Pemberian Fasilitas Penanaman Modal dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing (PMA) di Bidang Usaha Perikanan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
BAB II
PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PERIKANAN
A. Konsep Teoritis Penanaman Modal Asing
1. Pengertian penanaman modal asing
Keikutsertaan suatu negara dalam berbagai kesepakatan bilateral,
multilateral, maupun internasional hampir menjadi suatu keharusan saat ini. Hal
tersebut penting dilakukan untuk menyesuaikan substansi hukum nasional yang
ada terhadap dampak globalisasi ekonomi yang terjadi. 30 Salah satu contohnya
adalah keterlibatan Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia. Pada awalnya,
peraturan mengenai PMA berbeda dengan peraturan mengenai penanaman modal
dalam negeri (PMDN). Dampak perbedaan dalam pengaturan tersebut adalah
timbulnya perbedaan perlakuan terhadap masing-masing penanam modal.
Akibat terjadinya perubahan kesepakatan di bidang perdagangan
internasional termasuk peraturan perdagangan yang berkaitan dengan penanaman
modal, maka peraturan mengenai penanaman modal yang ada juga ikut diubah
dan disempurnakan. 31 Salah satu perubahan tersebut adalah memberikan
perlakuan yang sama terhadap penanam modal, baik antara penanam modal dalam
negeri dengan penanam modal asing maupun di antara dua atau lebih penanam
modal asing di suatu negara penerima modal (host country). Perlakuan sama
tersebut merupakan kebijakan internasional yang harus dilakukan oleh setiap host
30
Bismar Nasution, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi dan Hukum Investasi
Indonesia dalam Sentosa Sembiring. Hukum Investasi (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2007), hlm.
80.
31
C.F.G. Sunaryati Hartono dalam Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hlm. 23.
21
Universitas Sumatera Utara
country sebagai wujud pelaksanaan dari ketentuan prinsip-prinsip TRIMs. Selaku
negara yang memiliki kepentingan di bidang perdagangan dan penanaman modal
internasional, perubahan kesepakatan tersebut telah disikapi pihak Indonesia
dengan menyesuaikan substansi peraturan terkait penanaman modal dengan
memasukkan prinsip-prinsip TRIMs ke dalam UUPM.
Pengertian penanaman modal asing menurut UUPM adalah “Kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”.32
Dengan demikian, secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan penanaman modal asing di sini adalah penanaman modal
dengan modal yang tidak terbatas pada modal yang bersumber dari luar negeri
saja melainkan dapat bersumber pula dari modal patungan (join venture), yaitu
modal yang berasal dari dalam negeri (foreign capital) dan luar negeri (domestic
capital) serta pelaksanaan usahanya dilakukan di wilayah negara Republik
Indonesia dimana penanam modal turut hadir menjalankan usaha tersebut.
Kegiatan penanaman modal asing dalam bentuk modal patungan tidak
terlepas dari kebijakan host country dalam menentukan batasan maksimal
penguasaan modal asing yang diperkenankan dalam suatu perusahaan. Peraturan
di Indonesia misalnya yang melarang penanam modal asing untuk menguasai
mayoritas saham perusahaan penanaman modal di bidang usaha tertentu. Hal
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
32
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Pasal 1 angka 3.
22
Universitas Sumatera Utara
Pasal 33 ayat (2) dan (3) yang secara tegas mengamanatkan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
serta kekayaan alam yang ada di bumi, air, dan yang terkandung di dalamnya
harus dikuasai negara. Artinya, pada bidang produksi tersebut hanya negara yang
memiliki hak menguasai mayoritas saham pada perusahaan penanam modal. Hal
tersebut bertujuan untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang menerapkan
praktik law of uneven development di Indonesia. 33
Munir Fuady menafsirkan penanaman modal asing (foreign investment)
sebagai suatu tindakan dari orang asing atau badan hukum asing untuk melakukan
investasi modal dengan motif untuk berbisnis dalam bentuk apapun ke wilayah
suatu negara lain. 34 Motif tersebut dapat dipahami bahwa kedatangan penanam
modal asing beserta modalnya ke suatu negara adalah untuk mencari keuntungan
yang sebesar-besarnya. 35 Keuntungan besar tersebut dapat diperoleh apabila
terdapat faktor-faktor pendukung, seperti upah buruh yang murah, pasar yang
luas, potensi penjualan teknologi, dekat dengan sumber bahan mentah, menjual
bahan baku untuk dijadikan barang jadi, insentif untuk investor, serta adanya
status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional. 36
Hulman Panjaitan dalam Dhaniswara K. Harjono juga memberikan
pengertian Penanaman Modal Asing sebagai suatu kegiatan penanaman modal
yang di dalamnya terdapat unsur asing (foreign element) yang dapat ditentukan
33
Hymer dalam Aminuddin Ilmar. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia (Jakarta:
Prenada Media, 2004), hlm. 41.
34
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 67.
35
Erman Radjagukguk, Op.Cit., hlm. 1.
36
Ibid.
23
Universitas Sumatera Utara
oleh adanya kewarganegaraan yang berbeda, asal modal, dan sebagainya.37
Kehadiran warga negara dengan status kewarganegaraan yang berbeda, baik
sebagai penanam modal maupun sebagai pekerja di perusahaan penanam modal
asing merupakan unsur mutlak dalam kegiatan penanaman modal langsung asing
di suatu negara, seperti di Indonesia. Kehadiran penanam modal asing (foreign
investor presence) telah menjadi kewajiban hukum yang berlaku di Indonesia
dimana penanam modal asing wajib hadir secara fisik ke tempat tujuan investasi
dengan membawa seluruh sumber daya yang dipergunakan, menjalankan usaha,
dan turut mengendalikan kegiatan investasi. 38
2. Dasar hukum penanaman modal asing
Potensi alam yang melimpah telah memikat berbagai negara asing untuk
datang ke Indonesia. Pada zaman dahulu, kedatangan tersebut dimaksudkan untuk
memanfatkan potensi alam dengan cara melakukan penjarahan sehingga
menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat Indonesia. 39 Pasca kemerdekaan,
pengelolaan potensi alam tersebut kemudian diambil alih oleh bangsa Indonesia
sendiri untuk dikelola melalui penguasaan negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 40 Namun, dalam pengelolaan sumber daya
37
Dhaniswara K. Harjono, Op.Cit., hlm. 124.
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Hukum Penanaman Modal
(Medan: Departemen Hukum Ekonomi USU, 2010).
39
Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia (Singapura: Gunung
Agung, 1980), hlm. 79-183. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan penanaman
modal asing di Indonesia pra-kemerdekaan dimulai oleh Portugis dan dilanjutkan oleh Belanda,
Prancis, Inggris, serta Jepang. Sistem kerja yang diterapkan negara-negara tersebut dalam
penyelenggaraan kegiatan penanaman modal asing sangat menyengsarakan rakyat di mana dalam
pelaksanaan penanaman modal tersebut, mereka menggunakan kekuatan militer dan melakukan
praktik monopoli untuk menguasai lahan dan potensi produksi.
40
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara, Pasal 33 ayat (2), (3), dan (4).
Pasal tersebut menjadi dasar acuan atau rujukan bagi pengaturan penanaman modal di Indonesia
38
24
Universitas Sumatera Utara
alam tersebut, Indonesia tetap memerlukan dana awal yang besar serta
membutuhkan dukungan teknologi sehingga harus mencari partner kerja yang
sesuai untuk mendukung pengelolaan tersebut.
Hal tersebut kemudian disikapi oleh Indonesia dengan melahirkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan
Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Pasal 62 Ketetapan MPRS tersebut
menyatakan bahwa “Mengingat terbatasnya persediaan modal dalam negeri
dibandingkan dengan kebutuhan pembangunan nasional, maka perlu segera
ditetapkan Undang-Undang mengenai modal asing, termasuk domestik asing”. 41
Maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing pada tanggal 10 Januari 1967 dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan akan modal bagi pembangunan nasional sekaligus sebagai payung
hukum untuk melindungi dan menghindari keragu-raguan pihak asing dalam
melakukan penanaman modal di Indonesia.
Perkembangan hukum penanaman modal asing di Indonesia kemudian
dilanjutkan dengan adanya perubahan dan penambahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1970. 42 Perkembangan selanjutnya adalah diterbitkannya
dimana negara memiliki hak penguasaan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan sumber daya
alam nasional untuk kemakmuran rakyat.
41
K. Wantjik Saleh. Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan MPRS/MPR (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981), hlm. 230.
42
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970, bagian Konsideran yang
menyebutkan bahwa “guna meningkatkan pembangunan di Indonesia perlu segera diciptakan
suatu iklim fiskal yang baik bagi pengusaha-pengusaha, khususnya bagi penanam modal.” Jadi,
perubahan dan penambahan UU No. 1 Tahun 1967 menjadi UU No. 11 Tahun 1970 tersebut hanya
25
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin
Perusahaan Penanaman Modal Asing yang diikuti dengan lahirnya Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham
Nasional. 43
Pemerintah juga melakukan perubahan terhadap Keppres Nomor 17 Tahun
1986 tersebut menjadi Keppres Nomor 50 Tahun 1987. Perubahan terhadap
Keppres tersebut juga diikuti oleh Ketua BKPM yang mengeluarkan SK Ketua
BKPM Nomor 5 Tahun 1987 dimana prinsip pengaturannya sama dengan
Keppres Nomor 50 Tahun 1987, yaitu memberikan kelonggaran-kelonggaran
terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya kepada penanam modal
asing sebagaimana yang telah diperoleh oleh penanam modal dalam negeri. 44
Upaya untuk menghadirkan penanam modal asing agar melakukan
penanaman modal di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai upaya, termasuk
menciptakan kebijakan investasi yang menarik. Salah satunya adalah melahirkan
peraturan hukum mengenai kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan
dalam rangka penanaman modal asing, yaitu PP Nomor 20 Tahun 1994 yang
memberikan kepastian hukum bagi investor asing untuk memiliki saham sebesar
100%. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diubah menjadi PP Nomor 83
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994
berkaitan dengan pengaturan pajak untuk menambah daya tarik dan minat penanam modal asing
berinvestasi di Indonesia.
43
M. Alfianto Romdoni, Investasi dan Penanaman Modal, dimuat dalam
http://alfiantoromdoni.blogspot.com/2012/05/investasi-dan-penanaman-modal.html (diakses pada
tanggal 19 Februari 2016).
44
Ibid.
26
Universitas Sumatera Utara
tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka
Penanaman Modal Asing.
Pergaulan global yang digeluti Indonesia terutama di bidang perdagangan
internasional perlahan juga turut memberi dampak bagi perkembangan hukum
penanaman modal asing di Indonesia. Salah satu dampak tersebut adalah
kesepakatan para negara anggota WTO untuk menerapkan ketentuan TRIMs
dalam substansi hukum penanaman modal nasional agar penanam modal asing
merasa aman dengan tidak diperlakukan secara diskriminatif di host country.
Indonesia selaku anggota WTO memiliki kewajiban untuk menyesuaikan
kesepakatan tersebut ke dalam hukum nasional yang berlaku. Maka, diterbitkanlah
UUPM pada tanggal 26 April 2007. Selain ketentuan yang terdapat dalam UUPM
beserta peraturan pelaksananya, pengaturan tentang penanaman modal juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan sektoral sesuai dengan sektor usaha
penanaman modal, seperti:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
c. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UUP).
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, dan lain
sebagainya.
Sejak era reformasi yang mengubah sistem pemerintahan menjadi desentralisasi,
patut untuk diketahui pula secara teknis tentang adanya pembagian urusan
27
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan termasuk urusan penanaman modal yang semula berada di tangan
Pemerintah Pusat beralih menjadi urusan Pemerintahan Daerah, baik di tingkat
Pemerintahan Daerah Provinsi maupun di tingkat Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. 45
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing
Kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan nasional memang sangat
besar. Keterbatasan dana yang tersedia di dalam negeri mengharuskan host
country mencari dana asing sebagai pilihan alternatif dalam bentuk kegiatan
penanaman modal langsung asing. Oleh karena itu, untuk mendapatkan dana asing
melalui kegiatan penanaman modal, perlu diketahui dan dipahami lebih lanjut
mengenai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keinginan penanam modal
asing melakukan penanaman modal ke suatu negara.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penanam modal asing melakukan
penanaman modal ke suatu negara pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu faktor
penarik dan faktor pendorong atau disebut dengan istilah "pull and push theory."
Faktor penarik merupakan keunggulan pasar dan kebijakan yang dimiliki host
country, seperti adanya kestabilan di bidang sosial, politik dan ekonomi, iklim
usaha dan investasi yang menarik, ketersediaan sumber daya alam dan manusia,
potensi pasar, insentif dan fasilitas serta ketersediaan sarana dan prasarana
pendukung yang diberikan pemerintah. Sedangkan faktor pendorong merupakan
faktor kekondusifan home country, seperti adanya kebijaksanaan investasi berupa
45
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, bagian
dasar hukum.
28
Universitas Sumatera Utara
aliran modal keluar, perkembangan sosial dan ekonomi, serta perkembangan
lingkungan global. 46 Salah satu tokoh yang fokus menjelaskan tentang faktor
pendorong adalah Thee Kian Wie. Wie kemudian mengemukakan bahwa
penanam modal asing berkeinginan untuk melakukan penanaman modal ke luar
negeri karena terdapat beberapa hambatan dan/atau kemudahan home country,
seperti: 47
a. meningkatnya biaya lahan dan tenaga kerja di negara asal (home country)
yang mengakibatkan hasil produksi tidak memiliki daya saing; dan
b. sikap dan kebijakan negara asal (home country) yang mendorong
terjadinya pengalihan investasi ke luar negeri. Misalnya, kebijakan rezim
devisa bebas yang pernah diterapkan Taiwan dan adanya insentif bagi
ekspansi usaha ke luar negeri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi minat penanam modal asing yang perlu
dipelajari oleh suatu host country yang membutuhkan dana asing adalah faktor
penarik. Buu Hoan mengemukakan tentang faktor-faktor yang dapat menarik
minat penanam modal asing untuk melakukan penanaman modal ke suatu negara,
yaitu apabila terdapat: 48
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
political and economic stability;
stable and discipline labour force;
access to local finance;
ready availability of foreign exchange;
stable currency value;
existence of a good joint venture partner;
government incentives, especially taxation; and
duty free import.
46
Soetarto, Faktor-faktor pendorong dan penarik penanaman modal asing Jepang, Korea
Selatan dan Taiwan di Indonesia. S2. diperoleh dari Perpustakaan Indonesia yang dimuat dalam
http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-93638.pdf (diakses pada tanggal 19 Februari 2016).
47
Thee Kian Wie. Industrialisasi Di Indonesia Berbagai Kajian (Jakarta: LP3ES, 1996),
Cetakan Kedua, hlm. 149.
48
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit.
29
Universitas Sumatera Utara
Erman Radjagukguk juga memaparkan mengenai faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi minat penanam modal asing untuk melakukan penanaman modal
ke suatu negara, yaitu apabila terdapat: 49
a. Kesempatan ekonomi (economic opportunity), seperti sumber daya
alam, ketersediaan bahan baku, pasar yang prospektif, upah buruh
yang murah, insentif investasi, infrastruktur yang baik, dan lainlain.
b. Stabilitas politik (political stability), seperti terciptanya suasana
politik yang kondusif dan stabil, adanya kesadaran berpolitik yang
tinggi, dan lain sebagainya.
c. Kepastian hukum (legal certainty), seperti kepastian mengenai
substansi hukum, kepastian dalam pelaksanaan putusan pengadilan,
judicial corruption, dan lain-lain.
Peraturan-peraturan yang terkait dengan penanaman modal di suatu negara
terkadang bisa menimbulkan kekaburan hukum yang berlaku sehingga diperlukan
kejernihan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dalam rangka menambah
daya tarik dan meningkatkan modal asing ke suatu negara. 50 Sebab, penanam
modal
asing biasanya
memperhatikan
unsur kepastian
hukum
sebagai
pertimbangan utama sebelum melakukan penanaman modal di suatu negara.
Selain substansi hukum, kepastian akan penegakan atau pelaksanaan dari regulasi
yang berlaku juga diperlukan. Dengan kata lain, adanya kebijakan dan regulasi
yang promotif dan nondiskriminatif saja tidak serta merta menjadikan suatu
negara atraktif bagi penanam modal asing selama penegakan atau pelaksanaan
(law enforcement) dari regulasi tidak berlaku secara efektif dan tidak berlangsung
secara konsisten. 51 Namun, dalam beberapa kasus pelaksanaan penanaman modal,
melimpahnya kesempatan ekonomi mampu mengeliminasi kebutuhan akan
49
Ibid.
Charles Himawan. Hukum Sebagai Panglima (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hlm. 113.
51
David Kairupan, Op.Cit., hlm. 6.
50
30
Universitas Sumatera Utara
adanya penegakan keamanan dan kepastian hukum bagi penanam modal asing
saat melakukan penanaman modal di suatu negara. 52
4. Bentuk-bentuk penanaman modal asing
Mengacu pada ketentuan Pasal 12 UUPM dapat diperoleh suatu gambaran
tentang bentuk pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia. Pasal tersebut
menyebutkan bahwa ada bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, baik
asing maupun dalam negeri. 53 Namun, terdapat pula ketentuan bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, seperti persyaratan
permodalan yang harus dilakukan secara bersama-sama antara modal asing dan
modal dalam negeri. 54
Ismail Suny menjelaskan bahwa terdapat tiga macam bentuk kerjasama
antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yaitu joint venture, joint
enterprise, dan kontrak karya. 55 Istilah join venture merupakan istilah dalam
kepustakaan hukum yang berarti modal patungan dimana perusahaan join venture
terbentuk dari kerjasama modal yang bersumber dari perpaduan modal asing
dengan modal dalam negeri yang didasari oleh suatu perjanjian yang bersifat
52
Media Indonesia, Indonesia Masih Menarik Investor Asing dalam Erman Radjagukguk,
Op.Cit., hlm. 41.
53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Pasal 12 ayat (3) dimana disebutkan bahwa bidang usaha yang tertutup bagi penanamam
modal asing dan penanaman modal dalam negeri didasari oleh kriteria kesehatan, moral,
kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional
lainnya yang selanjutnya diatur oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Pasal 12 ayat (5) dimana disebutkan bahwa Pemerintah menetapkan bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber
daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan
produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta
kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
55
Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang
Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998), hlm. 108.
31
Universitas Sumatera Utara
kontraktuil. 56 Perpaduan modal tersebut tidak mewajibkan perusahaan kerjasama
dalam bentuk join venture untuk membuka badan hukum baru. Jadi, secara
sederhana dapat disimpulkan bahwa joint venture adalah suatu usaha kerjasama
yang dilakukan dengan memadukan modal asing dengan modal dalam negeri
berdasarkan perjanjian yang bersifat kontraktuil tanpa perlu membentuk suatu
badan hukum baru.
Kontrak kerjasama tanpa pembangunan badan usaha baru tersebut dapat
dilihat dari bentuk-bentuk kerjasama join venture berikut ini, yaitu: 57
a. Technical assistance (service) contract, yaitu suatu bentuk kerjasama yang
dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang
yang bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (method).
b. Franchise and brand-use agreement, yaitu suatu bentuk usaha kerjasama
yang digunakan apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri
hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal
seperti Mc’ Donalds, Kentucky Fried Chicken, dan sebagainya.
c. Management contract, yaitu suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak
modal asing dengan modal nasional yang berkaitan dengan pengelolaan
suatu perusahaan khusunya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak
modal asing terhadap suatu perusahaan nasional.
d. Build, Operation, and Transfer (B.O.T), yaitu suatu bentuk kerjasama
yang relatif baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama
antara para pihak, dimana suatu objek dibangun, dikelola, atau
56
Erman Radjagukguk, et al. dalam Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di
Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 206.
57
Aminuddin Ilmar, Op. Cit., hlm. 61-62.
32
Universitas Sumatera Utara
dioperasikan selama jangka waktu tertentu lalu diserahkan kepada pemilik
aslinya.
Bentuk kerjasama join venture tersebut berbeda halnya dengan joint
enterprise dimana untuk menjalankan usaha harus ada penggabungan modal asing
dengan modal dalam negeri ke dalam satu badan hukum Indonesia baru yang
harus dibentuk. Sedangkan kontrak karya (contract of work) adalah bentuk
kerjasama usaha antara pemodal asing dan pemodal dalam negeri dimana
penanam modal asing harus membentuk badan hukum Indonesia terlebih dahulu
dan badan hukum tersebut mengadakan kerjasama dengan suatu badan hukum
yang menggunakan modal nasional. 58 Salah satu bentuk kerjasama Kontrak Karya
adalah antara PT. Caltex Pacific Indonesia dengan PT. Pertamina Persero.
5. Bentuk badan hukum dan kedudukan usaha
Pelaksanaan penanaman modal asing di suatu negara tentu harus dilakukan
berdasarkan prosedur hukum yang berlaku di host cuntry. Pemberlakuan prosedur
hukum tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan host country dan
penanam modal asing serta untuk memberikan kepastian hukum tentang hukum
mana yang akan diberlakukan dalam penyelenggaraan kegiatan penanaman modal
bilamana terjadi suatu sengketa. Beberapa prosedur hukum yang berlaku bagi
pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia sendiri telah diatur dalam Pasal
5 ayat (2) UUPM yang berbunyi “Penanaman modal asing wajib dalam bentuk
perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam
wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”
58
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit.
33
Universitas Sumatera Utara
Prosedur hukum penanaman modal yang berlaku berdasarkan ketentuan
pasal tersebut mensyaratkan penanaman modal asing yang ingin melakukan
penanaman modal di Indonesia untuk membentuk badan hukum perseroan
terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia. Pelaksanaan penanaman modal dalam bentuk
perseroan terbatas tersebut selanjutnya dilakukan dengan mengambil bagian
saham pada saat pendirian perseroan terbatas, membeli saham, atau melakukan
cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 59
Penentuan badan hukum berupa PT bagi penanaman modal asing di
Indonesia didorong oleh suatu alasan bahwa Indonesia akan lebih mudah untuk
menggugat perseroan secara langsung apabila terjadi suatu sengketa. Sebab,
bentuk perseroan merupakan badan hukum yang dinilai dapat bertindak sebagai
pendukung hak dan kewajiban “(rechtperson)” yang memiliki harta kekayaan
tersendiri berupa modal alat-alat perusahaan dan lain-lain yang dapat dijadikan
jaminan terhadap kelalaian dalam pemenuhan kewajiban. 60 Artinya, badan hukum
perseroan memiliki suatu persona standi in judicio tersendiri yang dapat
menggugat dan digugat.
Pemilihan PT sebagai bentuk badan hukum untuk melaksanakan usaha di
bidang penanaman modal juga dinilai sangat tepat karena memiliki tiga
karakteristik dominan, yaitu pertanggungjawaban yang timbul semata-mata hanya
dibebankan kepada harta kekayaan yang terhimpun dalam asosiasi, adanya sifat
mobilitas atas hak penyertaan pada perseroan, serta prinsip pengurusan yang
59
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Pasal 5 ayat (3).
60
Aminuddin Ilmar. Op.Cit., hlm. 127.
34
Universitas Sumatera Utara
hanya melalui suatu organ. 61 Selanjutnya, kewajiban penanam modal untuk
menjalankan usaha di wilayah Indonesia juga bertujuan untuk memudahkan
Indonesia dalam menerapkan hukum positif bagi penanam modal apabila terjadi
suatu sengketa dikemudian hari. Sebab, penanam modal akan terikat dengan asas
teritorial yang berlaku dalam ketentuan hukum Indonesia yang memungkinkan
pemberlakuan hukum bagi siapa saja yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam praktiknya
dapat diartikan melalui penggunaan beberapa teori badan hukum. Salah satunya
adalah teori organ yang dikemukakan oleh Otto von Gierke yang menyatakan
bahwa badan hukum itu seperti manusia yang menjelma dalam pergaulan
hukum. 62 Badan hukum tersebut kemudian menjadi suatu badan yang membentuk
kehendaknya sendiri melalui perantara alat atau organ-organ badan, seperti
anggota pengurus yang mengucapkan kehendak melalui mulut atau menuliskan
kehendak melalui perantara tangan lalu memutuskannya sebagai kehendak dari
badan hukum tersebut. 63 Kehendak tersebut oleh Undang-Undang Perseroan
Terbatas (UUPT) hanya dapat dilakukan oleh Direksi sebagai salah satu organ
perseroan yang melakukan pengurusan. 64
61
Rudi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas (Bandung, PT Citra Aditya
Bakti, 1995), hlm. 12.
62
Mulhadi, Bahan Ajar Hukum Perusahaan (Medan, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2013), hlm. 74.
63
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hlm. 32.
64
Republik Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Pasal 92 ayat (1) dan (2).
35
Universitas Sumatera Utara
B. Bidang Usaha Perikanan
1. Bidang-bidang usaha perikanan
Ketentuan yang terdapat dalam Lampiran II Nomor 3 Peraturan Presiden
Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
mencantumkan Bidang Kelautan dan Perikanan sebagai bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Bidang-bidang usaha
yang terdapat dalam Bidang Kelautan dan Perikanan tersebut adalah: 65
a. Perikanan tangkap menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai
dengan 30 GT, di wilayah perairan sampai dengan 12 mil.
b. Usaha pengelolaan hasil perikanan yang dilakukan secara terpadu dengan
penangkapan ikan di perairan umum.
c. Pembesaran ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar.
d. Pembenihan ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar.
e. Usaha Pengelolaan Hasil Perikanan (UPI) berupa:
1) industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya;
2) industri pengasapan ikan dan biota perairan lainnya.
f. Usaha Pengelolaan Hasil Perikanan (UPI) peragian, fermentasi,
pereduksian/pengekstaksian, pengolahan surimi, dan jelly ikan.
g. Usaha pemasaran, distribusi, perdagangan besar, dan ekspor hasil
perikanan.
h. Usaha perikanan tangkap:
1) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih
besar di wilayah penangkapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI);
2) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih
besar di wilayah penangkapan laut lepas;
3) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran di atas 30 GT di
wilayah perairan di atas 12 mil.
i. Pemanfaatan (pengambilan) dan peredaran koral/karang hias dari alam
untuk akuarium.
j. Pengangkatan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam.
k. Penggalian pasir laut.
65
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang
Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal, Lampiran II Nomor 3.
36
Universitas Sumatera Utara
Mengacu pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2002 tentang Usaha Perikanan dimana Usaha Perikanan didefinisikan sebagai
“Semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau
membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau
mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.” Usaha di bidang pembudidayaan ikan
tersebut dilakukan dalam suatu sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi,
produksi, pengolahan dan pemasaran serta dilakukan di air tawar, air payau, dan
di laut. Usaha pembudidayaan ikan pada masing-masing tahap akan dijelaskan
sebagai berikut: 66
a. pada tahap praproduksi, usaha yang dilakukan meliputi pemetaan lahan
dan/atau pencetakan lahan pembudidayaan ikan;
b. pada tahap produksi, usaha yang dilakukan meliputi pembenihan,
pembesaran, dan/atau pemanenan ikan;
c. pada tahap pengolahan, usaha yang dilakukan meliputi penanganan hasil,
pengolahan, penyimpanan, pendinginan, dan/atau pengawetan ikan hasil
usaha budidaya;
d. pada tahap pemasaran, usaha yang dilakukan meliputi pengumpulan,
penampungan, pemuatan, pengangkutan, penyaluran, dan/atau pemasaran
ikan hasil pembudidayaan.
Definisi tersebut memberi gambaran bahwa usaha perikanan yang ada di
Indonesia terdiri dari dua bidang usaha, yaitu bidang usaha penangkapan ikan dan
bidang usaha pembudidayaan ikan. Maka, katagori yang masuk dalam bidang
usaha perikanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Nomor 3 Peraturan
Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan
Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
adalah:
66
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2007
tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan, Pasal 5 ayat (1), (2), (3), dan (4).
37
Universitas Sumatera Utara
a. Perikanan tangkap menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai
dengan 30 GT di wilayah perairan sampai dengan 12 mil.
b. Usaha pengelolaan hasil perikanan yang dilakukan secara terpadu dengan
penangkapan ikan di perairan umum.
c. Pembesaran ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar.
d. Pembenihan ikan Laut, ikan air payau, dan ikan air tawar.
e. Usaha pemasaran, distribusi, perdagangan besar, dan ekspor hasil
perikanan.
f. Usaha perikanan tangkap:
1) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih
besar di wilayah penangkapan ZEEI;
2) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih
besar di wilayah penangkapan laut lepas; dan
3) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran di atas 30 GT di
wilayah perairan di atas 12 mil.
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman
modal sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 39 Tahun 2014
adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman
modal dengan syarat tertentu. Syarat tertentu bagi bidang usaha tertentu yang
dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal adalah bidang usaha yang
dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK),
bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang
dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan
38
Universitas Sumatera Utara
lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Salah satu bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus tersebut
adalah bidang usaha perikanan tangkap di wilayah ZEEI bagi penanaman modal
asing. 67
2. Kewenangan pengurusan izin usaha perikanan
Pelaksanaan usaha perikanan diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Usaha perikanan
dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi,
pengolahan, dan pemasaran.” Sistem bisnis perikanan tersebut dapat dilakukan
oleh beberapa pihak. Secara umum, pihak yang dapat menjalankan usaha
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 adalah perorangan atau badan hukum. 68 Pihak-pihak
tersebut dalam menjalankan usaha di bidang perikanan diwajibkan untuk memiliki
beberapa surat izin, seperti Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI), kecuali
bagi nelayan kecil. 69 Berbagai surat izin tersebut dapat dimiliki setelah pihak, baik
perorangan atau pun badan hukum yang ingin melakukan penanaman modal di
bidang usaha perikanan, mengajukan permohonan penerbitan izin kepada pihak
yang berwenang melakukan pengurusan penerbitan izin tersebut.
Pengaturan tentang pihak yang berwenang dalam pengurusan izin di
bidang usaha perikanan tidak terlepas dari kehadiran Undang-Undang Nomor 23
67
Ramlan, Konsep Hukum Tata Kelola Perikanan (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 88.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan Pasal 1 angka 1.
69
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 26, 27 ayat (5), dan 28.
68
39
Universitas Sumatera Utara
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan
Daerah.
Undang-undang
tersebut
mengamanatkan bahwa penanaman modal merupakan salah satu bidang urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 70 Konsekuensi hukum atas
amanat undang-undang tersebut adalah terjadinya peralihan kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam penanganan urusan penanaman
modal. Peralihan kewenangan tersebut memberi peluang bagi pemerintah daerah
untuk turut melakukan pengurusan di bidang penanaman modal termasuk
kewenangan mengurus penerbitan izin penanaman modal di bidang usaha
perikanan.
Pemberian kewenangan kepada daerah dalam hal melakukan pengurusan
izin di bidang usaha perikanan juga dipertegas kembali oleh Pasal 65 UUP yang
menyebutkan bahwa “Pemerintah dapat memberikan tugas kepada pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan”.
Penyerahan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan kepada daerah tersebut
diharapkan mampu meningkatkan peran daerah dalam mengelola wilayah laut
sebagai aset daerah yang berpotensi menjadi penyumbang pendapatan asli daerah
(PAD) berikutnya.
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya kelautan
dan perikanan juga telah ditentukan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014. Secara singkat dapat dijabarkan bahwa wilayah laut yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah provinsi untuk mengelola sumber daya perikanan
adalah wilayah laut paling jauh 12 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas.
70
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Pasal 11 ayat (1) (2) dan Pasal 12 ayat (2).
40
Universitas Sumatera Utara
Namun, pengaturan tentang pihak-pihak yang berwenang dalam menerbitkan
perizinan di bidang usaha perikanan secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Republik Indonesia. Peraturan-peraturan
tersebut adalah Pasal 13 ayat (3) PP Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha
Perikanan jo. Pasal 10-12 Permen KP Nomor 12 Tahun 2007 tentang Perizinan
Usaha Pembudidayaan Ikan jo. Pasal 14 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012
tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia (WPPRI).
Ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal tersebut mengatur tentang
pelimpahan wewenang penerbitan izin usaha di bidang perikanan kepada direktur
jenderal (Dirjen), gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangan masing yang
telah diberikan. Dirjen berwenang untuk menerbitkan SIUP, SIPI, dan SIKPI
untuk kapal perikanan berukuran di atas 30 GT serta usaha perikanan tangkap
yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Selanjutnya,
gubernur diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP, SIPI, dan SIKPI untuk
kapal perikanan dengan ukuran di atas 10 GT sampai 30 dengan GT serta tidak
menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing dalam pelaksanaan
usahanya. Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh bupati/walikota dalam
bidang usaha perikanan adalah kewenangan untuk menerbitkan SIUP, SIPI, SIKPI
untuk kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan
modal asing dan/atau tenaga kerja asing dalam pelaksanaan usahanya. Namun,
berdasarkan ketentuan Pasal 15 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012, penerbitan
SIUP, SIPI, dan SIKPI tersebut harus tetap mempertimbangkan estimasi potensi
41
Universitas Sumatera Utara
dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP).
C. Pengaturan Penanaman Modal Asing Di Bidang Usaha Perikanan
Bidang usaha perikanan yang terdapat di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 1 PP Nomor 54 Tahun 2002 adalah bidang usaha perikanan
tangkap dan bidang usaha pembudidayaan ikan. Bidang usaha perikanan tangkap
merupakan bidang usaha yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan dan/atau
kegiatan pengangkutan ikan. Kegiatan penangkapan ikan sangat mudah dilakukan
bila berada di Indonesia. Selain dikarenakan oleh luas wilayah lautan yang
mencapai jutaan km2, potensi perikanan yang terdapat dan tersebar di dalamnya
juga begitu melimpah. 71 Oleh karena itu, bidang usaha perikanan tangkap
merupakan salah satu bidang usaha yang sangat potensial diusahakan di
Indonesia.
Keberlimpahan sumber daya perikanan di Indonesia merupakan salah satu
anugerah dari Tuhan yang patut dikelola dan dioptimalkan secara maksimal.
Pengoptimalan potensi sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun
perikanan budidaya yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum akan
berguna untuk meningkatkan pendapatan negara, baik bersumber dari pungutan
pajak maupun dari pungutan non-pajak. 72 Pendapatan negara yang meningkat
71
Wilayah laut Indonesia terdiri dari laut teritorial seluas 0.3 juta km2, perairan nusantara
(kepulauan) seluas 2,8 juta km2, dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2
yang kaya akan sumber daya perikanan.
72
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 48 ayat (1). Namun, ketentuan mengenai
pungutan tersebut tidak berlaku bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil sebagaimana diatur
pada ayat (2) pasal tersebut.
42
Universitas Sumatera Utara
tersebut pada akhirnya juga akan berpengaruh kepada peningkatan kesejahteraan
rakyat melalui kebijakan-kebijakan pembangunan negara.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya
perikanan di wilayah Indonesia, khususnya di bidang perikanan tangkap di laut
belum mampu dilakukan secara optimal dimana potensi perikanan tangkap
sebesar 6,4 juta ton per tahun baru bisa dimanfaatkan sebesar 3,1 juta ton saja per
tahun. 73 Banyak hal yang mempengaruhi jumlah tangkapan ikan tersebut. Salah
satunya adalah keterbatasan sarana dan prasarana pendukung nelayan dalam
menangkap ikan, seperti tidak memiliki modal yang cukup untuk melaut serta
penggunaan kapal penangkap ikan yang berukuran sangat kecil sehingga
penangkapan ikan hanya bisa dilakukan di seputaran bibir pantai hingga beberapa
mil ke arah laut lepas. Kondisi tersebut kemudian diperparah lagi dengan fakta
yang menyebutkan bahwa 36% diantara jumlah nelayan pengguna kapal kecil
tersebut adalah pengguna kapal kecil tidak bermotor. 74
Ketidakmampuan dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi perikanan
tangkap dengan segala hambatan tersebut menyebabkan Indonesia kehilangan
potensi pendapatan negara sebesar triliunan rupiah. 75 Hal tersebut kemudian
diperparah lagi dengan adanya praktik illegal fishing oleh kapal asing di
Indonesia. Kerugian Indonesia semakin bertambah besar termasuk kerugian
terhadap kerusakan ekosistem dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh
praktik illegal fishing tersebut. Kerusakan ekosistem dan lingkungan tempat
sumber daya perikanan melangsungkan kehidupan yang terjadi dalam jangka
73
Supriadi dan Alimuddin, Op.Cit., hlm. 2.
Ibid., hlm. 4-5.
75
Renstra KKP 2010 dalam Djoko Tribawono., Op.Cit., hlm. 150.
74
43
Universitas Sumatera Utara
waktu panjang tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi keberlanjutan hidup
ikan. Apabila keberlanjutan hidup ikan sudah terganggu, maka eksistensi mata
pencaharian ikan oleh nelayan pun akan berpotensi hilang.
Mengacu pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUP bahwa untuk memajukan
pengelolaan ikan, pemerintah dapat melakukan kerjasama internasional dengan
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.
2. Bekerjasama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang
bersifat tertutup atau semi tertutup, dan wilayah kantong.
3. Memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara
bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat
menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.
Ketentuan yang terdapat pada pasal tersebut membuka kesempatan bagi Indonesia
melalui pemerintah untuk melakukan kerjasama dengan negara tetangga atau
negara lain dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan di laut. Ketentuan
tersebut sekaligus membuka peluang bagi negara asing untuk turut serta terlibat
melakukan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia melalui kegiatan
penanaman modal asing.
Pelaksanaan penanaman modal asing di bidang perikanan tidak dilarang
oleh konstitusi Indonesia dimana dalam Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 diterangkan
bahwa perekonomian nasional Indonesia harus dilselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan salah satu prinsipnya, yaitu kemandirian. Prinsip
kemandirian yang dimaksud tidak berarti mengabaikan bantuan dana dan
kerjasama pihak luar, sepanjang dana dari pihak luar tersebut berfungsi sebagai
44
Universitas Sumatera Utara
pelengkap. 76 Penekanan terhadap peluang asing untuk melakukan penanaman
modal di bidang usaha perikanan di Indonesia juga dapat dilihat dari ruang
lingkup berlakunya UUP, yaitu:
1. Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan
badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang melakukan kegiatan
perikanan di WPPRI.
2. Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang
melakukan kegiatan perikanan di WPPRI.
Kehadiran penanaman modal asing, khususnya penanaman modal asing
secara langsung di suatu negara tentu memberikan keuntungan bagi host country.
Terlepas dari pendapat yang pro dan kontra terhadap kehadiran penanaman modal
asing tersebut, secara teoritis dapat dikemukakan bahwa kehadiran penanaman
modal asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier
effect), seperti dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal,
menciptakan demand bagi produk dalam negeri, menambah devisa negara,
menambah penghasilan host country dari sektor pajak, adanya alih teknologi
(transfer of technology) serta alih pengetahuan (transfer of know how) sehingga
dinilai sangat berperan dalam melakukan pembangunan ekonomi, khususnya di
daerah tempat penanaman modal asing tersebut dilaksanakan. 77 Selain itu, peran
penanaman modal asing secara langsung di suatu negara juga membawa manfaat
lain, seperti: 78
1. Meningkatkan pembangunan di kawasan daerah-daerah tertinggal.
76
Sumantoro, Hukum Ekonomi (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 5.
Hendrik Budi Untung, Op.Cit., hlm. 41-42.
78
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit.
77
45
Universitas Sumatera Utara
2. Adanya jaringan pasar internasional investor yang dapat dimanfaatkan.
Manfaat penanaman modal yang akan diperoleh host country sebagaimana
disebutkan di atas senilai dengan motif bisnis yang ingin dilakukan oleh penanam
modal asing itu sendiri, yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagi
penanam modal asing, potensi perikanan tangkap di laut Indonesia sudah sangat
menarik untuk dijadikan basis pelaksanaan penananam modal sebab berpotensi
mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Hal tersebut ditambah lagi dengan
keunggulan-keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia, seperti memiliki
upah buruh yang murah, pasar yang sangat besar, serta lokasi yang sangat
strategis bagi penanaman modal.
Pemerintah Indonesia juga dinilai memiliki upaya sungguh-sungguh untuk
mendorong iklim investasi yang menarik dan kondusif, seperti tidak membatasi
arus dana masuk dan keluar termasuk modal dan keuntungan yang diperoleh
penanam modal asing. 79 Namun dalam praktiknya, paradigma penyelenggaraan
penanaman modal asing yang hanya berorientasi mencari keuntungan sebesarbesarnya tersebut di host country akan melahirkan dua kepentingan, yaitu
kepentingan bisnis oleh penanam modal asing dan kepentingan melindungi
sumber daya perikanan oleh negara penerima modal (host country), seperti
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Ketentuan yang berlaku di Indonesia bagi penanaman modal asing di
bidang usaha perikanan diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUP dimana “Usaha
perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia hanya boleh
79
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hlm. 56.
46
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.” Pasal 29
ayat (2) lebih lanjut mengatur bahwa orang asing atau badan hukum asing tetap
diberi kesempatan untuk melakukan usaha di bidang perikanan tangkap. Namun,
wilayah penangkapan ikan tersebut dibatasi hanya dapat dilakukan di wilayah
ZEEI.
Ketentuan mengenai kewenangan pengelolaan usaha perikanan tangkap
yang diperkenankan melalui PMA dipertegas kembali dalam Lampiran II Perpres
Nomor 39 Tahun 2014 poin 8 pada Bidang Kelautan dan Perikanan yang
menyebutkan bahwa usaha perikanan tangkap yang menggunakan kapal
penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan
ZEEI harus dilakukan dengan perizinan khusus dimana syarat dan ketentuan
tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Peraturan menteri yang dimaksud adalah Permen KP Nomor 30 Tahun
2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia. Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 juga menentukan
lebih lanjut bahwa jenis usaha perikanan tangkap yang diatur di Indonesia adalah
usaha penangkapan ikan, usaha pengangkutan ikan, usaha penangkapan dan
pengangkutan ikan, serta usaha perikanan tangkap terpadu. Usaha perikanan
tangkap yang diperbolehkan bagi penananam modal asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 tersebut adalah usaha perikanan
tangkap terpadu. 80
80
Ramlan. Op.Cit., hlm. 134-135.
47
Universitas Sumatera Utara
PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PERIKANAN
A. Konsep Teoritis Penanaman Modal Asing
1. Pengertian penanaman modal asing
Keikutsertaan suatu negara dalam berbagai kesepakatan bilateral,
multilateral, maupun internasional hampir menjadi suatu keharusan saat ini. Hal
tersebut penting dilakukan untuk menyesuaikan substansi hukum nasional yang
ada terhadap dampak globalisasi ekonomi yang terjadi. 30 Salah satu contohnya
adalah keterlibatan Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia. Pada awalnya,
peraturan mengenai PMA berbeda dengan peraturan mengenai penanaman modal
dalam negeri (PMDN). Dampak perbedaan dalam pengaturan tersebut adalah
timbulnya perbedaan perlakuan terhadap masing-masing penanam modal.
Akibat terjadinya perubahan kesepakatan di bidang perdagangan
internasional termasuk peraturan perdagangan yang berkaitan dengan penanaman
modal, maka peraturan mengenai penanaman modal yang ada juga ikut diubah
dan disempurnakan. 31 Salah satu perubahan tersebut adalah memberikan
perlakuan yang sama terhadap penanam modal, baik antara penanam modal dalam
negeri dengan penanam modal asing maupun di antara dua atau lebih penanam
modal asing di suatu negara penerima modal (host country). Perlakuan sama
tersebut merupakan kebijakan internasional yang harus dilakukan oleh setiap host
30
Bismar Nasution, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi dan Hukum Investasi
Indonesia dalam Sentosa Sembiring. Hukum Investasi (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2007), hlm.
80.
31
C.F.G. Sunaryati Hartono dalam Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hlm. 23.
21
Universitas Sumatera Utara
country sebagai wujud pelaksanaan dari ketentuan prinsip-prinsip TRIMs. Selaku
negara yang memiliki kepentingan di bidang perdagangan dan penanaman modal
internasional, perubahan kesepakatan tersebut telah disikapi pihak Indonesia
dengan menyesuaikan substansi peraturan terkait penanaman modal dengan
memasukkan prinsip-prinsip TRIMs ke dalam UUPM.
Pengertian penanaman modal asing menurut UUPM adalah “Kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”.32
Dengan demikian, secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan penanaman modal asing di sini adalah penanaman modal
dengan modal yang tidak terbatas pada modal yang bersumber dari luar negeri
saja melainkan dapat bersumber pula dari modal patungan (join venture), yaitu
modal yang berasal dari dalam negeri (foreign capital) dan luar negeri (domestic
capital) serta pelaksanaan usahanya dilakukan di wilayah negara Republik
Indonesia dimana penanam modal turut hadir menjalankan usaha tersebut.
Kegiatan penanaman modal asing dalam bentuk modal patungan tidak
terlepas dari kebijakan host country dalam menentukan batasan maksimal
penguasaan modal asing yang diperkenankan dalam suatu perusahaan. Peraturan
di Indonesia misalnya yang melarang penanam modal asing untuk menguasai
mayoritas saham perusahaan penanaman modal di bidang usaha tertentu. Hal
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
32
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Pasal 1 angka 3.
22
Universitas Sumatera Utara
Pasal 33 ayat (2) dan (3) yang secara tegas mengamanatkan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
serta kekayaan alam yang ada di bumi, air, dan yang terkandung di dalamnya
harus dikuasai negara. Artinya, pada bidang produksi tersebut hanya negara yang
memiliki hak menguasai mayoritas saham pada perusahaan penanam modal. Hal
tersebut bertujuan untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang menerapkan
praktik law of uneven development di Indonesia. 33
Munir Fuady menafsirkan penanaman modal asing (foreign investment)
sebagai suatu tindakan dari orang asing atau badan hukum asing untuk melakukan
investasi modal dengan motif untuk berbisnis dalam bentuk apapun ke wilayah
suatu negara lain. 34 Motif tersebut dapat dipahami bahwa kedatangan penanam
modal asing beserta modalnya ke suatu negara adalah untuk mencari keuntungan
yang sebesar-besarnya. 35 Keuntungan besar tersebut dapat diperoleh apabila
terdapat faktor-faktor pendukung, seperti upah buruh yang murah, pasar yang
luas, potensi penjualan teknologi, dekat dengan sumber bahan mentah, menjual
bahan baku untuk dijadikan barang jadi, insentif untuk investor, serta adanya
status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional. 36
Hulman Panjaitan dalam Dhaniswara K. Harjono juga memberikan
pengertian Penanaman Modal Asing sebagai suatu kegiatan penanaman modal
yang di dalamnya terdapat unsur asing (foreign element) yang dapat ditentukan
33
Hymer dalam Aminuddin Ilmar. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia (Jakarta:
Prenada Media, 2004), hlm. 41.
34
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 67.
35
Erman Radjagukguk, Op.Cit., hlm. 1.
36
Ibid.
23
Universitas Sumatera Utara
oleh adanya kewarganegaraan yang berbeda, asal modal, dan sebagainya.37
Kehadiran warga negara dengan status kewarganegaraan yang berbeda, baik
sebagai penanam modal maupun sebagai pekerja di perusahaan penanam modal
asing merupakan unsur mutlak dalam kegiatan penanaman modal langsung asing
di suatu negara, seperti di Indonesia. Kehadiran penanam modal asing (foreign
investor presence) telah menjadi kewajiban hukum yang berlaku di Indonesia
dimana penanam modal asing wajib hadir secara fisik ke tempat tujuan investasi
dengan membawa seluruh sumber daya yang dipergunakan, menjalankan usaha,
dan turut mengendalikan kegiatan investasi. 38
2. Dasar hukum penanaman modal asing
Potensi alam yang melimpah telah memikat berbagai negara asing untuk
datang ke Indonesia. Pada zaman dahulu, kedatangan tersebut dimaksudkan untuk
memanfatkan potensi alam dengan cara melakukan penjarahan sehingga
menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat Indonesia. 39 Pasca kemerdekaan,
pengelolaan potensi alam tersebut kemudian diambil alih oleh bangsa Indonesia
sendiri untuk dikelola melalui penguasaan negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 40 Namun, dalam pengelolaan sumber daya
37
Dhaniswara K. Harjono, Op.Cit., hlm. 124.
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Hukum Penanaman Modal
(Medan: Departemen Hukum Ekonomi USU, 2010).
39
Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia (Singapura: Gunung
Agung, 1980), hlm. 79-183. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan penanaman
modal asing di Indonesia pra-kemerdekaan dimulai oleh Portugis dan dilanjutkan oleh Belanda,
Prancis, Inggris, serta Jepang. Sistem kerja yang diterapkan negara-negara tersebut dalam
penyelenggaraan kegiatan penanaman modal asing sangat menyengsarakan rakyat di mana dalam
pelaksanaan penanaman modal tersebut, mereka menggunakan kekuatan militer dan melakukan
praktik monopoli untuk menguasai lahan dan potensi produksi.
40
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara, Pasal 33 ayat (2), (3), dan (4).
Pasal tersebut menjadi dasar acuan atau rujukan bagi pengaturan penanaman modal di Indonesia
38
24
Universitas Sumatera Utara
alam tersebut, Indonesia tetap memerlukan dana awal yang besar serta
membutuhkan dukungan teknologi sehingga harus mencari partner kerja yang
sesuai untuk mendukung pengelolaan tersebut.
Hal tersebut kemudian disikapi oleh Indonesia dengan melahirkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan
Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Pasal 62 Ketetapan MPRS tersebut
menyatakan bahwa “Mengingat terbatasnya persediaan modal dalam negeri
dibandingkan dengan kebutuhan pembangunan nasional, maka perlu segera
ditetapkan Undang-Undang mengenai modal asing, termasuk domestik asing”. 41
Maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing pada tanggal 10 Januari 1967 dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan akan modal bagi pembangunan nasional sekaligus sebagai payung
hukum untuk melindungi dan menghindari keragu-raguan pihak asing dalam
melakukan penanaman modal di Indonesia.
Perkembangan hukum penanaman modal asing di Indonesia kemudian
dilanjutkan dengan adanya perubahan dan penambahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1970. 42 Perkembangan selanjutnya adalah diterbitkannya
dimana negara memiliki hak penguasaan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan sumber daya
alam nasional untuk kemakmuran rakyat.
41
K. Wantjik Saleh. Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan MPRS/MPR (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981), hlm. 230.
42
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970, bagian Konsideran yang
menyebutkan bahwa “guna meningkatkan pembangunan di Indonesia perlu segera diciptakan
suatu iklim fiskal yang baik bagi pengusaha-pengusaha, khususnya bagi penanam modal.” Jadi,
perubahan dan penambahan UU No. 1 Tahun 1967 menjadi UU No. 11 Tahun 1970 tersebut hanya
25
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin
Perusahaan Penanaman Modal Asing yang diikuti dengan lahirnya Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham
Nasional. 43
Pemerintah juga melakukan perubahan terhadap Keppres Nomor 17 Tahun
1986 tersebut menjadi Keppres Nomor 50 Tahun 1987. Perubahan terhadap
Keppres tersebut juga diikuti oleh Ketua BKPM yang mengeluarkan SK Ketua
BKPM Nomor 5 Tahun 1987 dimana prinsip pengaturannya sama dengan
Keppres Nomor 50 Tahun 1987, yaitu memberikan kelonggaran-kelonggaran
terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya kepada penanam modal
asing sebagaimana yang telah diperoleh oleh penanam modal dalam negeri. 44
Upaya untuk menghadirkan penanam modal asing agar melakukan
penanaman modal di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai upaya, termasuk
menciptakan kebijakan investasi yang menarik. Salah satunya adalah melahirkan
peraturan hukum mengenai kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan
dalam rangka penanaman modal asing, yaitu PP Nomor 20 Tahun 1994 yang
memberikan kepastian hukum bagi investor asing untuk memiliki saham sebesar
100%. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diubah menjadi PP Nomor 83
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994
berkaitan dengan pengaturan pajak untuk menambah daya tarik dan minat penanam modal asing
berinvestasi di Indonesia.
43
M. Alfianto Romdoni, Investasi dan Penanaman Modal, dimuat dalam
http://alfiantoromdoni.blogspot.com/2012/05/investasi-dan-penanaman-modal.html (diakses pada
tanggal 19 Februari 2016).
44
Ibid.
26
Universitas Sumatera Utara
tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka
Penanaman Modal Asing.
Pergaulan global yang digeluti Indonesia terutama di bidang perdagangan
internasional perlahan juga turut memberi dampak bagi perkembangan hukum
penanaman modal asing di Indonesia. Salah satu dampak tersebut adalah
kesepakatan para negara anggota WTO untuk menerapkan ketentuan TRIMs
dalam substansi hukum penanaman modal nasional agar penanam modal asing
merasa aman dengan tidak diperlakukan secara diskriminatif di host country.
Indonesia selaku anggota WTO memiliki kewajiban untuk menyesuaikan
kesepakatan tersebut ke dalam hukum nasional yang berlaku. Maka, diterbitkanlah
UUPM pada tanggal 26 April 2007. Selain ketentuan yang terdapat dalam UUPM
beserta peraturan pelaksananya, pengaturan tentang penanaman modal juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan sektoral sesuai dengan sektor usaha
penanaman modal, seperti:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
c. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UUP).
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, dan lain
sebagainya.
Sejak era reformasi yang mengubah sistem pemerintahan menjadi desentralisasi,
patut untuk diketahui pula secara teknis tentang adanya pembagian urusan
27
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan termasuk urusan penanaman modal yang semula berada di tangan
Pemerintah Pusat beralih menjadi urusan Pemerintahan Daerah, baik di tingkat
Pemerintahan Daerah Provinsi maupun di tingkat Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. 45
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing
Kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan nasional memang sangat
besar. Keterbatasan dana yang tersedia di dalam negeri mengharuskan host
country mencari dana asing sebagai pilihan alternatif dalam bentuk kegiatan
penanaman modal langsung asing. Oleh karena itu, untuk mendapatkan dana asing
melalui kegiatan penanaman modal, perlu diketahui dan dipahami lebih lanjut
mengenai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keinginan penanam modal
asing melakukan penanaman modal ke suatu negara.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penanam modal asing melakukan
penanaman modal ke suatu negara pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu faktor
penarik dan faktor pendorong atau disebut dengan istilah "pull and push theory."
Faktor penarik merupakan keunggulan pasar dan kebijakan yang dimiliki host
country, seperti adanya kestabilan di bidang sosial, politik dan ekonomi, iklim
usaha dan investasi yang menarik, ketersediaan sumber daya alam dan manusia,
potensi pasar, insentif dan fasilitas serta ketersediaan sarana dan prasarana
pendukung yang diberikan pemerintah. Sedangkan faktor pendorong merupakan
faktor kekondusifan home country, seperti adanya kebijaksanaan investasi berupa
45
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, bagian
dasar hukum.
28
Universitas Sumatera Utara
aliran modal keluar, perkembangan sosial dan ekonomi, serta perkembangan
lingkungan global. 46 Salah satu tokoh yang fokus menjelaskan tentang faktor
pendorong adalah Thee Kian Wie. Wie kemudian mengemukakan bahwa
penanam modal asing berkeinginan untuk melakukan penanaman modal ke luar
negeri karena terdapat beberapa hambatan dan/atau kemudahan home country,
seperti: 47
a. meningkatnya biaya lahan dan tenaga kerja di negara asal (home country)
yang mengakibatkan hasil produksi tidak memiliki daya saing; dan
b. sikap dan kebijakan negara asal (home country) yang mendorong
terjadinya pengalihan investasi ke luar negeri. Misalnya, kebijakan rezim
devisa bebas yang pernah diterapkan Taiwan dan adanya insentif bagi
ekspansi usaha ke luar negeri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi minat penanam modal asing yang perlu
dipelajari oleh suatu host country yang membutuhkan dana asing adalah faktor
penarik. Buu Hoan mengemukakan tentang faktor-faktor yang dapat menarik
minat penanam modal asing untuk melakukan penanaman modal ke suatu negara,
yaitu apabila terdapat: 48
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
political and economic stability;
stable and discipline labour force;
access to local finance;
ready availability of foreign exchange;
stable currency value;
existence of a good joint venture partner;
government incentives, especially taxation; and
duty free import.
46
Soetarto, Faktor-faktor pendorong dan penarik penanaman modal asing Jepang, Korea
Selatan dan Taiwan di Indonesia. S2. diperoleh dari Perpustakaan Indonesia yang dimuat dalam
http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-93638.pdf (diakses pada tanggal 19 Februari 2016).
47
Thee Kian Wie. Industrialisasi Di Indonesia Berbagai Kajian (Jakarta: LP3ES, 1996),
Cetakan Kedua, hlm. 149.
48
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit.
29
Universitas Sumatera Utara
Erman Radjagukguk juga memaparkan mengenai faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi minat penanam modal asing untuk melakukan penanaman modal
ke suatu negara, yaitu apabila terdapat: 49
a. Kesempatan ekonomi (economic opportunity), seperti sumber daya
alam, ketersediaan bahan baku, pasar yang prospektif, upah buruh
yang murah, insentif investasi, infrastruktur yang baik, dan lainlain.
b. Stabilitas politik (political stability), seperti terciptanya suasana
politik yang kondusif dan stabil, adanya kesadaran berpolitik yang
tinggi, dan lain sebagainya.
c. Kepastian hukum (legal certainty), seperti kepastian mengenai
substansi hukum, kepastian dalam pelaksanaan putusan pengadilan,
judicial corruption, dan lain-lain.
Peraturan-peraturan yang terkait dengan penanaman modal di suatu negara
terkadang bisa menimbulkan kekaburan hukum yang berlaku sehingga diperlukan
kejernihan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dalam rangka menambah
daya tarik dan meningkatkan modal asing ke suatu negara. 50 Sebab, penanam
modal
asing biasanya
memperhatikan
unsur kepastian
hukum
sebagai
pertimbangan utama sebelum melakukan penanaman modal di suatu negara.
Selain substansi hukum, kepastian akan penegakan atau pelaksanaan dari regulasi
yang berlaku juga diperlukan. Dengan kata lain, adanya kebijakan dan regulasi
yang promotif dan nondiskriminatif saja tidak serta merta menjadikan suatu
negara atraktif bagi penanam modal asing selama penegakan atau pelaksanaan
(law enforcement) dari regulasi tidak berlaku secara efektif dan tidak berlangsung
secara konsisten. 51 Namun, dalam beberapa kasus pelaksanaan penanaman modal,
melimpahnya kesempatan ekonomi mampu mengeliminasi kebutuhan akan
49
Ibid.
Charles Himawan. Hukum Sebagai Panglima (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hlm. 113.
51
David Kairupan, Op.Cit., hlm. 6.
50
30
Universitas Sumatera Utara
adanya penegakan keamanan dan kepastian hukum bagi penanam modal asing
saat melakukan penanaman modal di suatu negara. 52
4. Bentuk-bentuk penanaman modal asing
Mengacu pada ketentuan Pasal 12 UUPM dapat diperoleh suatu gambaran
tentang bentuk pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia. Pasal tersebut
menyebutkan bahwa ada bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, baik
asing maupun dalam negeri. 53 Namun, terdapat pula ketentuan bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, seperti persyaratan
permodalan yang harus dilakukan secara bersama-sama antara modal asing dan
modal dalam negeri. 54
Ismail Suny menjelaskan bahwa terdapat tiga macam bentuk kerjasama
antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yaitu joint venture, joint
enterprise, dan kontrak karya. 55 Istilah join venture merupakan istilah dalam
kepustakaan hukum yang berarti modal patungan dimana perusahaan join venture
terbentuk dari kerjasama modal yang bersumber dari perpaduan modal asing
dengan modal dalam negeri yang didasari oleh suatu perjanjian yang bersifat
52
Media Indonesia, Indonesia Masih Menarik Investor Asing dalam Erman Radjagukguk,
Op.Cit., hlm. 41.
53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Pasal 12 ayat (3) dimana disebutkan bahwa bidang usaha yang tertutup bagi penanamam
modal asing dan penanaman modal dalam negeri didasari oleh kriteria kesehatan, moral,
kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional
lainnya yang selanjutnya diatur oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Pasal 12 ayat (5) dimana disebutkan bahwa Pemerintah menetapkan bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber
daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan
produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta
kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
55
Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang
Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998), hlm. 108.
31
Universitas Sumatera Utara
kontraktuil. 56 Perpaduan modal tersebut tidak mewajibkan perusahaan kerjasama
dalam bentuk join venture untuk membuka badan hukum baru. Jadi, secara
sederhana dapat disimpulkan bahwa joint venture adalah suatu usaha kerjasama
yang dilakukan dengan memadukan modal asing dengan modal dalam negeri
berdasarkan perjanjian yang bersifat kontraktuil tanpa perlu membentuk suatu
badan hukum baru.
Kontrak kerjasama tanpa pembangunan badan usaha baru tersebut dapat
dilihat dari bentuk-bentuk kerjasama join venture berikut ini, yaitu: 57
a. Technical assistance (service) contract, yaitu suatu bentuk kerjasama yang
dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang
yang bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (method).
b. Franchise and brand-use agreement, yaitu suatu bentuk usaha kerjasama
yang digunakan apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri
hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal
seperti Mc’ Donalds, Kentucky Fried Chicken, dan sebagainya.
c. Management contract, yaitu suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak
modal asing dengan modal nasional yang berkaitan dengan pengelolaan
suatu perusahaan khusunya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak
modal asing terhadap suatu perusahaan nasional.
d. Build, Operation, and Transfer (B.O.T), yaitu suatu bentuk kerjasama
yang relatif baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama
antara para pihak, dimana suatu objek dibangun, dikelola, atau
56
Erman Radjagukguk, et al. dalam Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di
Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 206.
57
Aminuddin Ilmar, Op. Cit., hlm. 61-62.
32
Universitas Sumatera Utara
dioperasikan selama jangka waktu tertentu lalu diserahkan kepada pemilik
aslinya.
Bentuk kerjasama join venture tersebut berbeda halnya dengan joint
enterprise dimana untuk menjalankan usaha harus ada penggabungan modal asing
dengan modal dalam negeri ke dalam satu badan hukum Indonesia baru yang
harus dibentuk. Sedangkan kontrak karya (contract of work) adalah bentuk
kerjasama usaha antara pemodal asing dan pemodal dalam negeri dimana
penanam modal asing harus membentuk badan hukum Indonesia terlebih dahulu
dan badan hukum tersebut mengadakan kerjasama dengan suatu badan hukum
yang menggunakan modal nasional. 58 Salah satu bentuk kerjasama Kontrak Karya
adalah antara PT. Caltex Pacific Indonesia dengan PT. Pertamina Persero.
5. Bentuk badan hukum dan kedudukan usaha
Pelaksanaan penanaman modal asing di suatu negara tentu harus dilakukan
berdasarkan prosedur hukum yang berlaku di host cuntry. Pemberlakuan prosedur
hukum tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan host country dan
penanam modal asing serta untuk memberikan kepastian hukum tentang hukum
mana yang akan diberlakukan dalam penyelenggaraan kegiatan penanaman modal
bilamana terjadi suatu sengketa. Beberapa prosedur hukum yang berlaku bagi
pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia sendiri telah diatur dalam Pasal
5 ayat (2) UUPM yang berbunyi “Penanaman modal asing wajib dalam bentuk
perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam
wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”
58
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit.
33
Universitas Sumatera Utara
Prosedur hukum penanaman modal yang berlaku berdasarkan ketentuan
pasal tersebut mensyaratkan penanaman modal asing yang ingin melakukan
penanaman modal di Indonesia untuk membentuk badan hukum perseroan
terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia. Pelaksanaan penanaman modal dalam bentuk
perseroan terbatas tersebut selanjutnya dilakukan dengan mengambil bagian
saham pada saat pendirian perseroan terbatas, membeli saham, atau melakukan
cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 59
Penentuan badan hukum berupa PT bagi penanaman modal asing di
Indonesia didorong oleh suatu alasan bahwa Indonesia akan lebih mudah untuk
menggugat perseroan secara langsung apabila terjadi suatu sengketa. Sebab,
bentuk perseroan merupakan badan hukum yang dinilai dapat bertindak sebagai
pendukung hak dan kewajiban “(rechtperson)” yang memiliki harta kekayaan
tersendiri berupa modal alat-alat perusahaan dan lain-lain yang dapat dijadikan
jaminan terhadap kelalaian dalam pemenuhan kewajiban. 60 Artinya, badan hukum
perseroan memiliki suatu persona standi in judicio tersendiri yang dapat
menggugat dan digugat.
Pemilihan PT sebagai bentuk badan hukum untuk melaksanakan usaha di
bidang penanaman modal juga dinilai sangat tepat karena memiliki tiga
karakteristik dominan, yaitu pertanggungjawaban yang timbul semata-mata hanya
dibebankan kepada harta kekayaan yang terhimpun dalam asosiasi, adanya sifat
mobilitas atas hak penyertaan pada perseroan, serta prinsip pengurusan yang
59
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Pasal 5 ayat (3).
60
Aminuddin Ilmar. Op.Cit., hlm. 127.
34
Universitas Sumatera Utara
hanya melalui suatu organ. 61 Selanjutnya, kewajiban penanam modal untuk
menjalankan usaha di wilayah Indonesia juga bertujuan untuk memudahkan
Indonesia dalam menerapkan hukum positif bagi penanam modal apabila terjadi
suatu sengketa dikemudian hari. Sebab, penanam modal akan terikat dengan asas
teritorial yang berlaku dalam ketentuan hukum Indonesia yang memungkinkan
pemberlakuan hukum bagi siapa saja yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam praktiknya
dapat diartikan melalui penggunaan beberapa teori badan hukum. Salah satunya
adalah teori organ yang dikemukakan oleh Otto von Gierke yang menyatakan
bahwa badan hukum itu seperti manusia yang menjelma dalam pergaulan
hukum. 62 Badan hukum tersebut kemudian menjadi suatu badan yang membentuk
kehendaknya sendiri melalui perantara alat atau organ-organ badan, seperti
anggota pengurus yang mengucapkan kehendak melalui mulut atau menuliskan
kehendak melalui perantara tangan lalu memutuskannya sebagai kehendak dari
badan hukum tersebut. 63 Kehendak tersebut oleh Undang-Undang Perseroan
Terbatas (UUPT) hanya dapat dilakukan oleh Direksi sebagai salah satu organ
perseroan yang melakukan pengurusan. 64
61
Rudi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas (Bandung, PT Citra Aditya
Bakti, 1995), hlm. 12.
62
Mulhadi, Bahan Ajar Hukum Perusahaan (Medan, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2013), hlm. 74.
63
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hlm. 32.
64
Republik Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Pasal 92 ayat (1) dan (2).
35
Universitas Sumatera Utara
B. Bidang Usaha Perikanan
1. Bidang-bidang usaha perikanan
Ketentuan yang terdapat dalam Lampiran II Nomor 3 Peraturan Presiden
Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
mencantumkan Bidang Kelautan dan Perikanan sebagai bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Bidang-bidang usaha
yang terdapat dalam Bidang Kelautan dan Perikanan tersebut adalah: 65
a. Perikanan tangkap menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai
dengan 30 GT, di wilayah perairan sampai dengan 12 mil.
b. Usaha pengelolaan hasil perikanan yang dilakukan secara terpadu dengan
penangkapan ikan di perairan umum.
c. Pembesaran ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar.
d. Pembenihan ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar.
e. Usaha Pengelolaan Hasil Perikanan (UPI) berupa:
1) industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya;
2) industri pengasapan ikan dan biota perairan lainnya.
f. Usaha Pengelolaan Hasil Perikanan (UPI) peragian, fermentasi,
pereduksian/pengekstaksian, pengolahan surimi, dan jelly ikan.
g. Usaha pemasaran, distribusi, perdagangan besar, dan ekspor hasil
perikanan.
h. Usaha perikanan tangkap:
1) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih
besar di wilayah penangkapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI);
2) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih
besar di wilayah penangkapan laut lepas;
3) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran di atas 30 GT di
wilayah perairan di atas 12 mil.
i. Pemanfaatan (pengambilan) dan peredaran koral/karang hias dari alam
untuk akuarium.
j. Pengangkatan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam.
k. Penggalian pasir laut.
65
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang
Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal, Lampiran II Nomor 3.
36
Universitas Sumatera Utara
Mengacu pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2002 tentang Usaha Perikanan dimana Usaha Perikanan didefinisikan sebagai
“Semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau
membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau
mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.” Usaha di bidang pembudidayaan ikan
tersebut dilakukan dalam suatu sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi,
produksi, pengolahan dan pemasaran serta dilakukan di air tawar, air payau, dan
di laut. Usaha pembudidayaan ikan pada masing-masing tahap akan dijelaskan
sebagai berikut: 66
a. pada tahap praproduksi, usaha yang dilakukan meliputi pemetaan lahan
dan/atau pencetakan lahan pembudidayaan ikan;
b. pada tahap produksi, usaha yang dilakukan meliputi pembenihan,
pembesaran, dan/atau pemanenan ikan;
c. pada tahap pengolahan, usaha yang dilakukan meliputi penanganan hasil,
pengolahan, penyimpanan, pendinginan, dan/atau pengawetan ikan hasil
usaha budidaya;
d. pada tahap pemasaran, usaha yang dilakukan meliputi pengumpulan,
penampungan, pemuatan, pengangkutan, penyaluran, dan/atau pemasaran
ikan hasil pembudidayaan.
Definisi tersebut memberi gambaran bahwa usaha perikanan yang ada di
Indonesia terdiri dari dua bidang usaha, yaitu bidang usaha penangkapan ikan dan
bidang usaha pembudidayaan ikan. Maka, katagori yang masuk dalam bidang
usaha perikanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Nomor 3 Peraturan
Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan
Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
adalah:
66
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2007
tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan, Pasal 5 ayat (1), (2), (3), dan (4).
37
Universitas Sumatera Utara
a. Perikanan tangkap menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai
dengan 30 GT di wilayah perairan sampai dengan 12 mil.
b. Usaha pengelolaan hasil perikanan yang dilakukan secara terpadu dengan
penangkapan ikan di perairan umum.
c. Pembesaran ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar.
d. Pembenihan ikan Laut, ikan air payau, dan ikan air tawar.
e. Usaha pemasaran, distribusi, perdagangan besar, dan ekspor hasil
perikanan.
f. Usaha perikanan tangkap:
1) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih
besar di wilayah penangkapan ZEEI;
2) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih
besar di wilayah penangkapan laut lepas; dan
3) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran di atas 30 GT di
wilayah perairan di atas 12 mil.
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman
modal sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 39 Tahun 2014
adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman
modal dengan syarat tertentu. Syarat tertentu bagi bidang usaha tertentu yang
dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal adalah bidang usaha yang
dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK),
bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang
dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan
38
Universitas Sumatera Utara
lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Salah satu bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus tersebut
adalah bidang usaha perikanan tangkap di wilayah ZEEI bagi penanaman modal
asing. 67
2. Kewenangan pengurusan izin usaha perikanan
Pelaksanaan usaha perikanan diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Usaha perikanan
dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi,
pengolahan, dan pemasaran.” Sistem bisnis perikanan tersebut dapat dilakukan
oleh beberapa pihak. Secara umum, pihak yang dapat menjalankan usaha
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 adalah perorangan atau badan hukum. 68 Pihak-pihak
tersebut dalam menjalankan usaha di bidang perikanan diwajibkan untuk memiliki
beberapa surat izin, seperti Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI), kecuali
bagi nelayan kecil. 69 Berbagai surat izin tersebut dapat dimiliki setelah pihak, baik
perorangan atau pun badan hukum yang ingin melakukan penanaman modal di
bidang usaha perikanan, mengajukan permohonan penerbitan izin kepada pihak
yang berwenang melakukan pengurusan penerbitan izin tersebut.
Pengaturan tentang pihak yang berwenang dalam pengurusan izin di
bidang usaha perikanan tidak terlepas dari kehadiran Undang-Undang Nomor 23
67
Ramlan, Konsep Hukum Tata Kelola Perikanan (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 88.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan Pasal 1 angka 1.
69
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 26, 27 ayat (5), dan 28.
68
39
Universitas Sumatera Utara
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan
Daerah.
Undang-undang
tersebut
mengamanatkan bahwa penanaman modal merupakan salah satu bidang urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 70 Konsekuensi hukum atas
amanat undang-undang tersebut adalah terjadinya peralihan kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam penanganan urusan penanaman
modal. Peralihan kewenangan tersebut memberi peluang bagi pemerintah daerah
untuk turut melakukan pengurusan di bidang penanaman modal termasuk
kewenangan mengurus penerbitan izin penanaman modal di bidang usaha
perikanan.
Pemberian kewenangan kepada daerah dalam hal melakukan pengurusan
izin di bidang usaha perikanan juga dipertegas kembali oleh Pasal 65 UUP yang
menyebutkan bahwa “Pemerintah dapat memberikan tugas kepada pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan”.
Penyerahan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan kepada daerah tersebut
diharapkan mampu meningkatkan peran daerah dalam mengelola wilayah laut
sebagai aset daerah yang berpotensi menjadi penyumbang pendapatan asli daerah
(PAD) berikutnya.
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya kelautan
dan perikanan juga telah ditentukan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014. Secara singkat dapat dijabarkan bahwa wilayah laut yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah provinsi untuk mengelola sumber daya perikanan
adalah wilayah laut paling jauh 12 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas.
70
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Pasal 11 ayat (1) (2) dan Pasal 12 ayat (2).
40
Universitas Sumatera Utara
Namun, pengaturan tentang pihak-pihak yang berwenang dalam menerbitkan
perizinan di bidang usaha perikanan secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Republik Indonesia. Peraturan-peraturan
tersebut adalah Pasal 13 ayat (3) PP Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha
Perikanan jo. Pasal 10-12 Permen KP Nomor 12 Tahun 2007 tentang Perizinan
Usaha Pembudidayaan Ikan jo. Pasal 14 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012
tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia (WPPRI).
Ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal tersebut mengatur tentang
pelimpahan wewenang penerbitan izin usaha di bidang perikanan kepada direktur
jenderal (Dirjen), gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangan masing yang
telah diberikan. Dirjen berwenang untuk menerbitkan SIUP, SIPI, dan SIKPI
untuk kapal perikanan berukuran di atas 30 GT serta usaha perikanan tangkap
yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Selanjutnya,
gubernur diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP, SIPI, dan SIKPI untuk
kapal perikanan dengan ukuran di atas 10 GT sampai 30 dengan GT serta tidak
menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing dalam pelaksanaan
usahanya. Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh bupati/walikota dalam
bidang usaha perikanan adalah kewenangan untuk menerbitkan SIUP, SIPI, SIKPI
untuk kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan
modal asing dan/atau tenaga kerja asing dalam pelaksanaan usahanya. Namun,
berdasarkan ketentuan Pasal 15 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012, penerbitan
SIUP, SIPI, dan SIKPI tersebut harus tetap mempertimbangkan estimasi potensi
41
Universitas Sumatera Utara
dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP).
C. Pengaturan Penanaman Modal Asing Di Bidang Usaha Perikanan
Bidang usaha perikanan yang terdapat di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 1 PP Nomor 54 Tahun 2002 adalah bidang usaha perikanan
tangkap dan bidang usaha pembudidayaan ikan. Bidang usaha perikanan tangkap
merupakan bidang usaha yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan dan/atau
kegiatan pengangkutan ikan. Kegiatan penangkapan ikan sangat mudah dilakukan
bila berada di Indonesia. Selain dikarenakan oleh luas wilayah lautan yang
mencapai jutaan km2, potensi perikanan yang terdapat dan tersebar di dalamnya
juga begitu melimpah. 71 Oleh karena itu, bidang usaha perikanan tangkap
merupakan salah satu bidang usaha yang sangat potensial diusahakan di
Indonesia.
Keberlimpahan sumber daya perikanan di Indonesia merupakan salah satu
anugerah dari Tuhan yang patut dikelola dan dioptimalkan secara maksimal.
Pengoptimalan potensi sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun
perikanan budidaya yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum akan
berguna untuk meningkatkan pendapatan negara, baik bersumber dari pungutan
pajak maupun dari pungutan non-pajak. 72 Pendapatan negara yang meningkat
71
Wilayah laut Indonesia terdiri dari laut teritorial seluas 0.3 juta km2, perairan nusantara
(kepulauan) seluas 2,8 juta km2, dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2
yang kaya akan sumber daya perikanan.
72
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 48 ayat (1). Namun, ketentuan mengenai
pungutan tersebut tidak berlaku bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil sebagaimana diatur
pada ayat (2) pasal tersebut.
42
Universitas Sumatera Utara
tersebut pada akhirnya juga akan berpengaruh kepada peningkatan kesejahteraan
rakyat melalui kebijakan-kebijakan pembangunan negara.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya
perikanan di wilayah Indonesia, khususnya di bidang perikanan tangkap di laut
belum mampu dilakukan secara optimal dimana potensi perikanan tangkap
sebesar 6,4 juta ton per tahun baru bisa dimanfaatkan sebesar 3,1 juta ton saja per
tahun. 73 Banyak hal yang mempengaruhi jumlah tangkapan ikan tersebut. Salah
satunya adalah keterbatasan sarana dan prasarana pendukung nelayan dalam
menangkap ikan, seperti tidak memiliki modal yang cukup untuk melaut serta
penggunaan kapal penangkap ikan yang berukuran sangat kecil sehingga
penangkapan ikan hanya bisa dilakukan di seputaran bibir pantai hingga beberapa
mil ke arah laut lepas. Kondisi tersebut kemudian diperparah lagi dengan fakta
yang menyebutkan bahwa 36% diantara jumlah nelayan pengguna kapal kecil
tersebut adalah pengguna kapal kecil tidak bermotor. 74
Ketidakmampuan dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi perikanan
tangkap dengan segala hambatan tersebut menyebabkan Indonesia kehilangan
potensi pendapatan negara sebesar triliunan rupiah. 75 Hal tersebut kemudian
diperparah lagi dengan adanya praktik illegal fishing oleh kapal asing di
Indonesia. Kerugian Indonesia semakin bertambah besar termasuk kerugian
terhadap kerusakan ekosistem dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh
praktik illegal fishing tersebut. Kerusakan ekosistem dan lingkungan tempat
sumber daya perikanan melangsungkan kehidupan yang terjadi dalam jangka
73
Supriadi dan Alimuddin, Op.Cit., hlm. 2.
Ibid., hlm. 4-5.
75
Renstra KKP 2010 dalam Djoko Tribawono., Op.Cit., hlm. 150.
74
43
Universitas Sumatera Utara
waktu panjang tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi keberlanjutan hidup
ikan. Apabila keberlanjutan hidup ikan sudah terganggu, maka eksistensi mata
pencaharian ikan oleh nelayan pun akan berpotensi hilang.
Mengacu pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUP bahwa untuk memajukan
pengelolaan ikan, pemerintah dapat melakukan kerjasama internasional dengan
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.
2. Bekerjasama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang
bersifat tertutup atau semi tertutup, dan wilayah kantong.
3. Memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara
bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat
menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.
Ketentuan yang terdapat pada pasal tersebut membuka kesempatan bagi Indonesia
melalui pemerintah untuk melakukan kerjasama dengan negara tetangga atau
negara lain dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan di laut. Ketentuan
tersebut sekaligus membuka peluang bagi negara asing untuk turut serta terlibat
melakukan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia melalui kegiatan
penanaman modal asing.
Pelaksanaan penanaman modal asing di bidang perikanan tidak dilarang
oleh konstitusi Indonesia dimana dalam Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 diterangkan
bahwa perekonomian nasional Indonesia harus dilselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan salah satu prinsipnya, yaitu kemandirian. Prinsip
kemandirian yang dimaksud tidak berarti mengabaikan bantuan dana dan
kerjasama pihak luar, sepanjang dana dari pihak luar tersebut berfungsi sebagai
44
Universitas Sumatera Utara
pelengkap. 76 Penekanan terhadap peluang asing untuk melakukan penanaman
modal di bidang usaha perikanan di Indonesia juga dapat dilihat dari ruang
lingkup berlakunya UUP, yaitu:
1. Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan
badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang melakukan kegiatan
perikanan di WPPRI.
2. Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang
melakukan kegiatan perikanan di WPPRI.
Kehadiran penanaman modal asing, khususnya penanaman modal asing
secara langsung di suatu negara tentu memberikan keuntungan bagi host country.
Terlepas dari pendapat yang pro dan kontra terhadap kehadiran penanaman modal
asing tersebut, secara teoritis dapat dikemukakan bahwa kehadiran penanaman
modal asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier
effect), seperti dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal,
menciptakan demand bagi produk dalam negeri, menambah devisa negara,
menambah penghasilan host country dari sektor pajak, adanya alih teknologi
(transfer of technology) serta alih pengetahuan (transfer of know how) sehingga
dinilai sangat berperan dalam melakukan pembangunan ekonomi, khususnya di
daerah tempat penanaman modal asing tersebut dilaksanakan. 77 Selain itu, peran
penanaman modal asing secara langsung di suatu negara juga membawa manfaat
lain, seperti: 78
1. Meningkatkan pembangunan di kawasan daerah-daerah tertinggal.
76
Sumantoro, Hukum Ekonomi (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 5.
Hendrik Budi Untung, Op.Cit., hlm. 41-42.
78
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit.
77
45
Universitas Sumatera Utara
2. Adanya jaringan pasar internasional investor yang dapat dimanfaatkan.
Manfaat penanaman modal yang akan diperoleh host country sebagaimana
disebutkan di atas senilai dengan motif bisnis yang ingin dilakukan oleh penanam
modal asing itu sendiri, yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagi
penanam modal asing, potensi perikanan tangkap di laut Indonesia sudah sangat
menarik untuk dijadikan basis pelaksanaan penananam modal sebab berpotensi
mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Hal tersebut ditambah lagi dengan
keunggulan-keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia, seperti memiliki
upah buruh yang murah, pasar yang sangat besar, serta lokasi yang sangat
strategis bagi penanaman modal.
Pemerintah Indonesia juga dinilai memiliki upaya sungguh-sungguh untuk
mendorong iklim investasi yang menarik dan kondusif, seperti tidak membatasi
arus dana masuk dan keluar termasuk modal dan keuntungan yang diperoleh
penanam modal asing. 79 Namun dalam praktiknya, paradigma penyelenggaraan
penanaman modal asing yang hanya berorientasi mencari keuntungan sebesarbesarnya tersebut di host country akan melahirkan dua kepentingan, yaitu
kepentingan bisnis oleh penanam modal asing dan kepentingan melindungi
sumber daya perikanan oleh negara penerima modal (host country), seperti
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Ketentuan yang berlaku di Indonesia bagi penanaman modal asing di
bidang usaha perikanan diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUP dimana “Usaha
perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia hanya boleh
79
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hlm. 56.
46
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.” Pasal 29
ayat (2) lebih lanjut mengatur bahwa orang asing atau badan hukum asing tetap
diberi kesempatan untuk melakukan usaha di bidang perikanan tangkap. Namun,
wilayah penangkapan ikan tersebut dibatasi hanya dapat dilakukan di wilayah
ZEEI.
Ketentuan mengenai kewenangan pengelolaan usaha perikanan tangkap
yang diperkenankan melalui PMA dipertegas kembali dalam Lampiran II Perpres
Nomor 39 Tahun 2014 poin 8 pada Bidang Kelautan dan Perikanan yang
menyebutkan bahwa usaha perikanan tangkap yang menggunakan kapal
penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan
ZEEI harus dilakukan dengan perizinan khusus dimana syarat dan ketentuan
tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Peraturan menteri yang dimaksud adalah Permen KP Nomor 30 Tahun
2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia. Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 juga menentukan
lebih lanjut bahwa jenis usaha perikanan tangkap yang diatur di Indonesia adalah
usaha penangkapan ikan, usaha pengangkutan ikan, usaha penangkapan dan
pengangkutan ikan, serta usaha perikanan tangkap terpadu. Usaha perikanan
tangkap yang diperbolehkan bagi penananam modal asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 tersebut adalah usaha perikanan
tangkap terpadu. 80
80
Ramlan. Op.Cit., hlm. 134-135.
47
Universitas Sumatera Utara