Uji Aktivitas Antikejang Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Terhadap Ileum Marmut (Cavia cobaya) Terisolasi Secara In Vitro

(1)

(2)

54 `Lampiran 2. Ethical Clearence


(3)

Lampiran 3. Bagan kerja penelitian

1. Pembuatan serbuk simplisia, karakterisasi simplisia dan skrining fitokimia

Dicuci dari pengotor sampai bersih Ditiriskan lalu ditimbang berat basah Disortasi kering

Ditimbang berat kering

Dihaluskan Daun Titanus

Simplisa

Serbuk Simplisia

Karakterisasi Simplisia Skrinning Fitokimia

- Penetapan kadar air

- Penetapan kadar sari larut air - Penetapan kadar sari

larut etanol - Penetapan kadar abu

total

- Penetapan kadar abu tidak larut

- Pemeriksaan alkaloid - Pemeriksaan glikosida - Pemeriksaan glikosida

antrakuinon - Pemeriksaan saponin - Pemeriksaan flavonoid - Pemeriksaan tanin


(4)

56 Lampiran 3. (Lanjutan)

2. Pembuatan ekstrak etanol daun titanus (EEDT)

Dimasukkan dalam sebuah bejana Ditambahkan sebanyak 75 bagian etanol 96%

Ditutup

Dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil diaduk

Diperas

Dicuci ampas dengan etanol

96%, disaring

hingga diperoleh 100 bagian

Dipindahkan kedalam bejana tertutup

Dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung cahaya selama 2 hari

Dienap tuangkan atau disaring

Dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu tidak lebih dari 40o C

Ekstrak etanol kental Serbuk simplisia

daun titanus

Maserat Ampas

Maserat

Maserat


(5)

Lampiran 3. (Lanjutan)

3.Bagan kerja pengukuran kontraksi ileum marmut terisolasi

Didislokasi tulang belakang Marmut

Pengujian kontraksi seri konsentrasi Asetilkolin terhadap

otot polos ileum

Pengujian efek relaksasi ekstrak etanol daun Titanus

pada kontraksi otot polos ileum melalui

induksi Asetilkolin

Pengujian efek relaksasi Atropin Sulfat pada kontraksi

otot polos ileum melalui induksi

Asetilkolin Tahapan pengujian

Ekulibrasi selama 45 menit (diganti larutan tyrode setiap 15 menit)


(6)

58

Lampiran 4. Gambar sediaan daun Titanus (Leea aequata L.) di pasaran

Serbuk daun titanus

sediaan daun titanus


(7)

Lampiran 5. Gambar bagian makroskopik tumbuhan dari daun titanus (Leea aequata L.)

Tumbuhan titanus (Leea aequata L.)


(8)

60

Lampiran 6. Gambar simplisia dan serbuk simplisia daun titanus

Simplisia daun titanus


(9)

Lampiran 7. Gambar hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun titanus(perbesaran 10x40)

Keterangan : 1. Rambut penutup 2. Rambut kelenjar

3. Kristal kalsium oxalat bentuk jarum


(10)

62

Lampiran 8. Data pengujian kontraksi seri konsentrasi asetilkolin terhadap otot polos ileum

Konsetrasi Asetilkolin

(M)

% Kontraksi ileum *

Rerata SEM

1 2 3

1x10-8 1.1111 2.1052 1.1765 1.464267 0.32

3x10-8 8.8889 6.3158 11.7647 8.9898 1.57

1x10-7 16.6667 10.5262 21.1765 16.12313 3.09

3x10-7 22.2222 14.7368 28.2353 21.73143 3.90

1x10-6 28.8889 21.0526 38.8235 29.58833 5.14

3x10-6 43.3333 29.4737 51.7647 41.5239 6.50

1x10-5 66.6667 35.7895 61.1765 54.54423 9.51

3x10-5 82.2222 68.4211 74.1176 74.9203 4.00

1x10-4 82.2222 76.8421 76.4706 78.51163 1.86

3x10-4 94.4444 81.0526 81.1765 85.55783 4.44

1x10-3 93.3333 82.1053 81.1765 85.53837 3.91

3x10-3 100,0000 100,0000 100,000 100,0000 0

Keterangan :

* = %relaksasi dihitung dari titik kontraksi maksimal yang dicapai oleh pemberian asetilkolin


(11)

Lampiran 8. (Lanjutan) 2. Hitungan EC80 asetilkolin

Log EC80 =

[

80 – Y1

Y2-Y1

x

x

2

-x

1

]+ x

1

Keterangan:

X1 : Log. konsentrasi dengan respons tepat di bawah 80% X2 : Log. konsentrasi dengan respons tepat di atas 80% Y1 : %respons tepat di bawah 80%

Y2 : %respons tepat di atas 80%

a. Log EC80 =

[

80 – 66,6667

82,2222-66,6667 x�-5-(-4,5�

]

+(-4,5)

Log EC80 = -4,9285 EC80 = 1,1789 x 10-5 M b.Log EC80 =

[

80 – 76,8421

81,0526-76,8421 x�-4-(-3,5)�

]

+(-3,5)

Log EC80 = -3,875 EC80 = 1,3335 x 10-5 M c.Log EC80 =

[

80 – 76,4706

81,1765-76,4706 x�-3,5-(-3)�

]

+(-3)

Log EC80 = -3,3749

EC80 = 4,2179 x 10-4 M

Rerata EC80 = 1,1789 x 10 -5

M+ 1,3335 x 10-5 M+ 4,2179 x 10-4 M 3


(12)

64

Lampiran 9. Data efek relaksasi ekstrak etanol daun titanus pada kontraksi ileum melalui induksi asetilkolin 1,889x10-4 M

Keterangan :

* = %relaksasi dihitung dari titik kontraksi maksimal yang dicapai oleh pemberian asetilkolin 1,889x10-4 M

Dosi s ekst rak (mg/ ml)

% Relaksasi Ileum *

Rera ta

SEM

1 2 3 4 5 6

0,5

28.3018 23.9130 37.5000 26.4705 38.4615 20.0000 29.1

078 3.03

02

1

84.9056 65.2173 60.7142 35.2941 76.9230 34.2857 59.5

567 8.57

29

1,5

96.2264 78.2608 83.9285 85.2941 102.7581 85.7124 88.6

967 3.68

12 2

111.3207 86.9565 94.6428 105.8823 111.5384 95.7124 101. 0089

4.11 10

2,5

113.2075 104.3478 107.1428 111.7647 115.3846 107.1428 109. 8317

1.73 6862

3

115.0943 106.5217 110.7142 111.7647 119.2307 111.4285 112. 4590

1.75 73

3,5

115.0943 106.5217 117.8571 117.6470 119.2307 112.8571 114. 8680

1.91 00

4

115.0943 106.5217 117.8571 117.6470 119.2307 114.2857 115. 1061

1.87 44


(13)

Lampiran 10. Data efek relaksasi atropin sulfat pada kontraksi ileum melalui induksi asetilkolin 1,889x10-4 M.

Keterangan :

* = %relaksasi dihitung dari titik kontraksi maksimal yang dicapai oleh pemberian asetilkolin 1,889x10-4 M

Konsen trasi Atropin

Sulfat (M)

% Relaksasi Ileum *

Rerata SEM

1 2 3 4 5 6

1x10-8 24.5238 17.6470 27.7777 18,0000 44.1176 35.8974 27.993 4.2484

3x10-8 41.5094 32.3529 44.4444 26,0000 50,0000 46.1538 40.076 3.7164

1x10-7 54.7169 47.0588 75,0000 38,0000 58.8235 53.8461 54.574 5.0564

3x10-7 62.2641 47.0588 83.3333 50,0000 61.7647 56.4102 60.138 5.2692

1x10-6 66.0377 102.9411 87.5000 52,0000 76.4705 76.9230 76.978 7.1383

3x10-6 84.9056 102.9411 113.8888 110,0000 88.2352 133.333 105.55 7.2894

1x10-5 116.981 107.3529 116.6666 116,0000 144.117 133.333 122.40 5.5402


(14)

66

Lampiran 11. Data AUC efek relaksasi ekstrak etanol daun Titanus

pada kontraksi ileum melalui induksi asetilkolin 1,889 x 10-4M

Marmut

AUC*

Total

1 2 3 4 5 6 7

1

56.6037 90.566 103.7736 112.2641 114.1509 115.0943 115.0943 707.5469 2

44.5652 71.7391 82.6087 95.6522 105.4348 106.5217 106.5217 613.0434 3

49.1071 72.3214 89.2857 100.8928 108.9285 114.2857 117.8571 652.6783 4

30.8823 60.2941 95.5882 108.8235 111.7647 114.7059 117.647 639.7057 5

57.6923 89.8406 107.1483 113.4615 117.3077 119.2307 119.2307 723.9118 6

27.1429 59.9991 90.7124 101.4276 109.2857 112.1428 113.5714 614.2819 Rerata

44.33225 74.12672 94.85282 105.4203 111.1454 113.6635 114.987 658.528 SEM

5.254547 5.528915 3.783095 2.91511 1.716339 1.711067 1.888552 19.22928

Keterangan :

* = %relaksasi dihitung dari titik kontraksi maksimal yang dicapai oleh pemberian asetilkolin 1,889x10-4 M


(15)

Lampiran 12. Data AUC efek relaksasi atropin pada kontraksi ileum melalui induksi asetilkolin 1,889 x 10-4M

Marmut

AUC*

Total

1 2 3 4 5 6 7

1

33.0166 48.11315 58.4905 64.1509 75.47165 100.9434 116.9811 497.1673 2

24.99995 39.70585 47.0588 74.99995 102.9411 105.1470 109.5586 504.4113 3

36.11105 59.7222 79.16665 85.41665 100.6944 115.2777 116.6666 593.0553 4

22.0000 32.0000 44.0000 51.0000 81.0000 113.0000 116.0000 459.0000 5

47.0588 54.41175 60.2941 69.1176 82.35285 116.1764 147.0588 576.4703 6

41.0256 49.99995 55.12815 66.6666 105.1282 133.3333 133.3333 584.6151 Rerata

27.19773 38.99216 48.16834 57.44752 73.74333 91.75742 101.0442 438.3507 SEM

3.87431 4.101204 5.082658 4.680845 5.328101 4.582553 5.748007 22.8700

Keterangan :

* = %relaksasi dihitung dari titik kontraksi maksimal yang dicapai oleh pemberian asetilkolin 1,889x10-4 M


(16)

68

Lampiran 13.Hasil uji korelasi efek relaksasi ekstrak etanol daun Titanus pada kontraksi ileum melalui induksi asetilkolin 1,889 x 10-4 M

Correlations

Dosis Relaksasi Dosis Pearson Correlation 1 .891**

Sig. (2-tailed) .003

N 8 8

Relaksasi Pearson Correlation .891** 1

Sig. (2-tailed) .003

N 8 8

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(17)

Lampiran 14. Hasil uji-t independen nilai %relaksasi ekstrak etanol daun Titanus 2,5 mg/ml dengan nilai %relaksasi atropin sulfat 1 x 10-5M

terhadap kontraksi otot polos ileum oleh asetilkolin 1,889 x 10-4 M

Descriptives

%relaksasi Statistic Std. Error Sampel Ach+EEDT Mean 105.420283 2.9151098

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 97.926755 Upper Bound 112.913812 5% Trimmed Mean 105.516220

