T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prospek Kerjasama Maritim IndonesiaChina Paska Klaim Sepihak Laut Natuna oleh Republik Rakyat China T1 BAB V

BAB V.
MEMBACA ANCAMAN DAN PROSPEK KERJASAMA MARITIM
5.1. Ancaman China terhadap Kedaulatan Indonesia di Laut Natuna
Republik

Rakyat China tumbuh menjadi negara yang perekonomiannya

tumbuh dengan sangat pesat. Dalam jangka waktu 10 tahun, Pemerintah China
sukses menumbuhkan pendapatan perkapitanya dari sekitar hanya berkisar
3552.18 Miliar USD pada tahun 2006 hingga bertumbuh mencapai 11007.72
Miliar USD pada tahun 2016. Presiden Xi Jinping berhasil merubah Pemerintahan
China yang sebelumnya di cap sebagai yang terkorup didunia, menjadi sebuah
negara yang disegani di dunia internasional karena berhasil bertahan dalam krisis
keuangan global tahun 2008. Disaat negara-negara besar lainnya seperti Amerika
Serikat hancur perekonomiannya pada saat krisis keuangan global tersebut, China
justru mengalami pertumbuhan perekonomian.

Diagram 4.1: Pertumbuhan Perekonomian China
(Sumber: World Bank, 2016, diolah.)

Seiring dengan tumbuhnya perekonomian China dibawah pemerintahan Xi

Jinping, maka semakin pesat juga pertumbuhan militer China. Untuk dikawasan
Asia sendiri, Angkatan bersenjata Republik Rakyat China nyaris unggul di
seluruh bidang militer. Berdasarkan data The Military Balance yang dikeluarkan

oleh Internasional Institute of Strategic Studies tahun 2015, kekuatan angkatan
darat China diwilayah Asia sampai saat ini hanya dapat di imbangi oleh India
dalam segi kuantitas. Tercatat Republik Rakyat China memilki 1.600.000 personel
dan terlihat sangat jomplang jika dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara
seperti Vietnam yang hanya 412.000,

Diagram 4.2: Jumlah Armada Tempur beberapa negara
(Sumber: The Military Balance 2015. diolah)

lalu Filipina bahkan hanya 86.000 personel dan Indonesia, menurut perhitungan
Global Firepower diperkirakan memilki 476.000 angkatan darat aktif.1 Sedangkan
1

Country Military Strength 2016. Dikutip dari GlobalFirePower.com

jika melihat dari segi angkatan laut, personel yang dimiliki oleh Republik Rakyat

China memang masih kalah jika dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan militer
lainnya yang berada di Asia seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat. Dari sisi
alutsista pun Republik Rakyat China masih kalah secara kuantitas dibandingkan
tetangganya yaitu India dan seterunya di Laut China Selatan yaitu Amerika
Serikat. Namun, perlu digarisbawahi bahwa sampai saat ini, tidak ada ketegangan
berarti antara Pemerintah China dengan India. Yang mana hal itu berarti
Pemerintah China dapat menganulir potensi ancaman dari tetangganya tersebut,
sedangkan Amerika Serikat yang selama ini dianggap sebagai hegemon tunggal
meskipun memiliki jumlah alutsista dan personel angkatan laut yang lebih banyak
jika dibandingkan dengan yang dimilki oleh Republik Rakyat China, namun hal
tersebut bukan berarti bahwa Amerika Serikat berada diatas angin dalam head to
head ini. Karena meskipun personel Amerika Serikat berjumlah lebih banyak,

bukan berarti seluruh pasukan angkatan lautnya tersebut ditempatkan di wilayah
Laut China Selatan. Amerika Serikat memiliki banyak kepentingan dibelahan
bumi lain yang juga memerlukan kehadiran militernya. Hal ini berbanding terbalik
dengan Republik

Rakyat China yang keseluruhan personelnya ditempatkan


diwilayah Asia.2 Namun, meskipun begitu bukan berarti Amerika Serikat dalam
posisi lemah di Laut China Selatan. Amerika Serikat menempatkan Armada laut
ketiganya atau yang biasa disebut US Pasific Command (US Pacom) di kawasan
Pasific yang mana secara pengalaman tentu sudah lebih teruji di medan tempur
perang dunia kedua ketimbang armada China yang minim pengalaman. 3 Tentunya
jika melihat dari sudut pandang strategis, sikap Republik Rakyat China yang
semakin hari semakin agressive dalam kasus sengketa Laut China Selatan
merupakan ancaman bagi negara-negara di Asia khususnya adalah negara-negara
di kawasan Asia Tenggara yang bersinggungan langsung dengan Laut China
Selatan. Terutama jika melihat persaingan antara Amerika Serikat dan Republik
Rakyat China di Laut China Selatan.. Apalagi Russia yang merupakan seteru
utama Amerika Serikat sejak perang dingin turut menyokong posisi Republik
2

Pemaparan Rene L. Pattiradjawane dalam seminar 36th Talking ASEAN on Post-Tri u al’s
Ruli g “outh Chi a “ea Dispute di Habibie Center
3
Wawancara Willy F. Sumakul (FKP Maritim)

Rakyat China di Laut China Selatan ini. Bahkan kedua negara sudah melakukan

latihan militer bersama di Laut China Selatan yang diberi nama “Joint Sea-2016”.
Indonesia pun tidak dapat meremehkan potensi ancaman yang bersifat
militeristik ini, meskipun Indonesia telah bergabung dalam AIIB bentukan China.
Perlu dicatat bahwa hingga saat ini, meskipun Indonesia telah bergabung dalam
AIIB, namun Pemerintah China selalu menolak permintaan Pemerintah Indonesia
untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu cabang kantor AIIB serta menolak
permintaan Indonesia untuk mendapatkan posisi Vice President dalam organisasi
tersebut.4 Berdasarkan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa sesungguhnya
Pemerintah China menganggap Indonesia bukan menjadi bagian penting dalam
skema kerja sama maritim tersebut. Penolakan ini jelas menjadi ancaman
langsung atas konsep Poros Maritim Dunia yang ingin dikembangkan oleh
Indonesia. Ancaman lain terhadap Indonesia datang dari pergerakan angkatan laut
China. Pasukan China telah memobilisasi armadanya dalam jumlah besar pada
tanggal 4 Mei 2016 sampai 29 Mei 2016 untuk melakukan latihan militer di
wilayah Laut China Selatan seiring dengan terus meningkatnya ketegangan
diwilayah tersebut, khususnya dengan Amerika Serikat. 5 Hal ini lantas penting
untuk menjadi atensi Pemerintah Indonesia karena pada latihan ini, Tim Biru
Armada Laut Selatan milik Republik Rakyat China berlayar melintasi Laut China
Selatan, Samudera Hindia timur dan Pasifik barat. Yang mana hal tersebut berarti
kapal-kapal


tersebut

akan

berlatih

dengan

mengitari

wilayah

Indonesia

sebagaimana yang ditunjukkan dalam peta dibawah ini;

4

Artikel Rene L. Pattriradjawane dengan judul Kudeta Diplomatik: Membela Poros Maritim

Dunia
5
Pe apara Re e L. Pattiradjawa e dala se i ar 36th Talki g A“EAN o Post-Tri u al’s
Ruli g “outh Chi a “ea Dispute di Ha i ie Ce ter

Gambar 5: Pergerakan Armada Laut Biru China
Sumber: Rene Pattiradjawane, Balancing National Interests in Post-PCA Rulings. Dalam
Presentasi di Habibie Center 2016. Diolah

Tentunya hal ini merupakan sebuah ancaman bagi nyata keamanan NKRI.
Meskipun Pemerintah China terus bergeming bahwa ini hanyalah sebuah latihan
rutin, namun ditengah-tengah ketegangan yang terjadi di Laut China Selatan
adanya latihan rutin dengan mengitari beberapa negara ASEAN ditambah dengan
melibatkan kapal perang paling canggih yang dimiliki oleh Republik Rakyat
China tetaplah merupakan sebuah hal yang harus diwaspadai oleh Indonesia.
Tercatat terdapat 20 kapal perusak rudal kelas Hefei, Lanzhou, dan Guangzhou,
kapal fregat rudal kelas Sanya dan Yulin, kapal suplai offshore kelas Honghu
berlayar dari Sanya di Hainan melalui Paracel bagian barat, memasuki Selat
Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Terusan Bashi.6 Salah satu kapal yang ikut
serta dalam latihan rutin tersebut yaitu Hefei merupakan kapal perusak terbaru

rudal dipandu Type 052D yang membawa radar canggih, rudal dan sistem siluman
yang mulai beroperasi pada Desember. Dengan adanya latihan militer skala besar
di laut seperti itu, apalagi sampai melintasi laut Indonesia dan beberapa negara
sengketa dengan membawa peralatan tercanggihnya, Pemerintah China seolah
ingin menunjukkan hegemoninya kepada negara-negara ASEAN dan kepada
militer Amerika Serikat di wilayah tersebut bahwasanya Republik Rakyat China
6

ibid

serius dalam mempertahankan klaimnya terhadap 9 Dash Line dan akan tetap
pada posisinya untuk menolak tunduk kepada putusan hukum Permanent Court of
Arbitration.

Terlepas dari manuver ini adalah sebuah latihan biasa atau tidak, namun
pengerahan armada laut Republik Rakyat China melewati batas Zona Ekonomi
Ekslusif negaranya ditambah lagi dengan adanya pembangunan pangkalan militer
di wilayah yang bukan merupakan miliknya jelas merupakan bentuk pelanggaran
terhadap yurisdiksi hukum internasional. Hal ini tentunya bertentangan dengan
semangat mengenai peacefull rise yang sempat digadang-gadang oleh Xi Jinping

pada masa awal kebangkitan Republik Rakyat China karena saat ini justru
perkembangan angkatan laut Republik Rakyat China sudah sampai ke tahap yang
mengkawatirkan bagi negara-negara di sekitarnya. Berdasarkan fakta yang ada,
sikap yang ditunjukkan para penguasa Republik Rakyat China menyiratkan bahwa
mereka lebih condong mempersiapkan sebuah proyeksi kekuatannya secara
ekonomi, perdagangan, dan militer ketimbang mencari peluang untuk melakukan
kerjasama yang saling menguntungkan.7 Maka dari itu, prospek kerjasama
maritim antara Indonesia dengan Republik Rakyat China pun tentunya berada di
ujung

tanduk.

Pemerintah

Indonesia

sudah

seharusnya


menyadari potensi

ancaman dari Republik Rakyat China ini dan berhenti bersikap apatis terhadap apa
yang terjadi di kawasan Laut China Selatan.
Sudah saatnya Indonesia mengambil peran lebih krusial dikawasan
regional Asia Tenggara ini. Panglima TNI sendiri

yaitu Jenderal Gatot

Nurmantyo sudah menyatakan bahwa kasus nelayan-nelayan Republik Rakyat
China yang berasal dari Laut China Selatan masuk ke wilayah Indonesia
merupakan salah satu ancaman nyata Indonesia. Apa yang dikawatirkan Panglima
TNI

cukup

wajar

mengingat


kapal-kapal

nelayan

tersebut

mendapatkan

pengawalan dari kapal Coast-Guard China yang secara ukuran dapat dikatakan
hampir seperti sebuah kapal perang. Ancaman ini semakin nyata dengan adanya
klaim bahwa wilayah yang dimasuki nelayan tersebut yang notabene adalah Zona
7

Artikel Persai ga “trategis Negara Besar oleh Re e L. Pattiradjawane

Ekonomi

Ekslusif

Indonesia


di Natuna

dianggap

masih

sebagai wilayah

Traditional Fishing Ground oleh Republik Rakyat China. Maka dari kekhawatiran

Panglima TNI terhadap kasus ini cukup beralasan. Kekawatiran yang sama juga
disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
Luhut Binsar Pandjaitan Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman yaitu
Laksda Dr. Surya Wiranto yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh
China adalah bagian dari upaya tindakan negara China untuk menunjukkan
kepada dunia positive occupation terhadap wilayah maritim di Laut China Selatan.
Pemerintah China berupaya melakukan ekspansi ke wilayah berdaulat Indonesia.
Jadi jika dibiarkan status quo, dan Indonesia diam, bukan tidak mungkin China
akan menguasai perairan Natuna. Tindakan tidak bersahabat Coast-Guard China
terhadap upaya penegakan kedaulatan Indonesia di Laut Natuna dilakukan dengan
berbagai macam cara, mulai dari menabrak kapal nelayan China yang telah
ditangkap oleh Tentara Angkatan Laut Indonesia agar tidak bisa dibawa ke
daratan Indonesia, hingga melakukan jamming terhadap radio komunikasi kapal
Kementrian Kelautan dan Perikanan.8
Dengan berbagai fakta dilapangan yang ada tersebut, maka apa yang
dikawatirkan Panglima TNI memang merupakan sebuah ancaman nyata bagi
kedaulatan Indonesia.

Meskipun sampai saat ini Kementrian Luar Negeri

Indonesia selalu menyangkal adanya klaim tumpang tindih antara Indonesia dan
China, namun berbagai tindakan provokasi tersebut merupakan bukti nyata bahwa
Republik Rakyat China memang serius dalam klaimnya terhadap Laut Natuna
terlepas dari adanya pengakuan internasional ataupun tidak dan terlepas dari
UNCLOS 1982 yang tidak membenarkan tindakan yang dilakukan oleh Republik
Rakyat China tersebut.

8

Staff Ahli Luhut: Jika dibiarkan China kuasai Laut Natuna. Dikutip dari CNNIndonesia.com pada
tanggal 15 Februari 2017

Gambar 6: Kapal Coast-Guard China membayangi KRI Imam Bonjol
(Sumber: CNN Indonesia, 2016, diolah)

Hadirnya Presiden Jokowi di Laut Natuna paska persinggungan antara
KRI Imam Bonjol dengan Coast-Guard China merupakan langkah yang tepat.
Kehadiran seorang Presiden yang notabene merupakan simbol negara di wilayah
Indonesia baru saja terjadi ketegangan merupakan sebuah pesan nyata bagi
Pemerintah China bahwa Laut Natuna memang merupakan wilayah kedaulatan
Bangsa Indonesia. Selain itu, kehadiran Presiden Jokowi di Laut Natuna
merupakan pesan bahwa Pemerintah Indonesia tidak mengabaikan tindakan kapalkapal China yang terus masuk ke wilayah perairan Natuna dan sekaligus simbol
ketegasan sikap pemerintah Indonesia terhadap masalah ini. Presiden Joko
Widodo bahkan menggelar rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol yang
bersinggungan dengan Coast Guard China dan menembak nelayan Republik
Rakyat

China

sebelumnya.

9

yang

mencuri di wilayah perairan Natuna beberapa hari

Pemerintah Indonesia telah memberikan isyarat tegas kepada

Republik Rakyat China, bahwa diera kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini,

9

Tiba di Natuna, Jokowi gelar rapat di KRI yang tembak kapal Cina . Dikutip dari BBC.com pada
tanggal 19/2/2017

Pemerintah Indonesia tidak akan melunak terhadap urusan kedaulatan wilayah
negaranya.
Namun meskipun begitu, Pemerintah Indonesia pastinya ingin sebisa
mungkin untuk menghindari terjadinya konfrontasi bersenjata. Maka dari itu,
Indonesia dapat menggunakan jalur diplomatis, Indonesia dapat mengupayakan
penyelesaian penyusunan Code of Conduct (CoC) mengenai Laut China Selatan
yang sudah berlarut-larut tidak pernah terselesaikan tersebut. Namun sekali lagi,
hal tersebut akan sulit terwujud karena ASEAN tidak mengenal sistem voting
dalam pengambilan keputusan, melainkan musyawarah mufakat. Dan sayangnya
sampai saat ini, negara-negara anggota ASEAN masih belum satu suara dalam
terhadap sengketa di Laut China Selatan ini, maka dari itu akan sulit untuk segera
membentuk sebuah Code of Conduct di kawasan Laut China Selatan dalam waktu
yang singkat.
Indonesia yang selalu menyatakan diri sebagai negara non-claimant dalam
sengketa di Laut China Selatan ini lebih banyak menempatkan diri sebagai negara
penengah yang menjadi mediator bagi pihak-pihak yang berseteru. Hal ini
ditunjukkan dengan diadakannya berbagai workshop sejak 1990 hingga 2014,
namun hingga hampir sampai seperempat abad tidak jelas apa hasil yang dicapai
oleh Indonesia

melalui mediasi tersebut.10

Pemerintah China jelas sedang

melaksanakan Two Level Game dalam sengketa di Laut China Selatan ini. Disatu
sisi, China jelas tidak ingin terlihat lemah dihadapan masyarakatnya yang
mengidamkan kebangkitan pasca era penghinaan, disisi yang lain China juga tidak
ingin terlihat lemah dihadapan negara-negara sekitarnya maka dari itu berbagai
perundingan yang diadakan seringkali berakhir buntu. Dengan sikap Pemerintah
China yang terus menolak untuk bernegosiasi secara multilateral dengan negaranegara ASEAN menujukkan bahwa mereka tidak ingin di intimidasi oleh
Balancing Coalition yang sedang coba dibangun oleh ASEAN dan lebih memilih

berhubungan secara bilateral dengan negara-negara yang bersengketa dengannya.
10

Dikutip dari Jur al I do esia i the “outh Chi a Sea: Going it alone oleh Aaron L. Connelly
hal. 4

Hal ini sudah terbukti ampuh dalam memecah suara negara-negara anggota
ASEAN. Maka dari itu, Indonesia harus selalu waspada terhadap langkah-langkah
yang dilakukan oleh Pemerintah China baik secara diplomatis maupun militer
karena pada dasarnya Laut China Selatan merupakan core-interest Pemerintah
China, sehingga Laut Natuna yang secara geografis terletak di Laut China Selatan
harus mendapat perhatian yang lebih serius.
Prospek kerjasama maritim Indonesia dengan China yang dicanangkan
akan terjadi dibeberapa sektor seperti pengembangan iptek maritim, peningkatan
kunjungan wisatawan dari China ke Indonesia, pembangunan pembangkit tenaga
listrik, pembangunan galangan kapal, hingga kerja sama di bidang perikanan
sebenarnya merupakan kerjasama yang bersifat mutualisme bagi kedua negara,
namun nampaknya dengan berbagai fakta yang disebutkan sebelumnya, nampak
bahwa Pemerintah China memiliki kecenderungan untuk lebih menjadi penguasa
di kawasan ketimbang bekerjasama antar negara secara setara. Pemerintah China
jelas menginginkan sebuah Zero-Sum Game dalam sengketa ini. Maka dari itu,
akan

sulit

bagi Pemerintah

Indonesia

untuk

mendesak

China menggeser

peririsannya klaimnya di Laut Natuna agar tidak bersinggungan dengan ZEE
Indonesia.

Penyelesaian sengketa dengan jalur diplomatis memang menjadi

sebuah langkah yang bijak dalam masalah ini, namun jika Indonesia mengikuti
keinginan Republik

Rakyat China untuk

bernegosiasi secara bilateral dan

mengesampingkan peran ASEAN tentunya akan berimplikasi buruk terhadap
semangat integrasi ASEAN yang sekarang sudah dimulai perlahan melalui
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selain itu, tentunya negosiasi tidak akan pernah
bisa dimulai jika Indonesia terus bersikap denial dan merasa tidak memiliki
kepentingan untuk ikut campur dalam sengketa di Laut China Selatan ini.
Indonesia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi,
meskipun

kemungkinan

berdasarkan

data

yang

terjadinya
ada

konfrontasi militer

Pemerintah

China

sangat

telah

kecil,

secara

namun
signifikan

meningkatkan anggaran pertahanannya sejak tahun 2005 dan terus meningkat
drastis. Tentunya hal ini patut menjadi kewaspadaan bagi negara-negara di

sekitarnya, karena dibalik peningkatan anggaran pertahanan ternyata Pemerintah
China juga tidak bersifat bersahabat dengan negara-negara tetangganya terutama
jika berkaitan dengan

Diagram 4.3: Pertumbuhan anggaran Pertahanan China
Sumber: SIPRI, 2015, diolah.

kepentingannya terhadap 9 Dash Line. Mulai dari pembangunan pangkalan militer
di wilayah Laut China Selatan hingga mengecam tindakan Singapura yang
menyediakan

berbagai

fasilitas

pangkalan

militer

bagi

Amerika

Serikat.

Pertumbuhan anggaran pertahanan yang meningkat 2 kali lipat dalam jangka
waktu 5 tahun sejak 2010 hingga 2015 hingga menyentuh angka 214,8 Miliar
USD menujukkan bahwa Pemerintah China memang serius ingin membangun
armada militer yang kuat. Seluruh norma dan nilai yang dianggap universal dalam
dunia internasional ditentang oleh Pemerintah China secara sepihak. Logika yang
digunakan oleh Pemerintah China adalah semua yang berkaitan dengan “hak
sejarah” tidak bisa digugat, dan setiap negara harus menerima kebesaran Republik
Rakyat China sebagai sesuatu yang tak terbantahkan. 11 Maka dari itu, meskipun
tidak mengharapkan terjadinya konfrontasi bersenjata, Indonesia juga harus terus
meningkatkan kewaspadaannya dan kekuatan pertahanannya. Karena tidak ada
yang dapat memastikan apa yang akan terjadi di kawasan Laut China Selatan

11

Pe apara Re e L. Pattiradjawa e dala artikel Ilusi Ke a gkita “e ara Da ai

kedepannya, dan pasti apapun yang terjadi di Laut China Selatan pasti akan
berpengaruh juga kepada Laut Natuna.
Ketengangan di Laut China Selatan tentunya akan terus meningkat seiring
dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, yang diawal
pemerintahannya

saja

sudah

membuat

Pemerintah

China

marah

dengan

berhubungan secara bilateral dengan Taiwan. Tentunya hal ini tidak dapat
dianggap sepele karena selama ini, China selalu menggunakan prinsip One China
Policy dalam setiap hubungan internasionalnya. Dengan adanya kontak antara

Amerika Serikat dan Taiwan secara tidak langsung Trump menyinggung prinsip
One China Policy tersebut, tentu saja dapat berakibat pada pemutusan hubungan

bilateral antara Amerika Serikat dengan China. Bahkan Republik Rakyat China
sudah merespon tindakan Donald Trump tersebut dengan memindahkan misil
Dongfeng-41 memiliki daya jelajah 14.000 kilometer dan mampu membawa 1012 hulu ledak nuklir ke Provinsi Heliongjiang yang mana provinsi ini adalah titik
terdekat antara China dan AS.12
Jika Indonesia tidak ingin terbawa dalam situasi yang semakin memanas
ini, dan ingin menyelesaikan masalah peririsan ini melalui jalur diplomatis dan
perundingan, maka Pemerintah Indonesia harus terus mendesak Republik Rakyat
China untuk memberi penjelasan yang komprehensif mengenai klaimnya terhadap
laut Indonesia di utara Natuna. Pemerintah Indonesia jangan mudah dibuaikan
oleh statement yang dibuat oleh Pemerintah China yang menyatakan bahwa tidak
ada masalah antara Indonesia dan China sementara laut natuna masih dianggap
sebagai traditional fishing ground oleh China dan nelayan-nelayan China tetap
masuk ke wilayah Natuna. Pemerintah Indonesia harus membuat kesepakatan
kongkrit dengan aturan yang jelas dan mengikat kedua negara agar tidak terjadi
kerancuan dalam kerjasama maritim yang sedang dicanangkan.
Sengketa yang terjadi di Laut China Selatan yang berimbas pada laut
Natuna ini, pada akhirnya memang menunjukkan sikap China yang keras dalam
12

China dikabarkan geser misil balistik ke titik terdekat dengan AS. Dikutip dari Kompas.com pada
tanggal 21/2/2017

membangun kembali kejayaannya dimasa lalu. Tindakan Pemerintah China yang
melakukan unjuk kekuatan angkatan bersenjatanya di Laut China Selatan dapat
dikatakan

merupakan

Diplomacy),

disekitarnya

dimana
dengan

sebuah bentuk
Pemerintah
kapal-kapal

Diplomasi Kapal Meriam (Gunboat

China

berupaya

militernya

agar

menekan
mau

negara-negara

mengikuti kemauan

Republik Rakyat China untuk mengakui klaimnya yang didasarkan pada 9 Dash
Line. Namun perlu disadari oleh Pemerintah China juga bahwa tindakan yang

dilakukannya hanya akan membawa sengketa yang sudah terjadi akan menjadi
semakin memanas. Tentunya tidak hanya China yang memiliki kekuatan militer,
karena setiap negara modern pada saat ini memilki angkatan perang professional
yang siap ditugaskan kapan saja dalam rangka pertahanan negara. Pemerintah
China bisa saja merasa bahwa kekuatan militer negaranya cukup mumpuni dalam
memberikan rasa takut kepada negara-negara disekitarnya. Namun perlu diingat
bahwa Republik Rakyat China tidak bersengketa dengan satu negara saja dalam
hal klaimnya berdasar 9 Dash Line ini. Namun terdapat negara-negara claimant
dan negara-negara non-claiman yang keberatan atas klaim yang tidak berdasarkan
norma hukum internasional. Tentunya akan sulit bagi Pemerintah China untuk
meneruskan sengketa ini ke konfrontasi bersenjata, karena tentunya dengan
banyaknya pihak yang bersebrangan dengannya, jumlah militer yang miliki
Republik Rakyat China tidak akan cukup untuk mengatasi hal tersebut. Maka dari
itu, sengketa yang terjadi ini akan berada dalam titik ketegangan yang sama
setidaknya sampai ada negara yang melakukan tindakan yang tidak terduga yang
memicu terjadinya konfrontasi bersenjata, meskipun kemungkinannya terjadinya
hal tersebut kecil. Dengan adanya stalemate dalam sengketa ini, maka hubungan
Indonesia dan Republik Rakyat China pun akan tetap dalam posisi menjaga jarak,
namun tidak sampai meningkatkan ketengangan yang ada ke tingkat yang lebih
tinggi.
5.2. Sikap Indonesia dan Prospek Kerjasama Maritim
Ide untuk mensinergikan dua gagasan maritim merupakan sebuah brilian
dari dua pemimpin negara yang sama-sama memiliki ide besar mengenai lautan.

Namun, nampaknya untuk menggabungkan dua ide besar tersebut perlu lebih dari
sekedar kesamaan gagasan, karena kembali lagi bahwa semua ini berkaitan
dengan kepentingan nasional masing-masing negara yang tentunya tidak selalu
bisa dikompromikan. Presiden Xi Jinping berhasil membangun negaranya dengan
membangkitkan ingatan kolektif tentang era penghinaan setelah perang candu,
sedangkan Indonesia masih berusaha untuk membangun kembali kesadaran akan
negara maritimnya yang sudah lama terlupakan akibat pembangunan yang
tersentralisasi di darat pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Sehingga
Indonesia yang sebenarnya negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas,
tidak dapat menggali potensi lautnya dengan baik. Dapat dikatakan, Pemerintah
China beberapa langkah lebih maju melalui gagasan Jalur Sutra Maritim abad 21
nya. Pemerintah China telah berhasil membangun berbagai penunjang gagasan
lautnya,

yang dimulai dari pertumbuhan perekonomian yang pesat, hingga

infrastruktur dan kemampuan pertahanan sehingga dapat memulai ekspansi dan
menyebarkan

pengaruhnya

keseluruh

dunia.

Sebaliknya

Indonesia,

masih

berupaya untuk membangun potensi maritimnya dan seringkali terkendala oleh
berbagai keterbatasan yang ada.
Kerjasama maritim yang coba dibangun oleh Presiden Joko Widodo
dengan Republik Rakyat China merupakan sebuah kerjasama yang paling masuk
akal. Faktor pertama yang menjadi pertimbangan adalah kesuksesan negara
tersebut di bawah Xi Jinping mengembangkan perekonomian negaranya setelah
selama bertahun-tahun terpuruk oleh korupsi. Hal ini dapat dijadikan contoh yang
baik

bagi Pemerintah Indonesia,

karena bagaimanapun pembangunan yang

dilakukan oleh negara tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya
topangan perekonomian yang kuat. Sedangkan ide mengenai Poros Maritim
sendiri membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka dari itu, kecenderungan
Presiden Joko Widodo untuk lebih dekat dengan China diawal pemerintahannya
merupakan sebuah tindakan strategis yang cukup tepat. Faktor kedua adalah
kesuksesan Xi Jinping membangun sebuah Jalur Sutra Maritim yang cukup
berpengaruh hingga ke daratan Afrika. Tentunya contoh sukses yang dilakukan

Republik Rakyat China ini merupakan hal yang sangat menggiurkan bagi
Indonesia yang tengah berusaha membangun kembali kejayaan maritimnya. Maka
dari itu, sangat pas jika Indonesia hendak menjadikan Republik Rakyat China
sebagai mitranya dalam gagasan maritim ini.
Namun

sayangnya,

kerjasama

yang

sudah

mulai

dirintis

tersebut

nampaknya tidak akan berjalan dengan baik. Seiring berjalannya waktu, Republik
Rakyat China justru tumbuh menjadi negara yang agressif di Laut China Selatan
terutama terkait dengan klaimnya terhadap 9 Dash Line. Peririsan yang terdapat di
utara Laut Natuna telah menyebabkan terjadinya persinggungan antara Angkatan
Laut Indonesia yang hendak menangkap pencuri ikan illegal dari Republik Rakyat
China dengan Coast-Guard yang mengawal mereka. Hal ini tidak dapat dianggap
sepele karena dibawah Pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebijakan luar negeri
Bebas Aktif di intepretasikan berbeda. Presiden Joko Widodo dengan tegas
menyatakan semua Negara adalah sahabat Indonesia, namun kalau sampai
kedaulatan Indonesia direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan, maka
Indonesia tidak dapat berkompromi dengan negara manapun.13 Presiden Joko
Widodo juga menyatakan bahwa Republik Indonesia tidak akan lagi ragu dan
akan membuang rasa takut pada kekuatan-kekuatan superior.

Pada bab

sebelumnya telah dibahas mengenai hadirnya Presiden Joko Widodo di Laut
Natuna tak lama setelah terjadi insiden dengan Coast-Guard China di laut tersebu,
hal ini membuktikan bahwa ucapan Presiden Joko Widodo tersebut bukanlah
isapan jempol belaka. Presiden Joko Widodo mengetahui bahwa Republik Rakyat
China merupakan negara yang sedang tumbuh pesat dalam segi perekonomian
maupun militernya, Presiden Joko Widodo juga menyadari bahwa Republik
Rakyat China merupakan partner yang berharga bagi Indonesia. Namun, jika
kemudian berurusan dengan masalah kedaulatan Negara, tidak ada yang harus
dikompromikan.
Tak lama setelah kejadian tersebut Tentara Nasional Indonesia langsung
menggelar latihan di kepulauan Natuna. Pada 6 Oktober 2016, Tentara Nasional
13

Presentasi Prof. Yanyan dalam pertemuan AIHII

Indonesia melaksanakan latihan militer besar-besaran di kawasan Laut Cina
Selatan. Latihan militer skala besar ini diberi nama Latihan Puncak Angkasa
Yudha 2016 dipusatkan di Kabupaten Natuna, latihan militer ini melibatkan
belasan pesawat tempur dengan bom aktif.14

Latihan militer ini tadinya

direncanakan di Pulau Belitung, Sumatera Timur, namun kemudian dipindahkan
ke Natuna tanpa alasan resmi yang jelas. Tentunya hal ini merupakan salah satu
bukti kongkrit bahwa Indonesia dibawah Presiden Joko Widodo tidak akan tinggal
diam jika ada yang berani mengusik kedaulatan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti
sudah menyatakan bahwa beliau tidak peduli negara asal kapal pencuri ikan di
laut Natuna. Bila ketahuan mencuri ikan, kapal-kapal tersebut tetap akan
ditangkap.15 Menteri Susi Pudjiastuti juga menegaskan bahwa penegakan hukum
yang dilakukan oleh suatu negara adalah bagian dari penghormatan Republik
Indonesia atas negara lain di dunia dalam lakukan hubungan bilateral. Terkait
memanasnya

hubungan

dengan

Pemerintah

China,

Menteri

Susi

sudah

menyatakan bahwa hubungan baik harus dijaga, tapi pencurian ikan bukan
termasuk hubungan baik yang perlu dijaga.16 Maka dari itu, berdasarkan statement
yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kita dapat melihat secara
tersirat bahwa apa yang dilakukan Pemerintah China yang menganggap bahwa
Laut Natuna sebagai Traditional Fishing Ground negaranya merupakan tindakan
pelecehan terhadap hubungan antar negara, dan bentuk ketidakhormatan terhadap
hubungan bilateral kedua negara. Kementrian Pertahanan pun sudah menyatakan
bahwa keamanan dan pemberdayaan wilayah perbatasan akan menjadi salah satu
poin penting dalam Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2016 dan yang menjadi
fokus adalah kepulauan Natuna yang merupakan wilayah yang masuk dalam

14

Indonesia akan gelar latihan militer besar-besaran di Laut China Selatan Dikutip dari DW.com
pada tanggal 21/2/2017
15
Tangkap Kapal di Laut Natuna Susi tidak peduli apapun Negaranya. Dikutip dari Kompas.com
pada tanggal 25/2/2017
16
Soal Insiden di Laut Cina Selatan, Menteri Susi: Kami Geram. Dikutip dari Tempo.co pada
tanggal 25/2/2017

kontroversi sengketa

Laut China Selatan.17

Menteri Pertahanan Indonesia

Ryamizard Ryacudu juga telah menyatakan bahwa pembangunan pangkalan
militer di Natuna, Kepulauan Riau, menjadi prioritas pemerintah. Pangkalan
militer Natuna akan dilengkapi dengan armada besar. Pembangunan tak hanya
dari sisi infrastruktur, tapi juga penambahan personel TNI.

18

Sikap yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo, Menteri Pertahanan
Ryamizard Ryacudu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Menteri KKP
Susi Pudjiastuti yang tegas merupakan bentuk nyata bahwa meskipun perjanjian
kerjasama maritim sudah dicanangkan oleh kedua negara dan Indonesia sangat
membutuhkan bantuan dari Republik Rakyat China untuk mengembangkan ide
poros maritim dunia, namun bukan berarti Pemerintah Indonesia akan diam jika
Pemerintah

China

memprovokasi

kedaulatan

Republik

Indonesia

dengan

pengerahan nelayan-nelayan dan coast-guard nya ke wilayah Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia. Maka dari itu dapat dikatakan Prospek kerjasama maritim
Indonesia ini dapat dikatakan tidak dapat berjalan dengan baik sampai adanya
penyelesaian yang pasti mengenai sengketa ini. Terdapat satu hal yang perlu di
ingat bahwa gagalnya membangun sebuah kerjasama maritim dengan Republik
Rakyat China bukanlah hal baru di era pemerintahan Jokowi ini. Sebelumnya
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
membatalkan kerjasama mendatangkan 1000 kapal asing super purse seine dari
Republik Rakyat China ke perairan Indonesia karena dinilai tak sejalan dengan
visi pembangunan kelautan dan perikanan.19 Hal yang ditekankan Kementrian
Kelautan dan Perikanan pada saat itu adalah berkaitan dengan visi laut Indonesia
untuk menuju sustainability. Super purse seine milik China dinilai tidak ramah
lingkungan, sangat besar, dan seharusnya tidak boleh diizinkan, karena dapat
mengakibatkan kapal-kapal purse seine milik nelayan Indonesia bisa kalah

17

Menhan Anggap Penguatan Pertahanan di Kepulauan Natuna Penting di Lakuk an. Dikutip dari
Kompas.com pada tanggal 26/2/2017
18
Kemhan Prioritaskan Anggaran Untuk Pangkalan Militer Natuna. Dikutip dari
CNNIndonesia.com pada tanggal 27/2/2017
19
Anggota DPR: Gara-gara Susi Kerjasama dengan China hanya Tinggal Kenangan. Dikutip dar i
Kompas.com pada tanggal 26/2/2017

bersaing. Hal itulah yang kemudian pada saat itu menjadi dasar bagi Menteri Susi
Pudjiastuti untuk membatalkan kerjasama perikanan meskipun sempat dikecam
oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh Kementrian-kementrian terkait
menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sadar akan adanya ancaman terhadap
kedaulatan wilayah terluar Indonesia di Natuna. Maka dari itu, tentunya hal ini
akan menjadi batu ganjalan yang serius bagi kerjasama maritim yang dicanangkan
oleh kedua negara tersebut. Dalam beberapa hal seperti pariwisata kemungkinan
besar tidak akan memiliki dampak yang signifikan, tetapi dalam sektor strategis
seperti perikanan dan pengembangan iptek maritim tentunya akan bermasalah.
Selain karna peririsan wilayah tersebut, ganjalan lain juga dapat disebabkan oleh
sikap tegas Pemerintah Indonesia yang tentunya akan menjadi pertimbangan
Pemerintah China. Meskipun begitu sikap yang ditunjukkan Pemerintah Indonesia
memang sudah tepat karena seperti yang sudah dibahas dalam subbab
sebelumnya, Pemerintah China memang tidak menjadikan Indonesia sebagai
partner penting di dalam skema kerjasama maritim globalnya,

selain itu

perkembangan militer Republik Rakyat China sudah sampai ke tahap yang
mengkhawatirkan. Maka dari itu akan sangat aneh jika Pemerintah Indonesia tidak
melakukan penyesuaian atas situasi yang berkembang di Laut China Selatan ini.
Sikap perilaku agresif Republik Rakyat China di Laut China Selatan termasuk
beberapa kali di perairan Natuna, sangat jelas mengesankan bahwa apa yang
dilakukannya tersebut tak sejalan dengan komitmennya sebagai mitra strategis
komprehensif bagi Indonesia.20 Hal tersebut menjadi pertimbangan penting karena
tidak akan ada makna mitra strategis komprehensif antara Indonesia dan China
jika tidak dilandasi sikap saling menghormati dan menghargai sebagai dua bangsa
yang setara serta bermartabat. Pembangunan pangkalan militer di Natuna
merupakan hal yang tepat untuk dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dalam hal
ini Kementrian Pertahanan. Hampir tidak ada satu negarapun dalam melakukan
diplomasi dengan negara lain dengan menegasikan kekuatan militer. Dengan
20

Sikap Asertif China di Natuna Tak Sejalan dengan Komitmen Kemitraan Strategis . Dikutip dari
Kompas.com pada tanggal 27/2/2017

peningkatan kekuatan pertahanan Indonesia di Natuna juga secara tidak langsung
meningkatkan kewibawaan Pemerintah Indonesia dan supremasinya atas Laut
Natuna.
Melihat berbagai tindakan yang sudah ditempuh Pemerintah Indonesia
diatas, rasanya pantas jika kita dapat berasumsi bahwa kerjasama maritim
Indonesia dan Republik Rakyat China tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Namun hal itu bukan berarti akan secara langsung merusak hubungan bilateral
antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat China. Karena dari melihat
dari kasus sebelumnya,

persinggungan di wilayah laut antara Kementrian

Kelautan dan Perikanan dengan nelayan China pun tidak sampai merusak
hubungan diplomatis kedua negara, meskipun mengakibatkan batalnya sebuah
kesepakatan kerjasama antara Kementrian Kelautan dan Perikanan yang sempat
ditandatangani sebelum masa kepemimpinan Susi Pudjiastuti dengan 1000 kapal
Super purse asal Republik Rakyat China.21 Maka dari itu, nampaknya sebuah

gagasan untuk mensinergikan gagasan Poros Maritim Dunia dengan Jalur Sutra
Maritim abad 21 nampaknya masih jauh dari sebuah kerjasama yang ideal selama
Republik Rakyat China belum mematuhi norma-norma yang berlaku secara
internasional yaitu dalam hal ini hukum laut internasional (UNCLOS 1982).
Karena jika hukum interasional yang telah diratifikasinya saja tidak dipatuhi,
bagaimana Pemerintah Indonesia dapat yakin jika Republik Rakyat China tidak
akan melanggar perjanjian kerjasama yang telah dibangun antar kedua negara
kedepannya. Jalur Sutra Maritim abad 21 yang digagas Xi Jinping sendiri
sebenarnya apabila direalisasikan dengan baik dapat dijadikan sarana untuk
membuka channel baru yang membantu Pemerintah China dalam menyampaikan
kebudayaan

maritimnya

ke

negara-negara

tetangga

serta

mendorong

pembangunan soft power dan menjadikan jalan damai yang menghubungkan
Republik Rakyat China dengan negara-negara disekitarnya.22

21

Anggota DPR: Gara-gara Susi Kerjasama dengan China hanya Tinggal Kenangan. Dikutip dari
Kompas.com pada tanggal 26/2/2017
22
Gao Lan. Re o stru ti g Mariti e Silk Road & Chi a’s Mari e Diplo a y with Neigh ori g
Countries. History Research.Vol. 2, No. 3, 2014, pp. 11-14. doi: 10.11648/j.history.20140203.11

Namun dengan sikap agresif yang ditunjukannya di Laut China Selatan,
secara tidak langsung Republik Rakyat China telah menutup salah satu keran
kerjasamanya dengan Republik Indonesia. Karena Pemerintah Indonesia di era
kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini jelas tidak akan membiarkan klaim
Republik Rakyat China terhadap Laut Natuna dan telah bertindak nyata berkaitan
dengan persinggungan yang terjadi di Natuna. Pemerintah China tidak dapat lagi
bertindak

semena-mena di Laut Natuna dan melakukan tindakan kriminal

semacam

pencurian

ikan

apalagi sampai menyinggung

kedaulatan

dengan

mengklaimnya sebagai Traditional Fishing Ground karena sudah jelas dalam
masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, pembangunan pertahanan maritim
merupakan salah satu pilar dalam gagasan mengenai Poros Maritim Dunia.
Walaupun persengketaan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia di utara Natuna
semakin memanas, hal tersebut tidak lantas menjadikan kemudian Pemerintah
Indonesia harus turut memperkeruh keadaan yang terjadi di Laut China Selatan.
Pemerintah Indonesia harus tetap sadar walau saat ini Pemerintah Indonesia sudah
berupaya untuk meningkatkan armada militernya di kepulauan Natuna, namun
tetap saja kekuatan militer Republik Rakyat China berada di atas angin secara
kuantitas jika dibandingkan apple to apple dengan kekuatan militer yang dimiliki
Indonesia. Maka dari itu, akan menjadi bijak bagi Pemerintah Indonesia bahwa
penguatan kekuatan militer Indonesia dikepulauan Natuna sebaiknya dilakukan
semata-mata

dilakukan

hanya

untuk

melindungi kepentingan

nasional dan

mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia di zona ekonomi ekslusifnya saja
tanpa ada tendensi untuk melakukan tindakan yang dapat memperkeruh keadaan
yang berada diluar kepentingan Indonesia. Apalagi disekitar Laut China Selatan
terdapat armada militer Amerika Serikat juga selain armada militer Republik
Rakyat China. Dengan menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan Laut China
Selatan, Indonesia secara tidak langsung juga dapat melindungi kepentingan
Indonesia dari berbagai kerugian yang tidak perlu yang bisa saja di derita
Indonesia jika sampai terjadi konfrontasi di Laut China Selatan diantara negaranegara yang bersengketa. Karena secara geografis posisi Indonesia memang
berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, maka dari itu jika terjadi sesuatu

di Laut China Selatan tentunya akan berpengaruh pada Indonesia. Maka dari itu,
Indonesia harus tetap berfokus pada kepentingannya saja yaitu membangun
sebuah Poros Maritim Dunia yang mumpuni.
Terlepas dari apa yang terjadi di Laut Natuna, Indonesia jelas masih
membutuhkan

Republik

Rakyat

China

sebagai

partnernya

dalam

rangka

mengembangkan perekonomiannya, maka dari itu langkah terbaik yang saat ini
dapat di tempuh oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan sengketa yang
terjadi di Natuna adalah membangun kekuatan yang digunakan untuk keperluan
pertahanan wilayah dan penegakan kedaulatan saja. Sampai saat ini, sepertinya
memang hanya itu satu-satunya langkah terbaik yang bisa ditempuh Pemerintah
Indonesia terkait kerjasama maritimnya, karena penegakan kedaulatan atas
wilayah laut Republik Indonesia adalah keharusan. Sampai Republik Rakyat
China benar-benar mengakui kedaulatan Indonesia atas Laut Natuna, tentunya
kerjasama maritim tidak akan dapat berjalan. Namun jangan sampai langkah tegas
yang diambil mengakibatkan rusaknya hubungan bilateral kedua negara. Disinilah
peran diplomat-diplomat handal Indonesia sangat diperlukan untuk menjaga
suasana, demi melindungi kepentingan yang lebih besar dari Indonesia atas China.
Mensinergikan dua gagasan besar mengenai laut merupakan hal yang sulit karena
hal ini berkaitan erat dengan ambisi yang sama dari kedua negara baik Indonesia
maupun Republik Rakyat China yaitu membangun sebuah jalur maritim yang
dapat menopang perekonomian negaranya dan membuat negaranya kembali
disegani di dunia internasional. Tentunya setiap negara ingin menjadi hegemon
atas apa yang dicapainya, begitu pula dengan Republik Rakyat China. Sebagai
negara yang sukses membangun sebuah kekuatan maritim yang tangguh secara
ekonomi dan militer, rasanya mustahil bagi Republik Rakyat China untuk
memberikan bantuan kepada Indonesia secara cuma-cuma.

Hal itu akan

mengakibatkan terjadinya polarisasi kekuatan di laut, dan tentunya Pemerintah
China dengan segala ambisinya menolak berbagi dengan Indonesia.
Kepentingan nasional memang masih menjadi batu pengganjal besar
dalam skema kerjasama maritim ini. Segala ketegangan yang terjadi di Laut China

Selatan dan Laut Natuna pada khususnya berpangkal pada satu kepentingan yang
sama yaitu ekonomi. Laut Natuna merupakan wilayah yang dapat dikatakan cukup
menggiurkan dari segi perekonomian. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti mengatakan bahwa Kepulauan Natuna memiliki potensi ekonomi yang
sangat besar. Bahkan, untuk sektor perikanan saja potensinya diperkirakan mampu
mencapai USD 400 juta atau sekitar Rp5,26 triliun.23 Maka dari itu, tidak aneh
jika kemudian Republik Rakyat China juga sangat bernapsu untuk mencaplok
wilayah Laut Indonesia ini. Sebagai sebuah negara yang memiliki garis pantai
terbesar nomer 2 setelah Kanada, tentunya akan sulit untuk menegakkan
kedaulatan di laut jika hanya mengandalkan aparat pemerintah saja karena
jumlahnya masih jauh dari ideal. Pemerintah Indonesia sudah saatnya meniru apa
yang dilakukan oleh negara lain dalam rangka meningkatkan maritime domain
awareness dengan cara melibatkan nelayan-nelayan lokal untuk secara aktif

melaporkan jika ada kapal asing yang masuk ke wilayah laut Republik
Indonesia.24 Pemerintah Indonesia pun sebenarnya telah merespon kekurangan
armada penunjang pertahanan perbatasan laut Indonesia, TNI Angkatan Laut
berencana akan membentuk armada ketiga. Jika terealisasi, Indonesia akan
memiliki tiga armada, yakni Armada RI Kawasan Barat, Armada RI Kawasan
Tengah dan Armada RI Kawasan Timur. 25 Selama ini, Indonesia hanya memiliki
2 armada yakni Armada Barat dan Armada Timur. Dengan ditambahnya Armada
ketiga diharapkan beban Panglima Armada RI Kawasan Timur itu tidak terlalu
berat. Karena Armada Timur selama ini, mulai dari perairan Tegal sampai ke
perbatasan Papua dengan Papua Nugini dan Australia.26
Di bawah Presiden Joko
perbatasan

Republik

Indonesia

Widodo,

memang

keamanan wilayah perbatasan-

menjadi salah

satu

fokus

yang

diperhatikan dengan serius. Maka dari itu, tidak aneh jika sengketa di utara
Natuna pun tidak luput menjadi perhatian Presiden. Berbeda dengan Presiden23

Potensi Laut di Natuna diperkirakan Capai USD 400 Juta/Tahun Dikutip dari sindonews.com
pada tanggal 27/2/2017
24
Wawancara dengan Willy F. Sumakul (Peneliti FKP Maritim)
25
ibid
26
Indonesia bakal Miliki Armada Laut Ketiga. Dikutip dari Kompas.com pada 28/2/2017

presiden

sebelumnya

yang

cenderung

menggunakan

soft-power

dalam

penyelesaian masalah-masalah di perbatasan, Presiden Joko Widodo cenderung
lebih keras dan lebih senang menunjukkan langkah nyata dari penegakan
kedaulatan di wilayah Indonesia seperti pembangunan Pos Perbatasan Lintas
Negara yang baik di daratan27 dan penangkapan nelayan-nelayan asing yang
masuk ke Indonesia tanpa ijin, penenggelaman kapal, pembangunan Pangkalan
Militer, hingga latihan militer di zona yang dianggap rawan di lautan dalam
rangka menunjukkan wibawa Pemerintah Indonesia kepada negara lainnya. Maka
dari itu, Pemerintah China semestinya mulai berpikir ulang mengenai klaimnya
terhadap Laut Natuna karena Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Joko
Widodo sudah pasti akan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan jika
klaim sepihak terhadap Laut Natuna terus dilakukan. Presiden Joko Widodo
memang tidak

secara gamblang mengungkapkan rencananya terhadap Laut

Natuna paska Insiden yang terjadi, namun melalui langkah-langkah yang diambil
oleh kementrian-kementrian terkait telah menujukkan bahwa Indonesia telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di Laut Natuna, meskipun
tidak berharap terjadi hal buruk diantara hubungan kedua negara.
Kesatuan suara dari negara-negara anggota ASEAN yang selama ini
diharapkan dapat menjadi jalan keluar dari segala konflik yang terjadi di Laut
China Selatan pun masih sulit untuk tercapai dalam waktu dekat. Salah satu faktor
penghambatnya adalah pemimpin ASEAN saat ini yaitu Kamboja merupakan
mitra dekat Republik Rakyat China dan seringkali menolak berbagai upaya untuk
menciptakan sebuah ASEAN Unity, karena desakan Republik Rakyat China yang
selalu mengganggu setiap upaya ASEAN untuk dapat satu suara terhadap
negaranya di masalah Laut China Selatan ini. 28 Jika Pemerintah Indonesia tidak
segera mengambil peran lebih di dalam ASEAN, maka akan menjadi masalah
serius bagi integritas organisasi regional kawasan Asia Tenggara ini kedepannya
di mata internasional. Sudah jelas bahwa arogansi Pemerintah China dikawasan
27

Megahnya Pos Lintas Batas Negara Motaain yang akan diresmikan Jokowi. Dikutip dari
detik.com pada 28/2/2017
28
Wawancara dengan Willy F. Sumakul

Laut China Selatan tidak bisa ditangani sendiri oleh masing-masing negara,
namun kembali lagi bahwa hal ini berkaitan dengan masalah ekonomi dan politik
yang menjadikan sengketa di Laut China Selatan ini begitu dinamis. Filipina yang
sebelumnya dibawah Presiden Benigno Aquino III dapat bersikap sangat keras
terhadap Republik Rakyat China, kini dibawah Presiden Duterte justru merapat
kepada China. Kekayaan Republik Rakyat China memang sebuah hambatan bagi
kesatuan ASEAN pada saat ini, karena setiap negara pada akhirnya akan
memikirkan kepentingan nasionalnya terlebih dahulu. Dengan adanya kesatuan
ASEAN dalam menciptakan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan
dengan

Pemerintah

China

sebenarnya

akan

menguntungkan

negara-negara

ASEAN termasuk Indonesia. Dengan adanya CoC yang jelas, maka negara-negara
ASEAN yang memiliki masalah dengan Republik Rakyat China tidak lagi merasa
sendiri dalam menghadapi kasus ini. Begitupun dengan Indonesia, sebagai negara
non-claimant yang wilayah lautnya di Natuna turut dimasukkan kedalam klaim
Nine Dash Line, akan sangat menguntungkan bagi Pemerintah Indonesia jika

ASEAN bersatu dalam rangka meningkatkan posisi tawar terhadap Pemerintah
China terhadap persengketaan di Natuna. Namun, untuk saat ini Indonesia tidak
bisa terlalu berharap pada ASEAN dan rancangan Code of Conduct yang sejak
2011 tidak pernah dapat diselesaikan tersebut. Pemerintah Indonesia harus tetap
berpegang pada kemampuannya sendiri untuk saat ini, karena jika memang suatu
saat Code of Conduct akan tercipta pun tidak ada yang dapat memastikan
efektivitasnya dalam jangka panjang. Argumen ini berangkat dengan fakta bahwa
saat ini, antara ASEAN dan Republik Rakyat China mempunyai sebuah
Declaration of Conduct mengenai tata perilaku di Laut China Selatan yang

ditandatangi pada tahun 2002 namun faktanya Republik Rakyat China tidak
mematuhi deklarasi tersebut29 dan tetap memaksakan klaimnya terhadap Laut
China Selatan. Hadirnya Code of Conduct bisa saja menjadi obat penawar
sementara terhadap sengketa yang terjadi, namun bukan berarti akan menjadi
solusi akhir dan secara langsung menyelesaikan masalah yang ada.
29

Managing Security in South China Sea From DoC to CoC oleh Mingjiang Li. Dikutip dari
Kyotoreview.org pada tanggal 28/2/2017

Pada akhirnya, Pemerintah Indonesia memang tidak dapat mengandalkan
siapa-siapa dalam persengketaan di Laut Natuna kecuali pada kemampuan
Pertahanan

dan Diplomasinya sendiri.

Terdapat

satu peluang yang dapat

digunakan Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan posisi tawarnya terhadap
Republik Rakyat China. Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat nilai
investasi dari China di Indonesia mencapai US$ 1,6 miliar hingga pada triwulan
III-2016. Republik Rakyat China menduduki peringkat tiga besar investasi setelah
Singapura dan Jepang.30 Hal ini menunjukkan sebenarnya Pemerintah China juga
memiliki kepentingan yang besar di Indonesia. Dengan begitu, maka sebenarnya
tidak ada alasan bagi kedua negara untuk saling berseteru. Kedua negara baik
Indonesia maupun Republik Rakyat China memiliki ketergantungan satu sama
lain hal inilah yang sebenarnya dapat menjadi peluang bagi Pemerintah Indonesia
untuk

mendesak Pemerintah China untuk mencabut klaimnya terhadap Laut

Natuna sehingga kerjasama maritim yang dicanangkan dapat kembali di lanjutkan.
Jika sampai terjadi hubungan bilateral yang semakin memburuk antar kedua
negara, tentunya investasi Republik Rakyat China di Indonesia akan terganggu,
begitu

pula

dengan Indonesia yang akan turut merasakan dampak

tertanggunya investasi tersebut terhadap pemasukan negara.

30

Investasi Cina di Indonesia tembus 1,6 Miliar USD. Dikutip dari tempo.co pada tanggal
28/2/2017

dari

Dokumen yang terkait

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Hubungan motivasi belajar dengan hasil belajar pendidikan agama islam siswa kelas V di sdn kedaung kaliangke 12 pagi

6 106 71

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Rekapitulasi Absensi dan Penggajian pada Lembaga Keuangan Rakyat BMT Kariman Al Falah

13 105 54

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

DESKRIPSI PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT USAHA RAKYAT KEPADA USAHA MIKRO KECIL dan MENENGAH (Studi Pada Bank Rakyat Indonesia Unit Way Halim)

10 98 46

HUBUNGAN KEPRIBADIAN DENGAN TINGKAT KEBUGARAN JASMANI PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 2 PONCOWARNO KALIREJO LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2013/2014

10 138 52

HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN BELAJAR DI SEKOLAH DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS V SD NEGERI 1 RAJABASA RAYA KOTA BANDAR LAMPUNG

6 60 62