Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

25

BAB II
PEMISAHAN HARTA WARISAN DARI HARTA TIRKAH
(HARTA PENINGGALAN) PEWARIS

A. Pengertian Harta Tirkah (Harta Peninggalan) dan Harta Warisan
Harta tirkah menurut istilah jumhur fuqaha merupakan segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda dan hak kebendaan atau bukan
hak-hak kebendaan. Harta tirkah juga meliputi utang piutang aeniyah (utang piutang
yang ada hubungannya dengan benda seperti segala sesuatu yang berhubungan
dengan barang yang digadaikan) dan syahshiyah (utang piutang yang berkaitan
dengan kreditur seperti qiradh, mahar dan lainnya).
Menurut Jawad Mughniyah, harta tirkah adalah harta peninggalan mayat
yakni segala sesuatu yang dimilikinya sebelum meninggal baik berupa benda maupun
utang atau berupa hak atas harta seperti hak usaha, hak jual beli, hak menerima ganti
rugi dan hak atas harta yang timbul karena menjadi wali seseorang yang terbunuh.64
Kedua defenisi harta tirkah (peninggalan) tersebut memiliki persamaan. Kedua
defenisi tersebut sama-sama menunjukkan bahwa harta tirkah tidak hanya berupa hak
atas harta, tetapi juga utang.
Pada awalnya, harta tirkah tidak sama dengan harta warisan. Harta tirkah

mencakup keseluruhan harta yang ditinggalkan orang yang meninggal. Harta warisan
hanya mencakup harta yang dibagikan kepada oleh pewaris setelah harta peninggalan

64

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta : Basrie Press, 1994), hal.73

25

Universitas Sumatera Utara

26

pewaris dikurangi dengan hutang atau hal lainnya. Harta tirkah belum tentu
merupakan harta waris, tetapi harta waris sudah tentu merupakan harta tirkah.65
Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai harta tirkah dan harta
warisan mengalami pergeseran. Harta warisan merupakan harta peninggalan (tirkah)
yang dapat dibagi kepada ahli waris setelah harta keseluruhan pewaris dipisahkan dari
harta suami-isteri dan harta pusaka, harta bawaan yang tidak boleh dimiliki, dikurangi
hutang-hutang dan wasiat.66 Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa semua harta

yang ditinggalkan orang yang meninggal disebut dengan harta keseluruhan, bukan
harta tirkah (harta peninggalan) sebagaimana dapat dilihat dari dua defenisi harta
tirkah (harta peninggalan) pada masa sebelumnya.
Dalam bukunya, Otje Salman juga telah mendefenisikan harta tirkah yaitu
harta warisan dan akan diberikan terhadap para ahli waris dari orang yang meninggal
dunia tersebut. Harta tirkah merupakan harta peninggalan sesudah dikurangi biaya
penguburan, utang dan wasiat.67 Harta peninggalan merupakan harta yang
ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya
maupun haknya.68
Demikian pula Wirdjono Prodjodikoro mempersamakan harta warisan sebagai
harta tirkah (harta peninggalan) dan mendefenisikannya sebagai sejumlah harta benda
serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih. Sejumlah harta
65
http://s-hukum.blogspot.com/2014/02/jenis-jenis-harta-dalam-hukum-waris.html,
tanggal 14 September 2015
66
Idris Ramulyo, Op.Cit., hal.47
67
Otje Salman dan Mustofa Haffas,Hukum Waris Islam, 2002, Op.Cit., hal.19
68

Mukhlis Lubis, Op.Cit., hal.2

diakses

Universitas Sumatera Utara

27

dalam keadaan bersih maksudnya adalah bahwa harta peninggalan yang diwarisi oleh
para ahli waris merupakan sejumlah harta benda serta segala hak setelah dikurangi
dengan pembayaran hutang-hutang dan pembayaran lainnya yang diakibatkan oleh
kematian si pewaris.69
B. Pemisahan dan Alasan Pemisahan Harta Warisan dari Harta Tirkah (Harta
Peninggalan)
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian
warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan70padahal umat
Islam wajib hukumnya mematuhi hukum kewarisan tersebut. Allah memerintahkan
agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuan-ketentuan Allah menyangkut
hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Suci AlQur’an dan
menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.71Dalam Hadis

Riwayat an-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda “barangsiapa yang tidak menerapkan
hukum waris yang diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga
(muttafak alaih)”.

