Aspek Globalisasi Prinsip Akuntabilitas dalam Penanaman Modal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

(1)

ASPEK GLOBALISASI PRINSIP AKUNTABILITAS DALAM PENANAMAN MODAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR

25 TAHUN 2007

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Siska Nora Pinem NIM : 060200052

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ASPEK GLOBALISASI PRINSIP AKUNTABILITAS DALAM PENANAMAN MODAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR

25 TAHUN 2007

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

SISKA NORA PINEM NIM : 060200052

Disetujui Oleh : Ketua Departemen

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS) NIP. 1962 0421 1988 03 1004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS) (Dr. Idha Aprilyana, SH, M.Hum) NIP. 1962 0421 1988 03 1004 NIP. 1976 0414 2002 12 2003


(3)

ABSTRAK

Liberalisasi dan globalisasi ekonomi sudah melanda seluruh dunia, termasuk dalam investasi asing atau penanaman modal asing. Di era globalisasi ini, penerapan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik serta tata kelola perusahaan yang baik sudah menjadi acuan berbagai pihak dalam memberi layanan publik maupun dalam menjalankan aktivitas bisnis. Adapun prinsip dasar yang terkandung dalam tata pemerintahan dan tata kelola perusahaan yang baik, satu diantaranya adalah akuntabilitas. Penerapan prinsip akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam penanaman modal kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan aspek globalisasi prinsip akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia merupakan permasalahan dalam penelitian ini.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. Sebagaimana umumnya penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini sebagai data primer diperoleh dari bahan-bahan hukum baik yang berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif, ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi ini.

Dalam penerapan prinsip akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip akuntabilitas sebagai salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dengan membuat laporan kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, direksi dan komisaris mempunyai tanggung jawab hukum yang sama dengan direksi atas laporan keuangan yang menyesatkan yang menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum internasional membuat akuntabilitas yang dianggap telah menjadi norma universal diakomodasikan ke dalam hukum nasional. Bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global tersebut, perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya serta kesehatan terlebih-lebih ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga mampu mengikuti perkuliahan dan mengakhiri studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan menyelesaikan penulisan skripsi sebagai tugas akhir penulis. Adapun skripsi ini adalah berjudul “Aspek Globalisasi Prinsip Akuntabilitas dalam Penanaman Modal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007”.

Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis dalam melakukan penelitian hingga proses penyelesaian skripsi, yang dalam hal ini telah pula melibatkan banyak pihak yang memberi bantuan moril dan materiil serta berbagi kemudahan fasilitas bahkan doa yang tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin, S.H, M.Hum, DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Husni, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, M.S., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I penulis yang banyak membantu penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

7. Ibu Maria Kaban, SH, M.Hum selaku Dosen Wali penulis. Terima kasih karena telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.

8. Seluruh Dosen dan Staf di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Terkhusus buat Almarhum kedua orangtua penulis tercinta, Alm. Neken Pinem, SH dan Almh. Ngalam Ginting, Amd yang telah memberi pengaruh besar terhadap hidup penulis. Terima kasih karena telah menjadi orangtua terhebat bagi penulis. Segala kebaikan, doa, perhatian dan kasih sayang yang pernah penulis terima akan penulis kenang sepanjang masa kehidupan penulis. 10.Buat kakak dan adik penulis yang tercinta, Lina dan Putri. Terima kasih

karena selalu memberi dukungan, perhatian dan kasih sayang kepada penulis. Semoga Tuhan senantiasa menyertai kita semua.

11.Buat saudara-saudara penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih karena telah merawat dan menjaga penulis beserta kakak dan adik penulis sepeninggalnya orangtua kami. Semoga Tuhan membalas jasa kalian.


(6)

12.Buat teman-teman terdekat serta sahabat-sahabat penulis, Imelda Situmorang, Jhon Hendrik Hsb, Karina Sinaga, Helen Sipahutar dan Lucy Napitupulu. Terima kasih karena telah banyak memberikan dukungan kepada penulis. 13.Buat seluruh teman-teman stambuk 2006 yang tidak dapat disebutkan satu per

satu. Terima kasih karena telah memberi warna dalam kehidupan penulis. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun diterima dengan tangan terbuka demi kebaikan dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi yang membacanya.

Medan, 2010 Penulis,

SISKA NORA PINEM NIM : 060200052


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ……….. ...1

A. Latar Belakang ………... ...1

B. Perumusan Masalah ……… ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. ...10

D. Keaslian Penulisan ……… ...11

E. Tinjauan Kepustakaan ……… ...11

F. Metode Penelitian ……… ...13

G. Sistematika Penulisan ……… ...15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG AKUNTABILITAS DAN GLOBALISASI ……… ...17

A. Pengertian Akuntabilitas ……… ...17

B. Bentuk-Bentuk Akuntabilitas ……… ...20

C. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas di Indonesia ……… ...24

D. Pengertian Globalisasi ……… ...31

E. Prinsip-Prinsip Globalisasi Hukum dan Bisnis ……… ...32

BAB III : PENANAMAN MODAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 ……… ...38


(8)

A. Pengertian Penanaman Modal ………... ...38

B. Asas dan Tujuan dalam Penanaman Modal ……… ...41

C. Perlakuan terhadap Penanam Modal ……… ...43

D. Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Penanam Modal …… ...46

E. Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal ……… ...48

BAB IV : ASPEK GLOBALISASI DALAM PENERAPAN PRINSIP AKUNTABILITAS PENANAMAN MODAL ……….. 51

A. Penerapan Prinsip Akuntabilitas Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal …………... 51

B. Pelaksanaan Prinsip Akuntabilitas dalam Penanaman Modal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ………..53

C. Aspek Globalisasi Prinsip Akuntabilitas dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia ……… ...60

BAB V : PENUTUP ... 63

A. Kesimpulan ……… ...63

B. Saran ………... 66


(9)

ABSTRAK

Liberalisasi dan globalisasi ekonomi sudah melanda seluruh dunia, termasuk dalam investasi asing atau penanaman modal asing. Di era globalisasi ini, penerapan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik serta tata kelola perusahaan yang baik sudah menjadi acuan berbagai pihak dalam memberi layanan publik maupun dalam menjalankan aktivitas bisnis. Adapun prinsip dasar yang terkandung dalam tata pemerintahan dan tata kelola perusahaan yang baik, satu diantaranya adalah akuntabilitas. Penerapan prinsip akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam penanaman modal kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan aspek globalisasi prinsip akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia merupakan permasalahan dalam penelitian ini.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. Sebagaimana umumnya penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini sebagai data primer diperoleh dari bahan-bahan hukum baik yang berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif, ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi ini.

