Mencari Akar Pemikiran Sastra Sunda Mode

Mencari Akar Pemikiran Sastra Sunda Modern: Setelah masuknya pengaruh
Belanda pada paruh kedua abad ke-19

Mikihiro MORIYAMA
Jurusan Studi Asia
Fakultas Bahasa-bahasa Asing
Universitas Nanzan

Makalah ini dipresentasikan pada PERTEMUAN ILMIAH NASIONAL XIV,
HIMPUNAN SARJANA KESUSASTRAAN INDONESIA
bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Airlangga
Hotel Santika Surabaya, 26 -28 Agustus 2003

2

Pengantar
Dalam kehidupan sastra Sunda pada paruh kedua abad ke-19, rupanya terjadi perubahan
yang cukup besar. 1 Itu merupakan suatu bentrokan konsep kesusastraan yang
disebabkan masuknya konsep Barat melalui orang Belanda. Pemikiran orang Sunda
diguncangkan: orang Belanda berpendapat bahwa dari sudut pandang mereka tidak ada
sastra di komunitas berbahasa Sunda. Itu terjadi karena konsep dan pemikiran tentang

kesusastraan antara mereka berbeda. Tetapi bentrokan itu tidak mengakibatkan debat
antara orang Sunda dan orang Belanda. Kiranya ada beberapa sebab: orang Sunda tidak
pernah memikirkan sastranya sendiri secara sadar. Mungkin pula mereka merasa tidak
perlu untuk memikirkannya. Ketika ada orang luar memasalahkan sesuatu di dalam,
barulah orang dalam mulai menyadarinya dan merenungkannya. Proses penyadaran ini
bisa dilihat secara analogis dalam uraian Michael Bakhtin tentang obyektivitas bahasa
ketika suatu bahasa yang berkuasa mengintervensi bahasa setempat (1981: 62-65). Ada
pula alasan soal situasi kolonial. Pihak penjajah tidak dapat ditantang oleh orang yang
dijajah.
Pemerintah kolonial di Hindia Belanda mulai menyadari perlunya pendidikan
untuk orang pribumi pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1848 Gubernur-Jeneral
menyiapkan anggaran khusus sebesar 25,000 gulden per tahun untuk mendirikan
sekolah-sekolah bagi orang pribumi2 yang akan dijadikan pegawai pemerintah (AVSS
1853: 319-320).

Semakin kepentingan ekonomi di Hindia Belanda meningkat untuk

mendukung ekonomi Kerajaan Belanda sendiri, khususnya hasil dari perkebunan. Untuk
menjalankan sistim administrasi secara murah dan efisien pegawai pribumi dibutuhkan
lebih banyak daripada sebelumnya. Sekolah-sekolah mulai didirikan dan buku-buku

sekolah pun disusun. Untuk itu orang Belanda mulai mempelajari dan meneliti bahasa
pribumi termasuk bahasa Sunda secara sungguh-sungguh.
Upaya belajar dan kegiatan penelitian orang Belanda menimbulkan pertanyaan:
apakah orang Sunda punya tradisi penulisan? Apakah orang Sunda punya kesusastraan
tanpa budaya tulis-menulis? Lama kelamaan orang Sunda pun ikut memikirkan
kesusastraan mereka sendiri menurut konsep orang Belanda.

1

Saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan rekan saya Bapak Henri Daros untuk memeriksa
naskah ini.
2
Kata aslinya ‘de Javanen’ (orang Jawa) dipakai, tapi yang dimaksudkannya ialah orang pribumi di
pulau Jawa. Pada waktu itu belum ada pemisahan yang jelas bagi orang Eropa antara orang Jawa dan
orang Sunda (Moriyama 2003: 5-12).

