RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR PENGEMBANGAN PERMUKIMAN PERDESAAN KOMUNITAS ADAT TERTINGGAL BINTANG ARA

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR PENGEMBANGAN PERMUKIMAN PERDESAAN KOMUNITAS ADAT TERTINGGAL BINTANG ARA

  10.1. GAMBARAN UMUM

  Kawasan Komunitas Adat Tertinggal di Bintang Ara merupakan sebuah kawasan yang merupakan kumpulan darai beberapa Kepala Rumah Tangga yang dahulunya bertempat tinggal secara memisah dari perkampungan penduduk biasanya sehingga sulit terjangkau oleh prasarana dan sarana. KAT pada Bintang Ara tersebut terdapat pada desa Bintang Ara,Desa Bumi makmur, Desa Dampung Raya, Desa Panaan dan Desa Higarmana. Sebagian besar penduduk KAT tersebut bermata pencaharian sebagai petani (berladang di hutan) dan berburu. Sekitar 2 tahun lalu sudah terdapat rencana untuk mengajak Komunitas tersebut untuk bertempat tinggal di tepi jalan dan tidak menyebar ke pelosok pedalaman hutan, untuk dapat segera mendapatkan prasarana dan sarana.

  Secara kuantitas, warga yang tergolong indegeneous peoples sedikit jumlahnya* dan berada jauh dari pusat pelayanan sehingga cenderung tidak efisien program pembangunan menjangkau mereka. Namun dilihat dari aspek equity, indegeneous peoples adalah bagian integral dari warga masyarakat yang secara azasi memilki hak yag sama untuk menikmati pemerataan pembangunan. Penekanan pada aspek equty ini tampaknya sejalan dengan kebijakan Pemerintahan Kabuoaten Tabalong denagna slogan “membangun desa-menata kota” yang dilontarkan Wakil Bupati Tabalong ketika menerima kami sebelum melaksanakan PCLP-KAT di Desa Bumi Makmur dan Dambung Raya. Bagi kami, slogan penuh makna tersebut tentunya manjadi pementik bagi Pemerintahan Kabupaten Tabalong untuk terus berusaha memacu pembangunan daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk indegeneous peoples yang memiliki criteria Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan mungkin nyaris belum tersentuh program pembangunan. Menyadari permasalahan yang dihadapi warga Komunitas Adat Terpencil bersifat multi dimensional, sehingga dibutuhkan keterlibatan ulti sector dan multi level pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Tabalong barsama Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan .

  • *

    Di Kabupaten Tabalong belum ada data akurat warga indegeneous peoples yang memenuhi kritera KAT Departemen

    Sosial.

  

X-1

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  Dinas Sosial Propinsi Kalimantan Selatan melakukan pengkajian calon lokasi pemukiman Komunitas Adat Terpencil di Desa Bumi Makmur, khususnya di Dusun Undul dan Desa Dambung Raya Kecamatan Bintang Ara. Sehingga pada penyusunan RPIJM Bidang Cipta Karya 2010-2014 ini akan dibahas pada kawasan KAT yang berada di desa Bumi Makmur, khusunya di Dusun Undul dan Desa Dambung Raya

10.1.1. Kondisi Fisik dan Sosial Budaya

  Dalam Profil Desa Bumi Makmur (2009) ditemukan data bahwa jumlah penduduk desa tersebut sebanyak 506 jiwa (200 KK). Angka ini jauh di atas jumlah penduduk tahun 2008 (Kecamatan Batang Ara Dalam Angka) yang mencantumkan penduduk Desa Bumi Makmur hanya 420 jiwa (128 KK). Kenaikan jumlah penduduk desa yang berlatar sebagai lokasi transmigran ini sebanyak 86 orang (20,40%) selama 1 tahun erat kaitannya dengan masuknya kelompok masyarakat Dusun Undul menjadi warga Desa Bumi Makmur, setelah seumur hidup tidak memiliki desa induk. Hal ini dibuktikan oleh hasil wawancara yang menemukan data bahwa secara politik, warga Dusun Undul baru terdaftar sebagai pemilih sejak Pileg dan Pilkada tahun 2008 lalu.

  Lokasi Dusun Undul dapat dijangkau dari pusat Desa Bimi Makmur menggunakan kendaraan roda 4 sampai pertigaan Guntung Ulu sejauh + 4 km, dengan kondisi jalan tanah. Selanjutnya dari Guntung Ulu menuju Dusun Undul + 9 km masih merupakan jalan setapak, sehingga sebelum dilaksanakan pengkajian hanya bisa dilalui kendaraan roda 2 dimusim kemarau. Namun menjelang dilakukan pengkajian, warga Dusun Undul bergotong royong membuka jalan sehingga untuk pertama kali warga menyaksikan mobil rombongan tim pengkajian (secara dipaksakan) sampai di dusun mereka. Jalan inilah satu-satunya fasilitas pergerakan warga, baik untuk ekonomi yang sementara ini terbatas pada penjualan hasil produksi (karet).

  Dilihat dari aspek tata ruang wilayah,calon lokasi permukiman Dusun Undul berada pada kawasan Hutan Produksi (HTI Trilondo), namun diakui sebagai milik warga yang memang tinggal disana sejak 50 tahun lalu. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan pada calon lokasi permukiman yang berada pada ketinggian 90-110 m di atas permukaan air laut ini hanya ada 12 buah gubuk dan 1 buah musshalla. Bangunan mushalla pada mulanya adalah balai adat yang berubah fungsi sejak sekitar 9 bulan yang lalu setelah seluruh warga Dusun Undul 45 KK (152 jiwa) memeluk agama Islam. Walaupun sudah beragama, meeka masih tergolong Komunitas Adat Terpencil dengan cirri- ciri antara lain :

  

