Analisis Yuridis Hak Menjual Pemilik Tanah yang Berasal Dari Harta Bersama Chapter III V

67

BAB III
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI HARTA
BERSAMA DIMANA SALAH SATU PIHAK SUAMI
ISTERI MENINGGAL DUNIA
A. Pelaksanaan Pengalihan Harta Bersama atau Disebut Harta Gono Gini.
1.

Pengertian Harta Bersama atau Harta Gono Gini
Harta Bersama (gono gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang

diperoleh selama belangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari
hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta
bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha
salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun isteri mempunyai hak dan
kewajiban yang sama atas harta bersama hharus mendapat persetujuan kedua belah
pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan
kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga.
Sepanjang tidak diataur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian
maka masing-masing pihak isteri maupun pihak suami berkah atas separoh (seperdua)

dari harta bersama.
Menurut hukum perkawiann yang berlaku (Undang-Undang No 1 Tahun
1974) tentang perkawinan dan Kompilasi dan Kompilasi Hukum Islam), harta
kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam
harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan
demikian, pada dasarnya, harta bawaan isteri tetap menjadi milik isteri. Selain itu,

67

Universitas Sumatera Utara

68

mahar, warisan, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta
bersama.
Cara mudah mennetukan sebuah harta termasuk gono gini atau tidak yaitu
dengan membandingkan tanggal pernikahan atau perceraian dengan tanggal harta
tersebut diperoleh. Jika tanggal harta tercantum pada sertipikat adalah tanggal setelah
pernikahan dan sebelum terjadi perceraian, maka rumah atau harta tersebut termasuk
harta gono gini atau harta bersama. Beberapa suami atau isteri sudah memiliki harta

sebelum menukah, seperti rumah dan tanah. Jika tanggal akta jual sebelum tanggal
tanggal pernikahan, maka harta tersebut tidak termasuk harta bersama atau harta gono
gini . Untuk menjual rumah atau tanah tersebut tidak diperlukan persetujuan
siapapun. Begitu pula dengan rumah atau tanah yang dimiliki oleh suami atau isteri
yang merupakan warisan dari masing-masing pihak.
Pasal 37 Perkawinan tahun 1974 tidak menetapkan secara tegas mengenai
pembagian bagi suami atau isteri yang bercerai. Pasal 37 ayat 1 hanya menyebutkan
bahwa pembagian harta gono gini karena perceraian diatur menurut hukum masingmasing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya yang dianut oleh
masing-masing pasangan.
Berikut beberapa kasus pembagian harta gono gini :
1. Jika suami atau isteri yang sudah bercerai atau yang meninggal dunia dan
pihak yang masih hidup ingin menjual ruamh atau tanah yang merupakan
harta gono gini, atau harta bersama, maka diperlukan persetujuan dari pihak
anaknya. Hal ini diperlukan karena sang anak memiliki hak dari slah satu

Universitas Sumatera Utara

69

pihak yang meninggal dunia. Sebagai contoh, jikla suami meninggal dan sang

isteri ingin menjual rumahnya namun mereka sudah bercerai, maka sang isteri
harus meminta persetjuan sang anak karena anak juga mewakili hak dari
suami yang telah meninggal dunia.
2. Persetujuan dari anak untuk menjual rumah harta gono gini, kondisinya
berbeda-beda. Jika anak masih di bawah umur, maka perlu ada surat perwalian
dri pengadilan. Sementara jika anak telah dewasa, maka perlu ada suart
persetujuan secara notaris dari anak tersebut. Kemudian Jika anak sedang
berada di luar negeri, maka perlu ada surat persetujuan diatas materai dan
legalisir RI di negara setempat.
3. Jika rumah atau tanah didapat dari hibah atau warisan maka tidak diperlukan
persetujuan dari nak-anaknya. Contohnya jika seorang isteri mendapat harta
warisan pada masa perkawinan dan suatu saat suaminya meninggal lalu
berencana akan menjual rumah atau tanah tersebut, maka ia tidak memerlukan
persetujuan dari anak-anaknya. Selain itu, harus ada juga bukti kematian sang
suami dan surat ahli waris dari kelurahan atau kecamatan.
2.

Dasar Hukum Pengalihan Harta Bersama kepada Para Ahli Waris.
Harta bersama (gono gini) diperoleh selama perkawinan berjalan (terhitung


sejak perkawinan dilangsungkan sampai perkawinan yang bersangkutan berakhir
karena cerai (hidup) atau slah satu meninggal dunia.
Jika dilakukan penjualan, hibah dijaminkan atau pengalihan seperti tukarmenukar, pemasukan ke dlam perseroan atau tindkan hukum lainnya yang bersifat

Universitas Sumatera Utara

70

mengalihkan hak, maka harus dilakukan secara bersama-sama oleh suami isteri yang
bersangkutan atau memberikan kuasa dan persetujuan kepada salaj satu pihak secara
tertulis (Notaril).
Baik datang ke hadadapan Notaris/ PPAT atau secara tertulis harus
dicantumkan kalimat memberikan Persetujuan dan Kuasa, kenapa? Karena dalam
harta bersama ada bagian suami/isteri . Misalnya jika sertipikat tertulis nama isteri,
maka isteri memberikan Persetujuan kepada suami untuk menjual baian/hak suami
dan isteri memberikan kuasa kepada suami untuk menjual bagian isteri. Jika ini tidak
dilakukan maka isteri dapat menggugat suami, denan alasan isteri hanya memberikan
Persetujuan persetujuan untuk menjual kepasa suami (bagian ha/hak suami saja), tapi
tidak memberikan kuasa untuk menjual kepada suami untuk menjual bagian/hak
isteri.

Adapun harta bawaan/harta asal diperoleh oleh masing-masing suami-isteri :
1. Sebelum perkawinan dilangsungkan ;
2. Berasal dari warisan/hibah selama perkawinan berlangsung;
3. Karena perjanjian pisah harta sama sekali;
4. Jika dilakukan penjualan, hibah dijaminkan atau pengalihan seperti tukar
menukar, pemasukan ke sdalam perseroan atau tindakan hukum lainnya yang
bersifat mengalihkan hak, dilakukan oleh pemiliknya sendiri.
5. Terhadap harta ini suami/isteri berhak untuk mengurus atau menikmati harta
bawaan isteri dan sebaliknya.

Universitas Sumatera Utara

71

Menurut UU Nomor 1/1974 (Pasal 35-37 UU), kelompok harta yang mungkin
terbentuk :
1. Harta Bersama (gono-gini);
2. Harta Bawaan Pribadi;
a.


Harta Bawaan Suiami :

b.

