Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013) Chapter III V

41

BAB III
PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA TIRKAH
(HARTA PENINGGALAN) MENURUT HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan mengatur tentang penyelesaian hak dan kewajiban sebagai
akibat meninggalnya seseorang. Dalam perkembangannya sampai saat ini, para ahli
hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum, belum ada
keseragaman istilah maupun pengertian tentang hukum kewarisan. Istilah yang
beranekaragam tersebut dapat dilihat dari penggunaan istilah para ahli hukum seperti,
Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah hukum warisan93, Soepomo yang
menyebutnya dengan istilah hukum waris94 dan Hazairin yang menggunakan istilah
hukum kewarisan95 sebagaimana juga digunakan dalam penelitian ini.
Hukum kewarisan yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih
belum merupakan suatu unifikasi hukum. Pluralisme hukum kewarisan di Indonesia
dilatarbelakangi oleh keanekaragaman sistem kekeluargaan maupun adat-istiadat
masyarakat.96Hukum kewarisan yang berlaku di Indonesiaada 3 (tiga), yaitu hukum
kewarisan adat, hukum kewarisan Barat maupun hukum kewarisan Islam.97
Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris


93

Eman Suparman, Op.Cit., hal.1
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta : Penerbitan Universitas, 1996), hal.72
95
Eman Suparman, Op.Cit., hal.1
96
Ibid., hal.6
97
Ibid., hal.8

94

41

Universitas Sumatera Utara

42


sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Hukum kewarisan
khususnya hukum kewarisan Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian
warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.98
Hukum kewarisan Islam dianggap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
setiap muslim. Hukum kewarisan Islam dianggap sebagai compulsory law
(dwingentrecht) yakni hukum yang berlaku secara mutlak dan baku.99Hukum
kewarisan Islam sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal tersebutdisebabkan karena
dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan
dalam Al Qur’an. Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda
dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya. Pembagian itu lazim disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah
pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.100
Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir
“ketentuan”. Dalam istilah syara’ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah
ditentukan bagi ahli waris.101Hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih
yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar

98


Ahmad Rofiq , Hukum Islam Indonesia, 1995, Op.Cit., hal.355
Aminullah HM., Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan dalam Semangat Reaktualisasi
Ajaran Islam, dalam Munawir Sjadzali, dk., Polemik Reaktualisasi (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1998),
hal. 164
100
Mohammad Rifai, Ilmu Fiqih Islam, (Semarang : CV Toha Putra, 1978), hal.513
101
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta Selatan : Pena Pundi Aksara, 2006), hal.479
99

Universitas Sumatera Utara

43

sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib
diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.102
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain
atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats.Makna Al-miirats menurut
istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa

harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syari’i.103
Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum
Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan
dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya yang masih hidup.104
Pemaparan secara lebih mendalam mengenai sumber hukum kewarisan Islam,
ada baiknya didahului dengan uraian defenisi sumber hukum secara umum.Sumber
hukum didefenisikan sebagai segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan
hukum. Sumber hukum dapat juga disebut asal mulanya hukum, menimbulkan aturan
yang bersifat memaksa dan mengikat, jika melanggar akan mendapatkan sanksi yang

102
http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/, diakses pada tanggal 20
September 2015
103
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani
Press, 1995), hal.33
104

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.4

Universitas Sumatera Utara

44

tegas dan nyata.105Sumber hukum juga sering didefenisikan sebagai bahan-bahan
yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara.106
Sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum formil dan
sumber hukum materil, dimana para ahli memberikan defenisi yang berbeda-beda
terhadap kedua jenis sumber hukum tersebut. Uthrecht berpendapat bahwa sumber
hukum materil merupakan perasaan hukum atau keyakinan hukum individu dan
pendapat umum (public opinion) yang menjadi faktor penentu dari isi hukum
(determinant materiil).107
Dalam literatur yang lain, diuraikan bahwa sumber hukum dalam arti materiil
merupakan sumber berasalnya substansi hukum. Salmon dan Bodenheimer
berpendapat bahwa sumber hukum materiil merujuk kepada hukum yang tidak dibuat
oleh organ negara, yaitu berupa kebiasaan, perjanjian dan lain-lain.108
Sumber hukum materiil merupakan tempat darimana materi hukum diambil.
Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum,

misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi
(pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalu intas),
perkembangan internasional dan keadaan geografis.109Pada umumnya sumber hukum

105

Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab, Cet-II, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2005),hal.25
106
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009), hal.301
107
Dudu Duswara Macmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, (Bandung : Refika
Aditama, 2010), hal.77
108
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit.,hal.304
109
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty,
2005),hal.83

Universitas Sumatera Utara


45

materil berupa aneka gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat yang telah
menjelma menjadi suatu peristiwa.110
Di samping sumber hukum materiil, terdapat pula sumber hukum formil.
Menurut Uthrecht, sumber hukum formil (determinant formal) merupakan sumber
yang

menentukan

berlakunya

hukum

(formele

determinanten

van


de

rechtsvorming).111 Dalam sumber hukum formil terdapat berbagai aturan yang
merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan agar ditaati oleh masyarakat dan
penegak hukum. Sumber hukum formil dapat dikatakan juga sebagai causa efficient
hukum.
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu
peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal tersebut berkaitan dengan bentuk atau
cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.112Sumber hukum
merupakan sumber berasalnya kekuatan mengikat dan validitas suatu hukum. Sumber
tersebut tersedia dalam formulasi-formulasi tekstual yang berupa dokumen-dokumen
resmi yang dibuat oleh negara113 dan memiliki bentuk-bentuk tersendiri yang secara
yuridis telah diketahui berlaku umum.114
Sumber hukum dalam arti formil secara umum dapat dibedakan menjadi115:
1.

Undang-undang

110


Ridwan Halim, Op.Cit.,hal.25
Dudu Duswara Macmudin, Op.Cit., hal.78
112
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal.83
113
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal.305
114
Ridwan Halim, Op.Cit.,hal.25
115
Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa,(Bandung : Refika Aditama, 2010),

111

hal.79

Universitas Sumatera Utara

46


2.

Kebiasaan dan adat

3.

Traktat atau perjanjian atau konvensi internasional

4.

Yurisprudensi

5.

Pendapat ahli hukum terkenal
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa sumber hukum dapat

diartikan sebagai116:
1. Sebagai asas hukum, yaitu sebagai sesuatu yang merupakan permulaan
hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya

2. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum
yang sekarang berlaku
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlakunya secara formal
kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat)
4. Sebagai sumber darimana dapat mengenal hukum misalnya dokumen,
undang-undang, lontar, batu bertulis dan sebagainya
5. Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum
Defenisi hukum kewarisan Islam dan sumber hukum secara umum,
memberikan pemahaman bahwa sumber hukum kewarisan Islam dapat diartikan
sebagai sumber dimana dapat ditemukan peraturan yang mengatur tentang
perpindahan hak milik atas harta peninggalan (tirkah) seseorang yang telah
meninggal serta dasar mengikatnya peraturan tersebut.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, hukum kewarisan Islam yangberlaku di
Indonesia masih pluralisme dan belum diunifikasi, yang terdiri dari hukum kewarisan
adat, hukum kewarisan Barat dan Hukum Kewarisan Islam. Hal tersebut berkaitan
erat juga dengan beranekaragamnya sumber hukum kewarisan masing-masing.

116

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal.82

Universitas Sumatera Utara

47

Sumber hukum kewarisan adat berasal dari adat istiadat pewaris dan hukum
kewarisan Barat berdasarkan pada KUH Perdata.
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam
hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain,
misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga.117Dalam redaksi yang lain, Hasby
Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli
waris dan cara-cara pembagiannya.
Menurut

Syamsul

Rijal

Hamid

bahwa

pengertian

warisan

adalah

berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan
dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih
hidup.118Warisan itu menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian
penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat
itu meninggal dunia.119
Dalam hukum kewarisan Islamdikenal terdapat beberapa syarat terjadinya
waris atau disebut juga rukun waris, yaitu :
1.

Pewaris benar-benar telah meninggal atau dengan keputusan hakim dinyatakan
telah meninggal misalnya orang yang ditangkap dalam peperangan dan orang
hilang (mafqud) yang telah lama meninggalkan tempat tanpa diketahui

117
R.Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya : Airlangga University
Press), hal.3
118
Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor : Cahaya Salam, 2011), hal.366
119
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1991),
hal.11

Universitas Sumatera Utara

48

ihwalnya.120 Syarat matinya pewaris mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru
disebut pewaris jika telah meninggal dunia, sehingga jika seseorang
memberikan harta kepada ahli warisnya ketika masih hidup, maka itu bukan
waris.121
Kematian pewaris dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu122 :
a.
b.

c.

2.

Mati sejati (haqiqy), yaitu kematian yang dapat disaksikan oleh panca
indera
Mati menurut putusan hakim (mati hukmy), yaitu kematian yang
disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup atau telah
mati.
Mati menurut dugaan (taqdiry), yaitu kematian yang didasarkan pada
dugaan yang kuat bahwa orang tersebut telah mati.

Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal atau dengan
keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal. Dalam
keadaan ada dua pewaris yang saling mewaris satu sama lain meninggal dalam
waktu yang sama dan tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal, maka di
antara keduanya tidak ada saling mewarisi.123

3.

Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan
kata lain benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris mempunyai hak waris.124

4.

Tidak ada halangan waris. Halangan waris dapat berupa perbedaan agama antara
pewaris dan ahli waris, pembunuhan dan menjadi budak orang lain.125Di

120

M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.26
Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, 2002, Op.Cit., hal.5
122
Fatchur Rahman, 1981, Op.Cit., hal.79
123
M.Hasballah Thaib, Op.Cit.,hal.26-27
124
Ibid.

121

Universitas Sumatera Utara

49

samping itu, halangan waris juga dapat berupa hijab, dimana hijabmerupakan
keadaan dimana seorang ahli waris terhalang untuk menerima warisan,
disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari
padanya.126Hijab terdiri atas 2 (dua) macam, yakni hijab nuqshaan dan hijab
hirman.127
Ahli waris merupakan sekumpulan orang-orang atau individu atau himpunan
kerabat atau keluarga yang berhak menerima harta tirkah (harta peninggalan) yang
ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal.128 AhliWaris
(Al Waarits) merupakan orang yang berhak mewaris karena hubungan
kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.129
Orang – orang yang merupakan ahli waris, dapat berupa130 :
1.
2.
3.
4.

Anak-anak beserta keturunan, baik laki-laki maupun perempuan
Orangtua, ibu dan bapak beserta mawali/pengganti dari orangtua bila
tidak ada orangtua lain
Saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan dan
suami-istri
Jika bukan merupakan ahli waris sebagaimana dimaksud poina sampai
dengan c, maka harta tirkah (harta peninggalan) tersebut diserahkan
kepada Baith’al Mal (baitul maal).

125

Ibid.
Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit., hal .59
127
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.500
128
Idris Ramulyo, Op.Cit., hal.47
129
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Op.Cit., hal.46
130
Idris Ramulyo, Op.Cit., hal.47

126

Universitas Sumatera Utara

50

Bayi yang masih berada dalam kandungan walaupun masih berupa janin,
apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka
si janin tersebut merupakan ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan
setelah dilahirkan. Batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas
minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan penting untuk diketahui
untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.131 Ahli waris yang
beragama Islam yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam.
Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau
anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari ayahnya atau lingkungan
sekitar bayi tersebut.61
Menurut Pasal 171 huruf c KHI, ahli waris adalah orang pada saat pewaris
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.
Seseorang merupakan ahli waris disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu132 :
1. Hubungan keturunan atau nasab, yang dapat diketahui dari AlQuran yaitu
Surat An-Nisa 4 Ayat 7 yang artinya bagi laki-laki ada bahagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan ada pula
bahagian harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut pembagian yang telah ditetapkan. Ahli waris
berdasarkan keturunan antara lain bapak, ibu, anak, datuk, nenek, cucu dan
lain-lain
131
132

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., hal.29
Mukhlis Lubis, Op.Cit., hal.14-15

Universitas Sumatera Utara

51

2. Hubungan nikah (perkawinan), yaitu suami atau istri walaupun belum pernah
berkumpul atau telah bercerai tetapi masih dalam masa ‘iddah talak raj’l
(talak rujuk) sebagaimana dapat diketahui dari AlQuran Surat An-Nisa 4 ayat
11 dan 12
3. Hubungan wala’ yaitu hubungan antara bekas budak dan orang yang
memerdekakannya apabila bekas budak tersebut tidak mempunyai ahli waris
yang berhak menghabiskan seluruh harta tirkah (harta peninggalan).
Ahli waris karena hubungan wala’ dapat diketahui dari kedua Hadits berikut,
yaitu :
“barangsiapa yang memerdekakan seorang hamba, maka ia berhak mendapat
pusaka dari hamba itu, kalau hamba itu tidak meninggalkan ahli waris
‘ashabah laki-laki”, dan
“bahwa seorang bekas hamba milik Hamzah wafat dan meninggalkan
seorang anak perempuan dan seorang anak perempuan Hamzah (anak
Hamzah), maka Nabi SAW memberikan kepadanya sebagian harta dan
sebagian lagi kepada anak Hamzah’ (Daruquthni)
Dalam suatu keadaan dan peristiwa tertentu, dapat terjadi kemungkinan yang
menyebabkan ahli waris untuk tidak dapat menerima hak warisnya. Hal tersebut
dapat terjadi oleh karena perbuatan yang dilakukannya dan kedudukannya sebagai
ahli waris jika dibandingkan dengan kedudukan ahli waris lainnya dalam sistem
hukum kewarisan Islam.
Penyebab halangan mewaris dalam hukum kewarisan Islam dapat dibedakan
atas 2 (dua), yaitu :
1.

Mahrum (yang diharamkan) / Mamnu’ (yang dilarang) :
Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan

gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan
pewaris.133Ahli waris yang terkena halangan ini disebut mahrum atau mamnu’.
Dalam hukum kewarisan Islam ada 3 (tiga) penghalang mewaris, yaitu :
a. Pembunuhan
133

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Op.Cit., hal.30

Universitas Sumatera Utara

52

Pembunuhan
menyebabkan

yang
ahli

dilakukan
waris

ahli

tersebut

waris

terhadap

terhalang

pewarisnya

haknya

untuk

mewarisi.134Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membunuh seorang
korban, maka ia tidak berhak mewarisinya, meskipun korban tidak
mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau
anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan.”135
Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis, yaitu136:
1). Pembunuhan langsung (mubasyarah), dibedakan menjadi empat, yakni
pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja,
pembunuhan yang dipandang tidak sengaja.
2). Pembunuhan tidak langsung (tasabub), misalnya pembunuhan tidak
langsung yang dilakukan seseorang dengan membuat lubang di
kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang
tersebut dan meninggal dunia.
Menurut para ulama Hanafiyah, pembunuhan langsung merupakan
penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung bukan
penghalang untuk mewaris.137
b. Berbeda agama
Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris,
misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama
Kristen, atau sebaliknya.138 Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat apabila

134

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 1995, Op.Cit., hal.404
Ibid.
136
A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti,1995), hal.12
137
Ibid.
138
A.Rachmad Budiono, Op.Cit., hal.12
135

Universitas Sumatera Utara

53

seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisandilakukan,
maka ahli waris tersebut tidak terhalang untuk mewarisi, karena status
berlainan agama sudah tidak ada sebelum harta warisan dibagi. 139
c. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiannya tetapi karena status formalnya sebagai hamba

sahaya

(budak). Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya
Islam sangat menganjurkan agar setiap budak dimerdekakan.140
Menurut Pasal 173 KHI, seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum
karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau melakukan
penganiayaan berat terhadap pewaris
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
2.

Hijab
Hijab adalah keadaan dimana seorang ahli waris terhalang untuk menerima

warisan, disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari

139
140

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Op.Cit., hal.37
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

54

padanya.141Hijab terdiri atas 2 (dua) macam, yakni hijab nuqshaan dan hijab
hirmani yang diuraikan sebagai berikut142 :
a. Hijab nuqshan merupakan keadaan dimana warisan salah seorang ahli waris
berkurang karena adanya orang lain. Hijab nuqshan ini berlaku pada lima
orang berikut :
1. Suami terhalang dari ½ bagian menjadi ¼ bagan apabila ada anak;
2. Istri terhalang dari ¼ menjadi 1/8 apabila ada anak;
3. Ibu terhalang dari 1/3 menjadi 1/6 apabila ada keturunan yang mewarisi;
4. Anak perempuan dari anak laki-laki;
5. Saudara perempuan seayah;
b. Hijab hirman atau hijab penuh merupakan keadaan dimana semua warisan
seseorang terhalang karena adanya orang lain.143
Hijab hirman ditegaskan dari dua asas berikut ini, yaitu :144
1). Setiap orang lain yang mempunyai hubungan dengan pewaris, dimana
dengan adanya orang lain tersebut maka ahli waris tidak menerima
warisan misalnya, anak laki laki dari anak laki-laki tidak menerima
warisan bersama dengan adanya anak laki-laki. Hal tersebut dikecualikan
jika anak anak laki-laki berasal dari ibu maka anak laki-laki tersebut
mewarisi bersama dengan ibu, padahal mempunyai
hubungan
denganpewaris (mayit)
2). Setiap orang yang lebih dekat didahulukan atas orang yang lebih jauh,
maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki.
Jika keduanya dalam derajat yang sama, maka diseleksi dengan kekuatan
hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki sekandung
menghalangi saudara laki-laki sebapak. Hijab Hirman tidak berlaku bagi
semua ahli waris. Ahli waris yang tidak terkena hijab hirman yaitu anak
kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami dan istri.
Hijab Hirman dapat dikenakan pada beberapa ahli waris diantaranya145:

141

Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit., hal .59
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.500
143
Ibid.
144
Ibid.
145
Ibid.
142

Universitas Sumatera Utara

55

1). Kakek terhalang karena adanya bapak dan juga oleh kakek yang lebih
dekat dengan pewaris
2). Saudara kandung laki-laki terhalang karena adanya bapak dan keturunan
laki-laki yaitu anak,cucu,cicit dan seterusnya.
3). Saudara laki-laki sebapak terhalang karena adanya saudara kandung lakilaki dan/atau saudara kandung perempuan yang menjadi ‘ashabah ma’al
ghair dan/atau adanya bapak serta keturunan laki-laki (anak,cucu,cicit
dan seterusnya)
4). Saudara laki-laki dan perempuan seibu terhalang oleh pokok (ayah,
kakek dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
5). Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki terhalang oleh adanya anak lakilaki dan juga jika ada cucu yang paling dekat (lebih dekat)
6). Nenek (dari bapak ataupun dari ibu) terhalang oleh adanya ibu
7). Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) terhalang oleh karena adanya
anak laki-laki, baik cucu tersebut hanya satu orang atau lebih.
8). Saudara kandung perempuan terhalang oleh adanya ayah, anak, cucu,
cicit dan seterusnya yang laki-laki.
9). Saudara perempuan seibu baik laki-laki atau perempuan terhalang oleh
adanya sosok laki-laki (ayah, kakek dan seterusnya)
10). Saudara perempuan seayah karena adanya saudara perempuan (jika
menjadi ashabah maal ghair), juga terhalang oleh adanya ayah dan
keturunan (anak cucu, cicit dan seterusnya) yang laki-laki.
Berdasarkan uraian tentang mahrum dan hijab tersebut di atas, maka antara
mahrum dan hijab dapat dibedakan. Mahrum dan hijab memiliki beberapa
perbedaan, yaitu146 :
1. Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang
membunuh pewaris, sedangkan hijab berhak mendapatkan warisan, tetapi
dalam keadaan terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama untuk
mendapatkan warisan;
2. Mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka tidak
menghalanginya sama sekali, bahkan dianggap seperti tidak ada, misalnya
apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan
seorang saudara laki-laki muslim, maka semua warisan tersebut dibagikan
kepada saudara laki-laki, sedangkan anak laki laki tidak mendapatkan apa-

146

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

56

apa. Keadaan tersebut berbeda dengan hijab, dimana keberadaan seseorang
yang terhijab dapat mempengaruhi orang lain.
Penyelesaian pembagian harta tirkah (Harta Peninggalan) adalah dimulai dari
melaksanakan kewajiban ahli waris. Dalam bentuk :
a. Tajhijsh jenazah (adalah segala pengurusan pemakaman, pengafanan,
pemandian, mensholatkan jenazah serta upacara yang diadakan oleh keluarga
si peninggal
b. Membayar hutang mayat
c. Mengembalikan titipan orang pada pewaris dan
d. Melaksanakan wasiat.
Setelah itu baru mengadakan pembahagian warisan menurut petunjuk alquran,
sunnah, dan kompilasi hukum islam indonesia.
B. Pembagian Harta Tirkah dalam Tinjauan Qur’an dan Hadis
Pelaksanaan syariat yang ditunjuk oleh nash yang sharih merupakan suatu
keharusanbagi umat Islam. Pelaksanaan waris berdasarkan hukum kewarisan Islam
bersifat wajib dilakukan.147 Ketentuan mengenai pembagian harta tirkah (harta
peninggalan) telah diatur secara jelas di dalam Alquran, akan tetapi di samping itu
terdapat ketentuanlain diatur juga dalam sumber hukum kewarisan Islam lainnya
berupa Ijma dan Ijtihad.
Ahli waris dapat dibedakan atas beberapa golongan. Penggolongan ahli waris
membedakan para ahli waris berdasarkan besarnya bagian waris dan cara
147

Otje Salman dan Mustofa Haffas,Hukum Waris Islam,(Bandung : Refika Aditama, 2006),

hal.3

Universitas Sumatera Utara

57

penerimaannya, dimana penggolongan ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman
atas para ahli waris dan bagian warisnya. Adapun penggolongan ahli waris tersebut,
yaitu :
1.

Golongan Aschabul Furudh148
Golongan Aschabul Furudh (AshabAl-furudh),merupakan golongan pertama
untuk diberikan bagian waris dimana bagiannya sudah ditentukan dalam
Alquran. Pembagian waris yang telah ditetapkan Alquran ada 6 (enam) yaitu 2/3
(dua per tiga), ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga)
dan 1/6 (seperenam).
Golongan Aschabul Furudh dibedakan atas dua macam, yaitu Aschabul Furudh
Is-sababiyyah dan Aschabul Furudh In-nasabiyyah. Janda (istri yang ditinggal
mati) dan duda (suami yang ditinggal mati) merupakan ahli waris yang
digolongkan dalam Aschabul Furudh Is-sababiyah karena adanya ikatan
perkawinan dengan si pewaris.
Golongan Aschabul Furudh In-nasabiyyah, merupakan golongan ahli waris
sebagai akibat hubungan darah dengan si pewaris, yaitu :
a. Leluhur perempuan terdiri dari ibu dan nenek
b. Leluhur laki-laki terdiri dari bapak dan kakek
c. Keturunan perempuan terdiri dari anak perempuan dan cucu perempuan
d. Saudara seibu terdiri dari saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki
seibu
e. Saudara sekandung/sebapak terdiri dari saudara perempuan sekandung dan
saudara perempuan sebapak.

2.

Ashabah
Menurut istilah para fuqaha, ashabah merupakan ahli waris yang tidak

disebutkan jumlah ketetapan bagiannya dalam Alquran dengan tegas. Ashabah
merupakan orang yang menguasai seluruh harta waris karena menjadi ahli waris
tunggal.149
Ashabah digolongkan menjadi tiga, yaitu150 :

148

Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002, Op.Cit.,hal.49
Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., hal.156
150
Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002, Op.Cit.,hal.52-53

149

Universitas Sumatera Utara

58

a. Ashabah binnafsih merupakan kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan
pewaris tanpa diselingi oleh perempuan, terdiri dari :
1). Leluhur laki-laki yaitu bapak dan kakek
2). Keturunan laki-laki yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki
3). Saudara sekandung/sebapak yaitu saudara laki-laki sekandung/sebapak
b. Ashabah bil-gahir merupakan kerabat perempuan yang memerlukan orang
lain untuk menjadi ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah,
yaitu :
1). Anak perempuan yang mewaris bersama dengan anak laki-laki
2). Cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki
3). Saudara perempuan sekandung/sebapak yang mewaris bersama dengan
saudara laki-laki sekandung/sebapak
c. Ashabah ma’al ghair merupakan kerabat perempuan yang memerlukan orang
lain untuk menjadi ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam
menerima ushubah, yaitu saudara perempuan sekandung dan saudara
perempuan sebapak yang mewaris bersama anak perempuan atau cucu
perempuan.
3.

Dzawil Arham
Dzawil Arham merupakan golongan kerabat yang tidak termasuk golongan

Aschabul Furudh dan Ashabah. Golongan kerabat ini berhak mewaris jika tidak ada
kerabat yang termasuk kedua golongan ahli waris tersebut.
Masing-masing ahli waris yang terdapat dalam golongan Aschabul Furudh
dan Ashabah, dalam kedudukannya memperoleh bagian waris masing-masing.
Adapun yang menjadi bagian waris dapat diuraikan sebagai berikut151 :
a.

Ahli Waris Utama
Ahli waris utama terdiri dari janda, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak
perempuan. Keberadaan salah satu pihak tidak menjadi penghalang bagi pihak
untuk menerima bagian waris, sehingga dalam keadaan bersama-sama masingmasing ahli waris menerima sebagaimana bagian waris yang telah ditentukan.
Janda, ibu dan anak perempuan menerima waris dengan bagian yang pasti,
anak laki-laki menerima waris dengan bagian yang tidak pasti(sisa) dan bapak
menerima waris dengan bagian yang pasti dan atau tidak pasti. Hal tersebut
151

Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002, Op.Cit.,hal.54-57

Universitas Sumatera Utara

59

menyebabkan dalam keadaan terdapat ahli waris anak laki-laki dan atau bapak
maka dapat dipastikan bahwa harta tirkah (harta peninggalan) akan habis dibagi di
antara para ahli waris utama dan para ahli waris pengganti tidak akan menerima
bagian waris.
Uraian bagian waris masing-masing ahli waris utama diuraikan sebagai berikut :
1). Janda
Di dalam hukum kewarisan Islam, bagian waris untuk janda laki-laki dengan
janda perempuan tidak sama. Janda perempuan memperoleh :
a). Janda perempuan memperoleh 1/8 bagian jika pewaris mempunyai anak
b). ¼ bagian jika tidak mempunyai anak
Janda laki-laki memperoleh :
c). ¼ bagian jika mempunyai anak
d). ½ bagian jika tidak mempunyai anak
2). Ibu mempunyai bagian :
1). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak
2). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai beberapa saudara
3). 1/3 bagian jika jika pewaris tidak mempunyai anak
3). Bapak mempunyai bagian :
1). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak
2). 1/6 bagian + sisa jika pewaris mempunyai anak perempuan
3). Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak
4). Anak perempuan mempunyai bagian :
1). ½ bagian jika sendiri
2). 2/3 bagian jika beberapa orang
3). Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mewaris bersama anak laki-laki.
5). Anak laki-laki
Anak laki-laki tidak memiliki bagian yang pasti, karena menerima waris
dengan jalan ushubah baik di antara sesama laki-laki atau bersama dengan anak
perempuan. Bagian anak laki-laki adalah :
a). Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mewaris bersama dengan anak lakilaki lainnya. (kedudukannya sebagai ashabah binnafsih)
b). Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mewaris bersama anak perempuan.
(kedudukannya sebagai ashabah bil-ghair)
b.

Ahli Waris Pengganti/Penggantian Tempat Ahli Waris
Istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti, secara harfiah

terdiri dari kata waris dan kalimat pengganti. Kata-kata ahli waris adalah mereka
yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewarisnya.152

152

Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 41

Universitas Sumatera Utara

60

Dalam kamus hukum disebutkan penggantian tempat ahli waris/ahli waris
pengganti adalah pengganti dalam pembagian warisan bilamana ahli waris tersebut
lebih dahulu meninggal dari pada si pewaris, maka warisannya dapat diterima
kepada anak-anak waris yang meninggal.153
Menurut Hazairin, cucu yang terlebih dahulu orangtuanya meninggal dunia
dari kakek dan neneknya, secara umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin)
dapat menggantikan kedudukan orangtuanya dalam memperoleh warisan secara
umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin) pula. Pemahaman Hazairin
tentang adanya penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti ini didasarkan
pada pemahaman kata mawali dalam Q.S An-Nisa (4) : 33, yaitu154 :
“Bagi setiap orang Allah SWT mengadakan mawali bagi harta peninggalan
orangtua dari keluarga dekat, dan jika ada orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.
Sesungguhnya Allah SWT menyaksikan segala sesuatu”.
Terjemahan Hazairin tersebut berbeda dengan terjemahan ulama pada
umumnya, termasuk terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia. Mawali
berasal dari bahasa arab dalam bentuk jamak (plural), mufradnya (singularnya) al
maula yang berarti al-malik-u wa al-sayyi-u : raja atau tuan, majikan, budak, yang
memerdekakan, yang dimerdekakan, pemberi nikmat, yang mencintai, teman
(sahabat), sekutu, tetangga, pengikut, tamu, anak laki-laki, paman, anak laki-laki
153

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : CV. Aneka Ilmu, 1977), hal. 320
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : Tintamas,
1982), hal.30
154

Universitas Sumatera Utara

61

paman, menantu, kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuan), kerabat yang
dekat secara mutlak.155
Menurut H.Toha Jahja Omar, kata mawali dalam Q.S An-Nisa (4) : 33 adalah
lafaz mujmal yang mufradnya maula yang mempunyai arti lebih dari satu, yaitu tuan
yang memerdekakan, budak yang dimerdekakan dan sahabat, lafaz mujmal perlu
kepada mubayyin. Mubayyin terdiri dari tiga, yaitu Al-Quran sebagai firman Allah
SWT, Sabda Rasul dan perbuatan Rasul. 156
Lafaz mawali dalam ayat itu sudah ada mubayyinnya, yaitu terdiri dari dua
kalimat, karena itu Q.S An-Nisa (4) ayat 33 harus dibaca, sebagai berikut :
Bagi tiap-tiap pewaris kami jadikan mawali, dari harta peninggalannya dan
mereka itu adalah dua ibu-bapak dan kerabat-kerabat yang terdekat. Al
Walidaini wa al-Aqrabuna bukan menjadi fa’il dari taraka, tetapi menerangkan
maksud al-Mawali, sedangkan fa’il dari taraka kembali kepada lafaz kullin yang
dalam hal ini pewaris.
Mahmud Yunus, setelah mengutip Q.S An-Nisa (4) ayat 33, menyebutkan
bahwa :

arti mawali (jamak maula) menurut bahasa banyak sekali, yaitu yang
mempunyai (tuan), budak, yang memerdekakan, yang dimerdekakan, halif,
tetangga, anak, anak paman, anak saudara perempuan, paman, dan lain-lain.
Tetapi bila kata itu disusun dalam satu kalimat, maknaya hanya satu, bukan
semua makna itu. Bahkan Mahmud Yunus, telah sepakat ahli tafsir, arti
mawali dalam ayat tersebut adalah anak atau ahli waris atau ashabah atau yang
mempunyai wilayah atas harta peninggalan, namun mereka berbeda pendapat
tentang tafsir ayat tersebut.157
155

Ramlan Yusuf Rangkuti, Fiqih Kontemporer di Indonesia (Studi tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia), (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2010), hal. 346
156
Toha Yahya Omar, Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964),
hal. 20
157
Mahmud Yunus, Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964),
hal.78

Universitas Sumatera Utara

62

Ahli tafsir sepakat arti mawali merupakan ahli waris, karena Q.S An-Nisa (4)
ayat 33 itu diterangkan oleh Q.S Maryam (19) : 5-6 bahwa mawali disebutkan
maknanya dengan ahli waris dan wali adalah awala. Demikian pula Q.S An-Nisa (4)
ayat 7 yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan (mawali bapak dan karibkarib yang terdekat). Berdasarkan penjelasan ayat terhadap ayat tersebut, maka
ulama tafsir sepakat bahwa mawali dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 33 itu maknaknya
adalah ahli waris.158
Berdasarkan Q.S An-Nisa (4) ayat 1 dan Q.S Al-Ahzab (33) ayat 6 yang
menyebutkan al-arham dan ulu al-arham, Hazairin menyimpulkan hubungan darah
menurut al-quran itu ada 4 (empat) macam, yaitu : walidan, aulad, aqrabun dan uli
al-qurba. Istilah walidan dan aqrabun secara khusus diartikan sebagai ahli waris,
tetapi kata-kata itu digunakan sebagai istilah hubungan kekeluargaan yang selalu
berarti hubungan dan hubungan tersebut selalu berupa hubungan timbal-balik.
Walidan dapat menjadi ahli waris bagi anaknya dan aqrabun dapat pula menjadi ahli
waris bagi sesama aqrabunnya. Berbeda dengan istilah ulu al-qurba, ditinjau dari
sudut kedudukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, maka jelas orang
tersebut bukan ahli warisnya tetapi masih sepertalian darah.
Hal tersebut berarti ulu al-qurba itu menurut Al-Qur’an sebagai hubungan
timbal balik yang tidak mungkin menjadi pewaris bagi sesama ulu al-qurbannya.
Berdasarkan uhal tersebut, dapat diketahui bahwa aqrabun dapat diartikan sebagai

158

Hazairin, Op.Cit., hal.26-27

Universitas Sumatera Utara

63

keluarga dekat yang dapat diwarisi sesamanya, sedang ulu al-qurba sebagai keluarga
jauh yang tidak mungkin saling mewarisi baik sebagai pewaris dan ahli waris.
Dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 33, Allah SWT memerintahkan agar
memberikan nasib (harta) pewaris kepada mawali si fulan (orang yang terlebih
dahulu meninggal dari pewaris). Dengan demikian, berarti mawali si fulan itu adalah
ahli waris yang akan memperoleh harta warisan, disamping adanya ahli waris lain,
seperti ayah dan ibu. Sebab itu, harta warisan wajib diberikan kepada mawali si
fulan, bukan kepada si fulan (yang lebih dahulu meninggal dari pewaris).
Pertanyaan muncul mengenai hubungan si fulan dengan pewaris (si mayit)
sehingga mawali si fulan itu ikut pula menjadi ahli waris terhadap si mayit (pewaris),
padahal si fulan itu sendiri tidak ikut menjadi ahli waris karena lebih dahulu
meninggal dari si pewaris. Hazairin menjelaskan bahwa si fulan itu tidak ahli waris,
karena prinsip umum Al-Quran menyatakan bahwa pewarisan itu terjadi didasarkan
kepada adanya hubungan pertalian darah antara si mayit dengan anggota keluarganya
yang masih hidup. Oleh karena itu si fulan adalah anggota keluarga yang telah
meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka tidak lagi sebagai ahli waris.
Adapun mawali si fulan tersebut menjadi ahli waris adalah merupakan
keturunan si mayit yang bukan status anak baginya. Hubungan si fulan dengan
mawali-nya bisa terjadi dalam 3 (tiga) jalur, yaitu : sebagai walidan (orangtua) dari
si mawali, atau aulad (anak) dari si mawali. Dengan demikian, dapat dipahami
mawali si fulan itu adalah keturunan dari si pewaris, meskipun bukan anaknya secara
langsung seperti halnya si fulan (anaknya yang terlebih dahulu meninggal daripada

Universitas Sumatera Utara

64

pewaris). Jadi hubungan si mawali dengan si pewaris adalah melalui anaknya yang
telah terlebih dahulu meninggal dunia. Karena itulah, mawali tersebut masuk dalam
istilah aqrabun (para keluarga dekat yang memperoleh warisan, selain kedua ibu
bapak). 159
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mawali itu adalah karena
penggantian, yaitu orang-orang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung
antara mereka dengan si pewaris.
Allah SWT menjadikan mawali bagi seseorang bukanlah sia-sia, tetapi
dengan maksud tertentu. Harta itu memang bukan untuk si fulan, karena telah
meninggal dunia terlebih dahulu sebelum sipewaris meninggal, tetapi bahagian yang
diperolehnya seandainya si fulan masih hidup pada saat si pewaris mewariskan harta
peninggalannya akan dibagi-bagikan kepada mawali-nya itu. Mawali tersebut bukan
sebagai ahli waris si fulan, tetapi sebagai ahli waris dari yang mewariskan kepada si
fulan tersebut, misalnya bapak atau ibu si fulan tersebut. Pengertian tersebut
tergambar bagi anak-anaknya yang telah meninggal terlebih dahulu. Bisa saja terjadi
pengertian lain, seperti seorang bapak atau ibu yang hanya diwarisi oleh mawali
untuk anak-anaknya yang semuanya telah meninggal terlebih dahulu.160
Ahli waris pengganti dalam Hukum Islam dapat ditinjau dari beberapa
perspektif, yaitu fiqih klasik dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana akan
diuraikan berikut ini :

159
160

Ibid.
Ibid.,hal.76

Universitas Sumatera Utara

65

1). Ahli Waris Pengganti dalam Konsep Fiqih Klasik
Konsep Fiqih klasik seperti as-Sarakhsiy dalam al-Mabsut, Imam Malik
dalam al-Muwatto, Imam Syafi’i dalam al-Umm dan Ibn Qudamah dalam al-Mugni,
tidak dikenal istilah ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris, tetapi
Syamsuddin Muhammad ar-Ramli dalam karyanya, mencatat161 :
a). Cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya, sedangkan
cucu dari anak perempuan tidak mungkin.
b). Cucu tersebut baru dapat menggantikan orangtuanya apabila pewaris tidak
meninggalkan anak laki-laki yang masih hidup.
c). Hak yang diperoleh pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang
digantikan tetapi mungkin berkurang.
Istilah ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris sesungguhnya
telah dikenal dalam hukum Islam, jadi kurang tepat apa yang ditulis oleh Wirjono
Prodjodikoro, bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal ahli waris pengganti.162
Tafsiran Wirjono Prodjodikoro tersebut sampai sekarang hampir merata dianut di
daerah-daerah yang pengaruh hukum Islam ada agak kuat, sehingga menimbulkan
kemungkinan persoalan, apakah penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti
ini diakui oleh masyarakat.
Muhammad Amin al-Asyi mencatat163 :
cucu dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-laki, hanya ia tidak mendapat
dua kali bahagian bersama anak perempuan. Cucu perempuan dari anak lakilaki adalah seperti anak perempuan, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya
anak laki-laki. Nenek perempuan adalah seperti ibu, hanya ia tidak dapat
161
162

Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit.,hal. 351
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet-V, (Bandung : Sumur, 1976), hal.

43
163

Muhammad Amin al-Asyi, Sistem Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, (Jakarta :
UI Depok, 1992), hal. 12

Universitas Sumatera Utara

66

menerima 1/3 atau 1/3 sisa. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat
menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara sebapak. Saudara laki-laki
sebapak adalah seperti saudara laki-laki seibu-sebapak, kecuali ia tidak
menerima dua kali banyaknya, bersama saudara perempuan sebapak. Saudara
perempuan sebapak adalah seperti saudara perempuan seibu-sebapak kecuali
ia terhalang dengan adanya saudara laki-laki seibu-sebapak.164
Berdasarkan pendapat Muhammad Amin al-Asyi diatas, dapat dipahami
bahwa istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti telah lama dikenal
dalam konsep fiqih klasik, hanya saja bentuk penggantiannya yang berbeda serta hak
ahli waris pengganti tidak sama dengan hak ahli waris yang digantikannya. Sebagai
contoh cucu dari pancar anak perempuan tidak mendapat bahagian warisan seperti
yang didapat oleh cucu pancar anak laki-laki.
2). Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disebutkan bahwa yang
dimaksud ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang
meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya sebagai ahli waris
dapat digantikan oleh anaknya, sebagaimana dapat diketahui dari isi Pasal 185 ayat 1
KHI, “ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam
Pasal 173.”
Anak dari yang seharusnya menjadi ahli waris yang meninggal lebih dahulu
dari pewaris sebagai ahli waris pengganti. Anak dari ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dari pewaris dapat menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris
164

Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit., hal. 352

Universitas Sumatera Utara

67

dengan syarat anak itu tidak terhalang menjadi ahli waris, seperti yang disebut dalam
pasal 173KHI.
Adapun isi Pasal 173 KHI tersebut, yaitu :
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan Hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena dipersalahkan telah
membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris dan
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
KHI juga mengatur bahwa bagian bagi ahli waris pengganti belum tentu
sama jumlahnya dengan ahli waris yang digantikan jika masih hidup, karena ada
disyaratkan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti.165
A. Sukris Sarmadi dengan memperhatikan ketentuan Pasal 185 KHI tersebut,
berpendapat bahwa :
Ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang
menggantikan kedudukan ahli waris, yang didalam situasi tertentu sama
pengertiannya Hazairin dan sistem pewarisan mawali, tetapi bersyarat, yakni
tidak boleh melebihi bahagian orang yang sederajat dengan orang yang
diganti, dan ada kemungkinan semakna dengan Syi’ah dalam hal
menggantikan kedudukan orang tua mereka, tetapi tidak terhijab dengan
orang yang sederajat dengan orang yang diganti.166
Berdasarkan pengertian diatas, yang dimaksud dengan ahli waris pengganti/
penggantian tempat ahli waris itu adalah ahli waris dari ahli waris yang diganti
(orang yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pada si pewaris). Itu berarti tidak
165

Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti, sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat 2 KHI
166
A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Cet-I,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1970), hal. 165-166

Universitas Sumatera Utara

68

hanya anak dari ahli waris yang telah meninggal terlebih dahulu, seperti yang tertera
di dalam Pasal 185 ayat 1 KHI.
Hal ini dapat dilihat dari penyamaan ahli waris pengganti/ penggantian
tempat ahli waris itu dengan ahli waris mawali menurut pendapat Hazairin, yaitu
mawali (ahli waris pengganti) adalah berupa nama yang umum dari mereka yang
menjadi ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris
karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.167
Istilah penghubung antara mawali dengan sipewaris ini bisa diartikan dengan
ahli warisnya, bila demikian halnya, maka dimungkinkan terjadi pada tiga arah
hubungan kekerabatan, yaitu hubungan ke bawah, ke atas, dan ke samping. Dengan
demikian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam KHI itu
disimpulkan mencakup tiga arah hubungan kekerabatan tersebut.
Imran AM. berpendapat bahwa sistem kewarisan yang dianut KHI adalah
sistem kewarisan bilateral sesuai dengan Q.S. An-Nisa (4): 7 dan 11, yaitu baik anak
laki-laki maupun anak perempuan, demikian juga cucu dari anak laki-laki maupun
cucu dari anak perempuan adalah sama-sama dinyatakan sebagai ahli waris. Berbeda
halnya dengan sistem kewarisan yang dianut Fiqih Sunni yang menyatakan bahwa
cucu dari anak perempuan dinyatakan tidak sebagai ahli waris (zawil arham),
sedangkan cucu dari anak laki-laki tetap sebagai ahli waris.168
Departemen Agama RI telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul
“Analisis Hukum Islam Bidang Kewarisan”. Didalam buku tersebut dinyatakan,
“Walaupun tidak bersifat memaksa, pencatuman ketentuan ini (ahli waris pengganti)

167

Hazairin, Op.Cit.,hal.132
A.M. Imran, Hukum Kewarisan dan Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam, Mimbar
Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 Tahun VII – 1996, (Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera
Islam, 1996), hal. 45
168

Universitas Sumatera Utara

69

di dalam Kompilasi Hukum Islam secara tidak langsung akan bersinggungan dan
mengubah banyak aturan didalam faraid (fiqih kewarisan Islam).”
Bila bahagian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sama
besarnya dengan bahagian ahli waris yang diganti (mawali), dimana kedudukan ahli
waris pengganti/penggantian tempat ahli waris sama dengan ahli waris yang diganti
dalam menerima bahagian harta warisan pewaris, maka demikian juga halnya
kedudukan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam masalah hijab
mahjub (mendinding dan didinding). Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli
waris itu akan menghijab setiap orang yang semestinya dihijab oleh orang yang
digantikannya. Hal ini berlaku umum, tanpa membedakan jenis kelamin ahli waris
pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu, apakah dia laki-laki atau perempuan.
Misalnya kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti, tanpa membedakan jenis
kelamin mereka ( laki-laki atau perempuan) dapat menghijab saudara.
Dalam Pasal 185 KHI, kata anak disebut secara mutlak tanpa keterangan
disebutkan laki-laki atau perempuan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa, jika ada
anak, tanpa membedakan laki laki dan perempuan, maka anak tersebut dapat
menghijab hirman (menutup total) terhadap saudara-saudara kandung ataupun
paman pewaris. Sedangkan menurut Fiqih Klasik (Sunni) yang berlaku di Indonesia
selama ini, kalau anak tersebut perempuan hanya dapat menghijab nuqsan
(mengurangi bagian ahli waris ashabah).169
Kata anak secara mutlak, tanpa membedakan laki-laki dengan perempuan,
seperti dalam KHI, nampaknya didasarkan kepada kajian kata walad yang tercantum
dalam Q.S.An-Nisa (4): 176. Dalam riwayat Ibn Jarir, diketahui makna kata walad
yang ada dalam ayat tersebut meliputi anak laki-laki dan anak perempuan, bahkan
169

Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit., hal. 358

Universitas Sumatera Utara

70

kata walad dalam ayat tersebut, bukan hanya dipergunakan dalam pengertian anak
tapi juga mencakup bapak. Hal ini didasarkan atas putusan Abu Bakar RA,
kemudian dianut oleh Jumhur Ulama. 170
Berdasarkan penafsiran ini, ayat diatas bisa berarti bahwa jika seorang
meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, bapak juga dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya. Jika dalam satu kasus, seseorang meninggal dan meninggalkan
ayah dan saudari perempuan, maka saudari perempuan itu tidak mewarisi sama
sekali, karena mahjub (terdinding) oleh bapak.
Hal tersebut disepakati ulama, dimana penggunaan kata walad untuk
pengertian anak sudah dijelaskan berdasarkan nas,

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan Anak Di Kala Kedua Orang Tua Masih Hidup (Putusan MA Tanggal 27 OktobeR 2004, NO. 1187 K/PDT/2000)

2 36 152

Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999)

0 55 136

Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya (Studi Di Balai Harta Peninggalan Medan)

16 122 164

TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 312 K/AG/2008 TENTANG SENGKETA HARTA PENINGGALAN ANTARA ANAK ANGKAT DENGAN SAUDARA KANDUNG ORANG TUA ANGKAT DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 0 1

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 1 19

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 0 2

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 0 24

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 0 16

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 0 8

Analisis Yuridis Hak Menjual Pemilik Tanah yang Berasal Dari Harta Bersama Chapter III V

0 4 43