Dalam penerapan prinsip akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip akuntabilitas sebagai salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dengan membuat laporan kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, direksi dan komisaris mempunyai tanggung jawab hukum yang sama dengan direksi atas laporan keuangan yang menyesatkan yang menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum internasional membuat akuntabilitas yang dianggap telah menjadi norma universal diakomodasikan ke dalam hukum nasional. Bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global tersebut, perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Liberalisasi dan globalisasi ekonomi sudah melanda seluruh dunia, termasuk dalam investasi asing atau penanaman modal asing. Liberalisasi dibidang penanaman modal asing mengalir seperti air mengikuti arus membidik atau mencari daerah sasaran yang paling menguntungkan. Globalisasi ekonomi dunia telah meniadakan sekat-sekat batas hubungan ekonomi internasional negara menjadi tanpa batas (boarderless).1

“Meningkatnya perekonomian di banyak negara ini, sebagai akibatnya adalah interdepedensi pada akhirnya menciptakan derajat keterbukaan ekonomi yang semakin tinggi di dunia, yang terlihat bukan hanya pada Dampak yang sangat terasa dengan terjadinya globalisasi yakni arus informasi begitu cepat sampai di tangan masyarakat. Jadi tidaklah mengherankan, jika berbagai pihak khususnya di kalangan pebisnis berlomba memburu informasi, sebab siapa yang mampu menguasai informasi dengan cepat, maka dialah yang terdepan. Demikian juga halnya dengan arus transportasi dari satu negara ke negara lain dapat begitu cepat dan mudah diakses oleh masyarakat. Hal ini semua tentu berkat dukungan teknologi yang terus digunakan dan dikembangkan oleh para ahlinya. Dengan semakin dekatnya batas negara antara satu negara dengan negara lain peluang untuk berinvestasi, terlebih lagi hampir semua negara dewasa ini sudah membuka diri bagi investor asing sangat terbuka luas. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika pakar ekonomi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengemukakan:

1

Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal Indonesia dalam Menghadapi Era


(11)

arus peningkatan barang tapi juga pada arus jasa serta arus uang dan modal. Pada gilirannya arus investasi di dunia semakin mengikuti perkembangan keterbukaan ini, sehingga dewasa ini peningkayan arus investasi itulah yang memacu arus perdagangan di dunia.”2

Untuk itu, cukup beralasan jika setiap negara saling bersaing untuk menarik calon investor khususnya investor asing (Foreign Direct Investment/FDI) untuk menanamkan modal di negaranya. Dalam suasana seperti ini peluang yang begitu terbuka di era globalisasi agaknya perlu disikapi secara positif. Namun apapun alasannya, terjadinya globalisasi dalam berbagai hal termasuk dalam penanaman modal suatu hal yang sulit dihindari. Satu hal yang pasti bahwa transformasi, penetrasi, modernisasi dan investasi merupakan bagian dari banyak hal yang akan memberi ciri sebuah dunia global yang tidak lagi mengenal batas-batas teritorial. Dalam suasana seperti ini penting untuk disadari bahwa memasuki arena pasar global, tentunya harus disertai persiapan yang matang dan terintegrasi terlebih lagi jika ingin mengundang investor asing.3

“kebijakan Pemerintah RI dalam menghadapi modal asing menunjukkan suatu keinginan untuk memberikan proporsi yang wajar sebagai potensi

Kehadiran investor asing dalam suatu negara yang berdaulat memang dapat menimbulkan berbagai pendapat dengan argumentasi masing-masing. Pendapat tersebut antara lain ada yang mengemukakan, kehadiran investor asing dapat mengancam industri dalam negeri sendiri dan bahkan mungkin mengancam kedaulatan negara. Permasalahan semacam ini, bukannya tidak disadari oleh negara penerima modal (host country). Perhatikan misalnya apa yang dikemukakan oleh B. Napitupulu :

2

Yanto Bashri (ed), “Mau Kemana Pembangunan Ekonomi Indonesia”. Prisma

Pemikiran Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Jakarta: Predna Media, 2003, hal. 12-13.

3

Freddy Roeroe, dkk., Batam Komitmen Setengah Hati. Jakarta: Aksara Karunia, 2003, hal. 108.


(12)

ekonomi negara-negara asing melalui sistem seleksi dan pengarahan yang adequate dengan kedaulatan tungal yang dimiliki.”4

“Salah satu kritik terhadap globalisasi adalah meningkatnya ketergantungan antara ekonomi global, kekuatan ekonomi yang menggantikan dominasi pemerintah dan memfokuskan kearah organisasi perdagangan bebas (WTO). Ketika dunia ini menjadi satu pasar berakibat pada semakin kuatnya interdepedensi atau ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya yang sama-sama mempunyai kedaulatan nasional. Jadi, yang sebenarnya terjadi bukanlah satu negara tergantung pada negara lainnya melainkan suatu situasi dan kondisi di mana semuanya saling memerlukan untuk mempertahankan keseimbangan politis, ekonomis dan tentu pula dalam rangka pemenuhan kepentingan masing-masing negara.”

Pendapat senada diungkapkan oleh Rusdin :

5

Penanaman modal berkembang sejalan dengan kebutuhan suatu negara dalam melaksanakan pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Selain itu kegiatan penanaman modal juga terjadi sebagai konsekuensi dari berkembangnya kegiatan ekonomi dan perdagangan.6

Setelah menanti cukup lama akhirnya ketentuan investasi yang selama empat puluh tahun diatur dalam dua undang-undang yakni pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan yang

kedua, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN), dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Undang-undang penanaman modal

Penanaman modal tidak saja merupakan kebutuhan penting bagi suatu negara dalam pengembangan pembangunan ekonomi, namun juga merupakan sarana utama dalam pengembangan suatu industri.

4

B. Napitupulu, Joint Ventures di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1975, hal. 30.

5

Rusdin, Bisnis Internasional dalam Pendekatan Praktik. Jilid 1. Bandung: Alfabeta, 2002, hal. 34.

6


(13)

dinyatakan berlaku sejak diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 67 pada tanggal 26 April 2007.

Hal yang menarik dalam UUPM adalah dicantumkannya sejumlah asas yang menjiwai norma yang ada dalam undang-undang penanaman modal. Tampaknya pembentuk undang-undang berupaya untuk menangkap nilai-nilai yang hidup dalam tatanan pergaulan masyarakat baik di tingkat nasional maupun di dunia internasional. Artinya dengan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum internasional, maka berbagai nilai yang dianggap telah menjadi norma universal diakomodasikan ke dalam hukum nasional, satu diantaranya adalah akuntabilitas.7

7

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi. Bandung: Nuansa Aulia, 2007, hal. 202.

Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good corporate

governance berkaitan dengan pertanggungjawaban pimpinan atas keputusan dan

hasil yang dicapai, sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab mengelola organisasi. Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan sistem kontrol yang efektif berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi dan komisaris.

Prinsip akuntabilitas menuntut 2 (dua) hal, yaitu : 1) kemampuan menjawab dan 2) konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang bermula dari

responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk

menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah digunakan dan apa yang telah tercapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.


(14)

Makna atau pengertian akuntabilitas dilihat dari aspek manajemen pemerintah adalah sebagai berikut :

Menurut Mardiasmo, mengemukakan bahwa :

“Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.”8

“Akuntabilitas adalah perwujudan kewajiban-kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan atas pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan, melalui suatu media pertanggungjawaban secara periodik.” Sedangkan menurut Tim Studi Akuntansi Keuangan Pemerintah BPKP seperti yang dikutip Rosjidi, makna akuntabilitas adalah sebagai berikut :

9

Aspek yang terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah bahwa publik mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka beri kepercayaan. Media pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi

Kewajiban-kewajiban dimaksud, terutama dengan aktivitas birokrasi dalam memberikan pelayanan sebagai kontra prestasi atas hak-haknya yang telah dipungut langsung maupun tidak langsung dari masyarakat. Hal ini berarti menyangkut kelayakan atau ketidaklayakan keberhasilan atau kegagalan kinerja di bidang pelayanan publik yang merupakan aktivitas utama. Karena itu, perlu pertanggungjawaban melalui media yang disusun berdasarkan standar yang telah ditetapkan, selanjutnya dikomunikasikan kepada pihak internal ataupun eksternal (publik) sebagai keharusan hukum bukan semata-mata karena kesukarelaan.

8

Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta : Andi, 2002, hal. 20.

9

Rosjidi, Akuntansi Sektor Publik Pemerintah. Kerangka, Standar dan Metode, Puslitbangwas BPKP, 2001, hal. 144.


(15)

mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan penting dan dalam suasana yang transparan dan demokrasi serta kebebasan dalam mengemukakan pendapat.

Akuntabilitas sebagai salah satu prasyarat dari penyelenggaraan negara yang baru, didasarkan pada konsep organisasi dalam manajemen, yang menyangkut :

1. Luas kewenangan dan rentang kendali (spand of control) organisasi.

2. Faktor-faktor yang dapat dikendalikan (controllable) pada level manajemen atau tingkat kekuasaan tertentu.

Pengendalian sebagai bagian penting dari masyarakat yang baik saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa pengendalian tidak dapat berjalan dengan efesien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik, demikian pula sebaliknya.

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Sumber daya ini merupakan masukan bagi individu maupun unit organisasi yang seharusnya dapat diukur dan diidentifikasikan secara jelas.

Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari karyawan


(16)

organisasi sehingga tercapai kelancaran dan keterpautan dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Kebijakan liberalisasi perdagangan (dan investasi) juga dilihat sebagai cara untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Peningkatan daya saing suatu ekonomi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Ada pemikiran yang mengatakan bahwa sebenarnya peningkatan daya saing terutama merupakan tantangan bagi masing-masing perusahaan dan upaya yang dilakukan haruslah pada tingkat perusahaan. Kerjasama internasional, misalnya dengan membentuk suatu aliansi strategis (strategic alliance), merupakan salah satu cara yang kini banyak dilakukan terutama antara perusahaan-perusahaan negara maju. Tetapi berbagai bentuk kerjasama internasonal juga dapat dilakukan pada tingkat negara (ekonomi) untuk meningkatkan daya saing, artinya meningkatkan kemampuan penetrasi pasar. Pembentukan kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area/

FTA) seringkali dilihat sebagai upaya untuk saling meningkatkan akses pasar di

antara pesertanya.10

Di lain pihak, dengan semakin terbukanya arus komunikasi maka hubungan antarnegara pun semakin dipererat melalui perjanjian internasional, baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional, seperti United

Nations, World Bank yang melahirkan berbagai konvensi, baik yang berkaitan

langsung dengan dunia bisnis maupun tidak langsung dengan dunia bisnis. Selain itu bisa juga terjadi, para pemimpin negara tersebut melahirkan berbagai kesepakatan baik yang bersifat bilateral maupun multilateral dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di negara tersebut. Salah satu

10

Hadi Susastro, Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi,


(17)

perjanjian yang cukup membawa pengaruh dalam dunia bisnis dalam dekade terakhir ini adalah didirikannya organisasi perdagangan dunia atau yang lebih dikenal dengan World Trade Organization (WTO), di Marakesh (Maroko) pada tahun 1994. Hasil kesepakatan ini tentu membawa dampak juga dalam bidang bisnis yakni dengan munculnya era liberalisasi perdagangan atau era perdagangan bebas (free trade).

Akibat yang muncul dari adanya era liberalisasi perdagangan adalah para pemilik modal akan mendapatkan berbagai kemudahan atau minimal tidak ada lagi perbedaan perlakuan sesama pebisnis yang berada di bawah payung anggota WTO dalam menjalankan bisnisnya di berbagai tempat yang dikehendaki oleh pebisnis tersebut. Untuk itu, berbagai negara pun mencoba menangkap peluang ini dengan menciptakan iklim bisnis yang kondusif khususnya di bidang investasi di negaranya secara sungguh-sungguh. Langkah yang ditempuh dalam menciptakan kondisi investasi yang kondusif yakni dengan mengadopsi kaedah-kaedah yang lahir dalam lalu lintas pergaulan internasional. Dengan cara ini, diharapkan ada standar minimum yang dapat dijadikan pegangan bahwa ketentuan investasi di negara tersebut mempunyai kualifikasi internasional. Sebagaimana yang dikemukakan oleh C.F.G. Sunaryati Hartono, sebagai akibat globalisasi dan peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional akan juga dituangkan ke dalam perundang-undangan nasional. Terutama kaedah-kaedah hukum yang bersifat transnasional, lebih cepat akan diterima sebagai Hukum Nasional, karena


(18)

kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional dan global.11

Begitu juga halnya dengan undang-undang penanaman modal, dimana konsep akuntabilitas secara global pada prinsipnya telah dilaksanakan secara bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Dukungan peraturan-peraturan yang berhubungan langsung dengan keharusan penerapan akuntabilitas di setiap instansi pemerintah menunjukan keseriusan pemerintah dalam upaya melakukan reformasi birokrasi. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam implementasi akuntabilitas seperti masih rendahnya kesejahteraan pegawai, faktor budaya, dan lemahnya penerapan hukum di Indonesia.12

B. Perumusan Masalah

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk Skripsi dengan judul “Aspek Globalisasi Prinsip Akuntabilitas dalam Penanaman Modal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007”.

Permasalahan merupakan kenyataan yang dihadapi dalam proses penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal yang diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penerapan prinsip akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal?

2. Bagaimana pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam penanaman modal kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?

11

C.F.G. Sunaryati Hartono, Sistem Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1991, hal. 74.

12

R.A. Supriyono, Akuntansi Biaya : Perncanaan dan Pengendalian Biaya serta


(19)

3. Bagaimana aspek globalisasi prinsip akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui penerapan prinsip akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam penanaman modal kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

c. Untuk mengetahui aspek globalisasi prinsip akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah : a. Secara Teoretis

Penulisan skripsi ini diharapkan berguna untuk mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya di bidang hukum perdata BW.

b. Secara Praktis

1) Agar masyarakat mengetahui tentang prinsip akuntabilitas dalam penanaman modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.


(20)

2) Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang aspek globalisasi prinsip akuntabilitas dalam penanaman modal di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah aspek globalisasi prinsip akuntabilitas dalam penanaman modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama sehingga tulisan ini asli atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Akuntabilitas sebagai salah satu asas dalam penanaman modal mengandung pengertian bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.13

Accountability menurut Oxford Advance Learner's Dictionary14 adalah

required or expected to give an explanation for one's action. Sementara menurut

Kamus Inggris Indonesia oleh John M. Echols dan Hassan Shadly,15

13

Pasal 3 ayat (1) UUPM beserta penjelasannya.

14

Manser, Martin H, Oxford Advance Learner's Dictionary, Oxford University Press, 1989.

15

John M. Echols dan Hassan Shadly, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia,

Indonesia-Inggris, PT Gramedia Jakarta, cetakan XIV, 1986.


(21)

dimintai pertanggungjawaban. Dapat dipahami bahwa dalam akuntabilitas terkandung kewajiban seseorang atau organisasi untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasan. Dalam hal ini terminologi akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian tindakan pada pencapaian tujuan.

Akuntabilitas ditujukan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan berhubungan dengan pelayanan apa, oleh siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Dengan demikian pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain : apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan dan sebagainya. Konsep pelayanan ini dalam akuntabilitas belum memadai, oleh karena itu harus diikuti dengan jiwa intrepreneurship pada pihak-pihak yang melaksanakan akuntabilitas.

Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan

accoutability yang diartikan sebagai yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun

demikian pengertian accountable tidak dapat disamakan dengan responsibilitas walaupun seringkali diartikan sama, padahal maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan birokrasi,


(22)

suatu kebijakan. Sedangkan accountability merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.16

1. kemampuan menjawab (answerability), dan

Akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini. Prinsip ini menuntut dua hal yaitu :

2. konsekuensi (consequences).

Komponen pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.

Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (check and balance system). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR).17

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

16

Abdul Halim, Dasar-dasar Akuntabilitas, Edisi 4, FE-UGM, Yogyakarta, 2001, hal 12.

17

Miriam Budiardjo, Peran Akuntabilitas dalam Pemerintahan. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2004, hal. 64.


(23)

Dalam penulisan Skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui penelitian kepustakaan (library research)18

3. Data dan Sumber Data

Sebagaimana umumnya penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini sebagai data primer diperoleh dari bahan-bahan hukum baik yang berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan;

b. bahan hukum sekunder berupa buku-buku, artikel, koran, dan majalah serta bahan hukum tertier, seperti kamus yang relevan dengan skripsi ini

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif, ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi ini.

