Efek Antimutagenik Ekstrak Etil Asetat Daun Bangun-bangun (Plectranthus amboinicus, (Lour.) Spreng.) dan Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit yang Diinduksi Siklofosfamid

!
"

#

#
#
# #

%&&'(

%&)&(

$

%&&*(

%&&%+

$ +


#

"
# #

$ +
"
# #
%&",&
-

"

-

.

"
)&&&


%-& -&&
/

00
# #

,&

/

00

,&

1

"'
#
2


.
# 3

"
.

$ 4& &-+
"
# #
#

/

#

"
.
.

"

# #
#
"

i

3
#

566

8

9

#
:

3
3

3

#

9

3

3

+
3

#
$
3

$ +
$;
$;


#
$;

:

3

7

$ +
+

%&&'(

%&)&(
##
#

%&&*(

:

%&&%+
#

+
3

3
<

##

#

3

:

#


#

9
:
%&",&
3
$;
+
:
9
9
3
# %-& -&&
)&&&
/
00 .:
,&
/ 00
,&

9
3
:
"'
9
#
3
#
9 #
:
#
$;
+
/
# 3
3
9
9
##
9

3
8
:
#
$;
+
>
3 #
8
:
#
$;
3
#
3
3

#

9


9

:

#

9
#

=
#

#
$ 4& &-+

+

$;

ii

1

+

8

?8
.#
.

.

!

0

2

"

$

2

$;

6

!

+

+

# #

5

)

0

5 3

>86
%

0

5

$ +
!

# !

!86@2

#
; ,6

# !

5

2

0 ;
,

0

9

0

; ,6 5 5 !

2

6

;
A

0

!

B

B

5 5

; ,6

5 5

# !

2

#
-

;
;

*

B

9

B

B

C

6

2 #

6
6

#

>

9
iii

.

6

3

%&)%

D 2

iv

6

! B8
2
2 ; 6

.

566

.

2

7
3

8
! B8

3

! B8

8 0.;

! B8

60

! B8
0 0)

:

; 6

:

. ! 25;5

0 0 % 85C5
0 0, 8
,)5

3

!

C 5

)
6

B

8 . .; 8

-

5 8

*

8

*

,%.

F

,,

))

,A

E3 6

),

,-2

)A

0

)*

A 6.8=!. . .; 8

A)

)*

A%0

)*

A,

)1
A,)

.
$;

A,%

+

$
)1

+

)1

B

A,,

)1

A,A

)1

A,-

)'

5

AA

)F

#

AA)

8

AA%
A-

"

B

%&
%)

2

%)

!
v

0

- 2

;!

-)2

%%

#

-%

B
!

-A

2

! B8
; 6

.
%%

"
.#

*

8

0

-,

0

%%

.60 2

%2

. 6 5;

6

!

%,
%'

5 8

%F
GGGGGGGGGGGGGGGGGGGG

vi

,%

! B8

8 0.;

2
8

-)

2

.

!

0

"
$;

8

-%

$. !00+
+

.
$

+

%,

2

9
.

!
$;

0
+

"

$

+ ........................................

vii

%A

! B8

60

2
,)

!

0

"

1

,%

),

-)

"
%*

-%

#

"
%&&

-,

2

-A

2

--

2

-*

2

$

# #

2

- )&

2

2

- ))

2

2

H

)&&&
%A
%1

#

%1
$

# #

H

%-&
%1

$

# #

H

-&&

00+
2

/

# #

00+
2

2

-&&

00+

2

/

H

%A
$

2

%-&

00+

2

/

H

%A
$

-F

- ),

# #

00+

2

/

- )%

%A
%A

/
-'

%'
#

/
-1

%1

%1
$

# #

00+

H

)&&&
%1

viii

! B8

; 6

2
;

)

;

%

2

#

!

0

$;

+

,,

,

"
$

;

,%
"

$
;

"

A

!

$;
C

6

+
6

8

B

6

,A
"6
%&&

.
;

-

;

*

;

1

;

'

;

F

;

)&

0

;

))

! #

;

)%

;

,-

!

2

6

,*

2

,1
,'

! #

9

2

GGGGGGGGGGGG

,F
AF

2

2

*A

2

*-

C 9
**

2

ix

Kanker

merupakan

penyebab

kematian

nomor

2

setelah

penyakit

kardiovaskular. Menurut laporan WHO tahun 2003, setiap tahun timbul lebih dari
10 juta kasus penderita baru kanker dengan prediksi peningkatan setiap tahun
kurang lebih 20%. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 penyakit kanker merupakan penyebab kematian nomor 5 di Indonesia
setelah penyakit kardiovaskular, infeksi, pernafasan, dan pencernaan. Menurut
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi tumor di
masyarakat sebesar 4,3 per 1000 penduduk. Sedangkan data statistik rumah sakit
dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2006, menunjukkan bahwa
kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap (19,64%),
disusul kanker leher rahim (11,07%), kanker hati dan saluran empedu intrahepatik
(8,12%), Limfoma non Hodgkin (6,77%), dan leukemia sebesar 5,83% (anonim,
2009).
Kanker

adalah

pertumbuhan

sel

yang

abnormal

dan

cenderung

mendesak/mendorong jaringan di sekitarnya, dapat menyebar ke organ tubuh lain
yang letaknya jauh. Kanker terjadi karena proliferasi sel tak terkontrol tanpa batas
dan tanpa tujuan. Perubahan genetik turut mendorong pertumbuhan sel menjadi
kanker, menginaktivasi gen yang secara normal tumbuhnya lebih lambat,
membiarkan sel tetap membelah sehingga sel bersifat immortal (tidak mati),
membiarkan sel tetap berada dalam kondisi abnormal yang dalam kondisi lain
menyebabkan kematian sel atau disebut apoptosis, serta menggunakan sel normal
untuk menunjang atau menyuplai nutrisi pada sel kanker (Corwin, 2007).
Penyebab kanker terdiri dari faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen dapat
berupa faktor genetik, penyakit dan hormon. Sedangkan faktor eksogen dapat
berasal dari makanan, virus, senyawa8senyawa karsinogenik seperti polusi udara,
zat warna, logam8logam karsinogen, dan juga obat seperti siklofosfamid (Pane,
2010).
Pengobatan kanker yang aman masih belum ditemukan karena obat kanker
yang ideal seharusnya dapat menghabiskan sel kanker tanpa membahayakan