X-2

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

   Masih mengandalkan hidup dari perldangan berpindah  Ketergantungan terhadap sumberdaya alam sangat tinggi  Homogen karena hanya terdiri atas 1 sub etnis  Wilayah hunian terpencil secara geografis dan sulit dijangkau  Rumah masih berupa gubuk/pondok  Belum tersentuh pelayanan dasar kesehatan  Belum tersentuh pelayanan dasar pendidikan Hasil wawancara mendalam dan focus group discussion berhasil menjaring aspirasi warga yang ingin sekali memiliki tempat tinggal memadai pada 1 lokasi, mendapatkan pelayanan dasar bidang pendidikan dan kesehatan , serta terbuka akses jalan yang menghubungkan Dusun Undul denagn Desa Induk. Untuk kebutuhan lahan permukiman , salah seorang warga bersedia menghibahkan lahan ±3 ha Sedangkan Desa Dambung Raya terletak pada ketinggian rata-rata 120-135 meter di atas permukaan air laut. Menurut informasi dari berbagai kalangan, Desa Dambung Raya dapat dijangkau melalui 2 jalur dari ibukota Kecamatan Bintang Ara , Yakni melewati jalan biasa sekitar 44 km dan jalan perusahaan Kayu Ayi Yayang pada posisi km 73. Menurut tata ruang wilayah , desa Dambung Raya termasuk dalam kawasan hutan produksi (HTI Jenggala) , walaupun warga setempat memndang sebagai milik sendiri karena merasa mendiami wilayah tersebut sejak orang tua mereka. Perbedaan persepsi dimungkin karena dari 9.057 ha luas Desa Dambung Raya, sebanyak 8.520 ha milik Negara (Yang dikuasai HTI jenggala), sisanya milik adat/ulayat 300 ha dan milik masyarakat perorangan sebanyak 237 ha (profil Desa Dambung Raya,2009).

  Menurut data sekunder yang ada, jumlah warga KAT di Desa Dambung Raya sebanyak 84 KK. Namun karena lokasi permukiman mereka tersebar jauh di pegunungan dan terkadang harus menyebrang sungai, kesulitan untuk melakukan wawancara mendalam dan focus group discussion.

  Akibatnya data tentang masalah dan aspirasi warga KAT yang menjadi inti dalam studi etnografi terapan belum tergali secara optimal. Konsikuensinya, draf kebutuhan program pembangunan yang sesuai denagnm aspirasi warga KAT Desa Dambung Raya dan dianalisis mengunakan analisis SWOT belum bisa disusun.

  

X-3

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  

10.2. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN KOMUNITAS ADAT TERTINGGAL

BINTANG ARA

10.2.1. Kondisi Eksisting Desa Dambung Raya terletak pada ketinggian rata-rata 120-135 meter di atas permukaan air laut.

  Menurut informasi dari berbagai kalangan, Desa Dambung Raya dapat dijangkau melalui 2 jalur dari ibukota Kecamatan Bintang Ara , Yakni melewati jalan biasa sekitar 44 km dan jalan perusahaan Kayu Ayi Yayang pada posisi km 73. Menurut tata ruang wilayah , desa Dambung Raya termasuk dalam kawasan hutan produksi (HTI Jenggala) , walaupun warga setempat memndang sebagai milik sendiri karena merasa mendiami wilayah tersebut sejak orang tua mereka. Perbedaan persepsi dimungkin karena dari 9.057 ha luas Desa Dambung Raya, sebanyak 8.520 ha milik Negara (Yang dikuasai HTI jenggala), sisanya milik adat/ulayat 300 ha dan milik masyarakat perorangan sebanyak 237 ha (profil Desa Dambung Raya,2009).

  Menurut data sekunder yang ada, jumlah warga KAT di Desa Dambung Raya sebanyak 84 KK. Namun karena lokasi permukiman mereka tersebar jauh di pegunungan dan terkadang harus menyebrang sungai, kesulitan untuk melakukan wawancara mendalam dan focus group discussion.

  Akibatnya data tentang masalah dan aspirasi warga KAT yang menjadi inti dalam studi etnografi terapan belum tergali secara optimal. Konsikuensinya, draf kebutuhan program pembangunan yang sesuai denagnm aspirasi warga KAT Desa Dambung Raya dan dianalisis mengunakan analisis SWOT belum bisa disusun.

  Kondisi Eksisting Permukiman di Dusun Undul

X-4

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014 X-5

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014 Gambar Perumahan di Relokasi KAT (Pembangunan Belum Selesai) Gambar Balai Pertemuan KAT (Pembangunan Belum Selesai) Gambar Tugu KAT (Pembangunan Belum Selesai)

  X-6

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

A. Pengelolaan kawasan Permukiman Dengan Pembagian Zonasi

  Keterkaitan kehidupan KAT dengan lingkungan alam sebagai mata uang dengan dua sisi, artinya kondisi yang paling diharapkan adalah satu sisi statusnya dipertahankan tetap sebagai kawasan yang tidak akan memberikan perubahan berarti dalam kehidupan dan tetap memberikan penghidupan bagi KAT. Dari sisi lain, KAT tetap mempunyai hak yang sama untuk semakin meningkat kualitas hidup dan kesejahteraannya. Dalam menghadapi perubahan tata ruang yang semakin pesat di sekitar lingkungan KAT berada, maka pengelolaan kawasan yang didiami oleh KAT dapat dilakukan dengan sistem zonasi. Penataan ruang sesuai dengan fungsi zonasi dilakukan dengan melibatkan semua pihak pemangku kepentingan secara kolaboratif dan partisipatif. Opsi ini diarahkan kepada pembagian zonasi yang telah mempertimbangkan existing condition dan faktor- faktor penyebab kerusakan yang terjadi di berbagai zonasi yang ada di wilayah kawasan dan sekitarnya. Opsi ini diprediksi memberi manfaat yang sangat besar bagi kehidupan KAT. Sebaliknya, resikonya diprediksi sangat kecil, karena dengan managemen kolaboratif, konflik- konflik dikurangi bahkan dihilangkan, dan semua pihak dapat keuntungan.

  Upaya pengelolaan kawasan yang didiami KAT dengan sistem zonasi:

  1. Zona inti (sanctuary zones), daerah ini ekivalen dengan cagar alam. Suatu daerah yang diperuntukan untuk melindungi alam dan menjaga proses alami dalam kondisi yang tidak terganggu dengan memperoleh contoh-contoh ekologis yang mewakili lingkungan alami. Daerah tersebut umumnya merupakan sumber utama kehidupan KAT. Pada umumnya KAT menjaga wilayah ini dari kerusakan dan ancaman dari luar. Dalam wilayah ini juga umumnya sebagai daerah yang keramat dan mempunyai nilai-nilai sakral karena kepercayaan mereka terhadap ‘penghuni’ dan kebendaan di dalamnya yang dikeramatkan (hutan terlarang). Gangguan terhadap wilayah ini akan membuat mereka marah dan semakin ‘memusuhi’ komunitas luar. Sebenranya mereka tinggal di kawasan yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk studi ilmiah, pemantauan lingkungan, pendidikan, pemeliharaan sumberdaya plasma nutfah dalam suatu keadaan dinamis dan berevolusi. Dengan demikian, pada zona inti merupakan wilayah konservasi yang sangat ketat. Pada zona inti tersebut hanya pengelola dan peneliti yang diperkenankan masuk wilayah tersebut.

