Isolasi dan Karakterisasi Bakteri dan Jamur Pengkontaminasi Beberapa Kultur Jaringan dan Ruangan Kultur Departemen Biologi FMIPA USU

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Mikroorganisme Udara (Bioaerosol)
Bioaerosol merupakan materi partikulat bakteri yang berasal dari hewan ataupun
tanaman, baik yang bersifat patogenik maupun non patogenikyang tersuspensi di
udara memiliki kisaran ukuran sebesar 0,5-30 µm. Komponen penyusun udara
meliputi bakteri, air, polen, debu, senyawa organik maupun senyawa anorganik.
Mikroorganisme yang paling banyak memenuhi komponen udara bebas adalah
bakteri, jamur dan mikro alga, dalam bentuk vegetatif atau generatif, umumnya
berbentuk spora. Udara bukan merupakan medium tempat bakteri tumbuh, tetapi
merupakan pembawa bahan partikulat, debu, tetesan air yang semua dapat sebagai
tempat tumbuh bakteri. Kandungan udara dalam ruangan akan berbeda dengan
luar ruangan. Bakteri dalam ruangan dipengaruhi oleh laju ventilasi, padatnya
orang, taraf kegiatan orang yang menempati ruangan tersebut. Flora bakteri yang
terdapat di udara bersifat sementara dan beragam (Waluyo, 2005).
Bakteri dapat tersuspensikan sementara dalam bahan partikulat atau
terbawa oleh partikel debu dan tetesan cairan baik yang berukuran besar ataupun
kecil. Jumlah dan tipe bakteri yang mengkontaminsai udara ditentukan oleh
sumber kontaminan, misalnya dari orang yang batuk atau bersin. Organisme yang
terbawa oleh udara dapat terangkut sejauh beberapa meter atau beberapa

kilometer, ada sebagian yang mati dalam hitungan detik sedangkan yang lain
dapat bertahan hidup lama. Ketahanan hidup yang berbeda-beda dari suatu bakteri
di udara ditentukan oleh keadaan lingkungan seperti keadaan atmosfer,
kelembaban, cahaya, suhu, ukuran partikel pembawa mikroorganisme tersebut
serta ciri-ciri mikroorganisme itu sendiri terutama ketahanan terhadap keadaan
fisik di atmosfer. Beberapa metode penangkapan bakteri udara antara lain dengan
cara sedimentasi dan alat penangkap udara (air sampler). Ada banyak faktor yang
mempengaruhi biaoaerosol yang menentukan seberapa baik bagi kesehatan
manusia. Faktor-faktor tersebut meliputi kehadiran dan efisiensi dari alat
penyaring udara, desain dan operasi sistem sirkulasi udara, kesehatan dan

Universitas Sumatera Utara

6

kehigenisan dari penghuni ruangan, komponen udara yang bersih sekitar
bangunan, tipe pencahayaan, temperatur, dan kelembapan udara relatif (Pelczar,
1988).
Komponen-komponen penyusun bioaerosol diantaranya ialah jamur, virus
dan bakteri. Udara tidak mempunyai flora alami, mikroorganisme tersebut hanya

tinggal sementara mengapung di udara dan terbawa bersama dengan debu. Jumlah
dan macam mikroorganisme dalam suatu volume udara bervariasi sesuai dengan
lokasi, kondisi dan jumlah orang yang ada. Tipe-tipe bakteri yang hidup di udara
meliputi bakteri pembentuk spora dan bukan pembentuk spora, basil Gram positif,
coccus Gram positif dan basil Gram negatif. Golongan jamur dominan yang bisa
didapati dalam suatu ruang adalah dari genus Trichosporon, Monieliella,
Trichoderma dan Aspergillus, sedangkan golongan bakteri dominan adalah dari
genus Pseudomonas dan Bacillus (Waluyo, 2005).

2.1.1. Mikroorganisme pengkontaminasi kultur
Kontaminasi mikroba muncul pada saat proses inisiasi dan pemeliharaan kultur
secara in vitro. Kontaminasi ini biasanya bersifat patogen. Pada umumnya,
kontaminasi berasal dari jamur dan bakteri yang berasal dari permukaan eksplan
itu sendiri. Kontaminasi dapat diidentifikasi dengan pengamatan dibawah
mikroskop. Kontaminasi eksplan yang muncul tergantung pada spesies tanaman,
usia tanaman, sumber eksplan dan kondisi cuaca. Oleh karena itu, waktu yang
baik dan pencegahan seleksi harus dilakukan,karena untuk menghilangkan
kontaminasi kultur secara in vitrosangat sulit (Mwirigi et al., 2010).
Pada penelitian kultur Lilium candidum L.juga rentan terkontaminasi
jamur.Jamur pengkontaminasi tersebut diidentifikasi yakni menurut morfologi,

dan karakteristik kultur selama proses pengkulturan. Beberapa spesies tersebut
antara lain Fusarium, Pencillium, Alternaria, Rhizopus, Cylindrocarpon dan
Aspergillus.

Metode

yang

dilakukan

untuk

menghilangkan

pengkontaminan dengan menggunakan senyawa kimia dan antibiotik

jamur
seperti

Benomyl, Nystatin, Streptomisin, dan Penisilin dengan kombinasi yang berbeda

yang diaplikasikan selama 30 menit dan dikultur di media MS dengan supplement
0,1 mg/dm3 NAA

+ 0,01 mg/dm3 BA. Selama penelitian berlangsung,

Universitas Sumatera Utara

7

kontaminasi jamur tersebut diamati dengan pengujian penuh. Pengujian yang
paling efektif yang diserang oleh kontaminasi jamur tersebut dengan
menggunakan Benomyl (100mg/dm3) + Nystatin (100mg/dm3) merupakan
kombinasi pencegahan yang baik (Altan et. al., 2010).
Omamor et al., (2007) melaporkan bahwa kontaminasi jamur dapat
mempengaruhi senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tanaman secara endogen
dan kondisi udara di laboratorium. Beberapa jamur yang mengkontaminasi pada
kulturEllais guinensiss Jacq.yakni sebanyak 25 spesies jamur. Namun yang telah
diidentifikasi hanya sebanyak 14 genera yang berasal dari kultur Ellais guinensiss
Jacq.yang diambil dari beberapa bagian (eksplan, kalus/embrio, dan planlet).
Beberapa genera tersebut yakni Penicillium sp.(40,8%), Curvularia sp. (14,5%),

Cladosproium sp. (13,4%), Aspergillus sp. (10,1%), Acremonium sp.,Fusarium
sp., Alternaria spp. (4,5%), Rhizopus (3,4%), Trichoderma,Pestalotica dan
Helminthosporium spp (1,1%). Sedangkan Paecilomyces, Dreschlera dan Phytium
spp. merupakan jamur dengan jumlah paling sedikit (0,6%).
Kontaminasi kultur Ipomea batatas L.disebabkan oleh mikroorganisme
endogen. Mikroorganisme endogen kebanyakantermasuk ke dalam golongan
bakteri dan jamur. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa ada 3 jenis bakteri dan
3

jenis

jamur

yang

telah

diisolasi

dari


kulturIpomea

batatas

L.

yangterkontaminasi. Dari golongan bakteri terdapat 1 bakteri Gram positif yakni
Corynebacteriumberbentuk batang dan 2 bakteri Gram negatif yakni Klebsiella
sp. dan Pseudomonas sp. Ketiga jenis bakteri tersebut sensitif terhadapantibiotik
Gentamisin, Tetrasiklin dan Ampisilin (Jena & Samal, 2011).Pada koleksi plasma
nutfah Ipomea batatas L. jugaberesiko terkontaminasi bakteri endofit.
Kontaminasi ini muncul karena sterilisasi yang tidak benar pada saat ingin
menanam eksplan ke dalam media kultur. Kontaminasi bakteri endofittidak dapat
dihilangkan dengan teknik sterilisasi pemukaan saja, tetapi denganmenggunakan
antibiotik yang ditambahkan kedalam media (Mbah & Wakil, 2012).

Universitas Sumatera Utara

8


Kontaminasi bakteri sulit dideteksi karena kebanyakan kontaminasi
berasal dari jaringan eksplan itu sendiri dantidak memiliki simptom. Kontaminasi
menyebabkan multiplikasitanamanlambat, perakaran yang tidak baik (akar
membusuk), dandapat menyebabkan tanaman mati. Sumber kontaminasi pada
kultur biasanya sulit ditentukan. Bakteri yang mengkontaminasi kultur tanaman
berasal dari eksplan, lingkungan laboratorium, operator, dan teknik sterilisasi
yang tidak efektif. Bakteri yang mampu berasosiasi dengan tanaman disebut
bakteri endofit. Mikroorganisme endofit sulit untuk didesinfeksi dengan cepat
karena proses penyebaran dan pertumbuhan mikroorganisme endofit seiring
dengan pertumbuhan tanaman itu sendiri (Reed & Tanprasert, 1995).
Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri dapat menyebabkankondisi
kultur berubah seperti berair dan berlendir. Pada penelitian kultur Pelargonium sp.
terdapat bakteri pengkontaminasi seperti Paenibacillus glycamilyticus dan
Lactobacillus paracasei.Hasil identifikasi bakteri ini dengan menggunakan
identifikasi bakteri 16S RNA dengan analisis sequencing. Kedua bakteri tersebut
diketahui telah berasosiasi dengan tanaman,tetapikehadiran bakteri tersebut di
dalam kulturPelargonium sp. tidak dibutuhkan.Kedua bakteri tersebut merupakan
bakteri Gram positif. Paenibacillus glycanilyticus mampu mendegradasi
heteropolisakarida yang dihasilkan oleh CyanobacteriumNostoc commune.

SedangkanLactobacillus paracasei biasanya sebagai kontaminan pada kultur yang
berasal dari spesies tanaman yang berbeda. Kultur dapat terkontaminasi pada
setiap tahap selama proses pengkulturan. Bakteri yang sulit dikontrol adalah
bakteri endogen yang tidak menimbulkan simptom yang dapat dilihat mata di
dalam kultur jaringan yang terkontaminasi. Kultur terkontaminasi oleh bakteri
karena

kurang

aseptis

ketika

melakukan

pengkulturan.

Selama

proses


mikropopagasi, kontaminasi bakteri dapat bertahan hidup karena tingginya
konsentrasi garam dan sukrosa pada media kultur, pH dan temperatur yang
optimal untuk pertumbuhan bakteri(Wojtania et al., 2005).
Kultur yang dikontaminasi oleh mikroorganisme khususnya bakteri telah
menjadi masalah serius. Para ilmuwan juga berusaha untuk menghilangkan
kontaminasi bakteri dengan berbagai pencegahan seperti manipulasi vigorous dan
penggunaan antibiotik.Kolonisasi mikroba endofit pada tanaman berkembang di

Universitas Sumatera Utara

9

stomata dan perakaran. Keduanya merupakan bakteri patogen dan saprofit yang
diisolasi dari tanaman. Bakteri tersebut antara laingenera Xanthomonas,
Corynebacterium, Erwinia, Bacillus, Pseudomonas, Micrococcus, Agrobacterium,
Arthrobacter dan Enterobacter (Buckley et al., 1995).
Mbah & Wakil (2012) melaporkan pada penelitian kultur Ipomea batatas
L. juga mengalami kontaminasi. Genotip yang berbeda (TDr 95/19172 dan TDr
95/00929)


dari D. rotundata yang dikontaminasi oleh Burkholderia sp.,

Luteibacter rhizovicinus dan Bacillus cereus yang diidentifikasi dengan CABI
(Commonwealth Agriculture Bureax) yang digunakan pada penelitian ini. Bakteri
Burkholderia sp. merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat motil, berbentuk
batang, dan obligat aerob sama seperti Luteibacter rhizovicinus. Berbeda dengan
Bacillus cereus yang merupakan bakteri Gram positif, berspora, berbentuk batang
dan bersifat aerob. Kandungan pada media antara lain MS (4,43 g/L), myoinositol (100mg/L), L-cysteine (20mg/L), dan agar (7,5g/L).

2.2. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan Kultur Jaringan
2.2.1. Eksplan
Kultur jaringan merupakan manipulasi pertumbuhan pada tumbuhan dalam
kondisi yang terkontrol dengan baik dan auksin serta sitokinin berperan penting
dalam manipulasi ini. Kebanyakan eksplan menghasilkan sejumlah auksin dan
sitokinin secara endogenous. Dalam kultur jaringan, zat pengatur tumbuh secara
exogenous diberikan untuk memperoleh efek pertumbuhan. Auksin dan sitokinin
atau keduanya ditambahkan di dalam kultur jaringan untuk memperoleh respon
pertumbuhan (Subarnas, 2011).
Keberhasilan morfogenesis suatu budidaya jaringan


salah satunya

ditentukan oleh eksplan. Eksplan adalah bagian dari tanaman yang digunakan
sebagai bahan untuk memulai proses pengkulturan. Untuk semua teknik kultur
jaringan, semua bagian tanaman yang dapat diperoleh dan bebas terdeteksi
mikroorganisme dapat dicoba menjadi eksplan, walaupun demikian tidak semua
jaringan tanaman mudah untuk ditumbuhkan. Seleksi bahan eksplan yang cocok
merupakan faktor yang penting yang dapat menentukan keberhasilan program
kultur jaringan.Tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan
eksplan yaitu genotip, umur dan kondisi fisiologis (Zulkarnain, 2009).

Universitas Sumatera Utara

10

Genotip suatu eksplan jika memungkinkan digunakan bahan tanaman
induk yang memiliki kisaran genetik berbeda. Kondisi tumbuhan, eksplan yang
sehat dan vigorous kemungkinan besar akan menghasilkan kultur yang baik dan
berhasil. Ukuran tumbuhan, semakin kecil eksplan semakin kecil kemungkinan
menularkan penyakit endogen dan menyebabkan variasi akibat adanya kimera.
Sebaliknya eksplan yang lebih kecil lebih mudah rusak pada saat dilakukan
sterilisasi dan lebih rentan terhadap kegagalan pada saat induksi kultur awal
(Subarnas, 2011).
Eksplan yang dipilih akan disterilisasi permukaannya dengan berbagai
bahan sterilisasi. Tipe dan konsentrasi sterilisasi serta waktu yang digunakan
ditentukan berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Bahan sterilisasi yang
digunakan untuk sterilisasi permukaan misalnya sodium hipoklorit, hidrogen
peroksida, bromin, dan perak nitrat. Pada sterilisasi permukaan dibasahi dengan
larutan sterilisasi. Penggunaan alkohol 70% dan penambahan detergen dan tween
20 sebanyak 1-2 tetes bertujuan supaya tegangan permukaaan bahan desinfektan
dapat menyentuh lekukan-lekukan kecil atau rongga kecil seperti celah diantara
bulu-bulu halus yang ada di eksplan sehingga eksplan benar-benar steril. Hal ini
dapat lebih mengefektifkan sterilisasi (Zulkarnain, 2009).

2.2.2. Media
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat tergantung pada
media yang digunakan. Unsur-unsur yang penting dalam media tersebut adalah
garam-garam anorganik, vitamin, zat pengatur tumbuh, sumber energi dan karbon.
Media yang digunakan untuk kultur jaringan sangat banyak jenisnya seperti yang
telah dilaporkan. Masing-masing jenis media memiliki respons yang berbeda
untuk jenis dan tipe kultur yang digunakan bahkan jenis eksplan yang berbeda
pula. Media yang digunakan pada kultur jaringan hampir sama semua dilakukan
pada media semi solid dengan menggunakan agar atau gel. Gel ini menjadi
pendukung fisik untuk eksplan dan dapat meningkatkan aerasi pada media. Gel ini
membuat pengamatan kontaminan atau perkembangan akar menjadi lebih mudah.
Gel memiliki kondisi fisik dan kimia yang sedikit berbeda sehingga memerlukan
sedikit modifikasi pada persiapan media (Subarnas, 2011).

Universitas Sumatera Utara

11

Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal
bervariasi antarspesies ataupun antarvarietas. Bahkan, jaringan yang berasal dari
bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda pula dengan kebutuhan
nutrisinya. Medium dasar Murashige dan Skoog muncul pada tahun 1962 adalah
media yang paling luas penggunaannya dibandingkan dengan media dasar
lainnyaterutama pada mikropopagasi tanaman dikotil dengan hasil yang sangat
memuaskan. Hal itu dikarenakan media MS memiliki kandungan garam-garam
yang lebih tinggi daripada media lain. Disamping itu media ini juga memiliki
kandungan nitrat tinggi. Keasaman media adalah salahsatu yang mempengaruhi
keberhasilan suatu kultur jaringan tanaman. Pada umumnya keasaman medium
berkisar antara 5,6-5,8. Medium yang terlalu asam (pH7,0) dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Hal ini
mungkin disebabkan oleh tidak tersedianya sejumlah unsur hara pada kisaran pH
tertentu. Pada pH tinggi unsur-unsur seperti besi, seng, mangan, tembaga, dan
boron mengalami presipitasi (pengendapan) sebagai hidroksida sehingga tidak
tersedia bagi jaringan yang dikulturkan. Sedangkan pada pH rendah, unsur-unsur
seperti kalsium, magnesium, belerang, fosfor dan molibdat menjadi tidak tersedia.
Tanaman seperti Rhododendion tumbuh dengan baik pada pH 4,5. Medium
dengan pH yang rendah seringkali digunakan dalam seleksi untuk mendapatkan
tanaman yang mampu toleran terhadap keasaman tinggi (Zulkarnain, 2009).

2.2.3. Zat Pengatur Tumbuh
Hormon adalah bahan perangsang tumbuh yang disintesis pada jaringan
tumbuhan.

Hormon

diperlukan

dalam

konsentrasi

yang

rendah

untuk

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Banyak molekul
sintesis zat

alami yang telah dikenal memiliki aktivitas serupa perangsang

tumbuh. Senyawa sintesis perangsang tumbuh yang secara alami ada, dikenal
dengan sebutan zat pengatur tumbuh (Subarnas, 2011).
Fitohormon adalah senyawa yang dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi
secara endogen. Senyawa tersebut berperan merangsang dan meningkatkan
pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan dan organ tanaman menuju arah
differensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang memiliki karakteristik sama

Universitas Sumatera Utara

12

dengan hormon namun diinduksi secara eksogen dikenal sebagai zat pengatur
tumbuh. Didalam teknik kultur jaringan kehadiran zat pengatur tumbuh sangat
berpengaruh. Beliau juga mengatakan bahwa sangat sulit untuk menerapkan
teknik kultur jaringan pada upaya perbanyakan tanaman tanpa melibatkan adanya
zat pengatur tumbuh (Zulkarnain, 2009).

2.3. Desinfeksi
Desinfeksi merupakan suatu proses menghilangkan/membunuh bakteri, jamur dan
mikroorganisme lainnya dengan meggunakan senyawa desinfektan, germisida
ataupun bakterisida. Ada desinfektan yang membunuh mikroorganisme (bakteri)
dengan tidak merusaknya sama sekali, sedangkan zat-zat kimia seperti basa dan
asam organik itu menyebabkan hancurnya bakteri. Kemungkinan hancurnya
bakteri tersebut disebabkan oleh proses hidrolisis (Dwidjeseputro,1978).
Pada dasarnya pengerjaan kultur jaringan dikerjakan di Laminar Air Flow
Cabinet. Laminar Air Flow Cabinet biasanya disterilisasi permukaan dengan
alkohol 70% (v/v). Meskipun alkohol bersifat asam (70% v/v, pH 2,0) mungkin
lebih efektif sebagai desinfektan, tetapi jarang digunakan karena memiliki efek
korosif pada permukaan logam. Semua alat direndam pada larutan 70-80% (v/v)
etanol dan diinsenerasi di atas lampu spiritus sebelum digunakan. Agar aman,
sebaiknya wadah yang digunakan yang mengandung alkohol untuk pemanasan
diletakkan pada suatu wadah dengan dasar yang berat. Hal ini untuk mencegah
jatuhnya alkohol akibat tersenggol secara tidak sengaja yang dapat menyebabkan
kebakaran dalam LaminarAir Flow Cabinet. Sebagai aturan umum, buanglah
alkohol yang tersisa pada beaker glass

setelah melakukan pengkulturan

(Subarnas, 2011).

Universitas Sumatera Utara

13

2.3.1. Desinfeksi udara
Sumber utama kontaminan adalah spora jamur dan bakteri yang terdapat di udara.
Dapat diasumsikan bahwa agen kontaminasi ada dimana-mana, misalnya pakaian,
jaringan tumbuhan, peralatan, bagian luar wadah kultur, permukaan tempat kerja
dan lainnya. Udara steril di dalam Laminar Air Flow Cabinet memungkinkan kita
untuk dengan mudah membuka wadah kultur dan bekerja secara steril. Peralatan
yang dapat disterilisasi dengan mencelupkan alkohol 70%-80% yang diikuti
dengan pembakaran dengan menggunakan bunsen. Bleaching juga dapat
digunakan sebagai alternatif untuk mensterilisasikan peralatan dengan alkohol dan
larutan klorin encer (0,1-0,25 % klorin) dapat digunakan. Peralatan juga harus
stainless karena bahan lain akan berkarat dan cepat jika rendam dalam larutan
bleaching(Subarnas, 2011).
Desinfeksi dengan gas formaldehid menggunakan chamber steam, yang
menyediakan pemanasan dan area vakum memakan waktu kurang dari 8 jam.
Desinfeksi formaldehid dengan oksidasi alkohol, seperti desinfeksi pada
kayuwalaupun dengan aplikasi sederhana, tidak dapat direkomendasikan untuk
desinfeksi yang lebih baik.Pada

pengerjaannya terutama dengan alasan

formaldehid tidak memiliki standart dan berbahaya mudah terbakar dengan
api,bahkan harganya jauh lebih mahal (Scholz & Bergmann, 1984).
Formaldehid telah digunakan untuk pengujian proses dekontaminasi
secara biologis. Namun formaldehid bisa menyebabkan polimerisasi.Formalin
merupakan larutan yang bisa tersebar di udara dan menyebabkan terjadinya
polimerisasi. Karena tekanan uap yang rendah, formaldehid bercampur di udara
mencegah proses kondensasi dan polimerisasi. Depolimerisasi formaldehid
dengan menggunakan sumber listrik untuk menyatukan proses penyebaran
formaldehid di udara. Teknik ini membutuhkan keahlian khusus proses fumigasi
yang dilakukan. Konsentrasi formalin yang baik dan direkomendasikan sebagai
desinfektan yakni berkisar 4% - 5% (Brasswell et al., 1970).

Universitas Sumatera Utara

14

Efisiensi pembersihan dan desinfeksi rumah kaca sangat diperlukan untuk
meminimalisirkan

perpindahan

mikroorganisme

yang

mengkontaminasi

kultur.Penyemprotan dengan desinfektan merupakan tindakan operasional yang
benar.Penggunaan

gas

formaldehid

dengan

metode

formalin-pottasium

merupakan teknik laboratorium yang aman dan mudah untuk mencegah terjadinya
keledakan gas.Metode ini menggunakan campuran kristalpottasium permanganat
dengan formalin. Reaksi dari kedua senyawa ini bersifat vigorous dan suhu akan
menurun. Temperatur ini bisa mencapai 1000C walaupun pada prakteknya sering
turun beberapa derajat.Air dan formalin menguap tergantung rasio campuran yang
digunakan (Connoly & Fletcher, 1981).

2.3.2. Desinfeksi (Sterilisasi) pada bahan eksplan
Menurut Zulkarnain (2009) mengatakan bahwa beberapa sumber kontaminasi
mikroorganisme pada sistem kultur jaringan dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Medium sebagai akibat proses sterilisasi yang tidak sempurna
b. Lingkungan kerja dan pelaksanaan penanaman yang kurang hati-hati dan
kurang teliti
c. Eksplan (secara internal yang terbawa oleh eksplan di dalam jaringan dan
secara eksternal yakni kontaminan yang berada di permukaan eksplan akibat
prosedur sterilisasi yang kurang sempurna)
d. Dari serangga atau hewan kecil lainnya yang berhasil masuk kedalam botol
kultur setelah diletakkan di dalam ruang kultur ataupu ruang stok

Omamor et al. (2007) melaporkan bahwa pada penelitian kulturEllais
quinensiss Jacq. yang terkontaminasi berasal dari eksplan daun, kalus/embrio, dan
planlet. Media kultur jaringan yang digunakan adalah media MS. Media tersebut
diautoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit pada tekanan 2 atm. Eksplan tersebut
disterilisasi permukaannya dengan sodium hipoklorit selama 3 menit. Kemudian
eksplan secara aseptis ditransfer ke media kultur, dilabel dan diinkubasi pada suhu
240C selama 2-3 minggu. Botol kultur jaringan yang terkontaminasi dipisahkan
dan dipindahkan dari Tisssue Culture Unit of Nigerian Institute Oil Palm
Research (NIFOR) dan diautoklaf kembali.Kontaminan yang telah diisolasi dari

Universitas Sumatera Utara

15

eksplan, kalus/embrio dan planlet ditumbuhkan di media padat PDA dengan
0,05gr chlorampenicol/L dengan diinkubasi pada suhu 200C selama 2-3 hari.
Mikroorganisme yang telah diisolasi (jamur) yang terdapat pada media solid PDA
dan 0,1% media cair PDA pada suhu 200C. Beberapa isolat jamur yang telah
diidentifikasi dilaboratorium dikirim ke Universitas Surrey untuk identifikasi
lebih lanjut.
Menurut Subarnas (2011) ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
dan mengurangi kontaminasi kultur yang berasal dari bahan tanaman itu sendiri
antara lain:
a.

Metode Fisik

-

Mendedahkan tumbuhan induk dengan kondisi kekeringan selama 3-4
minggu sebelum memulai kultur jaringan

-

Pada saat mulai kultur, tumbuhan dicuci bersih dan bagian yang tidak
digunakan untuk kultur segera dibuang

-

Bahan tanaman dicuci di bawah air mengalir selama 20 menit, sampai
beberapa jam tergantung sumber bahan tanaman

b.

Metode Kimia

Metode ini dapat dilakukan dengan larutan Sodium Hipoklorit (NaOCl). Karena
kemurniannya, Hipoklorit memiliki aktivitas yang kecil pada pH 8,0 dan akan
lebih efektif jika pH menjadi sekitar 6,0 dengan penambahan HCl. Untuk
meningkatkan kesuksesan menggunakan klorin dapat digabungkan untuk
mendapatkan eksplan yang steril yaitu:
- ditambahkan detergen ke larutan klorin, misalnya beberapa tetes Tween 20 atau
Triton X-100
- diberikan sedikit tekanan pada perlakuan klorin dengan desikator vakum yang
disambungkan ke air pompa
- digoyang-goyangkan (agitasi) larutan klorin secara manual atau dengan
menggunakan shaker selama periode disinfestasi

Universitas Sumatera Utara

16

Dari semua sumber kontaminasi yang paling sulit diatasi adalah yang
berasal dari eksplan. Oleh karena itu, dalam memilih suatu metode sterilisasi
harus selektif, kita hanya mengeliminasi jamur dan bakteri yang tidak diinginkan
yang berasal dari bahan eksplan. Bahan-bahan sterilisasi yang dapat digunakan
untuk sterilisasi bahan tanaman sudah banyak tersedia, larutan hipoklorit (natrium
ataupun kalsium) telah terbukti efektif pada kebanyakan bahan tanaman. Misalnya
perlakuan Na-hipoklorit 0,3-0,6% selama 15-30 menit, terbukti efektif untuk
sterilisasi sebagian besar bahan tanaman. Perlu diingat, bahan sterilisasi pun
bersifat meracuni jaringan. Oleh karena itu, tingkat konsentrasi dan lamanya
perlakuan harus benar-benar diperhatikan untuk mengurangi resiko kematian
jaringan. Perendaman bahan tanaman dalam etanol 70% selama 30 detik sebelum
disterilisasi atau penambahan beberapa tetes surfaktan sepertitriton-R, Tween 20,
atau Tween 80 dapat meningkatkan efektivitas bahan sterilisasi tersebut. Setelah
perlakuan sterilisasi, bahan tanaman harus dibilas dengan air steril, 3 atau 4 kali
untuk menghilangkan sisa-sisa bahan sterilisasi (Zulkarnain, 2009).

2.3.3. Penggunaan Antibiotik
Menurut Waksman, antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme
dan zat-zat tersebut ada dalam jumlah sedikit memiliki daya penghambat kegiatan
mikroorganisme lain. Antibiotik yang pertama dikenal ialah Penisilin, dihasilkan
oleh jamur Penicillium. Penisilin ini ditemukan oleh Flemming pada tahun 1929.
Namun baru sejak 1943 antibiotik ini sangat banyak digunakan sebagai pembunuh
bakteri. Genus Streptomyces menghasilkan antibiotik Streptomisin, Aureomisin,
Kloromisetin,

Tetramisin,

Eritromisin,

Megnamisin

yang

masing-masing

memiliki fungsi berlainan. Antibiotik yang tidak dihasilkan oleh jamur, melainkan
berasal dari golongan bakteri seperti Tirotrisin dihasilkan oleh Bacillus brevious,
basitrasin oleh Bacillus subtilis dan Polimiksin yang dihasilkan oleh Bacillus
polymixa (Dwidjeseputro, 1978).

Universitas Sumatera Utara

17

Larutan klorin dapat membunuh mikroorganisme secara eksternal, namun
tidak dapat membunuh mikroorganisme secara internal (endogen) dalam jaringan
tumbuhan. Beberapa laboratorium menggunakan antibiotik untuk membunuh
kontaminan endogen. Meskipun antibiotik rutin digunakan dalam kultur jaringan
hewan, tetapi penggunaan antibiotik pada kultur jaringan tumbuhan kurang
berhasil.

Tidak

ada

antibiotik

yang

efektif

untuk

membunuh

semua

mikroorganisme yang mengkontaminasi. Antibiotik dan produk turunannya
dimetabolisme oleh jaringan tumbuhan (Subarnas, 2011).Sama halnya dengan
penelitian yang menggunakan antibiotik untuk melihat efektivitas dalam test
antibiotik yakni carbenicilin, cefotaxime, neomycin, dan streptomisin. Antibiotik
ini ditambahkan ke media multiplikasi yang mengandung 0,5 mg/L m-topolin.
Stok larutan antibiotik dibuat setiap hari, disterilisasi kemudian difilter
(penyaringan) dan ditambahkan kedalam media setelah proses autoklaf
selesai(Wojtania et al., 2005).
Menurut Subarnas (2011) mengatakan bahaya penggunaan antibiotik yang
ditambahkan kedalam media kultur jaringan antara lain:
a.Tumbuhan yang dihasilkan mungkin masih memiliki kontaminasi endogen
b. Dengan penggunaan antibiotik spesifik, dapat menghasilkan mutan tertentu
yang tidak dapat dikontrol dengan antibiotik spesifik ini
c. Kontaminasi bakteri yang dapat menjadi masalah akhir produksi mikro, contoh
sulit menghasilkan akar pada tunasyang terkontaminasi
d. Masalah kamuflase kultur jaringan bisa menjadi masalah utama di kemudian
hari pada kultur (misalnya layu bakteri/spot)
e. Kontaminan yang awalnya bersifat non-patogenik menjadi patogenik karena
adanya proses mutasi tersebut.

Universitas Sumatera Utara