Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anak

2.1.1 Pengertian Anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial, dan mempunyai akhlak yang mulia (Herlina, 2003:4).

Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antar seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak adalah aset bangsa. Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang. Semakin baik kepribadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila kepribadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan. Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak


(2)

seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa.

Menurut the Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04 tahun 1979 tentang Kesejahtaraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun (Huraerah, 2006: 31).

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk pada saat dalam kandungan. Anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase selanjutnya. Menurut Konvensi Hak Anak pasal 1, anak berarti setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun kecuali, berdasarkan undang undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.


(3)

Pengakuan terhadap anak secara internasional dilakukan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui suatu konvensi pada tahun 1989 (UNICEF). Prinsip-prinsip yang dianut dalam konveksi hak anak adalah

a. Non Diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA (Konvensi Hak Anak) harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip universalitas HAM

b. Yang terbaik bagi anak (Best Interests Of The Child), artinya dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.

c. Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Survival And Development), artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini mencerminkan prinsip indivisibility HAM

d. Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child), maksudnya bahwa pendapat anak, terutama yang menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.

2.1.2 Hak-Hak Anak

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak Bab II Pasal 2-9 mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, sebagai berikut:


(4)

a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan

Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Yang dimaksud dengan asuhan adalah berbagai upaya yang dilakukan kepada anak-anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar dan anak yang mengalami masalah kelainan yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

b. Hak atas pelayanan

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup

Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

e. Hak mendapat pertolongan pertama

Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan.


(5)

f. Hak memperoleh asuhan

Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan olehnegara atau orang atau badan lain. Dengan demikian anak yang tidak mempunyai orang tua itu dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosial.

g. Hak memperoleh bantuan

Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungankeluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.

h. Hak diberi pelayanan dan asuhan

Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yangbertujuan mendorong guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.

i. Hak memperoleh pelayanan khusus

Anak cacat berhak memperoleh pelayan khusus untuk mencapai tingkatpertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupannya.

j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan

Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak, tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendidikan dan kedudukan sosial (Prinst, 1997: 57).

Adapun hak-hak dasar anak menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:


(6)

a. Hak untuk hidup layak

Setiap anak berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk makanan, tempat tinggal dan perawatan kesehatan

b. Hak untuk berkembang

Setiap anak berhak untuk tumbuh kembang secara wajar tanpa halangan. Mereka berhak untuk mengetahui identitasnya, mendapatkan pendidikan, bermain, beristirahat, bebas mengemukakan pendapat, memilih agama, mempertahankan keyakinan, dan semua hak yang memungkinkan mereka berkembang secara maksimal sesuai potensinya.

c. Hak untuk mendapat perlindungan

Setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah. d. Hak untuk berperan serta

Setiap anak berhak untuk berperan aktif dalam masyarakat termasuk kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadi anggota suatu perkumpulan.

e. Hak untuk memperoleh pendidikan

Setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal tingkat dasar. Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan yang tinggal di daerah terpencil, pemerintah berkewajiban untuk bertanggung jawab untuk membiayai pendidikan mereka.


(7)

2.1.3 Konvensi Hak Anak

Konsep tentang perlindungan Anak pertama kali dicetuskan pasca berakhirnya perang dunia ke-1 yang merupakan respon dari berbagai penderitaan yang kebanyakan dialami oleh kaum perempuan dan anak akibat peperangan. Pada saat itu beberapa aktivis perempuan menggelar aksi untuk meminta perhatian dunia agar peduli akan nasib perempuan dan anak- anak yang menjadi korban perang. Pada tahun 1923 seorang aktivis perempuan berkebangsaan Inggris bernama Eglantyne Jebb merumuskan dan menyuarakan 10 Hak Dasar yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh Anak yaitu:

a. Hak untuk memiliki Nama (identitas)

b. Hak Mendapatkan makanan (asupan gizi yang layak) c. Hak Bermain

d. Hak Rekreasi e. Hak Kebangsaan

f. Hak Mendapat Persamaan (non diskriminasi) g. Hak Perlindungan

h. Hak Pendidikan i. Hak Kesehatan

j. Hak untuk Berperan Dalam pembangunan.

Pada tahun 1924 kesepuluh Hak Dasar Anak tersebut dideklarasikan dan diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa yang dikenal dengan Deklarasi Jenewa. Setelah berakhirnya Perang Dunia II tepatnya pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal mengenai HAM


(8)

(DUHAM). Peristiwa yang diperingati setiap tahun sebagai Hari Hak Azasi Manusia (HAM) Sedunia tersebut menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM. Beberapa hal yang menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup pula dalam deklarasi ini. Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak sekaligus merupakan deklarasi internasional kedua di bidang hak khusus bagi anak-anak. Selanjutnya perhatian dunia terhadap eksistensi bidang hak ini semakin berkembang.