  2. Zona rimba (wilderness zones), daerah ini ekivalen dengan status suaka margasatwa. Daerah konservasi untuk menjamin kondisi alami yang perlu bagi perlindungan spesies, kumpulan spesies, komunitas hayati atau ciri-ciri lingkungan yang penting secara nasional. Pada zona ini merupakan tempat dimana KAT tinggal sehari-hari. Daerah ini mungkin diperlukan campur

  

X-7

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  tangan yang spesifik untuk menjaga kelestariannya. Zona ini secara terbatas dapat dimasuki pengunjung, tetapi tidak diperkenankan adanya bangunan-bangunan permanen, biarkanlah mereka hidup dengan alam dan lingkungan sehari-hari secara nyaman. Memajukan kesejahteraan mereka tidak berarti harus mengganggu kehidupan sehari-hari. Kalangan LSM telah banyak yang tertarik untuk melakukan ‘outreach’ (penjangkauan) ke dalam wilayah ini dengan cara beradaptasi, bersikap dan bertingkah laku seperti KAT itu sendiri. Program pendidikan baca tulis hitung dilakukan sambil hidup bersama mereka, sambil mempelajari kearifan lokal dan memperkenalkan adat istiadat komunitas luar. Kalangan pemerintah umumnya tidak mampu untuk melakukan kegiatan semacam ini. Kerjasama yang harmonis perlu dibangun antara LSM dengan pemerintah (instansi sosial dan sektor lainnya) untuk komplementari program.

  3. Zona pemanfaatan intensif (Intensive zones), daerah ekivalen dengan hutan wisata atau ekowisata. Daerah yang diperuntukkan bagi kepentingan rekreasi, penelitian, dan pendidikan.

  Daerahnya dirancang untuk rekreasi dan para pengunjung yang intensif. Di daerah ini tercakup di dalamnya daerah rekreasi, jalan, tempat parkir, bangunan-bangunan, daerah camping dll. Namun daerah tersebut harus dibuat batas yang jelas. Dalam pengelolaan zona ini, pelaku utama adalah warga KAT yang sudah beradaptasi dengan komunitas luar dan petugas / pendamping sosial, sehingga mereka yang harus menerima manfaat yang paling besar. Pada zona pemanfaatan ini telah seringkali terjadi tumpang tindih dengan wilayah paling intensif dan mengandung potensi terbesar sumber daya alam seperti, batu bara, minyak dan gas bumi dan dan desa-desa penduduk di sekitarnya (termasuk daerah transmigrasi). Konflik penggunaan tanah hak ulayat seringkali terjadi di kawasan ini. Oleh karenanya, kegiatan pemanfaatan zona ini, sekiranya tidak dapat dipindahkan dari kawasan, maka aktifitas apapun harus mendukung penuh fungsi hutan wisata atau ekowisata, serta merupakan wilayah antara kehidupan KAT dengan komunitas luar. Pembangunan pemukiman di wilayah ini dapat dilakukan sejauh masih dalam lingkungan hak ulayat KAT. Zona ini memiliki fungsi strategis terhadap perubahan sosial yang diharapkan dari kehidupan KAT. Wilayah ini juga merupakan wilayah pemantauan keberhasilan program. KAT yang tinggal di dalam zona ini atau telah beradaptasi dengan fungsi zona ini dapat dikategorikan bukan KAT lagi atau sudah menjadi komunitas umumnya.

  4. Zona pembangunan (Development zones), daerah untuk konstruksi bangunan dan fasilitas lainnya. Daerah yang dirancang untuk tempat bangunan dan fasilitas pengelolaan, tetapi tidak

  

X-8 BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014 LAPORAN AKHIR

X-9

  untuk prioritas pengunjung, seperti pos penjagaan, balai serba guna, pusat informasi, KAT Centre, kantor instansi sosial, kantor konservasi lingkungan, dll.

  5. Zona Rehabilitasi (Rehabilitation zone), merupakan kawasan untuk memperbaiki keadaan vegetasi atau habitat yang pernah rusak. Misalnya, karena kebakaran hutan, perambahan hutan atau bekas permukiman. Daerah tersebut dapat ditanami oleh pepohonan yang daun, bunga, dan buahnya disenangi warga KAT dan margasatwa yang ada di dalamnya. Seyogianya jenis- jenis tumbuhan yang ditanam dipilih jenis-jenis tumbuhan hutan asli di daerah tersebut (indegenous plants) agar dapat memelihara keaslian kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi.

  6. Zona Penyangga (Buffer Zone), merupakan kawasan yang terletak di antara kawasan konservasi dengan kawasan budidaya serta pemukiman di sekitarnya yang dirancang untuk melindungi kawasan konservasi sumber daya dan kehidupan KAT di dalamnya dari pengaruh negatif dari luar. Sebaliknya zona ini dimaksudkan pula untuk melindungi kawasan budidaya dan permukiman atau penduduk dan sumber daya miliknya terhadap pengaruh negatif yang berasal dari kawasan konservasi. Di zona penyangga tersebut dapat dikembangkan berupa daerah hutan atau perkebunan di luar batas kawasan, seperti agroforestri untuk memberikan manfaat ekonomi pada penduduk sekitar, sehingga menghilangkan atau mengurangi tekanan penduduk terhadap daerah konservasi dan mencegah gangguan ke dalam kawasan yang didiami KAT.

B. Reorientasi Kebijakan dan Strategi Sosial

  Lingkungan strategis pembangunan kesejahteraan sosial telah berubah seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, baik hal-hal yang berkaitan dengan struktur maupun fungsi-fungsi kelembagaan pusat dan daerah. Karena itu, reposisi sektor kesejahteraan sosial dan reformasi paradigma serta strategi pembangunan kesejahteraan sosial harus merupakan komitmen bersama antara pusat dengan daerah. Adanya kebijakan otonomi daerah, dapat merupakan tantangan sekaligus peluang untuk menata kembali sistem pemberdayaan KAT. Kebijakan ini di samping sebagai respons terhadap aspirasi yang berkembang, juga sesuai dengan trend pembangunan yang lebih bernuansa pemberdayaan regional atau lokal. Implikasinya adalah bahwa kebijakan-kebijakan cetakbiru (blueprint policies) yang lebih bersifat top-down akan berkurang dan partisipasi daerah menjadi mainstream perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program pemberdayaan KAT pada masa yang akan datang.

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  Dalam era otonomi daerah, pelaksanaan program Pemberdayaan KAT lebih bernuansa pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah daerah. Implikasinya adalah bahwa kebijakan, strategi dan program pemberdayaan KAT yang bertumpu pada pendayagunaan potensi dan sumber daya daerah akan menjadi fokus program pada masa yang akan datang di daerah, dengan tetap berada dalam kerangka kesatuan pembangunan nasional. Secara formal paradigma pembangunan yang sebelum ini lebih bersifat sentralistik berubah konsepnya menjadi desentralistik. Pada konsep desentralistik ini basis pembangunan berada pada daerah Kabupaten/Kota. Namun demikian kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom masih tetap diakui terutama mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota, kewenangan yang sudah atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota dan kewenangan di bidang tertentu dengan kesepakatan antara kabupaten/kota dan provinsi serta kewenangan dekonsentrasi. Pemberdayaan KAT merupakan bidang tugas yang seringkali menuntut peran provinsi yang optimal terutama dalam hal koordinasi dan penjaluran program dari pusat. Hal ini disebabkan lingkup masalahnya yang terjadi dapat merupakan kejadian lintas kabupaten/kota dan lintas sektor. Adapun peran kabupaten/kota sangat menentukan ketepatan sasaran dan keberhasilan pencapaian target sasaran fisik maupun fungsional. Pada sisi lain, kewenangan pusat sebagai regulator kebijakan dan strategi nasional selayaknya terus dibenahi dan ditata secara bertahap, sehingga pada masa yang akan datang pembagian kewenangan dalam pelaksanaan program nasional untuk Pemberdayaan KAT antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota semakin jelas dan proporsional. Dampak ketidakjelasan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, misalnya dalam pemberdayaan KAT secara berkesinambungan sulit dilaksanakan (antara yang sudah, sedang atau yang belum diberdayakan belum tentu koheren satu sama lain). Kegiatan proses pemberdayaan KAT kadangkala menjadi terputus dan harus menunggu proyek dari pusat, padahal kegiatan tersebut selayaknya merupakan tugas-tugas langsung dan harian dari pemerintah kabupaten/kota di bawah koordinasi pemerintah provinsi. Salah satu cara penyelenggaraan Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional dalam era otonomi daerah adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, maka Ditjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial juga berkewajiban mengimplementasikannya dalam kerangka sistem pembangunan daerah, yaitu dengan melakukan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau

  

X-10

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  Perangkat Pusat di Daerah. Pelimpahan wewenang tersebut disertai dengan pembiayaan yang sesuai dengan besaran kewenangan yang dilimpahkan. Jenis kewenangan yang akan dilimpahkan sebenarnya harus terlebih dahulu dikonsultasikan dengan intansi terkait dan Gubernur dan atau Perangkat Pusat di Daerah. Pelimpahan wewenang tersebut seharusnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sekarang ini, hampir semua jenis kewenangan dalam lingkup tugas Pemberdayaan Sosial sudah dilimpahkan kepada daerah melalui dana dekon, namun dalam kenyataannya dukungan dari daerah dalam bentuk penyediaan alokasi anggaran yang cukup dari APBD provinsi maupun kabupaten/kota masih sangat kurang, bahkan ada daerah yang semua anggarannya masih tergantung pada dana dekon pusat. Akibatnya program pemberdayaan KAT dan berbagai penanganan permasalahan kesejahteraan sosial lainnya yang membutuhkan respons secara cepat dan berkelanjutan masih menunggu respons pusat terlebih dahulu. Kondisi ini nampaknya bertolakbelakang dengan semangat otonomi daerah dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial.

  Kondisi Sosial Masyarakat

C. Strategi Operasional

  Pendekatan yang dikembangkan dalam pemberdayan KAT sebaiknya lebih bertumpu pada Pendekatan Harmoni daripada Pendekatan Resolusi Konflik. Upaya yang telah dilakukan melalui ‘enclave’ terhadap kehidupan KAT telah menjadi polemik, merupakan bukti kegagalan sasaran perubahan struktural dan cenderung konfliktual. Pendekatan resolusi konflik nampaknya berada dalam jurang kegagalan, karena tidak ditindaklanjuti dengan perjuangan menggugat struktur kekuasaan (power) kepada stakeholder primer dan sekunder di atasnya. Untuk itu dibutuhkan skenario kerja yang dipahami secara solid oleh semua anggota tim kerja awal (inisiator), karena akan memasuki area review total terhadap strategi yang sudah berjalan. Hal ini justru dapat menimbulkan konflik baru antar stakeholders yang telah mencapai kata sepakat tentang enclave

  

X-11

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  KAT, tetapi belum paham konsep zonasi. Konsep zonasi ini pun berdasarkan pengalaman tidak selamanya teruji, sejauh pihak-pihak yang berkepentingan masih belum memiliki kesadaran konseptual tentang hahekat pelestarian sebuah kawasan yang di dalamnya tinggal KAT. Maksud dari pendekatan harmoni, yaitu melakukan kajian secara proporsional antara aspek positif (benefit) dan aspek negatif (resiko), sehingga fokus tim kerja akan mengkaji tantangan ke depan, peluang yang ada, kekuatan/ potensi yang ada dan kelemahan yang terjadi. Pemetaan interaksi antara unsur-unsur tersebut akan menghasilkan alternatif strategi pemberdayaan KAT. Masing- masing strategi akan dijabarkan langkah-langkah kongkrit berdasarkan urutan prioritas.