3

Tidak Ada Budaya Tulisan?
Orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda nampaknya mempunyai asumsi

bahwa setiap kelompok etnis mempunyai bahasa dan budaya yang asli. Ada beberapa
kebudayaan yang maju dan ada beberapa pula yang terbelakang; ada beberapa
kebudayaan yang lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Kriteria yang digunakan untuk
mengukur tingkat kemajuan kebudayaan itu, antara lain, apakah kebudayaan itu punya
‘kesusastraan’ atau tidak.
Para sarjana Eropa yang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Romantik pada abad
19 berharap bisa menemukan semacam kesusastraan yang khas dalam budaya tulismenulis Sunda. Namun rupanya mereka tidak memiliki gagasan yang jelas mengenai
apa itu ‘kesusastraan’. Asumsi mereka, ‘kesusastraan’ itu adalah sesuatu yang tinggi
dan merupakan kumpulan karya yang dianggap kanon. Dan yang lebih penting lagi
tentu saja bahwa yang disebut ‘kesusastraan’ itu harus terwujud dalam tradisi penulisan.
Di bagian ini saya mencoba untuk menggambarkan alasan mengapa orang Eropa
tidak menemukan ‘kesusastraan’ di wilayah tururan Sunda. Kegagalan itu disebabkan
oleh dugaan yang sangat berbeda mengenai apa itu ‘kesusastraan’ yang dipertahankan
oleh orang Eropa. Dari sudut pandang orang Eropa karya tertulis di Sunda nampaknya
tidak memiliki dimensi-dimensi artistik. Lebih jauh lagi, orang Eropa yang berorientasi
sepenuhnya pada budaya tulis-menulis, gagal menemukan tradisi sastra Sunda;
penyampaian kesusastraan secara lisan atau konsep sastra lisan adalah pemikiran yang
asing dan di luar kriteria kesusastraan mereka. Sunda tidak punya ‘kesusastraan’ dan
mereka lalu menempatkannya pada tingkat kebudayaan yang kemajuannya rendah.
Kebudayaan orang Sunda dinilai kurang berkembang dibanding kebudayaan orang

Eropa.
Setelah memasuki abad ke-19, orang Eropa mulai memperhatikan kebudayaan
pribumi secara serius. Dalam penelitian kesusastraan pribumi seperti halnya mengenai
bahasa, bangsa Inggris memiliki peranan yang cukup penting (lihat Moriyama 1996). John
Crawfurd, Residen Jogjakarta (1811–1816), mengatakan dalam bukunya yang terkenal
itu, bahwa “Tidak ada buku-buku dalam bahasa Sunda, karena orang Sunda tidak
mempunyai kesusastraan nasional” (Crawfurd 1820: Vol. 2, 68). Dia mengakui bahasa
Sunda sebagai sebuah bahasa yang mandiri, tetapi dia tidak dapat menemukan karya
tertulis di dalamnya. Seorang warga Inggris lainnya, Jonathan Rigg, juga mengakui

4

demikian. Dia memang menyusun kamus Sunda-Inggris pertama setelah tinggal lama di
Bogor Selatan sebagai pemilik perkebunan teh, namun dia menyatakan tidak
menemukan kesusastraan Sunda. Dalam pengantar kamusnya dia menulis, “Masyarakat
Sunda tidak memiliki sesuatu yang mengindikasikan adanya kesusastraan dan ini
merupakan akibat dari bahasa yang semata-mata lisan, yang dituturkan oleh kurang
lebih dua juta orang” (Rigg 1862: xiii). Jelas bahwa Crawfurd dan Rigg menganggap
bahwa kesusastraan sejalan dengan tradisi penulisan, seperti halnya etimologi kata
‘literature’ bisa merujuk. Pemikiran bahwa bahasa yang artistik diwujudkan dalam