Harta Bawaaan Isteri ;

c.

Harta suami bersal dari hibah atau warisan;

d.

Harta isteri berasal dari hibah atau warisan.

Suami atau isteri bertanggung jawab atas segala hutang pribadinya yang
dibuat sebelum perkawinan atau yang dibuat setelah perkawinan dengan jaminan
harta pribadi/harta bawaannya. Suami dan isteri bertanggung jawab secara bersamasama atas segala hutang yang dibuat selama perkawinan jaminan dengan harta
bersama.
Jika terjadi perceraian, suami-isteri mempunyai yang bagian yang sama besar
atas harta bersama (Putusan MA nomor 1448/K/Sip/1974, tanggal 11 November

1967). Jika terjadi perceraian dan diantara suami isteri belum dilakukan pembagian
atas harta bersama tersebut, maka tindakan hukum mantan suami atau isteri seperti
menjual , menghibahkan, menjaminkan atau pengalihan seperti tukar-menukar,
pemasukan ke dalam perseroan atau menyewakan atau tindakan hukum lainnya yang
bersifat mengalihkan hak wajib dilakukan secara bersama-sama atau dengan kuasa
atau persetujuan (Notaril).
Sifat Harta Bersama atau harta gono gini atau harta persatuan adalah :

Universitas Sumatera Utara

72

a.

Antara suami-isteri tidak diperkenankan mengadakan perjanian jual-beli
(Pasal 147 KUHPerdata).

b.

Suami-Isteri tidak boleh saling hibah-menghibahkan (Pasal 1678

KUHPerdata).

c.

Antara suami-isteri tidak boleh mengadakan perjanjian perburuhan (Pasal
1601 KUHperdata).

Berdasarkan Pasal 38 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”),
perkawiann menjadi putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan
pengadilan.Namun UUP tidak disebutkan secara khusus definisi dari cerai hidup dan
cerai mati.
Berdasarkan cerai hidup dan cerai mati dapat kita temui dalam Inpres No 1
Tahun 1991 tentang Penyerbarluasan No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yakni dalam beberapa pasal berikut :
Pasal 8 yaitu Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan
dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang bebrbentuk
putusan perceraian, atau putusan taklik talak.
Pasal 96 yaitu
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup terlama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau
suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hokum atas dasar putusan Pengadilan
Agama.
Pasal 97 menyatakan:
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Universitas Sumatera Utara

73

Walaupun dalam KHI menyebut adanya frase cerai hidup dan cerai mati,
tetapi tidak ditemukan pula definisi cerai hidup dan cerai mati. Cerai mati adalah
status dari mereka yang ditinggal mati oleh suami/isterinya dan belum kawin lagi.
Cerai hidup adalah status dari mereka yang hidup berpisah sebagai suami
isteri karena bercerai dan belum kawin lagi. Dalam hal ini termasuk mereka yang
mengaku cerai walaupun belum resmi secara hokum. Sebaiknya, tidak termasuk
mereka yang hanya hidup terpisah tetapi masih berstatus kawin, misalnya suami/isteri
ditinggalkan oleh isteri/suami ketempat lain karna sekolah, bekerja, mencari

pekerjaan, atau untuk keperluan lain. Wanita yang mengaku belum pernah kawin
tetapi pernah hamil, dianggap cerai hidup.
Berdasarkan uraian tersebu diatas dapat disimpulkan bahwa cerai mati dapat
diartikan sebagai putusnya perkawinan karena salah satu pihak (suami atau isteri)
meninggal dunia sehingga meninggalkan pasangannya. Sedangkan cerai hidup dapat
diartikan sebagi putusnya perkawinan dlam keadaan suami isteri masih hidup karena
suatu alas an. Mengenai alas an-alasan yang dpat dijadikan dasar perceraian bias
dilihat dalam Penjeasan Pasal 39 ayat (2) UUP jo Pasal 116 KHI.
3.

Pengertian Legitieme Portie dalam Harta Bersama
Legitieme portie (bagian mutlak) adalah suatau bagian dari harta peninggalan

atau warisan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalm garis lurus (baik garis
lurus ke bawah maupun keatas), dan terhadap bagian mana sipewaris dilarang

Universitas Sumatera Utara

74


menetapkan sesuatu baik yang berupa pemberian (hibah) maupun yang berupa hibah
wasiat (Pasal 913 KUHPerdata).55
Legittieme portie menurut Idris Ramulyo adalah :
“Suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan
oleh orang yang meninggalkan warisan atau dengan kata lain bahwa legitieme
portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus (wajib) diberikan
kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang terhadap
bagian mana si pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku
pemberian antara yang masih hidup atau selaku wasiat”.56
Menurut Prof.Subekti, Legitieme portie adalah suatu bagian tertentu dari harta
peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Hak atas Legitieme portie baru timbul apabila seseorang dalam keadaan sungguhsungguh tampil sebagai ahli waris sebagaimana ditentukan hukum waris. Dalam hal
ini yang berhak atas suatu legitieme portie dinamakan Legitimaris .Ia dapat meminta
pembatalan setiap testament yang melarang haknya dan berhak menuntut diakukan
pengurangan (inkorting) terhadap segala pemberian warisan, baik berupa erfstelling
maupun legaat, atau bersifat shenking yang mengurangi haknya.57
Maksud dari peraturan tentang legitieme portie adalah untuk melindungi para
ahli waris dari tindakan pewaris yang tidak bertanggung jawab. Ada dua cara isitem
tentang legitieme portie, yaitu sebagai berikut:58

55

R. Subekti, Ringkasan tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cetakan ke I, (Jakarta:
Intermasa, 1990)., hal. 32.
56
Mohd. Idrus Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan KUH
Perdata,, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 36
57
Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke XXXII, (Jakarta: PT. Intermasa,
2005), hal. 113.
58
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, Cetakan I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015),
hal.90.

Universitas Sumatera Utara

75

1. Sistem Prancis-Jerman, menetapkan bagian tertentu dari seluruh warisan yang
tidak dapat dilanggar dengan suatu ketettapan dalam testament.
2. Sistem Romawi, menetapkan baian tertentu dari setiap ahli waris yang tidak
dikurangi dengan testament. 59
Adapun legitieme portie yang diatur dalam KUHPerdata menganut sisitem
Romawi . Hal ini diatur dalam Pasal 1913 KUHPerdata berikut ini :
“Bagian mutlak atau legitieme portie adalah suatu baian dari harta
peninggalan yang harus diberikan kepada para waris yg garis lurus menurut
undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tidak diperbolehkan
menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun
selaku wasiat”.
Jadi maksud dari Pasal 913 KUHPerdata diatas adalah :
1.