  Sasaran perubahan yang akan dicapai lebih bertumpu pada perubahan fungsional (non konfliktual). Pendekatan fungsional tersebut akan menjadi berguna jika dilakukan analisis kebijakan yang memadai dengan memperhatikan keselarasan mikro (kawasan KAT), meso (strategi pengelolaan regional) dan makro (kebijakan dan perundang-undangan) yang relevan dengan Pemberdayaan KAT melalui sistem hutan kerakyatan yang merupakan interaksi dinamis antara ekosistem, kearifan budaya lokal dan intitusi lokal yang didukung penuh oleh kebijakan nasional.

  Tujuan yang akan dicapai mewujudkan :

   Peningkatan kesadaran hukum stakeholders  Tersusunnya Renstra dan Program Strategis Pemberdayaan KAT yang sifatnya mengikat stakeholders dan mempunyai kekuatan hukum (misal deklarasi bersama yang ditandangani atau dalam bentuk Perda)  Peningkatan peran institusi lokal (Balai-balai, PT, LSM) sebagai Centre of Capacity Building  Terlaksananya pemetaan legalitas dan fungsi tata ruang berdasarkan sistem zonasi secara partisipatif, termasuk terbentuknya zonasi pemanfaatan dan rehabilitasi berbasis agroforestry yang didukung penuh oleh tokoh adat dari KAT dan pemerintah kabupaten sampai nasionalTerbentuknya jaringan kerja antara pemerintah, LSM, pihak swasta dalam melindungi kawasan dan mefasilitasi berbagai kegiatan yang konstruktif dalam pemberdayaan KAT dan pengelolaan lingkungannnya  Terciptanya sistem informasi terpadu tentang kawasan KAT atau terbangunnya KAT Centre  Terlaksananya program-program Capacity Building (sosialisasi, pelatihan, studi banding, perekaan ahli)  Terpeliharanya kelestarian flora dan fauna yang menjadi sumber kehidupan KAT

  

X-12

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  Untuk menghasilkan rencana aksi bersama diperlukan fasilitator yang berperan sebagai katalisator, mediator dan pialang sosial (broker). Target sasaran dan pelibatan unsur stakeholder nampaknya tidak cukup bertumpu pada komunitas lokal (KAT dan warga desa sekitarnya), tetapi justru akan lebih banyak di lingkungan Pemkot, DPRD, Dinas Sosial, Dinas Lingkungan, Intansi lainnya, Bappeko, dan LSM peduli lingkungan. Adapun di tingkat propinsi diperlukan juga keterlibatan unsur dari Pemerintah Propinsi, Dinas Sosial, Intansi lainnya, DPRD dan Bappeda Propinsi, Dinas Tata Ruang (jika ada). Demikian juga diperlukan pengambil keputusan dari tingkat pusat (Dep. Sosial, DPR, NGO internasional di bidang lingkungan, Yayasan Kehati dll.)

10.2.2. Permasalahan ,Analisa Penanganan, dan Rekomendasi

A. Permasalahan

  Masalah kawasan tertinggal masih aktual dan tetap saja ada seiring dengan kehidupan suatu masyarakat pada suatu kawasan, baik saat menyusun perencanaannya maupun ketika rencana itu diimplementasikan. Bila orang bicara soal kawasan tertinggal, kesan yang tampak lebih pada aspek fisik semata. Contohnya, alokasi prasarana pelayanan umum seperti jalan, bangunan, pasar, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain. Padahal, masalah kawasan tidak sekedar berkutat di seputar aspek fisik saja, tetapi juga aspek non fisik. Beberapa kritik sering terlontar, seperti perencanaan yang kurang peka dan tidak tanggap terhadap kekhasan lokal dan aspirasi serta persepsi penduduk. Begitu juga dengan masih adanya kesenjangan antara rencana dengan pelaksanaannya di lapangan. Kritik lainnya adalah munculnya kekurangadilan dalam pembangunan, sehingga yang memperoleh manfaat hanya kelompok mapan. Lalu, kurangnya keterpaduan pembangunan antar daerah yang berakibat tidak terciptanya sinergi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi suatu kawasan. Kritik masih berlanjut terhadap belum siapnya aparat pengelola pembangunan di daerah, terutama di tingkat II, lemahnya mekanisme pengawasan dan wibawa aparatur pemerintah, karena tidak diterapkannya sistem insentif and disinsentif atau reward and punishment dalam pelaksanaannya, serta kurangnya pelibatan peran serta masyarakat dan kalangan pengusaha dalam proses perencanaan suatu kawasan yang berakibat pada tipisnya komitmen rakyat dan pihak swasta terhadap pengembangan kawasan. Suatu kawasan pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya. Tom Turner (1996) menyebutnya dengan cultural-landscape, sebagai mosaik yang sarat dengan beraneka ragam

  

X-13

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  karakter, sifat, kekhasan, keunikan, dan kepribadian. Karenanya,memahami sebuah kawasan atau daerah, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memahami budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut. Para perencana wilayah mestinya mampu bersikap cerdas. Artinya, punya sensitifitas, memahami multi budaya, sadar, respek dan toleran terhadap perkembangan sebuah kawasan. Secara lebih rinci permasalahan pembangunan kawasan tertinggal meliputi:

   Masalah ekonomi:  Tingkat kemiskinan yang tinggi.

   Banyaknya kantung-kantung kemiskinan.  Income perkapita yang rendah.  Masalah Infrastruktur:  Buruknya aksesibilitas transportasi  Sulit dijangkau akses informasi.

   Terbatasnya sarana transporatsi yang ada.  Buruknya sarana dan prasarana lingkungan.  Masalah sosial-demografi dan kesejahteraan rakyat:  Tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan yang masih sangat sederhana.

   Sumber daya manusia yang terbatas  Adat istiadat yang sulit menerima hal-hal yag masih baru (misalnya: teknologi).  Kelembagaan adat yang belum berkembang.  Tingkat kesehatan masyarakat yang masih rendah.  Masalah Sumber daya alam:  Terbatasnya/minimnya sumber daya manusia yang ada.

   Belum optimalnya pengelolaan sumber daya alam yang ada (karena: kurangnya pendekatan pengetahuan/teknologi pengolahan, modal dan kondisi lingkungan).  Masalah pertahanan keamanan:

   Kondisi/tingkat perekonomian masyarakatnya umumya relatif rendah  Rawannya/kemungkinan berpalingnya orientasi kehidupan dibidang sosial, ekonomi, dan ideologi dari kawasan Indonesia kepada kawasan negara tetangga.

