Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Di Kota Medan. Kajian Fungsi, Kontinuitas, Dan Perubahan

(1)

32 Untuk pemilihan informan8

8 Lihat lampiran

penulis memilih para budayawan, musisi (pargonsi) atau seniman tradisional Batak Toba yang ada di kota medan yang menurut penulis bisa memenuhi data-data yang akan penulis lakukan dalam hal pengumpulan data melalui wawancara.

BAB II

MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

2.1 Geografis Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan


(2)

33

pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.

Letak geografis Kota Medan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-980 44’

BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km2. Kota Medan memilki perbatasan yaitu :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur (Kabupaten Deli Serdang)

- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang), dan

- Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa (Kabupaten Deli Serdang)

Adapun kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu Kecamtatan Medan


(3)

34

Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Baru, Bandar Udara Polonia. Secara geografsi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.

2.2 Konsep Adat

Adat merupakan aktivitas sosial yang disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum bagi manusia yang diwariskan oleh nenek moyang sebagai kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara untuk mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia. Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian

Mulajadi Na Bolon yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat

inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara turun temurun, berupa pesan tentang aturan atau tata tertib dan hukum yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan. Hukum adat merupakan


(4)

35

pemberian Mulajadi Na Bolon sebagai perintah yang harus dituruti dan bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat. Maka dari itu tertanam oleh masyarakat Batak Toba bahwa apabila adat ditaati dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak menaati adat tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat). Menurut Aritonang, seorang teolog kristen (1988:47), adat bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakup seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan seluruh jagad raya (makrokosmos).

Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup (kelihatan) dengan orang yang mati (tidak kelihatan); adat mengatur tata tertib sosial untuk desa sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme, yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta


(5)

36

pengembangan mitos dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk beluknya kehidupan (Pasaribu, 1986:61).

Adat merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau menjadi hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi oleh masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupan masyarakat Batak Toba selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat dalam suku Batak Toba merupakan bagian yang harus dipatuhi dan dilakukan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan terdapat empat (4) kategori adat yang dilakukan:

1. komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat yang tersendiri, menunjuk kepada setiap komunitas mempunyai tipologi9

9

Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan tipe atau jenis (pembagian budaya menurut suku bangsa)

adat masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih lekat dan kental dibandingkan dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualis dalam menyikapi respon terhadap adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang juga mempengaruhinya.


(6)

37

2. Adat diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya. Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang telah membudaya dan juga sering dianggap sebagai bagian dari adat isitiadat. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama banyak mengatur kehidupan norma masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.

3. Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.

4. Pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga (incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner 1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilah yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga


(7)

38

keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.

2.3 Religi atau Kepercayaan

Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, segala hal di dalam kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Dalam cerita turun temurun, mitologi dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba ini yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).

Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3)

Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon

diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang member ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10)


(8)

39

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)

Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru

Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada

Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat

Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban.

Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat

harajaon (Sangti, 1977:279).

Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh-roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya.


(9)

40

Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan

ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh

perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).

Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi

Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia

adalah awal dari semua yang ada.

Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara sesama orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Sahala tersebut merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik


(10)

41

orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah ketika seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh bisa juga hilang.

Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).

Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah

berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri.

Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak

adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Secara harafiah hasangapon bisa diartikan sebagai terpuji, tauladan, terhormat, atau nyaris tanpa cela. Dalam mencapai harajaon, hamoraon,


(11)

42

dan hasangapon, berarti seseorang tesebut telah menjadi pribadi yang

sempurna.

Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

2.4 Konsep Kemasyarakatan

Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat (4) prinsip yaitu:

1. Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat.

2. Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain.

3. Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal


(12)

43

marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah.

4. Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.

2.5 Konsep Kekerabatan

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki-laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga10

10 Marga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal. Nama marga

dalam keluarga umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan nama belakang. Marga turun-temurun dari kakek kepada bapak, kepada anak, kepada cucu, kepada cicit, dan seterusnya. (www.id.wikipedia.org/wiki/marga)

. Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki. Mengenai prinsip garis keturunal patrilineal tersebut , Soerjono Soekanto memberikan penjelasan: “Hubungan kekerabatan


(13)

44

melalui laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk kedalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu”11

Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas.

. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de

facto) oleh umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak

laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, maka perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.


(14)

45

Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga

(hula-hula), yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga

yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim),

hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu

yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah

mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona


(15)

46

saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro

robot; paraman dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari

hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan,

paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari

pihak hula-hula.

2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang

termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.

3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya


(16)

laki-47

laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap

hula-hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu.

Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat

mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini

pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini.

Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula

adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada


(17)

48

masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba

Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba.

Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial.

Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar, membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil akan dilakukan untuk mengejar status


(18)

49

sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.

Dengan terbentuknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.

Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol.

Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan


(19)

50

untuk dapat keluar dari tanah Batak. Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.

Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka. Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180)

Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka terdahulu. Karena beragamnya


(20)

51

orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka. Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara adat Batak mereka. Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain.

Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas mereka. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat Hasselgren, 2008:48)

Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah


(21)

52

ada di Jakarta adalah seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan sendiri.

Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat hingga saat ini.

Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923, mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau Sulawesi, orang Batak sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.


(22)

53

Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876 bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana. Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves.

Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370). Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa.13

2.8 Budaya Musikal Batak Toba 2.8.1 Musik vokal

Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal


(23)

54

tradisional, pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu:

1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby).

2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang

akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang saat menjelang pernikahan.

3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,

biasanya malam hari.

4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring

tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.

5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan

seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan

pemberkatan,dan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.


(24)

55

7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang

disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang yang lebih dewasa atau orang tua.

8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup

seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.

Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara namarhadodoan (resmi)

2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak

Toba dalam kegiatan sehari-hari.

3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan

berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.

Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing.


(25)

56

Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut sebagai berikut :

1. Nyanyian kelonan (lullaby), yaitu musik vokal yang mempunyai irama halus, tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga dapat membangkitkan rasa kantuk bagi sianak yang mendengarkan. Contoh:

Mandideng.

2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja. Contoh : Luga-luga solu.

3. Nyanyian permainan (play song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan. Contoh : Sampele-sampele.

4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh : Metmet ahu on

5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh : Siboruadi.

6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh : Madekdek ma

gambiri.


(26)

57

Ada tiga jenis enasambel musik yang umum dipakai pada upacara adat perkawinan batak toba di kota medan dahulu dan sekarang, yaitu: ensambel

gondang hasapi, ensambel gondang sabangunan dan musik.

2.8.2.1 Ensambel gondang hasapi

Secara umum ensambel yang lazim digunakan untuk upacara adat perkawinan namun masa sekarang hampir tidak digunakan lagi penggunaanya pada upacara perkawinan. Instrumen yang dipakai dalam ensambel ini terdiri dari: hasapi doal, sarune etek, garantung, mengmung,

hesek.

(a) Hasapi doal, instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam

permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende.

Gambar 1. Hasapi doal

(b) Sarune etek, adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed

tunggal. Klasifikasi ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lobang nada (empat dibagian atas, satu dibagian bawah) dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa.


(27)

58

Gambar 2. Sarune etek

(c) Garantung, adalah instrumen pembawa melodi yang terbuat dari kayu dan

memiliki lima bilah nada. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok xylophone. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem variable pada lagu-lagu tertentu, dimainkan dengan cara mamalu.12

Gambar 3. Garantung

(d) Mengmung, adalah instrumen pembawa melodi konstan yang memiliki

tiga senar. Senarnya terbuat dari kulit bamboo tersebut. Klasifikasi instrumen ini bisa dimasukkan kedalam kelompok idiochordophone.

12

Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain. Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen.


(28)

59

(e) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat

dari pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong. Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone.

(f) Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara

mangombus marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok

aerophone.

Gambar 4. Sarune bolon

2.8.2.2 Ensambel gondang sabangunan

Sampai zaman sekarang Gondang sabangunan lazim dipakai pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya pada saat pemberian ulos maupun sebagai pengisi acara. Instrumentasi yang dipakai pada ensambel yang dipakai dalam ensambel gondang sabangunan terdiri dari:

(a) Taganing, yaitu lima buah gendang yang terdiri dari odap-odap, paidua odap, painonga, paidua ting-ting, dan ting-ting dan berfungsi sebagai

pembawa melodi dan juga sebagai ritem variabel dalam beberapa lagu. Klasifikasi intrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone,


(29)

60

dimainkan dengan cara dipukul membrannya dengan menggunakan palu- palu/stik. Di dalam permainan taganing terdapat empat teknik memukul, yaitu; 1) memukul stik pada bagian tengah gendang, 2) memukul stik pada pinggiran gendang, 3) memukul stik pada tengah dan menghentikannya seketika dengan cara menekan permukaan gendang dengan ujung stik, 4) menekan permukaan gendang dengan ujung jari tangan kiri. Gordang, satu buah gendang yang lebih besar dari taganing yang berperan sebagai pembawa ritem kostan maupun variabel. Instrumen ini sering disebut sebagai bass dari ensambel gondang sabangunan. Alat musik ini dimainkan dengan menggunkan dua buah stik pemukul, sama dengan memainkan taganing. Sarune bolon, termasuk pembawa melodi yang memiliki lidah ganda, dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa. Klasifikasi instrument ini termasuk kedalam kedalam kelompok

aerophone.

Gambar 5. Taganing

(b) Ogung (Gong), yaitu empat buah gong yang diberi nama oloan, ihutan, doal dan panggora. Setiap ogung mempunyai ritem yang sudah konstan.


(30)

61

irama dalam gondang sabangunan. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone.

(c) Odap, yaitu gendang dua sisi yang berperan sebagai pembawa ritem

variabel. Pada praktiknya alat musik ini sangat jarang dimainkan. Kehadirannya dalam ensambel gondang sabangunan lebih terbatas pada upacara-upacara ritual kepercayaan, seperti yang ditemukan pada masyarakat parmalim yang masih melanjutkan kepercayaan Batak Toba. Klasifikasi instrument ini termasuk kedalam kelompok membranophone. (d) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat

dari pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong. Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone.

2.8.2.3 Musik Tiup ( Brass Band)

Musik tiup adalah ensambel yang paling umum digunakan pada upacara adat batak toba masa kini di Kota Medan. Ensambel ini dianggap sangat efektif karena sifatnya yang dinamis dalam arti dapat memainkan berbagai macam lagu, baik rohani gereja, lagu populer, maupun lagu-lagu rakyat Batak dan lagu-lagu diluar Batak lainnya. Penulis berpendapat karena kemampuannya itulah sehingga selera masyarakat Batak secara umum, baik yang berasal dari perantauan maupun yang berdomisili di kota medan dapat dipenuhi oleh musik ini.

Walaupun dalam penyebutannya ensambel ini disebut musik tiup atau musik saja, namun beberapa instrumen tradisional Batak telah dipadukan dengan musik tiup tersebut. Instrumentasinya terdiri dari:


(31)

62

a. Trumpet merupakan salah satu alat musik tiup logam yang pada awalnya digunakan sebagai sinyal panggilan. Trumpet dikenal sebagai alat musik transposisi yang bisa memainkan lagu dari semua kunci/keytone.

Gambar 6. Trumpet

b. Saxophone merupakan alat musik tiup logam (brass wind) dengan reed tunggal seperti pada alat musik klarinet.

Gambar 7. Saxophone

c. Trombone merupakan instrumen yang terbuat dari bahan kuningan (brass) dan bahan lain dari besi putih atau besi stainless. Jenis trombone ada dua, yaitu:

1. Slide trombone, alat musik tiup logam dengan warna suara tersendiri yang memungkinkan suara diproduksi dengan halus.


(1)

57

Ada tiga jenis enasambel musik yang umum dipakai pada upacara adat perkawinan batak toba di kota medan dahulu dan sekarang, yaitu: ensambel gondang hasapi, ensambel gondang sabangunan dan musik.

2.8.2.1Ensambel gondang hasapi

Secara umum ensambel yang lazim digunakan untuk upacara adat perkawinan namun masa sekarang hampir tidak digunakan lagi penggunaanya pada upacara perkawinan. Instrumen yang dipakai dalam ensambel ini terdiri dari: hasapi doal, sarune etek, garantung, mengmung, hesek.

(a) Hasapi doal, instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende.

Gambar 1. Hasapi doal

(b) Sarune etek, adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed tunggal. Klasifikasi ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lobang nada (empat dibagian atas, satu dibagian bawah) dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa.


(2)

58

Gambar 2. Sarune etek

(c) Garantung, adalah instrumen pembawa melodi yang terbuat dari kayu dan memiliki lima bilah nada. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok xylophone. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem variable pada lagu-lagu tertentu, dimainkan dengan cara mamalu.12

Gambar 3. Garantung

(d) Mengmung, adalah instrumen pembawa melodi konstan yang memiliki tiga senar. Senarnya terbuat dari kulit bamboo tersebut. Klasifikasi instrumen ini bisa dimasukkan kedalam kelompok idiochordophone.

12

Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain. Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen.


(3)

59

(e) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong. Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone.

(f) Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok aerophone.

Gambar 4. Sarune bolon

2.8.2.2Ensambel gondang sabangunan

Sampai zaman sekarang Gondang sabangunan lazim dipakai pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya pada saat pemberian ulos maupun sebagai pengisi acara. Instrumentasi yang dipakai pada ensambel yang dipakai dalam ensambel gondang sabangunan terdiri dari:

(a) Taganing, yaitu lima buah gendang yang terdiri dari odap-odap, paidua odap, painonga, paidua ting-ting, dan ting-ting dan berfungsi sebagai pembawa melodi dan juga sebagai ritem variabel dalam beberapa lagu. Klasifikasi intrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone,


(4)

60

dimainkan dengan cara dipukul membrannya dengan menggunakan palu- palu/stik. Di dalam permainan taganing terdapat empat teknik memukul, yaitu; 1) memukul stik pada bagian tengah gendang, 2) memukul stik pada pinggiran gendang, 3) memukul stik pada tengah dan menghentikannya seketika dengan cara menekan permukaan gendang dengan ujung stik, 4) menekan permukaan gendang dengan ujung jari tangan kiri. Gordang, satu buah gendang yang lebih besar dari taganing yang berperan sebagai pembawa ritem kostan maupun variabel. Instrumen ini sering disebut sebagai bass dari ensambel gondang sabangunan. Alat musik ini dimainkan dengan menggunkan dua buah stik pemukul, sama dengan memainkan taganing. Sarune bolon, termasuk pembawa melodi yang memiliki lidah ganda, dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa. Klasifikasi instrument ini termasuk kedalam kedalam kelompok aerophone.

Gambar 5. Taganing

(b) Ogung (Gong), yaitu empat buah gong yang diberi nama oloan, ihutan, doal dan panggora. Setiap ogung mempunyai ritem yang sudah konstan. Instrument ini berperan sebagai pembawa ritem konstan atau pembawa


(5)

61

irama dalam gondang sabangunan. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone.

(c) Odap, yaitu gendang dua sisi yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Pada praktiknya alat musik ini sangat jarang dimainkan. Kehadirannya dalam ensambel gondang sabangunan lebih terbatas pada upacara-upacara ritual kepercayaan, seperti yang ditemukan pada masyarakat parmalim yang masih melanjutkan kepercayaan Batak Toba. Klasifikasi instrument ini termasuk kedalam kelompok membranophone. (d) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat

dari pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong. Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone.

2.8.2.3Musik Tiup ( Brass Band)

Musik tiup adalah ensambel yang paling umum digunakan pada upacara adat batak toba masa kini di Kota Medan. Ensambel ini dianggap sangat efektif karena sifatnya yang dinamis dalam arti dapat memainkan berbagai macam lagu, baik rohani gereja, lagu populer, maupun lagu-lagu rakyat Batak dan lagu-lagu diluar Batak lainnya. Penulis berpendapat karena kemampuannya itulah sehingga selera masyarakat Batak secara umum, baik yang berasal dari perantauan maupun yang berdomisili di kota medan dapat dipenuhi oleh musik ini.

Walaupun dalam penyebutannya ensambel ini disebut musik tiup atau musik saja, namun beberapa instrumen tradisional Batak telah dipadukan dengan musik tiup tersebut. Instrumentasinya terdiri dari:


(6)

62

a. Trumpet merupakan salah satu alat musik tiup logam yang pada awalnya digunakan sebagai sinyal panggilan. Trumpet dikenal sebagai alat musik transposisi yang bisa memainkan lagu dari semua kunci/keytone.

Gambar 6. Trumpet

b. Saxophone merupakan alat musik tiup logam (brass wind) dengan reed tunggal seperti pada alat musik klarinet.

Gambar 7. Saxophone

c. Trombone merupakan instrumen yang terbuat dari bahan kuningan (brass) dan bahan lain dari besi putih atau besi stainless. Jenis trombone ada dua, yaitu:

1. Slide trombone, alat musik tiup logam dengan warna suara tersendiri yang memungkinkan suara diproduksi dengan halus.