Tahun 1979 bertepatan dengan saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usul disusunnya perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan bersifat mengikat secara yuridis. Inilah awal mula dibentuknya Konvensi Hak Anak. Tahun 1989 rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga tanggal 20 November naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB. Rancangan inilah yang hingga saat ini dikenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA). Pada 2 September 1990 KHA mulai diberlakukan sebagai hukum internasional. Indonesia meratifikasi KHA pada 25 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Konvensi Hak Anak memberikan definisi bahwa ”Anak” adalah manusia

yang berumur di bawah 18 tahun dan memiliki hak-hak yang harus di penuhi seperti hak untuk hidup, hak tumbuh berkembang, perlindungan dan partisipasi. Hak-hak tersebut tidak dapat diabaikan dan semestinya harus dipenuhi oleh lingkungan dimana anak berdomisili dan berinteraksi sebagai mahluk sosial. Konvensi Hak Anak lahir dari sebuah kesadaran bahwa sesuai kodratnya anak adalah rentan, lugu, belum dapat mandiri oleh sebab itu anak membutuhkan


(9)

perawatan dan perlindungan yang khusus dari orang dewasa agar fisik dan mentalnya dapat bertumbuh dengan baik. Tujuan Konvensi Hak Anak adalah agar anak sebagai individu mampu memainkan peranan yang konstruktif dalam masyarakat. Hal ini di tegaskan dalam mukadimah KHA paragraf ke-7 yaitu :

”...anak harus sepenuhnya di persiapakan untuk menjalani kehidupannya baik sebagai pribadi yang utuh maupun masyarakat”.

Sistem struktural masyarakat, anak seringkali dianggap sebagai pelaksana dari keputusan yang ditetapkan oleh orang dewasa karena masih belum memiliki kapasitas untuk mandiri. Anak hanya dianggap sebagai konsumen dari budaya yang telah dikembangkan oleh orang dewasa. Agar proses menuju kematangan sebagai seorang individu diperlukan tindakan sosialisasi dari orang-orang dewasa sekitarnya. Sehubungan dengan konsep pemaknaan anak (children), pada masa kanak-kanak (childhood) beberapa ahli sosiologi seperti Jenks serta James dan Prout menyatakan ada beberapa ciri-ciri paradigma tentang anak yaitu:

a. Masa kanak-kanak (childhood) dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial. Pandangan ini memilki perbedaan dan kematangan biologis yang memandang bahwa masa kanak-kanak sebagai sebuah gambaran natural dan universal. Memandang childhood sebuah komponen struktural dan kultural yang khusus dari berbagai masyarakat.

b. Childhood merupakan sebuah variabel dari analisis sosial. Hal ini tidak bisa terlepas dari variabel lain seperti gender, kelas dan etinisitas. Analisis komparatif dan cross-kultrural lebih mengungkapkan keberagaman dari childhood dari pada sebuah fenomena yang bersifat tunggal dan universal


(10)

c. Hubungan sosial anak. Hubungan sosial anak dan budaya merupakan studi yang berguna dalam hak (right) anak, bebas dari perspektif dan kepentingan orang dewasa (adults).

d. Anak merupakan dan harus dipandang sebagai subjek yang aktif dalam konstruksi dan determinasi dari kehidupan sosial mereka sendiri, kehidupan di seputar mereka dan dari masyarakat dimana mereka tinggal. Anak bukanlah subjek pasif dari struktur dan proses sosial

e. Childhood merupakan sebuah fenomena dalam kaitan dengan mana hermeneutik ganda dari ilmu pengetahuan sosial merupakan pernyataan yang benar atau tajam (acutely). Untuk menyatakan sebuah paradigma baru dari sosiologi, childhood juga perlu ikut terlibat dalam proses rekonstruksi childhood dalam masyarakat (James, Prout, & Allans, 1997: 8).

2.1.4 Perlindungan Anak

2.1.4.1 Pengertian Perlindungan Anak

Anak yang ada dalam kandungan perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan. Bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya atau berarti bayi dalam kandungan ibu haruslah telah dianggap sebagai insan atau individu demi perlindungan dilakukan orang tua sedini mungkin, yaitu sejak anak dalam kandungam baik secara adat maupun agama telah dilakukan atau dibiasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu apabila kita mengetahui adanya terjadi perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau


(11)

tidak tepat maka kita harus memperhatikan fenomena mana yang relevan yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak (Gosita, 2004: 12).

Perlindungan anak menjelaskan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 pasal 1 ayat 2).

Konsep perlindungan anak mencakup dalam empat kelompok permasalahan yaitu perlindungan aspek sosial budaya, ekonomi, politik atau hukum dan pertahanan keamanan. Dalam aspek sosial budaya, tidak boleh ada paksaan atas anak yang berdalih adat istiadat atau tradisi yang menganggu atau menghambat pertumbuhan si anak menjadi manusia berkualitas. Dalam aspek ekonomi tidak ada pekerja anak atau buruh anak yang bekerja tidak sesuai dengan persyaratan kerja bagi anak-anak. Aspek politik atau hukum tidak boleh ada peraturan perundangan yang mengindahkan harkat dan martabat anak dalam penghukuman serta perlakuan terhadap anak bermasalah harus selalu diutamakan kepentingan pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai manusia yang baik. Sedangkan dalam aspek pertahanan keamanan, anak harus dilindungi dari penyalahgunaan di dalam segala bentuk kejahatan seperti prostitusi dan perdagangan anak (Supatmi dan Puteri, 1999: 109-110).


(12)

2.1.4.2Prinsip Perlindungan Anak

Adapun 4 prinsip mengenai perlindungan anak meliputi: a. Anak yang tidak dapat berjuang sendiri.

Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak sebagai modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masayarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).

Demi kepentingan terbaik anak merupakan filsafah utama dibalik konvensi hak anak adalah bahwa anak juga setara, sebagai manusia mereka memiliki nilai melekat yang sama seperti orang dewasa. Penegasan tentang hak anak menyoroti penekanan bahwa masa kanak-kanak sangat berharga bagi anak belakangan ini bukan semata-mata periode pelatihan untuk menuju kekehidupan manusia dewasa. Adanya gagasan bahwa anak-anak memiliki setara mungkin terdengar seperti kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi tetapi sesungguhnya merupakan pemikiran radikal yang sama sekali dihargai pada saat ini.

Perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik dengan menganut prinsip yang menyatakan kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of promount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan.


(13)

Prinsip the best interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak sebagai korban disebabkan ketidaktahuan karena usia perkembangannya.

The best interest of the child merupakan salah satu prinsip yang terkandung dalam KHA sebagaimana telah diadopsi dalam prinsip-prinsip penyelengggaraan perlindungan anak selain dari non diskriminasi, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak. Kepentingan yang terbaik bagi anak dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002).

c. Ancangan daur kehidupan (Life-Circleapproach)

Perlindungan anak mengacu pada pemahaman perlidungan harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin yang berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang abaik melalui ibunya. Jika ia lahir maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan kesehatan primer dengan memberikan pelayanan imunisasi dan lain-lain, sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan cacat dan penyakit. d. Lintas sektoral

Nasib anak tergantung dari berbagai faktor mikro maupun makro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran, sistem pendidikan yang menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan dan


(14)

sebagainya tidak dapat ditangani oleh sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan (Irwanto, 1997: 4).

2.2. Pekerja Anak

2.2.1 Pengertian Pekerja Anak

Pekerja anak diartikan sebagai anak yang harus melakukan pekerjaan yang menghalangi mereka bersekolah dan membahayakan kesehatan, fisik dan mentalnya (Damanik, 2006). Pekerja anak juga diartikan sebagai anak yang aktif bekerja, yang membedakannya dengan anak yang pasif bekerja, karena tidak semua pekerjaan yang dilakukan oleh anak dapat menjadikan anak sebagai pekerja.

Pekerja anak merupakan suatu realitas sosial yang perlu disikapi secara bijaksana. Istilah pekerja anak seringkali menimbulkan perdebatan. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan istilah anak-anak yang terpaksa bekerja untuk menyebutkan pekerja anak. Biro Pusat statistic menggunakan istilah pekerja anak sebagai anak-anak yang aktif secara ekonomi, tepatnya bahwa pekerja anak adalah anak yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan. Sedangkan definisi pekerja anak menurut Organisasi Buruh Internasioanl (The International Labour Organization) ILO adalah anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahyakan atau menganggu fisik, mental, intelektual dan moral (http://Pekerja-anak<<erka.html).


(15)

Pekerja anak, buruh atau anak-anak yang terpaksa bekerja adalah istilah-istilah untuk menggabungkan profil anak-anak yang kurang beruntung, anak-anak dari keluarga miskin yang dalam masa kanak-kanaknya terpaksa tidak dapat menikmati waktu bermain secara cukup dan bahkan terlantar kelangsungan pendidikannya bahkan perkembangan moral juga tidak mendapat perhatian yang cukup karena berbenturan dengan waktu bekerja.

Secara yuridis formal, berbagi Negara di dunia mengikuti batasan usia pekerja anak dengan semangat variatif. Dalam konteks pekerja anak, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak anak (The United Nations Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 tahun 1990 dan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera untuk penghapusan pekerja terburuk untuk anak, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 01 tahun 2001 menjelaskan bahwa batas usia anak adalah belum berusia 18 tahun. Menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 04 tahun 1979 anak adalah orang yang belum berusia 21 tahun dan belum pernah kawin. Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 03 tahun 1997 menetapkan anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun (http://Pekerja-anak<<erka.html).

Pekerja anak melakukan pekerjaan tertentu sebagai aktivitas rutin harian dan jam kerjanya relatif panjang. Ini menyebabkan mereka tidak dapat bersekolah, tidak memiliki waktu yang cukup untuk bermain dan beristirahat dan secara tidak langsung aktivitas tersebut berbahaya bagi kesehatan anak. Pekerja anak seharusnya menikmati hak pendidikan. Hal ini menjadi permasalahan krusial pada


(16)

masa depan Negara kehilangan generasi terdidik. Belum lagi tekanan mental pada anak-anak yang bisa mengarah kepada masalah kriminal. Dengan demikian membiarkan anak bekerja dan tidak sekolah, sama dengan tidak memberikan bekal yang bermanfaat bagi kehidupan masa depan karena anak adalah anak-anak bangsa yang akan menjadi sumber daya manusia dimasa mendatang (Prinst, 1997: 87).

