BAB II Retribusi bab ii retribusi

BAB II
DESKRIPSI OBYEK KAJIAN

2.1.

Dinas Kelautan dan Perikanan

2.1.1. Pendahuluan
Sumberdaya ikan berperan penting sebagai sumber protein utama masyarakat dunia,
sebagai mata pencaharian dan lapangan kerja bagi banyak negara. Peningkatan jumlah
penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, telah mendorong
peningkatan permintaan produk perikanan. Di waktu yang akan datang negara-negara di Asia
selain menjadi produsen ikan terbesar juga akan menjadi konsumen utama hasil perikanan.
Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan perikanan dunia telah mampu memproduksi ikan
dengan total produksi lebih dari 158 juta ton, 91,3 juta ton diantaranya hasil perikanan tangkap
atau budidaya ikan menyumbang 66,6 juta ton (FAO, 2014). Dari total produksi tersebut, 136,2
juta ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi dan sisanya untuk kepentingan secara tidak
langsung (indirect human consumption) seperti bahan baku pakan ikan dan ternak.
Indonesia merupakan salah satu pemain kunci dalam percaturan perikanan global.
Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina sebagai produsen
ikan dunia. Sementara untuk perikanan budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah

Cina, India, dan Vietnam. Posisi ini masih belum optimal mengingat sumberdaya perairan yang
luas dan sumberdaya ikan yang besar belum dimanfaatkan secara optimal. Total produksi ikan
Indonesia dari hasil budidaya sesungguhnya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam
dua dekade terakhir, tetapi sudah mulai digeser oleh negara tetangga seperti Vietnam yang
mampu menggenjot produksi ikan dalam jumlah dan kecepatan yang lebih tinggi.
Kecenderungan meningkatnya kontribusi perikanan budidaya juga terjadi di berbagai belahan
dunia, bahkan total produksi dari budidaya telah mampu melampaui produksi daging. Majalah
The Economist (10 Agustus 2013) melaporkan tingkat produksi ikan pada tahun 2020
mendatang dapat mencapai 6 kali tingkat produksi tahun 1990.
Peningkatan produksi ikan tidak terlepas dari meningkatnya jumlah permintaan ikan
dunia karena pertumbuhan jumlah konsumen (penduduk) yang terus meningkat dan kesadaran
akan pangan sehat yang semakin tinggi. Konsumsi ikan rata-rata masyarakat dunia terus

4

meningkat, dari hanya sekitar 6 kg/kapita/tahun di tahun 1950, menjadi 19,2 kg pada tahun
2012. Total konsumsi ikan meningkat dari 50 jutaan ton di awal 1960 menjadi hampir tiga kali
lipatnya saat ini. Beberapa proyeksi memberikan indikasi permintaan ikan terus meningkat,
dengan suplai yang lebih kecil dari demand. Total nilai ekspor produk perikanan dunia telah
mencapai US$136 miliar pada tahun 2013 dengan trend yang terus meningkat, yaitu sebesar

5% (2012-2013). Net-export revenues produk perikanan (ekspor kurang impor) mengalami
peningkatan dari US$5 miliar pada tahun 1985, menjadi US$22 miliar pada tahun 2005, dan
menjadi US$35,3 miliar pada tahun 2012. Perkembangan nilai perdagangan komoditas
perikanan tersebut jauh melampaui komoditas pertanian lainnya (kopi, karet, kakao, gula,
pisang, teh, tembakau, beras, daging, dan susu). Tuna dan udang menjadi komoditas utama
perdagangan tersebut. Indonesia menjadi salah satu pemain kunci dalam perdagangan dua
komoditas tersebut. Untuk udang, Indonesia berperan sangat penting untuk pasar-pasar udang
utama dunia seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Pada tahun 2012, Indonesia
memproduksi udang sekitar 457.000 ton dan ditarget meningkat dengan tambahan produksi
200.000 ton sampai pada tahun 2014 (Shrimp – September 2013: http://www.globefish.org)
(total nilai ekpor perikanan Indonesia pada tahun 2013 mencapai US2,856 juta). Data FAO
Globefish terbaru (September 2014) menunjukkan masih bermasalahnya produksi udang di
negara-negara penghasil utama udang selama ini seperti Cina dan Thailand, yang menjadi
pesaing udang Indonesia, karena serangan penyakit EMS (early syndrome mortality). Hal ini
seperti menjadi durian runtuh (windfall) bagi Indonesia, sehingga perlu mengoptimalkan
pengelolaan usaha udang secara berkelanjutan. Pengelolaan usaha yang secara berkelanjutan
dibutuhkan karena kecenderungan permintaan ikan dunia saat ini masih terus meningkat. Harga
ikan pun secara rata-rata masih terus naik, bahkan melampaui harga komoditas pertanian
lainnya. Berbasis data harga rata-rata antara tahun 2002-2004 dengan nilai 100, FAO Fish Price
Index menunjukkan peningkatan pesat harga ikan dari 90 pada awal 2002 mencapai 160 pada

Oktober 2013 (indek berkisar 140 antara tahun 2012-2013) (FAO 2014). Peningkatan harga
tersebut berkaitan erat dengan peningkatan jumlah permintaan untuk ikan konsumsi, baik
produk ikan segar maupun olahan, yang kadang melampaui peningkatan pasokannya.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menetapkan visi kelautan yang sangat kuat,
dengan menetapkan kerangka dan arahan kebijakan “Among Tani menjadi Dagang Layar”.
Dengan arahan kebijakan tersebut pembangunan wilayah DIY bergeser dari basis daratan ke
arah pesisir dan laut. Rencana Pembangunan Jangka Menengah DIY (RPJMD) tahun 20132017 secara eksplisit menyebutkan pergeseran paradigma pembangunan “Dari Among Tani
Menuju Dagang Layar” yang ditempuh melalui strategi akselerasi pengembangan wilayah
5

Pantai Selatan (Pansela). Dalam paradigma pembangunan “Dari Among Tani Menuju Dagang
Layar”, DIY juga mengembangkan potensi Pansela sebagai pusat pelayanan jasa bagi kawasan
Jawa bagian selatan dan sebagai hub (penghubung) bagi daerah sekitarnya dalam mengakses
pasar internasional. Usaha perikanan menjadi salah satu potensi kegiatan usaha sebagai
penggerak perekonomian DIY. RPJMD DIY Tahun 2013-2017 memberikan arahan kebijakan
dan strategi pembangunan sektor perikanan dan kelautan, antara lain melalui upaya: (1)
Percepatan pengembangan sarana-prasarana untuk mendukung peningkatan produksi
perikanan tangkap sebagai basis ekonomi wilayah selatan, (2) Pengembangan perikanan
budidaya secara terintegrasi berbasis kawasan, (3) Mengakselerasi terbangunnya budaya
maritim dengan pengembangan sumber daya manusia berkelanjutan dan (4) Fasilitasi

pengembangan agribisnis perikanan secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Kegiatan perikanan DIY telah mengalami pertumbuhan yang cukup berarti dalam
dekade terakhir, dengan target produksi total yang selalu melampaui target RPJMD, seperti
tertuang dalam RPJMD DIY tahun 2009-2013. Namun demikian, terdapat beberapa tantangan
pengembangan sektor perikanan dan kelautan di DIY diantaranya kapasitas produksi yang
belum mampu memenuhi permintaan ikan di DIY. Diperkirakan lebih dari 60% ikan yang
dikonsumsi di DIY masih didatangkan dari luar DIY. Pemanfaatn sumberdaya lahan untuk
budidaya perikanan juga baru sebesar 11,6% dari potensi yang ada (potensi lahan lebih dari
18.900 hektar). Potensi sumberdaya ikan Samudera Hindia selatan Jawa yang diperkirakan
sebesar 320.600 ton/tahun dan Samudera Hindia mencapai 906.340 ton/tahun, juga belum
dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan DIY.
Pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan berbagai potensi sumberdaya ikan dapat
menjadi sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah. Daerah dapat menggerakkan
potensi sumberdaya ikan tersebut sebagai pendapatan asli daerah (PAD) baik melalui
pengelolaan usaha perikanan tangkap, budidaya, maupun pengolahan hasil perikanan serta
jasa-jasa perikanan dan kelautan.

2.1.2. Keadaan Umum Perikanan DIY
Perikanan merupakan salah satu sub-sektor pertanian yang berkembang pesat dan
diminati oleh masyarakat sebagai sumber penghidupan penting di DIY. Berdasarkan analisis

location quotient (LQ) di DIY diketahui bahwa perikanan dapat menjadi sub-sektor
unggulan/basis di beberapa wilayah seperti di Kabupaten Sleman dan Kulon Progo (Triyanto
dan Dwijono 2010). Studi yang dilakukan olek Pustek Kelautan UGM (2000) di pesisir selatan
DIY bahkan menunjukkan usaha perikanan tangkap dapat memberikan pendapatan yang lebih
6

tinggi dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya di pedesaan. Hasil studi tersebut secara eksplisit
menunjukkan bahwa masyarakat dapat sejahtera melalui usaha perikanan, jika usaha tersebut
dikelola dengan bijaksana. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan DIY (Dislautkan
DIY, 2010a) juga diketahui pendapatan pelaku usaha perikanan berkisar antara Rp 1,9-2,1 juta
per bulan, atau dua kali lebih tinggi dibandingkan Upah Minimum

Regional (UMR).

Gambaran ini mengindikasikan bahwa pengembangan perikanan memiliki potensi yang sangat
besar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan DIY.
Perkembangan pesat kegiatan produksi perikanan telah menarik perkembangan
kegiatan perikanan terkait lainnya. Hasil studi di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa
berkembangnya kegiatan perikanan di Kabupaten Sleman telah memberikan dampak positif
terhadap kegiatan terkait perikanan lainnya. Dengan tingkat konsumsi ikan yang mencapai

26,73 kg/kapita/tahun, tumbuh 8,96% per tahun, Kabupaten Sleman secara total menjadi
konsumen produk perikanan tertinggi di DIY yaitu mencapai 29.158,4 ton ikan per tahun
(Gambar 2.1). Peningkatan produksi dan konsumsi ikan tersebut juga diikuti oleh bisnis
perikanan lainnya seperti rumah makan khas ikan yang tumbuh mencapai 11,4% per tahun dan
pemancingan dengan laju pertumbuhan 7,4% per tahun, serta pasar ikan kelompok yang naik
rata-rata 5,4% per tahun. Dengan demikian, pengembangan usaha perikanan tidak saja penting
untuk pembangunan ekonomi khususnya di wilayah pedesaan, tetapi juga peningkatan
ketahanan pangan, gizi dan kesehatan masyarakat, serta hobi.

7

Gambar 2.1.
Perkembangan Konsumsi Ikan dan Aktifitas Terkait Perikanan
di Kabupaten Sleman, 2004 – 2011

Sumber: Suadi dkk. 2012
A.

Kondisi Perikanan Tangkap DIY
Usaha perikanan tangkap terdiri dari beberapa jenis usaha, antara lain: (1) Penangkapan


ikan; (2) Penangkapan dan pengangkutan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan;
dan (3) Pengangkutan ikan.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 18 ayat 3, menyatakan bahwa
kewenangan daerah di wilayah laut meliputi (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, (2) pengaturan kepentingan
administrasi, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang
dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah tersebut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk tingkat provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
1.

Potensi Sumberdaya Ikan Samudra Hindia Selatan Jawa
Pengelolaan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang ada di wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP),
8


yang meliputi 10 WPP. Jika disinkronkan dengan WPP yang telah ditetapkan oleh Badan
Pangan DUnia (FAO), DIY termasuk dalam wilayah pengelolaan perikanan No. 573 yang
merupakan bagian dari perairan Samudera Hindia. Sehubungan dengan itu maka perlu
diketahui potensi perikanan laut yang ada di Samudera Hindia seperti yang tercantum pada
tabel berikut:
Tabel 2.1.
Potensi dan Pemanfaatan SDI di WPP 573
Kelompok
Sumberdaya
Ikan pelagis besar