Median 105.125550

Variance 50.987

Std. Deviation 7.1405315

Minimum 95.6522

Maximum 113.4615

Range 17.8093

Interquartile Range 12.9808

Skewness -.172 .845

Kurtosis -1.864 1.741

Ach+Atropi n

Mean 113.979633 4.5825526 95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 102.199807 Upper Bound 125.759460 5% Trimmed Mean 113.628665

Median 114.138850

Variance 125.999

Std. Deviation 11.2249156

Minimum 100.9434

Maximum 133.3333

Range 32.3899

Interquartile Range 16.3695

Skewness .924 .845


(18)

70 Lampiran 14. (lanjutan)

Tests of Normality %relaksasi

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic Df Sig. Sampel Ach+EEDT .212 6 .200* .918 6 .489

Ach+Atropin .256 6 .200* .924 6 .532

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Group Statistics

%relaksasi N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Sampel Ach+EEDT 6 105.420283 7.1405315 2.9151098 Ach+Atropin 6 113.979633 11.2249156 4.5825526

Independent Samples Test Levene's

Test for Equality

of Variance

s t-test for Equality of Means

F Sig. T df Sig. (2-tailed ) Mean Differenc e Std. Error Differenc e 95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Samp el Equal variance s assume d .22 1 .64 8 -1.57 6

10 .146 -8.559350 0 5.431174 2 -20.660760 3 3.542060 3 Equal variance s not assume d -1.57 6 8.47 7

.152 -8.559350 0 5.431174 2 -20.961988 3 3.843288 3


(19)

Lampiran 15. Gambar alat organ bath

A


(20)

72 Lampiran 15. Lanjutan

C

D Keterangan:

A = empat set organ bath volume 50,0 ml C = transduser isometrik

B = termostat D = computer


(21)

Lampiran 16. Gambar pola kontraksi dan relaksasi ileum marmut terisolasi Gambar a. Pola kontraksi otot polos organ ileum terisolasi yang dikontraksi

dengan pemberian seri konsentrasi asetilkolin (10-8 – 3 x 10-3 M).

Gambar b. Pola relaksasi setelah pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol daun Titanus pada otot polos ileum terisolasi yang dikontraksi dengan asetilkolin 1,889 x 10-5M.


(22)

74 Lampiran 16. (Lanjutan)

Gambar c.Pola relaksasi setelah pemberian seri konsentrasi atropin sulfat pada otot polos ileum terisolasi yang dikontraksi dengan asetilkolin 1,889 x10-4 M.

Gambar d. Pola setelah pemberian Dimetil sulfoksida (DMSO) 0,2 % pada otot polos ileum terisolasi yang dikontraksi dengan asetilkolin 1,889 x 10-5M.


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, P., Karl-erik, A., Jerry, J.B., Christoper, C., William, C.G., Alison, D.F., Gary, K., Alan, L., Neil, M.N., Pankaj, J.P dan Alan, J.P. (2006). Muscarinic receptor: their distribution and function in body systems, and the implications for treating overactive bladder: a review. British Journal of Pharmacology. 148: 565-578.

Anas, Y., Agung, E.N., Sugeng, R. (2014). Kajian Reversibilitas Marmin Terhadap Reseptor Histamin H1, Asetilkolin Muskarinik Ach M3 dan β2- Adrenergik. Thesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Halaman 7. Bertoluzza, A., Bonora, S., Battaliga, M.A., dan Monti, P. (1979). Raman and

Infrared Study on the Effects of Dimethylsulphoxide (DMSO) on water structure. J. Raman. Spectors. 8(5): 231-235.

Brown, V.K., Robinson, J., dan Stevenson, D.E. (1963). A Note on the Toxicity and Solvent Properties of Dimethylsulphoxide. J.Parm. Pharmacol. 15(1): 688-692.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 30.

Depkes RI. (1986). Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 10,19,21.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 7.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid Keenam. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 297-326, 333-340. Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan

Pertama. Jakarta: Departemen kesehatan Republik Indonesia. Halaman 10-12, 14-17, 31-31.

Depkes RI. (2001). Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid Kedua. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Halaman 195.

Ditjen POM RI. (2012). Atropin Sulfat. Jakarta: Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas).

Farnsworth, N.R. (1966). Biologycal and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Sciences. 55(3): 263-264.


(24)

50

Goodman dan Gilman. (2008). Manual of Pharmacology and Therapeutics. United States of America: McGraw-Hill Companies, inc. Halaman 97. Handa, S.S., Khanuja, S.P.S., Longo, G., dan Rakesh, D.D. (2008). Extractions

Tecnologies for Medicinal and Aromatic Plants. Trieste: ICS-UNIDO. Halaman 22.

Harahap, U., Marianne., Yuliasmi, S., Husori, D.I., dan Ernawaty. (2015). Sistem Saraf Perifer dan Kontribusi Bahan Alam Untuk Memahami Fungsi dan Mekanismenya. Medan: USU Press. Halaman 102.

Harborne, J.B. (1984). Phytochemical Methods. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. (1987). Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 147.

Herman, R.B. (2004). Fisiologi Pencernaan. Padang. Andalas University Press. Husori, D.I. (2011). Peranan Epitelial Terhadap Efek Relaksasi Senyawa Marmin

dari Aegle marmelos Correa pada Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.

Irianto, K. (2004). Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk paramedis. Bandung: Yrama Widya. Halaman 66-67, 187.

Khan, A.U., dan Gilani, A.H. (2008). Pharmacodynamic Evaluation of Terminalia bellerica for Its Antihypertensive Effect. Journal of Food and Drug Analysis. 16(3): 6-14.

Khare, C.P. (2007). Indian Medicinal Plants. New Delhi: Springer Science + Business Media, LCC. Halaman 366.

Kitchen, I. (1984). Textbook of in vitro Practical Pharmacology.London: Blackwell Scientific Publications. Halaman 4.

LIPI. (2015). Hasil Identifikasi/ Derterminasi Tumbuhan. Cibinong: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Li, M., Johnson, C.P., Adams, M.B dan Sarna, S.K. (2002). Cholinergic and nitrergic regulation of in vivo giant migrating contractions in rat colon. Am. J. Physiol. Gastrointest. Liver. Physiol. 283: G544-G552.

Lulmann. (2000). Colos Atlas of Pharmacology. Second Edition. Germany: Thieme. Halaman 97.

Malinda, I. (2015). Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Pengobatan Tradisional Karo. skripsi. Medan: Universitas sumatera utara. Halaman 38, 39, 40.


(25)

Matsui, M., Motomura, D., Fujikawa, T., Jiang, J., Takahashi, S., Manabe, T., dan Taketo, M.M. (2002). Mice lacking M2 anf M3 muscarinic acetylcholine reseptors are devoid of cholinergic smooth muscle contrations but still viable. J. Neurosci. 22: 10627-10632.

Nugroho, A.E. (2012). Farmakologi Obat-Obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 16, 22-23, 26-35,183.

Perry, W.L.M. (1970). Pharmacological Experiments on Isolated Preparations. Edisi II. Edinburgh: Churcill Livingstone. Halaman 25.

Rahardjo, R. (2009). Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 52-53.

Rahman, M.A., Imran T. B., dan Islam, S. (2012). Antioxidative, Antimicrobial and Cytotoxic Effects Of The Phenolics Of Leea indica Leaf Extract. Saudi Journal of Biological Sciences. 20(2): 222.

Raihan, M.O., Md. R.H., Afrina, B., Md, M.R., Md, M.S., Mashudul, M, (2011). Sedatif and anxiolytic effect on the methanolic extract of Leea indica (Burm. F.) Merr. Leaf. In: Drug Discoveries & Therapeutics. Bangladesh: ddtjournal. 5(4): 185-189.

Robinson, T. (1991).The Organic Constituents of High Plant.6th edition. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 19, 154, 157.

Setiawati, A dan Gan, S. (2007). Obat Otonom. Dalam: Gunawan, S.G. (Ed). Farmakologi dan terapi. Edisi Kelima. Jakarta: FKUI. Halaman 33.

Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Editor: Beatricia I. Santoso. Edisi Kedua. Jakarta: ECG. Halaman 544, 570.

Sundari, D., Nugroho, Y,A., dan Nuratmi, B. (2005). Uji Khasiat Antidiare Ekstrak Daun Sendok (Plantago Major Linn.) Pada tikus Putih. Jakarta : Media Litbang Kesehatan. 15(3): 19-23.

Syamsudin dan Darmono. (2011). Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta: UI-Press. Halaman 76.

Tarannita, C., Nur Permatasari., dan Sudiarto. (2006). Efek Hambatan Ekstrak Daun Ceplukan (Physalis minima L) Terhadap Kontraktilitas Otot Polos Usus Halus Terpisah Marmut dengan Stimulasi Metakolin Eksogen. Jurnal kedokteran Brawijaya. 1(1) : 1-2.


(26)

52

Tjay, T.H dan Kirana, R. (2007). Obat-obat Penting. Edisi keenam. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman 512.

Torres-Piedra, M., Figueroa, M., Hernandez-Abreu, O., Ibarra-Barajas, M., Navarrete-Varquez, G. and Estrada-Soto, S. 2011. Vasorelaxant effect of flavonoids through calmodulin inhibitor: ex vivo, in vitro, and in silico approaches. Bioorganic and Medicinal Chemistry. 19: 542-546.

Virtual Medical Centre. (2006). Gastrointestinal system. Tanggal akses 17 Juli 2016. http://www.myvmc.com/anatomy/gastrointestinal-system.

Velasco, R., Trujillo, X., Vasquez, C., Huerta, M., dan Trujillo-Hernandez, B. (2003). Effect of Dimethyl Sulfoxide on Excitation-Contraction Coupling in Chicken Slow Skeletal Muscle. J. Pharmacol. Sci. 93: 149-154.

Tiwari, T.S. (2011). VPD Surveillance Manual : Tetanus. Edisi kelima. 16: 1. Tyrode, M.V. (1910). The Mode of Action of Some Purgative Salts. Arch. Intern.

Pharmacodyn. 17, 205-209.

Vogel, H.G., Bernward, A.S., Jurgen, S., Gunter, M., dan Wolfgang, F.V. (2002). Drug Discovery and Evaluation: Pharmacological Assays. Germany: Spinger-Verlag, Berlin Heidelberg.

WHO. (1998). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. England: World Health Organization. Halaman 31-33, 228.

Zunilda. (2007). Agonis dan Antagonis Muskarinik. Dalam: Gunawan, S.G. (Ed). Farmakologi dann terapi. Edisi Kelima. Jakarta: FKUI. Halaman 48-48,57.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.2 Jenis Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental. Tujuan metode eksperimental untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Prosedur yang dilakukan meliputi tahapan persiapan bahan pengujian dan tahapan pengujian efek ekstrak etanol daun titanus pada kontraksi ileum menggunakan alat organ bath.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian 3.3.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, neraca analitik (Boeco Germany), timbangan hewan (Presica Geniweigher), satu set alat preparasi organ (Germany), vortex (Boeco Germany), pengaduk (Dell), empat set organ bath volume 50,0 ml (ML0146/50, Panlab magnet (Bel-Art Products), transduser isometrik (MLT0201, Panlab, ADInstruments, Spain), komputer, ADInstruments, Spain), pipet volume mikro (Socorex, Switzerland), heating and magnetic stirrer (Velp Scientifica, Europe), termostat (ML0146/50, Panlab, ADInstruments, Spain), PowerLab 15T (serial


(28)

22

T15-0676, ADInstruments, Australia), Quad Bridge Amplifier (serial 224-0448, ADInstruments, Australia).

3.3.2 Bahan Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun titanus (Leea aequata L.), bahan kimia yang digunakan adalah larutan tirode ( terdiri dari NaCl, KCl, MgCl2, NaH2PO4, CaCl2, NaHCO3, dan D-Glukosa) (Merck), gas karbogen mengandung 95% oksigen dan 5% karbondioksida (Tri Gases, Medan, Indonesia), asetilkolin klorida (Sigma, Switzerland), atropin sulfat (Sigma , USA), dimetil sulfoksida (DMSO) (Merck) dan akuades.

3.4 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah marmut jantan (Cavia cobaya), berat badan antara 300-450 gram, usia 3-4 bulan dengan kondisi sehat (Vogel, et al., 2002). Hewan ini diaklimatisasi selama seminggu dengan tujuan untuk menyeragamkan makanan dan hidupnya dengan kondisi yang serba sama sehingga dianggap memenuhi syarat untuk penelitian.

3.5 Penyiapan Bahan Tumbuhan

Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, dan pembuatan simplisia daun titanus.

3.5.1 Pengumpulan Bahan

Sampel yang digunakan adalah daun titanus yang masih segar berwarna hijau (tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda) yang diambil dari Desa Suka Nalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pengumpulan


(29)

sampel dilakukan secara purposif tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain

3.5.2 Identifikasi Sampel

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. 3.5.3 Pengolahan Sampel

Sebanyak 4 kg daun titanus dibersihkan dari pengotor dengan cara mencuci dibawah air mengalir hingga bersih, ditiriskan, ditimbang berat basah, dikeringkan dalam rak pengering selama 5 hari, disortasi kering, ditimbang berat kering. Sampel dianggap kering apabila sudah rapuh, kemudian sampel diserbukan dan disimpan dalam wadah plastik.

3.6 Pembuatan Ekstrak Daun Titanus Secara Maserasi 3.6.1 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Titanus

Sebanyak 500 g simplisia dimasukkan kedalam wadah gelas berwarna gelap, dituangi 75 bagian cairan penyari (etanol 96%), ditutup, dibiarkan selama 5 hari dan terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, diperas, dan dicuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan kedalam bejana tertutup, biarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari, enap tuangkan atau saring (Depkes, RI., 1979). Filtrat diuapkan menggunakan rotary evaporator pada temperatur 40oC sampai diperoleh ekstrak kental.


(30)

24 3.7. Tahapan Persiapan Percobaan 3.7.1 Pembuatan Larutan Tirode

Larutan buffer fisiologis yang digunakan adalah larutan Tirode. Untuk membuat 1 liter larutan Tirode ditimbang:

CaCl2 : 0,20 gram MgCl2 : 0,10 gram KCl : 0,20 gram NaCl : 8,00 gram NaH2PO4 : 0,05 gram NaHCO3 : 1,00 gram D-Glukosa : 1,00 gram

Bahan (NaCl, KCl, MgCl2, NaH2PO4, CaCl2) dilarutkan terpisah dengan akuades sampai larut. NaHCO3 dan D-Glukosa ditambahkan terakhir setelah semua bahan tercampur agar tidak terjadi pengendapan garam kalsium yang ditandai dengan kekeruhan. Setelah semua bahan tercampur, larutan diaerasi dengan karbogen (O2 95%, CO2 5%). Selanjutnya larutan diatur pada pH 7,4. Larutan tirode dapat bertahan selama 24 jam (Kitchen, 1984).

3.7.2 Pembuatan Larutan Asetilkolin Klorida

Dalam penelitian ini, agonis kolinergik yaitu asetilkolin klorida digunakan sebagai penginduksi. Senyawa ini dapat menyebabkan kontraksi otot polos pada ileum. Dibuat larutan induk dengan cara melarutkan asetilkolin klorida ke dalam akuades sehingga didapat konsentrasi 2 x 10-1 M. Kemudian dibuat larutan yang lebih encer sampai kadar 2 x 10-6 M dengan faktor pengenceran 5 kali.

i. Pembuatan larutan baku asetilkolin klorida


(31)

Timbang seksama asetilkolin klorida (BM 181,60 g/mol) seberat 181,60 mg kemudian dilarutkan dalam 5,0 ml akuades. Diperoleh larutan asetilkolin klorida 2 x 10-1 M.

ii. Pembuatan seri konsentrasi asetilkolin klorida - Asetilkolin klorida 2 x 10-2M

Dipipet 500 μl larutan baku asetilkolin 2 x 10-1 M. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

- Asetilkolin klorida 2 x 10-3 M

Dipipet 500 μl larutan baku asetilkolin 2 x 10-2 M. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

- Asetilkolin klorida 2 x 10-4M

Dipipet 500 μl larutan baku asetilkolin 2 x 10-3 M. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

- Asetilkolin klorida 2 x 10-5 M

Dipipet 500 μl larutan baku asetilkolin 2 x 10-4 M. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

- Asetilkolin klorida 2 x 10-6 M

Dipipet 500 μl larutan baku asetilkolin 2 x 10-5 M. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

3.7.3 Pembuatan Larutan Ekstrak Etanol Daun Titanus

Sejumlah 800 mg ekstrak etanol daun Titanus (EEDT) dilarutkan dengan 1 ml DMSO (Dimethil sulfoxida), kemudian dicukupkan dengan larutan tirode hingga 5 ml. Diperoleh konsentrasi ekstrak 160 mg/ml (larutan stock). DMSO merupakan pelarut yang inert, non-toksik, dan dapat melarutkan hampir seluruh


(32)

26

senyawa dan merupakan pelarut yang semipolar, namun masih dapat bercampur dengan media tirode (Velasco, et al., 2003; Bertoluzza, et al., 1979; Brown, et al., 1963). Batas penggunaan jumlah pelarut DMSO yang ditambahkan ke dalam organ bath (40ml) adalah sebesar 400 μl atau 1% v/v (Husori, 2011).

3.7.4 Pembuatan Larutan Atropin Sulfat

Dalam penelitian ini atropin sulfat digunakan sebagai antagonis kolinergik. Senyawa ini dapat menghambat kontraksi otot polos pada ileum. Dibuat larutan induk dengan cara melarutkan atropin sulfat ke dalam akuades sehingga didapat konsentrasi 138,968 mg/ml. Kemudian dibuat larutan yang lebih encer sampai kadar 0,00139 mg/ml dengan faktor pengenceran 5 kali.

i. Pembuatan larutan baku atropin sulfat

Timbang seksama atropin sulfat (BM 694,84 g/mol) seberat 694,84 mg kemudian dilarutkan dalam 5,0 ml akuades. Diperoleh larutan atropin sulfat 138,968 mg/ml .

ii. Pembuatan seri konsentrasi atropin sulfat - Atropin sulfat 13,8968 mg/ml

Dipipet 500 μl larutan baku atropin sulfat 138,968 mg/ml. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

- Atropin sulfat 1,3897 mg/ml

Dipipet 500 μl larutan baku atropin sulfat 13,8968 mg/ml. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

- Atropin sulfat 0,1389 mg/ml

Dipipet 500 μl larutan baku atropin sulfat 1,3897 mg/ml. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.


(33)

- Atropin sulfat 0,0139 mg/ml

Dipipet 500 μl larutan baku atropin sulfat 0,1389 mg/ml. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

- Atropin sulfat 0,00139 mg/ml

Dipipet 500 μl larutan baku atropin sulfat 0,0139 mg/ml. Masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 4500 μl akuades. Vortex selama 3 menit.

3.8 Tahapan Pengujian 3.8.1 Preparasi Organ

Marmut ditimbang dan kemudian marmut dikorbankan dengan cara dislokasi tulang belakang kepala (cervix). Dilakukan pembedahan pada bagian abdomen, kulit bagian abdomen dipotong dengan menggunakan gunting. Usus dibersihkan dari lapisan mesenteric yang melindunginya. Saat jaringan sudah rileks, dipotong segmen usus bagian bawah yang mendekati caecum sepanjang 2-3 cm. Dengan menggunakan jarum kedua ujung potongan usus diikat dengan benang pada arah yang berlawanan. Benang bagian bawah usus diikatkan pada batang penahan jaringan dan benang bagian atas usus dihubungkan ke transduser daya. Jaringan usus halus dimasukkan kedalam organ bath yang berisi larutan tirode, dengan suhu larutan dipertahankan 37 ºC sambil diaerasi dengan karbogen secara terus menerus. Jaringan yang telah terisolasi diinkubasi selama 30 menit dengan pergantian larutan tirode setiap 15 menit. Dibiarkan beberapa saat sampai kondisi ritmik yang optimal (Vogel, et al., 2002).


(34)

28

3.8.2 Pengujian Kontraksi Seri Konsentrasi Asetilkolin Terhadap Otot Polos Ileum

Pengujian terhadap agonis muskarinik dilakukan untuk mengukur batas maksimum yang dapat ditunjukkan terhadap kontraksi ileum marmut, guna untuk mendapatkan konsentrasi submaksimum atau Effective Concentration (EC80) asetilkolin klorida. Pengukuran dilakukan secara bertingkat dengan pemberian kumulatif asetilkolin sehingga diperoleh konsentrasi di dalam organ bath 10-8 sampai 3 x 10-3 M (Tabel 3.1). Ileum marmut yang telah diekuilibrasi selama 45 menit (dengan pergantian larutan tirode tiap 15 menit) diberikan larutan asetilkolin dengan konsentrasi didalam organ bath 10-8 sampai 3 x 10-3 M (otot polos ileum marmut menunjukkan respons kontraksi maksimum).

Tabel 3.1 Pemberian asetilkolin secara kumulatif pada organ bath 40 ml

Konsetrasi larutan baku asetilkolin (M)

Volume yang ditambahkan kedalam

organ bath (µl)

Konsentrasi Asetilkolin Klorida dalam organ

bath (M)

2 x 10−6 200 1 x 10−8

2 x 10−6 400 3 x 10−8

2 x 10−5 140 1 x 10−7

2 x 10−5 400 3 x 10−7

2 x 10−4 140 1 x 10−6

2 x 10−4 400 3 x 10−6

2 x 10−3 140 1 x 10−5

2 x 10−3 400 3 x 10−5

2 x 10−2 140 1 x 10−4

2 x 10−2 400 3 x 10−4

2 x 10−1 140 1 x 10−3

2 x 10−1 400 3 x 10−3


(35)

Dari larutan baku dipipet berturut-turut asetilkolin klorida kedalam satu chamber pada organ bath volume 40 ml sehingga diperoleh konsentrasi yang kumulatif :

i.Dipipet 200 µl asetilkolin klorida 2 x 10−6 M kedalam organ bath volume 40 ml sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1 x 10−8 M, kemudian

ii.Dipipet 400 µl asetilkolin klorida 2 x 10−6 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 3 x 10−8 M, kemudian

iii.Dipipet 140 µl asetilkolin klorida 2 x 10−5 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1 x 10−7 M, kemudian

iv.Dipipet 400 µl asetilkolin klorida 2 x 10−5 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 3 x 10−7 M, kemudian

v.Dipipet 140 µl asetilkolin klorida 2 x 10−4 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1 x 10−6 M, kemudian

vi.Dipipet 400 µl asetilkolin klorida 2 x 10−4 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 3 x 10−6 M, kemudian

vii.Dipipet 140 µl asetilkolin klorida 2 x 10−3 M kedalam organ bath volume 40

ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1 x 10−5 M, kemudian


(36)

30

viii.Dipipet 400 µl asetilkolin klorida 2 x 10−3 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 3 x 10−5 M,

kemudian

ix.Dipipet 140 µl asetilkolin klorida 2 x 10−2 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1 x 10−4 M, kemudian

x.Dipipet 400 µl asetilkolin klorida 2 x 10−2 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 3 x 10−4 M, kemudian

xi.Dipipet 140 µl asetilkolin klorida 2 x 10−1 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1 x 10−3 M, kemudian

xii.Dipipet 400 µl asetilkolin klorida 2 x 10−1 M kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1 x 10−3 M.

Setelah diperoleh hasil kemudian dihitung %kontraksi ileum yang diinduksi dengan asetilkolin klorida. Tujuan perhitungannya adalah untuk memperoleh effective concentration 80% dari asetilkolin yang mampu membuat ileum berkontraksi. Sehingga dari hasil perhitungan diperoleh banyaknya asetilkolin klorida yang dibutuhkan untuk membuat ileum marmut terisolasi akan peningkatan kontraksi.

3.8.3 Pengujian Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Titanus (EEDT) pada Otot Polos Ileum melalui Induksi Asetilkolin

Pengujian aktivitas ekstrak etanol daun titanus terhadap peningkatan kontraksi ileum marmut yang diinduksi asetilkolin klorida dilakukan dengan


(37)

penambahan ekstrak etanol daun titanus kedalam organ bath. Pemberian ekstrak etanol daun titanus diberikan secara kumulatif sehingga diperoleh konsentrasi bertingkat yaitu 0,5 – 4 mg/ml ekstrak etanol daun titanus.

Ileum marmut harus diekulibrasi selama 45 menit (dengan pergantian larutan tirode tiap 15 menit) dengan tujuan agar kontraksi dan relaksasi pada ileum stabil. Setelah ileum marmut mencapai kondisi yang stabil, kemudian ileum diinduksi dengan asetilkolin klorida. Setelah dilakukan perhitungan effective concentration 80% maka diperoleh bahwa dengan pemberian 38 μl larutan asetilkolin klorida 2x10-1 M akan diperoleh konsentrasi sub maksimum asetilkolin klorida 1,889x10-4 M dalam organ bath. Sehingga dengan pemberian asetilkolin klorida 1,889x10-4 M maka sudah membuat ileum marmut terisolasi mengalami peningkatan kontraksi .

Tabel 3.2 Pemberian konsentrasi ekstrak etanol daun Titanus (EEDT) secara kumulatif pada organ bath volume 40 ml

Konsentrasi larutan baku EEDT(mg/ml)

Volume yang ditambahkan kedala

m organ bath (µl)

Konsentrasi EEDT dalam organ bath

(mg/ml)

160 125 0,5

160 125 1

160 125 1,5

160 125 2

160 125 2,5

160 125 3

160 125 3,5


(38)

32

Dari larutan baku dipipet berturut-turut EEDT kedalam satu chamber pada organ bath volume 40 ml sehingga diperoleh konsentrasi yang kumulatif :

i. Dipipet 125 µl ekstrak etanol daun titanus 160 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 0,5 mg/ml, kemudian

ii. Dipipet 125 µl ekstrak etanol daun titanus 160 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1 mg/ml, kemudian

iii. Dipipet 125 µl ekstrak etanol daun titanus 160 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 1,5 mg/ml, kemudian

iv. Dipipet 125 µl ekstrak etanol daun titanus 160 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 2 mg/ml, kemudian

v. Dipipet 125 µl ekstrak etanol daun titanus 160 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 2,5 mg/ml, kemudian

vi. Dipipet 125 µl ekstrak etanol daun titanus 160 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 3 mg/ml, kemudian

vii. Dipipet 125 µl ekstrak etanol daun titanus 160 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 3,5 mg/ml, kemudian


(39)

viii. Dipipet 125 µl ekstrak etanol daun titanus 160 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 4 mg/ml.

Setelah diperoleh hasil kemudian dilakukan perhitungan %relakasasi dari ekstrak etanol daun titanus terhadap kontraksi ileum dan perhitungan %korelasi antara kumlatif ekstrak dengan %relaksasi yang diberikan. Pengulangan percobaan yang dilakukan enam kali.

3.8.4 Pengujian Efek Relaksasi Atropin Sulfat Pada Kontraksi Otot Polos Ileum Melalui Induksi Asetilkolin

Ileum marmut dikondisikan dengan larutan tirode dalam organ bath yang terhubung pada tranduser isometrik. Ileum dikontraksi dengan pemberian 38 μl larutan asetilkolin klorida 2x10-1 M sehingga akan diperoleh konsentrasi sub maksimum asetilkolin klorida 1,889x10-4 M dalam organ bath. Setelah diperoleh kondisi kontraksi maksimum yang stabil kemudian dilakukan pemberian konsentrasi bertingkat atropin sulfat. Lihat Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Pemberian konsentrasi atropin sulfat secara kumulatif pada organ bath 40 ml

Konsentrasi larutan baku atropin sulfat

(mg/ml)

Volume yang ditambahkan kedalam

organ bath(µl)

Konsentrasi atropin sulfat dalam organ

bath (mg/ml)

0,00139 200 6,95 x 10−6

0,00139 400 2,08 x 10−5

0,0139 140 6,95 x 10−5

0,0139 400 2,08 x 10−4

0,1389 140 6,95 x 10−4

0,1389 400 2,08 x 10−3

1,3896 140 6,95 x 10−3


(40)

34

Dari larutan baku dipipet berturut-turut atropin sulfat kedalam satu chamber pada organ bath volume 40 ml sehingga diperoleh konsentrasi yang kumulatif :

i. Dipipet 200 µl larutan baku atropin sulfat 0,00139 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml sehingga konsentrasi atropin sulfat yang diperoleh adalah 6,95 x 10−6 mg/ml, kemudian

ii. Dipipet 400 µl larutan baku atropin sulfat 0,00139 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi atropin sulfat yang diperoleh adalah 2,08 x 10−5 mg/ml, kemudian

iii. Dipipet 140 µl larutan baku atropin sulfat 0,0139 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi atropin sulfat yang diperoleh adalah 6,95 x 10−5 mg/ml, kemudian

iv. Dipipet 400 µl larutan baku atropin sulfat 0,0139 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi atropin sulfat yang diperoleh adalah 2,08 x 10−4mg/ml, kemudian

v. Dipipet 140 µl larutan baku atropin sulfat 0,1389 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi atropin sulfat yang diperoleh adalah 6,95 x 10−4 mg/ml, kemudian

vi. Dipipet 400 µl larutan baku atropin sulfat 0,1389 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi atropin sulfat yang diperoleh adalah 2,08 x 10−3mg/ml, kemudian

vii. Dipipet 140 µl larutan baku atropin sulfat 1,3896 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi atropin sulfat yang diperoleh adalah 6,95 x 10−3 mg/ml, kemudian


(41)

viii. Dipipet 400 µl larutan baku atropin sulfat 1,3896 mg/ml kedalam organ bath volume 40 ml yang sama sehingga konsentrasi atropin sulfat yang diperoleh adalah 2,08 x 10−2mg/ml.

Setelah diperoleh hasil kemudian dilakukan perhitungan %relakasasi dari atropine sulfat terhadap kontraksi ileum. Pengulangan percobaan yang dilakukan enam kali.

3.9 Data dan Analisis Data 3.9.1 Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kontraksi otot polos ileum pada komputer (program komputer : LabChart® 7.02). Data yang diperoleh dalam persentase (%) respons terhadap respons maksimum yang dicapai. Selanjutnya, dibuat grafik hubungan antara konsentrasi terhadap % respon.

3.9.2 Analisis data

Nilai EC80 (konsentrasi agonis yang dapat menghasilkan respon sebesar 80% dari respons maksimum) agonis reseptor, dihitung berdasarkan grafik hubungan konsentrasi terhadap %respon. EC80 dihitung berdasarkan persamaan dibawah ini:

Log EC80 =

[

80 – �1

�2−�1

x(

2

− �

1)

]

+

1

Keterangan:


(42)

36

X2 : Log. konsentrasi dengan respons tepat di atas 80% Y1 : %respons tepat di bawah 80%

Y2 : %respons tepat di atas 80%

Selanjutnya, data disajikan dalam bentuk tabel dan nilai rata-rata ± SEM (Standar Error Mean) (Husori, 2011). Data %kontraksi dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Independent-Samples T Test. Sebelum pengujian tersebut terlebih dahulu dilakukan uji normalitas Kolmogrov-Smirnov.


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan LIPI Bogor, menunjukkan bahwa tumbuhan yang diteliti adalah Leea aequata L., suku Leeaceae. Hasil Identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 52.

4.2 Hasil Karakteristik Simplisia 4.2.1 Hasil Pemeriksaan Makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun titanus yaitu berwarna hijau tua pada bagian belakang dan hijau kekuning kuningan pada bagian depan, berbentuk lonjong, tepi daun bergerigi, ujung daun meruncing, berasa pahit, bau khas. Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 59.

4.2.2 Hasil Pemeriksaan Mikroskopik

Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk daun titanus memperlihatkan adanya stomata tipe parasitik, kristal kalsium oxalat bentuk jarum, rambut kelenjar dan rambut penutup (Malinda, 2015). Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 80.

4.2.3 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Serbuk Simplisia

Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun titanus dapat dilihat pada Tabel 4.1


(44)

38

Tabel 4.1 Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun titanus

No Parameter Hasil (%) MMI

1 Kadar air 4 -

2 Kadar sari larut air 8,11 -

3 Kadar sari larut etanol 9,61 -

4 Kadar abu total 7,58 -

5 Kadar abu tidak larut asam 0,65 -

Keterangan : (-) : tidak ada (Malinda, 2015). Syarat kadar sari larut dalam air, kadar sari larut dalam etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut dalam asam pada umumnya untuk masing-masing simplisia tidak sama. Pada pemeriksaan ini, karakterisasi simplisia belum tertera didalam Materia Medika Indonesia (MMI). Hasil penetapan kadar air dari simplisia daun titanus yaitu 4% yang menunjukkan bahwa kadar air simplisia memenuhi persyaratan yaitu tidak melebihi dari 10% (Depkes RI, 1995). Kadar sari larut air simplisia daun titanus 8,11% dan kadar sari larut etanol simplisia daun titanus 9,61%. Penetapan kadar abu pada simplisia daun titanus menunjukkan kadar abu total sebesar 7,58% dan kadar abu tidak larut dalam asam sebesar 0,65%.

4.3 Hasil Ekstraksi

Hasil ekstraksi 500 g serbuk simplisia dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%, bertujuan untuk mengekstraksi senyawa yang terdapat pada


(45)

simplisia daun titanus, baik bersifat polar maupun non polar, diperoleh ekstrak etanol daun titanus sebanyak 67 g.

4.4 Hasil Skrining Fitokimia

Penentuan golongan senyawa kimia simplisia dan ekstrak etanol daun titanus untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang ada didalamnya. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun titanus

No Parameter Serbuk simplisa Ekstrak

1 Alkaloida + +

2 Flavonoid + +

3 Glikosida + +

4 Glikosida antrakinon - -

5 Saponin + +

6 Tanin + +

7 Steroid/Triterpenoid + +

Keterangan:

(+): mengandung golongan senyawa;

(-) : tidak mengandung golongan senyawa (Malinda, 2015). Hasil skrining serbuk simplisia dan ekstrak etanol memberikan hasil yang positif terhadap senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.


(46)

40

4.5 Hasil Pengujian Kontraksi Seri Konsentrasi Asetilkolin Klorida Terhadap Otot Polos Ileum

Kontraksi yang dipicu oleh asetilkolin klorida dapat diamati melalui pengamatan terhadap perubahan %respon kontraksi otot polos ileum terisolasi terhadap penambahan seri konsentrasi asetilkolin klorida (10-8 – 3x10-3 M) pada organ ileum. Persentase kontraksi maksimal otot polos ileum diperoleh pada konsentrasi asetilkolin klorida adalah 3 x 10-3 M dan konsentrasi submaksimal pada konsentrasi asetilkolin 1,889 x 10-4 M bertingkat dengan asetilkolin dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi submaksimal atau Effective Concentration (EC80) asetilkolin klorida.

Gambar 4.3 Grafik %konsentrasi otot polos organ ileum terisolasi yang dikontraksi dengan pemberian seri konsentrasi asetilkolin (-8,0=10-8; -7,5=3x10-8; -7,0=10-7; -6,5=3x10-7; -6,0=10-6; -5,5=3x10-6; -5,0=10-5; -4,5=3x10-5; -4,0=10-4; -3,5=3x10-4; -3,0=10-3; -2,5=3x10-3 M). Data yang disajikan adalah nilai rata-rata ± SEM, n=3.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

-8 -7,5 -7 -6,5 -6 -5,5 -5 -4,5 -4 -3,5 -3 -2,5 -2

% K on tr ak si

Log Konsentrasi (M) Effective concentration 80%

ACH

EC80%


(47)

Asetilkolin merupakan agonis kolinergik yang berarti obat yang memacu atau meningkatkan aktivitas syaraf kolinergik. Asetilkolin akan berinteraksi dengan reseptor asetilkolin muskarinik pada sel organ efektor syaraf kolinergik misalnya sel perietal lambung, otot jantung, dan otot polos saluran pencernaan. Pada ileum, asetilkolin akan berinteraksi dengan reseptor muskarinik yang akan menimbulkan peningkatan motilitas otot polos (Nugroho, 2012). Hasil yang diperoleh sesuai dengan teori yang diperoleh (Gambar 4.3), dengan adanya peningkatan konsentrasi asetilkolin, maka motilitas usus akan meningkat

4.6 Hasil Pengujian Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Titanus (EEDT) Pada Kontraksi Otot Polos Ileum Melalui Induksi Asetilkolin Klorida

Pengujian efek relaksasi ekstrak etanol daun titanus (EEDT) terhadap otot polos ileum terisolasi dilakukan dengan cara mengkontraksi otot polos ileum dengan asetilkolin 1,889 x10-4 M, dilanjutkan dengan pemberian seri konsentrasi ekstrak 0,5 – 4 mg/ml. Efek relaksasi ekstrak diamati melalui pengamatan terhadap perubahan %efek relaksasi ekstrak pada organ ileum. Pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol daun titanus (EEDT) menghasilkan efek relaksasi terhadap kontraksi yang diinduksi oleh asetilkolin klorida 1,889 x10-4 M (Gambar 4.4).

Korelasi yang terjadi pada persentase efek relaksasi dengan konsentrasi ekstrak etanol daun titanus (EEDT) merupakan korelasi positif dengan nilai korelasi 0,891 (korelasinya mendekati 1) dan nilai R Square (R2) 0,794. Ini dapat dinyatakan bahwa sebanyak 79,4% peningkatan persentase efek relaksasi dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi ekstrak. Berdasarkan hal tersebut maka


(48)

42

persentase efek relaksasi ekstrak pada otot polos ileum meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi.

Gambar 4.4 Grafik %relaksasi setelah pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol

daun titanus (-3=0.5; 0=1; 0.17=1.5; 0.3=2;

0.39=2.5; 0.47=3; 0.54=3.5; 0.6=4 mg/ml) pada otot polos ileum terisolasi yang dikontraksi dengan asetilkolin 1,889x10-4 M. Data yang disajikan adalah nilai rata-rata ± SEM, n=6.

4.7 Hasil Pengujian Efek Relaksasi Atropin Sulfat pada Kontraksi Otot Polos Ileum Melalui Induksi Asetilkolin Klorida

Pengujian efek relaksasi atropin sulfat terhadap otot polos ileum terisolasi dilakukan dengan cara mengkontraksi otot polos ileum dengan asetilkolin 1,889x10-4 M, dilanjutkan dengan pemberian seri konsentrasi atropin sulfat 6,95x10-6 – 2,08x10-2 mg/ml. Pemberian seri konsentrasi atropine sulfat menghasilkan efek relaksasi terhadap kontraksi yang diinduksi oleh asetilkolin 1,889 x10-4 M (Gambar 4.5).

0 20 40 60 80 100 120 140

-0,30 -0,20 -0,10 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60

%R

el

ak

sas

i

Log Konsentrasi (mg/ml)

EEDT


(49)

Gambar 4.5 Grafik %relaksasi setelah pemberian seri konsentrasi atropin sulfat (-5.2=6.95x10-6; -4.7=2.08x10-5; -4.2=6.95x10-5; -3.7=2.08x10-4; -3.2=6.95x10-4; -2.7=2.08x10-3; -2.2=6.95x10-3; -1.7 = 2.08 x 10- 2 mg/ml) pada otot polos ileum terisolasi yang dikontraksi dengan asetilkolin 1,889x10-4 M. Data yang disajikan adalah nilai rata-rata ± SEM, n=6.

Efek relaksasi atropin sulfat diamati melalui pengamatan terhadap perubahan %relaksasi pada pemberian seri konsentrasi atropin sulfat 6,95x10-6 – 2,08x10-2 mg/ml pada organ ileum. Pada Gambar 4.5 pemberian seri konsentrasi atropin sulfat menghasilkan efek relaksasi terhadap kontraksi yang di induksi oleh asetilkolin 1,889x10-5 M. Persentase efek relaksasi atropin sulfat pada otot polos ileum meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi.

Atropin berkhasiat sebagai antikolinergis kuat dan merupakan antagonis khusus dari efek muskarin asetilkolin. Juga digunakan sebagai spasmolitikum pada kejang-kejang disaluran lambung-usus dan urogenital, sebagai zat penawar

0 20 40 60 80 100 120 140

-5,2 -4,7 -4,2 -3,7 -3,2 -2,7 -2,2 -1,7

%

R

el

ak

sas

i

Log konsentrasi (mg/ml)


(50)

44

(antidotum) keracunan asetilkolin dan kolinergika lain (Tjay dan Kirana, 2007). Kerja muskarinik asetilkolin dan semua obat golongan ini diblok secara selektif oleh atropine, terutama melalui pendudukan tempat reseptor muskarinik secara kompetitif (Goodman dan Gilman, 2002).

4.8 Perbandingan %Relaksasi Atropin Sulfat dan EEDT pada Kontraksi Otot Polos Ileum Melalui Induksi Asetilkolin Klorida

Pengujian efek relaksasi atropin sulfat dan EEDT terhadap otot polos ileum terisolasi dilakukan dengan cara mengkontraksi otot polos ileum dengan asetilkolin klorida 1,889 x 10-4 M, dilanjutkan dengan pemberian seri konsentrasi masing masing atropin sulfat dan EEDT. Persentase efek relaksasi atropin sulfat dan EEDT kemudian dibandingkan kemampuannya dalam merelaksasikan otot polos ileum terisolasi. Perbandingan ini kemudian dilakukan uji statistik bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan kemampuan atropin sulfat dan EEDT dalam merelaksasikan otot polos ileum terisolasi.

Dari grafik perbandingan %relaksasi atropin dan EEDT dapat dilihat bahwa korelasi antara peningkatan dosis dan %relaksasi yang dihasilkan sama saa korelasi positif. Artinya peningkatan %relaksasi berbanding lurus dengan peningkatan dosis yang diberikan, ini dapat dilihat dari grafik perbandingan %relaksasi dari EEDT dan atropin sulfat dapat dilihat di Gambar 4.6.


(51)

Gambar 4.6 Grafik %relaksasi setelah pemberian seri konsentrasi (A) atropin sulfat ( 1=6.95x10-6; 2=2.08x10-5; 3=6.95x10-5; 4=2.08

x10-4; 5=6.95x10-4; 6=2.08x10-3; 7=6.95x10-3; 8=2.08x102 mg/ml) dan (B) ekstrak etanol daun Titanus (EEDT) (1=0,5; 2=1; 3=1,5; 4=2; 5=2,5; 6=3; 7=3,5; 8=4 mg/ml) pada otot polos ileum terisolasi yang dikontraksi dengan asetilkolin 1,889 x 10-4 M. Data yang disajikan adalah nilai rata-rata ± SEM, n = 6.

Salah satu tujuan penelitian ini adalah membandingkan konsentrasi tertentu atropin dan EEDT dalam merelaksasikan otot polos ileum marmut terisolasi. Pada Gambar 4.7 dapat dilihat perbandingan efek relaksasi antara atropin sulfat pada konsentrasi 6.95x10-3 mg/ml(113,9796±4,5825) dengan EEDT pada pemberian ekstrak 2,5 mg/ml (105,4203±2,9151) terhadap kontraksi ileum yang diinduksi dengan asetilkolin klorida. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan persentase relaksasi antara atropin sulfat pada konsentrasi 6.95x10-3 mg/ml (113,9796±4,5825) dengan EEDT pada pemberian ekstrak 2,5 mg/ml

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130

0 1 2 3 4 5 6 7 8

% R el ak sas i Konsentrasi (mg/ml) Atropin EEDT B


(52)

46

(105,4203±2,9151) keduanya tidak berbeda signifikan (p > 0,05)

Gambar 4.7 Nilai %relaksasi pemberian ekstrak etanol daun titanus konsentrasi 2,5 mg/ml dan atropin sulfat 6,95 x 10-3 mg/ml setelah dikontraksi dengan asetilkolin 1,889 x 10-4 M. Data yang disajikan adalah nilai rata-rata ± SEM, n = 6.

Mekanisme kerja atropin sulfat dalam merelaksasikan otot polos ileum terisolasi adalah secara selektif menghambat reseptor muskarinik pada otot polos. Hambatan yang dihasilkan oleh atropin bersifat reversible. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap asetilkolin eksogen (Zunilda, 2007).

Mekanisme kerja EEDT dalam merelaksasikan otot polos ileum terisolasi belum dapat diketahui secara pasti. Adanya kemampuan efek relaksasi dari EEDT ini mungkin karena adanya metabolit sekunder yang berperan. Malinda (2015) melaporkan bahwa metabolit sekunder dari Leea aequata L. yaitu alkaloid,

10 30 50 70 90 110 130

EEDT 2,5 mg/ml Atropin Sulfat 6,95x10-3 mg/ml % r el ak as as i Konsentrasi

EEDT 2,5 mg/ml

Atropin Sulfat 6,95x10-3 mg/ml


(53)

glikosida, steroid/terpenoid, flavonoid dan tannin. Raihan, dkk., (2011) melaporkan bahwa Leea indica yang memiliki family yang sama dengan Leea aequata L. yaitu Leaecea memiliki efek sedative yang kuat pada tikus dan menurut Rahman, dkk., (2012) Leea indica memiliki metabolit sekunder yang sama dengan Leea aequata L.

Tarannita (2013) menduga bahwa alkaloid dapat merelaksasikan usus halus melalui antagonis reseptor M3. Reseptor M3 merupakan reseptor yang sebarannya paling banyak dalam otot polos usus halus. Torres-Piedra, et all., (2011) melaporkan bahwa tumbuhan tradisional yang kaya flavonoid dan gugus fenol dapat digunakan sebagai vasorelaksasi. Selain alkaloid dan flavonoid, Khan dan gilani (2008) mengemukakan bahwa tannin dan sterol berperan dalam menurunkan tekanan darah dan relaksasi pada otot jantung yang terisolasi.

Belum diketahui secara pasti bagaimana ekstrak etanol daun titanus ini. Ada banyak jalur untuk dapat merelaksikan otot polos ileum. Penelitian ini hanya bertujuan untuk melihat apakah ektrak etanol daun titanus dapat merelaksasikan ileum marmut terisolasi yang diinduksi oleh asetilkolin.


(54)

48 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian efek relaksasi ekstrak etanol daun titanus (Leea aequata L.) terhadap kontraksi otot polos ileum marmut (Cavia cobaya) terisolasi secara in vitro, maka dapat disimpulkan :

a. Ekstrak etanol daun titanus (Leea aequata L.) memiliki efek relaksasi terhadap kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi yang diinduksi oleh asetilkolin klorida.

b. Ekstrak etanol daun titanus (Leea aequata L.) konsentrasi 2,5mg/ml kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan atropin sulfat 6,95x10 -3

mg/ml dalam menurunkan kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi yang diinduksi oleh asetilkolin klorida 1,889x10-4 M (p > 0,05).

5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan maka disarankan untuk melakukan : a. Pengujian efek relaksasi ekstrak etanol daun titanus terhadap organ

terisolasi lain seperti trakea, jantung dan otot rangka serta pengujian secara in vivo.

b. Pengujian lebih lanjut tentang mekanisme efek ekstrak dalam merelaksasikan otot polos ileum marmut terisolasi.


(55)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, nama asing, sistematika, manfaat dan kandungan kimia.

2.1.1 Morfologi Tumbuhan

Tumbuhan Leea aequata L. merupakan tumbuhan perdu, tahunan, tingginya 1,5–3 m. Batang tumbuhan ini berkayu, bercabang, bentuk bulat , masih muda berambut dan hijau. Daun tumbuhan majemuk, anak daun lanset, bertangkai pendek, tepi daun bergerigi, ujung daun runcing, pangkal membulat, panjangnya 6-25 cm, lebarnya 3-8 cm, berambut dan berwarna hijau. Bunga tumbuhan majemuk, bentuk malai, kelopak bulat telur, panjang 2-5 cm, kuning keputih- putihan. Buahnya berbentuk bulat, diameter ± 12 mm, masih muda hijau dan setelah tua ungu kehitaman dengan biji kecil, bentuk segitiga, dan berwarna putih kekuningan. Tumbuhan ini termasuk tumbuhan berakar tunggal dengan warna coklat muda (Depkes RI, 2001).

2.1.2 Nama Asing

Leea aequata L. memiliki nama lain seperti : ginggiyang (Sunda), girang (Jawa Tengah), jirang (Madura), kayu ajer perempuan (Melayu), mali-mali (Makassar), uka (Maluku), uka (Buru) (Depkes RI, 2001).


(56)

9 2.1.3 Sistematika Tumbuhan

Klasifikasi tumbuhan titanus adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2001: LIPI, 2015) :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rhamnales

Suku : Leeaceae

Marga : Leea

Jenis : Leea aequata L. 2.1.4 Manfaat Tumbuhan

Daun Leea aequata L. berkhasiat sebagai obat luka baru dan pegal linu. Untuk obat luka baru dipakai ±30 gram daun segar Leea aequata L., dicuci, ditumbuk sampai lumat, ditempelkan pada luka dan dibalut dengan kain bersih (Depkes RI, 2001).

2.1.5 Kandungan Kimia

Biji Leea aequata L. mengandung saponin, flavonoid dan polifenol (Depkes RI, 2001). Malinda (2015) melporkan bahwa daun Leea aequata L. mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang


(57)

telah dikeringkan. Simplisia terbagi atas simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman dan eksudat tanaman (Depkes RI, 1979).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan istilah umum yang digunakan dalam bidang farmasi, yang berkaitan dengan pemisahan bahan aktif yang berkhasiat pada tumbuhan atau jaringan hewan dari komponen yang tidak aktif dengan menggunakan pelarut selektif menggunakan prosedur standard ekstraksi (Handa, dkk., 2008).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

a) Cara dingin 1. Maserasi

Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukkan pada temperatur kamar sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000).


(58)

11 2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar (Depkes RI, 2000).

b) Cara panas 1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel dalam tabung soklet, kemudian setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi seterkah melewati pipa sifon, demikian berulang-ulang (Depkes RI, 2000).

3. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu secara umum secara umum dilakukan pada temperature 40-50o C (Depkes RI, 2000). 4. Infudasi

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90o C selama 15 menit (Depkes RI, 2000).


(59)

5. Dekoktasi

Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada waktu yang lebih lama ±30 menit dengan temperature sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

2.4 Metode Organ Terisolasi

Organ terisolasi adalah suatu metode percobaan in vitro.Pada prinsipnya adalah menggunakan organ yang terendam dalam larutan fisiologis yang sesuai, temperatur diatur atau dikondisikan pada kondisi yang sama dari mana organ tersebut berasal serta pengaturan aliran oksigen. Percobaan organ terisolasi ini menggunakan alat organ bath (Perry, 1970).

Metode organ terisolasi merupakan metode klasik dalam percobaan farmakologi yang dapat digunakan untuk menganalisa hubungan dosis-respon suatu senyawa obat. Hasil penelitian Anas, dkk., (2010) mengatakan bahwa dengan metode ini, konsentrasi agonis dan antogonis reseptor pada tingkat jaringan dapat diketahui secara pasti. Metode ini mempunyai kemampuan dengan intensitas maksimum. Hal ini tidak sepenuhnya dapat dilakukan ketika menggunakan organisme utuh (pengujian secara in vivo). Selain itu, metode ini juga dapat mengukur konsentrasi agonis terkecil yang dapat menginduksi respon biologis.

Syamsudin dan Darmono (2011) melaporkan bahwa untuk mendapatkan hasil percobaan yang akurat, maka diperlukan persiapan yang baik dan seluruh percobaan harus betul-betul terkontrol. Hewan percobaan yang digunakan dibunuh tanpa dianastesi sehingga tidak mempengaruhi kontraktilitasnya. Organ


(60)

13

yang diambil segera dimasukkan kedalam cairan fisiologis dan dikontrol oksigenasinya dan dihubungkan ke tranducer dan diteruskan kealat pencatat misalnya, kymograph atau maclab komputer.

Organ yang umum digunakan dengan metode organ terisolasi mengunakan alat organ bath adalah uterus, usus halus, otot skeletal, vas deferens, jantung dan lambung (Kitchen, 1984).

2.5 Otot Polos

Otot polos terdiri dari sel-sel otot polos. Sel otot ini bentuknya seperti gelendong, dibagian tengah terbesar dan kedua ujungnya meruncing. Otot polos memiliki serat yang arahnya searah dengan panjang sel disebut myofibril. Serat myofibril terdiri dari miofilamen dan masing-masing miofilamen terdiri dari protein otot yaitu aktin dan myosin. Otot polos merupakan otot tak sadar, karena bekerja diluar kesadaran kita dan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom (Irianto, 2004).

Otot polos bergerak secara lambat dan teratur dan tidak cepat lelah. Walapun kita tidur, otot polos mampu bekerja. Otot polos terdapat pada dinding alat-alat dalam tubuh, misalnya pada dinding usus, dinding pembuluh darah, pembuluh limfe, dinding saluran cerna, trakea dan cabang tenggorokan, pada iris dan muskularis sirliaris mata, otot polos dalam kulit, saluran kelamin dan saluran ekskresi (Irianto, 2004).


(61)

2.6 Persyarafan Sistem Percernaan

Ada dua sistem pencernaan yang memegang peranan penting dalam fungsi saluran pencernaan, yaitu sistem intrinsik yang terdiri atas sistem syaraf enterik dan sistem syaraf ekstrinsik yang terdiri atas sistem syaraf otonom parasimpatis dan simpatis.

2.6.1 Sistem Syaraf Intrinsik – Sistem Syaraf Enterik

Sistem syaraf ini terbentang didalam dinding saluran pencernaan mulai dari esophagus sampai ke anus. Sistem syaraf enterik terbagi atas dua pleksus, yaitu :

a) Pleksus mientrikus (pleksus Auerbach)

Pleksus ini terbentang diantara lapisan otot longitudinal dari lapisan otot sirkuler. Fungsinya mengontrol fungsi motorik saluran pencernaan.

b) Pleksus submukosa atau pleksus Meissner

Pleksus ini terbentang didalam lapisan submukosa. Fungsinya terutama untuk mengontrol kecepatan sekresi saluran pencernaan. Disamping itu, pleksus submukosa sangat berperan dalam mengendalikan aktivitas otot polos submukosa yang bila berkontraksi akan menimbulkan lipatan-lipatan pada mukosa saluran pencernaan serta meningkatkan absorbsi dan aliran darah disekitarnya (Herman, 2004).

2.6.2 Sistem Syaraf Ekstrinsik – Sistem Syaraf Otonom Sistem syaraf ekstrinsik terbagi menjadi dua, yaitu : a) Sistem syaraf parasimpatis

Neuron pascaganglion (postganglion neuron) sistem parasimpatis terletak didalam kedua pleksus sistem saraf enterik, yaitu pleksus mientrikus dan


(62)

15

pleksus submukosa. Ujung serat syaraf parasimpatis menyekresikan asetilkolin sebagai neurotransmitternya. Stimulasi parasimpatis pada umumnya menyebabkan peningkatan aktivitas sistem syaraf enterik yang selanjutnya meningkatkan aktivitas saluran pencernaan.

b) Sistem syaraf simpatis

Ujung serat syaraf simpatis menyekresikan neurotransmitter norepinefrin. Sistem syaraf ini merangsang sistem pencernaan melalui dua cara, yaitu:

1. Secara langsung pada otot polos saluran pencernaan

2. Secara tidak langsung, yaitu melalui neuron sistem syaraf enterik.

2.7 Usus Halus

Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan. Usus ini berada dalam keadaan bergelung didalam rongga abdomen dan terentang dari lambung sampai usus besar. Usus halus dibagi menjadi tiga segmen, yaitu duodenum, jejunum dan ileum (Sherwood, 2001).

2.7.1 Histologi Usus Halus

Herman (2004) membagi lapisan dinding usus halus menjadi empat lapisan (Gambar 2.1), yaitu :

a) Lapisan serosa

Lapisan serosa adalah lapisan terluar dari dinding saluran pencernaan. Lapisan ini berupa suatu membran yang terdiri atas jaringan penyambung dan sel-sel epitel. Pada lapisan ini terdapat pembuluh darah dan syaraf yang berukuran lebih besar yang berjalan diantara jaringan penyambung dan jaringan lemak (adipose tissue) yang terdapat didaerah ini. Lapisan


(63)

serosa yang terletak dibawah diafragma (sekat rongga badan) ikut membentuk dan merupakan bagian dari peritoneum secara keseluruhan dan disebut peritoneum viseral.

b) Lapisan muskularis

Lapisan muskularis di dinding saluran pencernaan selain dari telah yang disebutkan diatas adalah berupa otot polos yang terdiri atas dua lapis. Lapisan sebelah dalam adalah lapisan sirkuler yang bila berkontraksi menyebabkan pengecilan diameter lumen saluran pencernaan. Lapisan sebelah luas adalah lapisan longitudinal yang bila berkontraksi menyebabkan pemendekan saluran pencernaan.


(64)

17 c) Lapisan submukosa

Lapisan submukosa terdiri atas jaringan penyambung areola yang mengikatkan lapisan mukosa kelapisan muskularis. Lapisan ini sangat kaya dengan pembuluh darah dan mengandung jaringan syaraf yang disebut pleksus submukosa atau disebut juga pleksus Meissner.

d) Lapisan mukosa

Lapisan mukosa merupakan lapisan terdalam dari dinding saluran pencernaan. Lapisan ini berbentuk membran (selaput) mukosa dan dibentuk oleh tiga komponen, yaitu lapisan epitel, lamina propiadan lapisan muskularis mukosa.

2.8 Saraf Kolinergik

Neurotransmitter yang memperantai penghantaran sinaptik saraf preganglion dan postganglion pada sistem parasimpatik adalah asetilkolin dan kemudian berinteraksi dengan reseptor asetilkolin nikotinik dan muskarinik pada sel organ efektor. Sistem parasimpatik dinamakan juga system saraf kolinergik karena neurotransmitter utamanya adalah asetilkolin (Nugroho, 2012).

Saraf yang mensintesis dan melepaskan asetilkolin disebut saraf kolinergik, yakni saraf praganglion simpatis dan parasimpatis, saraf pascaganglion parasimpatis dan saraf somatik yang mempersarafi otot rangka. Perbedaan mendasar antara saraf parasimpatis dan simpatis adalah saraf parasimpatis berperan dalam fungsi konservasi dan reservasi sedangkan saraf simpatis berfungsi mempertahankan diri terhadap tantangan dari luar tubuh yang dikenal dengan bertempur dan berlari (fight or flight reaction) (Setiawan dan Gan, 2007).


(65)

Ada berbagai reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik dan berbagai subtipenya.

2.8.1 Reseptor Muskarinik

Reseptor muskarinik terdistribusi luas diseluruh tubuh dan mendukung berbagai fungsi vital, diotak, sistem saraf otonom terutama saraf parasimpatis. Reseptor muskarinik merupakan reseptor yang terhubung dengan protein G, terdiri dari 5 subtipe yaitu : M1, M2, M3, M4 dan M5. Respon yang timbul dari aktivasi reseptor muskarinik oleh asetilkolin dapat berbeda, tergantung pada subtipe reseptor dan lokasinya (Rahardjo, 2009). Reseptor M1 ditemukan di sel parietal lambung, reseptor M2 di otot jantung dan otot polos, reseptor M3 dikandung kemih, kelenjar eksokrin dan otot polos sedangkan M4 dan M5 belum diketahui. Reseptor M3 memainkan peran dalam regulasi kontraksi otot polos seperti pada usus dan bronkiolus, dimana aktivasinya akan menyebabkan stimulasi phospolidase C, membrane depolarisasi dan meningkatkan kontraksi otot polos (Lullmann, 2000; Nugroho, 2012).

Tabel 2.1 Tipe reseptor muskarinik ( Harahap, dkk., 2015).

Subtipe Jaringan

M1 Gangion otonom

M2 Miokardium, otot polos

M3 Otot polos, kelenjar sekretori

M4 -


(66)

19 2.8.2 Reseptor Nikotinik

Reseptor nikotinik merupakan reseptor yang terhubung dengan kanal ion dan terdiri dari empat subunit yaitu α1, α2, β dan δ yang masing masing berkontribusi membentuk kanal ion dan memiliki tempat ikatan untuk molekul asetilkolin. Reseptor ini terdapat di neuromuscular junction, ganglion otonom, medula adrenal dan susunan saraf pusat (Rahardjo, 2009).

2.9 Agonis Muskarinik

Umumnya obat akan menghasilkan efeknya ketika berikatan dengan protein spesifik yang disebut dengan reseptor. Reseptor akan merespon senyawa kimia endogen pada tubuh seperti transmitter sinaps (contohnya asetilkolin, noradrenaline) atau hormon (contohnya endokrin, insulin). Adanya obat atau transmitter berikatan dengan reseptor dan menghasilkan respon berupa efek farmakologik disebut dengan agonis (Zunilda, 2007).

Agonis muskarinik dibedakan atas :

1. Asetilkolin dan ester kolin sintesis yaitu metakolin, karbakol dan dan betanekol.

2. Alkaloid kolinergik yang terdapat dialam yaitu muskarin, pilokarpin dan arekolin beserta senyawa sintesisnya (Zunilda, 2007).

Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian dan tidak berguna secara klinis karna efeknya sangat luas di berbagai organ. Selain itu, kerjanya terlalu singkat karena segera dihancurkan oleh asetilkolinesterase atau butirilkolinesterase. Asetilkolinpun tidak dapat diberikan per oral, karena


(67)

dihidrolisis oleh asam lambung. Asetilkolin eksogen memperlihatkan efek yang sama dengan efek asetilkolin endogen. Secara umum efek farmakodinamik asetilkolin dibedakan atas dua golongan, yaitu efek terhadap kelenjar eksokrin dan otot polos yang disebut dengan efek muskarinik dan efek terhadap ganglion (simpatis dan parasimpatis), kelenjar adrenal dan otot rangka yang disebut efek nikotinik (Zunilda, 2007).

2.10 Antagonis Muskarinik

Antagonisme adalah suatu keadaan ketika efek dari satu obat menjadi berkurang atau hilang sama sekali yang disebabkan oleh keberadaan satu obat lainnya (Setiawati dan Gan, 2007). Zunilda (2007) mengelompokkan penghambat reseptor muskarinik atau antimuskarinik dalam tiga kelompok, yaitu :

1. Alkaloid antimuskarinik, atropin dan skopolamin 2. Derivat semisintesisnya

3. Derivat sintesis.

Atropin selektif menghambat reseptor muskarinik, tetapi pada dosis sangat besar atropin memperlihatkan efek penghambatan juga diganglion otonom dan otot rangka yang reseptornya nikotinik. Hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebih atau pemberian asetilkolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap eksogen. Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik juga berbeda antarorgan, atropin sendiri memiliki efek yang lebih kuat diperifer yaitu terhadap jantung, usus dan otot bronkus (Zunilda, 2007).


(68)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di negara berkembang seperti Indonesia banyak sekali faktor-faktor pencetus penyebab terjadinya penyakit, penyebab utamanya yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat dan faktor ekonomi yang menyebabkan masyarakat yang kurang mampu tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup ditempat yang bersih dan layak untuk ditinggali, serta ketidakmampuan masyarakat untuk membeli obat seiring dengan meningkatnya harga obat modern (Sundari, dkk., 2005).

Salah satu penyakit dengan tingkat kasus tinggi pada negara berkembang adalah tetanus. Tetanus merupakan salah satu penyebab yang berpotensi fatal yang ditandai dengan meningkatnya kekakuan dan kejang pada otot rangka. Salah satu bentuk manifestasi kejang adalah kontraksi yang terus menerus pada otot disebagian atau seluruh tubuh. Tetanus disebabkan oleh perubahan bentuk spora

bakteri Clostridium tetani. Kekakuan otot biasanya pertama melibatkan rahang (lockjaw) dan leher kemudian menjadi keseluruh tubuh (Tiwari, 2011).

Mekanisme kerja tetanus adalah dengan menghambat pelepasan inhibitory transmitter yaitu glysin pada sinaps sehingga excitatory transmitter akan lebih mendominasi pada sinaps, tingginya excitatory transmitter pada sinaps inilah yang akan meningkatkan kontraksi terus menerus sampai mengakibatkan kejang (goodman dan gilman, 2008; lullmann, 2000). Keseimbangan antara inhibitory transmitter dan excitatory transmitter pada transmisi sinaps sangat penting untuk


(69)

menjaga fungsi yang normal dari sistem syaraf. Adanya ketidakseimbangan antara inhibitory transmitter dan excitatory transmitter pada sinaps akan memunculkan masalah dalam tubuh. Contoh inhibitory transmitter adalah GABA, glysin, nitrit oxide dan excitatory transmitter adalah asetilkolin, histamine, norepinefrin.

Pada penelitian ini, untuk memperoleh peningkatan kontraksi pada otot adalah dengan pemberian excitatory transmitter yaitu asetilkolin klorida. Metode penelitian yang digunakan adalah metode organ terisolasi dan organ yang digunakan adalah otot polos ileum marmut. Reseptor asetilkolin klorida yang berperan dalam kontraksi otot polos ileum adalah muskarinik. Reseptor muskarinik telah diketahui memiliki lima subtype reseptor, yaitu M1 – M5 walaupun lokasi tepatnya dan seluruh fungsinya belum diketahui. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui tentang perbedaan subtype reseptor muskarinik. Pada saluran pencernaan usus terdapat kelima subtype reseptor (Abrams, et al., 2006).

Meningkatnya motilitas usus sebagai akibat kontraksi pada otot polos usus yang terjadi adalah akibat dari stimulasi asetilkolin yang mengaktifkan reseptor muskarinik (M1 dan M3) (Nugroho, 2012). Li, et al,. (2002); Matsui, et al., (2002) melaporkan bahwa data dari hasil penelitian pada hewan mengerat (rodentia) dan anjing menunjukkan bahwa reseptor muskarinik M3 paling menonjol untuk meningkatkan motilitas usus walaupun perbandingan jumlah reseptor M2 dan M4 adalah 4 : 1.

Salah satu pengobatan kejang otot adalah dengan pemberian antikonvulsan. Atropin sulfat adalah salah satu obat yang bekerja dengan antagonis muskarinik. Atropin sulfat digunakan sebagai preanestetik medikasi,


(70)

3

antispasmodik, antidotum untuk insektisida golongan organofosfat (Ditjen POM RI, 2012)

Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki jumlah tanaman obat yang beraneka ragam. Tanaman obat sudah dikenal sejak lama sebagai bahan pengobatan herbal (Suparni, 2012). Salah satu contoh tanaman obat ini adalah daun titanus (Leea aequata L.). Tumbuhan ini digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk luka dan antitetanus di daerah Tanah Karo, Provinsi Sumatra Utara. Bagian tumbuhan titanus yang digunakan sebagai antitetanus didaerah Karo adalah daunnya. Khare (2007) mengatakan batang dan akarnya digunakan sebagai astringen, antelmentik, gangguan pencernaan, sakit kuning, demam kronis dan malaria. Daun dan rantingnya digunakan sebagai antiseptik dan mengobati luka.

Cara penggunaan obat tradisional daun titanus di Tanah Karo adalah dengan memasukkan serbuk daun ± 2 gram kedalam satu botol minuman beralkohol 20% yaitu samsu putih 250 ml. Penggunaannya adalah dengan mengambil satu sendok teh ekstrak daun tersebut dan dimasukkan kemulut penderita kejang akibat tetanus. Bila terkena luka akibat kecelakaan benda tumpul, ekstrak daun juga dapat dioleskan disekitar daerah yang terluka.

Berdasarkan hasil skrining fitokimia, tanaman Leea aequata L mengandung metabolit sekunder yaitu alkaloid, glikosida, steroid/terpenoid, flavonoid dan tanin. Ekstrak etanol daun titanus memiliki efek antibakteri terhadap Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan pseudomonas aeruginosa yang dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas (Malinda, 2015). Menurut Raihan, dkk., (2011) bahwa Leea indica yang


(71)

memiliki family yang sama yaitu leaceae memiliiki efek sedative yang kuat pada tikus.

Aktivitas farmakologi daun titanus dalam menurunkan kontraksi otot polos belum pernah diuji secara ilmiah dan dengan adanya penggunaan daun titanus secara tradisional sebagai antikejang secara turun temurun serta penelitian sebelumnya tentang karakterisasi dan pengujian antibakterinya. Peneliti tertarik untuk menguji aktivitas antikejang ekstrak etanol daun titanus terhadap ileum marmut terpisah secara in vitro mengggunakan alat organ bath.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut:

a. Apakah ekstrak etanol daun titanus memiliki efek relaksasi terhadap kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi secara in vitro yang diinduksi dengan asetilkolin klorida?

b. Apakah ekstrak etanol daun titanus pada konsentrasi tertentu memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan atropin sulfat pada konsentrasi tertentu dalam menurunkan kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi yang di induksi dengan asetilkolin klorida?


(72)

5

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka dibuat hipotesis analisis sebagai berikut:

a. Ekstrak etanol daun titanus memiliki efek relaksasi terhadap kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi secara in vitro yang diinduksi dengan asetil kolin klorida.

b. Ekstrak etanol daun titanus pada konsentrasi tertentu memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan atropin sulfat dalam menurunkan kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi yang diinduksi dengan asetilkolin klorida.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bahwa ekstrak etanol daun titanus memiliki efek relaksasi terhadap kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi secara in vitro yang diinduksi dengan asetilkolin klorida.

b. Untuk membandingkan efek relaksasi ekstrak etanol daun titanus dengan atropin sulfat dalam menurunkan kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi yang diinduksi dengan asetilkolin klorida.


(1)

2.1.4 Manfaat Tumbuhan ... 8

2.1.5 Kandungan Kimia ... 8

2.2 Simplisia ... 8

2.3 Ekstraksi ... 9

2.4 Metode Organ Terisolasi ... 11

2.5 Otot Polos ... 12

2.6 Persyarafan Sistem Pencernaan ... 12

2.6.1 Sistem Syaraf Intrinsik-Sistem Syaraf Enterik ... 13

2.6.2 Sistem Syaraf Ekstrinsik-Sistem Syaraf Otonom .... 13

2.7 Usus Halus ... 14

2.7.1 Histologi Usus Halus ... 14

2.8 Saraf Kolinergik ... 16

2.8.1 Reseptor Muskarinik ... 16

2.8.2 Reseptor Nikotinik ... 17

2.9 Agonis Muskarinik ... 17

2.10 Antagonis Muskarinik ... 18

BAB III METODE PENELITIAN... 20

3.1 Lokasi Penelitian ... 20

3.2 Jenis Penelitian ... 20

3.3 Alat dan Bahan Penelitian ... 20

3.3.1 Alat Penelitian ... 20

3.3.2 Bahan Penelitian... 21

3.4 Hewan Penelitian ... 21


(2)

xi

3.5.1 Pengumpulan Bahan ... 21

3.5.2 Identifikasi Sampel... 22

3.5.3 Pengolahan Sampel ... 22

3.6 Pembuatan Ekstrak Daun Titanus Secara Maserasi ... 22

3.6.1 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun titanus ... 22

3.7 Tahapan Persiapan Percobaan ... 23

3.7.1 Pembuatan Larutan Tirode ... 23

3.7.2 Pembuatan Larutan Asetilkolin ... 23

3.7.3 Pembuatan Larutan Ekstrak Etanol Daun Titanus ... 24

3.7.4 Pembuatan Larutan Atropin Sulfat... 25

3.8 Tahapan Pengujian ... 26

3.8.1 Preparasi Organ ... 26

3.8.2 Pengujian Kontraksi Seri Kontraksi Asetilkolin Klorida Terhadap Otot Polos Ileum ... 27

3.8.3 Pengujian Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Titanus (EEDT) pada Otot Polos Ileum melalui Induksi Asetilkolin Klorida ... 29

3.8.4 Pengujian Efek Relaksasi Atropin Sulfat pada Kontraksi Otot Polos Ileum melalui Induksi Asetilkolin Klorida ... 32

3.9 Data dan Analisis Data ... 34

3.9.1 Data ... 34

3.9.2 Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 36

4.2 Hasil Karakteristik Simplisia ... 36


(3)

4.2.1 Hasil Pemeriksaan Makroskopik ... 36

4.2.2 Hasil Pemeriksaan Mikroskopik ... 36

4.2.3 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Serbuk Simplisia ... 36

4.3 Hasil Ekstraksi ... 37

4.4 Hasil Skrinning Fitokima ... 38

4.5 Hasil Pengujian Kontraksi Seri Kontraksi Asetilkolin KloridaTerhadap Otot Polos Ileun ... 38

4.6 Hasil Pengujian Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Titanus (EEDT) pada Kontraksi Otot Polos Ileum Melalui Induksi Asetilkolin Klorida ... 40

4.7 Hasil Pengujian Efek Relaksasi Atropin Sulfat pada Kontraksi Otot Polos Ileum Melalui Induksi Asetilkolin Klorida ... 41

4.8 Perbandingan %Relaksasi Atropin Sulfat dan EEDT pada Kontraksi Otot Polos Ileum Melalui Induksi Asetilkolin ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(4)

xiii DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman 3.1 Pemberian asetilkolin secara kumulatif pada organ bath

volume 40 ml ... 27 3.2 Pemberian konsentrasi ekstrak etanol daun titanus

(EEDT) secara kumulatif pada organ bath volume 40 ml ... 30 3.3 Pemberian konsentrasi atropin sulfat secara kumulatif

pada organ bath volume 40 ml ... 32 4.1 Hasil karakterisasi simplisia daun titanus ... 37 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak daun titanus 38


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema kerangka pikir penelitian ... 6 4.3 Grafik %kontraksi otot polos organ ileum terisolasi yang

dikontraksi dengan pemberian seri kosentrasi asetilkolin (10-8 – 3 x 10-3 M) ... 39

4.4 Grafik %relaksasi setelah pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol daun titanus (EEDT) pada Otot Polos Ileum

terisolasi yang dikontraksi dengan asetilkolin1,889 x 10 -4

M 41

4.5 Grafik %relaksasi setelah pemberian seri konsentrasi atropin sulfat pada otot polos ileum terisolasi yang

di-kontraksi dengan asetilkolin 1,889 x 10-4M ... 42 4.6 Grafik %relaksasi Setelah Pemberian Seri Konsentrasi

atropin sulfat dan ekstrak etanol daun titanus (EEDT) polos ileum terisolasi yang dikontraksi dengan asetikolin

1,889 x 10-4M 44

4.7 Nilai %relaksasi pemberian ekstrak etanol daun titanus (EEDT) Konsentrasi 2,5 mg/ml dan atropin sulfat 6,95 x 10-3 mg/ml setelah dikontraksi dengan asetilkolin 1,889 x


(6)

xv DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 52 2 Etical clereance ... 53 3 Bagan kerja penelitian ... 54 4 Gambar sediaan daun titanus (Leea aequata L.) di Pasaran 57 5 Gambar bagian makroskopik tumbuhan daun titanus ... 58 6 Gambar simplisia daun titanus ... 59 7 Gambar hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia

daun titanus (perbesaran 10x40) ... 60 8 Data pengujian kontraksi seri konsentrasi asetilkolin

terhadap otot polos ileum ... 61 9 Data efek relaksasi ekstrak etanol daun titanus pada

kontraksi ileum melalui induksi asetilkolin 1,889x10-4 M ... 63 10 Data efek relaksasi atropin sulfat pada kontraksi ileum

melalui induksi asetilkolin 1,889x10-4M ... 64

11 Data AUC efek relaksasi ekstrak etanol daun titanus pada

kontraksi ileum melalui induksi asetilkolin 1,889 x 10-4M ... 65 12 Data AUC efek relaksasi atropin pada kontraksi ileum

melalui induksi asetilkolin 1,889 x 10-4M ... 66 13 Hasil uji korelasi efek relaksasi ekstrak etanol daun titanus

pada kontraksi ileum melalui induksi asetilkolin 1,889 x

10-4 M ... 67 14 Hasil uji-t independen nilai %relaksasi ekstrak etanol daun

titanus 2,5 mg/ml dengan nilai %relaksasi atropin sulfat 6,95 x 10-3mg/ml terhadap kontraksi otot polos ileum oleh

asetilkolin 1,889 x 10-4 M ... 68 15 Gambar alat organ bath... 70 16 Gambar pola kontraksi dan relaksasi ileum marmut

terisolasi ... 72


Dokumen yang terkait

Efek Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi

6 112 90

Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus Crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif

6 88 113

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

8 98 122

Skrining Fitokimia Dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea Aequata L.) Pengobatan Tradisional Karo

9 64 81

Uji Aktivitas Antikejang Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Terhadap Ileum Marmut (Cavia cobaya) Terisolasi Secara In Vitro

1 1 15

Uji Aktivitas Antikejang Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Terhadap Ileum Marmut (Cavia cobaya) Terisolasi Secara In Vitro

1 2 2

Uji Aktivitas Antikejang Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Terhadap Ileum Marmut (Cavia cobaya) Terisolasi Secara In Vitro

1 1 7

Uji Aktivitas Antikejang Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Terhadap Ileum Marmut (Cavia cobaya) Terisolasi Secara In Vitro

0 0 13

Uji Aktivitas Antikejang Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Terhadap Ileum Marmut (Cavia cobaya) Terisolasi Secara In Vitro

0 0 4

Uji Aktivitas Antikejang Ekstrak Etanol Daun Titanus (Leea aequata L.) Terhadap Ileum Marmut (Cavia cobaya) Terisolasi Secara In Vitro

0 0 22