Laju Dekomposisi Serasah Daun Bruguiera gymnorrhiza Pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kampung Nypah, Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan

4

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang penting di lingkungan
pesisir, dan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis.
Fungsi fisik adalah sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan
ombak, pengendali banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologis
adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery
ground), dan sebagai daerah mencari maskan (feeding ground) bagi ikan dan biota
laut lainnya. Fungsi ekonomis adalah sebagai penghasil kayu untuk bahan baku
dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut
adalah strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung dan
menstabilkan ekosistem laut maupun daratan (Hiariey, 2009).
Mangrove Sei Nagalawan Serdang Bedagai, dikenal dengan mangrove
Kampung Nipah terletak di Desa sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan,
kabupaten Serdangbedagai, Provinsi Sumatera Utara. Kampung Nipah merupakan
lokasi ekowisata mangrove terpadu berbasis masyarakat, dimana di satu lokasi ini
terdapat hutan mangrove, pengelolaan produk berbahan dasar mangrove, hingga
homestay yang dikelola oleh penduduk setempat (Santi, 2014).
Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam
lingkungan hidup. Pengaruh laut dan daratan dikawasan mangrove mengakibatkan

terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat
fisiknya mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta sebagai
penahan intrusi dan abrasi air laut, proses dekomposisi serasah mangrove yang
terjadi mampu menunjang kehidupan mahluk hidup didalamnya. Hutan mangrove
mempunyai ciri khas yakni bentuk-bentuk perakaran yang menjangkar dan

Universitas Sumatera Utara

5

pneumatophore (Arif, 2003). Taksonomi dan Morfologi Bruguiera gymnorrhiza
(Gambar 1).
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta


Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Myrtales

Familiy

: Rhizophoraceae

Genus

: Bruguiera

Species

: B. gymnorrhiza


Gambar 1. Bruguiera gymnorrhiza
B. gymnorrhiza merupakan salah satu spesies tumbuhan mangrove dengan
nama famili Rhizoporaceae. Daerah penyebarannya meliputi

daerag Jawa,

Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Tanaman ini tumbuh
pada ketinggian 0-50 m dpl, tipe iklim A, B, C dengan tekstur tanah ringan dan
tumbuh subur di daerah mangrove bagian tengah hingga kebagian dalam.
Tanaman ini mempunyai buah yang panjangnya 2-0-30 cm, diameter 12-17 cm,

Universitas Sumatera Utara

6

warna buah hijau gelap hingga ungu dengan bercak cokelat, permukaan licin,
berbentuk silinder, kelopak menyatu saat buah jatuh dan mengapung di air
(Noor, dkk,. 2006).
Dekomposisi.
Menurut Dewi (2009), rata-rata berat laju dekomposisi serasah daun

A. marina pada pengamatan hari ke-60 berbeda-beda pada setiap tingkat salinitas,
yaitu 19,06 g pada salinitas 0-10 ppt, 16,23 g pada salinitas 10-20 ppt, 36,30 g
pada salinitas 20-30 ppt, dan 9,49 g pada salinitas >30 ppt. Serasah yang paling
cepat terdekomposisi adalah serasah yang berada pada tingkat salinitas >30 ppt.
Kontribusi makrofauna tanah dalam proses dekomposisi dapat secara
langsung ataupun tidak langsung (Visser, 1985 dan Anderson, 1988 dalam Teuben
dan Roelofsma, 1990). Kontribusi secara langsung dapat dilihat dari nutrien yang
mengalami pelindian karena makrofauna sendiri. Sedangkan efek tidak langsung
terjadi jika makrofauna itu mempengaruhi mikroorganisme yang berperan dalam
proses dekomposisi. Efek secara tidak langsung ini dilakukan dengan mengubah
kualitas substrat bagi mikroorganisme, seperti mengubah rasio C nutrien yang
dapat

dipertukarkan

(exchangeable

nutrient)

di


dalam

substrat

(Coleman dkk., 1983 dalam Teuben dan Roelofsma, 1990).
Mason (1977, diacu oleh Yunasfi, 2006) membagi proses – proses
dekomposisi menjadi tiga yaitu, pelindihan (leaching), penghawaan (weathering)
dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara simultan.
Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan – bahan yang dapat larut dari
serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Weathering adalah
mekanisme pelapukan oleh faktor – faktor fisik, seperti pengikisan dan penguapan

Universitas Sumatera Utara

7

air dari serasah oleh angin, es dan pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah
proses yang menghasilkan pecahan – pecahan detritus bahan organic secara
bertahap oleh mahluk hidup. Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal

sebagai decomposer, pengurai atau saproba.
Dekomposisi bahan organik adalah sebuah proses ekologi yang penting
dalam sebuah ekosistem hutan. Melalui proses dekomposisi ini, serasah yang
jatuh ke tanah, bersama dengan kandungan nutrisi yang ada di dalamnya
dilepaskan ke dalam tanah dan tersedia bagi tanaman (Prescott dkk, 2004).
Dekomposisi serasah adalah proses perombakan serasah sebagai bahan
organik oleh jasad renik (mikroba) menjadi energi senyawa sederhana seperti
karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium, dan lain-lain. Perubahan bobot serasah
persatuan

waktu

disebabkan

terjadinya

proses

dekomposisi


dimana

mikroorganisme tanah memanfaatkan karbon serasah sebagai bahan makanan dan
membebaskannya sebagai CO2. Perubahan bobot molekul juga terjadi

pada

proses dimana senyawa kompleks yang lebih rendah (Aprianis, 2011).
Serasah daun bisa dikonsumsi secara langsung langsung oleh hewanhewan bentos, dengan sedikit atau tanpa melalui proses dekomposisi oleh mikroba
terlebih dahulu. Sekitar 30-80% daun, ranting dan lainnya dari tumbuhan
mangrove, yang jatuh keperairan dikonsumsi langsung dan/atau dikubur dulu
disubstrat dasar oleh kepiting (kemungkinan untuk menghilangkan tannin), seperti
grapsid crab (Sesarma messa). Sisanya termasuk serpihan atau potonganpotongan dari serasah daun mangrove yang telah dimanfaatkan oleh kepiting,
dikonsumsi oleh hewan lainnya, ditransportasikan, atau diuraikan oleh bakteri,
tergantung pada ketinggian pasang, umur, dan komposisi spesies tumbuhan hutan

Universitas Sumatera Utara

8


mangrove tersebut, dan kelimpahan dan komposisi spesies pemakan

detritus

(scavangers) (Ghufran, 2012).
Menurut Sutedjo dkk., (1991) proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan
dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai
nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu
udara. Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan
mangrove serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu manjadi bahan
lain yang dapat menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi
organism tersebut. Adapun jenis organism yang terdapat dalam ekosistem
mangrove terdiri atas organism baik yang cukup besar seperti kepiting, serangga
maupun yang kecil seperti bakteri dan fungi.
Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai
makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove, rantai
makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus
diperoleh dari daun mangrove yang gugur ke perairan kemudian mengalami
penguraian


dan

berubah

menjadi

partikel

kecil

yang

dilakukan

oleh

mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Dedi, 2000 diacu oleh Emma, 2009).
Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Hasil
pengamatan produksi serasah di Talidendang Besar, Sumatera Timur oleh
Kusmana et al. (1995) menunjukkan bahwa jenis B.parviflora sebesar 1.267

g/m2/th, B. sexangula 1.269 g/m2/th, dan 1.096 g/m2/th untuk komunitas

B.

sexangula-Nypa fruticans. Pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove
Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau, menghasilkan 5,87 g/0,25m2/minggu daun
dan

ranting

R.

mucronata

atau

setara

dengan


1.221

g/m2/th

dan

Universitas Sumatera Utara

9

2,30 g/0,25m2/minggu daun dan ranting Avicennia marina atau setara dengan
478,4 g/m2/th, dan cenderung membesar ke arah garis pantai.
Pada umumnya, serasah dari spesies yang tumbuh pada lingkungan yang
miskin unsur hara lebih sulit terdekomposisi dan akan menyebabkan lambatnya
proses siklus hara pada lingkungan tersebut dibanding serasah yang berasal dari
tanaman

yang

hidup

pada

lingkungan

yang

kaya

hara

(Van Breemen, 1995).
Sebagai suatu proses yang dinamis, dekomposisi memiliki dimensi
kecepatan yang mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut umumnya adalah faktor
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dekomposer disamping faktor
bahan yang akan didekomposisi. Proses dekomposisi bahan organik secara alami
akan berhenti bila faktor-faktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan
dalam proses dekomposisi itu sendiri. Oksigen dan bahan organik, menjadi faktor
kendali dalam proses dekomposisi. Kedua faktor ini terutama oksigen merupakan
faktor kritis bagi dekomposisi aerobik Ketersediaan bahan organik yang
berlimpah mungkin tidak berarti banyak dalam mendukung dekomposisi bila
faktor lain seperti oksigen tersedia dalam kondisi terbatas (Sunarto, 2003).
Menurut

Hardjowigeno

(2003)

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

penghancuran (dekomposisi) bahan organik adalah
1.

Suhu: Suhu tinggi, dekomposisi cepat. Batasan temperatur optimum untuk
bakteri berkisar 27° -36 °C, yang sangat berpengaruh bagi penguraian serasah
mangrove dengan asumsi daun mangrove sebagai dasar metabolisme.

2.

Kelembaban: selalu basah, dekomposisi lambat

Universitas Sumatera Utara

10

3.

Tata udara tanah: tata udara baik, dekomposisi cepat

4.

Pengolahan: tanah yang diolah, tata udara menjadi baik, penghancuran bahan
organik cepat

5.

pH: tanah dengan pH masam, penghancuran bahan organik lambat

Faktor- faktor Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove
1. Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi).
Produksi daun A. marina terjadi pada suhu 18-20 °C dan jika suhu lebih tinggi
maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria,
Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28 °C. Bruguiera tumbuh optimal pada
suhu 27 °C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26 °C (Prabudi, 2013).
2. Salinitas
Perkembangan salinitas berpengaruh terhadap perkembangan jenis
makrobentos yang membantu dalam proses dekomposisi serasah R. mucronata.
Adanya masukan sir sungai atau hujan akan menurunkan kadar salinitas, yang
akan mengakibatkan kematian beberapa jenis makrobentos. Kehidupan beberapa
makrobentos tergantung pada rendahnya salinitas. Aktivitas makroorganisme
yang tahan terhadap salinitas yang tinggi dan mikroorganisme membantu dalam
proses pendekomposisian bahan organik dalam tanah. (Gultom, 2009).
Salinitas didefinisikan sebagai berat zat padat terlarut dalam gram per
kilogram air laut, jika zat padat telah dikeringkan sampai beratnya tetap pada
480°C. Alat-alat elektronik canggih menggunakan prinsip konduktivitas ini untuk
menentukan salinitas. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk
tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

11

laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi
penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan
dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air
(Hasibuan, 2011).
Salinitas adalah jumlah garam dari garam-garam yang terlarut dalam satu
kilogram air laut, setelah semua karbonat diubah menjadi oksida, semua bromida
dan iodine sudah ditransformasi sebagai klorida ekivalen dan semua bahan
organik telah dioksidasi. Meskipun dapat dinyatakan dalam mg/L, tetapi salinitas
lebih sering dinyatakan dalam ppt atau promil. Kisaran salinitas air laut berada
antara 0-40 ‰, yang berarti kandungan garam berkisar antara 0-40 g/kg air laut.
Secara umum salinitas permukaan rerata perairan Indonesia berkisar antara
32-34 ‰ (Rizal, 2008 diacu oleh Emma, 2009).
Enam kelas salinitas pada vegetasi mangrove yang tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelas salinitas vegetasi mangrove
Kelas

Keterangan

1

Salinitas 10-30 ‰, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau sekurangnya 20 hari setiap bulan,
jenis Avicenia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah
yang lebih keras, membentuk zona pertama
Salinitas 10-30‰, tanah digenangi 10-19 hari setiap bulan, jenis Bruguiea gymnorrhiza
tumbuh baik dan tegakan membentuk zona ke-2
Salinitas 10-30‰, tanah digenangi 9 hari atau kurang setiap bulan, jenis Xylocarpus dan
Heritiera tumbuh baik dan tegakan membentuk zona ke-3
Salinitas 10-30‰ tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam setahun, jenis
Bruguiera, Scyphipora dan Lumnitzera tumbuh baik dantegakan membtnuk zona ke-4
Salinitas 0‰ sedikit dipengaruhi pasang surut
0‰ tanah hanya dipengaruhi perubahan air hanya pada musim basah

2
3
4
5
6

Sumber : Rizal (2008)

3. Derajat Keasaman ( pH )
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan,
didefenisikan sebagai logaritma dari resifprokal aktivitas ion hidrogen dan secara
matematis dinyatakan sebagai pH= log l/H- dimana H- adalah banyaknya ion
hydrogen dalam mol/liter larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau

Universitas Sumatera Utara

12

melepaskan ion Hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat
asam atau basa (Barus, 2004).
4. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena
bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen
untuk kehidupannya. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan
fotosintesis. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan
kondisi terendah pada malam ( Dewi, 2009).
Unsur Hara yang Terkandung di Dalam Serasah Bruguiera gymnorrhiza
Hara merupakan faktor penting dalam memelihara keseimbangan
ekosistem mangrove. Hara dalam ekosistem mangrove dibagi menjadi dua yaitu:
(a) Hara anorganik, penting untuk kelangsungan hidup organisme mangrove. Hara
ini terdiri dari N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama hara anorganik adalah
curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan bahan organik yang terurai di
mangrove; (b) Detritus organik, merupakan bahan/organik yang berasal dari
bioorganik yang melalui beberapa tahap pada proses microbial (Handayani 2004).
Karbon (C)
Lautan mengandung karbon lima puluh kali lebih banyak daripada karbon
di atmosfer. Perpindahan karbon dari atmosfer ke laut terjadi terjadi melalui
proses difusi. Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi
karbon organik melalui proses fotosintesis, kemudian masuk kembali ke atmosfer
melalui proses respirasi dan dekomposisi yang merupakan proses biologis makhluk
hidup (Efendi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

13

Nitrogen (N)
Unsur N di dalam tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik sisasisa tanaman maupun binatang, pemupukan (terutama urea dan ammonium nitrat)
dan air hujan. Pengaruh bahan organik terhadap tanah dan terhadap tanaman
tergantung pada laju proses dekomposisi (Hanafiah, 2003).
Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Lapisan
atmosfer bumi mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung
nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai
penyusun protein dan klorofil. Meskipun ditemukan dalam jumlah yang melimpah
di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen tidak dapat dimanfaatkan secara langsung.
Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4 dan NO3.
(Efendi, 2003).
Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat
tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat
mematikan organisme air. Keberadaan nitrat diperairan sangat dipengaruhi oleh
buangan yang dapat berasal dari industri, bahan peledak, pirotehnik da n
pemupukan. Secara alamiah, kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat
dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk
nitrat/nitrogen (Aerts, 1997).
Fosfor (P)
Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan
algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae yang
sangat mempengaruhi produktivitas perairan Sumber-sumber alami fosfor di
perairan adalah pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan organik.

Universitas Sumatera Utara

14

Sumbangan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003).
Fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan
dalam bentuk senyawa organik yang terlarut. Fosfor membentuk kompleks
dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat larut dan mengendap
pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik. Fosfor yang
terdapat dalam air taut umumnya berasal dari dekomposisi organisme yang sudah
mati (Thaher, 2013).
Rasio C/N
Faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri dalam penguraian bahan
organik tumbuhan adalah jenis tumbuhan dan iklim. Faktor tumbuhan biasanya
berbentuk sifat fisik dan kimia daun yang tercermin dalam perbandingan antara
unsur karbon dan unsur nitrogen yang dinyatakan sebagai nisbah C/N
(Thaiutsa & Ganger, 1979). Meningkatnya keanekaragaman bakteri mempengaruhi
laju proses dekomposisi dan pola pelepasan unsur hara. Selama proses
dekomposisi, kehilangan massa ditentukan oleh kandungan nitrogen dan rasio
C/N pada substrat. Rasio C/N yang tinggi menunjukkan tingkat kesulitan
substrat terdekomposisi (Handayani 2004).

Universitas Sumatera Utara