bentuk lisan itu tak terbayangkan. Juga, kenyataan bahwa cukup banyak karya tertulis
dalam bahasa Jawa yang dihasilkan oleh orang Sunda pada waktu itu mendukung
pemahaman Rigg. Akhirnya, mereka berpendapat tidak ada ‘kesusastraan’ tanpa tradisi
penulisan dan tidak ada ‘kesusastraan’ yang dapat ditulis dalam ‘bahasa yang sematamata lisan’. Faktanya, mereka salah menginformasikan dan memahaminya. Pada
kenyataannya, ada karya tertulis dalam bahasa Sunda yang dituliskan di atas lontar atau
kertas asli yang dipelihara sejak lama.
Taco Roorda (1801–1874), seorang profesor bahasa dan sastra timur serta
filsafat di Amsterdam, juga tidak menemukan apa yang pantas disebut ‘kesusastraan’.
Walaupun dia telah melegitimasi bahasa Sunda sebagai suatu bahasa yang mandiri di
Jawa Barat, sepertinya dia tidak memikirkan bahwa orang Sunda memiliki khazanah
kesusastraan:
Tuan De Wilde tak pernah mendapat informasi mengenai kesusastraan Sunda
selama dia sekian tahun tinggal di wilayah Priangan. Jadi, tidak ada
kemungkinan bahwa yang demikian itu ada (Roorda dalam De Wilde 1841: xi).
Dugaan Roorda mengenai kesusastraan Sunda dibentuk atas dasar bahan yang
dikumpulkan oleh De Wilde.3 Karena Roorda tak pernah ke wilayah Hindia, cara inilah
yang dia tumpuh untuk mendapatkan informasi. Di sisi lain, dia menganggap bahwa
bahasa Jawa memiliki tradisi sastra yang tinggi dan dia sendiri mengenal baik naskahnaskah Jawa yang dikoleksi dan dikirim ke negeri Belanda. Oleh karena itu, dia
menyimpulkan bahwa kebudayaan Jawa lebih tinggi dari kebudayaan Sunda, karena
punya tradisi penulisan.


3

Ini aneh bahwa tidak ada karya tertulis Sunda yang ditemukan De Wilde, yang telah tinggal cukup lama
di antara masyarakat Sunda sebagai seorang pengusaha perkebunan. Fakta sesungguhnya, saat itu ada
sejumlah naskah yang ditulis dalam bahasa Sunda di sana.

5

Bertolak belakang dengan De Wilde dan Roorda, ilmuwan kontemporer lainnya,
H. Neubronner van der Tuuk, bersiteguh mempertahankan dugaannya yang berbeda
mengenai kesusastraan. Dia adalah ahli dalam beberapa bahasa pribumi dari Hindia
Belanda. Dia menegaskan bahwa bahasa Sunda adalah bahasa yang mandiri serta punya
“menaak woorden” (kosakata menak) dan “koering woorden” (kosakata masyarakat
biasa), sebuah perbedaan yang dia anggap sepadan dengan tingkatan bertutur kromo ngoko dalam bahasa Jawa. Selama masa penyembuhan dari sakitnya di Buitenzorg
(Bogor), dia memperoleh naskah-naskah Sunda, termasuk buku-buku keagamaan, puisi
epik, dan surat-surat. Dia mengkritik De Wilde sebagai berikut:
Bahwa secara mutlak tidak ada kesusastraan (litteratuur) Sunda, seperti yang
dikatakan De Wilde, tidaklah benar sama sekali. Saya percaya bahwa kita
tidak akan bisa berkata banyak mengenai hal ini selama (mereka yang paling

saleh biasanya) Muslim yang berkeadaban tidak sudi menunjukkan pada kita
para umat tak beriman (kafir) sejenis karya-karya sastra yang mereka miliki
karena takut miliknya berpindah tangan atau dicemari (Tuuk 1851: 341).
Kritik ini ditulis 10 tahun setelah kamus De Wilde diterbitkan. Van der Tuuk
nampaknya beranggapan bahwa di mana ada bahasa maka di situ ada kesusastraan.
Namun apa yang dimaknai litteratuur oleh Van der Tuuk tidak bisa disamakan secara
mutlak dengan kesusastraan, tetapi lebih kepada budaya tulis-menulis – sesuatu yang
dituliskan dalam bahasa Sunda. Memang kata kesusastraan itu istilah yang rumit,
sehingga tak akan mengejutkan bahwa bahkan seorang linguist yang terkemuka pada
abad ke-19 pun tidak mampu memberi definisi yang jelas.
Keragu-raguan Van der Tuuk mengenai pendapat De Wilde itu didasarkan pada
keengganan orang Sunda untuk menunjukkan karya tertulis mereka pada orang Belanda
karena alasan-alasan agama yang mungkin punya dasar yang kuat. Banyak naskah
Sunda yang ditulis dalam aksara Arab, seperti yang dapat kita lihat dari katalog Ekadjati,
dan sebagian masyarakat menganggap bahwa naskah adalah sesuatu yang keramat atau
barang pusaka, seperti halnya memperlakukan keris. Van der Tuuk juga melaporkan
bahwa orang Sunda punya naskah berbahasa Jawa yang ditulis dalam aksara Arab.
Apapun bahasanya, jika sebuah teks dituliskan dalam aksara Arab, akan dilindungi dari
pencemaran. Namun pada paruh pertama abad ke-19, kombinasi antara bahasa dan
aksara itu membingungkan: baik naskah yang berbahasa Sunda maupun yang berhahasa