Dalam Modul Penanganan Pekerja Anak yang disusun oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI menyebutkan bahwa pekerja anak memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Bekerja setiap hari b. Tereksploitasi

c. Terganggu waktu sekolahnya atau tidak sekolah lagi d. Terganggu kesehatannya

e. Bekerja dalam waktu yang panjang

f. Bekerja untuk ikut memenuhi kebutuhan keluarga

(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_120565.pdf)

2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Pekerja Anak

Keterlibatan anak dalam dunia kerja tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor penyebab tersebut ada yang berasal dari dalam diri anak maupun karena pengaruh lingkungan terdekat dengan anak. Secara garis besar faktor penyebab ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:


(17)

a. Faktor Intern

Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam diri anak yang mendorong anak untuk melakukan aktivitas tertentu dan menghasilkan uang. Dengan hasil yang diperoleh anak akan menjadi senang dan dorongan tersebut akan terpuaskan. Adapun faktor intern yang menyebabkan anak memilih menjadi pekerja anak antara lain kemiskinan yang dialami orang tua, adanya budaya dan tradisi yang memandang anak wajib melakukan pekerjaan sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua, relatif sulitnya akses ke pendidikan serta tersedianya pekerjaan yang mudah diakses tanpa membutuhkan persyaratan tertentu.

b. Faktor Ekstern

Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar diri anak. Faktor inilah yang menjadi alasan bagi dunia kerja untuk menerima anak bekerja. Anak dipandang sebagai tenaga kerja yang murah dan cenderung tidak banyak menuntut. Pekerja anak dipandang tidak memiliki kemampuan yang memadai baik secara fisik maupun kemampuan. Dengan demikian para pengusaha akan cenderung memilih anak karena upah yang diberikan akan cenderung lebih murah daripada orang dewasa. Disamping itu anak lebih patuh dan penurut terhadap intruksi yang diberikan oleh orang dewasa (http;//Pekerja-anak<<erka.html).

Selain faktor tersebut, penyebab anak bekerja dapat dilihat dari beberapa faktor-faktor pendorong lainnya yaitu sebagai berikut:


(18)

a. Faktor Ekonomi

Kemiskinan menyebabkan ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokok. Ditemukan juga munculnya kesadaran di tingkat anak-anak untuk tidak melanjutkan sekolah karena ketidakmampuan orang tua untuk membayar biaya pendidikan. Akibatnya mereka tidak memiliki aktivitas (menganggur) sehingga anak berusaha untuk berkegiatan, terlebih lagi jika kegiatan tersebut dapat menghasilkan uang. Kondisi ini menyebabkan anak dengan kesadaran sendiri atau dipaksa oleh keluarga untuk bekerja, sehingga kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi dan membantu keluarga dalam mencari nafkah.

Terdapat beberapa profil rumah tangga miskin yaitu:

a. Sosial Demografi yang meliputi rata-rata jumlah anggota rumah tangga, persentase wanita sebagai kepala rumah tangga, rata-rata usia kepala rumah tangga dan pendidikan kepala rumah tangga.

b. Kemampuan membaca dan menulis, tingkat pendidikan c. Sumber penghasilan utama

d. Tempat tinggal (perumahan) yang dilihat dari luas lantai, jenis lantai, jenis atap, jenis dinding, jenis penerangan, sumber air, jenis jamban, status pemilikan rumah tinggal (Sub Direktorat Analisis Statistik: 2008).

Kemiskinan tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, tetapi terdapat beberapa aspek yang disebut kelompok atau keluarga miskin, yaitu:

1. Hidup dibawah garis kemiskinan dimana tidak memiliki faktor produksi sendiri sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan hidup


(19)

2. Tidak memiliki peluang untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri dimana hanya cukup untuk konsumsi

3. Tingkat pendidikan yang rendah, keluarga miskin rata-rata memiliki tingkat sosial ekonomi rendah yang memiliki jumlah anak lebih besar 4. Setengah menganggur dimana untuk terjun ke sektor formal agak tertutup

rapat karena rendahnya pendidikan dan keterampilan rendah, akibatnya mereka masuk ke sektor-sektor informal atau tidak bekerja sama sekali (Siagian, 2012: 21-23).

b. Faktor Sosial

Ketidakharmonisan hubungan antar anggota keluarga dan pengaruh pergaulan dengan teman merupakan faktor yang menyebabkan anak menjadi pekerja anak. Bagi anak, bekerja bukan sekedar kegiatan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, tetapi juga sebagai palampiasan atas ketidakharmonisan hubungan diantara anggota keluarga. Selain itu pekerjaan dan teman-teman di tempat bekerja merupakan tempat yang dapat dijadikan tempat bergantung bagi anak.

c. Faktor Budaya

Adanya pandangan dari sebagian masyarakat yang lebih menghargai anak yang bekerja merupakan bentuk pengabdian kepada orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada kerja, mereka juga berharap dapat mengurangi beban kerja keluarga.


(20)

d. Faktor Pendidikan

Berawal dari pendidikan orangtua yang rendah, adanya keterbatasan ekonomi dan tradisi maka banyak orangtua mengambil jalan pintas agar anaknya berhenti sekolah dan lebih baik bekerja dengan alasan :

1) Wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi 2) Biaya pendidikan mahal

3) Sekolah tinggi akhirnya jadi pengangguran

Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan ekonomi, orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang lebih tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan anak dimasa datang. Situasi tersebut yang mendorong anak untuk bekerja.

e. Faktor ketersediaan lapangan pekerjaan

Tersedianya sumber lokal yang dapat menjadi lahan pekerjaan bagi anak, pola rekruttmen yang mudah dan anak merupakan tenaga kerja yang murah dan mudah diatur, kurangnya pengetahuan masyarakat terutama orang tua tentang hak-hak anak serta masih diskriminatifnya cara pandang

masyarakat Indonesia atas “keberadaan” seorang anak (http://analisis-situasi-pekerja-anak.or.id).