   Masalah lingkungan hidup:  Pemanfaatan hutan lindung dan atau taman nasional yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal di kawasan tersebut sebagai sumber utama di dalam penghidupannya.

  

X-14

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

   Terjadinya dampak pada kelestarian lingkungan seperti penebangan hutan tropis, perladangan berpindah, dan terusiknya habitat satwa langka.  Masalah kebijakan pembangunan yang diterapkan:

   Pendekatan pembangunan yang diterapkan masih bersifat sektoral dan sentralistis (kurang terintegrasi dengan program pembangunan di daerahnya).  Kurang dilibatkannya masayarakat dalam merumuskan perencanaan dan pelaksanaan program.  Sifat dari program/proyeknya hanya sementara (tidak berkelanjutan sehingga dampak dari kebijakan yang diterapkan kurang memberikan manfaat bagi masyarakat).

B. Analisa Penanganan

   Pemberdayaan Masyarakat KAT dalam bidang Pemberdayaan Masyarakat dan pengembangan kapasitas masyarakat secara Strategis.  Penataan Permukiman masyarakat yang tidak layak huni  Penataan Tata Ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten serta RTRWP propinsi kalsel  Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana Permukiman seperti Jalan lingkungan, Drainase, Air Bersih,Listrik, dan Persampahan.  Pemenuhan Sarana fasilitas yang menunjang Permukiman seperti Fasiltas pendidikan, Perumahan dan permukiman yang layak dan sehat, Fasilitas peribadatan, Fasilitas Kesehatan.  Meningkatkan Infrastruktur jalan dan jembatan  Penataan ruang termasuk pengaturan pemanfaatan potensi ekonomi pada kawasan lindung, kawasan konservasi,kawasan permukiman, serta kawasan budidaya.  Pengembangan ekonomi lokal berdasarkan pada pemanfaatan SDA, budaya dan adat istiadat tradisional secara berkelanjutan.  Pendampingan kegiatan ekonomi melalui kerjasama/kemitraan yang menguntungkan masyarakat setempat.

  

X-15 BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014 LAPORAN AKHIR

X-16

Tabel 10.1

  

Permasalahan, Analisa Penanganan dan Rekomendasi

  2 Infrastruktur  Buruknya aksesibilitas transportasi  Sulit dijangkau akses informasi.

  3 Sosial  Tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan yang masih sangat sederhana.  Sumber daya manusia

  IPAL terpadu  Pembuatan dan pengelolaan jaringan persampahan  Pembuatan siring untuk irigasi pertanian dan perkebunan  Pengadaan sarana drainase terpadu.

  MCK dan

   Peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan dengan melaksanakan kegiatan Pavingnisasi dan pengaspalan  Penataan Lingkungan Hunian yang tertata rapi  Pengadaan sarana dan prasarana Air bersih  Pengadaan sarana

   Pembuatan jalan Lingkungan

   Terbatasnya sarana transporatsi yang ada.  Buruknya sarana dan prasarana lingkungan.

   Peningkatan Perekonomian masyarakat  Pembangunan pasar dan koperasi masyarakat  Peningkatan kualitas hasil pertanian da perkebunan

  No Bidang Permasalahan Analisa Penanganan Rekomendasi

   Meningkatkan Infrastruktur jalan dan jembatan  Penataan ruang

   Pemenuhan Sarana fasilitas yang menunjang Permukiman seperti Fasiltas pendidikan, Perumahan dan permukiman yang layak dan sehat, Fasilitas peribadatan, Fasilitas Kesehatan.

   Penataan Permukiman masyarakat yang tidak layak huni  Penataan Tata Ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten serta RTRWP propinsi kalsel  Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana Permukiman seperti Jalan lingkungan, Drainase, Air Bersih,Listrik, dan Persampahan.

   Pemberdayaan Masyarakat KAT dalam bidang Pemberdayaan Masyarakat dan pengembangan kapasitas masyarakat secara Strategis.

   Banyaknya kantung- kantung kemiskinan.  Income perkapita yang rendah.

  1 Ekonomi  Tingkat kemiskinan yang tinggi.

   Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan  Pengadaan dan BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014 LAPORAN AKHIR

X-17

  No Bidang Permasalahan Analisa Penanganan Rekomendasi yang terbatas  Adat istiadat yang sulit menerima hal-hal yag masih baru (misalnya: teknologi).

   Kelembagaan adat yang belum berkembang.  Tingkat kesehatan masyarakat yang masih rendah. termasuk pengaturan pemanfaatan potensi ekonomi pada kawasan lindung, kawasan konservasi,kawas an permukiman, serta kawasan budidaya.  Pengembangan ekonomi lokal berdasarkan pada pemanfaatan SDA, budaya dan adat istiadat tradisional secara berkelanjutan.

   Pendampingan kegiatan ekonomi melalui kerjasama/kemitr aan yang menguntungkan masyarakat setempat. menunjang sarana prasarana Kesehatan dan Peribadatan

  4 Sumberdaya Alam

   Terbatasnya/minimnya sumber daya manusia yang ada.  Belum optimalnya pengelolaan sumber daya alam yang ada (karena: kurangnya pendekatan pengetahuan/teknologi pengolahan, modal dan kondisi lingkungan).

   Pengelolaan Sumberdaya alam terpadu

  5 Lingkungan Hidup

   Pemanfaatan hutan lindung dan atau taman nasional yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal di kawasan tersebut sebagai sumber utama di dalam penghidupannya.

   Terjadinya dampak pada kelestarian lingkungan seperti penebangan hutan tropis, perladangan berpindah, dan terusiknya habitat satwa langka.

   Perencanaan dan pengelolaan kawasan wisata dan rekreasi alam dan budaya  Melestarikan kehipan hayati dan non hayati

  6 Keamanan  Kondisi/tingkat perekonomian masyarakatnya umumya relatif rendah

   Rawannya/kemungkinan berpalingnya orientasi kehidupan dibidang sosial,  ekonomi, dan ideologi

   Pengadaan sarana pos kamling BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014 LAPORAN AKHIR

X-18

  No Bidang Permasalahan Analisa Penanganan Rekomendasi dari kawasan Indonesia kepada kawasan negara tetangga

  7 Kebijakan  Pendekatan pembangunan yang diterapkan masih bersifat sektoral dan sentralistis (kurang terintegrasi dengan program pembangunan di daerahnya).  Kurang dilibatkannya masayarakat dalam merumuskan perencanaan dan pelaksanaan program.