Jawa ditulis dalam aksara Jawa dan Arab. Aksara Sunda asli saat itu telah hilang.

6

Hasil pekerjaan Karel Frederik Holle (1829 – 1896) menghadirkan sebuah titik
balik.4 Dia datang ke Hindia Belanda pada 1843 serta mulai mempelajari budaya dan
bahasa pribumi sejak dia menjadi pegawai pemerintah pada 1846. Dia mulai tertarik
pada kebudayaan Sunda ketika dia mengundurkan diri dari tugas pemerintahan dan
membuka sebuah perkebunan teh di Cikajang (sekarang Garut) pada 1856. Dalam
pandangan Holle, bahasa Sunda digunakan masyarakat Sunda sebagai sebuah alat
tuturan, sedangkan bahasa Jawa dipakai sebagai alat penulisan. Menurutnya, tradisi
penulisan naskah di atas lontar sudah hilang bersama aksara Sunda aslinya setelah
digantikan oleh akrasa Jawa. Dia berkeinginan untuk membangkitkan kembali bahasa
Sunda sebagai sebuah bahasa yang melambangkan kebudayaan Sunda. Dia menulis:
Tradisi penulisan naskah tidak dikenal lagi untuk anak cucu sekarang, tetapi
sejak beberapa tahun belakangan ini mereka menulis dalam bahasa Sunda,
sebagai pengganti bahasa Jawa yang mengandung banyak kesalahan. Ya, saya
masih ingat tanggapan seorang bupati ketika saya katakan padanya bahwa
penghulu Garut telah mengarang sebuah puisi Sunda wawacan: “Itu tidak
mungkin. Bahasa Sunda itu bukan bahasa!” (Holle 1867: 451).

Holle pun rupanya mempunyai ide bahwa setiap kelompok etnis patut memiliki budaya
penulisan dalam bahasa mereka yang asli. Demi kebangkitan tradisi penulisan, Holle
mulai mencurahkan perhatian untuk memajukan masyarakat Sunda. Dia menyarankan
kepada para bangsawan Sunda agar mereka menulis cerita dalam bahasa Sunda. Sahabat
karibnya, hoofdpanghulu Limbangan Moehamad Moesa (1832–1886), adalah yang
paling produktif di antara orang yang menerima saran Holle. Teks-teks yang diseleksi
dan diedit Holle, yang pada umumnya merupakan buku-buku sekolah dan bacaan,
diterbitkan oleh kantor percetakan pemerintah, Landsdrukkerij, dengan dana pemerintah
pula. Pada 1860-an, ada 23 judul buku yang diterbitkan oleh pemerintah di bawah
pengawasan Holle.
Dalam usaha penerbitan itu tidak didiskusikan soal kesusastraan. Yang
dipertanyakan adalah karya tertulis mana yang paling cocok untuk dipilih dan
diterbitkan untuk digunakan di sekolah. Maksud penerbitan buku-buku bahasa Sunda,
bukan untuk mengedit karya-karya tertulis dalam bentuk naskah yang ada di masyarakat,
yang kiranya punya potensi nilai kesusastraan asli dan bisa bermanfaat untuk
mempelajari kebudayaan Sunda bagi para ahli, tetapi semata-mata demi kepentingan
4

