Konstruksi Berita Layanan Publik Dalam Program “Sumut Dalam Berita” Televisi Republik Indonesia (Tvri) Sumatera Utara Periode Januari - Maret 2016

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Paradigma Konstruktivis
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
kontruktivis. Paradigma konstruktivis hampir merupakan antitesis dari paham
yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu
realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini menyatakan bahwa (1) dasar
untuk menjelaskan kehidupan, peristiwa sosial dan manusia bukan ilmu
dalam kerangka positivistik, tetapi justru dalam arti common sense. Menurut
mereka, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti dan makna yang
diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-hari, dan
hal tersebutlah yang menjadi awal penelitian ilmu-ilmu sosial; (2) pendekatan
yang digunakan adalah induktif, berjalan dari yang spesifik menuju yang
umum, dari yang konkrit menuju yang abstrak; (3) ilmu bersifat idiografis
bukan nomotetis, karena ilmu mengungkap bahwa realitas tertampilkan
dalam simbol-simbol melalui bentuk-bentuk deskriptif; (4) pengetahuan tidak
hanya diperoleh melalui indra karena pemahaman mengenai makna dan
interpretasi adalah jauh lebih penting; dan (5) ilmu tidak bebas nilai. Kondisi
bebas nilai tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting dan tidak pula
mungkin dicapai (Sarantakos dalam Hayuningrat, 2010).

Peneliti menggunakan paradigma konstruktivis dalam penelitian ini
karena ingin mengetahui dan memahami pengalaman serta interpretasi
subyek penelitian terhadap suatu peristiwa. Paradigma ini percaya bahwa

16
Universitas Sumatera Utara

17

realitas dalam tayangan Sumut Dalam Berita yang dirancang oleh redaksi
merupakan realitas yang sudah dikonstruksikan dan bukan realitas yang
sebenarnya.

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu
1) Haposan Simamora dari Universitas Diponegoro tahun 2010 melakukan
penelitian mengenai „Konstruksi Pemberitaan LPP TVRI Jateng Tentang
Pemilihan Walikota Semarang 2010.‟ Penelitian yang menggunakan
analisis framing model Gamson dan Modigliani ini menunjukkan bahwa
LPP TVRI Jateng dalam menampilkan berita menjelang pemilihan
walikota Semarang tahun 2010, masih cenderung merepresentasikan

institusi, seperti KPU dan Panwas sehingga terkesan berfungsi sebagai
media promosi instansi bersangkutan. Disisi lain LPP TVRI kurang
tertarik dengan berita-berita yang terkait dengan “rekam jejak” para calon
walikota dan wakilnya.
2) Alem Febri Sonni dari Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2003
melakukan penelitian berjudul „Analisis Kebijaksanaan Redaksi Televisi
Republik Indonesia (TVRI) Makassar Dalam Menyiarkan Berita‟.
Penelitian ini bertujuan menguraikan faktor yang menyebabkan kurang
menariknya

tayangan

berita

TVRI

Makassar.

Hasil


penelitian

menunjukkan bahwa kebijaksanaan redaksi TVRI Makassar lebih
mengedepankan kepentingan ekonomi wartawan dan redaksinya daripada
kepentingan publik yang membutuhkan tayangan berita yang menarik dan
berkualitas. Faktor lain yang juga menyebabkan kurang menariknya

Universitas Sumatera Utara

18

tayangan TVRI Makassar adalah rendahnya kualitas sumber daya
wartawan yang dimiliki TVRI Makassar.
3) Eva-Karin Olsson dari National Center for Crisis Management Research
and Training (CRISMART), Swedish National Defence College, Sweden.
Penelitian tahun 2009 ini berjudul “Media Crisis Management in
Traditional and Digital Newsrooms” yang membandingkan bagaimana
reaksi dua model redaksi pemberitaan yaitu redaksi tradisional dan redaksi
digital dalam menghadapi peristiwa-peristiwa krisis. Hasilnya adalah
redaksi tradisional dengan rutinitas harian yang sudah berjalan otomatis

terbukti lebih efektif dalam menghadapi peliputan situasi-situasi krisis. Hal
ini disebabkan oleh struktur redaksi yang terpusat dan satu komando
membuat respon yang lebih baik terhadap peristiwa krisis. Selain itu,
pengalaman juga menjadi penentu dimana redaksi tradisional memiliki
„guru‟ dari kasus-kasus sebelumnya, sehingga menjadi dasar bagi mereka
untuk mengambil keputusan.

2.3 Uraian Teori
2.3.1 Teori Konstruksi Realitas Media
Realitas dalam paradigma konstruktivis dipandang sebagai
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian,
kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat dalam
Bungin, 2007). Realitas sosial tidak dapat berdiri sendiri tanpa
kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut.

Universitas Sumatera Utara

19


Realitas sosial memiliki makna manakala dikonstruksi dan dimaknakan
secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu
secara objektif. Realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat
keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep,
kesadaran umum, wacana publik sebagai hasil konstruksi sosial.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya berjudul
The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociological of
Knowledge mengatakan bahwa realitas sosial adalah proses dialektika

yang

berlangsung

dalam

proses

simultan

:


1)

eksternalisasi

(penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia,
2) objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia
intersubjektif

yang

dilembagakan

atau

mengalami

proses

institusinalisasi, (3) internalisasi, yaitu proses di mana individu

mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya (Bungin, 2007 :
83).
Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger dan Luckmann ini
terdiri atas realitas objektif, realitas simbolis dan realitas subjektif.
Realitas objektif adalah realitas yang yang terbentuk dari pengalaman di
dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas ini dianggap
sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari
realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif
adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali

Universitas Sumatera Utara

20

realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses
internalisasi (Subiakto dalam Bungin, 2007 : 89).
Eksternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar dalam
satu pola perilaku interaksi antara individu dengan produk-produk
sosial masyarakatnya. Maksud dari proses ini adalah ketika sebuah

produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat
yang setiap saat dibutukan oleh individu, maka produk sosial itu
menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat
dunia luar. Dengan demikian, tahap eksternalisasi ini berlangsung
ketika produk sosial tercipta di dalam masyarakat, kemudian individu
mengeksteranlisasikan

(penyesuaian

diri)

ke

dalam

dunia

sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia.
Sedangkan tahap objektivasi dapat terjadi melalui penyebaran
opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui

diskursus opini masyarakat tentang produk sosial tanpa harus terjadi
tatap muka antar-individu dan pencipta produk sosial itu. Hal terpenting
dalam objektivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan
tanda-tanda oleh manusia. Berger dan Luckmann mengatakan bahwa
sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi lainnya
karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau
indeks bagi pemaknaan subjektif. Bahasa menjadi sangat penting dalam
objektivasi

terhadap

tanda-tanda.

Bahasa

digunakan

untuk

mensignifikansi makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan

yang relevan dengan masyarakatnya (Bungin, 2007 : 85-92).

Universitas Sumatera Utara

21

Internalisasi digambarkan sebagai pemahaman atau penafsiran
yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan
suatu makna, artinya sebagai manifestasi dari proses-proses subjektif
orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subjektif
bagi individu itu sendiri. Dengan demikian, internalisasi dalam arti
umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai „sesama saya‟,
yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai
dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial (Bungin,
2007 : 94).

2.3.2 Jurnalistik dan Berita
Jurnalistik berasal dari kata journal yang berarti catatan harian,
atau catatan mengenai kejadian sehari-hari. Journal berasal dari bahasa
Latin diurnalis yang artinya harian atau tiap hari. Kata tersebutlah yang

melahirkan kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan
jurnalistik.
MacDougall (dalam Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2014:
15) menyebutkan bahwa jurnalisme adalah kegiatan menghimpun
berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel dalam The Elements of Journalism : What Newspeople
Should Know and The Public Should Expect (2001) menyebutkan

terdapat 9 elemen dalam jurnalisme :
1) Kewajiban pertama jurnalistik adalah mengatakan kebenaran
2) Loyalitas pertama jurnalistik adalah kepada warga negara

Universitas Sumatera Utara

22

3) Esensi dari jurnalistik adalah disiplin verifikasi
4) Jurnalis harus menjaga independensi dari apa yang diliputnya
5) Jurnalis harus menjadi monitor yang independen atas kekuasaan
6) Jurnalistik harus menyediakan forum bagi kritik dan komentar
publik
7) Jurnalistik harus membuat hal yang penting menjadi menarik dan
relevan
8) Jurnalis harus menjaga beritanya komprehensif dan proporsional
9) Jurnalis harus menggunakan hati nurani
Dari segi jurnalistik, terutama dalam hal pemberitaan sistem
pers Indonesia selama ini memiliki kemiripan dengan sistem pers Barat,
misalnya dalam hal memilih dan menyajikan berita, terutama dengan
maksud menarik perhatian khalayak. Secara khusus bisa dikatakan
sistem pers Indonesia mirip dengan sistem pers Belanda dengan
organisasi politik yang banyak, yang masing-masing memiliki atau
sekurang-kurangnya mempengaruhi surat kabar (media massa).
Berdasarkan kemiripan sistem persnya, maka salah satu definisi
berita dalam sistem pers Barat yang diberikan oleh The New Grolier
Webster International Dictionary adalah : (1) informasi hangat tentang
sesuatu yang telah terjadi, atau tentang sesuatu yang belum diketahui
sebelumnya; (2) berita adalah informasi yang disajikan oleh media,
semisal surat kabar, radio, atau televisi; (3) berita adalah sesuatu atau
seseorang yang dipandang oleh media merupakan subjek yang layak
untuk diberitakan (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2014: 39).

Universitas Sumatera Utara

23

Definisi lain diungkapkan oleh Doug Newson dan James A
Wollert dalam Media Writing : News for the Mass Media yang
menyebut berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang
atau lebih luas lagi oleh masyarakat (dalam Sumadiria, 2005 : 64).
Data dan informasi merupakan bahan mentah bagi aktivitas
jurnalisme untuk menghasilkan sebuah berita. Namun di era informasi
saat ini, konten berita berdasarkan data dan informasi sederhana saja
tidak akan cukup. Ketika era informasi terus berubah, begitupun dengan
jurnalis dan eksekutif editorial harus bekerja dengan „pengetahuan‟.
Pengetahuan

adalah

hasil

penyaringan

atas

informasi

dan

meletakkannya dalam konteks dan bentuk yang lebih berguna (Quinn,
2002 : 3).
Melihat perkembangan informasi saat ini, maka ketersediaan
data sebagai bahan mentah jurnalistik menjadi melimpah. Akhirnya
„manajemen pengetahuan‟ menjadi sangat penting bagi media massa
karena media massa harus menjadi organisasi yang berdasar pada
informasi. Manajemen pengetahuan meliputi bagaimana menyimpan,
memindahkan dan membagi informasi dalam bentuk yang berguna baik
sekarang maupun di kemudian hari.
Steve Yelvington (Quinn, 2002) menyatakan bahwa tantangan
media massa saat ini adalah pergeseran yang sangat radikal dari
kelangkaan informasi menjadi melimpahnya informasi. Artinya, peran
baru jurnalis adalah menjadi pemandu daripada sekedar gatekeeper.
Dari melimpahnya informasi, maka jurnalis harus benar-benar jeli dan

Universitas Sumatera Utara

24

paham menentukan informasi yang memiliki „nilai berita‟ yang layak
dijadikan sebuah berita.

2.3.3 Nilai Berita (Nilai Berita)
Editor Daily Telegraph, Max Hastings (Brighton & Foy, 2007)
pernah menyatakan bahwa : “pembaca (khalayak) tidak mempunyai ide
yang rasional mengenai apa yang mereka lakukan atau yang tidak
mereka inginkan dalam surat kabar mereka, mereka wakilkan dengan
mempekerjakan editor untuk memutuskan bagi mereka”. Artinya
keputusan untuk menentukan apa yang diberikan pada khalayak
sepenuhnya ditentukan oleh pihak di dalam media massa.
Konsep mengenai nilai berita pertama kali merujuk pada
sejumlah kriteria yang disampaikan oleh Johan Galtung dan Mari Ruge.
Keduanya berpendapat bahwa penyiaran perlu menciptakan hubungan
kultural dengan khalayaknya, jika tidak penyiaran hanya menjadi suatu
bentuk „noise‟ yang tidak berarti (Brighton & Foy, 2007: 7).
Kriteria Galtung dan Ruge yang diperkenalkan tahun 1965 antara
lain :
1. Relevance : apakah dampak terhadap khalayak potensial
2. Timeliness : apakah terjadi akhir-akhir ini?
3. Simplification : apakah dapat dijelaskan secara sederhana dan
lugas?
4. Predictability : apakah kejadian tersebut dapat diramalkan atau
direncanakan?

Universitas Sumatera Utara

25

5. Unexpectedness : apakah kejadian tersebut tidak biasa dan tidak
dapat direncanakan?
6. Continuity : apakah kejadian tersebut mrupakan perkembangn
baru dari peristiwa yang sudah ada sebelumnya?
7. Composition : apakah sesuai dengan media informasi tersebut
dimuat
8. Elite peoples : apakah subjek berita merupakan sosok terkenal?
9. Elite nations : apakah memperngaruhi negara kita atau negara
yang dianggap penting?
10.