   Sifat dari program/proyeknya hanya sementara (tidak berkelanjutan sehingga dampak dari kebijakan yang diterapkan kurang memberikan manfaat bagi masyarakat).

   Penyusunan dokumen masterplan kawasan  Perencanaan RTRWP dan RTRW  Perda mengenai

  KAT  UU

  Sumber: Hasil Analisa

10.2.3. Target Dan Sasaran

A. Pengembangan Kawasan Tertinggal

   Meningkatkan aksesibilitas wilayah tertinggal terhadap faktor produksi dan prasarana fisik yang mendukung percepatan pembangunan wilayah tertinggal.  Mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan masyarakat.  Penataan ruang termasuk pengaturan pemanfaatan potensi ekonomi pada kawasan lindung, pesisir dan pulau terpencil.  Pengembangan ekonomi lokal berdasarkan pada pemanfaatan SDA, budaya dan adat istiadat tradisional secara berkelanjutan.  Pendampingan kegiatan ekonomi melalui kerjasama/kemitraan yang menguntungkan masyarakat setempat.  Pengadaan prasarana dan sarana dasar.  Penataan permukiman.  Pemberdayaan masyarakat.

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

  B. Pengembangan Permukiman

   Pembuatan jalan Lingkungan  Peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan dengan melaksanakan kegiatan Pavingnisasi dan pengaspalan  Penataan Lingkungan Hunian yang tertata rapi  Pengadaan sarana dan prasarana Air bersih  Pengadaan sarana MCK dan IPAL terpadu  Pembuatan dan pengelolaan jaringan persampahan /TPST  Pembuatan siring untuk irigasi pertanian dan perkebunan  Pengadaan sarana drainase terpadu.

  C. Pengembangan Sarana dan prasarana Fasilitas Permukiman

   Perencanaan Fasilitas kesehatan seperti puskesmas, dan posyandu beserta pustu yang dilayani oleh bidan.  Perencanaan Fasilitas peribadatan berupa masjid,surau,maupun Langgar  Perencanaan Fasilitas Pendidikan seperti PAUD,TK,SD,SLTP,SMU dan TPQ  Perencanaan Fasilitas Penunjang Sarana Ekonomi seperti koperasi.

10.2.4. Usulan Program Pengembangan Dan Rencana Kegiatan

  Adapun usulan program dan rencana kegiatan yang dapat dilaksanakan dan dikembangkan di Kawasan permukiman KAT Desa Dandung adalah sebagai berikut:

  1. Penataan Permukiman Kumuh

   Kegiatan Pengadaan sarana dan Prasarana air bersih  Kegiatan Penyediaan Tong-tong sampah, sehingga masyarakat tidak lagi membuang sampah di sungai maupun di belakang rumah.

   Kegiataan pengadaan sistem pembuangan drainase air dan Saluran pembuangan air limbah Rumah Tangga

   Kegiatan pengadaan dan perbaikan jalan-jalan lingkungan pada kawasan permukiman  Pembuatan Jalan lingkungan maupun jalan utama produksi pertanian dan perkebunan

  2. Penyediaan Sarana dan Prasarana Penunjang Permukiman

   Kegiatan penyediaan air bersih  Kegiataan Pengadaan pemenuhan Kebutuhan masyarakat akan listrik

  

X-19

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

   Kegiatan Pengadaan jaringan Sampah (TPS)  Kegiatan Pengadaan sarana MCK Plus  Kegiatan pengembangan jalan lingkungan  Kegiatan Pengaspalan jalan-jalan lingkungan dan jalan pertanian

3. Penyediaan sarana penunjang fasilitas permukiman

   Kegiatan Pembangunan sarana Peribadatan  Kegiatan Pembangunan sarana pendidikan  Kegiatan Pembangunan Sarana Kesehatan  Kegiatan Pembangunan sarana prasarana Penunjang Ekonomi,Perdagangan jasa dan

  Koperasi

10.3. AIR LIMBAH KAWASAN KAT BINTANG ARA

10.4.4. Kondisi Eksisting Limbah Kawasan Adat Tertinggal Di Bintang Ara

A. Kondisi Eksisting

  Sistem pengelolaan air limbah pada Kawasan Kota Cepat Berkembang Bintang Ara khususnya

  Dusun Undul saat ini masih menggunakan sistem on site dengan jubluk yang dibuat hanya membuat lubang di dalam tanah. Hal ini karena pemukiman Dusun Undul masih berpencar di pedalaman. Namun dengan adanya rencana pemberdayaan warga komunitas adat terpencil (KAT) di Dusun Bmi Makmur Kabupaten Tabalong yang akan di lokasikan pada kawasan

  

Hutan Produksi (HTI Trilondo) dan lokasi permukiman baru tersebut terletak pada

ketinggian 90-110 m di atas permukaan air laut. Kondisi eksisting sekarang hanya ada 12

buah gubuk dan 1 buah mushola.

Volume air limbah di Kawasan Kota Cepat Berkembang Bintang Ara khususnya Dusun

Undul ini diprakirakan sebesar 16 m3/hari dengan asumsi jumlah kebutuhan air bersih 75

l/hari./orang dengan jumlah penduduk 152 jiwa pada tahun 2009 atau 45 KK.

  

X-20

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

10.3.2. Permasalahan, Analisa Penanganan dan Rekomendasi

  A. Permasalahan

  Beberapa permasalahan yang terjadi pada pengelolaan air limbah di Kawasan Kota Cepat Berkembang Bintang Ara khususnya Dusun Undul adalah sebagai berikut :

  Belum ada sarana dan parasarana air limbah yang sehat Tingkat pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan tentang sanitasi lingkungan sangat minim.