Faktor-faktor yang menjadi penyebab anak-anak bekerja dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Sisi penawaran ditunjukkan untuk melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat yang menyediakan tenaga anak-anak untuk bekerja, sedangkan sisi permintaan untuk


(21)

menunjukkan faktor-faktor yang mendukung pengusaha memutuskan untuk menggunakan pekerja anak sebagai faktor produksi (Nachrowi, 2004: 100).

Dari sisi penawaran, menurut berbagai penelitian yang dilakukan di dalam maupun luar negeri, kemiskinan merupakan faktor utama yang membuat anak-anak masuk ke pasar tenaga kerja. ILO dan UNICEF (1994) menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan akar permasalahan terdalam dan faktor utama anak-anak terjun ke dunia kerja. Bencana alam, buta huruf, ketidakberdayaan, kurangnya pilihan untuk bertahan hidup, serta kemiskinan orangtua yang membuat semakin buruknya keadaan yang dihadapi oleh keluarga sehingga mereka merasa terpaksa meletakkan anaknya ke dunia kerja.

Fenomena pekerja anak di Indonesia merupakan masalah serius karena mengancam kualitas kehidupan anak, hak-hak mereka dan masa depan mereka sekaligus masa depan bangsa. Oleh karena itulah pekerja anak merupakan salah satu kategori anak-anak yang perlu mendapat perlindungan khusus. Konvensi ILO Nomor 138 (disahkan Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000) mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja menyatakan bahwa usia minimum bagi anak untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun jika pekerjaan itu tidak mengganggu kesehatan, keselamatan, pendidikan, dan pertumbuhannya. Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau melakukan pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun. Namun ternyata masih banyak anak berusia kurang dari 15 tahun yang harus bekerja di Indonesia.


(22)

2.2.3 Teori Pengerahan Tenaga Kerja

Di Sektor Produksi (menghasilkan suatu barang), rumah tangga pedesaan di Indonesia menerapkan pola nafkah ganda (pengerahan tenaga kerja) yang merupakan sebuah strategi survival (strategi bertahan hidup) dimana keseluruan anggota rumah tangga terlibat untuk mencari nafkah dari berbagai sumber baik dalam kegiatan usaha sendiri ataupun buruh. Bagi rumah tangga miskin pola nafkah ganda merupakan sebuh strategi untuk bertahan hidup dimana pemanfaatan alokasi tenaga kerja rumah tangga baik pria, wanita, dewasa maupun anak-anak yang bekerja di sektor-sektor produksi atau non produksi (Ihromi, 1999: 242).

2.2.4 Bentuk-Bentuk Pekerjaan Untuk Anak

Bentuk-bentuk pekerjaan untuk anak menurut ILO (International Labour Organization) Nomor 138 adalah

a. Bentuk-bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk anak

Pada prinsipnya anak tidak boleh bekerja, dikecualikan untuk kondisi dan kepentingan tertentu anak diperbolehkan bekerja, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bentuk pekerjaan tersebut antara lain:

1. Pekerjaan Ringan

Anak yang berusia 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi syarat:


(23)

a. Ijin tertulis dari orang tua atau wali

b. Perjanjian kerja antara Pengusaha dan Orang tua atau Wali c. Waktu kerja maksimal 3 jam

d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu sekolah e. Perlindungan K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) f. Adanya hubungan kerja yang jelas

g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku

2. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan Anak dapat melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang dengan ketentuan:

a. Usia paling sedikit 14 tahun. b. Harus memenuhi syarat :

1) Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta mendapat bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakn pekerjaan

2) Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja 3. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat.

Untuk mengembangkan bakat dan minat anak dengan baik, anak perlu diberikan kesempatan untuk menyalurkan bakat dan minatnya. Untuk menghindarkan terjadinya eksploitasi terhadap anak, pemerintah telah mengesahkan kebijakan berupa Kepmenakertrans Nomor Kep. 115/Men/VII/2004 tentang Perlindungan bagi anak yang melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat.


(24)

Dalam Kepmenakertrans tersebut dijelaskan bahwa pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat, harus memenuhi kriteria: a. Pekerjaan tersebut bisa dikerjakan anak sejak usia dini

b. Pekerjaan tersebut diminati anak

c. Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak

d. Pekerjaan tersebut menambahkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak

Dalam mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat yang berumurkurang dari 15 tahun, Pengusaha wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan orang tua / wali yang mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku

2. Mempekerjakan diluar waktu sekolah

3. Memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 ( tiga ) jam sehari dan 12 (dua belas) jam seminggu.

4. Melibatkan orang tua atau wali di lokasi tempat kerja untuk melakukan pengawasan langsung.

5. Menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan penggunaan narkotika, perjudian, minuman keras, prostitusi dan hal-hal sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental dan sosial anak.

b. Bentuk-Bentuk Pekerjaan Yang Dilarang Untuk Anak 1. Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak


(25)

Banyak anak yang terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya atau kondisi dan situasi yang berbahaya misalnya dibidang konstruksi, pertambangan, penggalian, penyelaman di laut dalam. Selain pekerjaan tersebut seringkali ditemukan pekerjaan yang dilakukan pekerja anak yang selintas tidak berbahaya, namun sebenarnya tergolong berbahaya karena akibatnya akan terasa beberapa waktu yang akan datang misalnya bekerja dengan kondisi kerja yang tidak layak antara lain tempat kerja yang sempit, penerangan yang minim, posisi kerja duduk dilantai, menggunakan peralatan kerja yang besar dan berat melebihi ukuran tubuhnya, waktu kerja yang panjang. Pekerjaan yang berbahaya tersebut digolongkan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak.

Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak merupakan bentuk pekerjaan yang diyakini, jika dikerjakan oleh seorang anak, akan berpengaruh sangat buruk terhadap tumbuh kembang anak baik secara fisik, mental, sosial dan intelektualnya. Untuk itu pemerintah telah melakukan perlindungan terhadap pekerja anak melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Bentuk Pekerjaan terburuk untuk anak menurut pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, meliputi:

a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya.

b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian.


(26)

c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika , psikotropika dan zat adiktif lainnya dan atau

d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak

2. Bentuk atau jenis pekerjaan terburuk menurut Kepmenakertrans Nomor Keputusan 235/Men/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak meliputi: a. Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan dan

Keselamatan Kerja seperti:

1) Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi dan peralatan lainnya, meliputi pekerjaan pembuatan, perakitan atau pemasangan, pengoperasian dan perbaikan:

a) mesin-mesin b) Pesawat

c) Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang

d) Instalasi seperti: pipa bertekanan, listrik, pemadam kebakaran dan saluran listrik

e) Peralatan lainnya seperti tanur, dapur peleburan, lift, pecancah f) Bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut

dan sejenisnya.

2) Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi:


(27)

a) Pekerjaan yang mengandung bahaya fisik b) Pekerjaan yang mengandung bahaya kimia c) Pekerjaan yang mengandung bahaya biologis

3) Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu : a) Konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan

b) Pada perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat

c) Mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan 10 kg untuk anak perempuan

d) Dalam bangunan tempat kerja terkunci

e) Penangkapan ikan yang dilakukan dilepas pantai atau perairan laut dalam

f) Dilakukan didaerah terisolir dan terpencil g) Di Kapal

h) Dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barangbarang bekas

i) Dilakukan antara pukul 18.00 – 06.00

b. Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Moral Anak:

1) Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi 2) Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras 3) Obat perangsang seksualitas dan/atau rokok.

Pekerjaan yang sifat dan keadaan dalam pelaksanaan membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagaimana disebutkan dapat


(28)

ditinjau kembali guna menyesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta tingkat kemajuan masyarakat.

2.2.5 Dampak-Dampak yang Dialami oleh Pekerja Anak

Dampak dari pekerja anak yang secara tidak langsung akan ditanggung oleh masyarakat dan negara antara lain:

a. Anak tidak memiliki bekal pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga akan memperpanjang siklus kemiskinan yang selama ini sudah dialami keluarga anak

b. Anak yang bekerja pada usia dini akan cenderung memiliki fisik yang lebih rapuh, merasa takut dan tidak memiliki rasa percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain yang baru dikenalnya.

Persoalan pekerja anak di Indonesia dan kelangsungan pendidikannya belakangan ini kembali mencuat karena dipicu situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Persoalan pekerja anak menjadi kian kompleks dan sulit terpecahkan tatkala krisis ekonomi melanda sejumlah Negara Asia terutama Indonesia. Secara substansial, dampak dari situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan terhadap kehidupan anak-anak dari keluarga miskin yaitu:

a. Pilihan dan kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk tumbuh kembang secara wajar akan makin berkurang, khususnya kesempatan anak untuk melaksanakan sekolah hingga minimal jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

b. Proses pemiskinan yang merupakan konsekuensi terjadinya krisis ekonomi yang merambah ke berbagai daerah, besar kemungkinan akan menyebabkan


(29)

anak-anak potensial terpuruk dalam kondisi hubungan kerja yang merugikan, eksploitatis dan tidak mustahil pula memaksa mereka masuk pada sektor yang sesungguhnya sangat tidak dapat ditoleransi (most intolerable form of child labour).

c. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia bukan tidak mungkin menyebabkan batas toleransi terhadap kasus eksploitasi dan perlibatan anak dalam kegiatan produktif menjadi semakin longgar, sebab situasi dan kondisi yang ada dinilai sebagai faktor yang tidak terelakkan. Bahkan bisa jadi pula situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan kemudian berubah menjadi

“kambing hitam” untuk menutupi kurangnya perhatian dan

ketidakmampuan menangani permasalahan pekerja anak (Suyanto, 2010: 112-113).

2.3 Kesejahteraan Anak

Sebelum kita masuk ke definisi kesejahteraan anak sebaiknya kita mengetahui definisi kesejahteraan sosial secara umum. Definisi kesejahteraan sosial menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Dasar dari undang-undang ini mengacu kepada pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Apabila ketentuan pasal 34 UUD 1945 ini diberlakukan secara konsekwen, maka kehidupan fakir miskin dan anak terlantar akan terja.