Negativity : apakah berita buruk selalu menjadi berita

bagus bagi jurnalis?
Konsep ini diperkaya kembali oleh Galtung dan Ruge yang
kemudian menambahkan sejumlah kriteria baru bagi konsep awal nilai
berita (Brighton & Foy, 2007: 7) :
1. Frequency : rentang waktu yang dibutuhkan bagi sebuah peristiwa
untuk terbuka
2. Amplitude : hingga sejauh mana ambang sebuah peristiwa luar
biasa dan tidak terduga
3. Clarity : semakin sedikit ambiguitas sebuah kejadian atau isu,
maka akan semakin diperhatikan oleh khalayak
4. Meaningfulness : relevansi kultural dan harmoni serta disharmoni
sosial sebuah peristiwa
5. Predictability : harapan akan terjadinya sebuah peristiwa, dapat
menjadi sebuah berita

Universitas Sumatera Utara

26

6. Continuum : satu kali sebuah peristiwa menjadi berita, maka hal
tersebut sudah mendapatkan momentumnya
7. Composition : relevansi secara internal antara item berita dengan
program atau media publikasinya.
Selanjutnya Denis MacShane (Brighton & Foy, 2007: 8),
seorang reporter BBC mencoba menyusun beberapa kriteria yang bisa
dipakai untuk menentukan apakah sebuah peristiwa layak dijadikan
sebuah berita berdasarkan pemahamannya sebagai jurnalis: 1) konflik;
2) kesulitan dan bahaya terhadap masyarakat; 3) keluarbiasaan
(keganjilan dan kebaruan); 4) skandal; 5) individualisme. Selanjutnya
tahun 2001, konsep Galtung dan Ruge kembali disempurnakan oleh
Tony Harcup dan Deirdre O‟Neill yang menyusun kriteria : 1) elit
penguasa; 2) selebriti; 3) hiburan; 4) kejutan; 5) berita baik; 6) berita
buruk; 7) besarnya peristiwa; 8) relevansi; 9) keberlanjutan 10) media
agenda. Harisson akhirnya merangkum pendapat sejumlah ahli tersebut
mengenai nilai berita : 1) ketersediaan gambar atau video (untuk
televisi); 2) dramatis, sensasional; 3) nilai kebaruan, 4) kesederhanaan
laporan; 5) skala besar; 6) unsur negatif (kekerasan, konfrontasi,
malapetaka); 7) tak terduga; 8) atau yang diharapkan; 9) relevansi /
makna; 10) peristiwa serupa; 11) program seimbang, 12) orang/negara
elit, 13) daya tarik kemanusiaan.
Dalam perkembangannya, aspek budaya dan sosiologis pun
menjadi pertimbangan dalam menentukan nilai sebuah berita. Salah
satu pemikiran yang cukup dikenal adalah pemikiran Stuart Hall. Hall

Universitas Sumatera Utara

27

membedakan istilah nilai berita „formal‟ dan nilai berita „ideologis‟.
Nilai berita formal versi Hall adalah (Brighton & Foy, 2007: 10) :
1) Linkage, apakah peristiwa berkaitan atau bisa dikaitkan dengan
peristiwa sebelumnya?
2) Recency, apakah peristiwa terjadi akhir-akhir ini?
3) Newsworthiness of event/person, haruslah memicu pertanyaanpertanyaan baru dan keingintahuan
Sedangkan

terkait

dengan

nilai

berita

ideologis,

Hall

mengkontraskan struktur dasar sebuah berita dan peristiwa yang
dilaporkan dengan „struktur dalam‟ yang tersembunyi. Struktur dalam
merupakan manifestasi dari nilai-nilai atau ideologi yang dianut atau
disepakati. Ini melibatkan apa yang disebutnya dengan „konsensus
pengetahuan‟ dunia yang memberikan kerangka bagi sebuah berita.
Terkait dengan pembahasan akan nilai-nilai ideologis yang menentukan
berita, juga muncul pendapat Young yang mengungkapkan adanya teori
manipulatif. Ini mengacu pada manipulasi agenda media secara sadar
yang dilakukan oleh pemilik media massa atau kekuatan kapitalisme
pasar. Namun Hall tidak sependapat dengan pandangan Young yang
melihat „konsensus pengetahuan‟ sebagai hasil konspirasi praktisi
media massa dengan para jurnalisnya.
Hall pun menambahkan penguatan pada sistem nilai berita :
1. Tekanan waktu di ruang redaksi, mengarah pada meningkatnya
kepercayaan terhadap „kejadian yang terencana‟

Universitas Sumatera Utara

28

2. Gagasan

mengenai

ketidakberpihakan,

keseimbangan

dan

objektivitas, mengarah pada semakin besarnya ketergantungan
akan „narasumber kredibel‟ yang dalam prakteknya hanya
memperkuat kekuatan yang sedang berkuasa.
Pandangan lain yang juga cukup berpengaruh disampaikan oleh
Herbert Gans dalam bukunya Deciding What‟s News tahun 1979 yang
menyebutkan aspek-aspek yang menentukan dan proses seleksi isu dan
peristiwa (Brighton & Foy, 2007: 11) :
1. Keputusan jurnalistik (journalistic judgement)
2. Permintaan organisasi (organisational requirements) : faktor rating
dan share yang mempengaruhi pengiklan, struktur dan hierarki
organisasi yang berpengaruh pada pemilihan berita.
3. Teori cermin (mirror theory) : gagasan bahwa jurnalisme dan
jurnalis menjadi cermin bagi alam
4. Determinasi eksternal (external determination) : melibatkan faktorfaktor seperti teknologi, ekonomi, ideologi, budaya, penonton dan
narasumber.

2.3.4 Konten Lokal (Local Content)
Nilai berita (news value) yang sama bisa saja diterapkan baik
oleh lembaga penyiaran publik maupun lembaga penyiaran swasta.
Namun satu hal yang menjadi keunggulan dari sistem penyiaran publik
Indonesia yang sudah memiliki jaringan di setiap daerah adalah konten
lokal dalam siarannya.

Universitas Sumatera Utara

29

Berdasarkan

hukum

yang

berlaku

secara

internasional,

pluralisme menjadi salah satu aspek penting dalam kebebasan
berekspresi dan menyatakan pendapat. Dengan demikian, konten lokal
dalam penyiaran yang mendukung keberagaman berekspresi akan
menjadi konsisten dengan kebebasan berekspresi. Setidaknya terdapat
beberapa hal mengenai konten lokal dalam penyiaran (Bhattacharjee,
2001) :
a. Bertujuan untuk mendukung pluralisme

Aturan konten lokal yang dijadikan sebagai alat kontrol pemerintah
yang justru melemahkan keberagaman adalah tidak sah, apalagi
bila dirancang untuk kepentingan media milik negara atau milik
swasta

yang cenderung membela pemerintah, juga untuk

menjauhkan media asing yang kritis terhadap pemerintah dan
pengusaha elit tertentu. Aturan ini juga tidak sah bila dijadikan alat
untuk menekan satu ras, etnis, agama, bahasa atau kelompokkelompok tertentu pada suatu negara.
b. Diterapkan melalui hukum yang layak

