak usia dini
sebagai upaya mengenalkan warisan tradisi budaya dan memberi pondasi kebudayaan

sebagai jati diri sehingga para penggenggam masa depan bangsa memiliki jiwa
nasionalisme dan mapu terhindar dari dampak negatif budaya asing namun tetap
mampu mengoptimalkan perkembangan seluruh aspek perkembangannya yang
meliputi, perkembangan a) Fisik-motorik, b) kognitif, c) bahasa, d) Sosial-emosi, e)
Bermain, f) Kreativitas, g) moral, h) pengertian, i) Peran seks, dan j) Kepribadian
(Hurlock, 2013)

B. Pembahasan
1. Hakikat Anak Usia Dini
Setiap anak bersifat unik dan terlahir dengan potensi yang berbeda-beda;
memiliki kelebihan, minat dan bakat tersendiri. Bahkan hal tersebut berlaku bagi
anak kembar siam sekalipun. Keberagaman potensi itulah yang seharusnya dapat
dikembangkan secara optimal dan bijaksana. Ki Hadjar Dewantara (1957)
merangkum semua potensi anak kedalam cipta, rasa, dan karsa. Sedangkan
menurut Gardner dalam teori Multiple Intelegence, mengemukakan bahwa
terdapat sembilan kecerdasan pada anak. Dan setiap anak akan memiliki satu atau
lebihkecerdasan yang lebih dominan. (dalam Trianto, 2011 hal. 13). Pada
hakikatnya, anak merupakan makhluk bermain (homo ludens), oleh sebeb itu,
anak memiliki cara belajar yang unik, yaitu bermain sambil belajar. Maka,
pembelajaran yang dilakukan di PAUD harus berasaskan bermain sambil belajar.
Menurut NAEYC, anak usia dini merupakan anak berusia 0-8 tahun.
Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003, anak usia dini adalah anak-anak
berusia 0-6 tahun. Pada usia tersebut, anak-anak berada pada masa emas (golden
age). Pada masa ini, anak-anak mengalami perkembangan yang pesat, dimana
stimulasi terhadap seluruh aspek perkembangan sangat berperan penting untuk
tugas perkembangan selanjutnya. Maka, pada usia inilah pondasi kehidupan yang
baik dan kokoh harus ditegakkan. Selain keenam apek perkembangan yang

dikembangkan, sudah selayaknya pengenalan warisan budaya lokal bangsa
dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap dampak negatif budaya
asing yang mewabah negeri. Sehingga generasi penerus memiliki jati diri sebagai
bangsa indonesia yang takkan mudah terpengaruh oleh dampak negatif budaya
asing. Itulah sebabnya, untuk mengembangkan bangsa yang cerdas, beriman,

bertakwa, beradab, berbudaya dan berbudi luhur hendaknya dimulai dari
pendidikan anak usia dini.
2. Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan adalah suatu upaya sadar yang bertujuan untuk memanusiakan
manusia dengan cara yang manusiawi. Menurut Undang-Undang No.20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa:
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut. (Bab. I pasal 1 poin 14)
Pendidikan anak usia dini berfungsi membina, menumbuhkan, dan
mengembangkan potensi anak usia dini secara optimal sehingga anak memiliki
kesiapan untuk memasuki pendidikan lebih lanjut. Usaha yang dapat dilakukan di

pendidikan anak usia dini ialah dengan dikembangkannya kurikulum PAUD yang
diharapkan dapat memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak sehingga
memenuhi kebutuhan perkembangan anak pada segala aspek perkembangan anak dan
dapat membantu anak beradaptasi secara kreatif dengan lingkungan masa kini dan
masa depan kehidupannya.
Secara umum, pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan
potensi anak sejak dini. Aapun tujuan khusus pendidikan anak usia dini, yaitu:
a. Membangun landasan begi berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, berpikir kritis, kreatif,
inovatif, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dna
bertanggung jawab.
b. Mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosioanal, dan
sosial peserta didik pada masa keemasannya dalam lingkungan bermain
yang edukatif dan menyenangkan. (Trianto, 2016, hal. 25)
Terdapat beberapa komponen yang terkait dengan pendidikan anak usia
dini, yaitu sebegai berikut.
a. Kurikulum PAUD
Kurikulum adalah seperangkat rencana yang dikembangkan untuk
memperlancar proses pembelajaran yang disusun untuk mengembangkan


potensi sesuai dengan perkembangan dan keunikan anak. Kurikulum
PAUD bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi anak agar kelak
dapat menjadi manusia yang utuh sesuai kultur, budaya, dan falsafah suatu
bangsa. Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini berbasis kebudayaan
memang seyogianya diterapkan guna melahirkan manusia-manusia yang
utuh sesuai kultur, budaya, dan falsafah bangsa.
b. Pembelajaran PAUD
Pembelajaran bagi anak usia dini pada hakikatnya adalah bermain.
Pembelajaran bagi anak usia dini haruslah bersifat holistik dan terpadu
dengan mengembangkan semua aspek perkembangan meliputi moral dan
nilai-nilai agama, sosial-emosional, kognitif (intelektual), bahasa, fisikmotorik, dan seni. Pembelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa
menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan dan menarik minat anak serta
disisipi unsur-unsur edukatif sehingga secara tidak sadar anak telah belejar
berbagai hal. Pembelajaran juga melatih anak mengenal jati dirinya (selfidentity), menghargai dirinya (self-esteem), dan kemampuan akan dirinya
(self-efficacy).
c. Setting Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar anak perlu ditata sedemikian rupa agar kondusif, aman
dan nyaman untuk belajar. Berbagai alat permainan dan fungsinya bagi
PAUD perlu dipahami dan digunakan dengan benar. Tak hanya itu,

halaman sekolah juga didesain dengan baik agar berfungsi sebagai tempat
bermain dan belajar. Selain itu selurul peralatan dan permainan yang
digunakan harus menunjang setiap aspek perkembangan anak.
d. Assessment Autentik
Assessment autentik digunakan untuk mengetahui perkembangan dan
kemajuan anak usia dini. Teknik dan instrumen yang digunakan dapat
berupa catatan anekdot (anecdotal record), catatan naratif (narrative
record), catatan cepat (running record), sampel kegiatan (event sampling),
dan portofolio.
e. Pemanfaatan Teknologi
Pemanfaatan teknologi untuk optimalisasi pembelajaran anak di era global,
juga disertakan untuk membelajarkan anak. Salah satu ciri masyarakat
modern ialah melek teknologi. Pengenalan teknologi pada anak ini

diharapkan dapat memberikan wawasan dan juga menarik anak untuk
mengembangkan cita-cita untuk menjadi ahli dalam teknologi ataupun
dalam bidang tertentu.
f. Kerja Sama Sekolah-Masyarakat
Institusi dan guru PAUD tidak bisa bekerja sendiri, melainkan harus
menjalin kerja sama dengan berbagai elemen. Peran orang tua dan

masyarakat sangat jelas diperlukan. Hal tersebut juga sesuai dengan trilogi
pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Oleh karena itu, kerja sama yang baik antara ketiga unsur
tersebut sangat diperlukan.
Berdasarkan uraian tersebut, seharusnya pendidikan anak usia dini
dilaksanakan dengan sebaik mungkin melihat pada peserta didiknya yang
merupakana anak usia dini yang sedang berada pada masa keemasan sehingga
sekecil apapun pembelajaran yang didapatkan akan berdampak besar bagi
kehidupannya di masa depan. Maka dari itu, untuk lindungi masa depan bangsa
dari terkikisnya nilai budaya lokal yang dimiliki, sebagai salah satu dampak
negatif dari budaya asing yang dengan mudahnya masuk ke Indonesia, yang
merupakan salah satu akibat kemajuan teknologi, hendaknya generasi penerus
bangsa mengetahui jati dirinya sebagai bangsa Indonesia dengan budaya lokal
yang dimiliki sejak usia dini. Maka dari itu, pentingnya pendidikan anak usia dini
berbasi budaya diterapkan dalam pembelajaran di PAUD guna menghasilkan
manusia-manusia yang berbudaya dan berbudi luhur, disamping tujuan pendidikan
anak usia dini itu sendiri.
3. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara merupakan putra dari G.P.H. Surjaningrat putra Kanjeng

Hadipati Harjo Surjo Sasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam ke-III dan seorang
putri keraton Yogyakarta yang lebih dikenal sebagai pewaris Kadilangu keturunan
langsung Sunan Kalijogo yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 (Darsiti Suratman,
1985: 2, dalam Haryanto).
Ki Hadjar Dewantara merupakan pahlawan pendidikan Indonesia yang telah
mencetuskan sistem pendidikan nasional yang berlandaskan jiwa nasional, jiwa
merdeka dan kerakyatan demi berhasilnya cita-cita negara. Pemikiran pendidikan