Van den Berge telah melakukan penelitian mengenai K.F. Holle. Lihat Van den Berge (1998) untuk


7

pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Tujuan utama
pemerintah Belanda adalah untuk mengawasi masyarakat dan mengangkat ‘tingkat
peradaban’ mereka. Penelitian mengenai bahasa dan kesusastraan, oleh karena itu,
dilakukan bukan untuk maksud akademis, tetapi lebih dimaksudkan untuk alasan-alasan
praktis yang hasilnya bisa digunakan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan kolonial.
Pada 1863 pemerintah menugaskan D. Koorders untuk mengevaluasi buku-buku
sekolah yang sudah diterbitkan. Koorders adalah seorang sarjana dan langsung terlibat
konflik dengan Holle yang autodidak, yang pragmatis dalam metodenya. Penilaian
Koorders mengenai pekerjaan Holle sangatlah negatif: dia menganggapnya tidak cocok
untuk tujuan mengajarkan bahasa Sunda kepada masyarakat Sunda dengan sejumlah
alasan. Ia mengkritik, karena banyak buku ditulis dalam bentuk dangding, bentuk puisi
tradisional, maka buku sekolah itu tidak cocok untuk mengajarkan bahasa yang baik
(Koorders dalam Meinsma 1869: 260–264).

Koorders tidak berharap bahwa masyarakat

pribumi Hindia punya ‘kesusastraan’ yang sepadan dengan kesusatraan Belanda.
Kriteria penilaiannya terhadap buku-buku cetakan dalam bahasa Sunda adalah apakah

isinya cukup didaktis atau tidak, serta apakah pemakaian bahasanya benar atau tidak.
Dia tidak berusaha mengevaluasi buku-buku itu sebagai khazanah sastra: sebagai
seorang pegawai kolonial ia merasa bahwa Belanda harus dan bisa mengajarkan orang
Sunda bahasa Sunda yang baik. Ide itu tentu sangat aneh dan konyol, karena seolah-olah
orang Belanda mengetahui bahasa Sunda lebih baik daripada orang Sunda sendiri (cf.
Maier 1988).

Tidak Ada Kesusastraan?
Setelah usaha pertama menerbitkan buku-buku sekolah dalam bahasa Sunda, kalangan
sarjana Belanda mulai mendiskusikan buku cetakan itu dari segi artistik. Pencarian
‘kesusastraan’ dalam karya tertulis itu sia-sia, karena pemikiran mereka mengenai
‘kesusastraan’ sangat berbeda. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa karya-karya
tertulis dalam bahasa Sunda dari sudut pandang ‘sastra’ tidaklah bernilai.
Adalah Grashuis yang mulai membicarakan kembali mengenai nilai sastra
Sunda setelah topik tersebut diabaikan sejak pertama kali dimunculkan oleh Van der
Tuuk. Ini patut diperhatikan karena Van der Tuuk, yang mengatakan bahwa secara
teoritis kesusastraan atau tradisi penulisan dalam bahasa Sunda itu harus ada,

mengetahui lebih jauh karier, jasa, pemikiran Holle. Juga lihat Moriyama (2000).