2.

Bagian mutlak adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat
dikurangi dengan pemberian semasa hidup atau pemberian dengan
testament;
Bagian mutlak harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus ke atas
maupun kebawah.

Garis lurus ke bawah adalah anak-anak dan keturuannya serta anak luar kawin
yang diakui sah, sedangkan garis lurus ke atas adalah orang tua dan semua
leluhurnya.
Oleh karena itu, legitieme portie hanya diperuntukkan bagi ahli waris garis
lurus ke atas dan ke bawah, sehingga isteri atau suami, saudara-saudara (paman atau
bibi) tidak berhak atas legitieme portie tersebut.60 Jadi, yang berhak atas legitieme
portie adalah :

59

Ali Afandi, Hukum Waris Keluarga Hukum Pembuktian, Cetakan ke IV, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2000), hal. 44.
60
Ibid, hal. 45.

Universitas Sumatera Utara

76

1.

Mereka dalam garis lurus ke bawah (Pasal 914 KUHPerdata);

2.

Mereka dalam garis lurus ke atas (Pasal 915 KUHPerdata);

3.

Anak luar kawin yang diakui sah (Pasal 916 KUHPerdata).
Sedangkan dalam pasal 917 KUHPerdata, disebutkan bahwa :
“Dalam hal tak adanya keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke
bawah, pun tak adanya anak-anak luar kawin yang diakui dengan sah,
hibah-hibah antara yang masih hidup atau dengan suart wasiat, boleh
meliputi segenap harta peninggalan”.

Isi Pasal 917 KUHPerdata tersebut pada pokoknya mengatur bahwa apabila
tidak ada ahli waris yang berhak atas bagian mutlak, maka pewaris dapat memberikan
seluruh harta peninggalannya kepada orang lain dengan hibah semasa hidup atau
hibah wasiat.
Mengenai kasus seorang ahli waris yang menolak warisan (on waardigheid)
dengan perhitungan legitieme portie, maka penyelesainnya secara konsekwensi
seharusnya tidak turut dihitung menentukan pecahan legitieme portie . Hal ini karena
sesuai dengan Pasal 1058 KUHPerdata:
“Si waris yang menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi
waris”.
Adapun perlindungan atas tuntutan legitieme portie diatur dalam Pasal 921
KUHPerdata. Dalam hal ini pada prinsipnya tuntutan legitieme portie harus dipenuhi,
kalau perlu dengan memotong hibah atau legaat. Cara perlindungan yang diberikan
oleh Pasal 921 KUHPerdata, adalah dengan menetapkan jumlah mana besarnya.
Legitieme portie (LP) harus dihitung, yaitu dengan cara :

Universitas Sumatera Utara

77

1. Menghitung semua hibah yang telah diberikan oleh pewaris semasa hidupnya
kepada salah seorang atau para legitieme waris;
2. Jumlah tersebut ditambahakan dengan aktiva warisan yang ada;
3. Kemudian dikurangi utang-utang pewaris;
4. Dari jumlah tersebut dihitung besarnya LP Legitieme waris (yang menuntut
LP).
5. Untuk menentukan berapa yang benar-benar diterima legitieme waris yang
bersangkutan .
Jumlah LP tersebut masih harus dikurangi dengan hibah-hibah yang sudah
diterima olehnya, sekalipun yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban inbreng.
Kalimat yang menyatakan “segala apa yang telah mereka terima dari si
meninggal” berdasarkan Pasal 921 KUHPerdata termasuk apa yang telah
diawasiatkan oleh pewaris.
4.

61

Cara Untuk Memenuhi Legitieme Portie
Cara untuk memenuhi legitieme portie diatur dalam Pasal 924 KUHPerdata :
“Segala hibah antara yang masih hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi
melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah
diwasiatkan tidak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan.
Apabila kendati itu masihlah harus dilakukan pengurangan terhadap hibahhibah antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai
dengan hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua dan
demikian selanjutnya”.
Dengan demikian, cara untuk memenuhi legitieme potrie atau hak untuk ini,

antara lain sebagai berikut:
61

J. Satrio, Hukum Waris, Cetakan ke II, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 270.

Universitas Sumatera Utara

78

1. Ditutupi dari sisa harta warisan setelah dikurangi dengan jumlah pelaksanaan
wasiat.
2. Apabila dari pemenuhan hak mutlak belum terpenuhi, maka diambil dari
waisiat dengan tidak memperhatikan kapan wasiat itu dibuat, dan masingmasing wasiat dipotong atau diambil menurut perbandinan besarnya wasiat
itu.
3. Apabila dari wasiat itu juga tidak dapaat memenuhi hak mutlak, maka diambil
dari hibah yang tanggal pemberiannya paing dekat dengan tanggal kematian
dari orang yang meninggalkan warisan.
4. Legitieme portie hanya diperhitungkan apabila terdapat hibah stsu wasiat atau
keduanya dan adanya tuntutan dari ahli waris yang mempunyai hak tersebut.62
B. Menerima Warisan Tanpa Syarat (secara Penuh) dalam Harta Bersama
Berdasarkan pasal 1048 KUHPerdata, bahwa menerima warisan secara penuh
bisa terjadi secara :
1. Secara tegas dengan membuat surat resmi (autentik) atau surat di bawah
tangan, atau
2. Secara diam-diam, yaitu bilamana ahli waris melaksanakan perbuatan yang
dapat disimpulkan tujuannya untuk memeperoleh harta warisan tanpa syarat.63

62

Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat (Suatu Pembahasan
Teoritis dan Praktik), (Bandung: Tarsito, 1988), hal. 29-30.
63
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Cetakan ke III, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), hal. 152

Universitas Sumatera Utara

79

Di antara perbuatan yang diam-diam itu ada beberapa yang tidak dapat
dianggap sebagai penerimaan secara diam-diam. Hal ini diatur dalm pasal 1049
KUHPerdata yang menyatakan :
“Segala perbuatan yang berhubungan dengan penguburan jenazah, perbuatan
yang maksudnya untuk menyimpan, perbuatan-perbuatan yang dilakukan
untuk mengurusi buat sementara waktu saja”.
Jika orang-orang hendak menerima warisan maka ia harus dibantu oleh :
1. Suami bagi seorang isteri;
2. Wali bagi orang yang belum dewasa;
3. Seorang pengampu

(curator)

bagi

orang

yang ditarus

dbawah

pengampuan.64
Akan tetapi, menurut Pasal 1049 KUHPerdata bahwa perbuatan-perbuatan
yang tidak dianggap menerima warisan secara penuh (tanpa syarat), yaitu :
1.

Semua perbuatan yang berhubungan dengan penguburan pewaris;

2.

Perbuatan yang bermaksud hanya menyimpan atau mengawasi dan
mengurus sementara benda-benda tertentu dari harta warisan.65

Akan tetapi, menurut Pasal 1049 KUHPerdata bahwa pengampuan yang tidak
dianggap menerima warisan secara penuh (tanpa syarat) , yaitu :
1. Semua perbuatan yang berhubungan dengan penguburan pewaris;
2. Perbuatan yang bermaksud hanya menyimpan atau mengawasi dan mengurus
nsementara benda-benda tertentu dari harta warisan.

64
65

Maman Suparman, Op.Cit, hal. 72.
Oemarsalim,, Op.Cit, hal. 152.

Universitas Sumatera Utara

80

Pasal 1045 KUHPerdata menyatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk
menerima harta warisan. Adapun menurut Pasal 1043 KUHPerdata jika pewaris
dalam wasiatnya menetapkan bahwa ahli warisnya dilarang memakai hak untuk
berfikir atau untuk memperoleh warisan dengan syarat, maka ketentuan tersebut
adalah batal dan tidak berharga.
Dalam hal pembagian warisan dapat terjadi perbedaan sikap atau pendapat
diantara ahli waris. Pasal 1050 KUHPerdata, apabila ahli waris yang menerima dan
adapula ahli waris yang menolak boleh terus menolak. Apabila yang satu menerima
secara murni dan yang lain menerima dengan hak untuk pendaftaran, maka semuanya
harus menerima dengan hak pendaftaran.
Dalam pasal 1052 Perdata, jika seseorang waris telah menerima dan yang
menolak diterima oleh waris yang menerima sebagai penambahan.
Menurut Pasal 1057 KUHPerdata, apabila seorang ahli waris meninggal dunia
sebelum menyatakan menerima atau menolak harta warisan, maka isi pasal tersebut,
bahwa ahli waris itu masih boleh memilih antara menerima atau menolak harta
warisan.
Adapun dalam Pasal 1053 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa seorang
ahli waris dapat menntut pembatalan atas penerimaannya terhadap suatu harta
warisan bilamana ada seorang ahli waris dengan paksaan atau dengan penipuan
diddorong untuk mendapatkan harta warisan.
Dalam Pasal 1053 ayat (2) juga mengatur apabila ahli waris menyangkal
bahwa tidak ada surat wasiat yang dibuat si pewaris menyebabkan ia menerima harta

Universitas Sumatera Utara

81

warisan. Setelah harta warisan dibagikan kemudian diketahui bahwa sipewaris
semasa hidupnya telah membuat surat wasuat, yang menyebabkan sebahagian ahli
waris tersebut menjadi berkurang, sehingga ia mengalami kerugian. Apabila hal
tersebut terjadi maka ahli waris itu hanya bisa menarik kembali perolehan harta
warisan itu dan sebab akibat dari adanya surat wasiat tersebut, maka harta warisanj
dikurangi sampai setengahnya.
Dalam Pasal 1054 KUHPerdata mengatur apabila seorang ahli waris karena
salah pengertian atau kurang mengerti, kemudian ia mengubah sikapnya dari sikap
menerima kemudian (setelah berpikir dengan segala pertimbangannya), ia
memutuskan untuk menolak, maka tidak dengan segala pertimbangannya), ia
memutuskan untuk menolak, maka tidak dengan sendirinya bagian harta warisan dari
ahli waris yang menolak itu diberikan kepada ahli waris lainnya. Untuk itu,
diperlukan sikap tegas dan sesaui dari ahli waris yang menerima warisannya.66
Menurut pasal 1055, hak ahli waris akan hapus karena daluarsa dengan
lewatnya waktu tiga puluh tahun, terhitung sejak hari terbukanya warisan, asalkan
sebelum maupun sesudah lewatnya jangka waktu tersebut warisannya telah diterima
oleh salah seorang dari mereka yang oleh undang-undang atau oleh suatu wasiat
ditunjuk sebagai waris, tetapi dengan tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga atas
warisan tersebut, yang diperoleh karena suatu hak yang sah.67

66
67

Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Op.Cit, hal. 24-25.
Ibid, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

82

Namun demikian menurut Pasal 1056 KUHPerdata, ahli waris yang menolak
warisannya, masih dimungkinkan untuk menerima warisan, selama belum diterima
oleh mereka yang ditunjuk oleh undang-undang atau wasiat, dengan tidak
mengurangi hak-hak pihak ketiga.
Akibat bagi ahli waris apabila menerima secara penuh, baik yang dilakukan
secara diam-diam maupun secara tegas adalah bertanggung jawab sepenuhnya atas
segala kewajiban yang melekat pada warta warisan. Penerimaan warisan secara penuh
yang dilakukan dengan tegas, yaitu melalui akta autentik atau akta di bawah tangan .
Adapun penerimaan secara diam-diam, yaitu dengan melakukan tindakan tertentu
yang menggambarkan adanya penerimaan secara penuh.68
C. Menerima Warisan
Aanvaarding).

Dengan

Syarat

Atau

Pencatatan

(Beneficiare

Pengertian menerima dengan syarat atau pencatatan adalah apabila dalam
pencatatan harta warisan itu lebih banyak pasiva daripada aktiva, maka ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Jadi, ahli waris hanya dapat dimnta tanggung jawab atas si
pewaris yang terbatas pada jumlah bagian harta warisan yang ia terima. 69
Pengertian penerimaan berdasarkan Pasal 1032 KUHPerdata adalah sebagai
berikut:
1. Ahli waris tidak wajib membayar utang dan beban yang melebihi jumlah
warisan yang diterimanya.

