Aspek Hukum Penghapusbukuan Kredit (Write Off) Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Kredit Bermasalah (Studi Pada Bank Sumut Cabang Binjai)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku :

Amirin, Tatang M. 2000. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Asikin, Zainal. 1995. Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1978. Perjanjian Kredit Bank. Bandung : Alumni. Djumhana, Muhammad. 1996. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : Citra

Aditya Bakti.

Fuady, Munir. 1999. Hukum Perbankan Modern. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hasibuan, Malayu SP. 2004. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta : Bumi Aksara. Hay, Marhainis Adul. 1975. Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta

: Pradnya Paramita.

Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta : Prenada Media.

Kamello, Tan. 2006. Hukum Jaminan Fiducia. Ctk Kedua. Bandung : Alumni. Kasmir. 2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Martono, SU. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Yogyakarta : Ekonisia. Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Murniati. 2004. Segi Hukum Lembaga


(2)

Salim, H. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fiducia. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Sinungan, Muchdarsyah. 1991. Dasar-Dasar dan Tekhnik Manajemen Kredit. Jakarta : Bumi Aksara.

Soemitro, Rochmat. 1991. Kumpulan Azas-azas Perbankan Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.

Supramono, Gatot. 1995. Perbankan dan Masalah Kredit. Jakarta : Djambatan. Subekti, R. 2002. Hukum Perjanjian. Ctk Kesembilan belas. Jakarta : Bumi

Aksara.

Untung, Budi. 2005. Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

Usman, Rachmadi. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Widiyono, Try. 2005. Agunan Kredit dalam Financial Engineering. Bogor : Ghalia Indonesia.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Jaminan Fiducia. Ctk Kedua. Jakarta : Persada.

II. Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan


(3)

BAB III

TINJAUAN UMUM KREDIT DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN

A. Pengertian Kredit

Dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang artinya percaya. Maksudnya, si pembeli kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Oleh karena itu, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu bank mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis ini adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.

Pemberian kredit tanpa analisis terlebih dahulu akan sangat membahayakan bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data-data fiktif, sehingga mungkin saja kredit sebenarnya kredit tidak layak, tetapi malah diberikan. Kemudian, jika salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan yang sebenarnya tidak layak menjadi layak sehingga akan berakibat sulit untuk ditagih alias macet.22

22

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978, hal. 23.


(4)

Pengertian kredit menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah : Penyediaan utang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Sedangkan pengertian pembiayaan adalah dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Dari pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kredit atau pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Contoh berbentuk tagihan (kredit barang), misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kredit ini berarti nasabah tidak memperoleh uang tetapi rumah , karena bank membayar langsung kepada developer dan nasabah hanya membayar cicilan rumah tersebut setiap bulan. Kemudian adanya kesepakatan antara bank (kreditur) dengan nasabah penerima kredit (debitur) bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang sudah dibuat bersama.

Yang menjadi perbedaan antara kredit yang diberikan oleh bank berdasarkan konvensional dengan pembiayaan yang diberikan oleh bank


(5)

berdasarkan prinsip syariah adalah terletak pada keuntungan yang diharapkan. Bagi berdasarkan prinsip konvensional keuntungan diperoleh melalui bunga, sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah berupa imbalan atau bagi hasil.

Dalam kata kredit mengandung berbagai maksud. Atau dengan kata lain dalam kata kredit terkandung unsur-unsur yang direkatkan menjadi satu. Sehingga jika kita bicara kredit maka termasuk membicarakan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut :23

23

Rachmadi Usman, op.cit, hal. 238.

1. Kepercayaan

Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bagi si pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (baik berupa uang, barang atau jasa) benar-benar diterima kembali di masa yang akan datang sesuai dengan jangka waktu kredit. Kepercayaan diberikan oleh bank sebagai dasar utama yang dilandasi mengapa suatu kredit berani dikucurkan. Oleh karena itu sebelum kredit dikucurkan harus dilakukan penelitian dan penyelidikan lebih dahulu secara mendalam tentang kondisi nasabah, baik secara intern maupun ekstern. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi pemohon kredit sekarang dan masa lalu, untuk menilai kesungguhan dan itikad baik nasabah terhadap bank.


(6)

2. Kesepakatan

Disamping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing. Kesepatakan ini kemudian dituangkan dalam akad kredit dan ditandatangani oleh kedua belah pihak sebelum kredit dikucurkan.

3. Jangka Waktu

Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut biasa berbentuk jangka pendek (dibawah 1 tahun), jangka menengah (1 sampai 3 tahun), atau jangka panjang (diatas 3 tahun). Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.

4. Risiko

Akibat adanya jangka waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu kredit. Semakin panjang suatu jangka waktu kredit, maka semakin besar risikonya, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah, maupun risiko yang tidak disengaja, misalnya karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya, sehingga nasabah tidak mampu lagi melunasi kredit yang diperolehnya.


(7)

5. Balas Jasa

Bagi bank balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian suatu kredit. Dalam bank konvensional balas jasa ini dikenal dengan nama bunga. Disamping balas jasa dalam bentuk bunga, bank juga membebankan kepada nasabah biaya administrasi kredit yang juga merupakan keuntungan bank. Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil.

Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai yang tentunya tergantung dari tujuan bank itu sendiri. Tujuan pemberian kredit juga tidak akan terlepas dari misi bank tersebut didirikan.

Dalam praktiknya tujuan pemberian suatu kredit sebagai berikut :24

24

Kasmir, op.cit, hal. 105.

1. Mencari keuntungan

Tujuan utama pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan. Hasil keuntungan ini diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan pada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank. Bagi bank yang terus menerus menderita kerugian maka besar kemungkinan bank tersebut akan dilikuidir (dibubarkan). Oleh karena itu sangat penting bagi bank untuk memperbesar keuntungan mengingat biaya operasional bank juga relative cukup besar.


(8)

Tujuan selanjutnya adalah membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas usahanya. Dalam hal ini baik bank maupun nasabah sama-sama diuntungkan,

3. Membantu pemerintah

Tujuan lainnya adalah membantu pemerintah dalam berbagai bidang. Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka akan semakin baik meningat semakin banyak kredit yang diberikan berarti adanya kucuran dana dalam rangka peningkatan pembangunan diberbagai sektor, terutama sektor riil akan semakin meningkat pula.

Disamping memiliki tujuan pemberian suatu fasilitas kredit juga memiliki fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit yang secara luas tersebut antara lain :25

Kredit uang yang disalurkan melalui rekening giro menciptakan pembayaran baru seperti cek, giro bilyet dan wesel sehingga apabila pembayaran-pembayaran dilakukan dengan cek, giro bilyet dan wesel maka akan dapat 1. Untuk meningkatkan daya guna uang

Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang, maksudnya jika uang hanya disimpan saja di rumah tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit. Kemudian juga dapat memberikan penghasilan tambahan kepada pemilik dana.

2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang

25


(9)

meningkatkan peredaran uang giral. Disamping itu, kredit perbankan yang ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan peredaran uang kartal sehingga arus lalu lintas uang berkembang pula.

3. Untuk meningkatkan daya guna barang

Dengan mendapatkan kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat. 4. Meningkatkan peredaran barang

Disamping itu, kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang baik melalui penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari satu dan menjualnya ke tempat lain. Pembelian tersebut uangnya berasal dari kredit. Hal ini juga berarti kredit tersebut dapat pula meningkatkan manfaat suatu barang. 5. Sebagai alat stabilitas ekonomi

Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai alat stabilitas ekonomi, karena dengan adanya kredit yang didirikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. Kredit dapat pula membantu mengekspor barang dari dalam negeri ke luar negeri sehingga dapat meningkatkan devisa negara.

6. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha

Setiap orang yang berusaha selalu ingin meningkatkan usahanya, namun ada kalanya dibatasi oleh kemampuan dibidang permodalan. Oleh karenanya dengan memperoleh kredit nasabah akan semakin bergairah untuk dapat memperbesar atau memperluas usahanya.


(10)

Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik, terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk membangun pabrik, maka pabrik tersebut akan membutuhkan tenaga kerja, sehingga dapat pula mengurangi pengangguran. Dengan demikian mereka akan memperoleh pendapatan/penghasilan. Dan dengan tertampungnya tenaga-tenaga kerja tersebut maka pemerataan pendapatan akan meningkat pula.

8. Untuk meningkatkan hubungan internasional

Bank-bank besar di luar negeri yang mempunyai jaringan usaha dapat memberikan bantuan dalam bentuk kredit baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Begitu juga negara-negara maju yang mempunyai cadangan devisa dan tabungan yang tinggi, dapat memberikan bantuan-bantuan dalam bentuk kredit pada negara-negara berkembang yang sedang membangun. Bantuan dalam bentuk kredit ini tidak saja dapat mempererat hubungan ekonomi antar negara yang bersangkutan tetapi juga meningkatkan hubungan internasional.