(30)

Pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, juga disebutkan hak-hak anak sebagai berikut:

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang secara wajar.

b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna.

c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun seseudah dilahirkan.

d. Anak berhak atas perindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannnya secara wajar.

Menurut kamus istilah kesejahteraan sosial, defenisi kesejahteraan sosial adalah keadaan sejahtera pada umumnya yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial dan bukan hanya perbaikan dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja. Jadi, kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan dan kegiatan (Suparlan, 1983:58).

Walter. A. Friedlander (dalam Nurdin, 1989: 29) menerangkan bahwa kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka untuk


(31)

mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 menegaskan bahwa kesejahteraan sosial ialah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkamn diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Adapun penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang dilakukan merupakan suatu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial.

Sedangkan Arthur Dunham mengemukakan kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang usaha manusia dimana di dalamnya terdapat berbagai macam badan dan usaha sosial yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial pada bidang-bidang kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberikan perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok, komunitas-komunitas dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas dimana pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan (Sumarnugroho, 1987: 28-29).

Melihat konsepsi kesejahteraan sosial ternyata masalah-masalah sosial dirasakan begitu berat dan mengganggu perkembangan masyarakat sehingga diperlukan sistem pelayanan sosial yang lebih teratur. Dengan kata lain bahwa pelayanan sosial diberikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan


(32)

kemampuan berfungsi sosial individu, kelompok ataupun masyarakat. Maka pelayanan kesejahteraan sosial adalah pelayanan yang memungkinkan untuk memberi kesempatan kepada orang-orang dari golongan yang tidak dapat memanfaatkan adanya pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya (Sumornugroho, 1989: 28).

2.4 Kerangka Pemikiran

Dusun Amal Bakti merupakan salah satu dusun di Kabupaten Deli Serdang, dimana banyak pekerja anak sebagai pembuat batu bata. Pekerja anak tersebut melakukan pekerjaannya dimulai ketika mereka pulang sekolah sekitar jam 1 hingga jam 5 sore atau setengah hari.

Terdapat 2 sistem kerja yang berlaku di kilang batu bata, yaitu sistem harian dan borongan. Sistem harian artinya anak-anak bekerja dan digaji sesuai dengan banyak batu bata yang dihasilkan, sedangkan borongan artinya anak-anak bekerja secara berkelompok yang terdiri dari 6-9 orang untuk menghasilkan batu bata sebanyak 15.000-25.000 buah. Pendapatan rata-rata pekerja anak yang bekerja dengan sistem harian sekitar Rp.60.000-Rp.70.000 jika full day dan Rp.30.000 jika bekerja setengah hari, sedangkan upah untuk pekerja anak yang memilih sistem borongan sekitar Rp.70.000-Rp.90.000 dengan menyelesaikan belasan ribu bahkan puluhan ribu batu bata dalam satu hari.

Banyak faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak sebagai pembuat batu bata di desa tersebut. Salah satunya adalah faktor kemiskinan yang dialami oleh orang tua mereka. Ekonomi keluarga yang rendah mengakibatkan orang tua tidak dapat mencukupi kebutuhan si anak dan membuat mereka


(33)

akhirnya putus sekolah atau bekerja setelah sekolah . Selain faktor tersebut banyak lagi faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pekerja anak seperti sosial dan budaya.

Untuk memperjelas alur pemikiran tersebut, dapat dilihat bagan kerangka pemikiran berikut ini :

Bagan Alur Pikir

Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

Pekerja anak yaitu pekerja batu bata

Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pekerja anak :

a. Faktor Ekonomi b. Faktor Sosial c. Faktor Budaya d. Faktor Pendidikan


(34)

2.5 Definisi Konsep

Perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian ilmiah menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti. Jadi definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).

Memahami pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai berikut:

a. Anak dalam penelitian ini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk pada saat dalam kandungan dimana anak merupakan mahkluk sosial yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya

b. Pekerja anak dalam penelitian ini adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah waktu dengan menerima imbalan c. Kesejahteraan anak dalam penelitian ini adalah suatu tata kehidupan anak

yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara jasmani, rohani maupun sosial.

d. Faktor ekonomi dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang rendah akan menyebabkan terjadinya pengerahan tenaga kerja sebagai bentuk mekanisme bertahan hidup.


(35)

e. Faktor sosial dalam penelitian ini adalah ketidakharmonisan hubungan antar anggota keluarga dan pengaruh pergaulan dengan teman merupakan faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak.

f. Faktor budaya dalam penelitian ini adalah pandangan sebagian masyarakat yang lebih menghargai anak yang bekerja merupakan bentuk pengabdian seorang anak kepada orang tuanya.

g. Faktor pendidikan dalam penelitian ini adalah pendidikan orang tua yang rendah membuat mereka cenderung berfikir sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang tinggi. h. Faktor ketersediaan lapangan pekerjaan dalam penelitian ini adalah


(1)

Pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, juga disebutkan hak-hak anak sebagai berikut:

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang secara wajar.

b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna.

c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun seseudah dilahirkan.

d. Anak berhak atas perindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannnya secara wajar.