Ki Hadjar Dewantara bercorak nasional sehingga tercetuslah sistem pendidikan
nasional yang berdasarkan kepada kebudayaan sendiri.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, (dalam ceramahnya pada Rapat Umum Taman
Siswa, Pusara, 1952:159) pendidikan adalah suatu upaya pemberian nilai-nilai
kebatinan yang ada pada hidup rakyat yang berkebudayaan yang tidak hanya
berupa pemeliharaan kepada tiap-tiap generasi, akan tetapi bermaksud untuk
memajukan serta memperkembangkan budaya menuju keluhuran hidup manusia.
Pada umumnya, pendidikan merupakan suatu daya upaya menumbuhkan budi
pekerti, intelektual dan tubuh anak (Dewantara, Pusara Jilid XIII No.3 Edisi
Januari, 1951:41, dalam jurnal Revitalisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk
Pendidikan Karakter Bangsa). Beliau juga mengemukakan bahwa pendidikan
merupakan laku-kodrat (instinct) dalam hidup manusia beradab yang bersifat

kebudayaan, dan kebudayaan adalah suatu perwujudan budi. Pendidikan yang
bersifat kebudayaan dimaksudkan pada pemberian tuntunan dalam hidup terhadap
perkembangan tubuh dan jiwa anak-anak sehingga anak-anak mendapatkan
kemajuan lahir batin yang menuju kearah adab dan kemanusiaan sehingga mereka
mampu menjaga diri mereka dari pengaruh negatif yang ada di sekelilingnya.
Adapun sari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagaimana
telah terangkum dalam poin-poin sebagai berikut.
a. Segala syarat, cara dan usaha pemikiran harus sesuai dengan kodratnya
suatu keadaan.
b. Kodratnya keadan telah ada dalam adat-istiadat masing-masing rakyat dan
daerah. Karena bergolong-golong dan beranekaragam, maka kodrat
keadaan tersebut merupakan kesatuan dengan sifat perikehidupan sendirisendiri. Sifat-sifat itu muncul dari campurnya daya upaya untuk kehidupan
yang tertib dan damai.
c. Adat-istiadat tersebut tak lepas dari pengaruh “jaman” dan “alam”. Oleh
karena itu, adat-istiadat biasa saja berubah bentuk isi, dan iramanya.
d. Kita perlu mengetahui dan mempelajari keadaan jaman yang telah sampai
perkembangannya hingga jaman sekarang agar kita bisa belajar dan tidak
mengulang kesalahan di masa lampau pada masa yang akan datang.
e. Pengaruh baru adalah ketika terjadi kontak budaya antar bangsa. Kita
harus waspada dan teliti dalam memilih mana yang baik dalam kemuliaan
hidup yang masih selaras dengan corak kebudayaan bangsa kita.

Dalam pandangannya, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari keadaan
masyarakat indonesia. Maka, pendidikan harus berlandaskan garis hidup dari
bangsanya (kulturil nasional), yang ditujukan untuk berkehidupan yang dapat
mengangkat derajat negara beserta rakyatnya.
Ki Hadjar Dewantara merumuskan sebuah semboyan yang dipengaruhi
oleh pemikiran Frobel dan Montessori yang memberikan kebebasan kepada
anak, yaitu “tut wuri handayani” yakni memberikan kebebasan yang luas
selama tidak mebahayakan anak. Sikap inilah yang dikenal dalam hidup
kebudayaan bangsa kita sebagai “among”.
Pendidikan anak usia dini dalam pandangannya didasarkan pada pola asuh
yang memimpin, mengelola, membimbing dan dilaksanakan dengan memberi
teladan (Ing ngarso sung tuladha), memberi semangat (Ing madya mangun
karsa), dan mendorong anak (Tut wuri handayani), (Sujiono, 2009, dalam
Magta, M, 2013).
Proses pembelajaran yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam
pendidikan anak usia dini ialah melalui pendekatan budaya yang ada di sekitar
anak, karena menurutnya, untuk mendapatkan kesempurnaan budi pekerti
anak-anak harus mengingat dasar “Bhineka Tunggal Ika”, yaitu mementingkan
segala unsur budaya yang yang baik-baik dilingkungan anak-anak, dengan
maksud melaksanakan “konvergensi” yang tidak berlebihan pada tingkatantingkatan yang lebih tinggi, menuju ke arah persatuan kebudayaan indonesia
yang sesuai dengan alam dan jaman (Dewantara, 1977).
Pendekatan budaya yang digunakan Ki Hadjar Dewantara pada pendidikan
anak usia dini ialah dengan melalui permainan, nyanyian, dongeng, olaraga,
sandiwara, bahasa, seni, agama dan lingkungan alam. Pendekatan ini sejalan
dengan teori Bronfrenbrenner yang mengemukakan bahwa perkembangan
anak dipengaruhi oleh korteks mikrosistem (keluarga, sekolah dan teman
sebaya), korteks mesosistem (hubungan keluarga dan sekolah, sekolah dan
teman sebaya, teman sebaya dan individu), konteks ekosistem (latar sosial
orang tua dan kebijakan pemerintah), dan korteks maksrosistem (pengaruh
lingkungan, budaya, norma, agama, dan lingkungan sosial dimana anak
dibesarkan), (Magta M, 2013).
Proses pembelajaran pendidikan anak usia dini menurut beliau
berlangsung secara alamiah dan bebas. Namun dalam kebebasannya terdapat

tuntunan dan bimbingan dari pendidik yang bersumber pada kebudayaan
lingkungan anak dimana nilai-nilai seperti budi pekerti, seni, budaya,
kecerdasan, keterampilan dan agama menjadi kekuatan anak yang berkembang
melalui panca indra. Dan kebudayaan disini adalah kebudayaan yang dekat
dengan kehidupan anak sehari-hari seperti nyanyia, dongeng, permainan dll.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat melihat bahwa pendidikan anak
usia dini dengan pendekatan kebudayaan memang telah sepatutnya diterapkan
terlebih pada era globalisasi ini telah banyak generasi penerus yang telah
terlepas dari budaya lokal bangsa indonesia dan lebih condong terhadap
budaya barat yang jelas memiliki corak budaya atau budi pekerti yang berbeda
dengan bangsa Indonesia.
4. Ancaman Krisis Budaya dan Identitas Kultural di Era Globalisasi
Bangsa Indonesia mengakui keluhuran budaya bangsanya adalah suatu hal
yang tak dapat diragukan. Namun sangat disayangkan, perhatian dan
penghormatan terhadap budaya bangsa berada pada level yang patut untuk
diragukan. Pasalnya, masi banyak masyarakat yang acuh tak acuh dan saling
menuduh untuk pelestarian budaya bangsa. Terlebih dalam dunia pendidikan,
peserta didik hanya mampu menyebutkan buadaya-budaya tersebut tanpa
mengetahui makna sesungguhnya tentang budaya tersebut.
Sebagai sebuah proses, globalisasi bertujuan untuk menghomgenisasi
semua budang, termasuk budaya. Proses ini disebarluaskan melalui teknologi
yang dikontrol oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, sehingga
negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi yang dipengaruhi.
Konsekuensinya, identitas negara-negara maju berkembang secara cepat dan
mudah diikuti oleh masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa
globalisasi sesungguhnya mengancam identitas negara Indonesia.
Terkait dengan itu, Manuels Castells (1996) mengatakan bahwa
meluasnya jejaring komunikasi menyebabkan hubungan antarmasyarakat di
dunia berjalan dengan cepat dan dekat yang menjadikan sebuah dilema dalam
masyarakat antara tetap bertahan dalm identitas asli (the self) atau melebur
dalam identitas msyarakat global (the net). Kuatnya penetrasi budaya
menyebabkan kebanyakan orang menganggap bahwa budayanya telah usang
dan tak sejalan dengan jaman menjadikan mereka memilih untuk bergabung

dengan the net dan meninggalkan the self, sehingga mereka mengalami krisis
identitas.
Bagi Indonesia, masuknya budaya-budaya asing yang menumpang
dalam globalisasi ini dan menjamur di masyarakat merupakan ancaman yang
serius bagi

kelestarian identitas dan budaya asli bangsa Indonesia yang

mencitrakan nasionalitas kebangsaan dan lokalitas khas daerah-daerah di
Indonesia. Terlebih belum adanya kesepakatan budaya yang diakibatkan dari
keanekaragaman suku bangsa yang membangunnya. Namun, dalam Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, rakyat indonesia telah bersumpah berbangsa,
bertanah air, dan berbahasa Indonesia yang menunjukan bahwa bahsa
Indonesia sebagai media komunikasi yang dapat menyatukan berbagai suku
bangsa yang memiliki berbagai jenis budaya, bahasa daerah, yang berada
dalam satu wilayah yang sama sebagai tanah air yang demi mewujudkan
bangsa yang satu sebagai bangsa Indonesia.
Namun sayangnya, masalah yang timbul pada era globalisasi ini ialah
memudarnya semangat persatuan seiring maraknya pemakaian budaya asing
dan bahasa inggris yang menyebarluas akibat arus globalisasi. Akibatnya,
kesenian-kesenian lokal khas daerah-daerah Indonesia yang bersifat
tradisional menghadapi ancaman serius dari budaya-budaya asing yang kian
digemari masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, budaya konvensional berupa
penempatan tepo salero, keramah tamahan, toleransi, penghormatan kepada
yang lebih tua juga di hantam habis oleh pergaulan bebas dan sifat
individualistik yang dibawa oleh globalisasi. Bahkan Bahasa Indonesia pun
tak luput dari ancaman serius dari Bahasa Inggris yang berupaya
menghomogenisasi seluruh bahasa yang digunakan di seluruh dunia, termasuk
Indonesia.
Ancaman-ancaman itulah yang seharusnya disadari dan diwaspadai
bangsa Indonesia yang sesungguhnya akan menjadi sangat serius dan sangat
mengancam masa depan bangsa Indonesia ketika ancaman-ancaman itu
mampu

menyentuh

generasi

muda

penerus

bangsa

yang

menjadi

penggenggam masa depan bangsa Indonesia yang tak lain adalah anak-anak
usia dini berkebangsaan Indonesia. Maka dari itu, kita harus memupuk
semangat nasionalisme sejak dini, salah satunya melalui pendidikan anak usia

dini dengan pendekatan budaya seperti halnya Pendidikan yang dicanangkan
oleh salah satu Pahlawan Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara.
C. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Pendidikan merupakan salah satu ranah yang vital dalam proses pembangunan
suatu negara. Oleh karenanya, sudah seharusnya kualitas pendidikan ditingkatkan
sejalan dengan perubahan jaman. Kesadaran masyarakat akan pentingnya
pendidikan anak usia dini mengalami peningkatan, terutama terhadap pendidikan
anak usia dini. Namun seiring perkembangan jaman, di era globalisasi ini
nyatanya banyak ancaman yang datang tanpa disadari. Ancaman itu tak hanya
mengancam masyarakat Indonesia melainkan mengancam identitas dan budaya
bangsa serta bahasa Indonesia yang mulai dianggap usang seiring dengan
memudarnya jiwa nasionalisme rakyat Indonesia. Pendidikan anak usia dini,
diyakini memiliki peranan penting untuk ikut andil dalam mengatasi ancamanancaman yang bisa menghantarkan Indonesia kehilangan identidas dirinya,
mengingat anak usia dini berada pada masa keemasannya dimana apapun yang ia
dapatkan akan menjadi suatu hal yang menetap seumur hidupnya terlebih jika
dilakukan secara kontinu.
2. Saran
Ancaman terhadap identitas dan budaya serta bahasa bangsa Indonesia harus
ditanggapi dengan serius. Karena hal itu tak hanya berdampak pada masa kini,
justru akan lebih berdampak buruk di masa depan jika hal ini tidak ditangani
secara serius. Dalah satu upaya yang dapat dilakukan ialah mengangkat kembali
sistem pendidikan nasional yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara berupa
pembelajaran pada pendidikan anak usia dini dengan pendekatan budaya.
Sehingga budaya bangsa baik itu budaya traditional maupun konvensional tetap
terjaga dalam jiwa nasionalisme yang tertanam dan menetap pada setiap anak usia
dini, sebagai generasi penerus penggenggam masa depan bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka
Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. Hal. 3
Hurlock, E. (2013). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Magta, M. (2013). Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Pada Anak Usia Dini. Vol. 7,
Edisi 2
Mubah, A. Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Upaya Homogenisasi Global.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Putri, I. (2012). Konsep Pendidikan Humanistic Ki Hajar Dewantara Menurut Pandangan
Islam. (Sinopsis Tesis). Program Magister Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo
Rohman, S dan Wibowo, A. (2016). Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Rosidi, A. (2015). Pendidikan dan Kebudayaan Ki Hdjar Dewantara dalam Perspektif
Pendidikan Islam. (skripsi). Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sulardi. Penguatan Budaya Nasional dalam Situasi Krisis Budaya. Hal 73
TN. Revitalisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk Pendidikan Karakter Bangsa.
Universitas Kristen Satya Wacana
Trianto. (2011). Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik; Bagi Anak Usia Dini TK/RA
& Anak Usia Kelas Awal SD/MI. Jakarta: Kencana Predana Media Group