Aturan konten lokal harus diatur dalam regulasi sebagai bagian dari
aturan penyiaran. Regulator penyiaran pun harus adil dan bebas
kepentingan dalam melakukan pengawasan dan menegakkan
peraturan.
c. Realistis dan praktis, disesuaikan dengan sektor penyiaran tertentu
dan adanya kebutuhan khusus

Universitas Sumatera Utara

30

Kriteria-kriteria secara khusus bisa diterapkan sesuai dengan jenisjenis media penyiaran misalnya televisi dan radio; atau jenis
program seperti drama, film, dokumenter, program pendidikan,
program anak dan musik; atau menyesuaikan jenis produksi
misalnya produksi sendiri atau produksi independen.
d. Diimplementasian secara progresif

Penerapan aturan konten lokal dilakukan secara bertahap dan
meningkat

untuk

memberi

waktu

bagi

media

penyiaran

menyesuaikan diri dengan aturan tersebut. Bila dipaksakan secara
tegas justru akan melemahkan aturan itu sendiri, kelangsungan
hidup sektor penyiaran dan pluralisme.
Banyak negara yang telah menerapkan aturan yang melindungi
dan mendukung sektor penyiaran lokal dan program lokal. Pada negaranegara tersebut, kontrol secara lokal dan kepemilikan lokal sama
pentingnya dengan produksi siaran secara lokal untuk mendukung
pluralisme dan melindungi identitas, kesatuan serta kedaulatan bangsa.
Konten lokal secara umum didefinisikan sebagai program yang
dirancang dalam kontrol kreatif nasional sebuah negara (Bhattacharjee,
2001). Beberapa negara seperti Australia, Kanada maupun Afrika
Selatan menerapkan definisi yang berbeda-beda namun cukup
mendetail mengenai konten lokal. Misalnya di Australia diatur bahwa
„produser program haruslah seseorang warga negara Australia‟,
„setidaknya 50 persen pelaku yang muncul dalam tayangan adalah
warga negara Australia‟, atau „tayangan diproduksi di wilayah

Universitas Sumatera Utara

31

Australia‟ dan sebagainya. Aturan mengenai kuota konten lokal dalam
penyiaran pun bervariasi pada masing-masing negara.

2.3.5 Theories of Influences on Mass Media Content
Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam Mediating
The Message : Theories of Influences on Mass Media Content (1996)

menyebutkan terdapat sejumlah tingkatan faktor yang mempengaruhi
pengambilan keputusan di ruang redaksi dalam menentukan isi media,
yaitu : level individual, level rutinitas media, level organisasi, level
ekstramedia dan level ideologi.

Gambar 2.1
Theories of Influences on Mass Media Content

Sumber : Shoemaker & Reese, 1996: 60

Pada level individual pekerja media terdapat sejumlah hal yang
dapat mempengaruhi isi media, yaitu : 1) karakteristik, latar belakang
personal dan pengalaman komunikator, 2) latar belakang profesi dan
pengalaman komunikator, 3) aturan dan etika profesional komunikator,
4) sikap, nilai dan kepercayaan (agama) komunikator, 5) kekuatan
komunikator dalam organisasi media, dan 6) efek dari karakteristik,

Universitas Sumatera Utara

32

latar belakang, pengalaman, sikap, nilai, agama, aturan, etika dan
kekuasaan komunikator dalam isi media (Shoemaker & Reese, 1996 :
72).
Sementara itu pada tingkatan rutinitas media, ada tiga sumber
utama rutinitas yang menjadi semacam „paksaan‟ bagi media dalam
menyusun kontennya. Pertama, orientasi kepada audiens media.
Misalnya dalam hal nilai berita (news value) yang akan disusun
berdasarkan peristiwa mana yang paling menarik perhatian audiens.
Begitupun dengan tampilan seperti foto pada media cetak dan video
pada media televisi diusahakan bisa menarik audiens. Kedua, organisasi
media sebagai pemroses informasi (prosesor). Dalam redaksi telah
terbangun sistem kerja yang menjadi standar dan dipahami oleh semua
anggota. Misalnya penentuan berita sesuai ruang dan batas waktu media
dilakukan oleh seorang gatekeeper, penggunaan sistem pengkategorian
berita untuk memudahkan penyusunan, dan adanya sistem tenggat
waktu (deadline) untuk memaksa reporter bekerja sesuai jadwal,
skenario / cara reporter mencari data informasi dari narasumber. Ketiga,
sumber informasi eksternal. Pemberi informasi kepada media baik
dalam bentuk wawancara, laporan perusahaan dan data-data lain
ternyata juga membentuk rutinitas pada sebuah media. Misalnya, media
sangat bergantung pada narasumber yang bersedia memberikan
keterangan pada kasus-kasus besar yang sedang berjalan, atau adanya
strategi konferensi pers yang diatur humas untuk memberi kesempatan

Universitas Sumatera Utara

33

jurnalis mendapatkan gambar dan keterangan dari narasumber
(Shoemaker & Reese, 1996 : 105-123).
Tingkatan ketiga adalah pengaruh yang diberikan oleh
organisasi media. Misalnya struktur organisasi media, tidak hanya
struktur di dalam redaksi melainkan juga pada tingkatan yang lebih
tinggi bahkan hingga tingkat kepemilikan media. Kepemilikan pun akan
berimbas pada orientasi media, sebagian media bertujuan mencari
keuntungan, namun sebagian media lain ingin menghasilkan karyakarya berkualitas, pengakuan secara profesional atau bertujuan
melayani kebutuhan publik. Sosiolog media seperti Herbert Gans dan
Leon Sigal (dalam Shoemaker & Reese, 1996 : 139) menyatakan sangat
sulit untuk mempertemukan permintaan audiens dan pendapatan dari
iklan dengan kualitas sebuah peliputan. Dalam kasus lain bahkan
seringkali ditemukan peliputan peristiwa besar menjadi terhambat dan
tidak maksimal karena keterbatasan dana.
Tingkatan keempat adalah faktor-faktor di luar media yang
mempengaruhi konten media massa. Faktor-faktor tersebut antara lain
sumber-sumber informasi atau narasumber media seperti misalnya
kelompok-kelompok kepentingan khusus dan kampanye-kampanye
humas. Selain itu sumber pemasukan finansial media massa juga
memberi pengaruh seperti pengiklan, audiens, institusi bisnis,
pemerintah, lingkungan ekonomi dan teknologi. Media massa biasanya
memiliki narasumber-narasumber resmi terkait dengan institusi tertentu,
misalnya di pemerintahan dan kepolisian. Jurnalis percaya bahwa

Universitas Sumatera Utara

34

narasumber resmi memiliki hal-hal penting untuk disampaikan dan
media massa cenderung untuk menerima apa yang disampaikan
narasumber tersebut (Shoemaker & Reese, 1996: 172).
Tingkatan kelima adalah level ideologi. Pada level ini akan
timbul pertanyaan kepentingan siapa yang terkait dengan rutinitas dan
kerja media massa, kekuasaan dalam masyarakat dan bagaimana
kekuasaan tersebut berperan dalam media massa (Shoemaker & Reese,
1996: 215).

2.3.6 Ruang Publik (Public Sphere)
Pada dasarnya public sphere merefleksikan bahwa media massa
benar-benar menjadi a social institution yang mampu memfasilitasi
pembentukan opini dengan menjadi wadah independen untuk
perdebatan publik, dimana media tidak terkontrol oleh negara dan pasar
(capital owner).
Konsep mengenai public sphere (ruang publik) berasal dari
pemikiran Jurgen Habermas tahun 1962. Konsep ini merujuk pada
gagasan yang dikembangkan Habermas terhadap penggambaran
bourgeois public sphere di Inggris pada abad ke-17. Public sphere

dapat dipahami sebagai sebuah arena bagi kaum borjuis saat itu untuk
berdiskusi secara bebas dan rasional tanpa tekanan negara dan pasar.
Semua peserta diskusi ditempatkan secara sejajar untuk secara bebas
mengemukakan opini mereka untuk melakukan pengawasan terhadap
kebijakan negara. (Curran dalam Hidayat dalam Adhrianti, 2005).

Universitas Sumatera Utara

35

Hal ini muncul karena adanya perubahan kultur warga dalam
menanggapi regulasi maupun realitas politik abad ke-18, seiring dengan
semakin baiknya intelektualitas warga. Warga menjadi melek media,
memiliki akses terhadap karya-karya bermutu, kemudahan dalam
mendapatkan buku-buku sastra dan juga konsumsi terhadap jurnalisme
yang lebih kritis melalui berita yang dipublikasikan. Ruang publik ini
terpisah dari domain otoritas kekuasaan yang ada saat itu di Eropa.
Ruang publik bahkan saat itu diartikan sebagai kekuatan baru dalam
menyeimbangkan dan mengkritisi kebijakan yang merupakan produk
otoritas yang berkuasa (Nasrullah, 2012: 35).
Bila awalnya ruang publik secara historis muncul di tengahtengah masyarakat Eropa, akan tetapi ruang publik baru yang dikupas
oleh Habermas tidak hanya terjadi di warung kafe sebagaimana terjadi
di Inggris dan salon di Perancis, melainkan juga terjadi di ruang-ruang
baca maupun tempat-tempat pertemuan khusus dengan keterlibatan
warga yang jauh lebih berbeda secara komposisi, adanya debat yang
tidak berhenti pada debat kusir dan juga orientasi dari topik-topik yang
diangkat sebagai fokus debat.
Habermas

memunculkan

apa

yang

disebutnya

sebagai

„institutional criteria‟ yang dimaksudkan untuk memperjelas konsep
ruang publik (Nasrullah, 2012: 35-36). Kriteria yang pertama adalah
pengabaian terhadap status (disregard of status) atau lebih tepatnya
menjauhi

diskusi

kritis

tentang

status.

Ruang

publik

tidak

memperkarakan keinginan persamaan status dengan otoritas yang

Universitas Sumatera Utara

36

berkuasa, tetapi adanya kesempatan yang sama dalam mengungkapkan
atau mengkritisi sebuah realitas. Kriteria ini bukan pula upaya untuk
menciptakan publik yang setara di kafe, salon atau di antara anggota
perkumpulan. Ruang publik lebih menekankan adanya ide-ide yang
terlembagakan dan mendapatkan klaim secara objektif sehingga bisa
diterima oleh publik secara luas, yang jika tidak terealisasikan minimal
ide tersebut melekat secara sadar di benak publik.
Kriteria kedua adalah fokus pada domain of common concern.
Realitas historis menunjukkan bahwa beberapa domain hanya dikuasai
penafsirannya oleh otoritas yang berkuasa dan atau oleh kalangan
gereja. Padahal domain tersebut bisa dibincangkan dengan melibatkan
publik secara lebih luas. Filsafat, seni dan sastra yang diklaim hanya
boleh diinterpretasikan dan menjadi kewenangan eksklusif dalam
publisitas oleh kalangan gerejawi menjadi sesuatu yang bisa diakses
oleh publik. Karya-karya tersebut bukan lagi berada dalam kebutuhan
untuk bisa diakses, melainkan sudah menjadi komoditas yang
diperdagangkan oleh industri. Distribusi karya-karya tersebutlah yang
menjadi bahan diskusi kritis di ruang publik. Interpretasi menjadi lebi
beragam dan bisa berasal dari siapa saja dalam anggota ruang publik
tersebut.
Kriteria terakhir adalah inklusif (inclusivity). Betapa pun
ekslusifnya publik dalam kasus tertentu akan tetapi dalam ruang publik
ia menjadi bagian dari kelompok kecil tersebut. Ide-ide yang muncul
dari perdebatan khusus mereka pada dasarnya bukan menjadi milik

Universitas Sumatera Utara

37

mutlak anggota ruang publik, melainkan ketika disebarkan melalui
media maka publik dapat pula mengaksesnya. Isu-isu yang diangkat
sebagai bahan diskusi juga menjadi lebih umum karena setiap orang
bisa mengakses sumber-sumber yang terkait dengan isu tersebut. Setiap
orang di ruang publik pada dasarnya menemukan dirinya bukan sebagai
publik itu sendiri, melainkan seolah-olah menjadi juru bicara dan
bahkan sebagai guru dari apa yang dikatakan sebagai publik itu sendiri.
Habermas menyebutnya sebagai perwakilan atau bentuk

baru

representasi borjuis.
Jika ditarik kesimpulan sederhana, ruang publik Habermas
merupakan

ruang yang bekerja dengan memakai landasan wacana

moral praktis yang melibatkan interaksi secara rasional maupun kritis
dibangun dengan tujuan untuk mencari pemecahan masalah-masalah
politik. Walau karya Habermas fokus pada ruang publik masyarakat
borjuis, namun melalui batu loncatan inilah ruang publik bisa dipahami
sebagai ruang yang menyediakan dan melibatkan publik secara lebih
luas dalam mendiskusikan realitas yang ada.
Akan tetapi dalam praktiknya, konsep-konsep ideal akan ruang
publik tersebut tidak terwujud secara nyata. Akses untuk berpartisipasi
dalam

ruang publik tidak setara dan inklusif karena kepemilikan

properti menjadi syarat tak tertulis sebelum dapat berpartisipasi di
dalamnya. Orang-orang miskin dan tak berpendidikan secara faktual
tidak dapat memasuki diskusi dalam ruang

publik. Demikian juga

wanita diekslusikan darinya karena karakter patriarkal dari ruang publik

Universitas Sumatera Utara

38

memposisikan wanita di dalam ruang intim (intimate sphere) rumah dan
keluarga. Semua ini terkait dengan konsep manusia dalam ruang publik
yang sedemikian reduktif dan

restriktifnya karena terbatas kepada

kaum borjuis, yaitu pria kulit putih pemilik properti.
Konsep manusia juga “dimonopoli” oleh sosok kaum borjuis
karena mereka secara sepihak memandang diri mereka sebagai subyek
alami dari humanitas. Kepentingan mereka dalam mempertahankan
ranah pertukaran komoditas dan kerja sosial dengan demikian
sesungguhnya hanyalah mencerminkan kepentingan partikular yang
hanya dapat berlaku melalui penggunaan kekuatan kepada orang-orang
Jadi diskusi yang diselenggarakan di ruang publik justru hanya
merepresentasikan kepentingan parsial kaum borjuis.
Selain itu, ruang publik juga bersandar kepada asumsi yang
lemah tentang independensi dirinya dari negara. Pada kenyataannya
negara selalu mengintervensi ruang publik pada khususnya dan
masyarakat sipil pada umumnya, misalnya melalui kegiatan yudisial,
pemeliharaan ketertiban, menyediakan infrastruktur, dan bahkan juga
menjaga pasar dari intervensi itu sendiri melalui pemberian jaminan
akan hak-hak sipil, termasuk hak akan kepemilikan properti
(Thomassen dalam Prasetyo, 2012). Demikianlah maka sesungguhnya
ruang

publik

merupakan

konsep

yang

senantiasa

mengalami

ketegangan. Melalui tilikan atas kondisi empiris ini, ideal-ideal ruang
publik akan kesetaraan, inklusivitas, dan rasionalitas dipandang tak
lebih sebagai fiksi, kemunafikan, dan ideologi semata. Akan tetapi,

Universitas Sumatera Utara

39

dalam terang ideal tersebut, harapan akan transformasi ke arah yang
lebih progresif dan mendekati harapan normatif juga selalu dinyalakan.
Dalam kebebasan seperti sekarang ini, di mana orang sudah
diberikan

bahkan

dijamin

haknya

oleh

undang-undang

untuk

menyampaikan pendapatnya secara bebas tentu secara tidak langsung
telah memberi kontribusi bagi terwujudnya public sphere. Hanya saja,
untuk mengorganisasi, memobilisasi dan mensosialisasi opini tersebut
menjadi sebuah opini kolektif dan memiliki kekuatan real untuk
memonitor sekaligus mengkritisi kebijakan negara membutuhkan
mediator yang juga dapat dijamin independensinya dari himpitan pasar
dan negara. Mediator tersebut secara strategis akan menempatkan
media, baik cetak maupun elektronik menjadi pilihan bagi proses
pembentukan opini kolektif tersebut. Televisi, misalnya, diharapkan
mampu menempatkan diri sebagai salah satu elemen utama bagi
tegaknya public sphere dalam proses penyelenggaraan wacana publik.
Namun, di tengah arus neoliberalisme yang mengarah pada pemusatan
modal dan kepemilikan media, berbagai kalangan mulai pesimis
terhadap potensi dan prospek media massa komersial sebagai public
sphere (Hidayat dalam Adhrianti, 2005).

Gauthier (1997) menyatakan bahwa ruang publik dapat dilihat
sebagai ruang komunal dalam artian ruang ini milik seluruh warga
masyarakat yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara
bersama-sama dalam diskusi tentang kepentingan publik. Ruang ini
adalah sebuah ruang dimana individu menjalin diskusi dan saling

Universitas Sumatera Utara

40

bertukar pendapat sekaligus memungkinkan untuk meminta pertang
gungjawaban aparat negara. Dalam ruang ini pula justifikasi rasional
tentang pikiran dan tindakan tidak hanya diharapkan tapi juga
merupakan tuntutan. Ini merupakan institusi utama untuk membangun
kesepakatan.

2.3.7 Penyiaran Publik
British Broadcasting Company (BBC) merupakan bentuk
penyiaran publik pertama kali di dunia dan menjadi panutan bagi
lembaga penyiaran publik lain di seluruh dunia. Kebutuhan akan
kehadiran lembaga penyiaran publik bertolak dari keprihatinan
penggunaan media massa sebagai alat propaganda negara selama
Perang Dunia Pertama. Direktur Jenderal BBC yang pertama, John
Reith menyatakan bahwa penyiaran harus berjalan sebagai pelayanan
publik dengan standar tinggi dan kepedulian akan tanggung jawab
sosial (Debrett, 2010 : 34).
Istilah penyiaran publik atau public service broadcasting sendiri
tidak memiliki makna tunggal, melainkan tergantung pada konteks
situasi sosial politik tempat diskusi tentang penyiaran publik
berlangsung. Di negara tertentu terutama pada masa Perang Dingin,
penyiaran publik adalah penyiaran yang diasosiasikan dengan negara
dan dipakai sebagai instrumen pemerintah pusat. Ini misalnya terjadi di
negara-negara komunis atau Eropa Timur sebelum runtuhnya Tembok
Berlin. Artinya lembaga publik adalah lembaga negara dan dalam
pengendalian penuh pemerintah (Putra, 2006: 97).

Universitas Sumatera Utara

41

Sebaliknya pemaknaan terhadap penyiaran publik di sejumlah
negara barat adalah penyiaran yang dimiliki oleh negara namun dengan
pengelolaan yang bebas dari campur tangan negara atau pemerintah.
Jadi penyiaran publik memiliki otonomi relatif dari intervensi
pemerintah. Pendanaan untuk pengelolaannya berasal dari pemerintah,
tetapi stasiun penyiaran tidak bertanggungjawab secara langsung
kepada pemerintah melainkan kepada publik. Misalnya BBC di Inggris,
NHK di Jepang atau ABC di Australia yang meniru model BBC.
Di tempat lain semisal AS, penyiaran publik adalah penyiaran
komunitas. Penyiaran publik dibangun oleh dan dikelola oleh warga
komunitas sebagai bentuk alternatif terhadap penyiran komersial yang
cenderung mengabaikan warga komunitas dan minoritas. Bisa jadi
pemerintah

memberi

subsidi

untuk

operasionalnya,

namun

keredaksiannya independen bebas dari campur tangan pemerintah
(Putra, 2006: 98).
McQuail (2010 : 178) mendefiniskan lembaga penyiaran publik
mengacu pada sistem penyiaran yang didirikan berdasarkan hukum dan
biasanya didanai oleh publik, memberikan keleluasaan pada operasional
dan keredaksian namun harus melayani kebutuhan publik.
Pilihan terhadap penyiaran publik biasanya diambil dengan
pertimbangan bahwa penyiaran komersial yang beroperasi dengan
pendekatan pasar tak mampu menyediakan akses yang merata dan sama
terhadap warga masyarakat, mengingat kecenderungan penyiaran
komersial untuk memilih wilayah yang prospektif untuk penjualan

Universitas Sumatera Utara

42

produk pengiklan. Di samping itu penyiaran komersial cenderung
menyajikan informasi yang sudah terdistorsi kepentingan pemiliknya.
Penyiaran publik hadir sebagai alternatif untuk memecahkan persoalan
dikotomi antara negara dan modal.
Tidak ada teori yang berlaku umum terkait penyiaran publik.
Setidaknya

tujuan

penyiaran

publik

selalu

dikaitkan

dengan

kepentingan publik (McQuail, 2010) antara lain :
1) universality of geographic coverage, artinya jangkauan siaran dapat
diterima publik dalam wilayah geografi yang luas.
2) diversity in providing for all main tastes, interests and needs as
well as matching the full range of opinions and beliefs , artinya

konten siaran memiliki keberagaman yang dapat memenuhi banyak
kepentingan, tidak hanya menyediakan informasi bagi segelintir
pihak saja.
3) providing for special minorities, artinya memberikan perhatian
yang cukup pada kepentingan kelompok-kelompok minoritas
dalam masyarakat.
4) having concern for the national culture, language and identity,
artinya penyiaran mengutamakan kebudayaan nasional, bahasa dan
identitas nasional.
5) serving the needs of the political system, artinya konten siaran
diharapkan mampu memenuhi dan menunjang sistem politik yang
berlaku.

Universitas Sumatera Utara

43

6) providing balanced and impartial information on issues of conflict,
artinya prinsip netralitas diutamakan, seimbang dan tidak memihak
dalam menyoroti isu-isu dan konflik.
7) having a specific concern for „quality‟ as defined in different ways,
artinya kualitas menjadi perhatian utama dalam penyajian isi siaran
8) putting public interest before financial objectives, artinya
kepentingan publik diutamakan di atas kebutuhan finansial.
Tak jauh berbeda, dalam International Standards and Principles
yang umumnya berlaku di Eropa, terdapat sejumlah karakteristik atau
standar yang dimiliki oleh lembaga penyiaran publik, yaitu :
1. Universality, artinya siaran oleh lembaga penyiaran publik tersedia
dan bisa diakses oleh khalayak di wilayah yang menjadi jangkauan
siaran.
2. Diversity, artinya program penyiaran haruslah beragam termasuk
kualitas isi siaran, nilai-nilai edukasi dan informasi berbagai
macam isu bagi khalayak.
3. Independence from both the State and commercial interests, artinya
setiap program siaran disusun oleh lembaga penyiaran publik
berdasarkan sisi profesionalitas dan hak publik untuk mengetahui,
serta bebas dari tekanan kepentingan negara dan komersil.
4. Impartiality of programs, artinya tidak pantas bila lembaga
penyiaran publik menggunakan dana publik untuk mempromosikan
pandangan-pandangan tertentu, termasuk pandangan politik.

Universitas Sumatera Utara

44

5. Concern for national identitity and culture, artinya lembaga
penyiaran publik berperan membangun rasa nasionalisme, identitas
bangsa dan budaya.
6. Financed directly by the public, artinya pembiayaan berasal dari
publik.
Menurut Hermens Tahir (dalam Adhrianti, 2005) televisi publik
mengacu kepada sistem benefolent, dalam arti merupakan suatu
organisasi nirlaba yang dibentuk oleh publik, dimiliki oleh publik dan
dikontrol oleh publik.
Ketentuan siaran televisi publik bervariasi dari satu negara ke
negara lain, misalnya Hermens mengambil Resolusi Eropa 1996 :
1) Televisi publik mendukung terwujudnya masyarakat informasi,
sebagai agen pemersatu pluralisme berbagai kelompok dalam
masyarakat untuk pembentukan opini publik.
2) Televisi publik menyiarkan program siaran yang bermutu untuk
segala lapisan masyarakat.
3) Televisi publik mampu menciptakan standar kualitas program
sebagai tuntutan bagi khalayak.
4) Televisi publik mampu melayani kepentingan kelompok penduduk
minoritas.
5) Televisi publik menyiarkan informasi yang independen dan
objektif,

sehingga

menjadi

referensi

bagi

publik

dalam

mengantisipasi perubahan yang sangat cepat.

Universitas Sumatera Utara

45

6) Televisi publik berperan penting untuk mendorong pelaksanaan
debat publik dalam rangka mewujudkan demokrasi
7) Televisi publik menjamin bahwa masyarakat memperoleh akses
layanan yang menjadi kegemaran sebagian besar masyarakat.
Partisipasi publik menjadi ciri utama lembaga penyiaran publik
yang membedakannya dari jenis lembaga penyiaran yang lain, agar
tidak terjebak pilihan yang semu antara dua model “the falancy of the
two model choice” : sistem yang dirancang untuk memaksimalkan
keuntungan dan sistem yang terang-terangan berisi propaganda
pemerintah. Effendi Gazali dkk (2002:113) menyatakan terdapat empat
implikasi utama bagi hadirnya lembaga penyiaran publik :
a. Akses Publik
Lembaga penyiaran publik bersedia mendirikan stasiun atau
bersiaran di daerah-daerah yang umumnya tidak ingin didatangi
atau dijadikan wilayah siaran lembaga penyiaran komersial, karena
di daerah tersebut dianggap tidak memiliki potensi keuntungan
ekonomis.
b. Dana Publik
Lembaga penyiaran publik terutama beroperasi dengan dukungan
dana publik. Misalnya melalui dana publik yang dikelola oleh
pemerintah misal APBN dan APBD. Dana publik juga bisa berasal
dari aneka ragam kegiatan pencarian dana oleh lembaga penyiaran
bersama

publiknya

(fund

rising)

termasuk

menggunakan

kesempatan-kesempatan di dalam program penyiarannya seperti

Universitas Sumatera Utara

46

program iklan dan sponsor, asalkan kriterianya telah mendapat
semacam supervisi dari publik, lalu ditindaklanjuti dengan
akuntabilitas publik.
c. Partisipasi Publik
Lembaga penyiaran publik diharapkan bekerja sama seluasluasnya, mengundang serta menyambut keterlibatan publik,
khususnya melalui sebuah lembaga supervisi penyiaran publik pada
tingkat-tingkat yang relevan dengan keberadaan lembaga tersebut
(misal nasional atau daerah).
d. Akuntabilitas Publik
Ada dua poin utama, pertama lembaga penyiaran publik harus
mempertanggungjawabkan segala programnya dengan ukuran
moral

dan

tata

nilai

publik

yang

dilayaninya

(moral

accountability). Kedua, diwajibkan membuat laporan kebutuhan

maupun proses penggunaan uang kepada publik (finacial
accountability).

Partisipasi publik mengindikasi dua hal : keterlibatan dalam
memproduksi keluaran media (content-related participation) dan
partisipasi dalam membuat keputusan pengelolaan media (structural
participation). Bentuk partisipasi ini memungkinkan warga menjadi

aktif dalam sebuah ruang publik mikro yang relevan dalam kehidupan
keseharian mereka dan menerapkan hak komunikasi mereka. Lewat
partisipasi ini, mereka akan belajar dan mengadopsi pandangan dan
sikap demokratis yang selanjutnya akan memperkuat dan memperluas

Universitas Sumatera Utara

47

bentuk partisipasi. Sedangkan partisipasi lewat media, berkaitan dengan
peluang untuk ikut ambil bagian dalam perdebatan publik dan ekspresi
diri dalam ruang publik hingga memasuki ranah yang memampukan
dan mempermudah proses partisipasi dalam ruang lingkup yang lebih
luas (macro participation). Partisipasi ini menekankan pentingnya
dialog dan deliberasi serta memusatkan pada pengambilan keputusan
kolektif yang disandarkan pada argumen rasional ala Habermas. (Nico
Carpentier dalam Effendy, 2014).

2.3.8 Kebijakan Redaksi
Sudirman Tebba (dalam Nurhasanah, 2011) menyatakan bahwa
kebijakan redaksi merupakan pertimbangan suatu lembaga media massa
untuk memberikan atau menyiarkan suatu berita. Kebijakan redaksi
juga merupakan sikap redaksi suatu lembaga media massa terhadap
masalah aktual yang sedang berkembang. Kebijakan redaksi menjadi
prinsip sekaligus pedoman dalam memilih dan menyusun serta menolak
atau mengizinkan pemuatan sebuah berita.
Usman Kansong (dalam Nurhasanah, 2011) menyatakan bahwa
kebijakan redaksi adalah sebagai petunjuk arah, agar tidak melebar
kemana-mana, serta sebagai koridor yang membatasi, agar media tidak
melompat dari ideologi yang dianut. Artinya setiap media wajib
memiliki kebijakan redaksional sebagai pedoman keberadaan media
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

48

Tebba

juga

menambahkan

terdapat

sejumlah

dasar

pertimbangan bagi media untuk menyiarkan atau tidaknya suatu
peristiwa, diantaranya :
a) Ideologi. Pertimbangan ideologi media massa biasanya ditentukan
oleh latar belakang pendiri atau pemilik media massa tersebut, baik
latar belakang agama ataupun nilai-nilai yang dihayati seperti nilai
kemanusiaan, kebangsaan dan sebagainya.
b) Politik. Kehidupan pers merupakan salah satu indikator demokrasi.
Oleh sebab itu pers tidak pernah terlepas dari masalah politik.
Apalagi bila pemilik atau pemimpin media massa memiliki
kedekatan atau bahkan aktif dalam kegiatan politik praktis.
c) Bisnis. Pemilik media massa lebih melihat kepada pertimbangan
pasar sebagai sasaran, sehingga isi media diarahkan sesuai
segmentasi audiens agar lebih diminati.
Anwar Arifin (dalam Ama, 2013) menguraikan kebijakan
redaksi media massa lahir dari kepribadian berbeda sebagai refleksi dari
perbedaan seperangkat nilai yang dimiliki. Kebijakan redaksi dikenal
sehari-hari sebagai politik surat kabar. Secara umum media massa
memiliki kebijakan umum yang sama, misalnya kode etik jurnalistik,
menjunjung ideologi Pancasila dan menghindari hal-hal yang bersifat
SARA. Secara khusus, setiap media akan memiliki kebijakan redaksi
yang berbeda-beda. Hal ini tergantung pada sifat dan ciri khas yang
dimiliki media yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

49

Media-media besar di dunia terutama sejumlah televisi publik,
menyusun kebijakan yang sangat ketat terkait isi medianya. Seperti
misalnya BBC (British Broadcasting Company) Inggris dan ABC
(Australian Broadcasting Corporation) Australia. Pandangan-pandangan
dasar BBC yang pada akhirnya mempengaruhi konten siarannya adalah:
1) “Public fundings makes us different, artinya BBC bukan hanya
sekedar lembanga penyiaran, namun memiliki tujuan melayani
masyarakat; 2) “The best in business”, artinya BBC memiliki standar
untuk menghasilkan penyiaran terbaik di seluruh dunia karena terbebas
dari kepentingan-kepentingan seperti iklan dan tekanan lain yang bisa
membatasi; 3) ”Part of the British way of life”, artinya BBC melayani
kepentingan nasional secara menyeluruh; 4) “Defending a great
heritage”, artinya BBC menjadi penjaga warisan penting penyiaran
(Küng-Shankleman, 2003, 78-82).
Begitupun dengan ABC Australia, yang memiliki kebijakan
redaksi yang disusun secara mendetail dalam 13 prinsip dan standar,
yaitu : 1) independensi, integritas dan tanggungjawab; 2) akurasi; 3)
koreksi dan klarifikasi; 4) imparsialitas dan perbedaan perspektif; 5)
keadilan dan kejujuran; 6) privasi; 7) bahaya dan pelanggaran; 8) anak
dan orang muda; 9) akses dan partisipasi publik; 10) pemberitahuan
mengenai program dan aktivitas ABC; 11) larangan iklan dan
sponsorship; 12) referensi komersial; dan 13) kerjasanma dan

pendanaan pihak luar. Masing-masing prinsip ABC diuraikan secara

Universitas Sumatera Utara

50

terperinci untuk menjaga standar penyiaran ABC sebagai lembaga
penyiaran publik di Australia (ABC, 2011: 3-21).
TVRI juga memiliki seperangkat kebijakan terkait keberadaannya
sebagai lembaga penyiaran publik yang disusun oleh Dewan Pengawas
TVRI. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menjadi pedoman dalam
mengelola dan melaksanakan transformasi TVRI berdasarkan visi, misi
dan nilai-nilai dasar yang telah diterapkan. Berdasarkan ketentuan isi
siaran, pembuatan program siaran baik untuk siaran lokal, nasional,
regional maupun siaran internasional TVRI harus berdasarkan (LPP
TVRI, 2012: 20) :
a) Pembuatan program siaran wajib memperhatikan aspek-aspek
sosial, budaya dan kepublikan dari setiap program acara siaran;
b) Pembuatan program siaran wajib memperhatikan faktor sensitivitas
terhadap isu SARA dan potensi konflik, sekaligus melindungi dan
memajukan hak asasi manusia, kesejahteraan dan kedamaian yang
mendasarkan pada kearifan lokal dalam rangka mendorong
solidaritas sosial dan memperkuat modal sosial (social capital).
c) Pembuatan program siaran didasarkan pada hasil riset penonton/
pengguna layanan, segmentasi program siaran/ layanan;
d) Pembuatan program siaran wajib memperhatikan faktor-faktor
kompetisi televisi dan/atau teknologi informasi meliputi isi siaran
(program content), waktu tayang (program layout), struktur acara
(program structure), kemasan acara (program montage), promosi

Universitas Sumatera Utara

51

acara

(program

promotion),

kualitas

audio-video

serta

perkembangan teknologi.
Secara lebih khusus, kebijakan TVRI sebagai lembaga
penyiaran publik juga mengatur masalah muatan atau isi siaran (LPP
TVRI, 2012: 21), yaitu :
a) Mempertimbangkan faktor-faktor budaya, norma, nilai-nilai dan
mencerminkan terwujudnya