8

menggunakan istilah letterkunde dan litteratuur secara bergantian tanpa membedakan di
antara keduanya. Memang pada awal abad ke-19, letterkunde adalah kata umum yang
maknanya kurang lebih ‘kesusastraan’, walaupun konsep ‘kesusastraan’ sendiri masih
samar-samar. Sementara litteratuur adalah kata baru yang dipinjam dari bahasa Prancis
(litterature). Namun konsep kesusastraan itu sendiri relatif pendatang baru bagi
peradaban Eropa pada abad ke-19. Dalam pandangan Belanda pada waktu itu, Prancis
superior bagi mereka dalam bahasa dan kebudayaannya. Mereka menerima istilah
litterature dari Prancis tanpa mencari definisi yang jelas, dan menganggap bahwa kata
itu adalah sesuatu yang terang dengan sendirinya. Akibatnya, di Belanda baik istilah
letterkunde maupun litteratuur dipakai tanpa memiliki sebuah definisi yang jelas
mengenai kesusastraan. Kalangan sarjana Belanda mencoba menerapkan konsep mereka
mengenai ‘kesusastraan’ untuk karya-karya tertulis pribumi tanpa memperjelas istilah
itu. Akhirnya, baik Grashuis maupun Van der Tuuk, tidak bisa menemukan
‘kesusastraan’.
Grashuis yang awalnya dikirim ke Jawa Barat sebagai penerjemah Injil,
kemudian dilantik sebagai dosen bahasa Sunda di Universitas Leiden pada 1877. Dia
datang untuk menemukan litteratuur dalam budaya penulisan Sunda, tetapi gagal
menemukan seninya. Seperti diungkapkan dalam kata-katanya, “[Karya-karya tertulis
Sunda] kekurangan nilai artistik”. Kemudian ia melanjutkan argumentasinya dalam
pengantarnya untuk sebuah antologi karya-karya dalam bahasa Sunda:
Walaupun karya-karya tertulis itu penting dari pandangan linguistik, tetapi
karya-karya tersebut tidak bisa disebut sebagai karya sastra. Puisi-puisi itu
hanya besajak, juga prosa yang nilainya rendah (Grashuis 1881: xi).
Pendapat Grashuis tentang karya-karya tertulis dalam bahasa Sunda itu tetap konsisten
sejak antologi pertama diterbitkan pada 1874. Di situ dia menyebutkan bahwa puisi
Sunda adalah pemalsuan belaka dari puisi Jawa dan hanya menunjukkan pengaruh
Islam yang mendalam di dalamnya (Grashuis 1874: iv). Di samping puisi, ada pula
beberapa karya tertulis dalam bentuk prosa yang dimaksudkan sebagai bahan pelajaran.
Menurut Grashuis, seni dan ilmu pengetahuan tak pernah tumbuh subur di
wilayah tuturan Sunda, karena sejak jatuhnya Kerajaan Sunda orang Sunda kehilangan
kerajaan dan tempat yang bisa difungsikan sebagai pusat kebudayaan dan dapat

9

berperan sebagai patronase kesenian.

5

Dia selalu membandingkan bahasa dan

kesusastraan Jawa dengan Sunda, dan selalu menganggap yang terakhir inferior.
Patut disayangkan bahwa Grashuis tidak bisa menemukan nilai artistik dalam
karya-karya bahasa Sunda dan tidak bisa menikmati apa yang dia temukan, meskipun
dia sangat menguasai bahasa Sunda. Betapa tersiksanya jika harus membaca begitu
banyak karya-karya tertulis tanpa emosi dan kegembiraan dan hanya menelitinya dari
segi ilmu bahasa saja. Tetapi sikap para sarjana Belanda yang demikian pada saat itu
dianggap sebagai sikap akademis yang wajar.
Walaupun Grashuis berpendapat bahwa kebudayaan Sunda tidak memiliki
“karya seni sastra” (litterarisch kunstvoorbrengselen), dia sempat menyusun tiga
antologi karya-karya Sunda yang berbeda dari korpus-korpus teks yang diperolehnya.6
Dia juga bekerja untuk tujuan memperkaya pengetahuan bahasa-bahasa pribumi di
wilayah Hindia. “Bahasa Sunda tidak kurang layak sebagai sebuah objek studi seperti
halnya bahasa Jawa,” demikian dikemukakannya dalam pengantar antologinya yang
pertama (1874: xiii). Dia bermaksud menyusun buku itu untuk dijadikan buku pelajaran
bagi siapa saja yang ingin mempelajari bahasa di Jawa Barat, khususnya untuk
kebutuhan pejabat kolonial yang dilatih di Delft dan kemudian di Leiden. Pemilihan
bahasa dalam buku pelajaran itu menekankan bahasa Sunda yang ‘murni’, yakni bahasa
Sunda yang relatif bebas dari pengaruh bahasa lain seperti Jawa, Melayu, dan Belanda.
Padahal bagi pendahulu-pendahulu Grashuis, kemurnian hanya masalah pemilihan
dialek Sunda yang lebih halus dari beberapa dialek yang ada. Dia juga mengklaim telah
memilih teks-teks yang ‘murni’ dalam gaya bahasanya, walaupun kriteria yang dia
gunakan untuk menentukan kemurnian tidaklah jelas. Dengan kata lain, buku-buku itu
tidak menyajikan pemakaian bahasa sastra yang sifatnya indah dan anggun, karena tidak
layak untuk mendidik calon pegawai pemerintah.
Dalam antologinya itu, Grashuis juga menekankan keberagaman. Dia memilih
surat-surat, dongeng dan cerita-cerita Islam dari sumber-sumber naskah, juga cerita dari
buku-buku cetakan, termasuk sebuah terjemahan Sunda dari Robinson Crusoe karangan
Defoe. Dia tidak memuat puisi dalam antologinya, karena dia berpendapat bahwa