18

Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 24.


(24)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, dan untuk mempermudah dalam memaparkan materi dalam skripsi ini, dapat digambarkan sebagai berikut, yaitu :

BAB I : Pendahuluan, dimana bab ini merupakan gambaran umum yang

berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum tentang Akuntabilitas dan Globalisasi. Dimana

dalam bab ini berisi tentang pengertian akuntabilitas, bentuk-bentuk akuntabilitas, prinsip-prinsip akuntabilitas di Indonesia, pengertian globalisasi, dan prinsip-prinsip globalisasi hukum dan bisnis.

BAB III : Penanaman Modal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2007. Bab ini berisikan tentang pengertian penanaman modal, asas-asas penanaman modal, tujuan penanaman modal, perlakuan terhadap penanaman modal, hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal dan pelaksanaan kebijakan penanaman modal.

BAB IV : Aspek Globalisasi Prinsip Akuntabilitas dalam Penanaman Modal.

Bab ini berisi tentang bagaimana penerapan prinsip akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bagaimana pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam penanaman modal kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan bagaimana


(25)

aspek globalisasi prinsip akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia.

BAB V : Penutup. Merupakan bab yang berisikan kesimpulan dari seluruh

rangkaian bab-bab sebelumnya, yang dilengkapi dengan saran-saran.


(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKUNTABILITAS DAN GLOBALISASI

A. Pengertian Akuntabilitas

Istilah akuntabilitas berasal dari istilah dalam bahasa Inggris

accountability yang berarti pertanggunganjawab atau keadaan untuk

dipertanggungjawabkan atau keadaan untuk diminta pertanggunganjawab.19

Akuntabilitas (accountability) yaitu berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan, sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing.20

Pengertian akuntabilitas ini memberikan suatu petunjuk sasaran pada hampir semua reformasi sektor publik dan mendorong pada munculnya tekanan untuk pelaku kunci yang terlibat untuk bertanggungjawab dan untuk menjamin kinerja pelayanan publik yang baik. Prinsip akuntabilitas adalah merupakan pelaksanaan pertanggungjawaban dimana dalam kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang terkait harus mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan

Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.

19

Peter Salim, The Contempory English-Indonesia Dictionary, Jakarta: Modern English Press, Edisi Ketiga-1987, hal. 16.

20

Suherman Toha, Penelitian Masalah Hukum tentang Penerapan Good Coorporate

Governance Pada Dunia Usaha. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak


(27)

kewenangan yang diberikan di bidang tugasnya. Prinsip akuntabilitas terutama berkaitan erat dengan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan atau program yang telah ditetapkan itu.

Pengertian akuntabilitas menurut Lawton dan Rose dapat dikatakan sebagai sebuah proses dimana seorang atau sekelompok orang yang diperlukan untuk membuat laporan aktivitas mereka dan dengan cara yang mereka sudah atau belum ketahui untuk melaksanakan pekerjaan mereka.21

Aspek yang terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah bahwa publik mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka beri kepercayaan. Media pertanggungjawaban dalam konsep Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good corporate governance berkaitan dengan pertanggungjawaban pimpinan atas keputusan dan hasil yang dicapai, sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab mengelola organisasi. Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan sistem kontrol yang efektif berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi dan komisaris.

Prinsip akuntabilitas menuntut 2 (dua) hal, yaitu : 1) kemampuan menjawab dan 2) konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang bermula dari

responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk

menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah digunakan dan apa yang telah tercapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.

21

Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), Memahami Good

Government Governance dan Good Coorporate Governance, Yogyakarta : Penerbit YPAPI,


(28)

akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan.

Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan penting dan dalam suasana yang transparan dan demokrasi serta kebebasan dalam mengemukakan pendapat.

Akuntabilitas, sebagai salah satu prasyarat dari penyelenggaraan negara yang baru, didasarkan pada konsep organisasi dalam manajemen, yang menyangkut :

1. Luas kewenangan dan rentang kendali (spand of control) organisasi.

2. Faktor-faktor yang dapat dikendalikan (controllable) pada level manajemen atau tingkat kekuasaan tertentu.

Pengendalian sebagai bagian penting dari masyarakat yang baik saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa pengendalian tidak dapat berjalan dengan efesien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik, demikian pula sebaliknya.

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Sumber daya ini merupakan masukan bagi individu maupun unit organisasi yang seharusnya dapat diukur dan diidentifikasikan secara jelas.


(29)

Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari karyawan organisasi sehingga tercapai kelancaran dan keterpautan dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

B. Bentuk Akuntabilitas

Akuntabilitas dibedakan menjadi beberapa tipe, diantaranya menurut Rosjidi jenis akuntabilitas dikategorikan menjadi dua tipe yaitu :22

1. Akuntabilitas Internal.

Berlaku bagi setiap tingkatan organisasi internal penyelenggara pemerintah negara termasuk pemerintah dimana setiap pejabat atau pengurus publik baik individu maupun kelompok secara hierarki berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada atasannya langsung mengenai perkembangan kinerja kegiatannya secara periodik maupun sewaktu-waktu bila dipandang perlu. Keharusan dari akuntabilitas internal pemerintah tersebut telah diamanatkan dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Instansi Pemerintah (AKIP).

2. Akuntabilitas Eksternal.

Melekat pada setiap lembaga negara sebagai suatu organisasi untuk mempertanggungjawabkan semua amanat yang telah diterima dan dilaksanakan ataupun perkembangannya untuk dikomunikasikan kepada pihak eksternal lingkungannya.

22


(30)

Ellwood menjelaskan bahwa terdapat empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik (badan hukum), yaitu :23

1. Akuntabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum.

Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan

(abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan

adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik.

2. Akuntabilitas Proses.

Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang telah digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen dan prosedur administrasi. Akuntabilitas proses termanifestasikan melalui pemberian pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah biaya.

3. Akuntabilitas Program.

Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak dan apakah telah mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal.

4. Akuntabilitas Kebijakan.

Akuntabilitas kebijakan terkait dengan petanggungjawaban pembina, pengurus dan pengawas atas kebijakan-kebijakan yang diambil.

Dalam sektor publik, dikenal beberapa bentuk dari akuntabilitas, yaitu :

23

Hamid, Abidin, Pirac. “Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan” Diskusi Publik,


(31)

1. Akuntabitas ke atas (upward accountability), menunjukkan adanya kewajiban untuk melaporkan dari pimpinan puncak dalam bagian tertentu kepada pimpinan eksekutif, seperti seorang dirjen kepada menteri.

2. Akuntabilitas keluar (outward accountability), bahwa tugas pimpinan untuk melaporkan, mengkonsultasikan dan menanggapi kelompok-kelompok klien dan stakeholders dalam masyarakat.

3. Akuntabilitas ke bawah (downward accountability), menunjukkan bahwa setiap pimpinan dalam berbagai tingkatan harus selalu mengkomunikasikan dan mensosialisasikan berbagai kebijakan kepada bawahannya karena sebagus apapun suatu kebijakan hanya akan berhasil manakala dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh pegawai.24

Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang seperti dikutip Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) membedakan akuntabilitas dalam tiga macam akuntabilitas, yaitu :25

1. Akuntabilitas Keuangan

Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sasarannya adalah laporan keuangan yang mencakup penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran keuangan instansi pemerintah. Komponen pembentuk akuntabilitas keuangan terdiri atas :

a. Integritas Keuangan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas berarti kejujuran, keterpaduan, kebulatan dan keutuhan. Dengan kata lain, integritas

24

Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), Op.cit, hal 70.

25


(32)

keuanagn mencerminkan kejujuran penyajian. Agar laporan keuangan dapat diandalkan informasi yang terkandung didalamnya harus menggambarkan secara jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan.

b. Pengungkapan.

Konsep pengungkapan mewajibkan agar laporan keuangan didesain dan disajikan sebagai kumpulan gambaran atau kenyataan dari kejadian ekonomi yang mempengaruhi instansi pemerintahan untuk suatu periode dan berisi cukup informasi.

c. Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan.

Akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah haruis menunjukkan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan akuntansi pemerintahan. Apabila terdapat pertentangan antara standar akuntansi keuangan pemerintah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Akuntabilitas Manfaat

Akuntabilitas manfaat pada dasarnya memberi perhatian pada hasil-hasil dari kegiatan pemerintahan. Hasil kegiatannya terfokus pada efektivitas, tidak sekedar kepatuhan terhadap prosedur. Bukan hanya output, tapi sampai

outcome. Outcome adalah dampak suatu program atau kegiatan terhadap

masyarakat. Outcome lebih tinggi nilainya daripada output, karena output hanya mengukur dari hasil tanpa mengukur dampaknya terhadap masyarakat,


(33)

sedangkan outcome mengukur output dan dampak yang dihasilkan. Pengukuran outcome memiliki dua peran yaitu restopektif dan prospektif. Peran restopektif terkait dengan penilaian kinerja masa lalu, sedangkan peran prospektif terkait dengan perencanaan kinerja di masa yang akan datang. 3. Akuntabilitas Prosedural

Akuntabilitas yang memfokuskan kepada informasi mengenai tingkat kesejahteraan sosial. Diperlukan etika dan moral yang tinggi serta dampak positif pada kondisi sosial masyarakat. Akuntabilitas prosedural yaitu merupakan pertanggungjawaban mengenai aspek suatu penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan yang mempertimbangkan masalah moral, etika, kepastian hukum dan ketaatan pada keputusan politik untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah ditetapkan.

C. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas di Indonesia

Dalam pelaksanaan akuntabilitas dalam lingkungan pemeriintah, perlu memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas, seperti dikutip LAN dan BPKP yaitu sebagai berikut :26

1. Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan nisi agar akuntabel.

2. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

26


(34)

4. Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh.

5. Harus jujur, objektif, transparan dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas.

Selain prinsip-prinsip tersebut, akuntabilitas kinerja harus juga menyajikan penjelasan tentang deviasi antara realisasi kegiatan dengan rencana serta keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan akuntabilitas ini, diperlukan pula perhatian dan komitmen yang kuat dari atasan langsung instansi memberikan akuntabilitasnya, lembaga perwakilan dan lembaga pengawasan, untuk mengevaluasi akuntabilitas kinerja instansi yang bersangkutan.

Dalam penyelenggaraan akuntabilitas instansi pemerintah, perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :27

1. Harus ada komitmen yang kuat dari pimpinan dan seluruh staf.

2. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin kegunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran.

4. Harus berorientasi kepada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh.

27

Winarno Surakhmad. Metode dan Tekhnik Akuntabilitas, Bandung: Tarsito, 1994, hal. 46.


(35)

5. Harus jujur, obyektif, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas.

Manajemen suatu organisasi dapat dikatakan sudah akuntabel apabila dalam pelaksanaan kegiatannya telah :

1. Menentukan tujuan (goal) yang tepat.

2. Mengembangkan standar yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan (goal) tersebut.

3. Secara efektif mempromosikan penerapan pemakaian standar. 4. Mengembangkan standar dan operasi secara ekonomi dan efesien.

Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai dalam suatu kerangka waktu (time frame) tertentu dalam upaya untuk menentukan tercapai atau tidak tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, perlu dibuat suatu standar mengenai tingkat pencapaian yang dikehendaki. Ini berarti diperlukan suatu tolak ukur untuk menentukan sejauh mana kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan yang ditetapkan sejak awal.

Agar dapat berfungsi dengan baik, dalam menerapkan suatu sistem akuntabilitas, perlu diterapkan :

1. Pernyataan yang jelas mengenai tujuan dari sasaran dari kebijakan dan program.

Hal terpenting dalam membentuk suatu sistem akuntabilitas adalah mengembangkan suatu pernyataan tujuan dengan cara yang konsisten. Pada dasarnya, tujuan dari suatu kebijakan dan program dapat dinilai, akan tetapi kebanyakan dari pernyataan tujuan yang dibuat terlalu luas, sehingga


(36)

mengakibatkan kesulitan dalam pengukurannya. Untuk itu diperlukan suatu pernyataan yang realistis dan dapat diukur.

2. Pola pengukuran tujuan.

Setelah tujuan dibuat dan hasil dapat diidentifikasikan, perlu ditetapkan suatu indikator kemajuan dengan mengarah pada pola pencapaian tujuan dan hasil. Ini adalah tugas yang paling kritis dan sangat sulit dalam menyusun suatu sistem akuntabilitas. Memilih indikator untuk mengukur suatu arah kemajuan pencapaian tujuan kebijakan dan sasaran program membutuhkan cara-cara dan metode tertentu agar indikator terpilih dan mencapai hal yang dibagikan oleh pembuat kebijakan.

3. Pengakomodasian sistem insentif.

Pengakomodasian sistem yang insentif merupakan suatu sistem yang perlu disertakan dalam sistem akuntabilitas. Penerapan sistem insentif harus dilakukan denga hati-hati. Adakalanya sistem insentif akan mengakibatkan hasil yang berlawanan dengan yang direncanakan.

4. Pelaporan dan penggunaan data.

Suatu sistem akuntabilitas kinerja akan dapat menghasilkan data yang cukup banyak. Informasi yang dihasilkan tidak akan berguna kecuali dirancang dengan hati-hati, dalam arti informasi yang disajikan benar-benar berguna bagi pimpinan, pembuat keputusan, manajer-manajer program dan masyarakat. Bentuk dan isi laporan harus dipertimbangkan sedemikian rupa, ini merupakan pedoman pelaporan informasi dalam suatu sistem akuntabilitas. 5. Pengembangan kebijakan dan manajemen program yang dikoordinasikan


(37)

Pengembangan sistem akuntabilitas harus dilakukan dengan cara yang terkoordinasikan, tidak secara independen program demi program.

Akuntabilitas juga menyajikan deviasi (selisih, penyimpangan) antara realisasi kegiatan dengan rencana dan keberhasilan/kegagalan pencapaian sasaran. Berdasarkan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang ditetapkan oleh Kepala Lembaga Administrasi Negara, pelaksanaan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) harus berdasarkan antara lain pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang bersangkutan. 2. Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber

daya secara konsisten dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 3. Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan

Berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang diperoleh.

4. Jujur, objektif, transparan, dan akurat.

5. Menyajikan keberhasilan/kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, agar pelaksanaan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah lebih efektif, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari organisasi yang mempunyai wewenang dan bertanggung jawab di bidang pengawasan dan penilaian terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Di Indonesia, kewajiban instansi pemerintah untuk menerapkan sistem akuntabilitas kinerja berlandaskan pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7


(38)

Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara periodik.

Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan suatu tatanan, instrumen dan metode pertanggungjawaban yang intinya meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Penetapan perencanaan strategi; 2. Pengukuran kinerja;

3. Pelaporan kinerja;

4. Pemanfaatan informasi kinerja bagi perbaikan kinerja secara berkesinambungan.

Siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat digambarkan sebagai berikut :


(39)

Siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah seperti terlihat pada gambar 1 di atas dimulai dari penyusunan perencanaan strategi (renstra) yang meliputi penyusunan visi, misi, tujuan dan sasaran serta menetapkan strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Perencanaan strategi ini kemudian dijabarkan dalam perencanaan kinerja tahunan yang dibuat setiap tahun. Rencana kinerja ini mengungkapkan seluruh target kinerja yang ingin dicapai (output/outcome) dari seluruh sasaran strategi dalam tahun yang bersangkutan serta strategi untuk mencapainya. Rencana kinerja ini merupakan tolok ukur yang akan digunakan dalam penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan untuk suatu periode tertentu. Setelah rencana kinerja ditetapkan, tahap selanjutnya adalah pengukuran kinerja. Dalam melaksanakan kegiatan, dilakukan pengumpulan dan pencatatan data kinerja. Data kinerja tersebut merupakan capaian kinerja yang dinyatakan dalam satuan indikator kinerja.

Dengan diperlukannya data kinerja yang akan digunakan untuk pengukuran kinerja, maka instansi pemerintah perlu mengembangkan sistem pengumpulan data kinerja, yaitu tatanan, instrumen, dan metode pengumpulan data kinerja. Pada akhir suatu periode, capaian kinerja tersebut dilaporkan kepada pihak yang berkepentingan atau yang meminta dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Tahap terakhir, informasi yang termuat dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi perbaikan kinerja instansi secara berkesinambungan.


(40)

D. Pengertian Globalisasi

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah

universal. Achmad Suparman menyatakan

mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses bangsa da kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas

geografis,28

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang

diusung oleh negara-negara

pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah globalisasi pada tahun 1985.29

Globalisasi sebagai proses-proses politik meski mengakui keberadaan dorongan- dorongan ekonomi di balik dinamika globalisasi menganggap bahwa ia

28

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Globalisasi&action=edit

29


(41)

bukan semata-mata persoalan ekonomi. Lebih lanjut globalisasi lebih merupakan proses-proses politik yakni proses di mana struktur kebijakan domestik menjadi semakin terhubungkan dengan proses-proses transgovernmental dan transnasional. Berbagai proses kerjasama antar pemerintah (intergovernmental) mulai dari perjanjian dagang hingga negosiasi lingkungan beserta jaringan advokasi dan kelompok kepentingan yang transnasional saling jalin-menjalin dengan politik domestik.

Akhirnya, apa pun pengidentifikasian terhadap eksis tidaknya pengaruh-pengaruh globalisasi terhadap suatu kasus transformasi domestik setidaknya harus pula memuat pertama, pengaruh-pengaruh interkoneksitas pasar terutama pasar finansial yang semakin meningkat dan terintegrasi. Kedua, pengaruh- pengaruh transformasi global, aktoraktor eksternal dan kemajuan teknologi. Ketiga, peran ide-ide dan kultur hegemonic di balik asal-muasal, proses-proses atau pun muatan-muatan perubahannya.

E. Prinsip-Prinsip Globalisasi Hukum dan Bisnis

Globalisasi ekonomi sebenarnya sudah terjadi di Indonesia sejak lama, dimulai pada masa perdagangan rempah-rempah, kemudian dilanjutkan pada masa tanaman paksa (cultuur stelsel) dan masa dimana modal swasta Belanda zaman kolonial dengan buruh paksa. Pada ketiga periode tersebut hasil bumi Indonesia sudah sampai ke Eropah dan Amerika. Sebaliknya impor tekstil dan barang-barang manufaktur betapapun sederhananya, telah berlangsung lama.30

30

C.Fasseur. The Cultivation System and Its Impact on the Dutch Colonial Economy and the Indigenous Society in Nineteenth Century Java, dalam Two Colonial Empires, ed, C.A, bayly and D.H.A.Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff Publishers, 1986), hal. 137.


(42)

Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional seperti pada waktu yang lalu. Untuk mengatasi krisis, perusahaan multinasional mencari pasar baru dan memaksimalkan keuntungan dengan mengekspor modal dan reorganisasi struktur produksi. Pada tahun 1950, investasi asing memusatkan kegiatan penggalian sumber alam dan bahan mentah untuk pabrik-pabriknya. Tiga puluh tahun terakhir ini, perusahaan manufaktur menyebar keseluruh dunia. Dengan pembagian daerah operasi melampaui batas-batas negara, perusahaan-perusahaan tidak lagi memproduksi seluruh produk disatu negara saja. Manajemen diberbagai benua, penugasan personel tidak lagi terikat pada bahasa, batas negara dan kewarganegaraan.31 Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan penanaman modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas financial, dan lain-lain.32

Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batas-batas negara. meningkatkan intensitas persaingan. gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan tran-sportasi teknologi.33

Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului atau diikuti oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat

31

Richard C. Breeden, The globalization of Law and Business in the 1990s, Wake Forest

Law Review, vol. 28 No. 3 (1993), hal. 514.

32

S. Tamer Cavusgil, Globalization of Markets and Its Impact on Domestic Institutions. Global Legal Studies Journal, vol 1 (1993), hal. 83-86.

33

Jaqnes Delors, The Future of Free Trade in Europe and the World, Fordham International Law Journal. Vol. 18 (1995), hal. 723.


(43)

Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru.34 Bergabung dengan WTO dan kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis. memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum.35 Prinsip-prinsip most-favoured-nation, transparency, national treatment, non-dicrimination menjadi dasar WTO dan blok ekonomi regional.36

Globalisasi hukum terjadi melalui usaha-usaha standarisasi hukum antara lain melalui perjanjian-perjanjian internasional, misalnya mencantumkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota berkaitan dengan penanaman modal, hak milik intelektual dan jasa prinsip-prinsip

non-discrimination, most favoured nation, national treatment, transparency kemudian

menjadi substansi peraturan-peraturan nasional negara-negara anggota.

Globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum, globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara Barat dan Timur.

37

34

Bary Hufbauer, International Trade Organizations and Economies in Transition: A

Glimpse of the Twenty-First Century, Law & Policy in International Business, vol. 26 (1995), hal.

108.

35

Paul Demaret, The Metamorphoses of the GATT : from the Havana Charter to the

World Trade Organization, Columbia Journal of Transnational Law, vol 34 (1995), hal. 123-171.

Lihat juga Mary E.Footer, The International Regulation of Trade in Service Following Completion

of the Uruguay Round, The International Lawyer, vol. 29 No. 2 (Summer 1995), hal. 464-466.

36

Carl J Green, APEC and Trans-Pasific Dispute Management, Law & Policy in International Business, vol. 26 (1995). Hal. 729. Gerard de Graaf and Matthew King, Towards a

More Global Government Procurement Market : The Expansion of the GATT Government Procurement Agreement in the Context of the Uruguay Round,”The International Lawyer”, vol.

29, No. 2 (summer 1995), hal. 452.

37

Micheal A Geist, Toward A General Agreement on the Regulation of Foreign Direct

Investment, Law & Policy in International Business, vol. 26 (1995), hal. 714-716. Bandingkan


(44)

Globalisasi dibidang kontrak-kontrak bisnis internasional sudah lama terjadi karena negara maju membawa transaksi-transaksi baru ke negara-negara berkembang, maka partner mereka dari negara-negara-negara-negara berkembang menerima model-model kontrak bisnis internasional tersebut, bisa karena sebelumnya tidak mengenal model tersebut, dapat juga karena posisi tawar yang lemah. Oleh karena itu tidak mengherankan, perjanjian patungan (joint venture), perjanjian waralaba (franchise), perjanjian lisensi, perjanjian keagenan, hampir sama disemua negara. Konsultan hukum suatu negara dengan mudah mengerjakan perjanjian-perjanjian semacam itu di negara-negara lain.38

Persamaan ketentuan-ketentuan hukum berbagai negara bisa juga terjadi karena suatu negara mengikuti model negara maju berkaitan dengan institusi-institusi hukum untuk mendapatkan modal. Undang-Undang Perseroan Terbatas berbagai negara dari civil law maupun common law berisikan substansi yang serupa. Begitu juga dengan peraturan pasar modal, dimana saja tidak banyak berbeda, satu dan yang lain karena dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan batas-batas negara. Tuntutan keterbukaan (transparency) yang semakin besar dengan berkembangnya kejahatan internasional dalam pencucian uang (money laundering) dan insider trading mendorong kerjasama internasional.39

Principle : Equality of Foreign and National Investors, Law & Policy in International Business

vol. 26 (1995), hal. 1171-1199.

38

Whitmore Gray, Globalization of Contract Law : Rules for Commercial Contracts in

the 21st Century, New Zealand Law Journal (Febr. 1996) h. 52. Vannesa L.D. Wilkinson, The New Lex Mercatoria : Reality or Academic Fantasy ?, Journal of International Arbitration vol. 12.

No. 2 (June 1995), hal. 103-117.

39

David Goddard, Gonvergence in Corporations Law-Towards A Facilititave Model, VUWLR vol. 26 (1996), hal. 197-204.

Usaha-usaha untuk menyamakan peraturan dibidang perburuhan dan lingkungan hidup masih akan terus berjalan. Negara-negara maju meminta agar Negara-negara-Negara-negara berkembang memperbaiki kondisi


(45)

perburuhan dan perlindungan lingkungan hidup tidak saja didasari oleh hak-hak azasi manusia tetapi juga persaingan perdagangan. Upah dan jaminan buruh yang rendah, serta peraturan perlindungan lingkungan hidup yang longgar menurut negara maju adalah social dumping yang merugikan daya saing mereka.40

Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-negara maju (converagence). Namun tidak ada jaminan peraturanperaturan tersebut memberikan hasil yang sama disemua tempat. Hal mana dikarenakan perbedaan sistim politik, ekonomi dan budaya. Friedman mengatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakat dan budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.41

Dalam menghadapi hal yang demikian itu perlu check and balance dalam bernegara. Check and balance hanya bisa dicapai dengan Parlemen yang kuat,

40 Bary A.K. Rider, Global Trends in Securities Regulation ; The Changing Legal Climate,

Dickinson Journal of International Law 13 (Spring 1995) hal. 514.

41

Robert Howse and Macheal J. Trebilcock, The Fair Trade-Free Trade Debate : Trade,

Labour, and the Environment, International Review of Law and Economics, No. 16 (1996), hal.

61-79. Andrew K. Stutzman, Our Eroding Industrial Base : U.S. Labour Law Compared with

Labor Laws of Less Developed Nations in Light of the Global Economy, Dickinson Journal of

International Law No. 12 (Fall 1993), hal. 135. Erika de wet, Labour Standards in the Globalized

Economy : The Inclusion of a Social Clause in the General agreement on Tariff and Trade/ World Trade Organization, Human Rights Quatrly, vol. 17 (1995), hal. 446-460. Elizabeth C. Crandall, Will NAFTAs ’North American Agreement on Labor Cooperation Improve Enforcement of Mexican Labor Laws, The Transnational Lawyer, vol. 7, hal. 166-195. Mark Barenberg, Law and Labor in the New Global Economy : Trough the Lens of United States Federalism, Columbia

Journal of Transnational Law vol. 33 (1995), hal. 445-452. Patricia Stirling, The Use of Trade

Sanctions as an Enforcement Mechanism for Basic Human Rights : A proposal for Addition to the World Trade Organization, American University Journal of International Law & Policy. Vol. 11


(46)

pengadilan yang mandiri, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya.


(47)

BAB III

PENANAMAN MODAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007

A. Pengertian Penanaman Modal

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Penanaman modal adalah :

“segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.”

Dari pengertian yang dijabarkan dalam pasal ini, dapat diketahui bahwa kegiatan penanaman modal dapat dilakukan dalam bentuk pertama, penanaman modal dalam negeri. Pengertian penanaman modal dalam negeri sendiri dijabarkan dalam Pasal 1 angka 2 yang mengemukakan, penanaman modal dalam negeri adalah suatu kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan modal dalam negeri. Kata kunci dari pengertian penanaman modal adalah adanya satu kegiatan yang dilakukan oleh satu badan usaha di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan pengertian modal dalam negeri dijelaskan dalam Pasal 1 angka 9, Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

Kedua, penanaman modal dapat dilakukan melalui penanaman modal

asing. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 1 angka 3, penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan


(48)

modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Sedangkan pengertian modal asing dijabarkan dalam Pasal 1 butir 8, modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.

Dilihat secara sepintas dari rumusan di atas, kelihatannya semua kegiatan dapat dilakukan lewat pranata hukum penanaman modal, hal ini dapat diinterpretasikan dari kata “..segala bentuk kegiatan..”. Ditambah lagi dari rumusan Pasal 2 yang mengemukakan, ketentuan dalam undang-undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia. Jika dicermati secara seksama dalam penjelasan Pasal 2 UUPM, tampak bahwa ada pembatasan sektor dalam berinvestasi. Tegasnya dalam penjelasan Pasal 2 UUPM disebutkan, yang dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.

Suasana kebatinan pembentukan Undang-Undang tentang Penanaman Modal (UUPM) didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif sehingga UUPM mengatur hal-hal yang dinilai penting, antara lain yang terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman modal, bentuk badan usaha, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha, serta keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan yang diwujudkan dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal, serta fasilitas penanaman modal,


(49)

pengesahan dan perizinan, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai kelembagaan, penyelenggaraan urusan penanaman modal.

Hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal diatur secara khusus guna memberikan kepastian hukum, mempertegas kewajiban penanam modal terhadap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang sehat, memberikan penghormatan atas tradisi budaya masyarakat, dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengaturan tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.

UUPM sebagaimana yang tertuang dalam pasal-pasal, bab-bab atau ayat-ayatnya memang sangat memberi kemudahan-kemudahan pada calon investor. Semua keinginan atau permintaan (bahkan lebih) calon-calon investor sudah tertuang dalam UUPM.

Perekonomian dunia ditandai oleh kompetisi antarbangsa yang semakin ketat sehingga kebijakan penanaman modal harus didorong untuk menciptakan daya saing perekonomian nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju perekonomian global. Perekonomian dunia juga diwarnai oleh adanya blok perdagangan, pasar bersama dan perjanjian perdagangan bebas yang didasarkan atas sinergi kepentingan antarpihak atau antarnegara yang mengadakan perjanjian. Hal itu juga terjadi dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional yang terkait dengan penanaman modal, baik secara bilateral,


(50)

regional maupun multilateral (World Trade Organization/WTO), menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan ditaati.

B. Azas dan Tujuan Penanaman Modal

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 ditentukan bahwa dalam:

1. Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:

a. Asas kepastian hukum; adapun maksud asas ini adalah asas dalam negara

hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.

b. Asas keterbukaan; adapun maksud asas ini adalah asas yang terbuka

terhadap hak masyrakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

c. Asas akuntabilitas; adapun maksud asas ini adalah asas yang menentukan

bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; adapun

maksud asas ini adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara


(51)

penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.

e. Asas kebersamaan; adapun maksud asas ini adalah asas yang mendorong

peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

f. Asas efisiensi berkeadilan; adapun maksud asas ini adalah asas yang

mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efesiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing.

g. Asas berkelanjutan; adapun maksud asas ini adalah asas yang secara

terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang.

h. Asas berwawasan lingkungan; adapun yang dimaksud dengan asas ini

adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

i. Asas kemandirian; adapun yang dimaksud dengan asas ini adalah asas

penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

j. Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Adapun

amksud asas ini adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.


(52)

2. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk: a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;

b. menciptakan lapangan kerja;

c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan

h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

C. Perlakuan terhadap Penanaman Modal

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 disebutkan bahwa:

1. Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam

modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.

Kemudian pada Pasal 7 undang-undang ini juga ditentukan bahwa :

1. Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.


(53)

2. Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.

3. Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.

Selain itu pada Pasal 8 undang-undang ini juga diatur tentang :

1. Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikua sai oleh negara.

3. Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap:

a. modal;

b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain; c. dana yang diperlukan untuk:

1) pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau

2) penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal;


(54)

d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman;

f. royalti atau biaya yang harus dibayar;

g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal;

h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; i. kompensasi atas kerugian;

j. kompensasi atas pengambilalihan;

k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4. Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi:

a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana;

b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara.


(1)

B. Saran

1. Bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

2. Tegakkan hukum secara konsisten khususnya dalam lingkungan birokrasi atau pemerintahan dan utamakan asas petangungjawaban dalam setiap kegiatan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Andrew K. Stutzman, 1993, Our Eroding Industrial Base : U.S. Labour Law Compared with Labor Laws of Less Developed Nations in Light of the Global Economy, Dickinson Journal of International Law No. 12.

Bary A.K. Rider, Spring 1995, Global Trends in Securities Regulation ; The Changing Legal Climate, Dickinson Journal of International Law 13

Bary Hufbauer, 1995, International Trade Organizations and Economies in Transition: A Glimpse of the Twenty-First Century, Law & Policy in International Business, vol. 26.

Bashri, Yanto., 2003, “Mau Kemana Pembangunan Ekonomi Indonesia”. Prisma Pemikiran Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Predna Media, Jakarta.

Bello, Walden., 2004, Deglobalisasi. Gagasan Ekonomi Dunia Baru, Pondok Edukasi, Yogyakarta.

BPKP, Akuntabilitas Instansi Pemerintah (Edisi Kelima), BPKP, 2000.

Budiardjo, Miriam., 2004, Peran Akuntabilitas dalam Pemerintahan. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

Carl J Green, APEC and Trans-Pasific Dispute Management, 1995, Law & Policy in International Business, vol. 26. Gerard de Graaf and Matthew King, 1995, Towards a More Global Government Procurement Market : The Expansion of the GATT Government Procurement Agreement in the Context of the Uruguay Round,The International Lawyer, vol. 29, No. 2.

C. Fasseur, 1986, The Cultivation System and Its Impact on the Dutch Colonial Economy and the Indigenous Society in Nineteenth Century Java,” dalam Two Colonial Empires, ed, C.A, bayly and D.H.A.Kolf Dordrecht : Martinus Nijhoff Publishers.

Denine Manning-Cabral, 1995, The Eminent Death of the Calvo Clause and the Rebirth of the Calvo Principle : Equality of Foreign and National Investors, Law & Policy in International Business vol. 26.

David Goddard, Gonvergence in Corporations Law-Towards A Facilititave Model, VUWLR vol. 26 (1996).


(3)

Dwidjowijoto, Riant Nugroho, 1998, Indonesia 2020. Sebuah Sketsa Tentang Visi dan Strategi dalam Kepemimpinan Manajemen Politik dan Ekonomi, RBI, Jakarta.

Elizabeth C. Crandall, 1995, Will NAFTAs ‘North American Agreement on Labor Cooperation Improve Enforcement of Mexican Labor Laws, The Transnational Lawyer, vol. 7.

Erika de wet, 1995, Labour Standards in the Globalized Economy : The Inclusion of a Social Clause in the General agreement on Tariff and Trade/ World Trade Organization, Human Rights Quatrly, vol. 17.

Halim, Abdul., 2001, Dasar-dasar Akuntabilitas, Edisi 4, FE-UGM, Yogyakarta. Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Sistem Hukum Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional, Alumni, Bandung.

Jaqnes Delors, 1995, The Future of Free Trade in Europe and the World, Fordham International Law Journal. Vol. 18.

Mallaranggeng, Rizal, 2004, Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Cetakan Kedua, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta.

Mark Barenberg, 1995, Law and Labor in the New Global Economy : Trough the Lens of United States Federalism, Columbia Journal of Transnational Law vol. 33.

Mary E.Footer, 1995, The International Regulation of Trade in Service Following Completion of the Uruguay Round, The International Lawyer, vol. 29 No. 2. Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik Pemerintah (Kerangka, Standar dan Metode),

Puslitbangwas, BPKP, 2001.

Micheal A Geist, 1995, Toward A General Agreement on the Regulation of Foreign Direct Investment, Law & Policy in International Business, vol. 26, hal. 714-716.

Napitupulu, B., 1975, Joint Ventures di Indonesia, Erlangga, Jakarta.

Patricia Stirling, 1996, The Use of Trade Sanctions as an Enforcement Mechanism for Basic Human Rights : A proposal for Addition to the World Trade Organization, American University Journal of International Law & Policy. Vol. 11.


(4)

Paul Demaret, 1995, The Metamorphoses of the GATT : from the Havana Charter to the World Trade Organization, Columbia Journal of Transnational Law, vol 34.

Rakhmawati, Rosyidah, 1998, Hukum Penanaman Modal Indonesia dalam Menghadapi Era Global, Pustaka Jaya, Jakarta.

Richard C. Breeden, 1993, The globalization of Law and Business in the 1990s, Wake Forest Law Review, vol. 28 No. 3.

Robert A.G. Monks, 1998, The Emperors Nightingale: Restoring the Integrity of the Corporation, Oxford: Capstone.

Robert Howse and Macheal J. Trebilcock, 1996, The Fair Trade-Free Trade Debate : Trade, Labour, and the Environment, International Review of Law and Economics, No. 16.

Roeroe, Freddy, dkk., 2003, Batam Komitmen Setengah Hati, Aksara Karunia, Jakarta.

Rosjidi, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Andi, 2002.

Rusdin., 2002, Bisnis Internasional dalam Pendekatan Praktik. Jilid 1, Alfabeta, Bandung.

Sembiring, Sentosa, 2007, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung.

Soekamto, Soerjono., 2004, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

S. Tamer Cavusgil, 1993, Globalization of Markets and Its Impact on Domestic Institutions. Global Legal Studies Journal, vol 1.

Supriyono, R.A., 2001 Akuntansi Biaya : Perncanaan dan Pengendalian Biaya serta Pembuatan Keputusan, Edisi 2, FE-UGM, Yogyakarta.

Surakhmad, Winarno, 1994, Metode dan Tekhnik Akuntabilitas, Tarsito, Bandung. Susastro, Hadi, 2004, Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi,

Regionalisasi dan Semua Itu. CSIS Working Papers Series, Jakarta.

Sutyono, Agus dan Ambar T.S, 2004, Good Governance dalam Perspektif SDM Aparatur Pemerintah dalam Birokrasi Publik Indonesia. Penerbit Gava Media, Bandung.


(5)

Toha, Suherman, 2007, Penelitian Masalah Hukum tentang Penerapan Good Coorporate Governance Pada Dunia Usaha, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Vannesa L.D. Wilkinson, June 1993, The New Lex Mercatoria : Reality or Academic Fantasy?, Journal of International Arbitration vol. 12. No. 2.

Whitmore Gray, Febr 1996, Globalization of Contract Law : Rules for Commercial Contracts in the 21st Century, New Zealand Law Journal.

Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI)., 2004, Memahami Good Government Governance dan Good Coorporate Governance, Penerbit YPAPI, Yogyakarta.

KAMUS-KAMUS :

John M. Echols dan Hassan Shadly. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, PT Gramedia Jakarta, cetakan XIV, 1986.

Manser, Martin, H., Oxford Advance Learner's Dictionary, Oxford University Press, 1989.

Peter Salim, The Contempory English-Indonesia Dictionary, Jakarta: Modern English Press, Edisi Ketiga-1987.

INTERNET :

Hamid, Abidin, Pirac. “Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan” Diskusi Publik,

Http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Globalisasi&action=edit

Sofjan A. Djalil, Good Coorporate Governance,

Subiakto Tjakrawerdaja pada Harian Umum Pelita tanggal 26-08- 2008.


(6)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas