Aspek Hukum Penghapusbukuan Kredit (Write Off) Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Kredit Bermasalah (Studi Pada Bank Sumut Cabang Binjai)

18

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN

A. Pengertian Perbankan
Apabila berbicara tentang Lembaga Keuangan Bank, ada dua istilah yang
perlu dijelaskan lebih dahulu, yaitu Perbankan dan Bank. Perbankan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya”. Pada angka (2) pasal tersebut ditentukan,
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Berdasarkan

definisi

tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian


Perbankan itu lebih luas dibandingkan dengan pengertian Bank. Pengertian
Perbankan merupakan rumusan umum yang abstrak mencakup 3 (tiga) aspek
utama yaitu : 9
a. kelembagaan Bank;
b. kegiatan usaha Bank;
c. cara dan proses pelaksanaan kegiatan usaha Bank.

9

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit., hal. 33.

18

Universitas Sumatera Utara

19

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tujuan perbankan
adalah


menunjang

pelaksanaan

pembangunan

nasional

dalam

rangka

meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Sedangkan pengertian Bank merupakan rumusan khusus yang konkret
mencakup 2 (dua) aspek utama, yaitu :
a. badan usaha Bank (corporate company);
b. kegiatan usaha Bank (business activities).
Adapun yang menjadi kegiatan utama suatu bank adalah menghimpun

dana dari masyarakat melalui simpanan dalam bentuk tabungan, deposito
berjangka, giro dan menyalurkan kembali dana yang dihimpun tersebut kepada
masyarakat umum dalam bentuk kredit yang diberikan. 10
Sebagai lembaga yang menjalankan usaha di bidang jasa keuangan, Bank
bukanlah sembarang badan usaha, melainkan yang secara hukum memiliki status
yang kuat dengan kekayaan sendiri yang mampu melayani kebutuhan masyarakat,
karena itu dipercaya oleh masyarakat. Berdasarakan rumusan definisi Bank, dapat
dipahami pula bahwa kegiatan usaha Bank pada pokoknya meliputi 3 (tiga)
bentuk kegiatan, yaitu : 11
a. menghimpun dana;
b. menyalurkan dana; dan
c. memberikan jasa keuangan.

10
11

Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Ekonisia, Yogyakarta, 2002, hal.28.
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit., hal.34.

Universitas Sumatera Utara


20

Bank adalah tulang punggung pembangunan ekonomi. Oleh karena itu,
pengawasan dan pembinaan terhadap Bank oleh Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral sangat menentukan. Semuanya ini diatur dalam Undang-Undang
Perbankan.
Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan yaitu :12
1. Prinsip Kepercayaan (fiduciary relation principle)
Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara
bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan
berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya
dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip
kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Prinsip Kehati-hatian (prudential principle)
Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank
dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam
penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat hati-hati. Tujuan dilakukannya
prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan

usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma
hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal
2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7
Tahun 1992 tentang Perbankan.

12

Rochmat Soemitro, Kumpulan Azas-Azas Perbankan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta,
1991, hal. 185.

Universitas Sumatera Utara

21

3. Prinsip Kerahasiaan (secrety principle)
Prinsip kerahasaiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47
A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut
kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan

itu dikecualikan dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang
piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan
Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan
pengadilan perkara pidana, dalam perkara antara bank dengan nasabah, dan dalam
rangka tukar menukar informasi antar bank.
4. Prinsip Mengenal Nasabah (know how customer principle)
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk
mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi
nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip
mengenal nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam
penerapan prinsip mengenal nsabah adalah meningkatkan peran lembaga
keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga
keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang
tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi
nama baik dan reputasi lembaga keuangan.

Universitas Sumatera Utara

22


B. Sejarah Perbankan
Dalam sejarahnya, kegiatan perbankan dikenal mulai dari zaman
Babylonia. Kegiatan perbankan ini kemudian berkembang ke zaman Yunani kuno
serta zaman Romawi. Pada saat itu kegiatan utama bank hanyalah sebagai tempat
tukar menukar uang oleh para pedagang antar kerajaan.
Seiring dengan perkembangan perdagangan dunia, maka perkembangan
perbankan pun semakin pesat. Hal ini disebabkan karena perkembangan dunia
perbankan tidak terlepas dari perkembangan perdagangan. Perkembangan
perdagangan yang semula hanya berkembang di daratan Eropa akhirnya menyebar
ke Asia Barat. Bank-bank yang sudah terkenal pada saat itu di benua Eropa adalah
Bank Venesia tahun 1171, kemudian menyusul Bank of Genoa dan Bank of
Barcelona tahun 1320. Sebaliknya, perkembangan perbankan di daratan Inggris
baru dimulai pada abad ke 16. Namun karena Negara-negara Eropa seperti
Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, atau Portugis begitu aktif mencari daerah
perdagangan yang kemudian menjadi daerah jajahannya, maka perkembangan
perbankan pun ikut dibawa ke Negara jajahannya sehingga perkembangan
perbankan di Indonesia juga tidak terlepas dari era zaman penjajahan Hindia
Belanda.
Sejarah perbankan di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa kurun, yaitu :

1. Sebelum Kemerdekaan :
a.

Zaman Belanda

b.

Zaman Jepang

Universitas Sumatera Utara

23

2. Sesudah Kemerdekaan :
a.

Masa Orde Lama

b.


Masa Orde Baru
1)

Tahap stabilisasi dan rehabilitasi

2)

Tahap pembangunan

3)

Tahap deregulasi

3. Masa Orde Reformasi

1.a Perbankan Zaman Belanda
Kegiatan

lembaga


keuangan

seperti

pembiayaan

dan

perbankan

diperkenalkan operasinya oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
VOC membawa serta perangkat sistem keuangan dan pembayaran dalam usaha
berdagang, dan mencari keuntungan di bumi Nusantara ini, yang selanjutnya
mereka menjurus ke arah penjajahan suatu bangsa dengan berbagai variasi
pelaksanaan kebijakan di bidang politik untuk mendukung tujuan ekonomiperdagangannya.
Perusahaan yang pertama menjalankan fungsi sebagai bank di Indonesia
yaitu De Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang secara resminya
adalah perusahaan dagang. Adapun perusahaan yang benar-benar resmi didirikan
untuk menjalankan usaha bank adalah N.V.De Javasche Bank yang didirikan pada
tanggal 10 Oktober 1828. De Javasche Bank inilah satu-satunya bank asing yang

pada waktu itu direksinya berkedudukan di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

24

Dengan telah berdirinya De Javasche Bank oleh pemerintah Hindia
Belanda, bank tersebut diberi monopoli untuk mengeluarkan uang yang semula
pengedarannya ditangani oleh pemerintah sendiri. Sejak itu bank tersebut terkenal
sebagai bank sirkulasi atau bank of issue. Dari fungsinya seperti itu, maka bank
tersebut merupakan bankir bagi pemerintah Hindia Belanda meskipun belum
menjadi bank sentral penuh karena hanya menjalankan beberapa tugas yang biasa
dilakukan oleh bank sentral, yaitu diantaranya : mengeluarkan dan mengedarkan
uang kertas; mendiskonto wesel; surat hutang jangka pendek, dan obligasi negara;
menjadi kasir pemerintah; menyimpan dan menguasai dana-dana devisa; dan
bertindak sebagai pusat kliring sejak tahun 1909. Meskipun menjalankan tugasnya
sebagai bank sirkulasi, tetapi tugas sebagai bank umum pun tetap juga dijalaninya
sehingga turut bersaing dengan bank-bank lain. Sifat dualistis ini berulang kali
menimbulkan berbagai kritik, dengan alasan-alasan sebagai berikut : 13
1. Dengan bunga yang lebih rendah daripada bank-bank lain maka De Javasche
Bank dapat dengan mudah menarik nasabah yang terbaik.
2. Persaingan oleh suatu badan (De Javasche Bank) yang karena tugasnya dapat
memiliki data-data bank lain, sehingga dianggap tidak wajar.
Tumbuhnya dunia perbankan memberikan pengaruh berupa suatu kondisi
masyarakat yang lebih baik, yaitu sejak itu mulai dapat dikatakan bahwa hampir
seluruh orang di pedalaman Pulau Jawa telah mengenal uang sebagai alat
pembayaran, baik untuk membayar pajak, maupun untuk transaksi jual beli, dan
lainnya. Perkembangan selanjutnya maka mulai tumbuh adanya kebutuhan sebuah
13

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hal. 41.

Universitas Sumatera Utara

25

bentuk perkreditan yang terorganisasikan dalam suatu lembaga. Melihat
kebutuhan tersebut, dibentuklah bank yang khusus dapat melayani penduduk
golongan pribumi yaitu Bank Priyayi yang didirikan oleh Patih Raden Bei
Wiriaatmadja yang mana modalnya berasal dari kas mesjid.
Pada awal abad ke-20 berdirilah bank-bank kabupaten (afdelingsbanken),
yang disebut sebagai bank kabupaten atau bank daerah karena ruang geraknya
menyangkut suatu daerah atau kabupaten. Modal kerja bank diperoleh dari
kelebihan uang lumbung desa dan bank desa, deposito dari pihak swasta, tetapi
pemerintah juga memberikan modal kerja.
Selain didirikannya bank-bank kabupaten, juga didirikan Kas Sentral
(Centrale Kas) melalui keputusan Raja Belanda pada tanggal 10 Mei 1912.
Lembaga ini diperuntukan guna melayani rakyat yang membutuhkan pinjaman.
Pada mulanya lembaga ini merupakan suatu Jawatan Perkreditan Rakyat, yaitu
bentuk turut campur pemerintah Hindia Belanda yang lebih dalam mengenai
masalah perkreditan rakyat, guna untuk mengarahkan perkreditan rakyat yang
lebih sehat.
Lembaga Kas Sentral ini selanjutnya bertugas memberikan modal kerja
pada lembaga perkreditan rakyat dan memberikan nasihat serta bimbingan dalam
usaha-usaha perkreditan rakyat.
Bank-bank yang dapat bertahan pada masa ini adalah Bank Tabungan
Himpunan 1906 dan Bank Tabungan Belanda NISP, PT.Bank Kesawan di Medan,
PT.Bank Jakarta di Jakarta, Bank Nasional di Bukit Tinggi. Serta munculnya
bank-bank devisa asing untuk mendirikan kantor cabangnya di Indonesia seperti

Universitas Sumatera Utara

26

The Chartered Bank of India, The Overseas Chinese Banking Corporation, The
Bank of China.

1.b Perbankan Zaman Jepang
Pada tahun 1942-1945 merupakan masa suram bagi perbankan di
Indonesia, dimana semua bank asing termasuk De Javasche Bank dikuasai oleh
pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang juga memaksa agar menyediakan biaya
untuk keperluan perang. Usaha ini dilakukan dengan menutup bank-bank yang
ada dengan likuidatornya adalah Nanpo Kaihatsu Kinko, sebuah bank sirkulasi
yang berpusat di Tokyo.
Hanya ada satu bank yang diperkenankan yaitu Algemene Volkscredit
(AVB) dan diganti namanya menjadi Syomin Ginko. 14

2. Perbankan Zaman Indonesia Merdeka
Di awal kemerdekaan terdapat gagasan untuk mendirikan Bank Sirkulasi.
Usaha merealisasikannya dengan mendirikan Pusat Bank Indonesia.
Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) No. 2 tahun 1946 pemerintah mendirikan Bank Negara Indonesia 1946
pada tanggal 5 Juli 1946, yang kemudian lebih dikenal dengan BNI 1946. BNI
banyak membantu kegiatan perjuangan nasional dalam bidang perekonomian pada
umumnya dan bidang moneter pada khususnya. Hal ini sesuai dengan tujuan
didirikannya bank tersebut, yang tercantum pada Pasal 2 Perpu No. 2 tahun 1946,

14

Ibid, hal. 45.

Universitas Sumatera Utara

27

yaitu : Dengan nama Bank Negara Indonesia didirikan sebuah bank kepunyaan
Republik Indonesia untuk :
1. Mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas bank dengan harga yang
tetap menurut keperluan masyarakat terhadap alat penukaran.
2. Memperbaiki peredaran alat pembayaran lain.
3. Memenuhi kredit masyarakat, dan umumnya supaya dapat bekerja untuk
kepentingan umum.
Selain BNI 1946, bank milik Negara pada saat awal kemerdekaan adalah
Bank Rakyat Indonesia. Bank ini adalah hasil perubahan dari De Algemene
Volkscredit Bank, dengan dasar hukumnya berupa peraturan pemerintah pada
tanggal 2 Januari 1946. Usaha bank tersebut tercantum pada Pasal 3 akta
pendiriannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1946, yaitu : memberikan
pinjaman kepada rakyat; menerima uang simpanan; menjalankan tugas-tugas bank
umum, dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh pemerintah. Karena tugasnya
tersebut, BRI inilah yang oleh pemerintah ditujukan sebagai bank yang langsung
berhubungan dengan rakyat. 15
Periode ini diwarnai pula oleh beberapa peristiwa politik yang secara
otomatis

juga

mempengaruhi

kebijaksanaan

moneter

pemerintah.

Pada

perkembangan perbankan periode ini belum secara jelas terbentuknya sebuah
Bank Sentral. Sehingga kemudian dimuatlah ketentuan mengenai Bank Sentral
pada Pasal 110 Undang-Undang Dasar RIS yang menyebutkan : ”Ada satu bank

15

Ibid, hal. 47.

Universitas Sumatera Utara

28

sentral untuk Indonesia, Penunjukan bank sentral dan mengenai susunan serta
wewenangnya diatur dengan undang-undang”. 16

2.a Perbankan Pemerintahan Orde Lama
Perkembangan perbankan pada zaman orde lama begitu kalut, sesuai
dengan kekalutan perekonomian saat itu. Ekspansi kredit perbankan yang
didukung pencetakan uang kertas baru oleh Bank Indonesia telah menciptakan
inflasi yang sangat tinggi dengan segala akibat buruknya terhadap perekonomian
nasional.
Semua kekalutan perbankan ini terjadi juga karena sifat dualisme bank
sentral pada saat itu, yang mana bank sentral juga merangkap sebagai bank
komersial atau bank umum.
Pada masa orde lama ditandai dengan peristiwa Konferensi Meja Bundar
(KMB) dimana diputuskan untuk menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pihak Indonesia menginginkan agar BNI sebagai Bank Sentral, namun
usul tersebut tidak diterima sehingga De Javasche Bank sebagai Bank Sentral
yang berhak mengedarkan uang kertas dan membiayai perusahaan Belanda di
Indonesia.
Pada tahun 1950, RIS dibubarkan dan menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dan pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank melalui UU
No. 24 Tahun 1951 dan diganti dengan UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok

16

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

29

Bank Indonesia sehingga De Javasche Bank berganti nama menjadi Bank
Indonesia.
Namun demikian, sifat dualistik masih mewarnai Undang-Undang Pokok
Bank Indonesia dimana selain sebagai bank sentral juga sebagai bank umum
sehingga dunia perbankan cenderung kurang berkembang.

2.b Perbankan Pemerintahan Orde Baru
Dengan tenggelamnya orde lama, kehidupan perbankan memasuki babak
baru bersama naiknya kebijakan pemerintah Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru
ingin konsisten menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas devisa
bebas. Langkah selanjutnya untuk perbaikan perbankan pada pemerintahan orde
baru ini dimulai dengan memperkuat perundang-undangan yang mengatur
perbankan baik berupa penggantian maupun membuat undang-undang yang baru,
misalnya membuat peraturan yang baru berupa UU Perbankan No. 14 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Perbankan dan penggantian peraturan yang lama, yaitu
berupa UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral guna mengganti UU Pokok
Bank Indonesia 1953.
Sebagai langkah awal perbaikan ekonomi nasional, pemerintah Orde Baru
melalui UU No. 14 Tahun 1967 ingin secara jelas mengatur usaha perbankan
termasuk masalah perkreditan sehingga kesalahan pengelolaan, seperti ekspansi
kredit yang tak terkendali dapat dihindari, dan untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penghimpunan, serta penggunaan dana masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

30

2.b.1 Tahap Stabilisasi dan Rehabilitasi
Pada tahap ini perkembangan yang berarti adalah lahirnya landasan pokok
yang penting bagi perbankan yaitu dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Perbankan dan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral. Pada masa ini dualistis dari Bank Sentral ditiadakan, sehingga kegiatan
Bank Umum tidak dijalankan lagi. Salah satu materi yang penting dari UndangUndang Perbankan Tahun 1967 adalah memberikan arahan kepada dunia
perbankan Indonesia yaitu sebagai berikut :
1. Tata perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistem yang menjamin
adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di
Indonesia

serta

mengawasi

pelaksanaan

kebijaksanaan

moneter

pemerintah di bidang perbankan.
2. Memobilisasi dan mengembangkan seluruh potensi nasional yang bergerak
di bidang perbankan.
3. Membimbing dan mengembangkan potensi tersebut bagi kepentingan
ekonomi rakyat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas lebih lanjut dijelaskan bahwa
tugas pokok dari dunia perbankan nasional adalah menghimpun dana di
masyarakat guna diarahkan ke bidang-bidang yang dapat mempertinggi taraf
hidup rakyat. Hal ini sesuai yang diterapkan dalam Tap MPRS No.
XXIII/MPRS/1966 mengenai “Pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi,
keuangan, dan pembangunan” 17. Maka bagi bank-bank pemerintah perlu

17

Ibid, hal. 52.

Universitas Sumatera Utara

31

digariskan prioritas-prioritas yang harus diutamakan di dalam arah pembangunan
kreditnya, dengan tujuan agar usaha-usaha ke arah peningkatan produksi dapat
terlaksana, termasuk penyediaan kredit untuk melayani kebutuhan masyarakat
tani, nelayan, dan industri kecil.
Serangkaian keputusan dan undang-undang yang dikeluarkan pada masa
ini mampu melahirkan suatu landasan kebijaksanaan nasional tentang pengaturan
perbankan di Indonesia. Seiring dengan usaha-usaha pembangunan secara umum
yang sistematis tersebut, juga dilakukan rehabilitasi sistem perbankan yang tujuan
utamanya adalah untuk menghentikan laju inflasi dengan pengendalian fiscal dan
moneter yang ketat tetapi dapat menumbuhkan sistem perbankan yang dapat
berperan aktif dalam pembangunan sebagai lembaga perantara keuangan.

2.b.2 Tahap Pembangunan
Masa ini terjadi pada tahun 1970 sampai tahun 1982. Setelah gejolak
perkembangan ekonomi dapat dikendalikan, kebijaksanaan moneter diarahkan
untuk mencapai stabilitas moneter dan meningkatkan ekspor. Di bidang
perkreditan dibuat kebijkasanaan pemberian kredit secara selektif dalam mengatur
jumlah dan penyalurannya dalam perekonomian. Penentuan besarnya kredit
likuiditas beserta suku bunganya oleh Bank Indonesia kepada bank pemerintah
disesuaikan dengan urutan prioritas. Untuk menjaga tekanan inflasi mulai tahun
1973, Bank Indonesia memberlakukan pagu kredit yaitu suatu pembatasan
pertumbuhan kuantitatif kredit bank.

Universitas Sumatera Utara

32

Pada tahun 1974, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan tentang Pasar
Uang di Jakarta, sehingga bank-bank yang memiliki kelebihan dana ataupun
kekurangan dana dapat secara bebas melakukan transaksi berupa mentransfer atau
meminta dana pada bank lain.
Di samping itu, untuk memantau perkembangan suku bunga di Pasar
Uang, Bank Indonesia mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang
dimaksudkan untuk menampung kelebihan dana dari bank-bank yang tidak dapat
disalurkan. Hal ini mengakibatkan dana dapat berkurang dan suku bunga dapat
meningkat kembali.

2.b.3 Tahap Deregulasi
Pada masa ini terdapat berbagai kebijaksanaan baru yang merupakan
kemajuan besar di dunia perbankan Indonesia. Dalam menguraikan perkembangan
moneter dan perbankan selama masa ini, terbagi dalam dua bagian yaitu sebelum
Pakto 88 dan setelah Pakto 88.18
1.

Sebelum Pakto 88
Perkembangan perbankan mengalami perubahan yang cukup mendasar
dengan dikeluarkannya Kebijaksanaan 1 Juni 1983 menghapuskan pagu
kredit pada tahun 1973. Hal ini mengurangi ketergantungan bank-bank
pada Bank Indonesia dan meningkatkan mobilisasi dana dari masyarakat.
Dan memberikan kebebasan terhadap bank-bank dalam menentukan suku

18

Bahan ajaran Tan Kamello dan Syarifah Lisa, Hukum Pembiayaan Perbankan, hal. 12-

13.

Universitas Sumatera Utara

33

bunga, baik dalam pengumpulan dana dari masyarakat maupun penyaluran
kredit.
Kebijaksanaan tersebut kemudian ditambah lagi dengan deregulasi baru
melalui

Paket

Kebijaksanaan

27

Oktober

1988.

Melalui

paket

kebijaksanaan ini, memberikan kemudahan pembukaan dan pemberian ijin
kantor cabang sehingga jaringan perbankan menjadi semakin luas.
2.

Setelah Pakto 1988
Dalam perkembangannya, Pakto 1988 mengalami penyempurnaan dalam
rangka penyesuaian dengan kondisi dan perkembangan moneter, serta
perbankan di Indonesia.
Paket terakhir yang dikeluarkan pada tahun 1991 mengenai Prudential
Banking (asas kehati-hatian) dan pemenuhan CAR (Capital Aduquacy
Ratio) yakni perbandingan antar modal sendiri dengan asset tertimbang
menurut risiko.
Puncaknya dengan dikeluarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Tujuan penggantian dan penyempurnaan peraturan perbankan adalah
dalam rangka mendukung kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan
pembangunan, dan juga agar mampu menampung tuntutan jasa perbankan.

3. Masa Orde Reformasi
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia dimana nilai tukar
rupiah menjadi tertekan dan berdampak pada sendi-sendi perekonomian
Indonesia. Dengan dilikuidasinya 16 Bank pada tahun 1997 mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara

34

terjadinya Rush dan terjadinya kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di
bank.
Setelah lengsernya orde baru, terjadi pembaharuan di bidang perbankan
dengan dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
Hal yang signifikan adalah dengan didirikannya lembaga yang berfungsi
untuk melakukan program penyehatan terhadap bank. Badan yang dimaksud
adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bersifat sementara.
Selain itu, pada masa ini juga dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dimana diberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk
menanggulangi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Oleh
karenanya, dalam rangka pengelolaan keuangan nasional yang sehat, Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan
pemerintah

dan

pihak

lainnya,

serta

kinerjanya

dapat

diawasi

dan

dipertanggungjawabkan.

C. Jenis-Jenis Perbankan
Dalam praktiknya, perbankan di Indonesia saat ini terdapat beberapa jenis
perbankan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Antara jenis
perbankan sebelum keluar Undang-Undang Perbankan nomor 10 tahun 1998
dengan sebelumnya yaitu Undang-Undang nomor 14 tahun 1967 terdapat
beberapa perbedaan. Namun kegiatan utama atau pokok bank sebagai lembaga

Universitas Sumatera Utara

35

keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tidak
berbeda satu sama lainnya.
Perbedaan jenis perbankan dapat dilihat dari segi fungsi, serta
kepemilikannya. Dari segi fungsi, perbedaan yang terjadi terletak pada luasnya
kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawarkan serta jangkauan wilayah
operasinya. Sedangkan kepemilikan perusahaan dilihat dari segi kepemilikan
sahamnya.
Perbedaan lainnya dilihat dari segi siapa nasabah yang mereka layani,
apakah masyarakat luas atau masyarakat dalam lokasi tertentu (kecamatan). Jenis
perbankan juga dibagi kedalam bagaimana caranya menentukan harga jual dan
harga beli atau dengan kata lain caranya mencari keuntungan.
Adapun jenis perbankan dewasa ini jika ditinjau dari berbagai segi antara
lain :19
1. Dilihat dari segi fungsinya
Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan nomor 14 tahun 1967, jenis
perbankan menurut fungsinya terdiri dari :
a.

Bank Sentral

b.

Bank Umum

c.

Bank Pembangunan

d.

Bank Tabungan

19

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

36

Namun setelah keluar UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan
ditegaskan lagi dengan keluarnya Undang-Undang RI nomor 10 tahun 1998 maka
jenis perbankan berdasarkan fungsinya terdiri dari :
a.

Bank Umum

b.

Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Bentuk Bank Pembangunan dan Bank Tabungan yang semula berdiri sendiri

dengan keluarnya Undang-Undang No. 10 tahun 1998 berubah fungsinya menjadi
Bank Umum.
Pengertian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan UU
No. 10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :
a.

Bank Umum
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan
seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya,
dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia bahkan ke luar negeri
(cabang). Bank umum sering disebut bank komersil (commercial bank).

b.

Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Universitas Sumatera Utara

37

BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya, jasa-jasa
perbankan yang ditawarkan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan
dengan kegiatan atau jasa bank umum.

2. Dilihat dari segi kepemilikannya
Ditinjau dari segi kepemilikan maksudnya adalah siapa saja yang memiliki
bank tersebut. Kepemilikan ini dapat dilihat dari akte pendirian dan penguasaan
saham yang dimiliki bank yang bersangkutan.
Jenis bank dilihat dari segi kepemilikian adalah :
a.

Bank milik pemerintah
Merupakan bank yang akte pendirian maupun modal bank sepenuhnya
dimiliki oleh Pemerintah Indonesia sehingga seluruh keuntungan bank ini
dimiliki oleh pemerintah pula.
Misalnya, Bank Negara Indonesia 46 (BNI), Bank Rakyat Indonesia
(BRI), Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Mandiri.
Kemudian Bank Pemerintah Daerah (BPD) yang terdapat di daerah tingkat
I dan tingkat II masing-masing provinsi. Modal BPD sepenuhnya dimiliki
oleh Pemda masing-masing tingkatan.
Misalnya, PT Bank Sumut, BPD DKI Jakarta, BPD Jawa Barat, BPD Jawa
Tengah, BPD Riau, dan BPD lainnya.

Universitas Sumatera Utara

38

b.

Bank milik swasta nasional
Merupakan bank yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh
swasta nasional. Kemudian akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta,
begitu pula dengan pembagian keuntungannya yang mana keuntungan
tersebut pun untuk keuntungan swasta pula.
Misalnya, Bank Central Asia (BCA), Bank Muamalat, Bank Niaga, Bank
Bumi Putera, Bank Permata, dan lainnya.

c.

Bank milik koperasi
Merupakan bank yang kepemilikian saham-sahamnya dimiliki oleh
perusahaan yang berbadan hukum koperasi.
Misalnya, Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin).

d.

Bank milik asing
Merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, bank milik swasta
asing atau pemerintah asing. Kepemilikannya pun jelas dimiliki oleh pihak
asing (luar negeri).
Misalnya, City Bank, Bank of America, Bank of Tokyo, Bangkok Bank,
Deutsche Bank.

e.

Bank milik campuran
Kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak
swasta nasional. Kepemilikan sahamnya secara mayoritas dipegang oleh
warganegara Indonesia.
Misalnya, Bank Finconesia, Inter Pacific Bank, Mitsubishi Buana Bank,
Sanwa Indonesi Bank.

Universitas Sumatera Utara

39

3. Dilihat dari segi status
Dilihat dari segi kemampuannya melayani masyarakat, bank umum dapat
dibagi kedalam dua jenis. Pembagian jenis ini disebut juga pembagian
berdasarkan kedudukan atau status bank tersebut.
Kedudukan atau status ini menunjukkan ukuran kemampuan bank dalam
melayani masyarakat baik dari segi jumlah produk, modal maupun kualitas
pelayanannya. Untuk memperoleh status tertentu, diperlukan penilaian-penilaian
dengan kriteria tertentu pula.
Jenis bank dilihat dari segi status adalah sebagai berikut :
a.

Bank devisa
Merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri atau
yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan, misalnya
transfer keluar negeri, inkaso keluar negeri, travellers cheque, pembukaan
dan pembayaran Letter of Credit dan transaksi lainnya. Persyaratan untuk
menjadi bank devisa ini ditentukan oleh Bank Indonesia.

b.

Bank non devisa
Merupakan bank yang belum mempunyai izin untuk melaksanakan
transaksi sebagai bank devisa sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi
seperti halnya bank devisa. Bank non devisa ini merupakan kebalikan dari
bank devisa, di mana transaksi yang dilakukan masih dalam batas-batas
Negara.

Universitas Sumatera Utara

40

4. Dilihat dari segi cara menetukan harga
Jenis bank jika dilihat dari segi atau caranya dalam menetukan harga, baik
harga jual maupun harga beli terbagi dalam 2 kelompok, yaitu :
a.

Bank yang berdasarkan prinsip konvensional (Barat)
Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia saat ini adalah bank yang
berorientasi pada prinsip konvensional. Hal ini tidak terlepas dari sejarah
bangsa Indonesia di mana asal mula bank di Indonesia dibawa oleh
colonial Belanda.
Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga kepada para
nasabahnya, bank yang berdasarkan prinsip konvensional menggunakan
dua metode yaitu :
-

Menetapkan bunga sebagai harga, untuk produk simpanan seperti
giro, tabungan maupun deposito. Demikian pula harga untuk
produk pinjamannya (kredit) juga ditentukan berdasarkan tingkat
suku bunga tertentu. Penentuan harga ini dikenal dengan istilah
spread based.

-

Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak perbankan konvensional
menggunakan atau menerapkan berbagai biaya-biaya dalam
nominal atau persentase tertentu. Sistem pengenaan biaya ini
dikenal dengan istilah fee based.

b.

Bank yang berdasarkan prinsip syariah (Islam)
Bank yang berdasarkan prinsip syariah belum lama berkembang di
Indonesia. Namun di luar negeri terutama di negara-negara Timur Tengah

Universitas Sumatera Utara

41

seperti Mesir atau di Pakistan, bank yang berdasarkan prinsip syariah
sudah berkembang pesat sejak lama.
Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah dalam penentuan harga
produknya sangat berbeda dengan bank yang berdasarkan prinsip
konvensional. Bank berdasarkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hokum islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan
dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya.
Dalam menentukan harga atau mencari keuntungan bagi bank yang
berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut :
1. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).
2. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah).
3. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah).
4. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan
(ijarah).
5. atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Sedangkan penetuan biaya-biaya jasa bank lainnya bagi bank yang
berdasarkan prinsip syariah juga sesuai dengan syariah islam. Sumber
penentuan harga atau pelaksanaan kegiatan bank prinsip syariah dasar
hukumnya adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Bank berdasarkan prinsip
syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga
tertentu. Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah, bunga adalah riba.

Universitas Sumatera Utara

42

Bank-bank yang diperbolehkan untuk melakukan pola pembiayaan dan
kegiatan lainnya berdasarkan prinsip syariah yaitu : 20
1. Bank Umum
Bank umum yang melakukan fungsi kegiatan usaha secara
konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah melalui :
a. pendirian kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang
baru; atau
b. pengubahan kantor cabang atau di bawah kantor cabang yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor
yang melakukan berdasarkan prinsip syariah. Dalam rangka
persiapan perubahan kantor bank tersebut, kantor cabang atau
kantor di bawah kantor cabang, yang sebelumnya melakukan
kegiatan usaha secara konvensional, dapat terlebih dahulu
membentuk unit tersendiri yang melaksanakan kegiatan
berdasarkan prinsip syariah di dalam kantor bank tersebut.
Bank umum berdasarkan prinsip syariah tidak melakukan kegiatan
usaha secara konvensional.
2. Bank Perkreditan Rakyat
Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah tidak diperkenankan melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional. Demikian juga Bank Perkreditan
20

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2001, hal. 67.

Universitas Sumatera Utara

43

Rakyat yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

D. Kelembagaan Perbankan
Maksud dari kelembagaan perbankan adalah bank dilihat sebagai
organisasi yang meliputi aspek internal dan eksternal.
Aspek internal bank adalah garis ketatalaksanaan bank yang meliputi
manajemen, laporan keuangan, pembayaran dalam dan luar negeri, sumber daya
manusia, dan sebagainya.
Aspek eksternal bank adalah hubungan antara bank yang satu dengan bank
yang lain, yang menyangkut struktur, kepemilikan, usaha, operasional, dan
sebagainya.
Yang dimaksud dengan struktur perbankan adalah susunan bank dalam
hubungannya yang satu dengan yang lain atau bentuk organisasi bank tersebut,
yang terdiri dari unit banking system (bank tunggal) dan multiple office bank
system. Yang dikatakan sebagai unit banking system adalah sejumlah bank yang
berdiri sendiri dan tidak mempunyai cabang atau perwakilan, sedangkan multiple
office bank system adalah beberapa kantor bank yang beroperasi dalam kesatuan
hukum.
Ada tiga jenis multiple office bank system, yaitu :21
1. Branch banking system, yaitu bank yang merupakan satu kesatuan hukum
yang beroperasi pada lebih dari satu kantor bank. Pada sistem ini, kantor

21

Bahan ajaran Tan Kamello dan Syarifah Lisa, op.cit, hal. 16.

Universitas Sumatera Utara

44

pusat bank mendirikan kantor cabang yang memiliki hak yang sama
dengan kantor pusat tetapi dalam hal-hal tertentu masih ada keterbatasan
atau instruksi kantor pusat.
2. Chain banking system, yaitu sejumlah bank yang berdiri sendiri dalam
kedudukannya sebagai suatu kesatuan hukum. Pada sistem ini, operasi dan
kebijaksanaan berada di tangan satu orang atau beberapa orang yang
berkuasa atas bank tersebut.
3. Group banking system, yaitu sejumlah bank yang berdiri sendiri dalam
kedudukannya sebagai suatu kesatuan hukum yang

secara langsung

dikuasai oleh suatu perusahaan (holding company).
Dalam aspek eksternal bank terdapat dua hubungan yakni hubungan
vertikal dan hubungan horizontal. Hubungan vertikal artinya hubungan antara
bank sentral atau Bank Indonesia dengan bank-bank lain, sedangkan hubungan
horizontal artinya hubungan antara bank yang satu dengan bank lainnya.

Universitas Sumatera Utara