B. Jenis-Jenis Kredit

Jenis-jenis kredit yang ada sekarang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan perkreditan yang digariskan sesuai dengan tujuan pembangunan. Pada mulanya kredit masih berdasarkan kepercayaan murni yaitu berbentuk kredit perorangan karena kedua belah pihak sudah saling mengenal akan tetapi dengan berkembangnya waktu maka berkembang pula unsur-unsur lain yang dipakai menjadi landasan dalam kredit tersebut.


(11)

Dalam praktiknya kredit yang diberikan bank umum dan bank perkreditan rakyat untuk masyarakat terdiri dari berbagai jenis. Secara umum, jenis-jenis kredit dapat dilihat dari berbagai segi antara lain :26

Kredit yang digunakan untuk meningkatkan usaha atau produksi atau investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa. Sebagai contohnya kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan menghasilkan barang, kredit pertanian akan menghasilkan produk pertanian, 1. Dilihat dari segi kegunaan

a. Kredit investasi

Kredit investasi merupakan kredit jangka panjang yang biasanya digunakan untuk keperluan perlunasan usaha atau membangun proyek/pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi. Contoh kredit investasi misalnya untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin. Masa pemakaiannya untuk suatu periode yang relatif lebih lama dan dibutuhkan modal yang relatif besar.

b. Kredit modal kerja

Kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan untuk meningkatkan keperluan produksi dalam operasionalnya. Sebagai contoh kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku, membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan. 2. Dilihat dari segi tujuan kredit

a. Kredit produktif

26


(12)

kredit pertambangan menghasilkan barang tambang atau kredit industri akan menghasilkan barang industri.

b. Kredit konsumtif

Kredit konsumtif merupakan kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang atau jasa yang dihasilkan, karena memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. Sebagai contoh kredit untuk perumahan, kredit mobil pribadi, kredit perabotan rumah tangga dan kredit konsumtif lainnya.

c. Kredit perdagangan

Merupakan kredit yang diberikan kepada pedagang dan digunakan untuk membiayai aktifitas perdagangannya seperti untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. Kredit ini sering diberikan kepada supplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar. Contoh kredit ini misalnya kredit ekspor impor.

3. Dilihat dari segi jangka waktu a. Kredit jangka pendek

Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja. Contohnya peternakan, misalnya kredit ayam atau jika untuk pertanian misalnya tanaman padi atau palawija.


(13)

Jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 tahun sampai dengan 3 tahun dan biasanya kredit ini digunakan untuk melakukan investasi. Sebagai contoh kredit untuk pertanian seperti jeruk atau peternakan kambing.

c. Kredit jangka panjang

Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang. Kredit jangka panjang waktu pengembaliannya diatas 3 tahun atau 5 tahun. Biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau manufaktur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.

4. Dilihat dari segi jaminan a. Kredit dengan jaminan

Merupakan kredit yang diberikan dengan suatu jaminan. Jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang. Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi minimal senilai jaminan atau untuk kredit tertentu jaminan harus melebihi jumlah kredit yang diajukan si calon debitur.

b. Kredit tanpa jaminan

Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha, karakter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama berhubungan dengan bank atau pihak lain.


(14)

a. Kredit pertanian, merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau pertanian. Sektor usaha pertanian dapat berupa jangka pendek atau jangka panjang.

b. Kredit peternakan, merupakan kredit yang diberikan untuk sektor peternakan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek misalnya peternakan ayam dan jangka panjang misalnya peternakan kambing atau sapi.

c. Kredit industri, merupakan kredit yang diberikan untuk membiayai industri, baik industri kecil, industri menengah maupun industri besar.

d. Kredit pertambangan, merupakan kredit yang diberikan kepada usaha tambang. Jenis usaha tambang yang dibiayai biasanya dalam jangka panjang seperti tambang emas, minyak atau timah.

e. Kredit pendidikan, merupakan kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk mahasiswa.

f. Kredit profesi, merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profesional seperti dosen, dokter atau pengacara.

g. Kredit perumahan, yaitu kredit untuk membiayai pembangunan atau pembelian perumahan dan biasanya berjangka waktu panjang.

h. Dan sektor-sektor lainnya.

6. Dilihat dari segi lembaga pemberi-penerima kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia27

27


(15)

a. Kredit perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dan atau konsumsi

Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.

b. Kredit likuiditas

Merupakan kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya. Pelaksanaan kredit ini merupakan operasi Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugasnya yang diemban sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UU Bank Sentral Tahun 1968, yaitu untuk memajukan urusan perkreditan sekaligus bertindak mengadakan pengawasan terhadap urusan kredit tersebut. Dengan demikian Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk menetapkan batas-batas kuantitatif dan kualitatif di bidang perkreditan bagi perbankan yang ada.

c. Kredit langsung

Kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan pangan atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina, atau pihak ketiga lainnya. 7. Dilihat dari segi dokumen28

28


(16)

Kredit jenis ini yaitu kredit yang sangat terikat dengan dokumen-dokumen berharga yang memiliki substitusi nilai jumlah uang, dan dokumen tersebut merupakan jaminan pokok pemberian kredit. Kredit ini banyak digunakan oleh orang yang mengadakan transaksi dagang yang berlainan tempat. Jenis kredit ini terdiri dari :

a. Kredit ekspor

Adalah semua bentuk kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor. Jadi bisa dalam bentuk kredit langsung maupun tidak langsung seperti pembiayaan kredit modal kerja jangka pendek, maupun kredit investasi untuk jenis industri yang berorientasi ekspor.

b. Kredit impor

8. Dilihat dari segi besar kecilnya aktivitas perputaran usaha29

29

Ibid, hal. 236.

a. Kredit kecil, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil.

b. Kredit menengah, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar daripada pengusaha kecil.

c. Kredit besar.

C. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit


(17)

“Dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan”.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa bank harus berhati-hati (prudent) dalam memberikan kredit pada calon nasabahnya. Bank harus dapat menjaga likuiditas dan solvabilitasnya.30

Cara yang sampai saat ini masih digunakan untuk menganalisis apakah calon debitur tersebut dapat dipercaya atau dapat diandalkan adalah dengan apa yang disebut dengan konsep The 5 C’s, yang meliputi :

Likuiditas maksudnya adalah kemampuan bank tersebut didalam menjamin terbayarnya hutang-hutang jangka pendeknya, sedangkan solvabilitas maksudnya adalah kemampuan bank untuk melunasi semua hutang-hutangnya, baik yang jangka pendek maupun yang jangka panjang. Solvabilitas bank tergantung juga dari solvabilitas masing-masing nasabahnya. Jadi bank harus menyelidiki terlebih dahulu calon debiturnya, apakah calon debitur tersebut dapat dipercaya dan juga dapat diandalkan.

31

Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank dan (calon) debitur atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang 1. Penilaian watak (Character)

30

Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, hal. 123.

31


(18)

mengetahui moral, kepribadian dan perilaku calon debitur dalam kehidupan kesehariannya.

Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur apakah debitur mempunyai itikad baik, antara lain sebagai berikut :32

32

Budi Untung, op.cit, hal. 125.

a. Sebelum terjadi kredit macet :

1. Nasabah selalu kooperatif terhadap bank dan mau menjalankan segala kewajibannya, baik yang berupa kewajiban untuk mencicil pokok atau kewajiban membayar bunga.

2. Kredit telah digunakan sesuai maksud dan tujuan yang tertulis dalam perjanjian kredit. Dengan kata lain, tidak terjadi side streaming, yaitu menggunakan untuk tujuan lain selain membiayai proyek atau usaha yang diperjanjikan.

3. Perhitungan kebutuhan jumlah kredit tidak di back up, yaitu diajukan kepada bank dengan perhitungan lebih besar dari kebutuhan yang sesungguhnya.

4. Nilai tanah, peralatan dan asset perusahaan lain baik yang dibiayai dengan kredit maupun yang dijadikan jaminan tidak di mark up, yaitu dinilai lebih tinggi dari nilai yang sesungguhnya.

b. Setelah terjadi kredit macet :

1. Debitur tidak sulit dihubungi atau tidak menghindar bila dihubungi oleh Bank atau BPPN.


(19)

2. Nasabah mengajukan permohonan untuk merestrukturisasi hutangnya kepada Bank atau BPPN. Hal ini merupakan pertanda bahwa debitur bersikap positif terhadap penyelesaian kreditnya.

2. Penilaian kemampuan (capacity)

Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengambalikan pinjamannya.

3. Penilaian terhadap modal (capital)

Penilaian terhadap modal perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah modal yang dimiliki calon debitur cukup memadai untuk menjalankan usahanya. Besarnya jumlah modal yang ditanam terutama berupa benda bergerak dan tidak bergerak akan memberi daya tahan usaha dalam menghadapi siklus atau fluktuasi ekonomi.

4. Penilaian terhadap jaminan (collateral)

Penilaian terhadap jaminan perlu dilakukan untuk mengetahui nilai barang jaminan yang diserahkan calon debitur untuk menutupi risiko kegagalan pengembalian kredit yang akan diperolehnya. Barang jaminan berfungsi sebagai pengaman terhadap kemungkinan ketidakmampuan calon debitur melunasi kredit yang diterimanya.


(20)

Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa lalu maupun masa yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diketahui. Selain memperhatikan hal-hal tersebut, bank harus pula mengetahui mengenai tujuan penggunaan kredit dan rencana pengembangan kreditnya serta urgensi dari kredit yang diminta.

Selain menerapkan prinsip 5 C’s dalam memberikan kredit, bank juga menerapkan apa yang dinamakan dengan prinsip 5 P, yaitu :33

Harus pula diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur cukup tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa 1. Party (Para Pihak)

Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur, yang meliputi bagaimana karakternya, kemampuannya, dan sebagainya.

2. Purpose (Tujuan)

Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif, yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit.

3. Payment (Pembayaran)

33


(21)

kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti, debitur punya cukup sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.

4. Profitability (Perolehan Laba)

Unsur perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pemberian kredit. Untuk itu, kreditur harus berantisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit, cash flow, dan sebagainya.

5. Protection (Perlindungan)

Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan dari holding, atau jaminan pribadi dari pemilik perusahaan penting diperhatikan. Terutama untuk berjaga-jaga sekiranya terjadi hal-hal di luar skenario atau di luar prediksi semula.

Disamping menggunakan prinsip pemberian kredit di atas, bank dalam memberikan kredit juga menggunakan prinsip 3 R, yaitu :34

Merupakan hasil yang diperoleh debitur, dalam hal ini ketika kredit telah dimanfaatkan dan dapat diantisipasi oleh calon kreditur. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-1. Returns (Hasil yang diperoleh)

34 Ibid.


(22)

ongkos, disamping membayar keperluan perusahaan yang lain seperti cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya.

2. Repayment (Pembayaran kembali)

Kemampuan bayar dari pihak debitur tentu saja juga harus dipertimbangkan. Dan apakah kemampuan bayar tersebut macth dengan schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu. Ini juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan.

3. Risk Bearing Ability (Kemampuan menanggung risiko)

Hal lain yang juga perlu untuk diperhatikan adalah sejauh mana terdapatnya kemampuan debitur untuk menanggung risiko. Misalnya dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu, harus dipertimbangkan apakah misalnya jaminan dan/atau asuransi barang atau kredit sudah cukup aman untuk menutupi risiko tersebut.

Disamping prinsip-prinsip di atas, ada beberapa prinsip lain dalam hal pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang harus diperhatikan oleh suatu bank, yaitu :35

35

Ibid, hal. 250.

1. Prinsip Matching

Yaitu harus match antara pinjaman dengan asset perseroan. Jangan sekali-kali memberikan suatu pinjaman berjangka waktu pendek untuk kepentingan pembiayaan atau investasi yang berjangka panjang. Karena hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya mismatch.


(23)

2. Prinsip Kesamaan Valuta

Maksudnya, penggunaan dana yang didapatkan dari suatu kredit, sedapat-dapatanya haruslah digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama. Sehingga risiko gejolak nilai valuta dapat dihindari. Meskipun untuk itu tersedia apa yang disebut dengan currency hedging.

3. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Modal

Maksudnya, haruslah ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal. Jika pinjamannya terlalu besar disebut perusahaan yang high gearing. Sebaliknya, jika pinjamannya lebih kecil dibandingkan dengan modalnya disebut low gearing. Post permodalan earnings yang akan didapat oleh perusahaan tidak fixed, yaitu dalam bentuk dividen, sementara cost terhadap suatu pinjaman yaitu dalam bentuk bunga relatif tetap. Karena itu, kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable.

4. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Asset

Alternatif lain untuk menekan risiko dari suatu pinjaman adalah dengan memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan asset, yang juga dikenal dengan gearing ratio.

D. Jaminan dalam Pemberian Kredit Bank

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu diantaranya bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat


(24)

perjanjian tertulis; memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat, dan akan membawa kerugian; memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit); bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham, dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham.

Guna mengurangi risiko kerugian dalam pemberian kredit, maka diperlukan pemberian jaminan kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Faktor adanya jaminan inilah yang penting harus diperhatikan oleh bank. Pada Pasal 8 UU Perbankan Tahun 1998 ditentukan bahwa :

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Guna memperoleh keyakinan tersebut sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penelitian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, jaminan, dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa jaminan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan utangnya. Jaminan dapat dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai


(25)

jaminan. Bank tidak wajib meminta jaminan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan jaminan tambahan.

Subekti menyatakan bahwa karena lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik (ideal) itu adalah :36

a. yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya;

b. yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;

c. yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila diperlukan dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi utang si penerima (pengambil) kredit.

Kegunaan jaminan kredit adalah untuk :

a. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian; b. menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai

usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat

36


(26)

dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil;

c. memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.

Suatu kredit, dapat diberikan dengan jaminan atau tanpa jaminan. Kredit tanpa jaminan sangat membahyakan posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami suatu kemacetan maka akan sulit untuk menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan. Sebaliknya, dengan jaminan kredit relatif lebih aman mengingat setiap kredit macet akan dapat ditutupi oleh jaminan tersebut.

1. Kredit dengan jaminan

Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya, kebendaan yang dijadikan objek jaminan, dan lain sebagainya.37

37

Ibid, hal. 287-291.

a. Jaminan karena undang-undang dank arena perjanjian

Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh, seperti jaminan umum, hak privilege dan hak retensi (Pasal 1132, Pasal 1134 ayat (1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya, seperti gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.


(27)

b. Jaminan umum dan jaminan khusus

Pada prinsipnya, menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditur. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Dari pasal ini berarti seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan pelunasan utang debitur kepada kreditur. Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada pada saat perjanjian piutang diadakan maupun yang baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah perjanjian utang piutang diadakan.

Dalam praktik perkreditan, jaminan umum tidak memuaskan kreditur, kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi kredit yang diberikan. Dengan jaminan umum tersebut kreditur tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah harta kekayaan debitur yang ada sekarang dan yang akan ada di kemudian hari, serta kepada siapa saja debitur itu berutang, sehingga khawatir hasil penjualan harta kekayaan debitur nantinya tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya. Untuk itu kreditur memerlukan adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan piutangnya dan itu hanya berlaku bagi kreditur tersebut.

Jaminan khusus ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur. Karena jaminan umum kurang menguntungkan bagi


(28)

kreditur maka diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang diutamakan atau diistimewakan atau didahulukan daripada kreditur-kreditur lain dalam pelunasan utangnya.

c. Jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yamempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak. Benda bergerak dibedakan lagi atas benda bergerak berwujud dan benda bergerak tidak berwujud. Pengikatan benda bergerak berwujud dengan gadai dan fidusia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.

Sedangkan jaminan perseorangan adalah jaminan yang diberikan oleh seseorang yang menyatakan kesanggupan untuk menanggung segala risiko apabila kredit tersebut macet. Dengan kata lain orang yang memberikan jaminan itulah yang akan menggantikan kredit yang tidak mampu dibayar oleh nasabah.

d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan

Prinsip “kepercayaan” dianggap sebagai jaminan pokok dari pembayaran kembali utang-utang debitur kelak. Sementara jaminan-jaminan lainnya yang


(29)

bersifat kontraktual, seperti hak tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fidusia, dan sebagainya hanya dianggap sebagai jaminan tambahan semata-mata, yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.

e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak

Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan menggunakan hak tanggungan atas tanah, sedangkan kalau yang dijadikan jaminan adalah kapal laut atau pesawat udara, maka pembebanannya dengan menggunakan hipotik. Sementara itu, kalau yang dijadikan jaminan adalah benda bergerak, maka pembebanannya dengan menggunakan gadai, fidusia, cessie, dan account receivable.

f. Jaminan regulatif dan jaminan non regulatif

Jaminan regulatif adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tergolong ke dalam jaminan regulatif ini antara lain adalah hipotik, gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non regulatif adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur atau tidak khusus diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan praktik. Jaminan non regulatif ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan non regulatif yang semata-mata hanya bersifat kontraktural, seperti kuasa menjual dan lainnya.


(30)

g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional

Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama dikenal dalam sistem hukum kita, baik yang telah diatur dalam undangan, hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama dilaksanakan dalam praktik, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang bergerak, gadai tanah, fidusia, garansi, dan akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non konvensional adalah jaminan yang eksistensinya dalam sistem hukum jaminan yang masih terbilang baru. Meskipun sudah dilaksanakan secara meluas, namun pranatanya belum diatur secara rapi, seperti pengalihan hak tagih debitur (assignment of receivable for security purpose), pengalihan hak tagih klaim (assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan menutupi kekurangan biaya (cash deficiency).

h. Saham sebagai jaminan tambahan

Dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal yang sehat, diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan hal itu, bank bank diperkenankan meminta agunan tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya pemberian jaminan pemberian kredit. Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit.


(31)

2. Kredit tanpa jaminan

Kredit tanpa jaminan maksudnya adalah bahwa kredit yang diberikan bukan dengan jaminan barang tertentu. Biasanya kredit ini diberikan untuk perusahaan yang memang benar-benar bonafit dan profesional, sehingga kemungkinan kredit tersebut macet sangat kecil. Kredit tanpa jaminan hanya mengandalkan kepada penilaian terhadap prospek usahanya atau dengan pertimbangan untuk pengusaha-pengusaha yang memiliki loyalitas yang tinggi.


(32)

BAB IV

PENGHAPUSBUKUAN KREDIT (WRITE OFF) SEBAGAI SALAH SATU PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH

A. Kriteria Pemberian Penghapusbukuan Kredit (Write Off) terhadap Kredit Bermasalah Pada Bank Sumut Cabang Binjai

Sebelum masuk ke dalam pembahasan kriteria pemberian penghapusbukuan kredit maka terlebih dahulu secara garis besar penulis akan uraikan arti daripada kredit bermasalah tersebut.

Pada dasarnya kredit bermasalah merupakan kondisi yang seringkali terjadi pada bisnis perbankan yaitu sebagai resiko dari penyaluran kredit bank yang bersangkutan yang biasanya diawali dengan terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur sebagai penerima kredit. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk. Apabila debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya maka ia dikatakan melakukan wanprestasi.38

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) debitur dapat berupa empat macam, yaitu :

b. Melaksankannya apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

38

Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kesembilanbelas, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal. 45.


(33)

Terhadap kelalaian atau kealpaan debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau akibat bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu :

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau disebut juga ganti rugi; b. Pembatalan perjanjian;

c. Peralihan resiko;

d. Membayar biaya perkara, jika sampai diperkarakan di depan hakim.

Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah si debitur benar-benar melakukan wanprestasi atau lalai terhadap kredit yang telah diterimanya, dan jika hal itu disangkal olehnya maka harus dibuktikan di hadapan hakim karena kebanyakan terjadinya kredit bermasalah dipicu oleh wanprestasi yang akan menimbulkan kredit macet. Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menangani kredit yang bermasalah.

Walaupun kredit bermasalah seringkali sulit untuk dihindarkan namun bank harus tetap mengelolanya secara hati-hati dan sedapat mungkin diminimalkan resikonya sehingga dapat memberikan keuntungan bagi bank. Kredit bermasalah dapat disebabkan oleh beberapa faktor kelemahan, yaitu :

a. Sisi Intern Bank Sumut, antara lain :

1. Itikad tidak baik dari pegawai Bank Sumut.

2. Kekurangmampuan pegawai Bank Sumut dalam pengelolaan pemberian kredit mulai dari pengajuan permohonan sampai kredit dicairkan.


(34)

3. Kelemahan dan kurang efektifnya pegawai Bank Sumut dalam membina debitur.

b. Sisi Ekstern Bank Sumut, antara lain :

1. Keadaan force majeur antara lain : banjir, kebakaran, dan lain sebagainya. 2.Akibat perubahan-perubahan eksternal seperti perubahan kebijakan

pemerintah berupa peraturan perundang-undangan, kenaikan harga atau biaya-biaya, dan lain sebagainya, yang berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap usaha debitur.

c. Sisi Debitur, antara lain : 1. Itikad tidak baik debitur.

2. Pengelolaan usaha debitur tidak berjalan dengan baik. 3. Pengguanaan kredit tidak sesuai dengan tujuan semula.

4. Menurunnya usaha debitur yang mengakibatkan turunnya kemampuan debitur untuk membayar angsuran.

Sedangkan jika dilihat dari kelancaran usahanya kredit dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. Kredit lancar, yaitu kredit yang perjalanannya lancar atau memuaskan, artinya segala kewajiban (bunga atau angsuran pokok) diselesaikan oleh nasabah secara baik.

b. Kredit tidak lancar, yaitu kredit selama 3 sampai 6 bulan dimana mutasinya tidak lancar, pembayarn bunga tidak baik serta angsuran pokoknya.

c. Kredit diragukan, yaitu kredit yang tidak lancar dan telah sampai pada jatuh temponya belum dapat juga diselesaikan oleh nasabah yang bersangkutan.


(35)

Bank akan memberikan kesempatan kepada nasabah untuk berusaha menyelesaikan selama 3 sampai 6 bulan barulah bank akan mengambil langkah lebih lanjut misalnya mencairkan barang-barang jaminan, mengajukan perkaranya ke badan hukum atau lembaga yang telah ditunjuk. d. Kredit macet sebagai wujud dari usaha penyelesaian atau pengaktifan kembali

kredit yang tidak lancar dan usaha itu tidak berhasil, barulah kredit tersebut dikategorikan kedalam kredit macet.39

Dalam sistem penilaian kualitas kredit, Bank Sumut menggolongkan berdasarkan tingkat kolektibilitasnya dimana tingkat kolektibilitas kredit tersebut didasarkan atas prospek usaha, kondisi keuangan dan kemampuan membayar.

Dari keterangan di atas, yang termasuk dalam kredit bermasalah adalah kredit tidak lancar, kredit diragukan dan kredit macet.

40

Penilaian terhadap kemampuan membayar, meliputi penilaian atas ketepatan pembayaran pokok dan bunga, hubungan debitur dengan bank, dokumentasi kredit dan pengikatan agunan.

Penilaian terhadap prospek usaha, meliputi penilaian atas potensi pertumbuhan dari industri atau kegiatan usaha, pasar, persaingan usaha, manajemen, perusahaan afliasi atau grup dan tenaga kerja.

Penilaian terhadap kondisi keuangan, meliputi penilaian atas perolehan usaha, permodalan, likuiditas dan modal kerja, analisis arus kas, jumlah portofolio yang sensitif terhadap perubahan nilai tukar valas dan suku bunga atau telah dilakukan lindung nilai (hedging).

39

Muchdarsyah Sinungan, op.cit, hal. 235-236.

40


(36)

Berdasarkan penetapan tersebut di atas kualitas kredit digolongkan menjadi :

1. Kredit lancar adalah pinjaman kredit dengan tingkat pembayaran tepat pada waktunya dan tidak ada tunggakan.

2. Kredit dalam perhatian khusus adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari.

3. Kredit kurang lancar adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayarn pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari.

4. Kredit diragukan adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari. 5. Kredit macet adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran

pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari sampai dengan 360 hari. Dalam menyelesaikan kredit yang bermasalah, sebelum diambil tindakan penyelesaian yang tepat, bank akan mengadakan langkah-langkah berikut ini terlebih dahulu :41

Untuk mendeteksi timbulnya potensi kredit bermasalah baik secara individual maupun secara portofolio kredit sehingga akan memberikan lebih banyak peluang bagi bank dalam mencegah timbulnya kerugian sebagai akibat dari pemberian kredit. Penanganan kredit bermasalah bersifat antisipatif, proaktif dan berdisiplin.

1. Pengenalan dini (early warning sign)

41

Wawancara, dengan Bapak Herman, Kabid Divisi Penyelamatan Kredit Bank Sumut Cabang Binjai, tanggal 15 Februari 2012.


(37)

Tanda-tanda atau kejadian-kejadian yang dapat dikategorikan sebagai gejala dini kredit bermasalah antara lain :

a. Keterlambatan pembayaran angsuran sesuai janji; b. Omset penjualan yang cenderung menurun;

c. Kecenderungan untuk berganti usaha, sementara denitur tersebut belum mempunyai pengalaman yang cukup untuk usaha baru yang akan digeluti. 2. Pendekatan kredit bermasalah

Seluruh pejabat kredit harus mempunyai persepsi yang sama dalam penyelesaian kredit bermasalah dengan pendekatan sebagai berikut :

a. Tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit bermasalah. b. Mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan menjadi

kredit bermasalah.

c. Menangani kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin.

d. Tidak menyelesaikan kredit bermasalah dengan mengkapitalisasi tunggakan bunga atau yang lazim dikenal dengan plafondering kredit kecuali dalam rangka penyelamatan kredit.

e. Tidak melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak yang terkait dengan Bank Sumut dan debitur-debitur besar lainnya.

3. Evaluasi kredit bermasalah

Direksi secara berkala melakukan evaluasi terhadap daftar kredit bermasalah secara keseluruhan termasuk kredit dalam pengawasan khusus dan hasil


(38)

penyelesaiannya serta akan selalu menghitung dan mengevaluasi prosentase kredit bermasalah terhadap total kredit.

Apabila kredit pada bank yang kolektibilitasnya tergolong diragukan dan macet telah mencapai 7,5% dari jumlah kredit secara keseluruhan maka direksi bank wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia kemudian membentuk satuan tugas khusus (STK) yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan kredit bermasalah. Pejabat-pejabat yang ditunjuk dalam satuan tugas tersebut wajib menyusun program-program penyelamatan dan penyelesaian kredit yang kolektibilitasnya diragukan dan macet untuk dimintakan persetujuan direksi kemudian melaporkan program yang telah disetujui tersebut kepada Bank Indonesia.

4. Penyelesaian terhadap kredit yang tidak dapat ditagih

Mengenai kredit bermasalah yang tidak dapat diselamatkan maka proses penyelesaiannya adalah sebagai berikut :

a. Penagihan secara damai

Berupa tindakan-tindakan seperti, penjualan sebagian atau seluruh harta kekayaan debitur atau barang agunan oleh debitur, pelunasan dengan atau tanpa bunga keringan atau koreksi bunga atau pembebasan utang sebagian. b. Penagihan melalui saluran hukum

Apabila penyelesaian kredit bermasalah telah diupayakan secara damai oleh bank dan ternyata tidak berhasil maka bank dapat menyerahkan perkaranya melalui saluran hukum.


(39)

Badan-badan atau lembaga yang dapat menangani penyelesaian kredit macet melalui saluran hukum sesuai yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 293/KMK.09/1993 tanggal 27 Februari 1993 adalah : 1). BUPLN dengan tahapan-tahapan sebagi berikut :

a. Penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N), yang ditujukan kepada bank sebagai bukti bahwa BUPLN meyatakan telah menerima baik penyerahan perkara kredit macet tersebut.

b. Pentapan besarnya piutang negara.

c.Pembuatan pernyataan bersama (PB) untuk lebih memperkuat atau memperoleh kepastian hukum mengenai besarnya piutang yang wajib diselesaikan. Dalam pernyataan bersama termuat pula pemberian kesempatan jangka waktu penyelesaian utang yang dijanjikan oleh pihak yang berutang paling lama 12 bulan.

d. Penataan dan pengamanan barang jaminan.

e. Penerbitan surat paksa dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya yang telah ditetapkan dalam pernyataan bersama dan telah diberikan peringatan tertulis yang diserahkan langsung oleh juru sita kepada debitur. f. Penyitaan yang dilaksanakan oleh juru sita berdasarkan surat perintah penyitaan yang ditandatangani oleh ketua BUPLN dan disaksikan oleh dua orang saksi apabila ketentuan dalam surat paksa tidak dipenuhi juga oleh debitur.

g. Pelelangan (eksekusi lelang) yang dapat ditempuh dalam beberapa tahapan seperti penetapan harga limit, penguasaan fisik dan pengosongan


(40)

barang jaminan yang akan dilelang, persiapan atau pelaksanaan lelang dan tindak lanjut atas pelelangan yang ditunda atau batal.

h. Pernyataan pelunasan dan penyelesaian piutang negara, apabila debitur telah memenuhi seluruh kewajiban utangnya.

i. Mengeluarkan surat keterangan tentang Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PNSBDT) yang kemudian diberitahukan kepada kreditur/penyerah piutang.

2) Diluar BUPLN, antara lain : a. Pengadilan Negeri.

b. Kejaksaan Negeri.

Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, apabila telah dilakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan piutang tersebut tetapi tidak mendapatkan hasil sebagaimana mestinya dan telah dikeluarkan pula surat keterangan tentang Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PNSBDT) yang kemudian diberitahukan kepada kreditur sebagai dasar bagi kreditur untuk mengusulkan hapus buku piutang dari pembukuan kreditur. Sisa utang yang belum dilunasi tetap menjadi kewajiban BUPLN untuk menagih kepada debitur.

Sesuai dengan Surat Direksi Bank Indonesia No.11/377/UUP/PK tanggal 14 Maret 1979 tentang tata cara Penghapusbukuan kredit macet (mandatory write off) pada dasarnya menjadi wewenang direksi, ditetapkan bahwa direksi Bank Sumut berwenang untuk menghapusbukukan kredit macet dan selanjutnya mempertanggungjawabkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).


(41)

Suatu kredit yang pada akhirnya telah ditetapkan sebagai kredit macet dapat diputuskan untuk dihapusbukukan apabila telah memenuhi syarat-syarat dan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Begitu juga di Bank Sumut cabang Binjai, dalam menangani kredit macet yang telah diputuskan untuk dihapusbukukan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana mestinya.

Mengenai kriteria penghapusbukuan kredit, telah diatur dalam Surat Edaran Nomor 024/DIR/DPEM-SL/SE/2002 tanggal 11 Nopember 2002. Kredit yang akan dihapusbukukan harus memenuhi kriteria sebagai berikut :42

10. Telah mendapat penggantian/klaim dari PT.Askrindo atau perusahaan penjamin kredit lainnya; dan atau

1. Telah digolongkan macet; dan atau

2.Telah diserahkan ke Asset Mangement Unit/Badan Penyehatan Perbankan Nasional (AMU/BPPN); dan atau

3. Usaha sudah tidak berjalan lagi; dan atau

4. Mempunyai atau berpotensi mempunyai kelemahan aspek hukum; dan atau 5. Debitur telah meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris; dan atau 6. Debitur berpindah tempat dan tidak diketahui lagi domisilinya; dan atau

7. Agunan atau harta kekayaan lainnya dari debitur yang dikuasai bank tidak mencukupi untuk memback up sisa hutang; dan atau

8. Agunan telah diambil alih oleh bank dalam rangka penyelesaian kredit; dan atau

9. Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan; dan atau

42

Wawancara dengan Bapak Rizaldi, Asisten 5 Divisi Penyelamatan Kredit Bank Sumut Pusat, tanggal 20 Februari 2012.


(42)

11. Telah diserahkan kepada BUPLN/Pengadilan Negeri dan telah ada penetapan hutang; dan atau

12. Telah lama jatuh tempo dan debitur tidak kooperatif sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kesulitan penagihannya cukup tinggi.

Sehubungan dengan hal diatas, maka perlu ditetapkan urutan prioritas pinjaman yang akan dihapusbukukan sebagai berikut :

a. Dasar Aging Kolektibilitas

Kredit macet yang akan dihapusbukukan diprioritaskan untuk kredit yang kolektibilitasnya macet lebih awal atau umumnya tertua.

b. Dasar Aging Jatuh Tempo

Jika tanggal kolektibilitas macet antara kredit yang satu dengan yang lainnya sama, maka aging ditentukan oleh umur tertua menurut tanggal jatuh temponya.

B. Prosedur Pemberian Penghapusbukuan Kredit (Write Off) terhadap Kredit Bermasalah Pada Bank Sumut Cabang Binjai

Apabila segala upaya penyelesaian kredit macet sudah dilakukan, namun tidak membawa hasil yang diharapkan maka kredit dapat dihapusbukukan setelah memenuhi persyaratan dan kriteria yang telah ditetapkan. Untuk selanjutnya kredit macet yang telah dihapusbukukan tersebut dilaporkan kepada Dewan Komisaris dan dipertanggungjawabkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Mengenai prosedur pelaksanaan penghapusbukuan kredit oleh Bank Sumut telah diatur dalam Surat Edaran Nomor 024/DIR/DPEM-SL/SE/2002


(43)

tanggal 11 Nopember 2002 dimana untuk melakukan penghapusbukuan kredit ditetapkan prosedur pelaksanaannya sebagai berikut :43

Dalam hal penghapusbukuan merupakan kelanjutan dari tidakan penyelesaian kredit dengan cara pengambilalihan agunan maka jumlah yang dihapusbukukan adalah sebesar kewajiban debitur dikurangi dengan nilai bersih 1. Cabang agar terlebih dahulu melakukan penelitian dan penilaian terhadap

debitur yang digolongkan macet apakah memenuhi kriteria untuk dilakukan penghapusbukuan. Guna menetapkan keputusan yang lebih tepat bagi manajemen, maka pengajuannya ke Kantor Pusat agar menguraikan data dengan menggunakan formulir yang terdapat dalam lampiran 1 dan 2 dalam surat edaran ini. Khusus kepada cabang yang penagihan sebahagian kredit macetnya telah diserahkan kepada Divisi Penyelamatan Kredit, maka dalam melakukan penelitian dan penilaian agar bekerja sama Divisi Penyelamatan Kredit. Untuk ini Divisi Penyelamatan Kredit memberikan data dan informasi yang diperlukan cabang yang berkaitan dengan kredit tersebut.

2. Selanjutnya hasil penelitian dan penilaian cabang disampaikan ke Kantor Pusat c/q. Divisi Penyelamatan Kredit.

3. Divisi Penyelamatan Kredit meneliti kembali berdasarkan data yang disampaikan pada butir 1 diatas, untuk selanjutnya diajukan ke Direksi guna mendapat persetujuan.

4. Atas persetujuan Direksi tersebut, maka Divisi Penyelamatan Kredit membuat membuat surat pemberitahuan persetujuan penghapusbukuan kredit ke cabang.

43

Wawancara dengan Bapak Herman, Kabid Divisi Penyelamatan Kredit Bank Sumut Cabang Binjai, tanggal 17 Februari 2012.


(44)

yang dapat direalisasikan dari agunan yang diambil alih. Jumlah kredit yang dihapusbukukan adalah sebesar bagian yang tidak dapat tertagih. Agunan yang dapat diambil alih sehubungan dengan penyelesaian pinjaman diakui sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi. Penerimaan kredit yang telah dihapusbukukan diakui sebagai penyesuaian terhadap penyisihan kerugian sebesar nilai pokok. Jika penerimaan tersebut melebihi nilai pokoknya maka kelebihan nilai tersebut diakui sebagai pendapatan bunga.

C. Akibat Hukum Pemberian Penghapusbukuan Kredit (Write Off) terhadap Jaminan Bank Pada Bank Sumut Cabang Binjai

Kredit yang telah dihapusbukukan adalah kredit yang secara akuntansi telah dikeluarkan pencatatannya dari rekening aktiva Bank Sumut, namun secara yuridis kredit tersebut, masih merupakan asset Bank Sumut yang secara terus menerus tetap harus ditagih pelunasannya dan harus diselesaikan oleh debitur yang bersangkutan.

Kredit yang telah dihapusbukukan dicatat secara extracomptable, agar kewajiban debitur dapat diketahui setiap saat dalam rangka penagihan atau pembuktian kepada debitur. Berkas kredit dan rekening debitur diserahkan kepada Bagian/Seksi Penyelamatan Kredit untuk dikelola lebih lanjut. Cabang harus tetap melakukan upaya penagihan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana yang dilakukan kepada kredit-kredit lainnya yang belum dihapusbuku.


(45)

a. Kantor cabang dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) setiap bulannya kepada Bank Indonesia setempat.

b. Divisi Administrasi Keuangan dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) Gabungan setiap bulannya kepad Bank Indonesia Medan. Terhadap jaminan yang diberikan oleh debitur, masih milik atau atas nama debitur. Namun akan tetap berada dalam kekuasaan kreditur atau bank. Dalam hal tidak terjadinya pelelangan terhadap jaminan, maka tidak akan terjadi perpindahan kepemilikan. Namun, jika terjadi pelelangan terhadap jaminan maka akan terjadi perpindahan kepemilikan terhadap jaminan tersebut. Bank sebagai kreditur yang menguasai jaminan berhak menentukan apakah terhadap jaminan tersebut akan dilakukan pelelangan atau tidak. Hal ini didasarkan atas itikad baik debitur dalam melunasi kreditnya.


(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Bank Sumut cabang Binjai, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kriteria suatu kredit yang akan dihapusbukukan adalah kredit yang telah digolongkan kredit macet, yang telah lama jatuh tempo dan debitur tidak kooperatif sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kesulitan penagihannya cukup tinggi.

2. Prosedur pelaksanaan penghapusbukuan kredit (mandatory write off) biasanya diawali dengan wanprestasi yang dilakukan oleh debitur yang akhirnya berkembang menjadi kredit bermasalah. Dan apabila kredit tersebut benar-benar telah dinyatakan bermasalah dan telah dilakukan pula berbagai upaya penyelesaian semaksimal mungkin sesuai dengan ketentuan yang berlaku guna menyelamatkan kredit tersebut namun tetap tidak tidak mendatangkan hasil maka setelah dikeluarkannya surat keterangan tentang piutang Negara sementara belum dapat ditagih (PNSBDT) yang kemudian diberitahukan kepada kreditur sebagai dasar untuk mengusulkan hapus buku piutang dari pembukukan kreditur yang kemudian dilanjutkan dengan melaporkannya kepada Dewan Komisaris dan dipertanggungjawabkan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Penghapusbukuan kredit adalah tindakan administratif bank untuk menghapus buku kredit macet dari neraca sebesar


(47)

kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih bank pada debitur. Jumlah kredit yang dihapusbukukan adalah sebesar bagian yang tidak dapat tertagih. Agunan yang dapat diambil alih sehubungan dengan penyelesaian pinjaman diakui sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi.

3. Akibat hukum penghapusbukuan kredit (mandatory write off) terhadap Bank Sumut cabang Binjai adalah meskipun secara akuntansi kredit tersebut telah dikeluarkan pencatatannya dari rekening aktiva Bank Sumut namun secara yuridis kredit tersebut masih tetap merupakan asset Bank Sumut yang secara terus menerus tetap harus ditagih pelunasannya dan harus diselesaikan oleh debitur yang bersangkutan. Kredit yang dihapus buku dicatat secara extracomptable, agar kewajiban debitur dapat diketahui setiap saat dalam rangka penagihan/pembuktian kepada kreditur.

Sedangkan terhadap barang jaminan yang diberikan oleh debitur, masih milik atau atas nama debitur. Namun akan tetap berada dalam kekuasaan kreditur atau bank. Dalam hal tidak terjadinya pelelangan terhadap jaminan, maka tidak akan terjadi perpindahan kepemilikan. Namun, jika terjadi pelelangan terhadap jaminan maka akan terjadi perpindahan kepemilikan terhadap jaminan tersebut. Bank sebagai kreditur yang menguasai jaminan berhak menentukan apakah terhadap jaminan tersebut akan dilakukan pelelangan atau tidak. Hal ini didasarkan atas itikad baik debitur dalam melunasi kreditnya.


(48)

B. Saran

1. Dalam menangani pengajuan kredit hendaknya pihak Bank Sumut dapat melakukan analisa secar benar, wajar dan teliti untuk menekan seminim mungkin terjadinya kredit yang bermasalah. Dengan kata lain, konsep 5 C’s harus benar-benar diperhatikan.

2. Dalam melakukan pembinaan kredit harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan, yang dimulai sejak permohonan kredit sampai dengan pelunasannya agar bermanfaat atau memberikan keuntungan baik bagi debitur maupun pihak kreditur serta dapat memberikan arah agar kredit yang diberikan digunakan sesuai dengan tujuannya dan juga dapat mengidentifikasi kelemahan yang terjadi dalam proses pemberian kredit serta mencari solusi untuk memperbaiki kelemahan yang ada.


(49)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN

A. Pengertian Perbankan

Apabila berbicara tentang Lembaga Keuangan Bank, ada dua istilah yang perlu dijelaskan lebih dahulu, yaitu Perbankan dan Bank. Perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Pada angka (2) pasal tersebut ditentukan, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian Perbankan itu lebih luas dibandingkan dengan pengertian Bank. Pengertian Perbankan merupakan rumusan umum yang abstrak mencakup 3 (tiga) aspek utama yaitu :9

a. kelembagaan Bank; b. kegiatan usaha Bank;

c. cara dan proses pelaksanaan kegiatan usaha Bank.

9

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit., hal. 33.


(50)

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tujuan perbankan adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Sedangkan pengertian Bank merupakan rumusan khusus yang konkret mencakup 2 (dua) aspek utama, yaitu :

a. badan usaha Bank (corporate company); b. kegiatan usaha Bank (business activities).

Adapun yang menjadi kegiatan utama suatu bank adalah menghimpun dana dari masyarakat melalui simpanan dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, giro dan menyalurkan kembali dana yang dihimpun tersebut kepada masyarakat umum dalam bentuk kredit yang diberikan.10

Sebagai lembaga yang menjalankan usaha di bidang jasa keuangan, Bank bukanlah sembarang badan usaha, melainkan yang secara hukum memiliki status yang kuat dengan kekayaan sendiri yang mampu melayani kebutuhan masyarakat, karena itu dipercaya oleh masyarakat. Berdasarakan rumusan definisi Bank, dapat dipahami pula bahwa kegiatan usaha Bank pada pokoknya meliputi 3 (tiga) bentuk kegiatan, yaitu :11

a. menghimpun dana;

b. menyalurkan dana; dan c. memberikan jasa keuangan.

10

Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Ekonisia, Yogyakarta, 2002, hal.28.

11


(51)

Bank adalah tulang punggung pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, pengawasan dan pembinaan terhadap Bank oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sangat menentukan. Semuanya ini diatur dalam Undang-Undang Perbankan.

Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan yaitu :12 1. Prinsip Kepercayaan (fiduciary relation principle)

Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

2. Prinsip Kehati-hatian (prudential principle)

Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat hati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

12

Rochmat Soemitro, Kumpulan Azas-Azas Perbankan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hal. 185.


(52)

3. Prinsip Kerahasiaan (secrety principle)

Prinsip kerahasaiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank.

4. Prinsip Mengenal Nasabah (know how customer principle)

Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nsabah adalah meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.


(53)

B. Sejarah Perbankan

Dalam sejarahnya, kegiatan perbankan dikenal mulai dari zaman Babylonia. Kegiatan perbankan ini kemudian berkembang ke zaman Yunani kuno serta zaman Romawi. Pada saat itu kegiatan utama bank hanyalah sebagai tempat tukar menukar uang oleh para pedagang antar kerajaan.

Seiring dengan perkembangan perdagangan dunia, maka perkembangan perbankan pun semakin pesat. Hal ini disebabkan karena perkembangan dunia perbankan tidak terlepas dari perkembangan perdagangan. Perkembangan perdagangan yang semula hanya berkembang di daratan Eropa akhirnya menyebar ke Asia Barat. Bank-bank yang sudah terkenal pada saat itu di benua Eropa adalah Bank Venesia tahun 1171, kemudian menyusul Bank of Genoa dan Bank of Barcelona tahun 1320. Sebaliknya, perkembangan perbankan di daratan Inggris baru dimulai pada abad ke 16. Namun karena Negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, atau Portugis begitu aktif mencari daerah perdagangan yang kemudian menjadi daerah jajahannya, maka perkembangan perbankan pun ikut dibawa ke Negara jajahannya sehingga perkembangan perbankan di Indonesia juga tidak terlepas dari era zaman penjajahan Hindia Belanda.

Sejarah perbankan di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa kurun, yaitu : 1. Sebelum Kemerdekaan :

a. Zaman Belanda b. Zaman Jepang


(54)

2. Sesudah Kemerdekaan : a. Masa Orde Lama b. Masa Orde Baru

1) Tahap stabilisasi dan rehabilitasi 2) Tahap pembangunan

3) Tahap deregulasi 3. Masa Orde Reformasi

1.a Perbankan Zaman Belanda

Kegiatan lembaga keuangan seperti pembiayaan dan perbankan diperkenalkan operasinya oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). VOC membawa serta perangkat sistem keuangan dan pembayaran dalam usaha berdagang, dan mencari keuntungan di bumi Nusantara ini, yang selanjutnya mereka menjurus ke arah penjajahan suatu bangsa dengan berbagai variasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik untuk mendukung tujuan ekonomi-perdagangannya.

Perusahaan yang pertama menjalankan fungsi sebagai bank di Indonesia yaitu De Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang secara resminya adalah perusahaan dagang. Adapun perusahaan yang benar-benar resmi didirikan untuk menjalankan usaha bank adalah N.V.De Javasche Bank yang didirikan pada tanggal 10 Oktober 1828. De Javasche Bank inilah satu-satunya bank asing yang pada waktu itu direksinya berkedudukan di Indonesia.


(55)

Dengan telah berdirinya De Javasche Bank oleh pemerintah Hindia Belanda, bank tersebut diberi monopoli untuk mengeluarkan uang yang semula pengedarannya ditangani oleh pemerintah sendiri. Sejak itu bank tersebut terkenal sebagai bank sirkulasi atau bank of issue. Dari fungsinya seperti itu, maka bank tersebut merupakan bankir bagi pemerintah Hindia Belanda meskipun belum menjadi bank sentral penuh karena hanya menjalankan beberapa tugas yang biasa dilakukan oleh bank sentral, yaitu diantaranya : mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas; mendiskonto wesel; surat hutang jangka pendek, dan obligasi negara; menjadi kasir pemerintah; menyimpan dan menguasai dana-dana devisa; dan bertindak sebagai pusat kliring sejak tahun 1909. Meskipun menjalankan tugasnya sebagai bank sirkulasi, tetapi tugas sebagai bank umum pun tetap juga dijalaninya sehingga turut bersaing dengan bank-bank lain. Sifat dualistis ini berulang kali menimbulkan berbagai kritik, dengan alasan-alasan sebagai berikut :13

1. Dengan bunga yang lebih rendah daripada bank-bank lain maka De Javasche Bank dapat dengan mudah menarik nasabah yang terbaik.

2. Persaingan oleh suatu badan (De Javasche Bank) yang karena tugasnya dapat memiliki data-data bank lain, sehingga dianggap tidak wajar.

Tumbuhnya dunia perbankan memberikan pengaruh berupa suatu kondisi masyarakat yang lebih baik, yaitu sejak itu mulai dapat dikatakan bahwa hampir seluruh orang di pedalaman Pulau Jawa telah mengenal uang sebagai alat pembayaran, baik untuk membayar pajak, maupun untuk transaksi jual beli, dan lainnya. Perkembangan selanjutnya maka mulai tumbuh adanya kebutuhan sebuah

13

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 41.


(56)

bentuk perkreditan yang terorganisasikan dalam suatu lembaga. Melihat kebutuhan tersebut, dibentuklah bank yang khusus dapat melayani penduduk golongan pribumi yaitu Bank Priyayi yang didirikan oleh Patih Raden Bei Wiriaatmadja yang mana modalnya berasal dari kas mesjid.

Pada awal abad ke-20 berdirilah bank-bank kabupaten (afdelingsbanken), yang disebut sebagai bank kabupaten atau bank daerah karena ruang geraknya menyangkut suatu daerah atau kabupaten. Modal kerja bank diperoleh dari kelebihan uang lumbung desa dan bank desa, deposito dari pihak swasta, tetapi pemerintah juga memberikan modal kerja.

Selain didirikannya bank-bank kabupaten, juga didirikan Kas Sentral (Centrale Kas) melalui keputusan Raja Belanda pada tanggal 10 Mei 1912. Lembaga ini diperuntukan guna melayani rakyat yang membutuhkan pinjaman. Pada mulanya lembaga ini merupakan suatu Jawatan Perkreditan Rakyat, yaitu bentuk turut campur pemerintah Hindia Belanda yang lebih dalam mengenai masalah perkreditan rakyat, guna untuk mengarahkan perkreditan rakyat yang lebih sehat.

Lembaga Kas Sentral ini selanjutnya bertugas memberikan modal kerja pada lembaga perkreditan rakyat dan memberikan nasihat serta bimbingan dalam usaha-usaha perkreditan rakyat.

Bank-bank yang dapat bertahan pada masa ini adalah Bank Tabungan Himpunan 1906 dan Bank Tabungan Belanda NISP, PT.Bank Kesawan di Medan, PT.Bank Jakarta di Jakarta, Bank Nasional di Bukit Tinggi. Serta munculnya bank-bank devisa asing untuk mendirikan kantor cabangnya di Indonesia seperti


(57)

The Chartered Bank of India, The Overseas Chinese Banking Corporation, The Bank of China.

1.b Perbankan Zaman Jepang

Pada tahun 1942-1945 merupakan masa suram bagi perbankan di Indonesia, dimana semua bank asing termasuk De Javasche Bank dikuasai oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang juga memaksa agar menyediakan biaya untuk keperluan perang. Usaha ini dilakukan dengan menutup bank-bank yang ada dengan likuidatornya adalah Nanpo Kaihatsu Kinko, sebuah bank sirkulasi yang berpusat di Tokyo.

Hanya ada satu bank yang diperkenankan yaitu Algemene Volkscredit (AVB) dan diganti namanya menjadi Syomin Ginko.14

Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 tahun 1946 pemerintah mendirikan Bank Negara Indonesia 1946 pada tanggal 5 Juli 1946, yang kemudian lebih dikenal dengan BNI 1946. BNI banyak membantu kegiatan perjuangan nasional dalam bidang perekonomian pada umumnya dan bidang moneter pada khususnya. Hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya bank tersebut, yang tercantum pada Pasal 2 Perpu No. 2 tahun 1946,

2. Perbankan Zaman Indonesia Merdeka

Di awal kemerdekaan terdapat gagasan untuk mendirikan Bank Sirkulasi. Usaha merealisasikannya dengan mendirikan Pusat Bank Indonesia.

14


(58)

yaitu : Dengan nama Bank Negara Indonesia didirikan sebuah bank kepunyaan Republik Indonesia untuk :

1. Mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas bank dengan harga yang tetap menurut keperluan masyarakat terhadap alat penukaran.

2. Memperbaiki peredaran alat pembayaran lain.

3. Memenuhi kredit masyarakat, dan umumnya supaya dapat bekerja untuk kepentingan umum.

Selain BNI 1946, bank milik Negara pada saat awal kemerdekaan adalah Bank Rakyat Indonesia. Bank ini adalah hasil perubahan dari De Algemene Volkscredit Bank, dengan dasar hukumnya berupa peraturan pemerintah pada tanggal 2 Januari 1946. Usaha bank tersebut tercantum pada Pasal 3 akta pendiriannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1946, yaitu : memberikan pinjaman kepada rakyat; menerima uang simpanan; menjalankan tugas-tugas bank umum, dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh pemerintah. Karena tugasnya tersebut, BRI inilah yang oleh pemerintah ditujukan sebagai bank yang langsung berhubungan dengan rakyat.15

Periode ini diwarnai pula oleh beberapa peristiwa politik yang secara otomatis juga mempengaruhi kebijaksanaan moneter pemerintah. Pada perkembangan perbankan periode ini belum secara jelas terbentuknya sebuah Bank Sentral. Sehingga kemudian dimuatlah ketentuan mengenai Bank Sentral pada Pasal 110 Undang-Undang Dasar RIS yang menyebutkan : ”Ada satu bank

15


(59)

sentral untuk Indonesia, Penunjukan bank sentral dan mengenai susunan serta wewenangnya diatur dengan undang-undang”.16

Pada tahun 1950, RIS dibubarkan dan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank melalui UU No. 24 Tahun 1951 dan diganti dengan UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok

2.a Perbankan Pemerintahan Orde Lama

Perkembangan perbankan pada zaman orde lama begitu kalut, sesuai dengan kekalutan perekonomian saat itu. Ekspansi kredit perbankan yang didukung pencetakan uang kertas baru oleh Bank Indonesia telah menciptakan inflasi yang sangat tinggi dengan segala akibat buruknya terhadap perekonomian nasional.

Semua kekalutan perbankan ini terjadi juga karena sifat dualisme bank sentral pada saat itu, yang mana bank sentral juga merangkap sebagai bank komersial atau bank umum.

Pada masa orde lama ditandai dengan peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) dimana diputuskan untuk menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pihak Indonesia menginginkan agar BNI sebagai Bank Sentral, namun usul tersebut tidak diterima sehingga De Javasche Bank sebagai Bank Sentral yang berhak mengedarkan uang kertas dan membiayai perusahaan Belanda di Indonesia.

16 Ibid.


(60)

Bank Indonesia sehingga De Javasche Bank berganti nama menjadi Bank Indonesia.

Namun demikian, sifat dualistik masih mewarnai Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dimana selain sebagai bank sentral juga sebagai bank umum sehingga dunia perbankan cenderung kurang berkembang.

2.b Perbankan Pemerintahan Orde Baru

Dengan tenggelamnya orde lama, kehidupan perbankan memasuki babak baru bersama naiknya kebijakan pemerintah Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru ingin konsisten menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas devisa bebas. Langkah selanjutnya untuk perbaikan perbankan pada pemerintahan orde baru ini dimulai dengan memperkuat perundang-undangan yang mengatur perbankan baik berupa penggantian maupun membuat undang-undang yang baru, misalnya membuat peraturan yang baru berupa UU Perbankan No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dan penggantian peraturan yang lama, yaitu berupa UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral guna mengganti UU Pokok Bank Indonesia 1953.

Sebagai langkah awal perbaikan ekonomi nasional, pemerintah Orde Baru melalui UU No. 14 Tahun 1967 ingin secara jelas mengatur usaha perbankan termasuk masalah perkreditan sehingga kesalahan pengelolaan, seperti ekspansi kredit yang tak terkendali dapat dihindari, dan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penghimpunan, serta penggunaan dana masyarakat.


(1)

1

ASPEK HUKUM PENGHAPUSBUKUAN KREDIT (WRITE OFF) SEBAGAI SALAH SATU CARA PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH (STUDI

PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI) Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum.1

1Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum.** Sri Hardiyanti Juweni***

A B S T R A K

Perbankan adalah salah satu sumber dana bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan akan dana. Pemberian kredit dilaksanakan dengan perjanjian kredit dimana bank-bank telah menyediakan dana dan formulir kredit tertentu yang diberikan kepada debitur dengan syarat-syarat tertentu. Namun dalam pemberian kredit tersebut adakalanya kredit yang diberikan pada debitur tidak dapat kembali tepat pada waktunya. Kondisi ini dinamakan kredit bermasalah. Kredit bermasalah tersebut akan mengganggu kinerja bank.

Permasalahan yang dibahas yakni, mengenai kriteria pemberian penghapusbukuan kredit (write off), pelaksanaan penghapusbukuan kredit (write off) di bank Sumut cabang Binjai, serta apa akibat hukum penghapusbukuan kredit (write off) terhadap jaminan bank di bank Sumut cabang Binjai.

Metode pendekatan yang dipergunakan adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian lapangan dengan menggunakan analisis secara kualitatif yakni penelitian kepustakaan, untuk mendapatkan materi dan bahan-bahan di dalam penulisan dan juga ditambah dengan buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, selain itu juga melakukan wawancara langsung kepada pegawai atau pimpinan Bank Sumut Cabang Binjai sebagai penunjang kepustakaan.

Hasil penelitian ini menunjukkan, prosedur pelaksanaan penghapusbukuan kredit (write off) di bank Sumut cabang Binjai telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana mestinya, dimana sebelum terjadi penghapusbukuan tersebut pihak bank telah melakukan berbagai upaya penyelamatan kredit hingga akhirnya kredit tidak dapat diselamatkan lagi. Dengan terjadinya penghapusbukuan kredit pihak bank tidak berarti kehilangan hak tagihnya kepada debitur karena secara yuridis kredit tersebut masih merupakan asset bank yang tetap harus ditagih pelunasannya. Dan terhadap jaminan yang diajukan debitur sebagai agunan akan tetap menjadi hak bank meskipun kreditnya telah dihapusbukukan.


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puja dan puji penulis panjatkan kepada Sang Pencipta Alam beserta isinya, Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan petunjuk yang tiada terhingga, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat berangkaikan Salam tak lupa pula penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammada SAW, Nabi akhir zaman yang telah membawa cahaya Islam ke dunia ini dan juga ilmu pengetahuan kepada ummatnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ini yaitu : “Aspek Hukum Penghapusbukuan Kredit (Write Off) Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Kredit Bermasalah (Studi Pada Bank Sumut Cabang Binjai)”. Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga, pikiran serta dukungannya baik secara moril maupun materil. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

3

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Dosen Pembimbing I yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, memberi saran dan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, memberi saran dan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Ibu Sinta Uli, S.H.,M.Hum selaku Dosen Wali penulis selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kantor Bank Sumut Pusat dan Cabang Binjai yang bersedia menerima penulis untuk melakukan penelitian dalam penyusunan skripsi ini.

10. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Syahrul Effendi MZ, S.H. dan Nilam, serta kakak dan adik penulis yang telah memberikan do’a dan dukungan kepada penulis.

11. Terima kasih kepada seluruh teman-teman penulis yang telah memberikan do’a dan dukungan kepada penulis.

12. Buat Ikatan Mahasiswa Perdata (IMP), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Pemerintahan


(4)

Mahasiswa (PEMA) sebagai ikatan kemahasiswaan dan organisasi yang dijadikan penulis sebagai wadah tempat bernaung yang telah memberikan banyak kesempatan bagi penulis untuk menimba ilmu, menempah diri dan menjalin ikatan kekeluargaan yang hangat dalam menjalani kehidupan di kampus.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapakan kritikan dan saran yang membangun bagi kesempurnaan akripsi ini. Akhirnya, Penulis berharap semoga kiranya skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum.

Medan, Maret 2012 Penulis,

Sri Hardiyanti Juweni N I M : 080200087


(5)

5

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 12

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Metode Penelitian ... 13

F. Keaslian Penulisan ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN ... 18

A. Pengertian Perbankan ... 18

B. Sejarah Perbankan ... 22

C. Jenis-Jenis Perbankan ... 34


(6)

BAB III TINJAUAN UMUM KREDIT DALAM UNDANG-UNDANG

PERBANKAN ... 45

A. Pengertian Kredit ... 45

B. Jenis-Jenis Kredit ... 52

C. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit ... 58

D. Jaminan dalam Pemberian Kredit Bank ... 65

BAB IV PENGHAPUSBUKUAN KREDIT (WRITE OFF) SEBAGAI SALAH SATU PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI ... 74

A. Kriteria Pemberian Penghapusbukuan Kredit (Write Off) terhadap Kredit Bermasalah pada Bank Sumut Cabang Binjai ... 74

B. Prosedur Pemberian Penghapusbukuan Kredit (Write Off) terhadap Kredit Bermasalah pada Bank Sumut Cabang Binjai ... 84

C. Akibat Hukum Pemberian Penghapusbukuan Kredit (Write Off) terhadap Jaminan Bank di Bank Sumut Cabang Binjai ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 90