Uji Kombinasi Anti Bakteri Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Dengan Povidon Iodin

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Morfologi tumbuhan
Tumbuhan Leea aequata L.merupakan tumbuhan perdu, tahunan,
tingginya 1½-3 m. Batang tumbuhan ini berkayu, bercabang, bentuk bulat, masih
muda berambut, dan hijau. Daun tumbuhan majemuk, anak daun lanset,
bertangkai pendek, tepi daun begerigi, ujung daun runcing, pangkal membulat,
panjangnya 6-25 cm, lebarnya 3-8 cm, berambut dan bewarna hijau. Bunga
tumbuhan majemuk, bentuk malai, kelopak bulat telur, panjang 2-5 cm, kuning
keputih-putihan. Buahnya berbentuk bulat, diameter ±12 mm, masih muda hijau
dan setelah tua ungu kehitaman dengan biji kecil, bentuk segitiga, dan bewarna
putih kekuningan. Tumbuhan ini termasuk tumbuhan berakar tunggang dengan
warna cokelat muda (Depkes RI, 2001).
2.1.2 Habitat
Tumbuhan ini tumbuh tersebar di seluruh pulau Jawa pada ketinggian
kurang dari 1000 m di atas permukaan laut, sebagai semak yang tidak berduri
yang tumbuh di tepi sungai-sungai dan dibawah belukar lain di lembah-lembah
(Heyne, 1950).
2.1.3 Nama asing

Leea aequata L. memiliki nama lain seperti : ginggiyang (Sunda), girang
(Jawa Tengah), jirang (Madura), kayu ajer perempuan (Melayu), mali-mali
(Makasar), uka (Maluku) (Depkes RI, 2001).

7
Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Sistematika tumbuhan
Klasifikasi tumbuhan titanus adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2001) :
Kindom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae


Kelas

: Dicotyledoneae

Bangsa

: Rhamnales

Suku

: Leeaceae

Marga

: Leea

Jenis

: Leea aequata L.


2.1.5 Manfaat tumbuhan
Daun Leea aequata L. berkhasiat sebagai obat luka baru dan pegal linu.
Untuk obat luka baru dipakai ±30 gram daun segar Leea aequata L., dicuci,
ditumbuk sampai lumat, ditempelkan pada luka dan dibalut dengan kain bersih
(Depkes RI, 2001).
2.1.6 Kandungan kimia
Biji Leea aequata L. mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol
(Depkes RI, 2001). Daun Leea indica yang mempunyai famili sama dengan Leea
aequata L.,mengandung metabolit sekunduer yaitu

alkaloid, glikosida,

steroid/terpenoid, flavonoid dan tannin (Rahman,et al., 2012).

2.2 Ekstraksi

8
Universitas Sumatera Utara


Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan
diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan
pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 1995).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara dan pelarut yang cocok, di luar
pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 1979).
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan beberapa cara
yaitu :
a. Cara dingin
1. Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan cara merendam serbuk
simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokkan
atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
2. Perkolasi ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang
umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya
(Ditjen POM, 2000).
b. Cara panas

1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
karena adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

9
Universitas Sumatera Utara

2. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40-50O C (Ditjen POM, 2000).
3. Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan pelarut relatif konstan (Ditjen POM, 2000).
4. Infundasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati
dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Ditjen POM, 1979).
5. Dekoktasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia
dengan air bersuhu kamar atau dengan air bersuhu≥( 90

o


C) sambil diaduk

berulang-ulang dengan pemanas air selama 30 menit (Voigt, 1984).

2.3 Povidon iodin
Povidon iodin adalah senyawa kompleks dari iodin dengan povidon.
Povidon iodin mengandung tidak kurang dari 9,0% dan tidak lebih dari 12,0%
iodin (I) dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Larutan topikal povidon
iodin adalah larutan povidon iodin. Larutan povidon iodin mengandung tidak
kurang dari 85,0% dan tidak lebih dari 120,0% iodin dari jumlah yang tertera pada
etiket. Larutan povidon iodin dapat mengandung sedikit etanol. Larutan povidon
iodin dengan pH antara 1,5 dan 6,5. Larut dalam air dan dalam etanol (Depkes RI,
1995).
Identifikasi:

10
Universitas Sumatera Utara

a. Tambahkan 1 ml larutan yang mengandung lebih kurang dari 0,05%
iodium kedalam campuran 1 ml kanji LP dan 9 ml air, terjadi warna biru

tua (Depkes RI, 1995).
b. Masukkan 10 ml larutan kedalam labu Erlenmeyer 50 ml, hindari kontak
dengan leher labu, tutup labu dengan kertas saring dan basahkan dengan 1
tetes kanji LP, tidak terjadi warna biru dalam waktu 60 detik (Depkes RI,
1995).
c. Sebarkan 1 ml larutan (1 dalam 10) diatas lempeng kaca 20 cm x 20 cm
dan biarkan semalam di udara terbuka dalam suhu kamar dengan
kelembaban rendah : terbentuk lapisan tidak menyebar, kering, coklat dan
mudah larut dalam air (Depkes RI, 1995).
Povidon-iod (Betadine) adalah kompleks iod dengan polivynil-pirolidon
yang tidak merangsang dan dalam larutan air berangsur-angsur membebaskan
iodium. Zat ini berakumulasi di kulit dan menyebabkan efek antiseptis yang
bertahan lama. Kompleks iodofor ini mudah larut dalam air dan mudah dicuci dari
kulit atau pakaian, bersifat lebih efektif karena tidak menguap dan kerjanya lebih
panjang dari iod. Karena sifat-sifatnya tinktur povidon-iod 10% dengan kadar iod
bebas 1% telah menggantikan tinktur iodium konvensional (Tan dan Rahardja,
2007).
Povidon iodin secara klinis digunakan untuk mencegah dan mengobati
permukaan kulit yang terinfeksi, luka yang terinfeksi, luka bakar, lasetasi dan
abrasi untuk pembersihan sebelum dan sesudah pembedahan, dan juga dioleskan

pada kulit pasien setelah pembedahan (Gennaro, 1990).

11
Universitas Sumatera Utara

Povidon iodin dapat membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif,
jamur, virus, protozoa dan ragi. Afinitas dari povidon terhadap iodin lebih besar
daripada iodid, supaya konsentrasi dari iodin yang bebas lebih kecil dari 1 ppm.
Sebagai akibatnya aktifitas dari povidon iodin untuk menghambat bakteri
menyebar ke larutan iodin (Gennaro, 1990).
Penggunaan povidon iodin terutama untuk desinfeksi kulit dalam bentuk
tinktur, sabun cair, salep, krem, lotion, dan bedak tabor. Efek samping: hati-hati
bila digunakan pada permukaan kulit rusak yang luas (misalnya luka bakar),
karena iodium dapat diabsorpsi dan meningkatkan kadarnya dalam serum
sehingga dapat menimbulkan asidosis, neutropeni dan hipotirosis (selewar) (Tan
dan Rahardja, 2007).

2.4 Sterilisasi
Sterilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua
jenis mikroorganisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa,

fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada atau di dalam suatu benda
Metode sterilisasi dibagi menjadi dua, yaitu metode fisik dan metode kimia.
Metode sterilisasi kimia dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia,
sedangkan metode sterilisasi fisik dapat dilakukan dengan cara panas baik panas
basah dan panas kering (Pratiwi, 2008).
2.4.1 Sterilisasi panas kering
Prinsip kerja sterilisasi panas kering adalah mematikan organisme dengan
cara mengoksidasi komponen sel ataupun mendenaturasi enzim. Menurut Waluyo
(2010) ada dua metode sterilisasi panas kering yaitu :

12
Universitas Sumatera Utara

1. Pembakaran langsung
Pembakaran merupakan cara sterilisasi yang 100% efektif tetapi cara ini
terbatas penggunaannya. Cara ini bisa dipergunakan untuk mensterilkan alat
penanam kuman (jarum ose). Yakni dengan membakarnya sampai pijar.
2. Pemanasan dengan oven atau sterilisasi dengan udara panas
Sterilisasi ini dengan menggunakan udara panas. Alat-alat yang disterilkan
ditempatkan dalam oven dimana suhunya dapat mencapai 160-1800C. Caranya

dengan memanaskan udara dalam oven tersebut dengan gas atau listrik, oleh
karena daya penetrasi panas kering tidak sebaik panas basah, maka waktu yang
diperlukan pada sterilisasi cara ini lebih lama yakni selama 1-2 jam.
2.4.2 Sterilisasi panas basah
Menurut Pratiwi (2008) sterilisasi ini dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu :
1. Perebusan menggunakan air
Teknik sterilisasi perebusan menggunakan air mendidih 100ºC selama 10
menit.
2. Autoklaf
Teknik sterilisasi ini menggunakan temperatur di atas 100ºC dilakukan
dengan uap, alat serupa pressure cooker dengan pengatur tekanan dan klep
pengaman. Prinsip autoklaf adalah membunuh mikroorganisme dengan cara
mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran sel
mikroorganisme.

2.5 Bakteri

13
Universitas Sumatera Utara


2.5.1 Uraian umum
Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” dari bahasa Yunani yang berarti
tongkat atau batang, sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok
mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan pembelahan diri serta
demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro,
1978).
Menurut Waluyo (2010) morfologi bakteri dapat dibedakan atas tiga
bagian yaitu :
a. Cocci/coccus
Kokus adalah bakteri yang berbentuk bulat seperti bola-bola kecil. Kelompok
ini ada yang bergerombol dan bergandeng-gandengan membentuk koloni.
Berdasarkan jumlah koloni, kokus dapat dibedakan menjadi beberapa
kelompok, yaitu :
-

monokokus (monococcus), bila kokus hidup menyendiri.

-

diplokokus (diplococcus), bila kokus membentuk koloni terdiri dari dua
kokus.

-

Streptococcus (streptococcus), bila koloni berbentuk rantai.

-

Stafilokokus (staphylococcus), bila koloni bakteri kokus membentuk
untaian seperti buah anggur.

-

Sarsina (Sarcina), bila koloni bakteri mengelompok serupa kubus.

-

Tetrakokus (tetrakokus), bila koloni bakteri terdiri dari empat kokus.

b. Bacilli
Basil dari bacillus, merupakan bakteri yang mempunyai bentuk tongkat
pendek/ batang kecil dan silindris. Sebagian bakteri berbentuk basil. Basil

14
Universitas Sumatera Utara

dapat bergandeng-gandengan panjang, bergandeng-gandengan dua-dua atau
terlepas satu sama lain. Berdasarkan jumlah koloni, basil dapat dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu :
-

monobasil (monobacillus), yakni basil yang hidup menyendiri atau tidak
bergerombol.

-

Diplobasil (diplobacillus), bila koloni terdiri dari dua basil.

-

Streptobasil (streptobacillus), bila koloni bakteri berbentuk rantai.

c. Spiral
Spiral merupakan bakteri yang berbentuk bengkok atau berbengkokbengkok seperti spiral. Bakteri yang berbentuk spiral sangat sedikit jumlahnya.
Golongan ini merupakan golongan paling kecil jika dibandingkan dengan
golongan basil dan golongan kokus.
2.5.2 Bakteri yang menginfeksi kulit
Kulit utuh adalah penghalang yang efektif yang mencegah banyak agen
penginfeksi memperoleh jalan masuk ke tubuh. Akan tetapi, sepanjang kehidupan
normal kulit tidak selalu utuh. Sobekan kulit yang begitu kecil sehingga tidak
terlihat bisa memungkinkan bakteri masuk dan berlipat ganda. Beberapa
organisme memasuki tubuh melalui kontak dengan kulit. Bakteri yang masuk
melalui lecet kulit diantaranya Stapylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis
dan Pseudomonas aeruginosa (Volk dan Wheeler, 1984).
1.

Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah jenis kuman yang terutama menimbulkan

penyakit pada manusia. Setiap jaringan ataupun alat tubuh dapat diinfeksi olehnya

15
Universitas Sumatera Utara

yang menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang khas yaitu,
peradangan, nekrosis dan pembentukan abses (Staf Pengajar FK UI, 1994).
Staphylococcus aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif, berbentuk
bulat atau coccus dengan diameter 0,4-1,2 µm. Hasil pewarnaan yang berasal dari
perbenihan padat akan memperlihatkan susunan bakteri yang bergerombol seperti
buah anggur. Kuman ini tidak dapat bergerak. Suhu optimal pertumbuhannya
adalah 370C. Staphylococcus aureus akan membentuk pigmen kuning emas.
Koloni yang tumbuh berbentuk bulat, berdiameter 1-2 mm, permukaannya
mengkilat dan konsistensinya lunak (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003).
2. Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif, aerob atau
aerob fakultatif, berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter
0,8-1,0 µm, tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih.
Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 370C. Koloni pada pembenihan padat
berbentuk bulat halus, menonjol, berkilau, tidak menghasilkan pigmen, berwarna
putih porselen sehingga Staphylococcus epidermidis disebut juga Staphylococcus
alba (Jawetz, et al., 2001). Kuman ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan
luka (Dwijoseputro, 1978).
3. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri berbentuk batang, ukurannya
0,6 x 2 µm. Merupakan bakteri gram negatif dan terlihat sebagai bentuk tunggal,
ganda dan kadang-kadang dalam rantai pendek. Pseudomonas aeruginosa bersifat
aerobik obligat yang tumbuh dengan cepat pada berbagai tipe media dan tumbuh
baik pada suhu 37 – 420C (Brooks, et al., 2001). Organisme ini tidak membentuk

16
Universitas Sumatera Utara

sporula dan ditemukan sebagai bagian flora normal saluran usus maupun kulit
manusia (Volk dan Wheeler, 1984).
2.5.3 Pertumbuhan dan perkembangan bakteri
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
bakteri meliputi :
1.

Temperatur
Temperatur menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas kimia.
Pada temperatur yang sangat tinggi akan terjadi denaturasi protein yang tidak
dapat balik, sedangkan pada temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim
akan berhenti. Pada temperatur pertumbuhan optimal akan terjadi kecepatan
pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal (Pratiwi,
2008). Bentuk psikrofil tumbuh terbaik pada temperatur rendah (15-200C),
bentuk mesofil tumbuh terbaik pada temperatur 30-370C dan bentuk termofil
tumbuh terbaik pada 50-600C (Brooks, et al., 2001).

2.

pH
kebanyakan organisme memiliki kisaran pH optimal yang sempit. Secara
empirik pH optimal harus ditentukan untuk masing-masing spesies (Jawetz, et
al., 2001). Mikroorganisme asidofil tumbuh pada kisaran pH optimal 1,0-5,5,
mikroorganisme neutrofil tumbuh pada kisaran pH optimal 5,5-8,0,
mikroorgansime alkalofil tumbuh pada pH optimal 8,5-11,5, sedangkan
mikroorganisme alkalofil ekstrem tumbuh pada kisaran pH optimal
≥ 10
(Pratiwi, 2008).

3.

Tekanan osmosis

17
Universitas Sumatera Utara

Tekanan osmose sangat diperlukan untuk mempertahankan bakteri agar tetap
hidup. Apabila bakteri berada dalam larutan konsentrasi lebih tinggi daripada
konsentrasi yang ada dalam sel bakteri, maka akan terjadi keluarnya cairan
dari sel bakteri melalui membran sitoplasma yang disebut plasmolisis (Tim
Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003).
4.

Oksigen
Menurut Tim Mikrobiologi FK Brawijaya (2003) berdasarkan akan
kebutuhan terhadap oksigen, bakteri digolongkan menjadi berikut :
a. Bakteri aerob obligat : bakteri yang memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya.
b. Bakteri anaerob fakultatif : bakteri yang dapat tumbuh baik ada
oksigen maupun tanpa adanya oksigen.
c. Bakteri anaerob obligat : bakteri yang hidup bila tidak ada oksigen
d. Bakteri mikroaerofilik : bakteri yang kebutuhan oksigennya rendah.

5.

Nutrisi
Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan
pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi
dua yaitu makroelemen (C, O, H, N, S, P, Ca, Fe, Mg), dan mikroelemen
(Mn, Zn, Co, Cu) (Pratiwi, 2008).

6.

Media kultur

18
Universitas Sumatera Utara

Bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme di
laboratorium. Berdasarkan konsistensinya, media dikelompokkan menjadi
dua macam yaitu media cair dan media padat (Pratiwi, 2008).
2.5.4 Fase pertumbuhan bakteri
Menurut Pratiwi (2008) fase pertumbuhan bakteri meliputi empat fase, yaitu :
1.

Fase lag
Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme

pada suatu lingkungan baru. Ciri fase ini adalah tidak adanya peningkatan jumlah
sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada
kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan.
2.

Fase eksponensial (fase log)
Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah

pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika bakteri, sifat media, dan
kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang
bertambah secara eksponensial.
3.

Fase stasioner
Pertumbuhan bakteri berhenti pada fase ini dan terjadi keseimbangan

antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati, karena pada fase
ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik.
4.

Fase kematian
Pada fase ini jumlah sel yang mati meningkat, faktor penyebabnya adalah

ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.

2.6 Pengukuran aktivitas antibakteri

19
Universitas Sumatera Utara

Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap agen antibakteri tertentu
dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu metode dilusi dan
metode difusi.
1. Metode dilusi
Metode ini digunakan untuk mengukur kadar hambat minimum (KHM)
dan kadar bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan yaitu dengan membuat
seri pengenceran agen antimikroba pada media cair yang telah ditambahkan
dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimkroba pada kadar terkecil yang terlihat
jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan
yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair
tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama
18-24 jam. Media yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai
KBM (Pratiwi, 2008).
2. Metode difusi agar
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram
kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium
padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya dan zat
yang bersifat antimikroba diteteskan ke dalam pencadang kemudian diinkubasi
pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diamati area jernih di sekitar
pencadang yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen, 2003).
Metode difusi disebut juga Kirby-Bauer test adalah metode yang paling
sering digunakan. Metode ini menggunakan media agar padat dan dapat dilakukan
dengan 3 teknik sesuai dengan reservoir yang digunakan yaitu teknik cakram
kertas, silinder dan perforasi. Teknik cakram kertas yaitu meletakkan cakram

20
Universitas Sumatera Utara

kertas yang telah direndam larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi
dengan bakteri uji. Teknik silinder yaitu meletakkan silinder gelas pada
permukaan media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji, kemudian
silinder tersebut diisi dengan larutan uji. Teknik perforasi dilakukan dengan
membuat lubang-lubang menggunakan perforator pada media agar padat,
kemudian lubang-lubang tersebut diisi dengan larutan uji. Kemudian media uji
diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Setelah diinkubasi, diamati adanya
daerah jernih di sekitar cakram, silinder atau lubang yang menunjukkan tidak
adanya pertumbuhan bakteri. Diameter zona hambat merupakan pengukuran
KHM secara tidak langsung dari antibakteri terhadap bakteri (Brooks, et al., 2001;
Suwandi, 2012).

2.7 Kombinasi antibakteri
Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis
untuk mengatasi infeksi (Sedyaningsih, 2011). Penggunaan kombinasi dua
antibiotik merupakan alternatif yang baik untuk memperlambat proses terjadinya
resistensi antibiotik dan mengembalikan keefektifan antibiotik yang tidak lama
diresepkan. Terapi kombinasi biasanya sangat dianjurkan pada pengobatan
empiris infeksi bakteri di unit pelayanan intensif, dimana monoterapi mungkin
tidak efektif terhadap semua patogen yang potensial, dan untuk mencegah
timbulnya resisten (Joung, et al., 2012).
Kombinasi antibiotik dan ekstrak tanaman merupakan konsep baru dan
telah digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri resisten. Kombinasi dapat
berupa ekstrak tanaman yang berbeda atau ekstrak tanaman dengan antibiotik

21
Universitas Sumatera Utara

standar. Kombinasi antibiotik dengan ekstrak tanaman mempunyai mekanisme
kerja yang berbeda terhadap bakteri resisten dan hal ini akan menuntun ke
pilihan baru untuk pengobatan penyakit infeksi (Chanda dan Rakholiya, 2011).
Kombinasi antibakteri atau antimikroba yang digunakan menurut indikasi
yang tepat dapat memberikan manfaat klinik yang besar. Penggunaan kombinasi
antibakteri (antibiotik) dimungkinkan dengan tujuan untuk menghadapi campuran
infeksi bakteri. Dengan kombinasi diharapkan mendapatkan hasil yang
sinergisme. Sinergisme adalah kerja sama antara dua obat dan dikenal dengan dua
jenis:
a. Adisi (penambahan). Efek kombinasi adalah sama dengan jumlah kegiatan
dari masing-masing obat.
b. Potensiasi (peningkatan potensi). Kedua obat saling memperkuat khasiatnya,
sehingga terjadi efek yang melebihi jumlah matematis dari a+b.
Menurut Brooks, et al., (2001) Pengaruh dua antibakteri (antibiotik)
bekerja secara bersamaan pada populasi bakteri homogen dapat dilihat pada uji in
vitro terutama kecepatan bakterisidal-nya dan in vivo. Pengaruh tersebut dapat
berupa salah satu dari yang berikut ini:
1. Indiferen (tidak terjadi apa-apa), yaitu aksi kombinasi tidak lebih baik daripada
obat yang lebih efektif bila digunakan sendiri.
2. Adisi (pertambahan), yaitu aksi kombinasi ekuivalen terhadap jumlah aksi pada
masing-masing obat bila digunakan sendiri.
3. Sinergisme, yaitu aksi kombinasi lebih besar daripada jumlah aksi kedua obat
bila digunakan sendiri.

22
Universitas Sumatera Utara

4. Antagonisme, yaitu aksi kombinasi kurang daripada aksi obat yang lebih
efektif bila digunakan sendiri (Brooks, et al., 2001; Jawetz, 1996).
Antagonisme antibiotik dibatasi secara tegas oleh hubungan dosis-waktu
dan karenanya jarang terjadi dalam terapi antibiotik di klinis. Ini terjadi jika obat
bakteriostatik yang diberikan bersamaan dengan obat bakterisidal. Antagonisme
terjadi terutama jika obat bakteriostatik mencapai tempat infeksi sebelum obat
bakterisidal, jika pembunuhan bakteri penting untuk pengobatan dan jika dosis
efektif minimal obat kombinasi sangat rendah (Brooks, et al., 2001).
Sifat sinergisme antibakteri dapat dilihat dengan perhitungan sebagai
berikut:
Diameter Zona Hambat Tunggal A+Diameter Zona Hambat Tunggal B
=AB
2
Jika hasil penjumlahan kedua diameter zona hambat obat A dan obat B melebihi
dari jumlah diameter zona hambat secara tunggal maka dapat dipastikan bahwa
kombinasi obat A dan B bersifat sinergisme potensiasi (Mulyantono dan Isman,
2008; Tan dan Rahardja, 2007).
Pengujian untuk melihat efek sinergisme dari kombinasi kedua antibakteri
dapat juga dilakukan dengan cara Disk Diffusion Testing (DDT) dimana pengujian
dilakukan menggunakan cakram, pengujian ini sama dengan metode test Kirby &
Bauer. Disk atau cakram terlebih dahulu masing-masing diresapi dengan agen
antimikroba tunggal kemudian keduanya ditempatkan pada jarak yang sama
dengan jumlah dari jari-jari zona penghambatan agen antimikroba saat diuji secara
terpisah atau tunggal. Kombinasi dikatakan bersifat sinergisme jika menunjukkan
peningkatan atau membentuk seperti jembatan pada atau dekat persimpangan dari
dua zona hambat, atau hambatan dari pertumbuhan yang merupakan efek

23
Universitas Sumatera Utara

kombinasi dari kedua agen antimikroba (Schwalbe, et al., 2007). Kombinasi yang
bersifat sinergisme dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Gambaran efek kombinasi agen antimikroba secara DDT
Keterangan:
A: Kombinasi bersifat aditif
B: Kombinasi bersifat sinergis
C: Kombinasi bersifat antagonis
D: Kombinasi bersifat sinergis (Sumber: Schwalbe, et al., 2007).

24
Universitas Sumatera Utara