1

jaringan sehat, oleh karena itu perlu terus dilakukan upaya untuk mendapatkan
obat kanker yang efektif dengan efek samping minimal. Salah satu upaya yang
ditempuh adalah dengan menggali sumber alam nabati yang secara empiris telah
banyak digunakan masyarakat untuk mengobati kanker. Obat antikanker dari
bahan alam bersifat toksik terhadap fase tertentu pada siklus sel tumor dan tidak
bersifat toksik atau mengganggu sel normal (Wiryowidagdo, 2008).
Daun bangun8bangun (Coleus amboinicus, L.), sebutan yang sering
dipakai orang di tanah batak, merupakan salah satu tanaman di Indonesia yang
secara empiris digunakan masyarakat sebagai menu sayuran sehari8hari terutama
bagi ibu8ibu yang baru melahirkan. Pada daun ini terdapat kandungan vitamin C,
vitamin B1, vitamin B12, beta karotin, niasin, karvakrol, kalsium, asam8asam
lemak, asam oksalat, dan serat. Senyawa8senyawa tersebut berpotensi terhadap
bermacam8macam aktivitas biologik, misalnya antioksidan, diuretik, analgesik,
mencegah

kanker,

antitumor,

antivertigo,

immunostimulan,

antiradang,

antiinfertilitas, hipokolesterolemik, hipotensif, dan lain8lain khasiat yang perlu
diteliti lebih lanjut (Santosa, 2005). Sejumlah penelitian telah dilakukan terhadap
daun bangun8bangun, dan diketahui bahwa daun bangun8bangun mempunyai
aktifitas antioksidan yang tinggi (Rasineni, 2008; Palani, 2010), pengujian
terhadap khasiatnya sebagai antiinflamasi baik secara in vivo (Chang, et.al., 2007)
dan in vitro (Periyanayagam, 2010) diketahui daun ini dapat menghambat
pembengkakan kaki tikus yang diinduksi kolagen dan mampu mencegah
hipotonisitas yang diinduksi oleh lisisnya membran HRBC penyebab inflamasi.
Ekstrak

etanol

dan

air

dari

Plectranthus

amboinicus

memiliki

efek

hepatoprotektor terhadap kerusakan yang disebabkan CCl4 pada tikus (Patel,
2011) dan bertindak sebagai imunomodulator bagi tubuh dengan cara
meningkatkan sifat fagositik sel netrofil (Santosa, 2005). Ekstrak hidroklorida dari
Coleus aromaticus memiliki efek sebagai anticlastogenic dan berpotensi sebagai
radioprotektif pada studi menggunakan metode micronucleus assay terhadap sel
V79 (chinese hamster fibroblast) yang terradiasi (Rao, et. al., 2006). Selain itu,
ekstrak etanol Coleus aromaticus memiliki potensi sebagai anticlastogenic dan
hasilnya menunjukkan ekstrak tersebut mampu melindungi terjadinya kerusakan
kromosom yang diinduksi oleh siklofosfamid dan mitomycin pada sel (Shyama, et

2

al. 2002). Secara keseluruhan, tanaman ini mengandung butilanisod, β
caryophillene, quercetin, ursolic acid, triterpenoid acid, α pinene, β pinene,
thymol, eugenol, carvacrol, 1,8 cineole, β phellandrene, p cymene, salvigenin,
crisimaritin dan chrysoeriol (Patel, et.al., 2010). Salah satu senyawa aktif yang
terdapat pada daun bangun8bangun yaitu ursolic acid diketahui dapat berkhasiat
sebagai antikanker. Penelitian sebelumnya terhadap hasil isolasi ursolic acid pada
beberapa obat tradisional China menemukan bahwa senyawa ini dapat
menghambat proliferasi dan menginduksi terjadinya apoptosis pada sel karsinoma
kolon dengan cara mengaktifkan caspase 3 dan caspase 9 dan menekan posforilasi
EGFR (epidermal growth factor hormon), melalui jalur MAPK (mitogen
activated protein kinase) (Shan, et.al., 2009).
Berdasarkan uraian di atas bahwa pentingnya upaya pencarian obat
berbahan alami sebagai upaya pencegahan penyakit degeneratif seperti kanker,
maka perlu dilakukan penelitian untuk menguji efek antimutagenik suatu ekstrak
tumbuhan agar dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai agen kemopreventif.

3

Penelitian ini bertujuan untuk:
a. menguji efek antimutagenik ekstrak etilasetat daun bangun8 bangun pada
mencit yang diinduksi siklofosfamid menggunakan metode micronucleus
assay.
b. membuktikan kemampuan ekstrak etil asetat daun bangun8bangun dalam
melindungi organ hati dan ginjal mencit setelah pemberian siklofosfamid
berdasarkan gambaran histopatologi
Manfaat Penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal bagi pengembangan
daun bangun8bangun sebagai obat kemoterapi pada kanker melalui mekanisme
penghambatan terbentuknya mikronukleus pada sel darah merah sumsum tulang.

4

Coleus amboinicus atau disebut juga Plectranthus amboinicus (Lour)
merupakan tumbuhan dikotil termasuk dalam famili Lamiaceae. Tumbuhan ini
memiliki cabang yang banyak, daun segarnya beraroma wangi, permukaan daun
halus dan terdapat trikoma yang glandular maupun non glandular, mengandung
flavonoid seperti quercetin, apigenin, luteolin, salvigenin, genkwanin dan minyak
atsiri (Kaliappan dan Viswanathan, 2008). Tumbuhan ini adalah tumbuhan
perenial dengan masa hidup 385 tahun, tersebar di Afrika, Asia dan Australia dan
digunakan sebagai makanan maupun bahan tambahan makanan, dan juga sebagai
obat berbagai penyakit. Ekstrak dari daunnya digunakan oleh masyarakat India
sebagai obat alergi pada kulit, sedangkan di Taiwan digunakan sebagai
antiinflamasi dengan cara meminum sebanyak 50870 ml ekstraknya setiap hari
(Chang, et. al., 2007). Secara keseluruhan, tanaman ini mengandung butilanisod,
β caryophillene, quercetin, ursolic acid, triterpenoid acid, α pinene, β pinene,
thymol, eugenol, carvacrol, 1,8 cineole, β phellandrene, p cymene, salvigenin,
crisimaritin dan chrysoeriol (Patel, et.al., 2010).

Gambar 3.1 Daun Bangun8bangun

5

Daun bangun8bangun (Coleus amboinicus L.) mempunyai beberapa
sinonim diantaranya Coleus aromaticus Benth, Coleus carnosus Hassk, Coleus
suborbiculata Zoll. & Morr, Plectranthus aromaticus, Roxb. Adapun sistematika
dari tanaman ini adalah sebagai berikut:
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Klas

: Dicotyledoneae

Bangsa

: Solanales

Suku

: Lamiacae

Jenis

: Coleus amboinicus, Lour.
Daun bangun8bangun terdapat di beberapa daerah di Indonesia dengan

nama berbeda8beda yaitu: sukan (Melayu), ajiran (Sunda), daun jinten (Jawa
Tengah), daun kambing (Madura), iwak (Bali), kunu etu (Nusa Tenggara Timur).
Daun bangun8bangun merupakan tumbuhan semak menjalar. Batangnya
berkayu, lunak, beruas8ruas. Ruas yang menempel di tanah akan tumbuh akar,
batangnya mudah patah, berpenampang bulat dengan diameter ± 15 mm, tengah
10 mm dan ujungnya 5 mm. Batang yang masih muda berambut kasar dan
berwarna hijau pucat. Daunnya merupakan daun tunggal, mudah patah, berbentuk
bulat telur, tebal, tepi beringgit, ujung dan pangkal membulat, berambut, panjang
6,5 – 7 cm, lebar 5,5 – 6,5 cm, tangkai panjang 2,4 – 3 cm, pertulangan menyirip
dan berwarna hijau muda. Bunganya majemuk, berbentuk tandan, berambut halus,
berwarna hijau keunguan.
Masyarakat di pulau Sumatra, khususnya daerah Tapanuli banyak
menggunakan daun bangun8bangun (Coleus ambonicus Lour.) sebagai laktagoga.
Sepintas kenampakannya mirip daun jintan namun lebih tipis dan berbulu. Bagian
yang digunakan adalah pucuk daun mudanya. Daun bangun8bangun ini dimasak
bersamaan dengan daging atau hati ayam beserta jeruk nipis, umumnya
dikonsumsi ibu8ibu yang baru melahirkan pada masyarakat Toba di Sumatera
Utara, diduga bahwa kombinasi makanan ini dapat meningkatkan produksi air
susu ibu (Damanik, 2001). Diketahui bahwa pada daun bangun8bangun
mengandung zat besi dan karoten dalam jumlah yang besar, sedangkan pada hati

6

adalah besi dan vitamin A; dan pada air jeruk nipis mengandung vitamin C
dengan kadar tinggi. Kombinasi antara Fe8heme (hati) dan Fe8non heme (daun
bangun8bangun) dan anti oksidan seperti vitamin C dapat meningkatkan
ketersediaan hayati Fe dalam tubuh normal yang direfleksikan pada kadar Hb dan
Ferritin darah (Sihombing, 2001).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan khasiat
farmakologi daun bangun8bangun, diantaranya dapat menghambat pembengkakan
kaki tikus yang diinduksi kolagen (Chang, et.al., 2007), mempunyai aktifitas
antioksidan yang tinggi (Rasineni, et.al., 2008; Palani, 2010), kandungan minyak
atsirinya dapat digunakan untuk mencegah serangga (Valera, 2003) dan ekstrak
daun bangun8bangun dapat meningkatkan pertahanan tubuh (imunomodulator)
dengan cara meningkatkan sifat fagositik sel netrofil (Santosa dan Hertiani, 2005).
Di samping itu, ekstrak daun bangun8bangun berperan dalam perbaikan fungsi
jantung karena bersifat sebagai inotropik positif (Hole, et.al., 2009), dan diuretik
(Patel, 2010; Palani, 2010) serta dapat bertindak sebagai nefroprotektif (Palani,
2010).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen
POM, 2000). Hasil ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang
diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
Untuk ekstraksi, Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan
penyari adalah air, etanol, dan etanol8air atau eter. Prosedur untuk memperoleh
kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering seperti biji kering,
akar dan daun adalah dengan cara mengekstraksi secara berkesinambungan serbuk
tumbuhan dengan menggunakan sederet pelarut secara berganti8ganti, mulai
dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan kloroform (untuk memisahkan lipid dan
terpenoid). Kemudian digunakan alkohol dan etil asetat untuk senyawa yang lebih

7

polar (Harborne, 1996). Berdasarkan buku Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat (2000), metode ekstraksi menggunakan pelarut terdiri dari dua
cara yaitu cara dingin dan cara panas.
1. Cara Dingin
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:
a. maserasi, yaitu proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan.
b. Perkolasi yaitu ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
2. Cara Panas
a. Refluks
refluks adalah ekstraksi menggunakan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih
tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 408500C.
c. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,
dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
d. Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 900C selama
15 menit.
e. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 900C selama 30
menit.

8

!

"! #

"

"!

"

Siklus Sel
Sel melakukan reproduksi dengan cara mereplikasikan bahan genetiknya
dan kemudian membelah menjadi dua. Replikasi dan pembelahan sel terjadi
selama siklus sel yang terdiri atas dua fase yaitu interfase dan mitosis.
a. Interfase
Pada fase ini, sel berada pada tahap tidak aktif membelah. Terdapat 3 tahap
standar interfase yaitu G1, S, dan G2 serta tahap G0 yang merupakan tahap
istirahat.
Tahap G1 adalah tahap persiapan sel untuk replikasi DNA dengan
mensintesis protein baru dan mengaktifkan komponen sitoskeletal. Selama
tahap ini, sel memantau lingkungannya untuk menentukan waktu yang tepat
mereplikasi DNA. Tahap ini merupakan cekpoin bagi sel karena bila
kondisinya tidak tepat, sel tidak akan menjalani siklusnya. Sebuah sel akan
terstimulasi untuk menjalani tahap G1 bila gen tertentu seperti proto8
onkogen, diaktifkan (Balmer, et.al., 2005)
Tahap S adalah tahap replikasi (duplikasi DNA).
Tahap G2 adalah tahap sintesis protein kembali sebelum pembelahan sel.
Tahap ini juga merupakan cekpoin karena jika DNA belum diduplikasi secara
tepat, sel memiliki kesempatan kedua untuk menghentikan tahap siklus sel
selanjutnya sebelum terjadi mitosis. Bila terjadi kesalahan replikasi DNA,
perbaikan akan dilakukan dan sel akan masuk lagi ke dalam siklus atau sel
akan dirangsang untuk mengalami apoptosis. Gen yang diaktifkan pada tahap
ini untuk menghentikan siklus sel disebut gen supresor (Corwin, 2008).
Tahap G0 merupakan tahap istirahat ketika sel yang pada tahap G1 tidak
melakukan replikasi DNA, dapat berhenti sementara. Sel secara tidak pasti
akan tetap berada pada tahap G0. Akan tetapi, bila sel dirangsang untuk
melewati tahap G0, sel tersebut akan maju ke tahap lain, kecuali kemajuannya
terbatas pada cek poin selanjutnya. Proses penahapan sel selama interfase
memakan waktu antara 10 sampai 20 jam.

9

b.

Mitosis
Mitosis (tahap M) adalah tahap pembelahan sel. Mitosis merupakan proses
yang jauh lebih singkat daripada interfase dan berlangsung sekitar satu jam.
Selama mitosis, sel yang telah mengalami duplikasi pada interfase, terbelah
menjadi dua sel anak yang mengandung 2 pasang kromosom. Mitosis terdiri
atas stadium profase, metafase, anafase dan telofase.

Gambar 3.2. Siklus Sel dan Proses terjadinya mitosis

$
Micronucleus assay telah digunakan secara luas untuk mendeteksi adanya
genotoksisitas yaitu terjadinya kerusakan pada gen, kromosom dan bagian8bagian
sel yang berperan pada pemisahan kromosom. Pengujian ini bertujuan untuk
melihat pembentukan mikronuklei yang dihasilkan dari kerusakan fragmen
kromosom (clastogenicity) atau keseluruhan kromosom (aneugenicity) pada sel
eritropoietic sumsum tulang hewan jenis rodentia. Terjadinya kerusakan pada

10

kromosom merupakan manifestasi kerusakan pada DNA (Khrisna dan Hayashi,
2000; Fenech, 2000).
Selama fase mitosis, kromatin sel dapat mengalami kesalahan dalam
menerima informasi genetik. Hal ini dapat diamati di bawah mikroskop dengan
memperlihatkan kelainan8kelainan yang terjadi pada preparat apusan sumsum
tulang mencit yang mengandung sel eritrosit. Apusan sumsum tulang mencit yang
telah disuntikkan zat kimia penginduksi yaitu siklofosfamid ataupun mitomycin
dengan dosis 40 mg/kg untuk mencit dan 20 mg/kg untuk tikus secara
intraperitoneal (Khrisna dan Hayashi, 2000). Pemberian senyawa tersebut dapat
menyebabkan terjadinya pemecahan kromosom sehingga terbentuk inti baru
dengan kandungan asam nukleat yang sama dengan inti awal. Pemecahan inti ini
dapat dilihat di bawah mikroskop dengan pewarnaan. Sel yang tidak mengalami
pemecahan kromosom (sel normal) akan berwarna biru, sedangkan sel yang
mengalami pemecahan kromosom berwarna biru gelap. Perbedaan warna terjadi
karena perbedaan kandungan asam nukleat yang lebih tinggi dari sel normal dan
inti8inti tersebut menyebar ke seluruh sel, menutupi permukaan sel sehingga pada
pewarnaan, sel tampak lebih gelap (Fenech, 2000).

%

&' &!&(

Hati dan ginjal rawan terhadap zat8zat kimia. Zat kimia yang terlalu banyak
berada di dalam ginjal atau pun hati diduga akan mengakibatkan kerusakan sel,
seperti piknosis dan kongesti. Piknosis atau pengerutan inti merupakan
homogenisasi sitoplasma dan peningkatan eosinofil. Piknosis merupakan tahap
awal kematian sel (nekrosis). Tahap berikutnya yaitu inti pecah (karioreksis) dan
inti menghilang (kariolisis). Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di
dalam sel antara lain kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria
dan aparatus golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida,
hal ini menyebabkan tertimbun dalam sitoplasma sel. Pada ginjal, piknosis paling
banyak terjadi pada tubulus proksimalis karena di tubulus inilah terjadi proses
reabsorbsi sehingga peluang terjadinya kerusakan akibat dari toksikan paling
tinggi. Nekrosis merupakan kematian sel jaringan akibat jejas saat individu masih
hidup. Secara mikroskopik terjadi perubahan inti (nukleus) yaitu inti menjadi

11

keriput, tidak vasikuler lagi dan tampak lebih padat, warnanya gelap hitam
(karyopiknosis), inti pucat tidak nyata (kariolisis), dan inti terpecah8pecah menjadi
beberapa gumpalan (karioreksis) (Himawan, 1992). Nekrosis dapat disebabkan
oleh bermacam8macam agen etiologi dan dapat menyebabkan kematian dalam
beberapa hari seperti zat toksik dan logam berat, gangguan metabolik dan infeksi
virus (Thomas, 1988).

12

$
)
Metodologi penelitian berupa metode eksperimental yang meliputi identifikasi
tumbuhan, pengumpulan dan pengolahan bahan tumbuhan, pemeriksaan
karakterisasi

simplisia,

pembuatan

ekstrak

etilasetat,

pengujian

efek

antimutagenik pada mencit yang diinduksi siklofosfamid, dan pengamatan
mikroskopis terhadap organ hati dan ginjal mencit.

$

!

Alat8alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat8alat gelas laboratorium,
aluminium foil, neraca listrik, desikator, oven listrik (fisher scientific), blender
(National), penguap vakum putar (Heidolph VV8200), lemari pengering, penangas
air, mortir dan stamfer, seperangkat alat penetapan kadar air, Freeze dryer
(Edwards), oral sonde, timbangan hewan, mortir dan stamfer, mikroskop (Model
L8301), inkubator, sentrifus hematokrit, objek glass, dek glass, pinset, pipet tetes,
mikrotube, pot plastik, pipa kapiler.

$

*

daun bangun8bangun (Plectranthus amboinicus, (Lour) Spreng), toluen (p.a),
etanol 95 % (destilasi), air suling, kloralhidrat, Sudan III, Etanol p.a., toluena,
Raksa (II) klorida, Bismuth (II) nitrat, Asam nitrat pekat, Besi (III) klorida, Asam
klorida pekat, Timbal (II) asetat, kalium iodida, Etanol 96%, etil asetat, CMC Na
0,5%, siklofosfamid, bufer posfat, serum darah sapi (Foetal Bovine Serum),
haematoksilin, eosin, metilen blue, metanol p.a.

$

& "#

$

"

" "!
" !
, &

"

#

(

+

(

,

- ' " (-

Daun bangun8bangun diperoleh dari Kecamatan Beringin, Pematang
Siantar, Sumatera Utara. Dikeringkan menjadi simplisia dan diekstrasi

13

secara maserasi menggunakan etil asetat sehingga diperoleh ekstrak etil
asetat daun bangun8bangun.
$

(

&

Skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak etanol daun
bangun8bangun. Tujuannya adalah untuk mengetahui kandungan dari
simplisia dan ekstrak etanol daun bangun8bangun. Uji yang dilakukan
meliputi uji tanin, glikosida, alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid dan
saponin (Harborn, 1987; Depkes RI, 1995).
$

"

'!

#

Karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik,
penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak
larut asam, penetapan kadar sari larut dalam air dan penetapan kadar sari larut
dalam etanol (DitJen POM, 1989).
$

$ " " .

#&

Dosis dari ekstrak daun bangun8bangun yang digunakan untuk menguji
aktifitas antikanker adalah (250, 500, 1000) mg/kg BB (Parra, et al, 2001).
Dosis divariasikan dengan menggunakan rumus Malone
F = r√I
F = faktor peningkatan
r = n81
n = variasi dosis yang diinginkan
I = dosis terbesar/dosis terkecil
$

% "

"#

/

Sediaan uji yang digunakan berbentuk suspensi. Suspensi ekstrak daun
bangun8bangun dibuat dengan menggunakan CMC 0,5% sebagai suspending
agent. Volume asupan obat pada hewan percobaan secara peroral adalah 1%
dari berat badan.
a. Pembuatan Suspensi CMC 0,5 % (b/v) Sebagai Kontrol Negatif
Pembuatan suspensi CMC 0,5 % (b/v) dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut : CMC ditaburkan kedalam lumpang yang berisi air suling
panas. Didiamkan selama 20 menit hingga diperoleh massa yang transparan,

14

digerus hingga berbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit air, kemudian
dituang ke dalam labu tentukur, dan ditambah air suling sampai batas tanda.
b. Pembuatan Suspensi Ekstrak daun bangun8bangun Sebagai Larutan Uji
Pembuatan suspensi ekstrak daun bangun8bangun 5 % (b/v) dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut : CMC ditaburkan kedalam lumpang
yang berisi air suling panas. Didiamkan selama 20 menit hingga diperoleh
masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel. Ditambahkan ekstrak
daun bangun8bangun kedalam lumpang, kemudian digerus sampai homogen.
Dituang kedalam labu tentukur, dan ditambah air suling sampai batas tanda.
c. Penyiapan Larutan Siklofosfamid 0,5% (b/v)
Pembuatan larutan siklofosfamid dilakukan dengan cara sebagai berikut:
ditimbang sebanyak 25 mg kemudian dimasukkan dalam labu tentukur 5 ml,
ditambahkan larutan fisiologis (NaCl 0,9% b/v) sampai batas tanda.
d. Pembuatan Serum Darah Sapi
Serum diperoleh dari darah sapi segar. Darah didiamkan selama 30 menit
kemudian disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit hingga
terpisah antara endapan dan cairan yang berwarna bening kekuningan yang
merupakan serumnya, kemudian cairan tersebut dipisahkan dari endapan.

$$ " ( /

"0"

("

#" (

" &#"

Hewan dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok
perlakuan (3 dosis) dan kelompok kontrol positif, masing8masing kelompok
terdiri atas 5 ekor mencit. Lama pemberian sediaan uji adalah 7 hari dan pada hari
ke88, hewan dibunuh dengan cara dislokasi leher. Untuk semua kelompok kecuali
kelompok kontrol negatif, hewan diinduksi dengan siklofosfamid 30 mg/kgBB
pada hari ke80 (Krishna dan Hayashi, 2000). Setelah 30 jam, hewan diberikan
sediaan uji berdasarkan kelompok masing8masing. Perlakuan masing8masing
kelompok adalah sebagai berikut:
1. Kelompok kontrol normal (I): diberi suspensi CMC 0,5% secara oral
2. Kelompok kontrol positif (II): diinduksi dengan siklofosfamid dosis 30
mg/kgBB pada hari ke80. Setelah 30 jam diberi suspensi CMC 0,5% per
oral

15

3. Kelompok III: diinduksi siklofosfamid dosis 30 mg/kgBB pada hari ke80.
Setelah 30 jam, diberi sediaan uji dengan dosis 250 mg/kg BB per oral
4. Kelompok IV: diinduksi siklofosfamid dosis 30 mg/kgBB pada hari ke80.
Setelah 30 jam, diberi sediaan uji dengan dosis 500 mg/kg BB per oral
5. Kelompok V: diinduksi siklofosfamid dosis 30 mg/kgBB pada hari ke80.
Setelah 30 jam, diberi sediaan uji dengan dosis 1000 mg/kg BB per oral
Pada hari ke88 hewan dibunuh dengan cara dislokasi leher lalu diambil darah
dan sumsum tulang. Sumsum tulang femurnya diambil dengan cara disempritkan
menggunakan spuit yang telah diisi Serum Darah Sapi (SDS) sebanyak 0,1 ml
kemudian sumsum ditampung di dalam mikrotube (Krishna dan Hayashi, 2000).
$$

"

"'

'

!

( "

Campuran sumsum tulang dan SDS dalam mikrotube disentrifus dengan
kecepatan 1200 rpm selama 5 menit, kemudian supernatannya dibuang.
Endapannya disuspensikan kembali dengan dua tetes SDS, kemudian satu tetes
suspensi sel diambil dan diletakkan ke atas slide, dengan menggunakan
penghapus slide, sel dihapuskan menjadi preparat hapusan. Kemudian slide
dikeringkan, difiksasi dengan metanol selama 5 menit. Preparat diberi pewarna
giemsa lalu dibiarkan selama 30 menit, dibuang zat warna giemsa dengan cara
dibilas pada air mengalir lalu preparat apusan dikeringkan. Untuk tiap mencit
dibuat satu apusan sumsum tulang dan tiap apusan dilakukan 3 kali pengamatan
pada daerah berbeda menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x100 dan
dengan bantuan minyak immersi. Kemudian dalam 200 sel eritrosit dihitung
jumlah sel mikronuklei yang ada. Jumlah sel mikronuklei dalam 200 sel eritrosit
merupakan persentase jumlah sel mikronuklei yang ada pada apusan sumsum
tulang mencit (Krishna dan Hayashi, 2000).
$$

" "

!

"

&

Masing8masing darahnya ditampung untuk penetapan nilai hematokrit secara
mikrometode menggunakan hematokrit sentrifus. Darah didiamkan selama 30
menit, kemudian disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 2000 rpm.
Serumnya diambil sebanyak 200 µl lalu diuji nilai hematokrit dengan cara sampel
darah dimasukkan ke dalam pipa kapiler sampai 2/3 volume tabung. Salah satu
ujung pipa ditutup dengan cara dibakar lalu disentrifus selama 5 menit dengan

16

kecepatan 15000 rpm. Tinggi kolom eritrosit diukur dan dibandingkan dengan
tinggi cairan darah dan nilainya dinyatakan dalam % (Riswanto, 2009).

$%

!

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPPS 17. Data
hasil penelitian ditentukan homogenitas dan normalitasnya untuk menentukan
analisis statistik yang digunakan. Data dianalisis dengan menggunakan uji
ANOVA satu arah untuk menentukan perbedaan rata8rata diantara perlakuan. Jika
terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji Post Hoc Tukey untuk
mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan. Berdasarkan nilai signifikansi,
p 60% dan kongestie pembuluh8pembuluh darah
kecil disertai dengan perdarahan interstitial dan sebukan sel radang minimal.
Gambar 5.7 adalah histopatologi jaringan tubulus ginjal mencit (pemberian
Siklofosfamid + ekstrak DBB dosis 500 mg/kg BB) yang memperlihatkan
nekrosis sel8sel tubulus dan glomerulus < 40%. Sedangkan Gambar 5.8 adalah
histopatologi jaringan tubulus ginjal mencit (pemberian Siklofosfamid + ekstrak
DBB dosis 1000 mg/kg BB) terlihat nekrosis yang minimal hanya < 20%.
Pada

organ

ginjal,

obat8obatan

kemoterapi

telah

dikenal

dapat

menyebabkan mikroangiopati trombotik sama seperti efek Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS). Pada glomerulus ginjal kadang8kadang toksisitas siklofosfamid

25

dapat menyebabkan perubahan8perubahan pada arteri glomerulus. Hal ini
dipengaruhi oleh tingkat keparahan dan durasi pemberiannya. Pada stadium awal,
glomeruli dapat menunjukkan penebalan dinding kapiler sehingga terlihat
pembengkakan atau ekspansi dari lapisan tipis yang terdapat pada sel endothelium
dengan membran basalis di bawahnya. Glomerulus dapat terlihat sedikit
hiposeluler dan kebanyakan lumina kapiler glomerulus tertutup. Juga dapat
terlihat fibrin8fibrin, thrombus platelet dan sel darah merah yang terfragmentasi
pada daerah mesangial seiring dengan kronisitas penyakit. Daerah interstitium
dapat terlihat edema ataupun fibrous dengan infiltrasi sel8sel radang mononuklear
minimal dan perdarahan interstitial serta nekrosis kortikal. Daerah tubulus juga
dapat memperlihatkan area8area nekrosis tubular akut yang diikuti dengan atrofi
tubuler pada stadium lanjut (Laszik dan Silva, 2007).
Pada Gambar 5.9 terlihat histopatologi jaringan hati mencit yang diberi
Larutan Siklofosfamid menunjukkan adanya nekrosis / apoptosis dengan inti sel
koagulatif dan sitoplasma eosinofilik. Gambar 5.11 merupakan histopatologi
jaringan hati mencit yang diberi Larutan Siklofosfamid + ekstrak DBB 250 mg/kg
BB menunjukkan adanya nekrosis / apoptosis yang cukup masif > 50%. Gambar
5.12 adalah gambaran histopatologi hati mencit (pemberian Siklofosfamid +
ekstrak DBB dosis 500 mg/kg BB) memperlihatkan nekrosis disertai kongesti dan
oklusi pembuluh darah pada beberapa fokus. Sedangkan Gambar 5.13
menunjukkan gambaran histopatologi hati mencit (pemberian Siklofosfamid +
ekstrak DBB 1000 mg/kg BB) memperlihatkan steatosis (perubahan ringan
/minimal) dengan inti terlihat atipikal hiperkromatik.
Siklofosfamid dapat menyebabkan kelainan oklusi pada vena di hati.
Bersama dengan obat agen alkilating lainnya seperti Busulfan dan Melphalan,
siklofosfamid merupakan agen penginduksi terjadinya VOD (Veno8Occlusive
Disease) utama,

yang mana secara langsung mempengaruhi tingginya

pembentukan metabolit toksik. VOD sendiri

juga mempengaruhi terjadinya

obstruksi vena terminal hepatik yang kecil sehingga pada histopatologi dapat
terlihat lumen pembuluh darah menyempit atau tertutup oleh jaringan ikat fibrous
yang edematous. Apabila ditemukan kronik dan cukup parah, dapat menyebabkan
kolaps parenkim yang masif dan akhirnya gagal hati. Pada jaringan parenkim hati,

26

kadang8kadang dapat terlihat jejas hepatoseluler berupa sitolitik yang berawal dari
hepatitis yang ringan sampai pada necrosis koagulatif maupun apoptosis, fokal
maupun masif. Dapat juga terlihat steatosis atau pembengkakan sitoplasma sel
hati oleh karena penimbunan lemak baik mikrovakuol maupun makrovakuole
(Bioulac dan Balabaud 2007).

Gambar 5.9 Histologi Hati mencit
kelompok kontrol positif

Gambar 5.10 Histologi Ginjal mencit
kelompok kontrol normal

Gambar 5.11 Histologi Hati mencit
(Siklofosfamid + ekstrak 250
mg/kg BB)

Gambar 5.12 Histologi Hati mencit
(Siklofosfamid + ekstrak
500 mg/kg BB)

Gambar 5.13 Histologi Hati mencit
(Siklofosfamid + ekstrak 1000 mg/kg BB)

27

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak etilasetat daun bangun8bangun mengandung triterpenoid/steroid,
glikosida dan flavonoid.
2. Ekstrak etilasetat daun bangun8bangun memiliki aktivitas antimutagenik
ditandai dengan penurunan jumlah mikronukleus pada sumsum tulang
femur mencit yang diinduksi siklofosfamid. Tiga variasi dosis memiliki
efek yang tidak berbeda signifikan satu sama lain.
3. Ekstrak etilasetat daun bangun8bangun mampu melindungi organ hati dan
ginjal terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh larutan siklofosfamid
dosis 30 mg/kg BB.
6.2 Saran
Sebaiknya dilakukan juga pemberian EADBB sebelum pemberian induksi
siklofosfamid untuk melihat efek preventifnya sehingga dapat dibandingkan
efek kuratif dengan efek preventif EADBB terhadap jumlah mikronukleus
yang terdapat pada sumsum tulang femur mencit.

28

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. (2009). Obesitas dan Kurang Aktifitas Fisik Menyumbang 30% Kanker.
Diunduh pada 31 Januari 2011. http:www.depkes.go.id.
Balmer, C.M., Valley, A.W., dan Lanucci, A. (2005). Cancer Treatment and
Chemotherapy. Dalam Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach.
Disunting oleh Joseph T. Dipiro. New York: Mc. Graw Hill Company.
Hal. 227982358.
Bioulac8Sage P, Balabaud C. (2009). Toxic and Drug8Induced Disorders of the
Liver. In: Surgical Pathology of the GI Tract, Liver, Billiary Tract and
Pancreas. Disunting Oleh Odze RD, Goldblum JR. Philadelphia: Saunders
Elsevier.2nd edition. Hal. 106381082.
Chang, J., Cheng, C., Hung, L., Chung, Y., dan Wu, R. (2007). Potential Use of
Plectranthus amboinicus in The Treatment of Rheumatoid Arthritis.
eCAM. 7(1):1158120.
Corwin, E.J. (2008). Handbook of Pathophysiology. Edisi ketiga. Ohio:Lippincot
Williams & Wilkins, USA.
Damanik, R., Damanik, N., Daulay, Z., Saragih, S., Premier, R.,
Wattanapenpaiboon, N., Wahlqvist, M.L. (2001). Consumption of bangun8
bangun leaves (Coleus amboinicus, Lour.) to increase breast milk
production among Batakneese woman in North Sumatera island,
Indonesia. Proceedings of the Nutrition Society of Australia. Asia Pacific
Journal of Clinical Nutrition. 10 (4): 67.
Departemen Kesehatan RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:
Depkes. Hal. 29831, 33, 649, 748.
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan
Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 10811.
Fenech, M. (2000). The in Vitro Micronucleus Technique. Mutation Research
455. Hal: 81895
Harbone, J.B. (1996). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Diterjemahkan Oleh Kosasih Padmawinata. Edisi II. Bandung:
ITB Press. Hal. 6, 71, 76, 84885, 94897.
Himawan, S. (1992). Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: UI Press. Hal: 1830

29

Hole, R.C., Juvekar, A.R., Roja, G., Eapen, dan Souza, S.F. (2009). Positive
Inotropic Effect of The Leaf Extracts of Parent and Tissue Culture Plants
of Coleus amboinicus on an Isolated Perfused Frog Heart Preparation.
Food Chemistry.114(1):1398141.
Kaliappan, N.D., dan Viswanathan, P.K. (2008). Pharmacognostical Studies on
The Leaves of Plectranthus amboinicus (Lour) Spreng. International
Journal of Green Pharmacy. 8(3): 1828184.
Krisna, G., Hayashi, M. (2000). In Vivo Rodent Micronucleus Assay: Protocol,
Conduct and Data Interpretation. Mutation Research. 455: 1558166
Laszik ZG, Silva FG.(2007). Hemolytic Uremic Syndrome, Thrombotic
Thrombocytopenic Purpura and Other Thrombotic Microangiopathies. In :
Heptinstall’s Pathology of the Kidney. Disunting Oleh Jennette JC, Olson
JL, Schwartz MM, Silva FG. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. Edisi keenam. Volume I. Hal. 7038716.
Palani, S., Raja, S., Naresh, R., dan Senthil K.B. (2010). Evaluation of
Nephroptotecctive, Diuretic, and Antioxidant Activities of Plectranthus
amboinicus on Acetaminophen8Induced Nephrotoxic Rats. Toxicology
Mechanism and Methods. 20(4): 2138221.
Patel, R. (2011). Hepatoprotective Effects of Plectranthus amboinicus (Lour.)
Spreng Againts Carbon Tetrachloride8Induced Hepatotoxicity. Journal of
Natural Pharmaceuticals. 2(1): 28835.
Patel, R., Mahobia, N.K., Gendle, R., Kaushik, B., dan Singh, S.K. (2010).
Diuretic Activity of Leaves of Plectranthus amboinicus (Lour) Spreng in
Male Albino Rats. Pharmacognosy Research. 2(2): 86888.
Pane, M., (2010). Aspek Klinis dan Epidemiologis Penyakit Kanker Payudara.
Diunduh dari: http. tempo.co.id/medika/arsip/082002/pus83.htm pada 31
januari 2011
Rao, B. S., Shanboge, R., Upadhya, D., Jagetia, G.C., Adiga, S.K., Kumar, P.,
Guruprasad, K., dan Gayathri, P. (2006). Antioxidant, Anticlastogenic and
Radioprotective Effect of Coleus aromaticus on Chinese Hamster
Fibroblast Cells (V79) Exposed to Gamma Radiation. Mutagenesis. 21(4):
2378242.
Rasineni, G. K., Siddavattam, D., dan Reddy, A.R. (2008). Free Radical
Quenching Activity and Polyphenols in Three Species of Coleus. Journal
of Medicinal Plants Research. 2(10): 2858291.
Shan, J., Xuan, Y., Zheng, S., Dong, Q., dan Zhang, S. (2009). Ursolic Acid
Inhibits Proliferation and Induces Apoptosis of HT829 Colon Cancer Cells

30

by Inhibiting the EGFR/MAPK Pathway. J Zhejiang Univ Sci B. 10(9):
6688674.
Santosa, C.M., dan Hertiani, T. (2005). Kandungan Senyawa Kimia dan Efek
Ekstrak Air Daun Bangun8bangun (Coleus amboinicus, L.) pada Aktivitas
Fagositosis Netrofil Tikus Putih (Rattus norvegicus). Majalah Farmasi
Indonesia. 16(3): 1418148.
Shyama, P. S., Naik, P., dan Vijayalaxmi, K. (2002). Efficiency of Coleus
Aromaticus Extract in Modifying Cyclophosphamide and Mitomicyn8C
induced Clastogenicity in Mouse Bone Marrow Cells. Journal of
Experimental Biology. 40(9): 102081025.
Sihombing, M. (2001). Pengaruh Hati Ikan Terhadap Absorbsi Fe Berasal dari
Daun Bangun8bangun (Coleus amboinicus, L.) pada Tikus Albino Strain
Wistar. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI.
Thomas, C. (1988). Histopatologi: Buku Teks dan Atlas untuk Pelajaran Patologi
Umum dan Khusus. Edisi 10. Jakarta: EGC. Hal: 12820
Valera, D., Rivas, R., Avila, J.L., Aubert, L., Alonso, A.M., dan Usubillaga, A.
(2003). The Essential Oil of Coleus amboinicus Laureiro Chemical
Composition and Evaluation of Insect Anti8Feedant Eff