HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI (STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN PEMIKIRAN SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN FI BAYAN HUQUQ AZ-ZAUJAIN) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

  

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

(STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN PEMIKIRAN

SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI DALAM KITAB

  

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

  

Oleh:

Putri Isnaini

NIM : 21112014

  

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2017

  

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

(STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN PEMIKIRAN

SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI DALAM KITAB

  

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

  

Oleh:

Putri Isnaini

NIM : 21112014

  

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2017

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

  MOTTO Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat begi orang lain.

  • ﺪﺟو ﺪﺟ ﻦﻣ
  • PERSEMBAHAN Untuk kedua orangtuaku tercinta, Saudara-saudaraku, para dosen Institut Agama Islam Negeri Salatiga, Sahabat-sahabat seperjuanganku dan semua yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

KATA PENGANTAR

  Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Puji syukur ke hadirat-Nya yang telah memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan sesuatupun.

  Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar S1 Jurusan Ahwal Al Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Salatiga, selanjutnya dengan hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

  1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga yang telah berjasa mengasuh penulis dan berkenan memberikan persetujuan dan pengesahan terhadap skripsi ini.

  2. Bapak Drs. Machfudz, M.Ag, sebagai pembimbing yang telah dengan ikhlas mencurahkan ilmunya serta meluangkan waktu dan upayanya untuk membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

  3. Seluruh dosen Institut Agama Islam Negeri Salatiga

  4. Ibunda tercinta yang senantiasa memberikan do’a restunya dengan setulus hati demi keberhasilan putra putrinya.

  5. Sahabat-sahabat tercinta yang telah memberikan banyak dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

  6. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

  Semoga amal baik dan bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT sebagai amal saleh. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran serta kritik dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun siapa saja yang membacanya. Amin.

  Salatiga, 17 Januari 2017 Penulis, Putri Isnaini

  DAFTAR ISI

  SAMPUL............................................................................................................... i LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii JUDUL ................................................................................................................. iii PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................................. vi MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii ABSTRAK ............................................................................................................ x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi

  BAB I PENDAHULUAN B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5 D. Kegunaan Penelitian.................................................................................. 5 E. Penegasan Istilah ....................................................................................... 6 F. Telaah Pustaka .......................................................................................... 7 G. Metode Penelitian...................................................................................... 8

  1. Jenis Penelitian dan Pendekatan.......................................................... 8

  2. Sumber Data ........................................................................................ 9

  3. Metode Anlisis Data ............................................................................ 10

  4. Tahap-Tahap Penelitian ...................................................................... 11

  H. Sisematika Penulisan ................................................................................. 11

  BAB II HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM POSITIF A. Pengertian Hak .......................................................................................... 12

  1. Hak Suami isteri menurut Hukum Islam ............................................. 12

  2. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Hukum Positif ..................... 21

  BAB III HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN FI BAYAN HUQUQ AZ-ZAUJAIN A. Biografi Singkat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani ........................ 34 1) Latar Belakang Kehidupan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani . 34 2) Pendidikan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani .......................... 36 3) Karya Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani................................... 38

  1. Hak Isteri atas suami ........................................................................... 43

  2. Hak Suami atas Isteri .......................................................................... 52

  BAB IV RELEVANSI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN TERHADAP HUKUM POSITIF

  1. Hak Isteri Atas suami ................................................................................ 63

  2. Hak Suami Atas Isteri ............................................................................... 70

  3. Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Kitab Uqudullijain Terhadap Hukum Positif ........................................................................... 74

  BAB V PENUTUP

  1. Kesimpulan ............................................................................................... 76

  2. Saran .......................................................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Islam membimbing manusia unuk meraih kebahagiaan, ketentraman jiwa

  dan kedamaian. Dalam Al-Qur’an dan Hadits selain mengajarkan tentang hablunminallah juga mengajarkan hablunminannas. Etika pergaulan antara manusia dengan manusia lain.

  Manusia di syariatkan untuk menikah apabila telah mampu melakukannya baik secara lahir maupun batin. Perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  Dalam rumah tangga, setiap pasangan suami isteri perlu menyadari bahawa masing-masing mempunyai hak tersendiri. Dalam Islam setiap suami wajib melayani isterinya dengan baik dan setiap isteri juga wajib taat dan melayani suami dengan sebaiknya. Islam adalah agama yang sempurna, setiap hukum dan peraturan yang terdapat bukan hanya memihak kepada lelaki, tetapi juga kepada isteri dan kesemua pihak. Islam telah menetapkan para suami bertanggungjawab dalam memimpin rumah tangganya dan memenuhi hak-hak isterinya dan memerintahkan supaya mereka berlaku baik terhadap isteri mereka sesuai dengan apa yang diajar oleh Rasulullah s.a.w

  Islam mengajarkan agar keluarga dan rumah tangga menjadi institusi yang aman, bahagia dan kukuh bagi setiap ahli keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan atau unit masyarakat yang terkecil yang berperan sebagai satu lembaga yang menentukan corak dan bentuk masyarakat. Institusi keluarga harus dimanfaatkan untuk membincangkan semua hal, ada yang menggembirakan maupun kesulitan yang dihadapi disamping menjadi tempat menjalin nilai-nilai kekeluargaan dan kemanusiaan. Kasih sayang, rasa aman dan bahagia serta perhatian yang dirasakan oleh seorang ahli khususnya anak-anak dalam keluarga akan memberi kepadanya keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri untuk menghadapi berbagai persoalan hidupnya.

  Keinginan membangun sebuah keluarga yang bahagia dengan tetap bersendikan agama merupakan dambaan setiap manusia, sehingga dalam Alqur’an pun Allah SWT mengajarkan kepada hambanya yang tercantum dalam

  

“Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan

kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam dari orang-

orang yang bertaqwa ...” .

  Selain itu, melalui perkawinan, dapat diatur hubungan laki-laki dan wanita (yang secara fitrahnya saling tertarik) dengan aturan yang khusus. Dari hasil pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah satu tujuan dari perkawinan tersebut. Dan dari perkawinan itu pulalah terbentuk keluarga yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan.

  Dalam mengarungi samudera kehidupan rumah tangga tidaklah semudah apa yang kita bayangkan, tidak jarang sebuah rumah tangga terhempas gelombang badai yang akhirnya berdampak bagi keharmonisan keluarga. Tidak sedikit keluarga yang akhirnya tercerai berai tak tentu arah akibat hempasan gelombang badai, namun tidak sedikit juga keluarga yang tetap kokoh melayari samudera kehidupan rumah tangga karena mampu menjaga keharmonisan keluarga.

  Keharmonisan keluarga merupakan dambaan setiap orang yang ingin membentuk keluarga atau yang telah memiliki keluarga, namun masih banyak yang kesulitan dalam membangun keharmonisan keluarga. Kitab Uqudulijain karya Syeikh Muhammad Bin Umar An-Nawawi, yang berjudul asli Syarhu

  

Uqudullijain fi Bayani Huquqi Az-Zaujaini , merupakan salah satu kitab pegangan

  seorang suami maupun istri seharusnya menjalankan hak dan kewajibannya satu sama lain. Kehadiran kitab ini tentu saja diharapakan mampu membekali pasangan suami istri dalam menjalankan roda rumah tangga.

  Sedangkan di Indonesia sendiri peraturan mengenai Perkawinan di atur dalam Undang-undang No 1 tahun 74. Dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengeluarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional sehingga perlu dikeluarkanya Undang-undang tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga Republik Indonesia. Undang-undang perkawinan terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal. Dalam Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban suami isteri dalam bab V pasal 30 sampai dengan pasal 34. (Subekti, 1984: 547-548)

  Selain itu diatur pula dalam KHI, KHI adalah suatu himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang di susun secara sistematis selengkap mungkin dengan berpedoman pada rumusan kalimat-kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan. (Eman, 47)

  Salah satu sebab kemunculan KHI adalah, karena hukum materiil dari peradilan Agama masih variatif dalam berbagai kitab fiqih sebagai pedoman dalam mengambil keputusan oleh para hakim. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan bagi orang yang kalah dalam berperkara seraya menanyakan pendapat yang dipakai dengan menunjukkan kitab lain sebagai KHI agar orang dalam berperkara memiliki hukum positif dan kongkrit, karena pada hakekatnya peradilan Agama itu sendiri telah lahir dari lebih dari se-abad lamanya. (Djamil, 1983: 9-10)

  Berangkat dari sinilah penulis merasa tertarik untuk meneliti sejauh mana kitab Uqudullijain mendeskripsikan apa dan bagaimana seharusnya hak dan kewajiban suami istri dijalankan, sejauh mana kitab tersebut dan menjadi referensi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalah kerumah tanggaan.

  Penulis juga melakukan perbandingan dengan Undang-undang yang ada di

  Indonesia untuk itu penulis melakukan penelitian dengan judul “Hak Suami Isteri (Studi Komparasi Hukum Positif dan Pemikiran Syekh Muhammad Nawawi Al- Bantani dalam kitab Uqudullijain fi Bayan Huquq Az-Zaujain)” B.

RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pokok masalah yang akan dikaji dalam penyusunan skripsi ini yaitu:

  1. Bagaimana Komparasi Hak dan Kewajiban Suami isteri dalam kitab

  Uqudullijain dan Hukum Positif? 2. Bagaimana Relevansi Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Syekh

  Nawawi dalam kitab Uqudullijain terhadap Hukum Positif? C.