Dalam Q.S.An-Nisa Ayat 13 dan 14, Allah berfirman yang artinya :
“hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barangsiapa
yang taat pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut
merupakan kemenangan besar dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan
RasulNya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan RasulNya,
69

Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Vorkink van Hoeve,’sGravenhage), hal.8
70
Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, 1995, Op.Cit., hal.355
71
Mahmud Yunus, Op.Cit., hal.5

Universitas Sumatera Utara


28

niscaya Allah akan memasukkan ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan
kekal di dalamnya dan baginya siksa yang amat menghinakan.”
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa hukum kewarisan Islam berasal dari
Allah SWT dan merupakan hukum yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam.
Kepatuhan terhadap hukum waris Islam merupakan suatu kemenangan besar,
sehingga kepada umat Islam yang patuh akan diberikan warisan surga dan hidup
kekal.Ketidakpatuhan terhadap hukum kewarisan merupakan tindakan mendurhakai
Allah SWT dan kepada umat Islam yang tidak patuh akan diberikan sanksi berupa
siksaan neraka dan tidak mendapat warisan surga.
Hukum kewarisan memuat sejumlah ketentuan tentang kewarisan, dimana
salah satunya mengatur tentang pemisahan harta waris dari harta tirkah atau bagian
harta tirkah (harta peninggalan) yang menjadi bagian waris bagi ahli waris. Faraidh
telah diatur secara jelas di dalam Qur’an yang merupakan sumber hukum tertinggi.
Ketentuan tentang bagian-bagian yang merupakan hak waris diatur dalamSurat AnNisa 4 Ayat 7, 11, 12, 33, 176 dan surat lainnya. Ayat-ayat Al Quran tersebut secara
langsung menegaskan perihal pembagian harta tirkah.72
Bagian waris berdasarkan ketentuan Qur’an dapat diketahui dari uraian surat
An-Nisa berikut ini :

1. Surat An-Nisa 4 Ayat 7 : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
kedua orangtua dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.
2. Surat An-Nisa 4 Ayat 11 : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan
72

Eman Suparman, Op.Cit., hal.11

Universitas Sumatera Utara

29

bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan,
jika anak perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh separuh harta dan
untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat seperenam (pembagian

tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya, (tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu, ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3. Surat An-Nisa 4 Ayat 12 : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak maka kamu mendapatkan seperempat
dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan
yang tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagian masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah
dan Allah Maha Mengetahui.

4. Surat An-Nisa 4Ayat 33 : Bagi tiap-tiap harta peninggalan yang dihasilkan ibu
bapak dan kerabat karibnya kami jadikan pewaris-pewarisnya dan jika ada
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilah
mereka bahagiannya, sesungguhnya Alllah menyaksikan segala sesuatu.
5. Surat An-Nisa 4 Ayat 176 : Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan dan saudarasaudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) dan
jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal dunia dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara
laki-laki dan perempuan, bagian seorang saudara laki-laki sebanyak dua orang
saudara perempuan.