68

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan
BW,(Bandung: Refika Aditama, 2005), ,hal. 33.
69
Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Op. Cit, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

83

2. Ahli waris dapat membebaskan diri dari pembayaran utang pewaris dengan
menyerahkan warisan kepada kreditor.
3. Kekayaan pribadi dari ahli waris tidak bercampur dengan harta warisan dan ia
tetap dapat menagih piutangnya sendiri dari harta peninggalannya.
Dengan demikian, ahli waris tidak dapat dianggap sebagai orang yang punya
utang dari kreidtornya pewaris. Ahli waris dapat digugat oleh kreditor pewaris, tetapi
gugatannya hanya untuk menetapkan jumlah utang saja, dan utang-utang ini
selanjutnya hanya dibayar dari harta warisan. Jika warisannya dikurangi dengan
sehgala utang pewaris masih mempunyai sisa, maka sisa itu menjadi keuntungan si
ahli waris tersebut.70
Dalam ketentuan Pasal 1024 KUHPerdata bahwa mereka menerima dengan
syarat atau pencatatan diberi waktu empat bulan untuk berpikir dan melakukan
pencatatan atau pendaftaran terhadap harta warisan tersebut baik yang berupa pasiva
maupun aktiva. Apabila waktu empat bulan telah lewat, maka si pewaris harus
menentukan sikapnya, yakni menerima secara murni, menelaah, atau menerima
secara beneficiair.
Ahli waris beneficiair adalah ahli waris yang benar-benar ahli waris dan tidak
ada keraguan lagi dan baginya berlaku semua ketentuan umum tentang ahli waris,
kecuali ketentuan khusus yang menyimpang daripadanya. Ahli waris beneficiair
bukan debitur warisan, bakan bukan debitur warisan dengan tanggung jawab yang
terbatas . Oleh karena itu, kreditor hanya dapat mengambil pelunasan dari barang70

Ali Afandi, Op. Cit, hal. 60-61

Universitas Sumatera Utara

84

barang warisan saja dan mereka tidak dapat menganggap ahli waris beneficiair
sebagai debiturnya, maka kedudkan mereka merupakan penjamin dengan seseorang
pihak ketiga pemberi hipotik atau hak tanggungan.71
Bahkan menurut Suyling Dubois yang dikutip Klaassen Eggens, bahwa ahli
waris beneficiair adalah debitur untuk seluruh utang warisan, hanya tanggung
jawabnya terbatas sampai sebesar aktiva harta warisan saja.72 Ahli waris akan
kehilangan haknya untuk menerima secara beneficiair dan dianggap sebagai ahli
waris murni, apabila :
1. Dengan sengaja dan dengan etikad buruk telah memasukkan sementara benda
yang termasuk harta peninggalan dalam pendaftaran;
2. Bersalah melakukan penggelapan terhadap benda-benda yang termasuk
warisan.73
Jika dilihat ada beberapa hal sebagai akibat penerimaan secara bebeficiair
adalah sebagai berikut,
1. Seluruh harta warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris.
2. Ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran utang-utang pewaris dengan
kekayaan sendiri sebab pelunasan utang-utang pewaris hanya dilakukan
menurut kekuatan harta warisan yang ada.
3. Tidak terjadi percampuran harta kekayaan ahli waris dengan harta warisan.

71

Maman Suparman, Op. Cit, hal. 75.
Ibid
73
R. Subekti, Op. Cit, hal. 29
72

Universitas Sumatera Utara

85

4. Jika utang pewaris dilunasi semuanya dan maih ada sisa peninggalan, maka
sisa itulah yang menjadi bagian ahli waris.74
Ada beberapa kewajiban ahli waris yang menerima secara benefiair,
Kewajiban itu adalah sebagai berikut.
1. Melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu empat
bulan setelah ia menyatakan kehendaknya ke panitera pengadilan negeri;
2. Mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya.
3. Membereskan urusan waris dengan segera.
4. Memberikan jaminan kepada kreditor, baik kreditor benda bergerak maupun
kreditor pemegang hipotek (hak tanggungan).
5. Memberikan pertanggungjawaban kepada seluruh kreditor dari pewaris
maupun kepada orang-orang yang menerima pemberian secara legaat.
6. Memanggil para kreditor dan pewaris yang tidak dikenal melalui surat kabar
resmi.75
D. Menolak Warisan Atau Harta Peninggalan (Verwerping)
Sistem yang berlaku dalam KUH Perdata adalah ahli waris diperbolehkan
untuk menolak harta warisan yang menjadi bagiannya. Penolakan harta warisan baru
dapat terjadi bila terdapat harta warisan yang terbuka atau terluang. Berdasarkan
Pasal 1057 KUH Perdata bahwa penolakan suatu harta warisan harus dilakukan
secara tegas dan diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Akibat dari penolakan

74
75

Eman Suparman, Op. Cit, hal. 34
Ibid

Universitas Sumatera Utara

86

warisan adalah ahli waris yang bersangkutan dianggap tidak pernah ada atau tidak
pernah menjadi ahli waris. Penolakan warisan ini berlaku surut sampai dengan saat
meninggalnya pewaris atau orang yang meninggalkan warisan tersebut (Pasal 1058
KUHPerdata). Adapun bagian ahli yang menolak itu akan diberikan kepada ahli waris
lainnya yang berhak.
Walaupun penolakan warisan adalah hak dari ahli waris, namun apabila
penolakan itu akan merugikan kreditor, maka penolakan warisan dianggap tidak
pernah ada (Pasal 1059 KUHPerdata). Pasal 1061 KUH Perdata menyatakan bahwa
apabila ahli waris mempunyai utang-utang, maka ada kemungkinan para kreditor
dirugikan atas penolakan harta warisan oleh ahli waris atau debitur, maka kreditor
dapat meminta kepada hakim agar diberi kuasa untuk memperoleh harta warisan itu
atas nama dan untuk menggantikan kedudukan ahli waris itu.76
Atas tuntutan yang diatur dalam pasal tersebut, hal itu hampir sama dengan
actio paulina dari pasal 1341 KUHPerdata, Pasal 1341 ini memberikan kuasa kepada
kreditor untuk menuntut pembatalan perbuatan debitur yang merugikan kreditor.
Perbedaan antara Pasal 1061 KUH Perdata dengan Pasal 1341 KUH Perdata, yaitu
menurut Pasal 1341 KUH Perdata harusnya ada pengetahuan pihak kreditor, bahwa
kreditor akan dirugikan, sedangkan menurut Pasal 1061 KUH Perdata tidak
mengatakan hal itu, cukuplah kalau kreditor dirugikan.77

76
77

Oemarsalim, Op. Cit, hal. 164
Ibid

Universitas Sumatera Utara

87

Akibat ahli waris yang menolak warisan, maka ahli waris tersebut dianggap
tidak pernah menjadi ahli waris. Oleh karena itu, jika ia meninggal dunia lebih dahulu
dari si pewaris, maka ia dpat digantikan kedudukannya oleh anak-anaknya yang
masih hidup. Menolak warisan harus diakukan dengan suatu pernyataan kepada
panitera pengadilan negeri di wilayah hukum tempat warisan terbuka. Penolakan
warisan dihitung dan berlaku surut, yaitu sejak meninggalnya pewaris.78
Adapun menurur Pasal 1062 KUH Perdata bahwa hak seorang ahli waris
untuk menolak warisan, tidak dapat gugur karema daluarsa (verjaring),. Apabila
penolakan atau pengaturan warisan dicantumkan dalam perjanjian kawin, maka hal
ini dianggap batal demi hukum (Pasal 1063 KUHPerdata).
Akan tetapi, penolakan hanya dapat dibatalkan untuk menguntungkan si
berpiutang dan juga sampai jumlah utangnya. Dalam hal ini ahli waris yang
menolakmitu ia tidak bisa untuk mendapatkan nkeuntungan dari pembatalan
penolakan itu (Pasal 106 ayat (2) KUH Perdata. Apabila permohonan si berpiutang
dikabulkan oleh hakim, maka ia bisa menagih uitang ahli waris cara mengambil dari
harta benda warisan, sekedar ini mencukupi.

78

Ibid, hal. 33.

Universitas Sumatera Utara

88

BAB IV
AKIBAT HUKUM PENGALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL
DARI HARTA BERSAMA YANG TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN
OLEH SALAH SATU AHLI WARIS

A. Jual Beli Hak Atas Tanah
Seseorang yang memiliki tanah, karena kebutihan tertentu kadang tanah yang
bersangkutan dipindahkan kepada orang lain. Pemindahan hak atas tanah dapat
berupa jual-beli, hibah, tukar menukar dan lelang. Dari perbuatan hukum tersebut
yang sering dilakukan adalah jual beli tanah, jual beli tanah sering dilakukan oleh
warga masyarakat baik di kota maupun di desa.
Jual beli merupakan salah satu cara terjadinya peralihan hak atas tanah. Secara
umum, jual beli merupakan suatu perbuatan dimana pihak penjual berkewajiban
untuk

memberikan barang yang menjadi obyek jual beli kepada pihak pembeli

dengan menerima sejumlah pembayran. Istilah jual beli tanah dalam peraturan
perundang-undangan disebutkan dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang UUPA menyangkut pemindahan hak milik atas tanah , selain itu,
istilah jual beli juga disebutkan dalam ketentuan Pasal 16, Pasal 34, Pasal 54 PP
No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
atas tanah. Dari berbagai peraturan perundangan yang menyebutkan istilah jual beli
tersebut, tidak ada yang mendefinisikan secara jelas mengenai pengertian jual beli
tersebut. Namun perlu diingat dan digaris bawahi bahwa konsep Hukum Tanah
Nasional yang disebutkan dalam ketentuan Pasall 5 Undng-undang Nomor 5 Tahun

88

Universitas Sumatera Utara

89

1960 tentang UUPA adalah konsep Hukum Adat. Dengan kata lain, konsep jual-beli
Hukum Adat juga dipakai dan diakui oleh UUPA sebagai pengertian dari jual beli itu
sendiri, dengan catatan bahwa Hukum Adat tersebut telah di saneer yang
disempurnakan dan mempunyai sifat nasional.
Pengertian jual Beli khusunya untuk tanah hak milik dibedakan menjadi 2
(dua) yaitu menurut Hukum Barat yang termuat dalm Kitab Undang-undang Hukum
perdata (KUHPerdata) dan Hukum Adat.
1.

Menurut Hukum Barat (kitab Undang-undang Hukum perdata)
Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan secara tegas

yang dimaksud dengan transaksi jual-beli, adalah : jual beli adalah suatu persetujuan,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Pasal 1458 Kitab Undang-undang hukum Perdata menyatakan pula : “Jual beli
ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini
mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut meskipun kebendaan itu belum
diserahkan maupun kebendaan itu belum dibayar”.
Pasal 1459 Kitab Undnag-undang Hukum Perdata menentukan : “Hak Milik
atas benda yang diijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahnnya
belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616”.
Dari pengertian tersebut diatas, maka untuk terjadinya transaksi, setelah
adanya penyesuaian kehendak atau tercapainya kata sepakat antara kedua belah
pihak mengenai barang dan harga, yang merupakan unsur pokok dalam transaksi jual-

Universitas Sumatera Utara

90

beli. Mengenai kata sepakat yang telah dicapai para pihak dalam transaksi, tidak
selalu dibuat secara tertulis melainkan dapat juga secara lisan.
2.

Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum Adat yang dimaksud dengantransaksi Jual Beli hak atas

tanah adanya atau diperlukannya persetujuan yang berada diantara kedua belah pihak.
Akan tetapi yang lebih dipentingkan lagi ialah diperlukannya atau adanya penyerahan
hak atas tanah yang menjadi obyek dari transaksi jual beli hak atas tanah oleh penjual
kepada pembeli. Jadi pengertian tersebut bebrarti konkrit atau nyata, yang mana
sebelum adanya penyerahan hak atas tanah atau pembayran harga maka,transaksi jual
beli hak atas tanah dianggap belum pernah terjadi atau belum sah.
Namun, lain halnya dengan pengertian transksi jual beli hak atas tanah
menurut hukum perdata barat. Transaksi jual beli hak atas tanah itu pertama-tama
diperlukan, adanya kata sepakat, yang mana harga dari hak atas tanah yang dijual itu
belum dibayar tetapi sudah kata sepakat maka, transaksi jual beli hak atas tanah itu
dianggap sah.
Jadi pengertian transaksi jual-beli hak atas tanah menurut Hukum Adat dan
Hukum Perdata Barat pada hakikatnya adalah berbeda, karena menurut hukum
adatterjadi transaksi jual beli atas tanah adalah berupa penyerahan hak atas tanah dan
pembayaran atas sejumlah harga.
Ketentuan hukum agraria telah diatur didalam Uundang-unDang Nomor 5
Tahun 1960, dalam Pasal 5 di dalam Undang-undang tersebut menyatakan bahwa
“hukum Agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat,

Universitas Sumatera Utara

91

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.
Dari ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 diatas dapat
diketahui, bajwa sisitem yang dipakai pada hukum agraria kita (Undang-Undang
Pokok Agraria) adalah “Sisitem Hukum Agraria Adat” Namun, yang akan dipakai
adalah hukum adat yang telah disempurnakan.
Dalam penggunaan sebagi pelengkap hukum tertulis, norma hukum adat
menurut Pasal 5 UUPA, juga akan mengalami pemurnian atau saneering dari unsur
unsurnya yang tiak asli. Dalam Pembentukan hukum tanah nasional yang digunakan
sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asas-asasnya.79
Dengan melihat uraian diatas, maka transaksi jual beli hak atas tanah itu
berpedoman pada hukum adat. Dari ketentuan yang ada tersebut, apabila
dibandingkan dengan pengertian transaksi jual beli hak atas tanah menurut hukum
agraria nasional merupakan perbuatan hukum yang bersifat kontan. Beralihnya atau
berpindahnya hak atas tanah itu seketika sejak tanda tangan akta jual beli oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pihak-pihak yang bersangkutan dan dua orang
saksi.
Hal-hal yang berbeda mengenai pelaksanaan atau teknis peminchan haknya,
menurut hukum agraria nasional dituntut adanya tertib administrasi pertanahan
79

Boedi Harsono, Op.cit, hal. 180.

Universitas Sumatera Utara

92

terutama yang erat kaitannya dengan masalah pendaftaran tanah sehingga hal-hal
yang menyangkut hubungan hukumnya dapat dijamin.
Dengan demikian, pengerian transaksi jual beli hak atas tanah menurut
Undang-undang Pokok Agraria sama dengan pengertian transaksi jual beli hak atas
tanah menurut hukum adat. Hanya saja perbedaannya terletak pada tata cara
pelaksanaanyya. Menurut hukum adat transaksi jual beli hak atas tanah dilakuikan
dihadapan kepala desa. Sedangkan menurut Undang-undang Pokok Agraria transaksi
jual beli dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) didaftarkan pada
kantor Pertanahan Kota atau Kabupaten setempat.
Setelah UUPA yang bersifat unifikasi itu diberlakukan, maka dualisme dlam
pengertian jual beli tersebut diatas diakhiri, karena salah satu tujuan dari UUPA
adalah meletakkan dasar unifikasi hukum dan menghapus dualisme. Demikian
dengan hak atas tanah, yang sebelumnya ada tanah barat an ada tanah adat maka
setelah UUPA diberlakukan hanya mengenal satu macam hak atas tanah yaitu yang
diatur dalam UUPA seperti, Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan
lain-lain.
B. Hibah
Pengertian hibah pada umumnya adalah pemberian sesuatu barang atau benda
dari pemberi hibah kepada penerima hibah pada saat pemberi hibah masih hidup.
Barang atau benda yang dijadikan obyek bisa benda bergerak maupun benda tetap
(tanah).

Universitas Sumatera Utara

93

Menurut Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
hibah adalah suatu perjanjian dengan nama sipenghibah, diwaktu hidupnya, dengan
cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu baarang
guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan tersebut.
Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian “dengan
cuma-cuma” (dalam bahasa Belanda : “om niet”)

dimana perkataan dengan cuma-

cuma itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak
yang lain tidak usah memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang
demikian juga dinamakan perjanjian “sepihak” (unilateral) sebagi lawan dari
perjanjian “bertimbal balik” (bilateral). Perjanjian yang kebanyakan tentunya adalah
bertimbal balik, karena yang lazim adalah bahwa orang menyanggipi suatu prestasi
karena ia akan menerima suatu kontra prestasi.
Perkataan diwaktu hidupnya si penghibah adalah untuk membedakan
penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament
(surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan beraku sesuadah si pemberi
hibah meninggal dunia dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat
dirubah dan ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testament itu dalam KUH
Perdata dinamakan “lehaat” (hibah wasiat) yang diatur dalam hukum waris,
sedangkan penghibahan ini suatu perjanjian. Karena penghibahan menurut
KUHPerdata adalah suatu perjanjian, maka dengan sudah sendirinya ia tidak boleh
ditarik kembali secara sepihak oleh si pemberi hibah.

Universitas Sumatera Utara

94

Bila kita perhatikan, bahwa penghibahan dalam sisitem KUHPerdata seperti
halnya jual beli atau tukar menukar, bersifat obligatoir saja, dalam arti belum
memindahkan hak milik, karena hak milik ini baru berpindah dengan diakukannya
levering atau penyerahan secara yuridis, yang cara-caranya seperti dalam melakukan
jual beli. Dikatakan bahwa penghibahan, disamping jual beli dan tukar-menukar
merupakan suatu titel bagi pemindahan hak milik.
Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang-barang yang sudah ada. Jika ia
meliputi barang-barang yang baru akan ada dikemudioan hari, maka sekadar
mengenai hibahnya adalah batal. Berdasarkan ketentuan ini maka jika dihibahkan
suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan suatu barang lain yang baru akan
ada dikemudian hari, penghibahan yang mengenai barang yang pertama adalah sah,
tetapi mengenai barang yang kedu adalah tidak sah.
C. Tukar Menukar
Dalam pengertiannya tukar menukar itu berasal dari bahasa Belanda yaitu
“Ruiling” yang mempunyai arti kata tukar-menukar, atau “Ruilen” yang berarti
menukarkan.80
Dalam perkembangannya pengertian tukar menukar antara lain :
1. Menurut KUHPerdata Pasal 1541 yang berbunyi : “tukar menukar ialah suatu
persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengukatkan diri untuk saling
memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu
barang lain”.
80

N. E. Algra, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta: Bina Cipta, 1983), hal. 487.

Universitas Sumatera Utara

95

2. Menurut R.Subekti, menyatakan : “bahwa perjanjian tukar menukar ini adalah
juga suatu perjanjian konsensuil, dalam arti bahwa perjanjian itu sudah jadi
dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang
menjadi obyek obyek dari perjanjiannya”.81
3. Menurut C.S,T.Kansil, menyatakan bahwa :’perjanjian tukar menukar itu
sama dengan perjanjian jual-beli, tetapi perbedaannnya pada tukar menukar
kedua belah pihak berkewajibaan untuk menyerahkan barang, sedangkan jual
beli pada pihak yang satu wajib menyerahkan barang dan pihak yang lain
menyerahkan uang”.82
Dari pengertian tukar menukar tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu:
a.

Perjanjian tukar menukar adalah perjanjian obligatoir seperti jual beli,
dalam arti bahwa ia belum memindahkan hak milik tetapi baru pada taraf
memberikan hak dan kewajiban. Pemindahan atau pengalihan hak terjadi
apabila masing-masing dari pemilik barang yang menjadi obyek
perjanjian saling memberikan barang yang dipertukarkan, sehingga pada
saat itu kepemilikan barang tersebut beralih.

b. masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak
milik atas masing-masing barang adalah perbuatan (perbuatan hukum)
yang dinamakan “levering” atau penyerahan hak milik secara yuridis.
D. Obyek Peralihan Hak Atas tanah Melalui Pewarisan

81

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke X, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 54.

82

ibid

Universitas Sumatera Utara

96

Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik dibagi menjadi dua bentuk :
a. Beralih
Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik dari pemegang haknya kepada
pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan.
Boedi Harsono menyatakan bahwa pengertian beralih menunjuk pada
berpindahnya Hak Milik kepada pihak lain karena pewarisan twerjadi “karena
hukum”, artinya dengan meninggalnya pemilik tanah, maka ahli waris
memperoleh Hak Miliknya itu menurut hukum sejak ia meninggal dunia.83
Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik ini terjadi karena Hukum, artinya
dengan meninggalnya pemegang hak, maka ahli warisnya memperoleh hak
atas tanah atau hak milik. Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak
harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subyek) hak atas tanah atau Hak
Milik yang menjadi obyek pewarisan.84
b. Dialihkan
Berpindahnya jhak atas tanah atau Hak Milik dari pemegang (Subjek) haknya
kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan
dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan
hukum tersebut dapat berupa jual beli , tukar-menukar, hibah, pemasukan
dalam modal perusahaan, pemberian wasiat dan lelang. Dalam dialihkan atau
pemindahan hak disini, pihak yang mengalihkan hak harus berhak dan

83
84

Boedi Harsono, Op. Cit, hal. 128.
Ibid

Universitas Sumatera Utara

97

berwenag memindahkan hak, sedangkan pihak yang menerima harus
memenuhi syarat sebagai pihak (subjek) yang berhak menerima Hak Milik.
Objek pada peralihan hak atas tanah berdasarkan pewarisan dapat terjadi
terhadap Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Untuk lebih jelasnya sakan diuraikan
dalam pembahasan di bawah ini.85
a.

Hak Milik
Dasar hukum adanya peralihan hak milik dengan cara pewarisan dapat
dilihat dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa Hak
Milik dapat beralih dan diaihkan kepada pihak lain

b. Hak Guna Usaha
Dasar hukum adanya peralihan Hak Guna Usaha dengan cara pewarisan
dapat diambil dalam pasal 28 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa
hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Selain itu dalam pasal 16 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah No 40
Tahun 1996 menyebutkan bahwa peralihan Hak Guna Guna Usaha dapat
terjaddi karena pewarisan.
c.

Hak Guna Bangunan
Dasar Hukum adanya peralihan Hak Guna bangunan dengan cara
pewarosan dapat diambil dalam pasal 35 ayat (3) UUPA yang

85

Anggar Sigit Pramukti, S.H dan Erdha Widayanto, S.H, Op.Cit, hal. 110.

Universitas Sumatera Utara

98

menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Selain itu, pengaturan pewarisan terhadap Hak Guna Bangunan dapat
dilihat dalam pasal 35 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah No 40 Tahun
1996 yang menyebutkan bahwa peralihan Hak Guna Bangunan terjadi
karena pewarisan.
d. Hak Pakai
Dasar hukum adanya peralihan Hak Pakai dapat diwariskan dimuat dalam
pasal 54 Peraturan pemerintah No.40 Tahun 1996 yang dalam ayat 1
menyebutkan bahwa Hak Pakai atas tanah yang berjangka waktu tertentu
dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengeloaan dapat beralih dan diaihkan
kepada pihak lain. Kemudai dalam ayat 3 huruf e menyebutkan bahwa
peralihan hak pakai terjadi karena pewarisan.
Pasal 54 ayat (8) Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 mensyaratkan
bahwa peralihan hak pakai atas tanah negara harus dilakukan dengan izin
dari pejabat yang berwenang. Selanjutnya dalam ayat 9 mensyratakan
bahwa pengalihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dilakiukan
dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan. Kemudian
dalam ayat 10 menyebutkan bahwa pengalihan bahwa pemgalihan hak
pakai atas tanah hak milik harus dilakikan dengan persetujuan tertulis dari
pemegang hak milik yang bersangkutan.
e.

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Universitas Sumatera Utara

99

Dasar hukum adanya peralihan Hak Milik atas Rumah Susun dapat
diwariskan dapat dilihat dalam pasal 10 Undang-Undnag No.16 Tahun
1985 yang menyebutkan bahwa Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) dapat beralih dengan cara
pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan
di Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota Madya yang bersangkutan
menurut Peraturan Pemerintah sebagai sebagai mana dimaksud dalam
Pasal 19 Undnag-undang Nomor 5 Tahun 1960.
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dapat diwariskan oleh
pemegang haknya kepada pihak lain dibangun di atas tanah Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara, dan tanah Hak
Pengelolaan.
E. Akibat Hukum Pengalihan Harta Bersama Yang Mana sebahagian Ahli
Waris Tidak Mendapat Persetujuan.
Salah satu harta benda yang sering diwariskan adalah tanah. Permasalahan
yang sering terjadi berkaitan dengan hal ini adalah ketika seseorang/ahli waris ingin
menjual tanah warisan dari orang tuanya yang telah meninggal. Ahli waris kesulitan
karena sertipikat tanah belum diubah, apalagi jika jumlah ahli warisnya bukan hanya
satu orang.

Universitas Sumatera Utara

100

Hal yang perlu diperhatikan ahli waris sebelum menjual tanah warisan orang
tua, ia harus terlebih dahulu melakukan balik nama sertipikat. Sebelum melakukan
balik nama atas sertipikat tanah warisan, terlebih dahulu dibutuhkan surat keterangan
waris dari kelurahan atau kecamatan dengan melampirkan surat kematian dengan
melampirkan surat kematian almarhum.
Setelah adanya surat keterangan waris, ahli waris mengajukan permohonan
balik nama waris di kantor pertanahan setempat. Permohonan balik nama waris
adalah permohonan balik nama yang dilakukan dari nama almarhum kepada nama
para ahli waris yang ada, yaitu Isteri beserta anak-anaknya. Nantinya akan tercantum
nama para ahli waris tersebut di dalam sertifikat.86
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000
tentang Pengenaan Bea perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan karena waris dan
hibah wasiat, ahli waris dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan karena
waris dan hibah dan bangunan yang seharusnya terutang. Adapun nilai perolehan
obyek pajak karena waris dan hibah wasiat disesuaikan dengan nilai pasar pada saat
didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan setempat. Jika nilai
pasar lebih rendah dari pada nilai perolehan obyek pajak, yang digunakan adalah
Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya
perolehan.
Berbicara masalah warisan, melayang pada benak kita tentang hal-hal yang
berkaitan dengan sejumlah harta peninggalan akibat kematian sesorang. Masalah
86

N. M. Wahyu Kuncoro ,Op. Cit, Hal 77-78.

Universitas Sumatera Utara

101

warisan, di dlam masyarakat kita sering menimbulkan perselisihan yang mungkin
akan mengakibatkan pecahnya keakraban persaudaraan. Hal ini sebenarnya tidak
perlu terjadi seandainya kita semua memahami apa yang seharusnya kita lakukan, apa
yang menjadi hak-hak kita, dan apa pula yang menjadi kewajiban-kewajiban kita
yang berkaitan dengan harta warisan tersebut. Ketidaktah