TUJUAN PENELITIAN

  1. Menjelaskan Hak dan Kewajiban Suami isteri dalam kitab Uqudullijain dan Hukum Positif.

  2. Menjelaskan Relevansi Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Syekh Nawawi dalam kitab Uqudullijain terhadap Hukum Positif

  D. MANFAAT PENELITIAN

  Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wacana mengenai kriteria perempuan yang baik dalam pernikahan serta memperkaya bahan pustaka bagi

  Institut Agama Islam Negeri Salatiga

  2. Secara Praktis Sebagai tambahan pengetahuan untuk umat islam mengenai kriteria pemilihan isteri menurut pendapat kitab Uquddulijain fi Bayan Huquq Al

  Zaujain Karya Syaikh Muhammad Bin Umar Nawawi Al Bantani. Hal ini

  diharapkan dapat membantu para mahasiawa dan masyarakat muslim dalam memahami hak-hak dan kewajiban yang ditimbulkan setelah diadakannya

  E. PENEGASAN ISTILAH

  1. Hak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hak berarti sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu,derajat atau martabat.

  2. Kewajiban

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kewajiban berarti sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu yang harus dilaksanakan).

  3. Kitab Uqudullijain fi Bayan Huquq Az Zaujain Menurut Wikipedia ‘Uqud al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain merupakan salah satu kitab karya Syarh Muhammad Bin Umar Nawawi Al

  Jawi yang terkenal. Kitab ini berisi tentang etika berumah tangga yaitu hak dan tanggung jawab suami isteri.

F. TELAAH PUSTAKA Sebelumnya, penelitian semisal juga pernah diadakan oleh beberapa peneliti.

  Diantaranya, skripsi “Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Nilai Keadilan Gender Terhadap Kewajiban Mendidik Anak)” oleh Yeni Fauziyah (2005) yang mengupas pembahasan hak dan kewajiban suami istri suami dan istri dalam mendidik anak. Dalam penelitian tersebut, isi lebih dititikberatkan pada kesetaraan gender serta pembagian peran dalam mendidik anak.

  Skripsi kedua yaitu “Seks dalam Islam (Studi Analisis Pemikiran Imam Nawawi al-Bantani dalam Kitab Uqudullijain Perspektif Nilai Gender)” oleh Lukman Fahmi (2004) yang mengupas tentang seks dalam perspektif Islam, seks dalam perspektif Imam Nawawi, dan tinjauan nilai adil gender terhadap seks dalam perspekti Imam Nawawi. Skripsi lebih difokuskan pada permasalah seks

  Skripsi lain “Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Kitab Uqudullijain Karya Syeikh Muhammad bin Umar an- Nawawi al-Bantany dan Aplikasinya Di Dukuh Krasak, Ledok, Argomulyo, Salatiga” merupakan penelitian lapangan (field research) dan menitikberatkan pada realita kerumahtanggan apa sajakah yang ditemukan di masyarakat dan sejauh mana relevansi penerapan kitab

  Uqudullijain dalam fenomena masyarakat tersebut. Sebagai tambahan, buku

  semisal Uqudullijain yang berkaitan dengan membina kehidupan Rumah tangga juga ditulis oleh M. Nipan Abdul Halim berjudul “Membahagiakan Istri Sejak

  Malam Pertama ” (2005).

  Sedangkan skripsi penulis yang berjudul “Hak Suami Isteri (studi komparasi Undang-undang dan Pemikiran Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam

  kitab Uqudullijain fi Bayan Huquq Az-Zaujain ) lebih membandingkan pendapat dari ulama tersebut dengan Undang-undang yang ada di Indonesia.

G. METODOLOGI PENELITIAN

  1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian hasil kajian pustaka (library research) terhadap Kitab Uqudullijain fi bayan Huquq Az

  Zaujain Karya Syekh Muhammad Bin Umar Nawawi Al Bantani. Oleh karena

  itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan tertulis yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian.

  2. Sumber Data

  a. Data Primer Sumber data primer yaitu sumber data yang berkaitan langsung dengan objek riset. (Dhahara, 1980: 60) Adapun sumber data primer ini adalah kitab Uqudullijain karya Syaikh Muhammad Nawawi.

  b. Data Sekunder Dalam penelitian ini penulis tidak dapat terlepas dari sumber dan karya penulis lain, meskipun yang diteliti hanya karya seorang tokoh saja.

  Kitab dan karya orang lain ini berupa kitab-kitab fiqih, hadits, tafsir, karya para ulama, serta literatur lainnya yang membahas tentang kesehatan reproduksi.

  3. Metode Anaisis Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode untuk tersebut diantaranya: a. Content analisis Content analisis adaah studi analisis ilmiah tentang isi pesan.

  (Noeng Muhajir, 1993:49). Penulis melakukan analisis terhadap pendapat kitab Uqudullujain fi Bayan Huquq Az-Zaujain tentang Hak-hak suami isteri dalam perkawinan serta di kaitkan dengan Undang-undang di Indonesia.

H. TAHAP-TAHAP PENELITIAN

  Ada beberapa langkah penelitian: 1. Mementukan tema penelitian.

  2. Mencari sumber data kitab.

  3. Mencari referensi buku yang berkaitan dengan penelitian.

  4. Mengumpulkan data.

  5. Melakukan analisis menggunakan referensi yang diperoleh.

I. SISTEMATIKA PENULISAN

  Sistematika pembahasan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yang berisi hal-hal pokok yang dapat dijadikan pijakan dalam memahami isi penelitian ini.

  Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM POSITIF Bagian ini berisi tentang teori-teori yang mendukung permasalahan berupa penjelasan tentang Pengertian Hak-hak secara umum, Hak suami isteri. BAB III HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN

  Bagian ini berisi pendapat Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam kitab Uqudullujain Fi bayang Huquq Az-Zaujain yang terdiri dari: biografi singkat Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Pendapat Kitab Uqudulujain terhadap hak-hak suami isteri dalam perkawinan.

  BAB IV RELEFANSI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM KITAB UQUDULLIJAIN TERHADAP HUKUM POSITIF Dalam bab ini akan di bahas mengenai perbandingan pendapat kitab

Uquduujain terhadap hak dan kewajiban dalam perkawinan dan hukum positif,

dan relevansinya dalam masa kini

  BAB V PENUTUP Bagian ini merupakan bagian terakhir yang terdiri dari kesimpulan, saran- saran serta penutup.

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM POSITIF A. Pengertian Hak Secara etimologis hak berarti milik: ketetapan dan kepastian, seperti yang

  terdapat pada surah yassin (36) ayat 7 yang artinya: “Sesungguhnya telah berlaku

  perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman”. (Dahlan, 1997: 486)

  Ada pula pengertian hak yang dikemukakan oleh beberapa ulama’ fiqih. Menurut sebagian ulama’ muta’akhirin hak yaitu, suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara’. Lalu Syekh Ali Al-Khafifi (ahli fiqih asal mesir) juga mengartikan bahwa hak adalah sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara syara’. (Dahlan, 1997: 486)

  Jadi pengertian hak adalah kewenangan yang di miliki oleh semua orang, dan orang itu dapat berbuat apa saja asal tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku, ketertiban umum dan keputusan. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

  1. Hak Suami Isteri menurut Hukum Islam Perkawinan merupakan suatu cara yang disyari’atkan Allah SWT sebagai jalan bagi Manusia untuk berkembangbiak dan untuk kelestarian hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam rangka merealisir tujuan perkawinan. (Sayyid, 1994: 486) Jika akad nikah telah sah maka akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak dalam kapasitasnya sebagai suami-isteri.

  Adapun hak suami isteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  a. Hak isteri atas suami 1) Mahar

  Mahar merupakan pemberian yang dilakukan seorang calon suami kepada calon isterinya dalam bentuk apapun baik berupa uang maupun barang (harta benda). (Sulaiman, 365)

  Allah berfirman:

  ًﺊﻳِﺮَﻣ ﺎًﺌﻴِﻨَﻫ ُﻩﻮُﻠُﻜَﻓ ﺎًﺴْﻔَـﻧ ُﻪْﻨِﻣ ٍءْﻲَﺷ ْﻦَﻋ ْﻢُﻜَﻟ َْﱭِﻃ نِﺈَﻓًﺔَﻠِْﳓ ّﻦِِﺗﻬﺎَﻗُﺪَﺻَءﺎَﺴﱢﻨﻟا اﻮُﺗاَءَو

  Artinya:”Berikanlah mas kawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”.(Q.S An Nisa’:4) Kuantitas mahar tidak ditentukan oleh syari’at Islam, hanya menurut kemampuan suami yang disertai kerelaan dari sang isteri. (Sulaiman: 107)

  Hal ini disebabkan adanya perbedaan status sosial ekonomi masyarakat, ada yang kaya ada yang miskin, lapang dan sempitnya rezeki, itulah sebabnya Islam menyerahkan masalah kuantitas mahar itu sesuai dengan status social ekonomi masyarakat berdasarkan kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya.

  2) Nafkah Para ulama’ sependapat bahwa diantara hak isteri terhadap suami adalah nafkah. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:

  ِﻛ ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﱠﻦُﻬُـﺗَﻮْﺴ َو ﱠﻦُﻬُـﻗْزِر ُﻪَﻟ ِدﻮُﻟْﻮَﻤ ْﻟا ﻰَﻠَﻋَو

  Artinya:”Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. (Q.S. Al–Baqoroh: 233) Menurut Sayyid Sabiq, bahwa yang dimaksud dengan nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan tempat tinggal (dan kalau ia seorang yang kaya maka pembantu rumah tangga dan pengobatan istri juga masuk nafkah). (Sayyid, 1994: 115) Hal ini dikarenakan seorang perempuan yang menjadi isteri bagi seorang suami mempergunakan segala waktunya untuk kepentingan suaminya dan kepentingan rumah tangganya.

  Nafkah rumah tangga merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang sejahtera, sehingga kebutuhan pokok manusia terpenuhi. Adapun kuantitas nafkah yang diberikan suami kepada isterinya adalah sesuai kemampuan suami. Allah S.W.T berfirman:

  ُﻛ ْﻢ ِﺪْﺟُو ْﻦِﻣ ْﻢُﺘْﻨَﻜَﺳ ُﺚْﻴَﺣ ْﻦِﻣ ّﻦُﻫﻮُﻨِﻜْﺳَأ

  Artinya:”Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu”. (Q.S.At-Thalaq: 6) Nafkah diberikan suami kepada isteri dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah, yang masih berlangsung dan isteri tidak nusyuz (durhaka). Atau karena hal-hal lain yang menghalangi istri menerima belanja (nafkah). 3) Memperlakukan dan menjaga isteri dengan baik

  Suami wajib menghormati, bergaul dan memperlakukan isterinya dengan baik dan juga bersabar dalam menghadapinya. (Sayyid, 1994; 126)Bergaul dengan baik berarti menjadikan suasana pergaulan selalu indah dan selalu diwarnai dengan kegembiraan yang timbul dari hati kehati sehingga keseimbangan rumah tangga tetap terjaga dan terkendali. (Abdul, 1990: 65) Allah S.W.T. telah berfirman:

  َﻛ َْﳚَو ﺎًﺌْﻴَﺷ اﻮُﻫَﺮْﻜَﺗ ْنَا ﻰَﺴَﻌَـﻓ ﱠﻦُﻫﻮُﻤُﺘْﻫِﺮ ْنِﺈَﻓ ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﱠﻦُﻫوُﺮِﺷﺎَﻋَو ِﻪﻴِﻓ ُﻪﻠﱠﻟا َﻞَﻌ

  اًﲑِﺜَﻛ اًﺮْـﻴَﺧ

  Artinya: ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-Nisa’:19)

  Bergaul dengan cara yang baik berarti memperlakukan dan menghormati dengan cara yang wajar, memperhatikan kebutuhan isterinya, menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan iseteri dan tidak boleh berlaku kasar terhadap isterinya. Hal ini telah diajarkan oleh nabi Muhammad sebagai berikut:

  َﻪْﺟَﻮﻟا ُبﺮْﻀَﻳ َﻻَو َﻲِﺴُﺘْﻛااَذِاﺎَﻫْﻮُﺴْﻜَﻳَو َﻢَﻌَﻃاَذِاﺎَﻬَﻤِﻌْﻄُﻳ ْنَا ِجْو ﱠﺰﻟا ﻲَﻠَﻋِةَءْﺮَﳌا ﱡﻖَﺣ ِﺖْﻴَـﺒﻟا ِﰲ ﱠﻻِا ُﺮُﺠْﻬَـﻳ َﻻَو ُﺢﱢﺒَﻘُـﻳ َﻻَو

  ”Hak isteri kepada suami adalah memberi makan kepada isterinya apabila ia makan, memberi pakaian kepadanya jika dia berpakaian, tidak memukul pada muka dan tidak berbuat jelek serta tidak memisahkan diri kecuali dari tempat tidur”.

  Seorang suami tidak boleh memarahi isteri sekalipun sang isteri memiliki kekurangan-kekurangan, namun suami tidak boleh mengungkit ungkit apa yang menjadi kelemahan isterinya karena dibalik kekurangankekurangan yang ada pada isterinya terdapat kelebihan-kelebihan yang dipunyai oleh isterinya. Di samping itu totalitas waktu isterinya tercurahkan oleh ketaatanya kepada suami.

  b. Hak suami atas isteri Adapun diantara hak suami atas isteri adalah sebagai berikut:

  1) Suami ditaati oleh isteri Isteri wajib mentaati suami selama dalam hal-hal yang tidak maksiyat.

  Istri menjaga dirinya sendiri dan juga harta suaminya, menjauhi diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suaminya, tidak cemberut dihadapan dan tidak menunjukkan keadaan tidak disenangi oleh suaminya. (Sayyid, 1994: 134)Isteri hendaknya taat kepada suaminya dalam melaksanakan urusan rumah tangganya selama suami menjalankan ketentuan- ketentuan berumah tangga. (Huzaemah, 1990:80-81)Hal ini berdasarkan firman Allah SWT sebagai berikut:

  ُﻪّﻠﻟا َﻆِﻔَﺣ ﺎَِﲟ ِﺐْﻴَﻐْﻠِﻟ ٌتﺎَﻈِﻓﺎَﺣ ٌتﺎَﺘِﻧﺎَﻗ ُتﺎَِﳊﺎﱠﺼﻟﺎَﻓ

  ”…Sebab itu maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara”.(Q.S.An- Nisa’: 34) Yang dimaksud taat dalam ayat ini ialah patuh kepada Allah SWT dan kepada suaminya. Perkataan “taat” bisanya hanya digunakan oleh Allah.

  Tetapi dalam ayat ini digunakan untuk suami juga, hal ini menggambarkan bagaimana sikap isteri yang baik terhadap suaminya. Allah menerangkan isteri harus berlaku demikian karena suami itu telah memelihra isterinya dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan suami isteri. (Depag, 163-164)

  Yang dimaksud menjaga dirinya di belakang suaminya adalah menjaga dirinya diwaktu suaminya tidak ada, tanpa berbuat khianat kepadanya baik mengenai diri atau harta bendanya. (Sayyid, 1994: 134) Seorang isteri harus mentaati serta berbakti dan mengikuti segala yang diminta dan dikehendaki suaminya asalkan tidak merupakan suatu hal yang berupa kemaksiatan.

  Isteri tidak memasukkan orang yang dibenci oleh suaminya kedalam rumahnya kecuali dengan izin suaminya, isteri wajib memelihara diri di balik pembelakangan suaminya, terutama apabila suami bepergian, jangan sekali- kali isteri melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kecurgaan suami, sehingga suami tidak merasa tenteram pikiranya dalam bepergian.

  c. Hak bersama suami isteri Diantara hak bersama suami dengan isteri adalah antara lain sebagai berikut:

  1) Halalnya pergaulan Suami-isteri sama-sama mempunyai hak untuk menggauli sebagai pasangan suami-isteri dan memperoleh kesempatan saling menikmati atas dasar saling memerlukan Hal ini tidak dapat dilakukan secara sepihak saja. (Huzaimah: 81)

  Allah Swt telah berfirman:

  َا ﱠﻦَُﳍ ﱠﻦُﻫ ٌسﺎَﺒِﻟ ٌسﺎَﺒِﻟ ْﻢُﺘْـﻧ َو ْﻢُﻜًّﻟ

  ”Mereka (para isteri) adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka”. (Q.S. Al- Baqarah: 187)

  2) Hak saling memperoleh harta waris Sebagai salah satu dampak dari perkawinan yang sah bila salah seorang meninggal dunia, suami sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dan mencukupi nafkah serta keperluan hidup isterinya maka bila Istrinya mati dengan meninggalkan harta pusaka, sang suami berhak mendapatkan harta warisan. Demikian pula isteri sebagai kawan hidup yang sama-sama merasakan suka-duka hidup berumah tangga dan berkorban membantu suaminya, maka adillah kiranya bila isteri diberi bagian yang pasti dari harta peninggalan suaminya. (Sayyid, 1994: 48)

  3) Hak timbal balik Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu kriteria ideal untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah adalah suami sebagai pemimpin bagi keluarganya memimpin istrinya untuk mendidik dan memperlakukan isterinya secara proporsional sebagai perintah syari’at bahwa Allah S.W.T. telah menyebut laki-laki merupakan sosok pemimpin bagi perempuan, hal ini tersebut dalam firmanNya:

  اﻮُﻘَﻔْـﻧَأ ﺎَِﲟَو ٍﺾْﻌَـﺑ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻬَﻀْﻌَـﺑ ُﻪﱠﻠﻟا َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَِﲟ ِءﺎَﺴﱢﻨﻟا ﻰَﻠَﻋ َنﻮُﻣاﱠﻮَـﻗ ُلﺎَﺟﱢﺮﻟا

  ”Laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

  Sebagai pemimpin bagi isteri dan keluarganya maka suami wajib memberikan bimbingan dan pendidikan kepada isterinya dan keluarganya agar tidak terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan dan kehinaan. (Abdul: 62) Hal ini telah jelas diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:

  ا ًرﺎَﻧ ْﻢُﻜْﻴِﻠْﻫَاَو ْﻢُﻜَﺴُﻔْـﻧَااْﻮُـﻗاْﻮُـﻨَﻣَا َﻦْﻳِﺬﱠﻟاﺎَﻬﱡـﻳَﺎَﻳ

  ”Wahai Orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Sedangkan isteri sebagai seorang yang dipimpin oleh suaminya hendaklah taat dan patuh terhadap perintah suaminya (selama perintah suaminya tidak dalam hal kemaksiyatan), isteri hendaknya mengerjakan perintah suami dengan sabar dan tenang.(Abdul, 72)

  Demikian timbal-balik antara suami-isteri dalam memperoleh haknya masing-masing secara proporsional yang tidak merugikan kedua belah pihak. Inilah kriteria ideal sebagai simbiosis mutualisme (hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan) dalam rumah tangga.

  2. Hak dan Kewajiban Suami-Istri Menurut Hukum Positif

  a. Menurut Undang-Undang Perkawinan Negara Indonesia merupakan negara yang mendasarkan segala kegiatan kehidupan pada peraturan perundang-undangan hukum yang berlaku dengan ancaman akan dikenakan suatu sanksi atau tindakan apabila melanggarnya. (Badri, 1985: 11) Salah satu produk Nasional adalah pada tanggal 7 januari tahun1974, disahkannya Undang-undang perkawinan, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat dalam lembaran negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, tambahan lembaran negara republik Indonesia Nomor 3019 Tahun 1974. Undang-undang perkawinan tersebut pada penerapanya dirasakan sudah mantap sekalipun masih di perlukan upaya lain untuk mempertahankan eksistensinya dalam pengakuan hukum perkawinan. (Badri, 1985: 208)

  Adapun dasar hukum di keluarkanya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diantaranya adalah Undang-undang dasar 1945 pasal 5 ayat 1(satu), pasal 20 ayat 1(satu) pasl 27 ayat 1(satu) dan pasal 29. Selain itu sebagai dasar hukum di keluarkanya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah ketetapan MPR nomor: IV/MPR/1978 tentang garis-garis besar halauan negara (GBHN) yang berisi landasan, modal dasar agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pembinaan keluarga sejahtera dan hukum. (Kansil, 1982: 207)

  Sedangkan dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengeluarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional sehingga perlu dikeluarkanya Undang-undang tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga Republik Indonesia. Undang-undang perkawinan terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal. Dalam Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban suami isteri dalam bab V pasal 30 sampai dengan pasal 34. (Subekti, 1984: 547-548)

  Undang-undang perkawinan tahun 30 menyatakan: ”Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

  Undang-undang perkawinan pasal 31 mengatur tentang kedudukan suami-isteri yang menyatakan: (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

  (3) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga.

  Inilah yang membedakan antara hukum perkawinan dengan Undang- undang hukum perdata. Di dalam Undang-undang perkawian menyatakan secara tegas bahwa kedudukan suami isteri itu seimbang, dalam melakukan perbuatan hukum. Sedangkan dalam hukum perdata apabila izin suami tidak diperoleh karena ketidak hadiran suami atau sebab-sebab lainya, pengadilan dapat memberikan izin kepada isteri untuk menghadap hakim dalam melakukan perbuatan hokum. (Lili, 1991: 185-186)

  Undang-undang perkawinan mengatakan dengan tegas bahwa suami adalah kepala rumah tangga, berbeda dengan hukum adat dan hukum Islam.

  Menurut R. Wirdjona Prodjodikoro yang dikutip oleh Lili Rasjidi, menyatakan bahwa dalam hukum adat dan hukum Islam tidak menyatakan secara tegas.

  Kemudian pasal 32 Undang-undang perkawinan menerangkan: (1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat.

  (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.Tempat kediaman dalam ayat (1) dalam artian tempat tinggal atau rumah, yang bisa di tempati pasangan suami-isteri dan juga anak-anak mereka.

  Pasal 30 Undang-undang perkawinan merupakan prolog bagi pasal 32, Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa: Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Oleh karena itu, mereka (suami-isteri) harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan bersama, di samping mereka (suami-isteri) harus saling mencintai, hormat-menghormati dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami sebagai kepala rumah tangga melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan sang suami. Demikian pula isteri dia wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Kemudian apabila salah satu dari keduanya melalaikan kewajibannya, mereka dapat menuntut ke pengadilan di wilayah mereka berdomisili. (Lili, 1991: 127) Hal ini sesuai dengan pasal 33 dan pasal 34 Undang-undang Perkawinan.

  Pada pasal 33 Undang-undang perkawinan menerangkan bahwa suami- istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

  Sedangkan pasal 34 Undang-undang perkawinan menegaskan: (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.

  (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (3) Jika suami atau istrei melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

  Kewajiban suami dalam pasal 34 ayat (1) menegaskan suami wajib melindungi isteri dan keluarganya, yaitu memberikan rasa aman dan nyaman, dan isteri wajib mengurus urusan rumah tangga sebaik mungkin. Jika keduanya malakukan sesuatu yang akibatnya melalaikan kewajibanya maka baik isteri atau suaminya maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

  b. Menurut Kompilasi Hukum Islam Menurut HM.Tahir Azhari sebagai mana dikutip oleh Eman Sulaeman dalam hasil penelitianya “hukum kewarisan dalam KHI di Indonesia-studi tentang sumber-sumber hukum” bahwa yang dimaksud dengan KHI adalah suatu himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang di susun secara sistematis selengkap mungkin dengan berpedoman pada rumusan kalimat-kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan.

  (Eman, 47) Salah satu sebab kemunculan KHI adalah, karena hukum materiil dari peradilan Agama masih variatif dalam berbagai kitab fiqih sebagai pedoman dalam mengambil keputusan oleh para hakim. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan bagi orang yang kalah dalam berperkara seraya menanyakan pendapat yang dipakai dengan menunjukkan kitab lain sebagai penyelesaian perkara untuk memenangkan perkaranya. Inilah sebab kemunculan KHI agar orang dalam berperkara memiliki hukum positif dan kongkrit, karena pada hakekatnya peradilan Agama itu sendiri telah lahir dari lebih dari se-abad lamanya. (Djamil, 1983: 9-10) Kemunculan Kompilasi Hukum Islam mengatur hak dan kewajiban suami-isteri dalam bab VII pasal 77 sampai dengan pasal 84. Pasal 77

  Kompilasi Hukum Islam menyatakan: (1) Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. (2) Suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain.

  (3) Suami-isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak- anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya. (4) Suami-istri wajib memelihara kehormatanya (5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibanya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agama.

  Adapun pasal 78 KHI menjelaskan: (1) Suami-istri harus mempunyai kediaman yang sah.

  (2) Rumah kediaman yang dimaksud oleh ayat (1) ditentukan oleh suami isteri bersama.

  Dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang kedudukan Suami-isteri terdapat dalam pasal 79, yaitu: (1) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.

  (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.

  (3) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

  Pasal 80 KHI menjelaskan tentang kewajiban suami terhadap isteri dan keluarganya, yaitu: (1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah- tangga yang penting di putuskan oleh suami- isteri bersama. (2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.

  (3) Suami wajib memberikan pendidikan dan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

  (4) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung: a) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

  b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. c) Biaya pendidikan anak. (5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut dalam ayat (4) huruf a dan b diatas berlaku sesudah ada tamkin dari istrinya.

  (6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

  KHI Pasal 81 terdiri atas empat ayat yang menjelaskan tentang tempat kediaman yang menyatakan: (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam masa iddah (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

  (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.

  (4) Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah-tangga.

  (5) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

  Dalam pasal 82 KHI menerangkan tentang kewajiban suami yang beristeri lebih dari seorang, yaitu: (1) Suami yang mempunya isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

  (2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

  Pasal 83 dan pasal 84 KHI menjelaskan tentang kewajiban isteri terhadap suaminya, yaitu: (1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam (2) Isteri menyelanggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga seharihari dengan sebaik-baiknya.

  Pasal 84 (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika Ia tidak mau melaksanakan kewajiban- kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.

  (2) Selama isteri dalam keadaan nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.

  (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

  Agar tidak dianggap nusyuz maka isteri harus melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga yaitu, berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas- batas yang di benarkan oleh hokum Islam. Di samping itu isteri berkewajiban pula menyelenggarakan pula dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

  B.

  Terwujudnya Keluarga Sakinah dalam Pemenuhan Hak dan Kewajiban Suami- Isteri

  Tujuan utama kehidupan rumah tangga ialah mencapai ketenangan, kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan hidup lahir batin di atas jalinan kasih sayang antara suami-isteri. Keluarga sakinah adalah sebuah keadaan rumah tangga yang para anggotanya memperoleh ketenangan dan kebahagiaan lahir batin, mengantar kemungkinan berkembangnya cinta dan sayang dalam keluarga. Sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam surat Ar-ruum: 21

  ِﺴُﻔْـﻧَأ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ َﻖَﻠَﺧ ْنَأ ِﻪِﺗﺎَﻳاَء ْﻦِﻣَو َﺔَْﲪَرَوًةﱠدَﻮَﻣ ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ َﻞَﻌَﺟَو ﺎَﻬْـﻴَﻟِإ اﻮُﻨُﻜْﺴَﺘِﻟ ﺎًﺟاَوْزَﺄْﻤُﻜ َنوُﺮﱠﻜَﻔَـﺘَـﻳ ٍمْﻮَﻘِﻟ ٍتﺎَﻳ َﻵ َﻚِﻟَذ ِﰲ ﱠنِإ

  Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-ruum : 21)

  Dalam pembentukan keluarga yang sakinah didasarkan pada dua unsur pokok, yaitu moril dan materiil. Unsur moril menggambarkan sikap pergaulan antara suami-isteri yang meliputi:

  Pertama, Tahabub yakni sikap saling mencintai, mengasihi dan menghargai satu sama lain, bila sikap ini ada maka segala beban yang harus di emban menjadi ringan.

  Kedua, Taawun yakni sikap tolong menolong, isi mengisi dan saling melengkapi. Tidak ada manusia yang sempurna, maka suami-isteri harus menyadari hal ini serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

  Ketiga, Tasyawur yakni apabila suami-isteri akan berbuat sesuatu, mereka hendaknya saling terbuka dan musyawarah dengan akal sehat untuk mencari kata mufakat dan bukan memaksa kehendak sendiri. Hasil kesepakatan itulah yang seharusnya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan bertawakal kepada Allah.

  Keempat, Taaffi yakni saling memaafkan, di mana suami-isteri asalnya sama-sama orang lain yang berbeda keinginan yang kadangkala satu sama lain sering bertentangan. Agar bahtera rumah tangga berjalan dengan baik, maka suami-isteri hendaknya tidak mengumpulkan perbedaan, akan tetapi memilih persamaan-persamaan. Karena itu suami-isteri harus terjalin sikap saling memaafkan.