Universitas Sumatera Utara

30

Sehingga berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa kewajiban
umat Islam untuk mematuhi hukum kewarisan Islam sebagai wujud kepatuhan
kepada Allah SWT, merupakan alasan dilakukan pemisahan harta warisan dari harta

tirkah (harta peninggalan).
Alasan pemisahan bagian harta warisan dari harta tirkah juga tidak terlepas
dari pandangan Islam terhadap hakikat dan fungsi harta dalam kehidupan umat Islam.
Pada hakikatnya, Allah merupakan pemilik mutlak harta yang kemudian
menganugerahkannya kepada umat manusia sebagaimana firman Allah dalam QS Al
Baqarah: 29, yaitu : “Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di
muka bumi buat kalian semuanya”
Kepemilikan seseorang terhadap harta bukan merupakan masalah, akan tetapi
kepemilikan tersebut harus diperoleh bukan dengan melakukan dosa. Hal tersebut
dapat diketahui dari QS Al Baqarah : 188 yang isinya : “Dan janganlah sebahagian
kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil
dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa
padahal kamu mengetahui”.
Harta yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia, disamping berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya, juga bertujuan sebagai perekat
hubungan persaudaraan atau ikhuwah Islamiyah dan Insaniyah. Seseorang yang
memiliki harta lebih dianjurkan dan diwajibkan untuk memberikan sebagian
kepada saudaranya yang sedang membutuhkan maupun untuk saling
menghadiahi kepada orang lain yang pada dasarnya tidak membutuhkan.

Kewajiban dan anjuran tersebut dimaksudkan agar timbul rasa saling
menghormati dan saling menyayangi sehingga harta menjadi alat untuk

Universitas Sumatera Utara

31

mewujudkan atau
masyarakat.73

mengukuhkan

silaturahmi

antara

sesama

anggota


Sebagaimana defenisi harta tirkah yang telah diuraikan sebelumnya, diketahui
bahwa harta tirkah belum dapat dibagikan kepada ahli waris karena di dalamnya
masih terkandung kewajiban-kewajiban seperti pembayaran utang,biaya penguburan
dan wasiat. Ahli waris berkewajiban untuk melakukan pembayaran kewajiban
tersebut terlebih dahulu karena bukan merupakan hak dari pewaris maupun ahli
waris, melainkan hak dari orang yang berpiutang dengan pewaris atau pun orang yang
berhak atas wasiat tersebut.
Dalam kaitannya dengan pandangan Islam terhadap harta, makaalas an
pemisahan harta waris dari harta tirkah dilatarbelakangi oleh hakekat kepemilikan
harta oleh umat Islam. Kepemilikan harta dalam pandangan Islam berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan hidup, perekat hubungan persaudaraan dimana kepemilkan
harta tidak merupakan masalah, sepanjang kepemilikan tersebut tidak diperoleh
dengan berbuat dosa. Pemisahan harta warisan dari harta tirkah (harta peninggalan)
dilakukan agar setiap orang memperoleh bagian atau haknya masing-masing, baik itu
merupakan hak waris para ahli waris maupun hak-hak penerima wasiat dan orang
yang berpiutang dengan pewaris.
C. Hak dan Kewajiban Ahli Waris Terhadap Harta Tirkah (Harta
Peninggalan)
Penentuan bagian hak waris dilakukan setelah terlebih dahulu memperhatikan
berbagai hak yang menyangkut harta tirkah (harta peninggalan) tersebut, sebab
73

Satria Effendi, Op.Cit., hal.233

Universitas Sumatera Utara

32

pewaris semasa hidupnya mungkin mempunyai hutang yang belum terbayar,
meninggalkan suatu wasiat (pesan) dan sebagainya.74
Hak yang berhubungan dengan harta tirkah (harta peninggalan) tersebut
adalah75 :
1.

Hak yang menyangkut kepentingan mayit (pewaris) sendiri yaitu biaya
penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai dengan dimakamkan.

2.

Hak yang menyangkut kepentingan para kreditur.

3.

Hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat.

4.

Hak ahli waris.
Biaya penyelenggaraan jenazah dapat diperhitungkan dari harta tirkah dengan

syarat tidak dilebihkan dari yang seharusnya dan dalam batas yang dibenarkan dalam
ajaran Islam. Apabila biaya tersebut dilebihkan karena desakan tradisi, maka tidak
dibiayai dengan harta tirkah.76
Dalam keadaan pewaris mempunyai hutang semasa hidupnya, maka dapat
diperhitungkan dari harta tirkah (harta peninggalan) dan apabila jumlah
hutang melebihi jumlah harta tirkah, maka pembayarannya dicukupkan
dengan harta tirkah yang ada saja. Dalam hal terdapat dua kreditur, maka
kepada kreditur dibayarkan sesuai dengan perbandingan besar kecilnya hutang
pewaris.77Harta tirkah bukan hanya berupa benda yang bergerak atau yang
tidak bergerak karena harta tirkah (harta peninggalan) juga dapat berupa utang
ahli waris. Ahli waris tidak dibenarkan untuk membagikan harta waris
sebelum membayarkan utang si mayat.78

74

M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.19
Ibid.
76
Ibid.
77
Ibid.
78
Sulaiman Rasyid, Ilmu Fara’idh, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2003), hal.346
75

Universitas Sumatera Utara

33

Adapun yang menjadi kewajiban ahli waris berdasarkan ketentuan Pasal 175
KHI, adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah :
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan perawatan,
termasuk kewajiban pewaris maupun penagih hutang
c. Menyelesaikan wasiat pewaris
d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak
2. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya
terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya
Berdasarkan Pasal 175 KHI tersebut, ahli waris memiliki kewajiban dan
tanggung jawab terhadap pewaris. Ahli waris tidak memiliki kewajiban menutupi
kelebihan jumlah utang pewaris yang melebihi jumlah harta tirkah dengan harta ahli
waris tersebut dan apabila ahli waris meyanggupi untuk menutup kekurangan
tersebut, maka hal tersebut dipandang sebagai suatu kebaikan dan bukan merupakan
suatu kewajiban hukum.79
D. Peranan Notaris dalam Penentuan Inventarisasi Harta Tirkah (Harta
Peninggalan)
Peran notaris dalam hubungan keperdataan yang terjadi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan waktu.
Notaris seperti yang dikenal di zaman “Republk de Verenigde Nederlanden” mulai
masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya “Oost Indd.
Compagnie” di Indonesia.80Pada tahun 1860 diundangkanlah suatu peraturan

79

M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.20
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), (Jakarta :
Erlangga, 1983), hal. 15
80

Universitas Sumatera Utara

34

mengenai Notaris yangdimaksudkan sebagai pengganti peraturan-peraturan yang
lama, yaitu PJN (PeraturanJabatan Notaris) yang diundangkan pada 26 Januari 1860
dalam Staatblad Nomor 3dan mulai berlaku pada 1 Juli 1860. Inilah yang menjadi
dasar yang kuat bagipelembagaan notaris di Indonesia.
Dalam perkembangannya saat ini, peraturan yang mengatur tentang jabatan
notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 juncto Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004 dan pada
tanggal 15 Januari 2014, berdasarkan ketentuan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku
lagi :
1.

Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Staatblad 1860:3) sebagaimana
telahdiubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;

2.

Ordonantie tanggal 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

3.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil
Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 700);

4.

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4379); dan

Universitas Sumatera Utara

35

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah / Janji Jabatan
Notaris.
Dalam Penjelasan Umum UUJN ditegaskan bahwa UUJN merupakan

pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang
yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi yang
berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Dengan demikian UUJN merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur
Jabatan Notaris di Indonesia, dan berdasarkan Pasal 92 UUJN Nomor 30 Tahun 2004,
dinyatakan UUJN tersebut langsung berlaku, yaitu mulai tanggal 7 Oktober 2004.
Kata notaris berasal dari kata“nota literaria” yaitu tanda tulisan atau karakter
yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang
disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud adalah tanda yang
dipakai dalam penulisan cepat (stenografie).81 Sudarsono mendefenisikan notaris
sebagai orang yang mendapat kuasa dari pemerintah untuk mengesahkan dan
menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta dan sebagainya berdasarkan
petunjuk pemerintah.82
Notaris merupakan pejabat umum. Istilah pejabat umum dipakai dalam Pasal
1 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai pengganti Staatblad
Nomor 30 Tahun 1860 tentang PJN, dimana diatur bahwa yang dimaksud dengan
notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

81
82

Ibid., hal. 4
Sudarsono, Kamus Hukum, Op.Cit., hal.307

Universitas Sumatera Utara

36

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. Notaris
sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik
dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya
dalam membuat akta tersebut. Ketentuan tersebut sejalan dan berkaitan dengan
ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang mengatur bahwa yang dimaksud dengan
akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta
itu dibuat.
Menurut kamus hukum, pejabat umum merupakan terjemahan dari Openbare
Ambtenaren. Ambtenaren diartikan sebagai pejabat sehingga Openbare Ambtenaren
dapat diartikan sebagai pejabat yang mempunyai tugas yangbertalian dengan
kepentingan publik dengan kata lain notaris merupakanpejabat publik. Khusus
berkaitan dengan Openbare Ambtenarendiartikan sebagai pejabat yang diberitugas
untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik dan kualifikasiseperti
itu diberikan kepada notaris.83
Menurut Gandasubrata, sebagai pejabat umum yang diangkat olehpemerintah,
notaris juga termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat.84Di dalam tugasnya sehari-hari notaris menetapkan hukum dalam
aktanyasebagai akta autentikyang merupakan alat bukti yang kuat sehingga

83

Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, (Bandung : CV Mandar Maju,
Bandung, 2009), hal. 15
84
H.R.Purwoto S.Gandasubrata, Renungan Hukum , (Jakarta : IKAHI Cabang Mahkamah
Agung RI, 1998), hal.484

Universitas Sumatera Utara

37

memberikan pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya. Alat bukti
merupakan keseluruhan bahan yang digunakan sebagai pembuktian dalam perkara
yang disidangkan di pengadilan.85Bukti tertulis dalam perkara perdata merupakan
bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan biasanya dengan sengaja
seseorang menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila terjadi suatu
perselisihan dan bukti tadi lazimnya berupa tulisan.86Para ahli hukum juga
berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang
mutlak mengenai isinya.87
Kewenangan notaris dalam membuat akta autentik merupakan salah satu dari
kewenangan lainnya yang dimiliki oleh notaris sebagaimana diatur dalam UUJN.
Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut, ada baiknya
diuraikan terlebih dahulu defenisi kewenangan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, definisi dari kata wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak,
sedangkan kata kewenangan didefenisikan sebagai hak dan kekuasaan yang dipunyai
untuk melakukan sesuatu.88Dari defenisi kewenangan tersebut maka diketahui bahwa
kewenangan notaris dapat didefenisikan sebagai suatu hak dan kekuasaan yang
dimiliki notaris untuk melakukan sesuatu. Hak dan kekuasaan yang dimiliki notaris

85

Bachtiar Effendie, dkk., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata,
(Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1991), hal.49
86
Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung : CV.Citra
Aditya Bakti, 1998), hal.157
87
Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, (Semarang : CV.Agung,
1991), hal. 4
88
Kamus Besar Bahasa Indonesia ฀ Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan bahasa, hal. 1128

Universitas Sumatera Utara

38

untuk melakukan sesuatu, serta sesuatu yang dapat dilakukan oleh notaris tersebut
diatur dalam UUJN.
Kewenangan notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sebagaimana diuraikan
berikut ini :
1. Pasal 15 Ayat 1 mengatur bahwa Notaris berwenang membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
2. Pasal 15 Ayat 2 mengatur bahwaselain kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), notaris berwenang pula :
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraiansebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta Risalah Lelang.
3. Pasal 15 Ayat 3 mengatur bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Hukum kewarisan Islam tidak mewajibkan ahli waris untuk melakukan
penyelesaian pembagian harta tirkah pewaris di hadapan notaris. Akan tetapi, ahli
waris dapat memanfaatkan kewenangan notaris untuk menyelesaikan pembagian
harta tirkah tersebut. Dalam kaitannya dengan inventarisasi harta tirkah
(peninggalan) pewaris, para ahli waris yang merasa berkepentingan atau berhak atas

Universitas Sumatera Utara

39

bagian harta tirkah pewaris dapat memanfaatkan kewenangan yang dimiliki oleh
notaris dalam membuat suatu akta autentik. Di samping itu para pihak dapat pula
memperoleh informasi dari penyuluhan yang dilakukan notaris tersebut terkait
pembuatan akta autentik yang diperlukan.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, notaris berwenang untukmembuat akta
autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta autentik. Pada dasarnya, notaris dapat membuat akta
autentik dengan judul Akta Pemisahan dan Pembagian (Scheiding en Deling) terkait
dengan inventarisasi harta tirkah (harta peninggalan) pewaris, akan tetapi undangundang juga membuka peluang untuk menggunakan istilah yang lain yang
bermacam-macam pula, sepanjang substansinya dimaksudkan untuk mengakhiri
kepemilikan bersama tersebut.89
Untuk mengetahui substansi dalam Akta Pemisahan dan Pembagian tersebut,
terlebih dahulu diuraikan defenisi pemisahan dan pembagian yang merupakan judul
akta. Menurut J.Satrio, pemisahan diartikan sebagai suatu perjanjian dengan mana
para pihak menghentikan keadaaan tidak terbagi yang ada terhadap benda-benda
tertentu dengan memberikan hak tunggal atas benda yang semula merupakan milik
bersama menggantikan andil semula dalam keadaan tidak terbagi.90 Komar
Andarsasmita mendefenisikan pemisahan sebagai pengakhiran (opheffen/opheffing)
89

M.Hasballah Thaib dan Syahril Sofyan, Op.Cit., hal.72
J.Satrio, Hukum Waris tentang Pemisahan Boedel, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,
1998), hal.34
90

Universitas Sumatera Utara

40

dari hal/keadaan tidak terbagi menyangkut dua orang atau lebih yang atas suatu
benda/urusan (zaak) bersama-sama mempunyai hak.91
Menurut Than Thong Kie, pemisahan tidak mengakhiri kepemilikan bersama
terhadap harta peninggalan. Kepemilikan bersama berakhir setelah dilakukan
pembagian kepada orang-orang yang berhak. Pemisahan yang diikuti dengan
pembagian mengakibatkan bagian harta warisan telah dimiliki oleh orang yang
kepadanya warisan tersebut dibagikan.92
Substansi Akta Pemisahan dan Pembagian diatur sedemikan rupa dengan
berdasarkan pada pilihan hukum yang dikehendaki oleh ahli waris atau para pihak
yang berkepentingan. Ahli waris dapat meminta kepada Notaris untuk membuat Akta
Pemisahan dan Pembagian dengan berdasarkan pada ketentuan yang ada dalam
Hukum Kewarisan Islam.

91

Komar Andarsasmita, Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata (Teori dan Praktek), (Bandung : INI, 1987), hal.455
92
Than Thong Kie, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku II, (Jakarta : PT.Ichtiar Baru, 2000),
hal.64

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan Anak Di Kala Kedua Orang Tua Masih Hidup (Putusan MA Tanggal 27 OktobeR 2004, NO. 1187 K/PDT/2000)

2 36 152

Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999)

0 55 136

Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya (Studi Di Balai Harta Peninggalan Medan)

16 122 164

TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 312 K/AG/2008 TENTANG SENGKETA HARTA PENINGGALAN ANTARA ANAK ANGKAT DENGAN SAUDARA KANDUNG ORANG TUA ANGKAT DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 0 1

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 1 19

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 0 2

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 0 24

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013) Chapter III V

0 0 80

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013)

0 0 8