Potensi
Tingkat Pemanfaatan
(ton)
(%)
201.400 Moderate untuk cakalang, fully exploited untuk
madidihang dan albakore, serta overexploited untuk
mata besar dan SBT
Ikan pelagis kecil
210.600 Fully exploited, untuk D. kuroides pada tingkat

moderate
ikan demersal
66.200 Moderat, dan fully-exploited untuk kakap merah dan
kuwe
Udang penaeid
5.900 Over-exploited
Cumi-cumi
2.100 Moderate
Ikan karang konsumsi
4.500
Lobster
1.000
Total
491.700
TAC 80%
393.600
Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Nomor KEP.45/MEN/2011, diolah.
Tabel 2.1. menunjukkan bahwa beberapa sumberdaya ikan sudah over exploited
sehingga perlu adanya kehati-hatian dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap untuk
menjamin keberlanjutan usaha penangkapan ikan. Dengan kelestarian sumberdaya ikan maka

kegiatan perikanan tangkap akan terus berlangsung. Berlangsungnya kegiatan perikanan
tangkap secara langsung dan tidak langsung memberikan dampak bagi nelayan dan pelaku
usaha sektor hulu dan hilir perikanan tangkap sebagai multiplier effect pengelolaan sumberdaya
alam. Tabel 2.1. juga memberikan indikasi bahwa kegiatan perikanan tangkap sesungguhnya
masih dapat dikembangkan untuk beberapa jenis kegiatan usaha, seperti cumi-cumi, perikanan
demersal, cakalang, dan pengembangan secara hati-hati untuk perikanan yang telah overexploited. Apabila DIY dapat memanfaatkan 5% dari potensi lestari sumberdaya ikan, maka
DIY memiliki potensi produksi sebesar 19.000 ton per tahun. Pemanfaatan sumberdaya
tersebut sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam wilayah perairan DIY yang sepanjang 113
km tetapi di dalam WPP 573, yang memiliki panjang pantai sekitar 1.000 km.

9

2.

Pemanfaatan Potensi Perikanan Tangkap DIY
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pantai sepanjang + 113 km terletak di kawasan

Samudera Hindia dan termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 yang
meliputi Laut Selatan Jawa, sampai Laut Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Timor Bagian
Barat yang memiliki potensi sumberdaya perikanan besar dan belum dimanfaatkan secara

optimal. Pemanfaatan potensi ikan di Samudera Hindia di DIY sudah mulai bekembang. Hal
ini ditandai dengan berkembangnya jumlah tempat pendaratan ikan yang saat ini telah
mencapai 19 titik pendaratan ikan, dari tanpa pendaratan ikan di tahun 1970an. Produksi
perikanan laut di DIY juga terus meningkat, dari 134,93 ton (tahun 1994) naik menjadi 3.862
ton (tahun 2010), 3.952,9 ton (tahun 2012), dan 4.093,2 ton (tahun 2013) dengan total nelayan
telah mencapai 1.126 orang. Kegiatan perikanan tangkap tersebut berkembang di tiga
kabupaten yang memiliki wilayah pesisir, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan
Kulonprogo, dengan panjang garis pantai sekitar 113 kilometer. Sebaran nelayan di DIY
ditunjukkan pada Tabel 2.2. dan jumlah armada perikanan pada Gambar 2.2.

Tabel 2.2.
Jumlah Rumah Tangga Perikanan menurut Kabupaten di DIY, 2007-2011
Jumlah RTP
2007
2008
2009
1.
Gunungkidul
1.164
1.179
646
2.
Bantul
131
141
141
3.
Kulonprogo
233
233
233
Jumlah
1.528
1.553
1.020
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2012
No.

Kabupaten

2010
711
183
145
1.099

2011
771
183
172
1.126

10

Gambar 2.2.
Perkembangan Jumlah Armada Perikanan Perahu Motor Tempel, 2006-2011

Sumber: Statistik Perikanan Tangkap 2011, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY 2012
Tabel 2.2. menyajikan data dalam periode tahun 2007–2011, perkembangan Jumlah
Rumah Tangga Perikanan (RTP) di DIY sedikit berfluktuasi, terutama di Kabupaten
Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo, sedangkan di Kabupaten Bantul relatif stabil.
Sementara, armada perikanan di DIY dalam lima tahun terakhir cenderung stabil atau dengan
rata-rata kenaikan kecil sekitar 1% per tahun. Total jumlah armada perikanan mencapai 451
unit kapal ikan (PMT dan Kapal Motor) pada tahun 2011, atau naik dari 429 unit pada tahun
2006. Namun demikian, dari struktur armada jumlah kapal motor telah bertambah
dibandingkan dekade sebelumnya. Kapal motor yang ada di DIY saat ini telah mencapai 10%
dari total armada perikanan yang ada. Namun demikian, armada tersebut masih dapat dikatakan
sangat kecil jumlahnya untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan yang ada.
Jumlah hasil tangkapan sesungguhnya mengalami perkembangan yang positif,
terutama diakibatkan oleh perkembangan positif produksi ikan di PPP Sadeng, Kabupaten
Gunungkidul. Gambar 2.3. menyajikan data perkembangan produksi ikan laut, yang secara
mayoritas dihasilkan dari kegiatan penangkapan.

11

Gambar 2.3.
Perkembangan Produksi Ikan Laut di DIY, 2006 – 2013
4,238

4,500

3,862

4,000

3,953

4,093
3,394

Produksi (ton)

3,500
3,000

2,342

2,500
2,000

2,152

1,731

1,500
1,000

500
2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2013 (data diolah)
Berdasarkan Gambar 2.3. terlihat bahwa produksi ikan laut di DIY dari tahun 2006
hingga tahun 2011 terus mengalami peningkatan, walaupun produksi pada tahun 2013
mengalami kontraksi dikarenakan faktor cuaca. Perkembangan jumlah produksi ikan hasil
tangkapan tersebut, menunjukkan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut di wilayah
perairan DIY masih cukup besar. Hasil tangkapan ikan di laut selatan Jawa didominasi ikan
cakalang dan ikan tuna. Dengan demikian kedua jenis ikan ini merupakan peluang besar bagi
pengembangan perikanan ke depan.
Keberadaan pelabuhan perikanan menjadi kunci perkembangan produksi perikanan di
DIY. Adanya fasilitas pelabuhan yang relatif lengkap dan dilengkapi tempat bersandar kapal
berupa dermaga di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng telah mendorong
berkembangnya kapal motor, khususnya kapal dengan ukuran 30 GT ke bawah. PPP Sadeng
saat ini merupakan fishing base kapal motor untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di
wilayah selatan DIY dengan jangkauan mencapai jalur III dengan alat bantu penangkapan
berupa rumpon. Hasil tangkapan ikan berupa ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol, marlin,
lemadang, tengiri, dan cakalang.
Secara umum, pengembangan perikanan tangkap di selatan DIY masih dapat dilakukan.
Hasil perhitungan produktivitas perikanan saat ini menunjukkan kecenderungan yang
meningkat, baik berdasarkan pendekatan armada perikanan maupun rumah tangga perikanan.
Peningkatan tersebut didorong oleh mulai berkembangnya pengoperasian kapal ikan bermotor
12

di luar wilayah pantai (zona empat mil). Perkembangan tersebut secara umum tersaji pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4.
Perkembangan RTP, Armada, Produksi
dan Produktivitas Perikanan Tangkap di DIY, 2007–2011

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2012 (data diolah)
Gambar 2.4. juga memberikan indikasi bahwa perubahan struktur armada perikanan
yang terjadi, walaupun dalam jumlah yang kecil, telah meningkatkan produksi dan
produktivitas perikanan yang cukup besar. Karena itu, untuk mendorong berkembangnya
perikanan tangkap yang lebih baik di DIY adalah mendorong perubahan struktur armada
perikanan. Hal ini didukung oleh temuan sebelumnya yang memberikan indikasi bahwa
produktivitas perikanan jika hanya mengandalkan perahu motor tempel akan semakin
menurun, walaupun jumlah armadanya terus ditambah (Suadi dkk., 2003). Perubahan tersebut
tentu saja membutuhkan salah satunya adalah tempat bersandarnya kapal-kapal motor
berukuran besar. Jika saat ini PPP Sadeng hanya mampu menampung kapal motor berukuran
kurang dari 30 GT, maka diharapkan dengan beroperasinya pelabuhan perikanan Tanjung Adi
Karto, kapal-kapal ukuran besar dapat tertampung. Aspek lain yang perlu disiapkan adalah
SDM perikanan yang akan mengisi perubahan struktur tersebut.
Dengan asumsi DIY memiliki kemampuan untuk memanfaatan 5% potensi lestari
perikanan di Samudra Hindia, dengan melakukan pengembangan perikanan di laut teritorial
dan ZEEI maka diperkirakan DIY memiliki potensi lestari sekitar 19.000 ton per tahun. Karena
13

itu, walaupun produksi perikanan laut mengalami peningkatan (seperti tersaji pada gambar
3.3.), namun pemanfaatan potensi sumberdaya ikan masih sangat rendah (jumlah produksi
tahun 2013 hanya sekitar 3.394 ton).
3.

Nelayan dan Armada Perikanan Tangkap
Perkembangan produksi perikanan laut sangat erat kaitannya dengan jumlah nelayan,

armada dan alat tangkap. Nelayan di DIY tersebar di tiga kabupaten (Gunungkidul, Bantul,
Kulonprogo) sepanjang pantai Selatan DIY (Tabel 2.3). Nelayan DIY telah melakukan
peningkatan kemampuan adopsi dan pemanfataan teknologi dari menggunakan perahu motor
tempel telah berkembang dengan menggunakan kapal motor dengan kapasitas antara 5-30 GT
(Tabel 2.4). Dukungan yang diberikan pemerintah berupa bantuan kapal motor beserta alat
tangkap serta pelatihan nelayan dalam pengelolaan dan pengoperasian kapal motor tersebut,
sehingga mampu melakukan kegiatan produktif dalam menggali potensi perikanan tangkap di
DIY. Dengan penggunaan sarana penangkapan tersebut daya jangkau nelayan DIY telah dapat
menjangkau perairan lepas pantai dan perairan samudera.

Tabel 2.3.
Jumlah RTP/PP Menurut Kabupaten di DIY, 2007-2011
No.

Kabupaten

Jumlah RTP
2007
2008
2009
2010
1.
Gunungkidul
1.164
1.179
646
711
2.
Bantul
131
141
141
183
3.
Kulonprogo
233
233
233
145
Jumlah
1.528
1.553
1.020
1.099
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2012

2011
771
183
172
1.126

14

Tabel 2.4.
Jumlah Armada Penangkapan Ikan di DIY, 2008-2011
Sarana Penangkapan
Dengan Perahu Motor Tempel
Kapal Motor
< 5 GT
5-10 GT
10-20 GT
Jumlah Kapal Motor
Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap
Perikanan DIY Tahun, 2012

2011
2008
2009
2010
423
420
420
405
4
4
4
25
25
25
24
23
23
23
22
52
48
48
46
Tahun 2008-2011, Dinas Kelautan dan

Sebagai sarana untuk memperoleh hasil perikanan, kegiatan eksploitasi perikanan
menggunakan alat tangkap digunakan untuk memudahkan manusia dalam menangkap ikan.
Alat tangkap di DIY sudah berkembang berbagai alat tangkap disesuaikan dengan jenis ikan
dan musim penangkapan, seperti yang tersaji dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.5.
Jumlah Unit Penangkapan Ikan di Laut Menurut Jenis, 2008 – 2010 (Unit)
Jenis Alat Penangkapan
2008
2009
2010
Pukat cincin
Jaring Insang Hanyut
249
249
242
Jaring Klitik
Jaring Insang Tetep
279
279
334
Jaring Tiga Lapis
2
1
49
Serok dan Songko
35
58
Anco
5
5
Rawai Tuna
25
-Rawai Tetap
90
107
126
Rawai Tetap dasar
210
210
229
Pancing Tonda
Pancing Ulur
193
193
329
Pancing Tegak
63
63
63
Perangkap Lainnya
178
193
192
Alat Pengumpul
455
481
Alat Penangkap Tripang
17
Alat Penangkap Kepiting
98
98
479
Muroami
74
Garpu dan Tombak
9
Jumlah
1.866
1.945
2.615
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2009-2011
Jumlah alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan di DIY berfluktuasi

yaitu

sejumlah 1.866 unit pada tahun 2008, meningkat menjadi 1.945 unit tahun 2009, dan pada
15

tahun 2010 jumlah jenis alat tangkap menjadi berjumlah 2.615 unit alat tangkap. Namun
apabila dicermati terjadi peningkatan penggunaan alat pancing berupa alat pancing ulur,
pancing tegak dan pancing cumi.
Jumlah produksi ikan di Kabupaten Gunungkidul sangat tinggi apabila dibandingkan
dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sarana
dan prasarana yang ada di Kabupaten Gunungkidul yaitu adanya Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) Sadeng dan armada penangkapan ikan berupa kapal motor dengan kapasitas 5 -