Menurut kamus istilah kesejahteraan sosial, defenisi kesejahteraan sosial adalah keadaan sejahtera pada umumnya yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial dan bukan hanya perbaikan dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja. Jadi, kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan dan kegiatan (Suparlan, 1983:58).

Walter. A. Friedlander (dalam Nurdin, 1989: 29) menerangkan bahwa kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka untuk


(2)

mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 menegaskan bahwa kesejahteraan sosial ialah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkamn diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Adapun penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang dilakukan merupakan suatu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial.

Sedangkan Arthur Dunham mengemukakan kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang usaha manusia dimana di dalamnya terdapat berbagai macam badan dan usaha sosial yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial pada bidang-bidang kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberikan perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok, komunitas-komunitas dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas dimana pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan (Sumarnugroho, 1987: 28-29).

Melihat konsepsi kesejahteraan sosial ternyata masalah-masalah sosial dirasakan begitu berat dan mengganggu perkembangan masyarakat sehingga diperlukan sistem pelayanan sosial yang lebih teratur. Dengan kata lain bahwa pelayanan sosial diberikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan


(3)

kemampuan berfungsi sosial individu, kelompok ataupun masyarakat. Maka pelayanan kesejahteraan sosial adalah pelayanan yang memungkinkan untuk memberi kesempatan kepada orang-orang dari golongan yang tidak dapat memanfaatkan adanya pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya (Sumornugroho, 1989: 28).

2.4 Kerangka Pemikiran

Dusun Amal Bakti merupakan salah satu dusun di Kabupaten Deli Serdang, dimana banyak pekerja anak sebagai pembuat batu bata. Pekerja anak tersebut melakukan pekerjaannya dimulai ketika mereka pulang sekolah sekitar jam 1 hingga jam 5 sore atau setengah hari.

Terdapat 2 sistem kerja yang berlaku di kilang batu bata, yaitu sistem harian dan borongan. Sistem harian artinya anak-anak bekerja dan digaji sesuai dengan banyak batu bata yang dihasilkan, sedangkan borongan artinya anak-anak bekerja secara berkelompok yang terdiri dari 6-9 orang untuk menghasilkan batu bata sebanyak 15.000-25.000 buah. Pendapatan rata-rata pekerja anak yang bekerja dengan sistem harian sekitar Rp.60.000-Rp.70.000 jika full day dan Rp.30.000 jika bekerja setengah hari, sedangkan upah untuk pekerja anak yang memilih sistem borongan sekitar Rp.70.000-Rp.90.000 dengan menyelesaikan belasan ribu bahkan puluhan ribu batu bata dalam satu hari.

Banyak faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak sebagai pembuat batu bata di desa tersebut. Salah satunya adalah faktor kemiskinan yang dialami oleh orang tua mereka. Ekonomi keluarga yang rendah mengakibatkan orang tua tidak dapat mencukupi kebutuhan si anak dan membuat mereka


(4)

akhirnya putus sekolah atau bekerja setelah sekolah . Selain faktor tersebut banyak lagi faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pekerja anak seperti sosial dan budaya.

Untuk memperjelas alur pemikiran tersebut, dapat dilihat bagan kerangka pemikiran berikut ini :

Bagan Alur Pikir

Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

Pekerja anak yaitu pekerja batu bata

Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pekerja anak :

a. Faktor Ekonomi

b. Faktor Sosial

c. Faktor Budaya

d. Faktor Pendidikan


(5)

2.5 Definisi Konsep

Perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian ilmiah menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti. Jadi definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).

Memahami pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai berikut:

a. Anak dalam penelitian ini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk pada saat dalam kandungan dimana anak merupakan mahkluk sosial yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya

b. Pekerja anak dalam penelitian ini adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah waktu dengan menerima imbalan c. Kesejahteraan anak dalam penelitian ini adalah suatu tata kehidupan anak

yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara jasmani, rohani maupun sosial.

d. Faktor ekonomi dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang rendah akan menyebabkan terjadinya pengerahan tenaga kerja sebagai bentuk mekanisme bertahan hidup.


(6)

e. Faktor sosial dalam penelitian ini adalah ketidakharmonisan hubungan antar anggota keluarga dan pengaruh pergaulan dengan teman merupakan faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak.

f. Faktor budaya dalam penelitian ini adalah pandangan sebagian masyarakat yang lebih menghargai anak yang bekerja merupakan bentuk pengabdian seorang anak kepada orang tuanya.

g. Faktor pendidikan dalam penelitian ini adalah pendidikan orang tua yang rendah membuat mereka cenderung berfikir sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang tinggi. h. Faktor ketersediaan lapangan pekerjaan dalam penelitian ini adalah


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 29 116

Kontribusi Pekerja Anak Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Di Pasar V Kebun Kelapa Desa Amal Bakti, Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 7 109

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 1 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 3

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 7

Kontribusi Pekerja Anak Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Di Pasar V Kebun Kelapa Desa Amal Bakti, Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 9

Kontribusi Pekerja Anak Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Di Pasar V Kebun Kelapa Desa Amal Bakti, Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 9

Kontribusi Pekerja Anak Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Di Pasar V Kebun Kelapa Desa Amal Bakti, Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 9