Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya (Studi Di Balai Harta Peninggalan Medan)

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN BALAI

HARTA PENINGGALAN DALAM PENGELOLAAN

HARTA KEKAYAAN YANG TIDAK DIKETAHUI

PEMILIK DAN AHLIWARISNYA

(STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)

T E S I S

Oleh

S Y U H A D A

077005028/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K O L

A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN BALAI

HARTA PENINGGALAN DALAM PENGELOLAAN

HARTA KEKAYAAN YANG TIDAK DIKETAHUI

PEMILIK DAN AHLIWARISNYA

(STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

S Y U H A D A

077005028/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN

BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM

PENGELOLAAN HARTA KEKAYAAN YANG

TIDAK DIKETAHUI PEMILIK DAN

AHLIWARISNYA (STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)

Nama Mahasiswa : S y u h a d a

Nomor Pokok : 077005028

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) K e t u a

(Dr. Sunarmi, SH. MHum) (Dr. Mahmul Siregar, SH,. MHum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 13 Juli 2009

___________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH

Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH. MHum

2. Dr. Mahmul Siregar, SH. MHum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum


(5)

ABSTRAK

Keberadaan Lembaga Ketidakhadiran (afwezigheid) berdasarkan Pasal 463 KUHPerdata dan Penetapan Pengadilan secara formal hanya ditujukan bagi subjek hukum manusia. Perkembangan dalam masyarakat memperlihatkan kecendrungan bahwa subjek ketidakhadiran itu diperluas berlakunya sehingga meliputi juga ketidakhadiran subjek hukum badan hukum. Penelitian ini menguraikan dasar dan penyebab dari perluasan pemberlakuan afwezigheid tersebut, pelaksanaan dalam pengelolaan terhadap harta kekayaan afwezigheid dan kendala-kendala serta upaya yang dilakukan BHP Medan dalam pengurusan dan pengelolaan boedel afwezigheid tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data primer dan data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara dan studi kepustakaan. Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan BHP dan kekosongan hukum dalam pengaturan afwezigheid mendorong hakim melakukan penemuan hukum dengan memperluas makna ketidakhadiran meliputi ketidakhadiran badan hukum.

Meskipun kekosongan hukum telah terisi dengan penemuan hukum, akan tetapi tetap saja terdapat hambatan-hambatan, baik yang bersifat internal maupun eksternal bagi BHP dalam melaksanakan pengurusan dan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang dinyatakan afwezigheid. Hambatan internal berasal dari BHP itu sendiri, berupa sumber daya manusia, kendala anggaran, serta kendala fasilitas dan sarana kerja. Sedangkan kendala eksternal antara lain kurangnya pengertian dan pemahaman dari instansi terkait dengan tugas pengurusan boedel afwezigheid, munculnya orang atau pihak lain yang mengaku sebagai pemilik, ahliwaris atau kuasanya yang dapat menimbulkan terjadinya proses gugatan pembatalan terhadap penetapan ketidakhadiran serta pihak yang berkepentingan kadang kala tidak sanggup membayar harga barang-barang atau harta kekayaan afwezigheid tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada pembuat Undang-undang agar melembagakan pengaturan tentang afwezigheid kedalam peraturan perundang-undangan nasional yang lebih tinggi (Undang-undang). Pemerintah diharapkan untuk memperhatikan kecukupan anggaran bagi BHP serta memperbaiki sarana dan fasilitas kerja, agar BHP bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


(6)

ABSTRACT

The existence of absentia institution (afwezigheid) based on the Article 463 of Personal Code and Judicial Verdict formally is only referred to legal subject of human beings. The progress in society presents a tend that the subject of absentia is extended of the application to also include the absentia of corporate. The present study described the principles and cause of the extended application of afwezigheid, incuding implementation of property management of afwezigheid and the challenges, and the efforts of BHP Medan in arrangement and management of boedel afwezigheid.

The study used a normative method descriptively by a qualitative analysis. The qualitative analysis was applied for the primary and secondary data (corporate) collected by using both interview and library study. The requirement of society for BHP service and legal vacancy in managing the afwezigheid leads the judges to make a legal discovery by extending the definition of absentia of corporate.

Although the legal vacancy has been filled by the legal discovery, however, there were also challenges either internally or externally for BHP to implement the arrangement and management of property stated under afwezigheid. The internal challenges resulted from the BHP itself such as human resources, lack of budget, and other limitation of facility and the working instrument. Whereas the external challenges included the lack of understanding and comprehension of the relevant institutions related to the arrangement of boedel afwezigheid, the emergence of those or other parties who recognized as the owner, heirs or the authorized power of attorney that can result in the sue of cancellation of any decision of absentia and the interest parties sometimes could not pay the prices of goods and property of the afwezigheid.

Based on the result of the study, it is suggested to the legislative to institutionalize the arrangement of afwezigheid into the higher national Statutory Rules (Laws). The government is expected to consider the sufficiency of budget of BHP and repair the working facilities that the BHP can conduct their main jobs and functions as required by the society.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik dan Ahliwarisnya”.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan Penulis. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, Penulis mengharapkan kritik yang sehat dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk perbaikannya dikemudian hari.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, Penulis sampaikan kepada yang terhormat dan yang amat terpelajar :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA (K) dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana (S2);


(8)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Komisi Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis baik pada saat mengikuti perkuliahan dan juga dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH. MHum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dan dukungan penuh membuat Penulis terpacu untuk segera menyelesaikan tesis ini. Untuk itu Penulis doakan semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada Beliau dan keluarganya.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH. MHum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dalam kesibukannya rela meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna untuk penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum, selaku Anggota Komisi Penguji. 7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Anggota Komisi

Penguji.

8. Seluruh Dosen penulis pada Sekolah Pascasarjana USU yang telah banyak memberikan ilmu serta motivasi dalam setiap perkuliahan


(9)

9. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara yang telah merekomendasikan serta memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi Penulis untuk mendapatkan bea siswa penuh dalam mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

10.Bapak Amri Marjunin, SH, Ketua BHP Medan dan para ATH yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, serta data-data yang sangat berguna dalam penyelesaian tesis ini.

11.Orang tua tercinta, ayahanda H. Sahono dan Ibunda Hj. Aniyah, yang tiada hentinya berdoa demi kesuksesan penulis, dan semua saudara-saudariku serta segenap keluarga yang selalu memberikan dorongan kepada Penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.

12.Rekan-rekan seperjuangan pada kelas kekhususan Hukum dan HAM Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan I Tahun 2007.

13.Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum SPs USU atas segala bantuannya berupa pelayanan dan kemudahan yang kalian berikan, kiranya Allah SWT yang akan membalas segala kebaikan kalian.

14.Teristimewa ucapan terimakasih kepada isteri tercinta Rinawati dan ananda Indana Sari Zulfa, dengan cinta kasih yang tulus terus mendukung dan rela kehilangan waktu untuk bersama selama masa perkuliahan berlangsung.


(10)

Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan terutama bagi Penulis sendiri serta dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum dimasa mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan anugerahNya kepada kita semua. Amin ya rabbal alamin.

Medan, Mei 2009 Wassalam Penulis, S Y U H A D A


(11)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : S Y U H A D A Tempat / Tgl. Lahir : Medan, 12 Juni 1967 Jenis Kelamin : Laki-laki

A g a m a : I s l a m

A l a m a t : Jl. Setia Budi Psr. I No. 36-A Tanjung Sari Medan Telp. (061) 8217494/ HP. 081397623166

Pendidikan :

- SD Muhammadiyah 3 Tanjung Sari Medan,lulus tahun 1980 - SMP Muhammadiyah Tanjung Sari Medan, lulus tahun

1983

- SMA Negeri 14 Medan, lulus tahun 1986

- S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area Medan, lulus tahun 1992

- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan, lulus tahun


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK..……….i

ABSTRACT.………ii

KATA PENGANTAR………iii

RIWAYAT HIDUP………vii

DAFTAR ISI……….viii

DAFTAR GAMBAR……….xii

DAFTAR SINGKATAN………...xiii

BAB I : PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah………...9

C. Tujuan Penelitian……….10

D. Manfaat Penelitian………...10

E. Keaslian penelitian………...12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi..………...13

1. Kerangka Teori………...13

2. Konsepsi………...18


(13)

1. Jenis dan Sifat Penelitian………...22

2. Sumber Data Penelitian……….………..23

3. Teknik Pengumpulan Data………..23

4. Analisis Data………..24

BAB II : PENGATURAN PERLUASAN KETIDAKHADIRAN SUBJEK HUKUM DAN PENYEBAB TERJADINYA PERLUASAN……...26

A. Ketidakhadiran pada Umumnya……….26

1. Subjek Hukum Manusia..………...30

2. Subjek Hukum Badan Hukum.. ...39

3. Domisili...53

B. Landasan Hukum Ketidakhadiran (afwezigheid)...62

1. Yang dapat dinyatakan tak hadir dan syarat-syarat memajukan permohonan ketidakhadiran...68

2. Tahap-tahap penyelesaian ketidakhadiran serta akibat hukumnya……….70

B. Perluasan Ketidakhadiran dan penyebab terjadinya perluasan……….88


(14)

BAB III : PELAKSANAAN TUGAS BALAI HARTA PENINGGALAN

SEBAGAI PENGELOLA BOEDEL KETIDAKHADIRAN…....101

A. Sejarah Balai Harta Peninggalan………..101 B. Dasar Hukum………106 C. Pelaksanaan pengurusan dan pengelolaan boedel ketidak

hadiran...110 1. Melaksanakan Inventarisasi boedel ketidakhadiran

(afwezigheid) ...111 2. Iklan (pengumuman) ketidakhadiran...113 3. Izin pelaksanaan jual boedel ketidakhadiran dari Direktur

Jenderal Administrasi Hukum Umum...115 4. Izin penjualan harta kekayaan afwezigheid dari

Pengadilan Negeri... ...117 D. Pertanggung jawaban BHP dalam pengelolaan boedel

ketidakhadiran (afwezigheid)...123 BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN DAN UPAYA YANG

DILAKUKAN BHP DALAM PENGELOLAAN BOEDEL

KETIDAKHADIRAN..………...128

A. Hambatan-hambatan dalam pengelolaan boedel ketidak

hadiran (afwezigheid)...128 1. Hambatan-hambatan Internal…....128

2. Hambatan-hambatan Eksternal ...136


(15)

B. Upaya-upaya yang dilakukan BHP untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pengelolaan boedel ketidak

hadiran (afwezigheid)...138

1. Upaya-upaya Internal...138

2. Upaya-upaya Eksternal………..141

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………...145

1.. Kesimpulan………...145

2. Saran-saran………...148

DAFTAR PUSTAKA...150


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 3.1 : Proses Pengalihan Boedel Afwezigheid


(17)

DAFTAR SINGKATAN

B E J : Bursa Efek Jakarta

B H P : Balai Harta Peninggalan

B P H N : Badan Pembinaan Hukum Nasional B P N : Badan Pertanahan Nasional

B W : Burgerlijk Wetboek

D I R J E N : Direktur Jenderal

H A M : Hak Asasi Manusia

H. R. : Hooge Raad

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPidana : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana M A R I : Mahkamah Agung Republik Indonesia MENKUMHAM : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia P J N : Peraturan Jabatan Notaris

P N : Pengadilan Negeri

P P : Peraturan Pemerintah

P P A T : Pejabat Pembuat Akta Tanah

R.Bg : Reglement Buitengewesten


(18)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Abad 21 menghadapkan pada keadaan, permasalahan dan tantangan yang berbeda dengan yang dihadapi dalam kurun waktu sebelumnya. Perkembangan lingkungan strategi nasional dan internasional yang dihadapi dewasa ini dan di masa yang akan datang ditandai dengan adanya tuntutan reformasi dan demokratisasi sejak tahun 1997 yang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaharuan sistem kelembagaan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang mengacu pada terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance). 1

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang bertugas melakukan pelayanan di bidang hukum melalui unit-unit pelaksana teknisnya antara lain Balai Harta Peninggalan (BHP) tidak lepas dari tuntutan dan harapan untuk melaksanakan tugas pemerintahan yang baik dan bebas KKN (good governance andclean government).2

1 Syamsuddin Manan Sinaga, Pola Kerja Balai Harta Peninggalan Menyikapi Pemeriksaan

Inspektorat Jenderal BPKP dan BPK”, makalah disampaikan pada Rapat Kerja Balai Harta

Peninggalan seluruh Indonesia di Medan pada tanggal 4 Mei 2007, hal 1 2 Ibid, hal 1


(19)

Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat dewasa ini, keberadaan dan eksistensi Lembaga Balai Harta Peninggalan (BHP) mutlak diperlukan dan diharapkan mampu menjawab segala tantangan dalam pembangunan bidang hukum. Kebijakan pembentukan hukum dewasa ini diarahkan untuk membentuk substansi hukum yang responsif dan mampu menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi dan keadilan. Dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekwen dan konsisten dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law 3

yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.

BHP sebagai instansi Pemerintah di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Perdata, yang salah satu tugasnya adalah sebagai yang mewakili kepentingan mereka yang tak hadir dan sukar dicari atau dalam istilah hukum disebut afwezigheid sangat berperan dalam melaksanakan pengurusan serta pengelolaan terhadap harta kekayaan yang pemiliknya dinyatakan tak hadir atau sukar dicari. BHP merupakan lembaga yang

3 A.A. Oka Mahendra, Permasalahan Dan Kebijakan Dan Penegakan Hukum , Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. dikutip dari Website http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=ar+1&f=penegakan-hukum-htm. Diakses tanggal 11 Agustus 2007.


(20)

berdasarkan undang-undang diberi tugas dan kewenangan untuk mengurus dan mewakili segala kepentingan-kepentingan subjek hukum yang tak hadir sesuai bunyi Pasal 463 KUHPerdata 4 serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan pengurusan.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, BHP didukung oleh peraturan-peraturan yang ada serta kebijaksanaan pemerintah berupa Surat Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dan Surat-Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 5. Bila dilihat dari peraturan dan dasar hukum yang menjadi landasan tugas BHP masih banyak menggunakan peraturan warisan kolonial yang masih berlaku karena belum diganti atau dicabut, walaupun seringkali mungkin tidak diperlukan lagi atau perlu diubah, diperbaharui atau sudah perlu diganti dengan peraturan yang sama sekali baru, agar dapat memenuhi kebutuhan perkembangan zaman.

Dasar pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya produk kolonial yang sampai saat ini masih berlaku adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa

4 Pasal 463 KUHPerdata berbunyi :

“Jika terjadi seorang telah meninggalkan tempat tinggalnya, dengan tidak memberi kuasa kepada seorang wakil, guna mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, pun ia tidak mengatur urusan-urusan dan kepentingan itu, ataupun jika pemberian kuasa kepada wakilnya tidak berlaku lagi, maka jika ada alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya itu atau guna mengadakan seorang wakil baginya, Pengadilan Negeri tempat tinggal si yang tak hadir , atas permintaan mereka yang berkepentingan, atau atas tuntutan Jawatan Kejaksaan, harus memerintahkan kepada Balai Harta Peninggalan, supaya mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaan dan kepentingan itu pula supaya membela hak-hak si yang tak hadir dan mewakili dirinya”. 5 Rapat Dinas Balai Harta Peninggalan se Indonesia pada tanggal 5-6 Nopember 2001, “ Pengembangan Uang Pihak Ketiga yang dikelola/diurus oleh Balai Harta Peninggalan dan segala permasalahan”.


(21)

untuk mengisi kekosongan hukum, maka segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku sebelum diadakan yang baru berdasarkan UUD 1945. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diciptakan pada zaman kolonial masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,6 sebagaimana yang dikemukakan oleh mantan Menteri Kehakiman Sahardjo yang mengatakan :

Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel bukan kodifikasi

lagi (dikatakannya telah menjadi rechts boek). Dari kedua buku itu yang

berlaku ialah pasal-pasal yang betul-betul hidup sebagai hukum di Indonesia dengan syarat : a). tidak bertentangan dengan jiwa UUD 1945; b). tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum kita; c).setelah disesuaikan dengan keadaan, pasal-pasal yang memenuhi syarat itu berlaku sebagai hukum yang tidak tertulis”.7

Salah satu di antara peraturan kolonial tersebut adalah peraturan di bidang BHP, yang masih berlaku karena belum diganti atau dicabut. Dalam tesis ini yang dimaksud dengan peraturan yang ada adalah khususnya yang berkaitan dengan lembaga hukum afwezigheid atau ketidakhadiran yang diatur dalam Bab Kedelapanbelas Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet boek.

Stb.1847/23 jo. Stb. 1848/10, selanjutnya disingkat BW). Berhubungan dengan Pasal 235 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement, Stb.1941/44) jo. Pasal 271 RBg

6 Tim Penyusunan Naskah Akademis tentang Balai Harta Peninggalan, “ Naskah Awal Tentang Balai Harta Peninggalan Dan Pencabutan Instructie voor de Weeskamers in Indonesia (Ord.v.5 Okt 1872) S.72-166 (Iwg. 1 Juli 1973) “.

7 Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila/Manipol/Usdek, makalah disampaikan pada acara penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963.


(22)

(Rechts Reglement Buitengewesten, Stb. 1927/227).8 Ketentuan-ketentuan tentang lembaga ketidakhadiran tersebut di atas dengan segala aturan-aturan pelaksanaannya tetap dipertahankan eksistensinya hingga kini atas dasar Pasal II Aturan Peralihan tersebut di atas dan berlaku bagi subjek hukum manusia yang berstatus sebagai warga negara Indonesia.

Status atau kedudukan dari subjek hukum yang dinyatakan tak hadir

(afwezig) itu sangat berhubungan erat dengan instansi atau lembaga yang menurut undang-undang dipercayakan untuk mengelola atau mengurus hak-hak atas kekayaan milik si tak hadir tadi. Uraian-uraian tentang lembaga hukum yang bertugas mengelola hak-hak atas kekayaan milik subjek hukum yang dinyatakan tak hadir itu jelas akan menyentuh uraian tentang manajemen secara umum. Manajemen itu sendiri mencakup beberapa unsur yang keseluruhannya saling mendukung.

M. Solly Lubis mengemukakan bahwa manajemen adalah proses atau kegiatan orang-orang dalam organisasi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bagi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan 9, selanjutnya beliau menulis bahwa : “ untuk mencapai tujuan itu, diperlukan sumber-sumber atau yang disebut juga unsur manajemen yang dapat digolongkan menjadi sumber daya manusia, dana atau sumber keuangan, sarana atau perangkat kerja, termasuk di dalamnya

8 Undang-undang sendiri ternyata tidak ada memberikan batasan pengertian tentang afwezigheid ini, selain meminta pembacanya menyimpulkan sendiri maksud bunyi Pasal 463 BW. 9 M. Solly Lubis, Dimensi-dimensi Manajemen Pembangunan , (Bandung : Mandar Maju, 1996), hal. 13.


(23)

metoda/teknologi dan material/bahan-bahan 10. Dalam prakteknya di lapangan BHP dalam proses pengurusan terhadap harta kekayaan yang dinyatakan afwezigheid

menghadapi berbagai kendala baik secara intern maupun ekstern.

Keadaan sukar dicari atau ketidakhadiran yang dalam istilah hukumnya disebut “afwezigheid menurut sistem hukum yang ada diberlakukan bagi subjek hukum manusia ini menurut hukum dinyatakan dan selanjutnya hanya dapat dibuktikan keberadaan atau eksistensinya dengan penetapan (beschikking) hakim (Pasal 463 KUHPerdata). Dalam penetapan ketidakhadiran itu dapat sekaligus ditunjuk BHP setempat yang akan bertugas mengurus dan yang mewakili serta membela segala kepentingan si tak hadir itu selama ketidakhadirannya, akan tetapi dengan tidak mengurangi kewenangan hakim untuk menunjuk seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda dari si yang tak hadir atau kepada isteri atau suaminya untuk keperluan itu (Pasal 463 ayat (3) KUHPerdata). Selanjutnya setelah penetapan tentang ketidakhadiran itu telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), maka pengurus atau wakilnya akan melaksanakan segala tindakan pengurusan (daad van beheer) maupun tindakan pemilikan (daad van beschikking)

bila perlu sesuai dengan kepentingan boedel afwezig atau kekayaan tak hadir dimaksud. 11

Dalam melaksanakan pengurusan atas kekayaan milik orang yang tak hadir itu, sepanjang tidak ditentukan lain oleh Pengadilan, wajib diturut dan dipatuhi

10 Ibid.

11 J. Satrio, “Uraian tentang pengertian daad van beheer dan daad van beschikking “ , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal 55 dan 56.


(24)

ketentuan yang berlaku bagi pengurusan atas harta kekayaan dari anak yang masih di bawah umur (Pasal 464 kalimat kedua jis. Bagian kesebelas Buku I KUH Perdata). Dalam prakteknya di lapangan (di Kantor BHP Medan), telah terdapat perluasan dalam penentuan subjek ketidakhadiran yaitu :

1. Bahwa subjek ketidak hadiran ini telah diperluas penerapan dan pengertiannya sehingga meliputi dan mencakup juga ketidakhadiran dari subjek hukum badan hukum (rechts persoon), contoh Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 906/Pm/Perd/1979/PN.Mdn tanggal 25 Maret 1980 tentang Putusan afwezig Bank of China.

2. Bila kepentingan boedel itu sendiri menghendaki (dalam arti untuk menghindari akibat dan kerugian terhadap boedel), maka pengurusan harta kekayaan si tak hadir ini dapat diarahkan kepada tindakan pemilikan (dalam arti penjualan) atas

boedel afwezig itu. Dalam praktek di lapangan rumah atau tanah yang dikelola oleh BHP pada umumnya dimohon untuk dibeli oleh para penghuninya, orang lain atau oleh yang menguasainya berdasarkan penetapan pengadilan melalui BHP sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01.HT.05.10 Tahun 1990 tanggal 24 Desember 1990 tentang Petunjuk Untuk Mengajukan Permohonan Izin Prinsip Dan Izin Pelaksanaan Penjualan Budel Afwezig Dan Onbeheerde Nalatenschap Yang Berada Dibawah Pengawasan Dan Pengurusan Balai Harta Peninggalan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.02-HT.05.10 Tahun 2005 tanggal 12 Oktober 2005 tentang


(25)

Permohonan Ijin Pelaksanaan Penjualan Harta Kekayaan Yang Pemiliknya Dinyatakan Tidak Hadir Dan Harta Peninggalan Yang Tidak Terurus Yang Berada Dalam Pengawasan Balai Harta Peninggalan, selanjutnya menyimpan hasil penjualannya dalam bentuk uang tunai;

3. Uang hasil penjualan boedel afwezig selanjutnya disimpan di Bank milik Pemerintah sebagai rekening Uang Pihak Ketiga yang dikelola BHP untuk jangka waktu tertentu dan harus disetorkan ke Kas Negara apabila telah mencapai 1/3 abad berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri setempat dan izin dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam

Staatsblad 1836 No. 56 jo. Staatsblad 1850 No. 3.

Selanjutnya, dalam konteks pembaharuan hukum sebagai upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum, menurut Bismar Nasution terdapat beberapa unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat pembangunan, yaitu :

1. Hukum harus membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan hukum.

2. Hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability)

dalam penyelesaian sengketa, misalnya dalam mengatur peradilan trigunal

(cour or administrative tribunal), penyelesaian sengketa di luar peradilan

(alternative dispute resolution) dan penunjukan arbiter, konsiliasi

(conciliation) dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam

penyelesaian sengketa.

3. Pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of goals) oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara.

4. Hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya (education) dan selanjutnya disosialisasikan.


(26)

5. Hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan (balance) karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan.

6. Hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas

(definition and clarity of status). Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang.

7. Hukum itu harus dapat mengakomodasi (accommodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, dan terakhir;

8. Stabilitas (stability) sebagai unsur yang harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan. 12

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat peran penting yang akan diemban oleh BHP terkait dengan tugas pengurusan dan pengelolaan terhadap harta kekayaan (boedel)

ketidakhadiran.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bahagian latar belakang di atas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan perluasan ketidakhadiran subjek hukum pada Balai Harta Peninggalan dan mengapa terjadi perluasan ketidakhadiran subjek hukum tersebut ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan dalam pengelolaan terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya ?

12 Bismar Nasution, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Makalah disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2004.


(27)

3. Bagaimanakah kendala dan upaya yang dilakukan Balai Harta Peninggalan dalam melakukan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya ?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mencari pemahaman yang tepat tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perluasan subjek ketidakhadiran dari subjek hukum manusia sehingga meliputi juga badan hukum. .

2. Untuk mengetahui sampai sejauhmana perluasan ketidakhadiran subjek hukum yang diterapkan oleh BHP.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala dan upaya yang dilakukan oleh BHP dalam melakukan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang berjudul “ Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya “, diharapkan akan memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut :


(28)

1. Manfaat Teoritis

a. Masukan bagi pengkajian lebih lanjut bagi praktisi hukum yang ingin memperdalam, mengembangkan atau menambah pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Pengelolaan Harta Kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya.

b. Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu pengetahuan hukum, yaitu dalam bidang hukum keperdataan, khususnya hukum perseorangan.

c. Sebagai salah satu bahan referensi bagi kalangan praktisi hukum, akademisi dan masyarakat pemerhati hukum sebagai bahan kajian dan perbandingan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi aparatur pengambil kebijakan di lingkungan BHP pada umumnya dan BHP Medan pada khususnya dalam menerapkan ketentuan yang sebenarnya berlaku dalam mengurus harta kekayaan orang yang dinyatakan tak hadir (afwezigheid).

b. Memberikan tambahan wawasan pemikiran kepada kalangan yang berminat mempelajari tentang afwezigheid yang merupakan problematika hukum yang memerlukan perhatian dan penanganan yang profesional.

c. Sebagai bahan masukan guna penyempurnaan peraturan perundang-undangan nasional, khususnya yang terkait dengan kasus-kasus afwezigheid dan perlindungan hukum terhadap hak-hak si tak hadir terhadap harta kekayaannya.


(29)

d. Mengungkap masalah yang timbul di lapangan sebagai implementasi atas pelaksanaan tugas pengurusan atas boedel afwezig dimaksud serta sebagai sumbang saran berupa solusi terhadap masalah dimaksud untuk peningkatan kinerja BHP di masa datang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai ketidakhadiran

(afwezigheid) ini sudah pernah dilakukan dan diteliti oleh peneliti lain antara lain oleh Saudara Syahril Sofyan dengan merumuskan permasalahan yaitu :

1. Mengapa terjadi perluasan subjek ketidakhadiran dari subjek hukum manusia sehingga mencakup juga subjek hukum badan hukum ?

2. Apakah perluasan pengertian subjek ketidakhadiran itu dapat diterima secara praktis, baik oleh atasan langsung yang membawahi BHP yang bersangkutan maupun oleh aparat pengawas fungsional di lingkungan Departemen Kehakiman RI (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) ? 3. Apakah ada saldo uang milik orang yang tak hadir yang terdapat dalam rekening

uang pihak ketiga yang dikelola BHP yang sudah diurus selama waktu tertentu yang belum disetorkan ke Kas Negara ?


(30)

. Dengan rumusan masalah yang berbeda dengan penulis, maka penelitian ini dapat dikategorikan penelitian yang baru, dan keasliannya dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif yang semuanya ini merupakan imflikasi dari proses menemukan kebenaran. Penelitian ini didasarkan pada ide, gagasan, serta pemikiran penulis pribadi dari awal hingga akhir penyelesaiannya dengan melihat kasus-kasus

afwezigheid yang pengurusan dan pengelolaannya dilakukan oleh BHP Medan, kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini, karena hal tersebut sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tesis ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ketidakhadiran (afwezigheid) menurut doktrin dan undang-undang hanya berlaku bagi manusia (persoon). Tetapi dalam praktek terjadi bahwa ketidakhadiran

(afwezigheid) telah diperluas oleh hakim sehingga meliputi ketidakhadiran badan hukum (rechtspersoon). Ketidakhadiran badan hukum itu sendiri bukan lagi sebagai pengecualian dari ketidakhadiran atas subjek hukum manusia, melainkan sebagai suatu hal yang sudah diterima dalam praktek hukum bahwa subjek badan hukum

(rechtspersoon) dapat dinyatakan tak hadir (afwezigheid) walaupun ketidakhadiran terhadap badan hukum berada di luar sistem hukum yang ada.

Hakim yang menetapkan ketidakhadiran badan hukum itu telah melakukan proses penemuan hukum (rechtsvinding) untuk menjawab dan memecahkan


(31)

permasalahan hukum yang ada di hadapannya demi kepentingan masyarakat dan kepentingan umum (public interest) yang membutuhkan kepastian hukum atas permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat. Penemuan hukum (rechtsvinding)

merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit. Penemuan hukum merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit

(das sein). Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa kongkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa kongkrit. 13

Menurut Van Apeldoorn hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan hal-hal yang kongkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah (aanvulen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang kongkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat. Pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk yang bersifat umum saja. Pertimbangan mengenai hal-hal yang kongkrit, yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang kongkrit diserahkan kepada hakim.

13 Sunarmi, Penemuan Hukum, Bahan Ajar Kelas Khusus Hukum dan HAM Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2008, hal. 6


(32)

Kepentingan masyarakat (public interest) terkait dengan mencapai tujuan masyarakat yang lebih baik, karena memuat kepentingan dan keinginan secara bersama, khalayak umum. Berapa orang yang akan menerima keuntungan dengan adanya public interest menjadi sangat crusial dalam proses penentuan kebijakan. Konflik kepentingan dijaga supaya tidak naik dan mengacaukan kepentingan umum

(public interest) itu sendiri. Pemerintah memiliki andil dalam mempertahankan status dan pelaksanaan kepentingan umum tersebut. Pemerintah menjamin keabsahan kepentingan umum (public interest) tanpa adanya kepentingan individu yang bermain di dalamnya sehingga kepentingan umum dapat memuaskan masyarakat sebagai warga negara.14 Dengan demikian assesment dari masyarakat terkait dengan public interest dilakukan dengan sangat hati-hati karena jika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan bisa jadi akan menjadi keuntungan bagi segelintir individu dan akan menjadi kepentingan pribadi (private interest).15

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.16 Dalam masyarakat terdapat banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan maupun kelompok yang tidak terhitung jumlah maupun jenisnya yang harus

14 Sudikno Mertokusumo, Kepentingan Umum, Kertas kerja untuk didiskusikan di Kejaksaan Agung RI, Yogyakarta, 1996. Dikutip dari : file://localhost/D:/Full%20 Access/abc/Artikel%20 Hukum%20 KEPENTINGAN %20 UMUM.htm. Diakses tanggal 4 April 2009.

15 The Planet, Public Interest, dikutip dari :

file://localhost/D:/Full%20Access/abc/Public%20Interest%20<<%20the%20planet.htm. Diakses tanggal 4 April 2009.


(33)

dihormati dan dilindungi sehingga wajarlah kalau setiap orang atau kelompok mengharapkan atau menuntut kepentingan-kepentingan itu dilindungi dan dipenuhi, yang sudah tentu tidak mungkin dipenuhi semuanya sekaligus mengingat bahwa kepentingan-kepentingan itu, kecuali banyak yang berbeda banyak pula yang bertentangan satu sama lain.

Tidak dapat disangkal bahwa tindakan pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Tindakan pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum dan memperhatikan serta melindungi kepentingan umum, sedangkan di dalam masyarakat banyak terdapat kepentingan-kepentingan, maka dari sekian banyak kepentingan-kepentingan harus dipilih dan dipastikan ada kepentingan-kepentingan yang harus didahulukan atau diutamakan dari kepentingan-kepentingan yang lain. Jadi ada kepentingan yang dianggap lebih penting atau utama dari kepentingan lainnya. Berbagai kepentingan itu harus dipertimbangkan bobotnya secara seimbang

(proporsional) dengan tetap menghormati masing-masing kepentingan dan

kepentingan yang menonjol itulah kepentingan umum, sudah tentu tindakan pemerintah dalam menentukan kepentingan mana yang lebih penting atau utama dari kepentingan-kepentingan lain itu harus berdasarkan hukum dan mengenai sasaran atau bermanfaat. Jadi kepentingan umum adalah kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan-kepentingan yang lain dengan tetap memperhatikan proporsi pentingnya dan tetap menghormati kepentingan-kepentingan lain. Dalam hal ini tidak


(34)

berarti bahwa ada kewerdaan (hirarkhi) yang tetap antara kepentingan yang termasuk kepentingan umum dan kepentingan lainnya.

Secara teoritis dapat dikatakan bahwa kepentingan umum merupakan

resultante hasil menimbang-nimbang sekian banyak kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dengan menerapkan kepentingan yang utama menjadi kepentingan umum. Secara praktis dan kongkrit akhirnya diserahkan kepada hakim untuk menimbang-nimbang kepentingan mana yang lebih utama dari kepentingan yang lain secara seimbang (proporsional) dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan yang lain. Sebaliknya tidak seyogyanya untuk memberi batasan atau definisi yang kongkrit, mutlak dan ketat mengenai kepentingan umum karena kepentingan manusia itu berkembang demikian pula kepentingan umum. Perlu kiranya ada satu rumusan umum sebagai pedoman tentang pengertian kepentingan umum yang dapat digunakan terutama oleh hakim dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan kepentingan umum yang dinamis, tidak tergantung pada waktu dan tempat. Tiap-tiap kasus harus dilihat secara kasuistis, yang akhirnya menentukan apa saja yang termasuk pengertian kepentingan umum adalah hakim atau undang-undang berdasarkan rumusan yang umum tadi.

Seyogyanya kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan tetap dirumuskan secara umum dan luas. Kalau dirumuskan secara rinci atau kasuistis dalam peraturan perundang-undangan, penerapannya akan kaku, karena hakim lalu terikat pada rumusan undang-undang. Rumusan umum oleh pembentuk Undang-undang akan lebih luwes dan fleksibel karena penerapan atau penafsirannya oleh


(35)

hakim berdasarkan kebebasannya dapat secara kasuistis disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan keadaan sebagaimana dengan munculnya penetapan tentang ketidakhadiran subjek hukum badan hukum (rechts persoon). Kemandirian hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruangan yang kosong dalam undang-undang adalah tidak bertentangan dengan Pasal 21 AB. Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum sebab dituangkan dalam bentuk putusan. Hasil penemuan itu merupakan hukum.17 Hal ini juga berlaku bagi perluasan ketidakhadiran atas subjek hukum badan hukum (rechtspersoon).

2. Konsepsi

Untuk menghindarkan terjadinya perbedaan dalam penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, perlu kiranya penulis memberikan definisi dari istilah-istilah tersebut sebagai berikut :

a. Hukum seperti yang dikatakan oleh Van Apeldoorn 100 tahun terakhir belumlah ditemukan definisi hukum yang memuaskan semua pihak, namun demikian, sebagai pegangan dapat dipilih satu dari sekian banyak perumusan seperti : keseluruhan kaidah (norma) nilai mengenai suatu segi kehidupan

17 Opcit, hal 9


(36)

masyarakat, yang maksudnya mencapai kedamaian dalam masyarakat. Sifat utama hukum itu ialah keadilan dan kemanfaatan.18

b. Kewenangan 19 yaitu serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik; hak dan kekuasaan; kompetensi; yuridiksi; otoritas.

c. Balai Harta Peninggalan 20 adalah unit pelaksana penyelenggaraan hukum di bidang harta peninggalan dan perwakilan dalam lingkungan Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan (sekarang Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum) melalui Direktorat Perdata. Tugas pokok BHP ialah mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang yang karena hukum atau Keputusan Hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Pengelolaan adalah melakukan tindakan penguasaan, pengurusan,

pemeliharaan dan penyimpanan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

18 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal 242 19 Ibid, hal. 633.

20 Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman RI, Himpunan Surat Keputusan Tentang Balai Harta Peninggalan, (Jakarta, 2000), hal. 49


(37)

e. Harta kekayaan 21 adalah barang-barang yang menjadi kekayaan seseorang baik yang berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum.

f. Pemilik 22 adalah orang yang empunya.

g. Ahliwaris 23 adalah kaum keluarga, orang yang berhak menerima pusaka, peninggalan orang yang telah meninggal.

h. Ketidakhadiran (afwezigheid) adalah merupakan istilah hukum yang berasal dari bahasa Belanda, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 463 KUH Perdata, yaitu :

Jika terjadi seorang telah meninggalkan tempat tinggalnya, dengan tidak memberi kuasa kepada seorang wakil, guna mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, pun ia tidak mengatur urusan-urusan dan kepentingan itu, ataupun jika pemberian kuasa kepada wakilnya tidak berlaku lagi, maka jika ada alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya itu atau guna mengadakan seorang wakil baginya. Pengadilan Negeri tempat tinggal si yang tak hadir, atas permintaan mereka yang berkepentingan, atau atas tuntutan Jawatan Kejaksaan, harus memerintahkan kepada Balai Harta Peninggalan, supaya mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaan dan kepentingan itu pula supaya membela hak-hak si yang tak hadir dan mewakili dirinya.24

Dari bunyi Pasal 463 KUHPerdata tersebut di atas, dapat ditarik batasan pengertian, bahwa untuk menyatakan tentang ketidakhadiran seseorang sehubungan dengan pengurusan hartanya haruslah memenuhi beberapa unsur, yaitu :

21 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Perum Balai Pustaka, 1995), hal.342.

22 Muhammad Ali, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani,), hal. 299. 23 Ibid, hal 618.

24 R. Soebekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita,cetakan ke-19, 1985), hal. 142.


(38)

1. Adanya orang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya;

2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tidak hadir untuk mengurusi kepentingannya, atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah berakhir;

3. Adanya harta kekayaan dari orang yang tak hadir;

4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaan itu;

5. Adanya Penetapan Pengadilan setempat tentang ketidakhadiran seseorang; 6. Adanya permintaan dari yang berkepentingan atau tuntutan Jawatan Kejaksaan.

Dengan melihat unsur-unsur di atas, jelas terlihat bahwa pernyataan ketidakhadiran seseorang, haruslah berdasarkan pada Penetapan atau Putusan Pengadilan Negeri.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan metode penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis analisis terhadap norma hukum. Sifat penelitian tesis ini adalah deskriptif analitis. Penelitian deskriptif


(39)

analitis ini merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.25

Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmu dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.26 Dengan demikian objek yang dianalisis dengan pendekatan yang bersifat kualitatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.27

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data sekunder, 28 yang meliputi : a. Bahan hukum primer; yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum perdata dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan ketidakhadiran (afwezigheid), antara lain KUHPerdata, Surat Keputusan Menteri, dan Peraturan Menteri.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan ketidakhadiran

(afwezigheid).

25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 63 26 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006), hal 57

27 Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 14.

28 Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 14.


(40)

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini. 29

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui : a. Studi kepustakaan (library research)

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang ketidakhadiran (afwezigheid) dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.

b. Wawancara

Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diperoleh dengan melakukan wawancara dengan Ketua Balai Harta Peninggalan Medan dan Pejabat Tehnis di Kantor Balai Harta Peninggalan Medan.

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hal. 23


(41)

4. Analisis Data

Setelah seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini, artinya data-data yang ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komperhensif dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang releven dengan masalah ketidakhadiran.

b. Mencari doktrin, asas-asas atau prinsip ilmu hukum dalam perundang-undangan. c. Membuat kategori dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari konsep-konsep yang

lebih umum.

d. Mencari hubungan antara kategori-kategori tersebut dan menjelaskan hubungannya antara satu dengan yang lainnya.

Setelah dilakukan analisis dari langkah-langkah yang dilakukan di atas, maka selanjutnya dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diteliti.


(42)

B A B II

PENGATURAN PERLUASAN KETIDAKHADIRAN SUBJEK HUKUM DAN PENYEBAB TERJADINYA PERLUASAN

A. Ketidakhadiran pada Umumnya

Pengaturan Ketidakhadiran (van afwezigheid) diatur dalam buku I Bab XVIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai Pasal 463, akan tetapi Pasal 463 itu sendiri tidak ada memberikan batasan pengertian atau definisi dari kata van

afwezigheid” . Istilah afwezigheid dalam praktek sehari-hari banyak terdapat

perbedaan dalam penterjemahannya. R. Soebekti menterjemahkan perkataan van

afwezigheid” yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek ke dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dengan perkataan “keadaan tak hadir”.30 Abdul Kadir Muhammad menterjemahkan afwezigheid itu dengan istilah keadaan tak hadir,

selanjutnya beliau mengemukakan unsur-unsur ketidakhadiran itu sebagai berikut : 1. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu anggota keluarga mungkin

suami, mungkin istri, mungkin anak.

2. Tidak ada di tempat kediaman, artinya tidak ada di lingkungan keluarga dimana mereka berdiam serta mempunyai hak dan kewajiban hukum. 3. Bepergian atau meninggalkan tempat kediaman, artinya menuju dan

berada di tempat lain karena suatu keperluan atau tanpa keperluan.

4. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan persetujuan dan sepengetahuan anggota keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa diketahui oleh anggota keluarga.

5. Tak diketahui dimana tempat ia berada, artinya tempat lain yang dituju dan dimana ia berada tidak diketahui sama sekali, karena yang bersangkutan tidak memberi kabar atau karena sulit berkomunikasi. Tidak

30 R. Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, cetakan ke XVI, 1980), hal. 57.


(43)

memberi kabar mungkin karena ada halangan, misalnya terjadi perang, pemberontakan, kecelakaan, bencana alam, sakit gila, dan lain-lain, atau memang dengan sengaja supaya tidak berurusan lagi dengan keluarganya (putus asa). 31

Pengadilan Negeri Medan dalam prakteknya selalu memberikan pengertian bahwa sukar dicari menggantikan perkataan afwezigheid apabila yang dinyatakan

afwezigheid tersebut adalah badan hukum, orang yang sukar dicari menggantikan perkataan afwezigheid apabila yang dinyatakan afwezigheid tersebut adalah orang

(persoon). Namun di dalam praktek yang didapati hampir tidak ada perbedaan antara istilah orang yang sukar dicari dengan sukar dicari, karena dalam prakteknya ditemukan kasus-kasus afwezigheid, bahwa terhadap suatu badan hukum dapat dinyatakan sebagai orang yang sukar dicari.32

H.F.A Vollmar juga tidak ada memberikan definisi atau batasan pengertian dari ketidakhadiran ini, selain hanya memberikan uraian saja perihal lembaga ketidakhadiran ini.33 Sudarsono memberikan gambaran atau definisi secara terbalik dengan menyatakan : “Apabila suatu keadaan dimana seseorang meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui dimana seseorang tersebut berada maka

31 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53

32 Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 906/Pm/Perd/1979/Pn.Mdn tanggal 25 Maret 1980 tentang afwezigheid Bank of China.

33 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, diterjemahkan oleh I.S Adiwimarta, (Jakarta : PT. Rajawali Press, 1989, Jilid I), hal. 181-185. Penterjemah memberikan terjemahan atas afwezigheid ini sebagai tiada di tempat . Bandingkan juga dengan Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, (Bandung : PT. Sinar Baru Bandung, 1985), hal. 88-90, yang juga tidak ada memberikan pengertian afwezigheid ini.


(44)

keadaan ini disebut keadaan tak hadir”.34 Dari pendapat beberapa penulis di atas pada pokoknya berisi substansi bahwa ketidakhadiran terjadi akibat berpisah atau terpisahnya subjek hukum itu dengan domisilinya sedangkan sepeninggalnya kekayaannya menghendaki perhatian khusus demi kepentingan subjek hukum lain yang berkepentingan dengan kekayaan milik si tak hadir itu. Terpisahnya subjek hukum tadi dengan domisilinya menurut rumusan Pasal 463 adalah karena sebab yang memang datang dari kehendaknya atau niat yang berasal atau timbul dari diri si tak hadir itu sendiri, artinya si tak hadir memiliki animus atau kehendak untuk

meninggalkan domisilinya, tanpa mempersoalkan apakah niat itu timbul karena memang murni kehendaknya sendiri atau karena terpaksa oleh sebab lain. KUH Perdata Indonesia tidak menyinggung keadaan orang yang hilang karena sesuatu sebab, akan tetapi KUHPerdata Belanda yang baru ada menyinggungnya dengan menggunakan istilah vermissing.

Bila memang kepergiannya dapat diduga oleh si tak hadir akan berlangsung dalam waktu lama, sudah barang tentu ia akan melakukan sesuatu tindakan hukum untuk menunjuk seseorang guna mengurus segala kepentingannya sepeninggalnya misalnya seperti orang yang akan bepergian menunaikan ibadah haji yang lazimnya membuat surat-surat yang berkaitan dengan kekayaannya sepeninggalnya, akan tetapi keadaannya akan menjadi lain apabila sepeninggalnya ternyata di luar kehendaknya masa kepergiannya tak terhindarkan harus dijalaninya dalam waktu yang relatif tak

34 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, cetakan I, 1991), hal. 36-43. Penulis ini juga mempergunakan istilah “ Keadaan tak hadir “.


(45)

dapat lagi ditentukan atau dikendalikannya, umpamanya selama kepergiannya tanpa terduga ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di suatu negara yang karena sistem politiknya sangat terisolasi mengakibatkan sulitnya komunikasi guna memberitahukan keberadaannya. Sebaliknya apakah orang yang sedang menjalani hukuman pidana penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan dapat diklasifikasikan sudah dinyatakan tak hadir, sebab ia sudah meninggalkan domisilinya untuk waktu yang tak dapat ditentukan lamanya dan tidak ada mengatur segala sesuatu atas kekayaan dan kepentingannya sepeninggalnya menjalani hukuman ?, itulah sebabnya Pasal 463 ayat (1) itu memberi ukuran bahwa keberadaan afwezigheid itu harus dibuktikan dengan adanya penetapan hakim terlebih dahulu, sehingga ketidakhadiran seseorang itu di domisilinya terjadi karena terlebih dahulu melalui suatu proses hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Perkataan dapat dipertanggung jawabkan yang dipergunakan disini juga relatif sulit memberikan ukurannya, karena dalam praktek juga ditemukan penetapan pengadilan tentang ketidakhadiran itu yang lahir karena adanya permohonan BHP sendiri. 35 Untuk melengkapi uraian dalam bab ini perlu diulas terlebih dahulu tentang subjek hukum manusia dan domisilinya, dengan maksud dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang subjek hukum manusia yang manakah yang dapat dinyatakan tak hadir.

35 Wawancara dengan Amri Marjunin, Ketua BHP Medan. Dilaksanakan pada hari Senin, tanggal, 12 Januari 2009. di Kantor BHP Medan Jl. Listrik No. 10 Medan.


(46)

1. Subjek Hukum Manusia

Manusia sebagai subjek hukum karena kodratnya, sedangkan badan hukum menjadi subjek hukum diciptakan oleh manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri. Status atau kedudukan seorang manusia selaku subjek hukum melekat pada diri pribadi seorang manusia sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal dunia, dengan penyimpangan khusus bahwa apabila kepentingannya menghendaki, maka seorang anak dalam kandungan ibunya dapat dianggap telah lahir kedunia (Pasal 2 jo. Pasal 348 KUHPerdata); akan tetapi dengan syarat asalkan anak dalam kandungan yang kepentingannya hendak dibela tadi pada waktunya nanti harus dilahirkan dalam keadaan hidup. Untuk memberikan hak-hak keperdataan secara pribadi kepada bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya harus dipenuhi syarat bahwa ia harus sudah dibenihkan kedalam hukum (kedalam kandungan ibunya) pada saat kepentingannya terbuka. Jadi seorang manusia memulai persoalan hidupnya dalam arti baru diakui sebagai subjek hukum apabila :

1. Dilahirkan dalam keadaan hidup ke dunia;

2. Sejak ia berada dalam kandungan ibunya, ia nantinya harus dilahirkan hidup; 3. Ia sudah dibenihkan pada saat kepentingannya terbuka (selama ia berada dalam

kandungan).

Anak dalam kandungan itu, sepanjang kepentingan hukumnya menghendaki (meskipun semasa dalam kandungan) diperlakukan sebagai manusia yang telah lahir hidup, bila ternyata ia kemudian lahir dalam keadaan tidak hidup, maka ia menurut hukum dianggap tidak pernah ada atau dianggap tidak pernah dilahirkan (tidak pernah


(47)

diterbitkan akte kelahirannya). Pembuktian bahwa subjek hukum manusia telah dilahirkan dalam keadaan hidup adalah dengan diterbitkannya akta kelahiran

(certificate of birth atau acte van geboorte) dan pembuktian bahwa seorang manusia telah meninggal dunia hanyalah dengan akta kematian (certificate of death atau acte van overlijden). 36 Orang dalam pengertian hukum atau persoon

tersebut berwenang mempergunakan haknya sepenuhnya, termasuk juga untuk menambah dan mengurangi harta kekayaannya dengan cara melakukan perbuatan hukum yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, asalkan orang tersebut sudah cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu sudah berumur 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata) atau telah pernah kawin sebelum mencapai usia 21 tahun (perhatikan juga Pasal 1330 KUH Perdata). Ini bukan berarti bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh melakukan perbuatan hukum. Sistem BW sendiri

36 Dalam pergaulan hukum antar negara, khususnya dalam rangka menghadapi persentuhan antara dua sistem hukum yang berlainan, umpamanya antara Indonesia dengan Hongkong, kongkritnya apabila misalnya seorang WNI penduduk Tebing Tinggi pergi berobat dan kemudian meninggal di Hongkong, sebaiknya dipahami benar dengan baik bentuk dari certificate of registration of death yang dikenal dalam sistem di Hongkong berdasarkan Birth And Deaths Registration Ordinance guna menerapkan hukum secara benar. Di Republik Singapura dikenal apa yang disebut dengan Certificate of Extract from Register of Death”, dan di Indonesia dikenal apa yang disebut dengan acte van overlijden atau “Akta Kematian” yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil yang dalam wilayah kerjanya terletak rumah kematian (sterfhuis); Dalam praktek juga dikenal apa yang disebut :” Surat Izin Kubur”. Secara yuridis formal dalam rangka penyelesaian warisan yang dapat diterima dalam rangka membuktikan seseorang sudah meninggal dunia hanyalah “akta kematian” saja sebagai alat bukti satu-satunya, bukan “Surat Izin Kubur” , selain adanya alat bukti persangkaan yang diperkenankan oleh Undang-Undang ex Pasal 467. Untuk menanyakan keberadaan surat wasiat yang diduga pernah dibuat seseorang yang telah meninggal dunia semasa hidupnya, Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM RI) menghendaki dilampirkannya “ akta kematian” dari orang yang keberadaan wasiat atas namanya hendak dipertanyakan itu. Certificate of Registration of Death” maupun Certificate of Extract from Register of Death yang diterbitkan menurut sistem hukum Common Law itu juga diterima oleh Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM RI) cq. Seksi Daftar Pusat Wasiat waktu hendak menanyakan keberadaan surat wasiat yang diduga pernah dibuat oleh orang yang telah meninggal dunia yang namanya tersurat dalam kedua certificate tersebut di atas.


(48)

menentukan bahwa terhadap orang-orang yang dibatasi kewenangannya (termasuk orang yang belum dewasa) untuk melakukan tindakan hukum disediakan orang atau badan yang akan membantu dan/atau mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum yang diperlukan.

Bila diperhatikan, Sistem Hukum Perdata mengatur bahwa ada beberapa subjek hukum manusia yang karena Undang-Undang sendiri membatasi penggunaan haknya dalam lalu lintas hukum, dan oleh karena itu tidak semua subjek hukum manusia dapat diterima untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu :

a. Wanita yang bersuami, yang harus melakukan tindakan hukum hanya dengan bantuan (bijstand) atau persetujuan suaminya ataupun dengan memperoleh persetujuan atau kuasa dari hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 108, tetapi mengenai hal ini perlu juga diperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang wanita bersuami telah dibenarkan untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi sepanjang tindakan hukum itu berkenaan dengan harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, harus dimintakan persetujuan suaminya. Demikian juga sebaliknya (perhatikan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2)

juncto Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2). Domisili seorang wanita bersuami adalah mengikuti domisili suaminya. Ketentuan ini juga tidak konsekwen karena seorang istri tanpa bantuan suaminya (Pasal 930 KUHPerdata) dibenarkan untuk membuat surat wasiat. Dalam beberapa hal ketentuan ini dikesampingkan (Pasal 111 KUHPerdata), yaitu untuk menghadapi perkara perdata dan pidana,


(49)

perceraian, pisah meja dan ranjang, pisah harta kekayaan, istri dapat bertindak sendiri tanpa bantuan suaminya. Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa setiap tindakan hukum berupa tindakan pemilikan (daad van eigendom)

yang hendak dilakukan oleh seseorang subjek hukum manusia (Warga Negara Indonesia) yang sudah kawin haruslah dilakukan dalam akta yang bersangkutan dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pasangannya (spouse consent). Bila pasangan dari penghadap itu tidak dapat menghadap Notaris untuk turut menanda tangani akta yang bersangkutan, seboleh-bolehnya diusahakan surat persetujuan atau kuasa tertulis dari yang bersangkutan. Pasal 463 jo. Pasal 199 KUHPerdata mengindikasikan bahwa wanita (baik yang belum kawin maupun yang bersuami) dan juga sebaliknya seorang pria (baik yang belum kawin maupun beristri) dapat dinyatakan tak hadir.

b. Anak dibawah umur, yang harus diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan setiap perbuatan hukum pada umumnya. Domisili dari seorang anak dibawah umur mengikuti domisili orang tua atau walinya. Batasan umur dewasa ditentukan Pasal 330 KUHPerdata, tetapi batas umur ini sebenarnya juga tidak konsekwen, karena ternyata seorang pria yang berumur 19 tahun dan wanita yang berumur dibawah 19 tahun boleh melakukan pengakuan anak (erkening) Pasal 282 KUHPerdata, dan bila sudah mencapai usia 18 tahun (Pasal 897 KUHPerdata) boleh membuat surat wasiat artinya untuk melakukan perbuatan hukum yang tertentu itu seorang anak dibawah umur boleh datang menghadap Notaris untuk menanda tangani akta yang berkenaan. Setiap orang atau badan


(50)

yang berkepentingan dengan harta milik anak dibawah umur yang tidak berada di domisilinya dapat menghubungi walinya atau orang tuanya untuk menyelesaikan urusan dan kepentingannya. Menurut hukum seorang anak dibawah umur belum memiliki animus yang bebas untuk meninggalkan domisilinya. Walinya sendiri

sebagai manusia dewasa dapat dinyatakan tak hadir dan akibat langsung ketidakhadiran ini secara de facto adalah bahwa si wali kehilangan akses untuk melakukan pengurusan atas diri dan harta anak dibawah umur dan yang mengakibatkan si wali itu dapat dicabut kekuasaannya sebagai wali. Bagaimana kalau anak dibawah umur itu bersama-sama walinya (Pasal 339 KUHPerdata) meninggalkan Indonesia, sedangkan anak dibawah umur itu memiliki kekayaan berupa benda tetap dan ada pihak lain yang berkepentingan terhadap kekayaannya sepeninggalnya, dan kepergian wali bersama anak dibawah umur itu berlangsung lama dan tidak ada mengatur atau memberi kuasa untuk mengatur segala sesuatu mengenai kekayaannya sepeninggalnya, apakah anak dibawah umur itu dapat dinyatakan tak hadir ?. Pasal 462 KUHPerdata secara tegas melarang seorang anak dibawah umur yang gila untuk diletakkan dibawah pengampuan, akan tetapi tidak satu pasalpun dalam BW yang melarang menempatkan seorang anak dibawah umur dalam keadaan tak hadir.

Peluang bagi seorang anak dibawah umur untuk dinyatakan tak hadir sangat kecil, sebab domisili dari seorang anak dibawah umur selalu dianggap mengikuti domisili orang tua atau walinya, sedangkan terhadap seorang anak dibawah umur setiap saat dapat diangkat wali yang baru dengan penetapan hakim


(51)

bila sang wali definitif tak berada ditempat, dan pihak yang berkepentingan dengan harta milik anak dibawah umur itu setiap saat dapat berurusan dengan wali yang telah ditunjuk guna menyelesaikan kepentingan pihak lain itu atas harta kekayaan milik anak dibawah umur yang tidak berada ditempat kediamannya. c. Orang yang diletakkan dibawah curatele (onder curatele gesteld), yang dalam

melakukan tindakan hukum harus di wakili oleh kuratornya atau curactricenya dengan pengecualian bahwa orang yang diletakkan dibawah curatele karena boros masih dibenarkan membuat wasiat Pasal 446 ayat (3). Domisili dari orang yang diletakkan dibawah curatele mengikuti domisili kuratornya.

d. Orang yang dinyatakan pailit, diwakili sepanjang perbuatan hukum yang menyangkut dengan harta kekayaannya oleh curatrice atau kuratornya yaitu BHP atau kurator non BHP yang dalam wilayah kerjanya si pailit itu berdomisili ( Pasal 22 Fv). Menurut Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang menjadi kurator dalam suatu kepailitan adalah BHP, atau kurator lainnya, selanjutnya ayat (2) menjelaskan bahwa yang dapat menjadi kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurup b yaitu, orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit dan telah terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Jadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 itu sudah lebih maju. Tetapi yang menjadi persoalan adalah berapa besarkah upah atau


(52)

honorarium dari kurator BHP itu selama menangani suatu kepailitan. Besarnya upah bagi BHP selaku kurator ditentukan dalam Stb. 1924/523 jo. 524 dan kemudian dirubah dengan PP. No. 26 Tahun 1999 Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Kehakiman, sedangkan honorarium kurator non BHP ditentukan dalam Pasal 75 jo. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).37 Perlu juga diingat bahwa subjek hukum manusia lain yang masih berstatus sebagai anak yang masih dalam kandungan ibunya yang dalam lalu lintas hukum dianggap ada bila kepentingan hukumnya ternyata menghendaki demikian. Siapakah yang harus bertindak mewakili dan membela kepentingan anak dalam kandungan ibunya bila kepentingan hukumnya menghendaki ?. Pasal 44 jo. Pasal 45 Stb. 1872 /166 menentukan bahwa janin yang berada dalam kandungan ibunya berada dibawah pengampuan BHP sejak Balai tersebut secara formal menerima pengampuan itu (jadi tidak demi hukum) dan selanjutnya melaporkannya kepada Jaksa. Terkait ketentuan Pasal 23 KUHPerdata yang menentukan bahwa tugas sebagai pengampu atas anak atau janin yang masih dalam kandungan ibunya itu diberikan

37 Pasal 75 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menentukan besarnya imbalan jasa Kurator ditentukan setelah kepailitan berakhir. Selanjutnya Pasal 76 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa besarnya imbalan jasa yang harus dibayarkan kepada Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan perundang-undangan.


(53)

kepada BHP yang dalam wilayah kerjanya rumah kematian ayah dari anak yang ada dalam kandungan itu berada.38

Tujuan pembuat Undang-Undang membuat pembatasan terhadap subjek hukum yang disebutkan di atas tidak lain adalah untuk memastikan agar setiap orang dapat mempertanggung jawabkan perbuatan dan tindakannya menurut hukum. Dari uraian diatas timbul pertanyaan, yang manakah di antara subjek hukum manusia yang dapat dinyatakan tak hadir ?.

Setiap manusia yang meninggalkan kediamannya, termasuk seorang wanita bersuami dan juga sebaliknya seorang pria beristri, dan yang sepeninggalnya tidak memberikan kuasa untuk mengatur harta kekayaannya atau kuasa untuk keperluan itu sudah berakhir, sedangkan ada kepentingan pihak lain terhadap kekayaan yang ditinggalkannya itu, dapat dinyatakan tak hadir. 39 Anak dibawah umur sangat kecil peluang baginya untuk dinyatakan tak hadir, karena segala tagihan yang menyangkut dengan kekayaan atau kepentingannya dapat diselesaikan melalui orang tua atau walinya, sepanjang orang tua atau walinya berada di alamatnya, meskipun anak dibawah umur oleh undang-undang tidak dilarang untuk dinyatakan seperti itu. Orang yang diletakkan dibawah curatele

dengan mengingat azas dalam Pasal 452 KUHPerdata juga kecil kemungkinan baginya untuk dinyatakan tak hadir, meskipun animus bagi orang yang berada

38 Pasal 23 KUHPerdata berbunyi : Rumah kematian seorang yang telah meninggal dunia, dianggap terletak dimana si meninggal mempunyai tempat tinggalnya terakhir.


(1)

Secara Eksternal, upaya-upaya yang dilakukan BHP untuk mengatasi hambatan dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pengelolaan terhadap harta kekayaan afwezigheid adalah :

a. Meningkatkan koordinasi dan hubungan yang efektif dengan pihak-pihak dan Instansi yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam proses pengurusan harta afwezigheid, guna meningkatkan pengertian dan kesadaran untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada.

b. Melakukan sosialisasi tentang tugas-tugas BHP bekerjasama dengan Divisi Pelayanan Hukum pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Sumatera Utara, dalam rangka memperluas informasi kepada masyarakat menyangkut tugas pokok dan fungsi BHP.

2. Saran

1. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap peraturan-peraturan peninggalan kolonial, khususnya di bidang Balai Harta Peninggalan, mengingat tugas pokok dan fungsi BHP yang merupakan instansi pemerintah, yang pada hakekatnya memiliki tugas pokok dalam pelayanan hukum perdata, khususnya Perwalian, Pengampuan, Ketidakhadiran, Harta Peninggalan tak terurus dan Kepailitan yang berfungsi untuk pemasukan pendapatan negara non tax (PNBP).

2.. Instructie voor de Weeskamers in Indonesie (Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia) Stb. 1872/166 perlu dicabut dan menciptakan


(2)

Undang-Undang Nasional tentang BHP, dengan memperhatikan muatan materi Stb. 1872/166 yang masih relevan dengan kondisi saat ini.

3. Mengingat kebutuhan hukum yang semakin berkembang, disarankan kepada pembuat undang-undang agar melembagakan ketidakhadiran bagi badan hukum itu kedalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya formal, sehingga ketidakhadiran bagi badan hukum itu secara formal diterima dalam hukum Indonesia dan tidak hanya berdasarkan penetapan hakim saja, misalnya dengan memasukkannya dalam rancangan perobahan atas undang-undang tentang Perseroan Terbatas yang sudah ada.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku-buku

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, ( Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis ), Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002.

Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman RI,

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Balai Harta Peninggalan, Buku I.

E.A.A. Luijten, Het Personen en Familierecht in het nieuwe burgerlijk wetboek

“Tjeenk Willink, Zwolle, 1970.

F.X. Suhardana, cs, Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Gautama Sudargo, Essay in Indonesian Law second edition, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Harahap, M. Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, Medan : CV. Zahir Trading Co, 1975.

H.F.A. Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jakarta: PT. Rajawali Press, 1989. Lubis, M. Solly, Dimensi-Dimensi Manajemen Pembangunan, Bandung : Penerbit

Mandar Maju, 1996.

Moleong, J.Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta : Remaja Rosdakarya, 2002. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya

Bakti, 1993.

Meliala,S. Djaja, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum Keluarga, Bandung : CV. Nuansa Aulia, cetakan I, 2006.

Soebekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, cetakan ke XVI, 1980.


(4)

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, penerbit Rineka Cipta, cetakan I, 1991. Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Jakarta : Bina Cipta, 1983.

Soekanto, Soerjono, Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1985.

Satrio, J, Uraian Tentang Pengertian daad van beheer dan daad van beschikking, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

________, Hukum Pribadi Persoon Alamiah, Bagian I, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Syahrani, Riduwan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, bandung: Alumni, 1992.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : kanisius, 1982.

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Inleiding tot de Studies van het Nederlands Recht, cetakan IV oleh M. Oetarid Sadino), Jakarta :Noordhoff-KolffNV, 1958).

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang : Aneka Ilmu, 1977.

II. Diktat, Makalah, Jurnal Ilmiah

A.A. Oka Mahendra, Permasalahan Dan Kebijakan Dan Penegakan Hukum, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan.

Bahan Penataran Tenaga Tehnis Balai Harta Peninggalan, Departemen Kehakiman RI Tahun 1983/1984.

Nasution, Bismar, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Mengkaji

Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi” (Pidato pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), Tahun 2004.


(5)

Dipresentasikan pada Rapat kerja BHP se Indonesia di Medan, pada tanggal 4 Mei 2007.

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Bahan Ajar Kelas Hukum dan HAM, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2008.

_______, Penemuan Hukum, Bahan Ajar Kelas Hukum dan HAM, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2008.

III. Perundang-Undangan / Putusan Pengadilan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1985. Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Jakarta : Indonesia Legal Centre Publishing, cetakan I, 2006.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Bandung : FokusMedia, 2007.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Bandung: FokusMedia, 2004.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Bandung: FokusMedia, 2007

Instructie voor de Weeskamers in Indonesie (Instruksi untuk BHP di Indonesia), Ordonantie van 5 October 1872/166.

Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan.

Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.HT.05.10.Tahun 1984 tentang Penertiban Pengurusan Harta kekayaan Yang Dikelola Oleh BHP.tanggal 10 September 1984.

Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01-UM.01.06 Tahun 1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang Pedoman Pengelolaan Uang Pihak Ketiga oleh Balai Harta Peninggalan.


(6)

Keputusan Menteri kehakiman RI No. M.47.PR.09.03 tanggal 29 September 1987 tentang Panitia Penaksir dan penentu Harga Atas Harta kekayaan yang pemiliknya dinyatakan tidak hadir (Afwezig) dan Harta Peninggalan yang tidak terurus (Onbeheerde Nalatenschap) yang berupa rumah dan tanah.

Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 906/Pm/Perd/1979/PN.Mdn tanggal 25 Maret 1980 tentang afwezig Bank of Cina.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.02-HT.05.10 Tahun 2005 tanggal 12 Oktober 2005 tentang Permohonan Ijin pelaksanaan Penjualan Harta kekayaan Yang Pemiliknya Dinyatakan Tidak Hadir Dan Harta Peninggalan Yang Tidak Terurus Yang Berada Dalam Pengurusan Dan Pengawasan Balai Harta Peninggalan.

IV. SITUS INTERNET

http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=ar+1&f=penegakan-hukum htm, diakses tanggal 11 Agustus 2007.

http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1323, diakses tanggal 26 Mei 2008.

http://www/one.indoskripsi.com/judul.skripsi-tugas-makalah/pengantar. ilmu hukum/makalah-pengantar ilmu hukum. Diakses tanggal 17 Maret 2009. http://localhost/D:/Full%20Acces/abc/Artikel%20Hukum%20 KEPENTINGAN %20

UMUM.htm. Diakses tanggal 4 April 2009.

http://localhost/D:/Full%20Acces/abc/Public%20Interest%20<<%20the%20planet.ht m. Diakses tanggal 4 April 2009.

http://groups.yahoo.com/group/indoblawgger/message/631. Diakses tanggal 5 April 2009.

http://leoriset.blogspot.com/2008/09/pengaruh-motivasi kerja dan suasana.html. Diakses tanggal 19 April 2009.