  B. Analisa Penanganan

  Untuk wilayah pemukiman yang tidak padat penduduknya dan nilai ekonomi yang kecil serta pendidikan yang rendah maka diarahkan menggunakan sistem pengolahan on site dengan pengadaan jamban komunal, berupa MCK + yang dilengkapi dengan pengolahan septictank dan sumur resapan (jamban sehat). Program ini dapat diwujudkan baik melalui program dari pemerintah seperti PNPM, Sanimas, PPIP ataupun dengan program swadaya masyarakat. Kebutuhan sarana air limbah berupa MCK + adalah sebagai berikut :

Tabel 10.2 Kebutuhan Sarana Pengelolaan Air Limbah Berupa MCK +

  Jumlah MCK + Umum dengan Septictank KECAMATAN

NO 2011 2012 2013 2014 2015

Tingkat Pelayanan

  40 % 50 % 55 % 60% 65% Kawasan KAT Dusun Undul

  1

  2

  3

  4

  4

  5 Bintang Ara

X-21

  Titik penempatan MCK +

  Mck +

  Gambar Rencana Arahan Sarana MCK + Dengan Septictank PROGRAM INVESTASI KAT BINTANG ARA X-22

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

C. Rekomendasi

  1. Peningkatan Sarana dan Prasarana Sistem Pengolahan Limbah dapat dilaksanakan dengan program Sanimas (Sanitasi Masyarakat) atau PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) untuk pengadaan dan pembangunan jamban sehat atau MCK umum oleh Pemerintah Daerah. Pembuatan Jamban Sehat Pribadi/Jamban Sehat Komunal/MCK + sebanyak 10 unit sampai akhir tahun perencanaan 2015

  2. Peningkatan Sumber Daya Manusia dengan adanya kegiatan program sosialisasi, pengarahan dan pemantauan secara teratur dan pembentukan kader kader lingkungan yang akan memberikan araha kepada warga secara teraturm mengingat pendidikan

  10.3.4. Target dan Sasaran

  Target dan sasaran berdasarkan kreteria MDGs 2015 tentang sanitasi yang menyatakan “meningkatkan pelayanan sebesar 60 % dari jumlah penduduk yang belum memiliki akses pada pelayanan publik. Disamping tujuan kuantitatif tersebut, juga diharapkan peningkatan kualitas pelayanan yang lebih berwawasan lingkungan”.

  10.3.5. Usulan Program Pengembangan & Rencana Kegiatan

  Program prioritas yang dapat mendukung pengembangan sistem pengelolaan air limbah dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 10.3 Usulan Program Pengelolaan Air Limbah Strategi Kontribusi No. Program Target Penanganan Pendekatan Pemda

  

1 Perluasan Peningkatan pelayanan Tanggap Data kebutuhan Komitmen dalam

Cakupan sanitasi/air limbah bagi kebutuhan, pelayanan, peningkatan

Pelayanan Air masyarakat miskin, Pembangu- Pembangunan PS pelayanan

Limbah Domestik kumuh dan rawan nan secara air limbah sanitasi kepada penyakit yang ditularkan bertahap berdasarkan masyarakat, melalui air prioritas Pendanaan, penyediaan lahan, dll

  X-23

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014 Strategi Kontribusi No. Program Target Penanganan Pendekatan Pemda

  2 Promosi Penyebar luasan informasi Ketepatan Edukasi, Alokasi Pengelolaan Air dan peningkatan sasaran penyuluhan, pendanaan yang Limbah Domestik pemahaman dan penyebaran kampanye, kontinyu, dll kesadaran masyarakat informasi sosialisasi dan serta pemangku pengembangan kepentingan dalam percontohan penyediaan dan pengelolaan PS air limbah

10.3.6. Prioritas Penanganan & Pembiayaan Skala Prioritas penanganan dapat dilihat dan diperhatikan dalam matrik di akhir bagian.

10.4. PERSAMPAHAN KAWASAN BINTANG ARA

10.4.1. Kondisi Eksisting

  A. Gambaran Umum Pengelolaan Persampahan

  Pengelolaan Persampahan di Kawasan Bintang Ara khususnya di Dusun Undul selama ini hanya diolah secara konvensional dengan dibakar. Beberapa alasan yang menyebabkan daerah ini belum mendapat pelayanan persampahan dari pemerintah Kabupaten Tabalong adalah tidak ada akses jalan menuju lokasi karena jarak sangat jauh dari pusat kecamatan, dan masyarakat Dusun Undul masih primitif sehingga pengetahuan tentang sanitasi lingkungan masih terbatas. Diasumsikan bila sampah terkumpul semua maka volume timbulan sampah yang dihasilkan dari aktifitas penduduk Desa Unduk adalah sebanyak dengan jumlah sampah yang dihasilkan per orang adalah 2 lt/hari.

B. Kondisi Sistem Sarana dan Prasarana Pengelolaan Persampahan

  Karena belum ada penanganan sampah secara terpadu di Kawasan Adat Tertinggal Bintang Ara maka kondisi sarana dan prasarana sampah yang ada sangat sederhana karena sampah langsung ditangani dengan dibakar atau ditimbun.

  X-24

  LAPORAN AKHIR BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN TABALONG 2010-2014

10.4.2. Permasalahan, Analisa Penanganan, dan Rekomendasi

  A. Permasalahan

  1. Kawasan Adat Tertinggal Bintang Ara sampai saat ini belum mendapat pelayanan persampahan dari Pemerintah Kabupaten Tabalong. Pengelolaan sampah yang dihasilkan masyarakat dilakukan secara sederhana yaitu dengan dikumpulkan dan dibakar di sekitar pekarangan rumah, atau dibuang ke sungai.

  2. Kesadaran masyarakat Kawasan Adat Tertinggal Bintang Ara untuk mereduksi sampah secara mandiri masih belum ada mengingat pola hidup mereka sangat sederhana. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan rendah sehingga tidak mengetahui informasi tentang teknologi persampahan.

  B. Analisa Penanganan

  Berdasarkan kondisi eksisting maka perlu direncanakan perbaikan sistem pengelolaan persampahan di Kawasan Adat Tertinggal Bintang Ara mulai dari sumber sampah sampai dengan konsep 3 R (reuse, reduce dan reycle) dengan pengadaan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu). Pengadaan TPST digunakan sebagai alternatif pengolahan sampah karena mengingat letak kawasan bintang ara jauh dari lokasi TPA. Berikut ini rencana penanganan sampah di Kawasan Adat Tertinggal Bintang Ara Dusun Undul: