Arah Kebijakan Perbankan Syariah dalam M (1)

1
ARAH KEBIJAKAN PERBANKAN SYARIAH DALAM
MENGOPTIMALKANUSAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH; UPAYA
PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA*
Oleh
Oleh Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag.,M.H*
Abstrak
Penelitian ini menemukan bahwa Bank Indonesia akan memfokuskan kebijakan
pengembangan perbankan syariah tahun 2013 pada hal-hal sebagai berikut: (1)
pembiayaan perbankan syariah yang lebih mengarah kepada sektor produktif dan
masyarakat yang lebih luas; (2) pengembangan produk yang lebih memenuhi
kebutuhan masyarakat dan sektor produktif, dan (3) transisi pengawasan yang tetap
menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah. Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah merupakan peraturan
perundang-undangan tertinggi yang secara langsung memberi peluang bagi
perbankan syariah dalam mengoptimalkan UMKM. Terdapat lima peraturan
perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur perbankan syariah,
namun cukup memberi peluang bagi perbankan syariah dalam mengoptimalkan
UMKM, yaitu: (1) UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 tentang Perekonomian Nasional; (2)

UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 22 tentang Pembiayaan Usaha Mikro;
(3) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi, Pasal 43 ayat 2 tentang Pelayanan
Koperasi; (4) UU No.42 Tahun 1999 tentangJaminanFidusia, Pasal 1 ayat 2 tentang
Penerima
Fidusia;
(5)
UU
No.5
Tahun
1999
tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehat, Pasal 1 ayat 2
tentang Pemusatan Kekuatan Ekonomi.

Key Word: Perbankan Syari’ah, UMKM, Kekuatan Ekonomi
A. Latar Belakang Masalah
Sejak kelahirannya tahun 1991 hingga sekarang, perbankan syariah telah
membuktikan kiprah sosialnya dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) di negeri Indonesia.1 Hal ini ditunjukkan oleh Bank Muamalat, sejak 2005 telah
menggalakan program pembiayaan terhadap UMKM. Bank Muamalat melakukan program
aliansi dengan jaringan lembaga keuangan mikro syariah(BMT), sebagai salah satu strategi

penyaluran pembiayaan. Saat dibuka kala itu, BMT yang dimiliki Bank Muamalat di seluruh
Indonesia telah tercatat sekitar 3.043 unit. Bahkan, jaringan BMT tersebut juga dapat

*Makalah disampaikan dalam acara diskusi dosen pada tanggal 14 Maret 2013 di Fakultas Ekonomi
dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1
Penggunaan terminologi UMKM seolah-olah menyatukan koperasi,usaha mikro, usahakecildan
usahamenengah
dalam
satuperspektifkelompok
usahayang
lemah
dan
perludilindungi.
Perspektifinidinilaidapatmenghambatupayamemberdayakan diyakinimemilikipermasalahan dan tahapan
kebutuhan untuk pengembangannya yang berbeda. Penyatuan perspektifinidapatberakibatpada penilaian
pemangku kepentingan bahwa UMKM cenderung biassebagaiusahamikrodan sifatnyainformal, karenasebagian
besarUMKM didominasioleh usahamikro.Lihat:Tim Kementerian Koperasi dan UKM, Evaluasi Peraturan
Perundang-Undangan di Bidang Pembangunan KUMKM, 81-82.


2
dimanfaatkan sebagai perpanjangan pihak Bank Umum Syariah untuk menjangkau layanan
pembiayaan kepada usaha kecil dan mikro, melalui program linkage.2
Bukan hanya Bank Muamalat yang peduli terhadap perkembangan UMKM. PT. Bank
Syariah Mandiri (BSM) termasuk bank yang gencar meraih pangsa pasar UMKM.
Pembiayaan UMKM terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2005, posisi
pembiayaan UMKM oleh BSM mencapai Rp 3,26 triliun. Pada 2006 naik lagi menjadi Rp
4,83 triliun. Tahun 2007 hingga 13 Oktober 2008 telah mencapai Rp 7,72 triliun. Pembiayaan
yang disalurkan BSM pada tahun 2008 mencapai lebih dari Rp 13 triliun. Pada 2012, dana
yang disalurkan oleh bank syariah kepada sektor UMKM telah mengalami peningkatan yang
signifikan, yaitu sebesar Rp 83,09 triliun atausebesar 61,29% dari total pembiayaan
perbankan syariah. Potensi UMKM juga dicermati bank-bank umum yang memiliki unit
syariah. Salah satunya adalah bank BII, yang menganggap UMKM sebagai salah satu sektor
penting untuk penyaluran pembiayaan.3
Perkembangan perbankan syariah selama satu tahun terakhir, sampai dengan bulan
Oktober 2012 cukup menggembirakan. Perbankan syariah mampu tumbuh ± 37% sehingga
total asetnya menjadi Rp174,09 triliun. Pembiayaan telah mencapai Rp135,58 triliun
(40,06%) dan penghimpunan dana menjadi Rp134,45 triliun (32,06%). Strategi edukasi dan
sosialisasi perbankan syariah yang ditempuh dilakukan bersama antara Bank Indonesia

dengan industri dalam bentuk iB campaign baik untuk funding maupun financing telah
mampu memperbesar market share perbankan syariah menjadi ± 4,3%.4
Penghimpunan dana masyarakat terbesar dalam bentuk deposito, yaitu Rp78,50 triliun
(58,39%) diikuti oleh Tabungan sebesar Rp40,84 triliun (30,38%) dan Giro sebesar Rp15,09
triliun (11,22%). Penyaluran dana masih didominasi piutang Murabahah sebesar Rp80,95
triliun atau 59,71% diikuti pembiayaan Musyarakah yang sebesar Rp25,21 triliun (18,59%)
dan pembiayaan Mudharabah sebesar Rp11,44 triliun (8,44%), dan piutang Qardh sebesar
Rp11,19 triliun (8,25%).Sebagaimana pencapaian pada tahun lalu, perbankan syariah tetap
berkomitmen untuk menggerakkan sektor riil dan mengoptimalkan pencapaian tersebut.
Pembiayaan sebagai upaya lembaga finansial dalam menggerakkan sektor riil telah mendapat
perhatian tinggi dari perbankan syariah. Sebesar 80,85% dari total penyaluran dana
perbankan syariah atau Rp135,58 triliun diinvestasikan ke dalam aktivitas pembiayaan, lalu
Penempatan pada Bank Indonesia dalam bentuk Surat Berharga Bank Indonesia Syariah
(SBIS), giro dan Fasilitas Bank Indonesia (FASBI) sebesar Rp18,52 triliun (11,04%),
2

Yang dimaksud dengan linkage program dalah kerja sama antara Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat termasuk di dalamnyaBank dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dalam menyalurkan Pembiayaan
kepada UMKM. Linkage program dengan polaexecutinga dalah pinjaman yang diberikan dari bank kepada
Bank Perkreditan Rakyat Syariah dalam rangka pembiayaan untuk diteruspinjamkan kepada nasabah UMKM.

Lihat: Penjelasan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaiankualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, 3.
Dari 8 BUS dan 4 UUS yang telah melaporkan pelaksanaan fungsi sosial dan linkage, jumlah dana
yang telah dikumpulkan dan/atau disalurkan perbankan syariah selama tahun 2012 (s.d Oktober 2012) adalah:
(i) dana CSR Rp 42,2 milyar, (ii) dana ZISW Rp 52,7 milyar, (iii) linkage program BPRS Rp 207,2 milyar dan
(iv) linkage program BMT Rp 439,2 milyar, 16. Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013 , 5;
Lihat juga Ninik Haryati, Peran Bank Syariah dalam Mengoptimalkan UMKM Kota Yogyakarta, Tesis,
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010, 1.
3
Lihat: www.seputar-indonesia.com:Raih Dukungan BankSyariah dalam Ninik Haryati, Peran Bank
Syariah dalam Mengoptimalkan UMKM Kota Yogyakarta, Tesis, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2010, 2.
4
Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang sangat concern terhadap pengembangan sektor riil
telah dapat memanfaatkan peluang atas kebutuhan finansial sektor UMKM. Sebesar 61,29% atau Rp 83,09
triliun dari total pembiayaan perbankan syariah (BUS + UUS) disalurkan ke sektor UMKM. Lihat: Bank
Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013, 5.

3

kemudian penempatan pada Surat Berharga yang dimiliki sebesar Rp7,82 triliun (4,66%)
serta penempatan pada Bank Lain sebesar Rp5,16 triliun (3,08%).5
Dalam rangka tetap menumbuh-kembangkan perbankan syariah, Bank Indonesia akan
memfokuskan kebijakan pengembangan perbankan syariah tahun 2013 pada hal-hal sebagai
berikut: (i) Pembiayaan perbankan syariah yang lebih mengarah kepada sektor produktif dan
masyarakat yang lebih luas, (ii) Pengembangan produk yang lebih memenuhi kebutuhan
masyarakat dan sektor produktif, (iii) Transisi pengawasan yang tetap menjaga
kesinambungan pengembangan perbankan syariah.
Untuk meningkatkan peran serta bank dalam mengoptimalkan UMKM. Bank syariah
terus berusaha mengatur strategi melalui program kemitraan untuk usaha yang belum
bankable, linkage program dengan lembaga keuangan mikro untuk perluasan pembiayaan
syariah, seperti model penjaminan cash collateral dari instansi dan peningkatan pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil. Pengembangan sektor UMKM ini, sebetulnya bukan hanya
tanggungjawab bank syariah semata, Namun juga menjadi tanggungjawab Bank
Indonesia.6Hasil penelitian Muzammir menyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki peran
yang sangat penting dalam pemberdayaan UMKM karena perkembangan UMKM sangat vital
dan menentukan upaya tercapainya proses keadilan sosial. Menurut Muzammir, peran
pemerintah dalam memberikan layanan terbaik terhadap kelompok UMKM adalah satu hal
yang wajib.7
Penelitian Mudrajad Kuncoro menyebutkan bahwa ada beberapa kendala8 dalam

pengembangan UMKM di Indonesia, di antaranya: a) kebijakan makro pemerintah yang
kurang mendukung; b) adanya pungutan liar mulai dari proses perizinan sampai pengadaan
barang dan ekspor barang tersebut; dan c) permasalahan pembiayaan yang membebankan
usaha kepada pengusaha UMKM, antara lain: proses pembiayaan lama dan bunga tinggi dari
perbankan dan lembaga keuangan lainnya.9Ditambahlagi pendapat Ninik Haryati yang
menyatakan bahwa hambatan dalam mengoptimalkan usaha adalah manajemen yang tidak
teratur, sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Faktor-faktor kendala yang sering
timbul adalah modal karena usaha menengah sampai kecil terbentur modal yang ada dan
mereka tidak dapat pinjaman karena agunan yang diberikan tidak memenuhi syarat.10
Berdasarkan uraian di atas, peran aktif dari perbankan syariah melalui peningkatan
penyaluran kredit atau pembiayaan kepada UMKM sangat dibutuhkan. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan, yaitu bank syariah memiliki kebijakan yang berpihak kepada sektor UMKM
5

Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013 , 6.
Dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan UU No.3 Tahun 2004, kebijakan Bank Indonesia dalam membantu pengembangan UMKM sebagian
kreditnya kepada usaha kecil; PBI No.6/25/PBI/2004 dan SE No.6/44/DPNP perihal Rencana Bisnis Bank
Umum dalam Penyaluran Kredit UMKM, sehinggadiketahui komitmen bank dalam menyalurkan kredit
UMKM; dan SE No.8/3/DPNP, di mana dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) bobot

risiko untuk KUK dikenakan sebesar 85%. Lihat: Andang Setyobudi, Peran Serta Bank Indonesia dalam
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ,
32-33.
7
Muzammir, Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tidakdipublikasikan.
8
Sampai saat ini belum ada satu kesepakatan antarlintas instansi dalam mendefinisikan usaha mikro,
usaha kecil dan usaha menengah (UMKM). Hal inilah yang kemudian menjadi kendala mendasar dalam
menetapkan kebijakan untuk mengembangkan UKM. Berbagai pihak yang berkepentingan dengan UKM
mempunyai definisi menurut sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Lihat, Evaluasi Peraturan
Perundang-Undangan di Bidang Pembangunan KUMKM, 83.
9
Mudrajad Kuncoro, Makalah Seminar PSAK “Catatan Tentang Sektor Industri & UMM 10 Tahun
Pasca Krisis” 2007.
10
Ninik Haryati, Peran Bank Syariah dalam Mengoptimalkan UMKM Kota Yogyakarta, Tesis Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010, iii.
6


4
sebagai salah satu pilar ekonomi yang sangat penting dalam mendukung perekonomian
nasional.Dengan studi ini akan diketahui sejauh mana peran perbankan dalam
mengembangkan UMKM, sehingga akativitas usaha yang dijalankan UMKM dapat optimal.
Di samping itu juga akan dikethaui peraturan perundang-undangan apa saja yang dapat
mempengaruhi perkembangan UMKM dalam mengembangkan usahanya, sehingga menjadi
peluang bagi pengembangan UMKM di masa mendatang.

B. Arah Kebijakan Perbankan Syariah 2013
Perbankan syariah sebagai bagian dari perbankan nasional, dalam menetapkan arah
kebijakan perbankan syariah ke depan tidak terlepas dari kebijakan perbankan nasional
sebagaimana yang telah disampaikan Gubernur Bank Indonesia dalam pertemuan Bankers
Dinners tanggal 23 November 2012 lalu. Dalam rangka terus mendorong dan menjaga
kesinambungan pengembangan perbankan syariah, terlebih pada tahun 2013 yang merupakan
tahun transisi pengawasam mikroprudential perbankan dari Bank Indonesia (BI) kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mulai efektif pada tanggal 1 Januari 2014, Bank
Indonesia memandang perlu dilakukannya langkah pengembangan dan kebijakan perbankan
syariah yang difokuskan pada hal-hal berikut:11
1. Pembiayaan Perbankan Syariah yang Lebih Mengarah kepada Sektor Ekonomi Produktif
dan Masyarakat yang Lebih Luas

Kebijakan perbankan syariah, di tahun 2013 diarahkan untuk mengembangkan
pelayanan akan pembiayaan sektor-sektor produksi. Beberapa terobosan yang dapat ditempuh
antara lain dengan memasuki sektor-sektor yang mendapatkan prioritas dari pemerintah
seperti konstruksi, listrik dan gas, pertanian dan industri kreatif, sektor produktif untuk start
up business, dan sektor UMKM, serta proyek-proyek skala prioritas dalam inisiatif MP3EI
(master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia). Pada tahun 2012,
fokus pembiayaan kepada sektor produktif ini sudah mulai terlihat hasilnya di perbankan
syariah, di mana sebagai akibatnya terlihat dari melambatnya pertumbuhan pangsa sektor
konsumsi (jasa dunia usaha + jasa sosial + lain-lain) terhadap total pembiayaan kepada
berbagai sektor ekonomi dan melambatnya pertumbuhan pangsa pembiayaan jenis konsumsi
terhadap total pembiayaan (modal kerja + investasi + konsumsi) dibandingkan tahun
sebelumnya (posisi September).12
2. Pengembangan Produk yang Lebih Memenuhi Kebutuhan Masyarakat dan Sektor
Produktif
BI akan terus menyempurnakan regulasi terkait produk perbankan syariah.
Melanjutkan kebijakan pada tahun-tahun sebelumnya, BI menyelenggarakan forum
kerjasama tripartite dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Ikatan Akuntan Indonesia
dalam mempercepat pengembangan produk-produk baru atau non standard. Sebagaimana
tahun sebelumnya, diagendakan untuk produk yang relevan dengan kebutuhan bank dan
masyarakat. Sebagaimana tahun sebelumnya, bank syariah diarahkan untuk memperkuat unit

kerja pengembangan produk guna mempercepat pengembangan aset dan mengakomodir
kebutuhan masyarakat secara lebih luas. Dalam pengembangan produk tersebut, bank syariah
kadang kala tidak seleluasa perbankan konvensional yang lebih bebas mengeksplorasi
produk, sehingga acap kali membatasi bank syariah dalam inovasi produk. Jika keterbatasan
tersebut tidak berkaitan dengan aspek kesyariahan, maka dapat dikaji bersama dengan
11
12

Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013 , 35.
Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013, 36.

5
regulator dan asosiasi. Namun jika keterbatasan pada aspek syariah selain dikaji bersama
dengan DSN, juga semestinya dipahami bersama, baik kalangan perbankan, regulator,
maupun masyarakat bahwa perbankan syariah memberikan nilai lebih pada sistem keuangan
yang diberikan dan kemaslahatan yang lebih arif.13

3.

Transisi Pengawasan yang Tetap Menjaga Kesinambungan Pengembangan Perbankan
Syariah
Pasca disahkannya Undang-undang No.21 Tahun 2011 tentang OJK, fungsi
pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk perbankan syariah yang sebelumnya
dilakukan oleh BI akan beralih kepada OJK pada akhir tahun 2013. Dengan demikian, tahun
2013 merupakan periode yang sangat krusial dalam mempersiapkan pengalihan fungsi
pengaturan dan pengawasan perbankan syariah dari BI ke OJK. Terbentuknya OJK, telah
membagi dua kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk perbankan
syariah, yaitu mikroprudential di OJK dan makroprudential di BI.
Dalam pelaksanaannya, terdapat kemungkinan terjadinya overlapping antara
kebijakan mikroprudential dengan makroprudential, sehingga diharapkan dalam masa transisi
pengawasan ini tidak akan mengganggu proses pengembangan dan pertumbuhan perbankan
syariah itu sendiri. Selain itu juga masing-masing lembaga yang memiliki kepentingan dalam
pengembangan dan pertumbuhan perbankan syariah, dalam masa transisi sudah seharusnya
melakukan proses review dan menyelaraskan berbagai perangkat organisasi dan
infrastrukturnya, serta menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka
mempersiapkan peranannya yang baru. Termasuk di antaranya adalah menyiapkan berbagai
infrastruktur yang dibutuhkan selain mekanisme dan proses koordinasi yang baru antara
berbagai lembaga yang ada, baik nasional maupun internasional. BI sebagai lembaga yang
diamanahkan UU OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudential
semestinya sudah mulai mempersiapkan segala sesuatunya terkait dengan hal tersebut.14
Beberapa pengamat ekonomi menyatakan paket-paket kebijakan yang diterbitkan
pemerintah tersebut, belum layak disebut sebagai “paket kebijakan” karena cenderung hanya
merupakan kompilasi usulan birokrasi dan bukan turunan kebijakan yang jelas atau
bureaucratic driven dan bukan policy driven. Paket kebijakan dinilai tidak menjawab
masalah dan hambatan yang dihadapi sektor riil, seperti: infrastruktur, pasokan energi, bahan
baku, kebutuhan kredit, pendanaan dan lainnya.15
Pengamat ekonomi umumnya berharap paket kebijakan yang diterbitkan pemerintah
memiliki dampak luas terhadap ekonomi, serta mampu mengubah struktur pasar dan
persaingan usaha yang sehat, sebagaimana Paket Deregulasi Oktober 1988. Semangat paket
kebijakan perlu mencontoh “Paket New Deal” yang dicanangkan oleh Presiden Roosevelt
yang menetapkan tiga pilar kebijakan, yaitu: relief, recovery, and reform (3Rs). Pilar-pilar
tersebut diterjemahkan keberbagai program, seperti: kebijakan ekonomi yang ekspansif,
program kerja bagi pemuda yang menganggur, mendirikan work project administration yang
mampu menyerap jutaan tenaga kerja untuk membangun infrastruktur publik, dan sejenisnya.
Terlepas dari penilaian negatif dari para pengamat ekonomi yang cenderung bertindak
sebagai oposan kebijakan pemerintah; bagi sebagian besar pemangku kepentingan
menyatakan Inpres ini dapat menghasilkan perbaikan upaya pemberdayaan UMKM yang
terintegrasi dan lintas instansi. Inpres ini dapat mendorong lintas pelaku untuk memahami
13

Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013 , 40.
Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013 , 41.
15
Lihat: Rizal Ramli, Kompas 15 Juni 2007.
14

6
dan mendalami permasalahan pembangunan UMKM, yang pada akhirnya akan meningkatkan
peran sertanya dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia.
C. Terminologi UMKM Menurut Pemangku Kepentingan
Hingga saat ini, belum ada satu kesepakatan antarlintas instansi dalam mendefinisikan
UMKM. Hal inilah yang kemudian menjadi kendala mendasar dalam menetapkan kebijakan
untuk mengembangkan UKM. Berdasarkan hasil diskusi dengan pemangku kepentingan
mengindikasikan perlunya membedakan antara koperasi, usaha mikro, usaha kecil dan usaha
menengah. Pembedaan perspektif ini dinilai akan memudahkan bagi lintas pelaku untuk
mengidentifikasikan akar permasalahan untuk setiap jenis kelompok usaha dan merumuskan
program pemberdayaannya secara proporsional. Pemangku kepentingan relatif kesulitan
membedakan antara terminologi ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan, ekonomi informal,
dan UMKM; sehingga sering digunakan sebagai subtitusi satu terminologi dengan
terminologi lainnya.
Kementerian Perindustrian memiliki konsep yang mirip dalam mendefinisikan UKM
dengan Kementerian Koperasi dan UKM, hanya berbeda dalam besarannya. Kementerian
Perindustrian mendefinisikan industri kecil dan menengah sebagai unit usaha yang
mempunyai nilai investasi maksimal Rp 5 miliar. Hal ini masih sesuai dengan koridor Inpres
No.10 Tahun 1999 tentang Usaha Kecil.
Bank Indonesia mempunyai definisi tersendiri mengenai UMKM. Kriteria yang
digunakan oleh BI didasarkan pada plafond kredit. Usaha mikro mempunyai plafond kredit
sampai dengan Rp 50 juta, usaha kecil memiliki plafond antara Rp 50 hingga 500 juta,
sedangkan usaha menengah mempunyai plafond kredit lebih dari Rp 500 juta. Beberapa bank
menggunakan definisi yang berbeda satu dengan yang lain untuk mendefinisikan kredit
mikro, kecil dan menengah, serta kredit korporasi. Kredit mikro umumnya memiliki plafon
maksimal Rp 50 juta per debitur, kredit kecil dalam kisaran Rp 50 juta – Rp 5 milyar per
debitur, kredit menengah dalam kisaran Rp 5 sampai dengan 50 milyar per debitur, dan kredit
korporasi umumnya di atas Rp 50 milyar per debitur. Selama ini, pelaksanaan penyaluran
kreditatau pembiayaan kepada UMKM oleh bank syariah dijalankan berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, baik aturan yang secara langsung maupun
secara tidak langsung mengatur perbankan syariah.
Adanya berbagai definisi UMKM di atas menunjukkan tidak ada persamaan
pemahaman dan persepsi mengenai definisi dan kriteria UMKM. Hal ini mengindikasikan
bahwa UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan aturan pelaksanaannya belum
dijadikan basis oleh seluruh instansi di Indonesia. Ketidakakuratan pemahaman mengenai
definisi UMKM oleh aparatur pemerintahan terutama di daerah dapat dibuktikan melalui
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No.4 Tahun 2007 tentang Pemberdayaan Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Perda tersebut mendefinisikan usaha menengah adalah
kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp
10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan, hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp 50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah), modal usaha tidak
lebih dari Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan.
Definisi dalam Perda tersebut membingungkan, dan mengindikasikan ketidakjelasan
pemahaman aparatur pemerintah daerah mengenai usaha menengah. Pembatasan modal usaha
tidak lebih dari Rp 25 juta menunjukkan usaha maksimal Rp 25 juta hanya sesuai untuk
usaha skala mikro. Modal usaha Rp 25 juta untuk dapat menghasilkan perputaran sebesar Rp
1 milyar (usaha kecil), yang berarti memiliki perputaran 40 kali dalam setahun atau siklus
bisnisnya sekitar sembilan hari. Jika menggunakan batasan penjualan usaha menengah, maka
perputaran dapat mencapai 2.000 kali per tahun atau siklus bisnisnya sekitar empat jam.
Kriteria usaha menengah dalam Perda sangat tidak logis, dan cenderung memperkuat bahwa

7
terminologi UMKM masih sangat bias pada usaha mikro, serta mengindikasikan adanya
misleading dalam memahami makna kekayaan bersih (aktiva dikurangi dengan kewajiban)
dengan modal usaha, serta menjadi indikasi kedangkalan pemahaman terhadap UMKM.
Beberapa pemangku kepentingan menyatakan bahwa pembangunan UMKM masih
ditempatkan dalam kerangka “alat atau wahana” pembangunan ekonomi dan sosial, dan
bukan dimaksudkan untuk semata-mata memberdayakan UMKM. Hal ini mempertegas
dualisme pemerintah dalam memandang UMKM sebagai subyek yang harus diberdayakan
atau sebagai obyek untuk mencapai tujuan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa para pemangku
kepentingan secara umum menilai undang-undang ini tidak mengatur UMKM secara
langsung, tapi memiliki dampak yang bersifat langsung terhadap upaya pembangunan
UMKM. RPJP Nasional mendorong pengambil kebijakan untuk memprioritaskan
pemberdayaan UMKM karena memiliki landasan hukum yang kuat, dan sekaligus
memberikan rambu-rambu untuk perencanaan pemberdayaan UMKM sesuai dengan Tupoksi
instansinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pemangku kepentingan menilai RPJP
ini memiliki pengaruh langsung yang signifikan pada perencanan pembangunan UMKM di
Indonesia pada masa mendatang melalui jalur birokrasi pemerintahan.
Salah satu perangkat hukum yang secara langsung mengatur bank syariah dalam
pengembangan UMKM dapat dilihat pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 point (1) Penilaian atas kualitas
pembiayaan dan penyediaan dana lainnya didasarkan pada kemampuan membayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diberlakukan hanya untuk:16 (a) pembiayaan
dan penyediaan dana lainnya yang berjumlah sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) untuk satu nasabah individual atau nasabah grup; (b) pembiayaan dan penyediaan
dana lainnya yang diberikan oleh bank kepada nasabah UKM dengan jumlah: 1) di atas Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh
milyar rupiah), bagi bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (i) memiliki predikat
penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan sangat
memadai; (ii) memiliki tingkat kesehatan cukup sehat atau paling kurang peringkat komposit
tiga; dan (iii) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang
sama dengan ketentuan yang berlaku; 2) di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), bagi bank yang memenuhi
kriteria sebagai berikut: (i) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit dari pembiayaan dapat diandalkan; (ii) memiliki tingkat kesehatan cukup
sehat atau paling kurang peringkat komposit tiga; dan (iii) memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku.
Keterbatasan permodalan dan akses pembiayaan usaha kecil ke sumber-sumber
pembiayaan dinilai, seperti kredit perbankan, pinjaman lembaga keuangan bukan bank
(leasing dan sejenisnya), modal ventura, pinjaman dari penyisihan sebagian laba BUMN,
hibah, dan jenis-jenis pembiayaan lainnya. Salah satu kesulitan utama usaha kecil untuk
mengakses sumber-sumber pembiayaan formal adalah masalah legalitas, lemahnya
kemampuan merumuskan kebutuhan pengembangan usaha dan manajemen keuangannya,
serta keterbatasan agunan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka peningkatan kemampuan usaha kecil mengakses
pembiayaan usaha dengan bagi usaha kecil telah dilakukan dalam bentuk berbagai program,
16

Lihat: Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

8
seperti kredit program, pengembangan perbankan syariah dan modal ventura, serta
pengembangan skema dana bergulir melalui koperasi. Pemangku kepentingan menilai kurang
jelasnya konsistensi dan keberlanjutan program menyulitkan usaha kecil menyiapkan diri
untuk berperan dalam program peningkatan akses pembiayaan untuk pengembangan usaha.
Program yang bersifat tumbuh dan hilang, dan sering berganti nama program juga dinilai oleh
pemangku kepentingan menyulitkan usaha kecil untuk mengakses secara baik.
D. Peluang Bank Syariah dalam Mengoptimalkan UMKM Menurut Peraturan
Perundang-Undangan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tidak lain merupakan upaya optimalisasi usaha mikro dan kecil.Akan tetapi
kebijakantersebut belum memadai untuk dijadikansebagai landasan penyaluran kredit kepada
UMKM oleh bank syariah. Akibatnya UMKM belum dapat berkembang sebagaimana
layaknya usaha dagang lainnya.
Berkaitan dengan hal itu, upaya mengembangkan UMKM agar lebih optimal. Berikut
ini terdapat lima peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur,
tetapi memberi peluang bagi bank syariah dalam mengembangkan UMKM di Indonesia,
yaitu: (1) UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 tentang Perekonomian Nasional; (2) UU No.20 Tahun
2008 tentang UMKM, Pasal 22 tentang Pembiayaan Usaha Mikro; (3) UU No.25 Tahun 1992
tentang Koperasi, Pasal 43 ayat 2 tentang Pelayanan Koperasi; (4) UU No.42 Tahun 1999
tentangJaminanFidusia, Pasal 1 ayat 2 tentang Penerima Fidusia; (5) UU No.5 Tahun 1999
tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehat, Pasal 1 ayat 2 tentang
Pemusatan Kekuatan Ekonomi.
1. UUD 1945
Dari sisi konstitusi atau UUD 1945, sebenarnya persoalan bank syariah sudah
mendapatkan tempat, terutama pada Pembukaan UUD 1945 bahwa Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam yang
harus diakomodasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut pendapat Hartono Mardjono, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menghendaki
agar: (1) negara tidak memberlakukan undang-undang atau kebijakan yang bertentangan
dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) negara meberlakukan undangundang atau kebijakan bagi terwujudnya rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan
(3) negara memberlakukan undang-undang yang melarang siapa pun melakukan pelecehan
terhadap ajaran agama.17 Pendapat ini sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja,
setiap prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945 bermakna tidak boleh ada produk
hukum nasional yang mengandung penentangan atau penolakan atau permusuhan terhadap
ajaran agama.18 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa sebagai konsekuensi
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa itu maka materi undang-undang bukan saja tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhan Yang Maha Esa tetapi pula harus merupakan
pengejawantahan nilai-nilai terebut.19 Selain itu, dukungan konstitusi terhadap perbankan
syariah dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta: Universitas
Yarsi, 1998), 77.
18
Mochtar Kusumaatmadja, “Pemantapan Citra Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional pada Masa
Kini dan Masa yang Akan Datang,” Pro Justitia 2 (April 1997), 8.
19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionallisme di Indonesia (Jakarta: Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), 55.
17

9
keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Menurut hemat penulis, lembaga keuangan yang paling tepat untuk menerjemahkan
Pasal di atas adalah perbankan syariah. Hal ini disebabkan adanya beberapa alasan, yaitu: (1)
perbankan syariah sesuai dengan budaya Indonesia, hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia
sebagian besar menjadi pelaku UMKM; (2) bank syariah mengedepankan kesejahteraan
bersama daripada kesejahteraan individu; (3) bank syariah dapat dijadikan sebagai solusi
pembiayaan bagi masyarakat ekonomi kecil, sehingga mereka dapat menikmati layanan
perbankan dan dapat memberdayakan diri mereka; (4) bank syariah menolak atau menentang
tindakan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan; (5) bank
syariah telah mampu mengintegrasikan antara tuntutan bisnis dengan tuntutan syariah; dan
(6) bank syariah sangat peduli terhadap pengembangan sektor riil, serta mendukung
perekonomian nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Dengan demikian, makna demokrasi ekonomi adalah adanya kebersamaan atau
kerjasama antarpelaku ekonomi. Kerjasama ini tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak
ada rasa saling hormat-menghormati antarpelaku ekonomi. Berdasarkan UUD 1945,
pelakuekonomi di Indonesia harus salingbekerjasama dalam mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Kerjasamaantarpelaku ekonomi merupakan pencerminan
adanya sikap hormat-menghormati. Oleh karena itu, isi Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 ini
sangat relevan dengan kebijakan bank syariah dalam mengembangkan UMKM dengan cara
memberdayakan pengusaha mikro dan kecil, sehingga terciptanya kesejahteraan bersama.

2. Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Dunia usaha saat ini, khususnya usaha mikro dan kecil mengalami perkembangan
seiring dengan diterbitkannya UU tentang UMKM.20 Dengan dikeluarkannya UU No.20
Tahun 2008 tentang UMKM, peluang perbankan syariah semakin terbuka lebar karena
dimungkinkan untuk terlibat secara maksimal dalam pemberdayaan UMKM.21 Peluang itu
dapat dilihat pada Pasal 22 “Usaha mikro sangat dimungkinkan untuk meningkatkan dan
memajukan, serta memberdayakan masyarakat ekonomi lemah sehingga keberaadaan
UMKM akan mampu menciptakan perekonomian yang adil dan penuh kebersamaan, serta
berpijak pada pemberdayaan masyarakat.”
Untuk itu, UMKM menjadi prioritas pemerintah. Hal ini disebabkan UMKM
merupakan kata kunci untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran. Di
samping untuk mengimbangi dominasi dari perusahaan nasional dan multinasional yang bisa
mematikan usaha kecil.
Mengingat besarnya peran usaha kecil tersebut, maka dalam Pasal 8 huruf a juga
diatur mengenai sumber pendanaan UMKM yang dapat mengakses kredit perbankan dan
lembaga keuangan non bank. Selanjutnya, dipertegas lagi dalam Pasal 8 huruf d yang
menyatakan bahwa “Untuk membantu para pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk
mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh
perbankan dan lembaga keuangan non bank, baik yang menggunakan sistem konvensional
maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah.”
Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa sumber pendanaan UMKM selain dapat
dilakukan secara konvensional, juga dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Dengan
demikian, pembiayaan kepada UMKM dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara baik sistem
bunga maupun berdasarkan prinsip syariah.
20

Zubairi Hasan,Undang-undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009) Cet. Ke-1,242.
21
Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional ,
243.

10
Berkaitan dengan pembiayaan, beberapa bank sudah melangkah maju ke depan,
seperti yang terlihat pada BRI dengan BRI unit desanya. Bank lain, seperti Bank Danamon
dengan Dana Simpan Pinjam (DSP) telah mencanangkan pembukaan ratusan DSP sebagai
upaya untuk menjangkau UMKM.22 Melihat gencarnya perkembangan bank yang merambah
ke sektor mikro, tidak sedikit dari pelaku Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mulai khawatir
akan eksistensinya, karena keberadaan lembaga sejenis yang menginduk pada bank besar,
seperti DSP yang menginduk pada Bank Danamon.23
Apakah yang dilakukan perbankan syariah terhadap UMKM? Sebetulnya sudah
banyak, namun melihat kebutuhan riil masyarakat yang menjadi pelaku UMKM akan
kebutuhan layanan perbankan syariah, maka apa yang sudah dilakukan perbankan syariah
masih terasa kurang. Hal ini merupakan tantangan serius yang harus segera dijawab oleh
perbankan syariah, tentunya dengan kerja cerdas dan kerja nyata.
Sebetulnya sudah sering didengung-dengungkan bahwa watak dasar perbankan
syariah ini sangat sesuai dengan kebutuhan UMKM. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya UU
tentang UMKM ini, maka langkah bank syariah menjadi semakin jelas. Untuk memasuki
UMKM, sebenarnyaperbankan syariah sudah mempunyai mitra, yaitu BMT. Oleh karena itu,
BMT perlu diberdayakan dengan segala cara, sehingga perbankan syariah mempunyai kaki
untuk mengakses UMKM. Ditambah lagi, perbankan syariah tidak boleh segan-segan
membangun kaki (kantor perwakilan) sendiri terutama di pusat-pusat ekonomi rakyat seperti
di pasar dan di mall. Kenapa perbankan syariah tidak mau menggunakan kaki yang sudah
ada, yakni BMT yang hingga tahun 2008 sudah berjumlah 3000 unit lebih. Hal ini, tentu
harus menjadi perhatian kita semua.
3. Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi
Dalam UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Pasal 1 ditegaskan bahwa:
“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-perorang atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”24
Menurut Nur S. Buchori, konstitusi kita menempatkan koperasi25 sebagai soko guru
perekonomian Indonesia. Atas dasar itulah, kemudian koperasi sebagai suatu perusahaan
yang permanen sangat dimungkinkan untuk berkembang secara ekonomis. Selain itu juga
akan mampu memberikan pelayanan secara terus-menerus dan meningkatkan kesejateraan
para anggota, serta masyarakat sekitarnya. Pada akhirnya, koperasi dapat memberikan
sumbangan yang besar terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. 26 Untuk
Lihat: “Bank Danamon dan Hernando de Soto,” Majalah Tempo , Jakarta, 10 September 2006.
Lihat: “Masihkah BPR menjadi ujung tombak pembiayaan usaha mikro dan kecil?” Media Informasi
Bank Perkreditan Rakyat, Jakarta, Edisi IV, Maret 2005.
24
Undang-Undang Koperasi yang pertama lahir pada tahun 1915 dikenal dengan nama Verordening Op
De Cooperative Vereeningen (Koninkklijk Besluit 7 April 1915 Stbl No.431), yakni undang-undang tentang
perkumpulan koperasi yang berlaku untuk segala bangsa, dan bukan khusus Bumi Putra saja. Pada tahun 1920
diadakan Cooperative Commissie (Komisi atau Panitia Koperasi) yang diketuai oleh Prof. DR. J.H Boeke.
Tugas panitia ini adalah mengadakan penelitian apakah koperasi ini bermanfaat untuk Indonesia (d/h)
Nedelandsch Indie).Lihat: Nur S. Buchori, Koperasi Syariah (Sidoarjo: Mashun, 2009), 9.
25
Perbedaan pandangan pemangku kepentingan mengenai koperasi umumnya terletak pada bentuk
badan hukumnya atau “roh koperasi” berupa penerapan nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Adanya perbedaan
pandangan ini mengindikasikan banyaknya badan hukum koperasi di Indonesia yang tidak menerapkan jatidiri
koperasi secara benar. Koperasi sering dijadikan wahana untuk melegalkan kegiatan “bank gelap” dalam bentuk
kegiatan simpan pinjam yang diindikasikan oleh banyaknya koperasi yang memiliki calon anggota bertahuntahun, atau wahana untuk memperoleh dana perkuatan dan/atau program dari pemerintah. Lihat:Evaluasi
Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pembangunan KUMKM, 83.
26
Cikal bakal koperasi di Indonesia dimulai pada tahun 1896 oleh seorang Pamong Praja Patih R. Aria
Wiria Atmaja di Purwokerto yang mendirikan sebuah bank untuk para pegawai negeri (priyai). Terdorong
22

23

11
itu, fungsi koperasi adalah berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian
nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.27
Selanjutnya dalam Pasal 43 ayat (2), UU Perkoperasian disebutkan juga bahwa:
”Kelebihan kemampuan pelayanan koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang bukan anggota koperasi.” Kelebihan kemampuan usaha koperasi dimaksud
adalah kelebihan kapasitas dana dan sumber daya yang dimiliki oleh koperasi untuk melayani
anggotanya, di samping juga bukan anggotanya. Pelayanan kepada yang bukan anggota
koperasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume
usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada
anggotanya, serta untuk memasyarakatkan koperasi.28Dengan demikian, koperasi dapat
menjadi alternatif bentuk badanhukum bagi UMKM di masa mendatang.
4. Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Perbankan syariahmerupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usahanya
menyalurkan uangpinjaman kepada masyarakat dengan menerima barang bergerak yang
diikat dengan jaminan (collateral). Padahal, barang bergerak tersebut diperlukan nasabah
untuk mendukungkegiatan usaha, maka barang bergerak tersebut diikat dengan jaminan
fidusia.29
Menurut Pasal 1 angka 2,jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerakmaupun tidak bergerak khususnya bangunan yangtidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
yang tetap berada dalam penguasaanpemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikankedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditor lainnya.
Dari definisi yang diberikan tersebut di atas, sangat jelas bahwa fidusia merupakan
suatu proses pengalihan hakkepemilikan dan jaminan tersebut diberikan dalam bentuk
fidusia. Dalam hal ini, berarti UU Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan jaminan fidusia
adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan atas kreditor lainnya.

keinginan untuk menolong para pegawai yang makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang
memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Maka Patih tersebut mendirikan Koperasi kredit model Raif
Fheisen seperti di Jerman. Dengan dibantu oleh Asisten Residen Belanda (Pamong Praja Belanda) yang pada
waktu cuti berkunjung ke Jerman. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengubah “Bank Pertolongan
Tabungan” menjadi “Bank Pertolongan Tabungan dan Pertanian” mengingat bukan hanya pegawai negeri saja
yang menderita melainkan petani pun terjerat pengijon. Lihat: Nur S. Buchori, Koperasi Syariah (Sidoarjo:
Mashun, 2009), 9.
27
Pasal 4, UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinyatakan bahwa fungsi dan peran koperasi
adalah:
a) membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;
b) berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan
masyarakat;
c) memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional
dengan Koperasi sebagai sokogurunya;
d) berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
28
Pasal 3, UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinyatakan bahwa koperasi bertujuan
memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun
tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
29
Tim Naskah Akdemik, Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
(RUU ) tentang Pergadaian (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2011), 42.

12
Menurut Pasal 27 ayat (3),hak yang didahulukan ini, tidak hapus karena adanya
kepailitanatau likuidasi pemberi fidusia.
Selama ini, bank syariah selain melakukan kegiatan usaha dengan memberikan
pinjaman berdasarkan hukum gadai juga melakukan kegiatan dengan jaminan
hukumfidusia.30Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa pemberian kegiatan usaha di
mana barang bergerak diperlukan untuk mendukung kegiatanusaha nasabah, maka barang
bergerak tersebut harus diikat dengan jaminan fidusia. Hal ini dilakukan guna menjaga
likuiditas bank syariah, sebagai salah satu lembaga keuangan yang kegiatan usahanya
menyalurkan uang pinjamandengan sistem jaminan fidusia.Dengan adanya objek jaminan
fidusia, apabila nasabah melakukan wanprestasi, maka bank syariah diperbolehkan untuk
mengeksekusi terhadap barangyang menjadi objek jaminan tersebut sesuai dengan ketentuan
perundang-undanganyang mengatur tentang jaminan fidusia.
Berdasar uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa UU No.42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia dimungkinkan menjadi peluang bagi bank syariah. Jaminan fidusia
menjadi solusi atas permasalahan nasabah (pelaku usaha UMKM) yang tidak mampu
melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.
5. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
Dengan diundangkannya UU No.5 Tahun 1999 tentang AntiMonopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, setiap warga negara termasuk pengusaha kecil mempunyaikesempatan
yang sama untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaranbarang dan atau jasa,
dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapatmendorong pertumbuhan
ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar secara wajar. Setiaporang yang berusaha di Indonesia
harus berada dalam situasi persaingan yang sehatdan wajar, sehingga tidak menimbulkan
adanya pemusatan kekuatan ekonomi padapelaku usaha tertentu.31 Pelaku usaha dilarang
melakukan kecurangan dalammenetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi
bagian dari komponenharga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usahatidak sehat.32
Kehadiran UU No.5 Tahun 1999 dapat menjadi instrumen penting dalam mendorong
terciptanya iklim usaha yang wajar. Pada kenyataannya, penyaluran kredit bank syariah
hingga saat ini masih dimonopoli oleh pengusaha besar, yang notabenenya adalah perusahaan
raksasa yang memiliki aset untuk dijaminkan kepada bank. Sementara bagi pengusaha kecil
dikarenakan tidak memiliki aset untuk dijaminkan, seringkali pihak bank menolak
permohonan pinjaman. Oleh karena itu, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan praktik
monopoli.
Menurut Pasal 1 ayat (2) UU No.5 Tahun 1999, dinyatakan bahwa praktik monopoli
adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Praktik monopoli sebenarnya dibolehkan bagi suatu lembaga tertentu, asalkan
ditunjuk oleh pemerintah yang pelaksanaannya harus ditetapkan dalam bentuk undangundang dengan mendapat persetujuan DPR RI. Monopoli tersebut akan terjadi jika sangat
sulit atau tidak memungkinkan sama sekali bagi pelaku usaha lain masuk ke pasar sehingga
30

Dalam Pasal 1, UU No.4 Tahun 1996 dijelaskan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan
suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut
tetap dalam penguasaan pemilik benda.
31
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli; Menyongsong Era Persaingan Sehat (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1999),26.
32
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja,Anti Monopoli (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 3.

13
monopoli yang berada di tangan satu pelaku usaha merupakan pemecahan yang paling
efisien.33
Di satu sisi, ketiadaan aset jaminan dari pelaku usaha kecil akan berpotensi merugikan
pihak bank. Namun di sisi lain, jika bank syariah tidak memberikan pinjaman kepada
pengusaha kecil, maka ia akan menghadapai keterbatasan-keterbatasan seperti permodalan,
Sumber Daya Insani (SDI), jaringan kantor dan teknologi.
Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa keterbatasan-keterbatasan tersebut,
menimbulkan problematika tersendiri bagi usaha bank syariah di Indonesia. Oleh karena itu,
solusi yang ditawarkan bisa dengan melakukan pengaturan secara menyuluruh, agar bank
syariah tidak dirugikan. Dengan adanya pengaturan yang jelas, tentunya akan tercipta iklim
usaha yang kondusif dan tujuan untuk membantu usaha kecil akan mudah terwujud.
Dengan demikian, udang-udang sangat berpengaruh terhadap pengembangan UMKM.
Proses penyusunan undang-undang di Indonesia relatif berjalan lamban, jika dibandingkan
dengan produktivitas legislasi di berbagai negara maju. Dalam lima tahun masakerja DPR-RI
periode tahun 2010 – 2014 direncanakan akan dibahas 284 rancangan undang-undang untuk
ditetapkan sebagai undang-undang. Menurut beberapa pemangku kepentingan undangundang yang diterbitkan pada pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua adalah hasil
usulan dari pemerintahan yang ada. Dalam kajian ini, undang-undang yang dibahas dan
disahkan pada suatu masa pemerintahan dinilai sebagai produk perundang-undangan yang
mencerminkan prioritas kebijakan dari suatu pemerintahan karena pembahasan di DPR-RI
dilakukan bersama-sama dengan wakil pemerintah.34
E. Penutup
Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia akan
memfokuskan kebijakan pengembangan perbankan syariah tahun 2013 pada hal-hal sebagai
berikut: (1) pembiayaan perbankan syariah yang lebih mengarah kepada sektor produktif dan
masyarakat yang lebih luas; (2) pengembangan produk yang lebih memenuhi kebutuhan
masyarakat dan sektor produktif, dan (3) transisi pengawasan yang tetap menjaga
kesinambungan pengembangan perbankan syariah.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah merupakan peraturan perundangundangan tertinggi yang secara langsung memberi peluang bagi perbankan syariah dalam
mengoptimalkan UMKM.
Terdapat lima peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung
mengatur perbankan syariah, namun cukup memberi peluang bagi perbankan syariah dalam
mengoptimalkan UMKM, yaitu: (1) UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 tentang Perekonomian
Nasional; (2) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 22 tentang Pembiayaan Usaha
Mikro; (3) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi, Pasal 43 ayat 2 tentang Pelayanan
Koperasi; (4) UU No.42 Tahun 1999 tentangJaminanFidusia, Pasal 1 ayat 2 tentang Penerima
Fidusia; (5) UU No.5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha
TidakSehat, Pasal 1 ayat 2 tentang Pemusatan Kekuatan Ekonomi.

33

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonseia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2004),22-23.
34
Lihat:Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan di bidang Pembangunan KUMKM, 108.

14

DAFTAR PUSTAKA
“Bank Danamon dan Hernando de Soto,” Majalah Tempo, Jakarta, 10 September 2006.
“Masihkah BPR menjadi ujung tombak pembiayaan usaha mikro dan kecil?” Media
Informasi Bank Perkreditan Rakyat, Jakarta, Edisi IV, Maret 2005.
Asshiddiqie, Jimly,Konstitusi dan Konstitusionallisme di Indonesia (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004).
Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013 .
Buchori, S. Nur, Koperasi Syariah (Sidoarjo: Mashun, 2009).
Fuady, Munir,Hukum Anti Monopoli; Menyongsong Era Persaingan Sehat(Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1999).
Haryati, Ninik, Peran Bank Syaria