5

Keraton memainkan peranan penting dalam memelihara kebudayaan lokal di kepulauan Nusantara.
Studi-studi bahasa pada abad ke-19 di Hindia Belanda dilakukan di dalam lingkungan dan di sekitar
pusat-pusat kebudayaan seperti itu (Putten 1995: 53).
6
Antologi tersebut adalah Soendanesch leesboek yang diterbitkan tahun 1874, Soendanesche bloemlezing,
Fabelen, brieven en verhalen terbit tahun 1881, serta Soendanesche bloemlezing, Legenden en
Moeslimsche leerboekjes yang terbit tahun 1891. Semuanya diterbitkan oleh A.W. Sijthoff di Leiden.

10

pelajar tidak dapat mempelajari penggunaan bahasa yang benar dari puisi. Namun dia
memasukkan semacam puisi naratif yang disebut wawacan. Memang faktanya
wawacan sangat populer di kalangan masyarakat Sunda pada paruh kedua abad ke-19,
dan pola serta gaya bahasanya sangat penting untuk mempelajari bahasa Sunda. Tetapi,
Grashuis hanya memasukkan sedikit saja dari wawacan, yang pada dasarnya hanya
untuk bahan perbandingan. Dia pun rupanya melihat kecil sekali nilai artistik yang
terkandung dalam wawacan. Dalam pengantar untuk antologinya yang terakhir, dia
mengatakan bahwa “Ini adalah sebuah ketimpangan yang dalam antara puisi kita
dengan puisi Sunda” (welke eene diep klove er gaapt tusschen onze poëzie en die der
Soendanezen), yang satu seni dan yang satunya lagi bukan (Grashuis 1891: v – vi).
Pemikiran ini tidak dibantah oleh kebanyakan sarjana Belanda lainnya.
Pendapat Grashuis mengenai khazanah tulisan Sunda akhirnya diterima secara
umum. 7 Pendapat itu, misalnya, dimuat dalam Encyclopaedie van Netherlandsch Oost
– Indië, yang diterbitkan dalam empat jilid pada tahun 1905, dan direvisi menjadi
delapan jilid dari 1917 hingga 1939. Ensiklopedi Hindia Belanda yang tebal itu
melingkupi pandangan dan pengetahuan para pejabat dan sarjana Belanda yang
mengamati Hindia Belanda, termasuk bahasa dan ‘kesusastraan’ Sunda. Ensiklopedi ini
digunakan sebagai buku pedoman. Setiap orang dapat menemukan apapun dalam
ensiklopedi besar ini. Ensiklopedi ini seolah-olah punya kekuatan magis untuk
menyelesaikan berbagai masalah dan menjawab berbagai pertanyaan. Sekali sebuah
paparan memperoleh penilaian yang sah dan otoritatif, maka akan terus dikutip dan
dikutip, hingga diakui tanpa argumen. Di bawah kata entri Soendaneesch ensiklopedi itu
menerangkan sebagai berikut:
Ini tidaklah mengherankan jika di masa lalu orang Sunda tidak bisa
menghasilkan apa yang patut disebut kesusastraan. Pengarang-pengarang
Sunda lama-kelamaan mulai menghasilkan beberapa puisi, dengan kata yang
lebih tepat, tulisan yang berirama dengan meniru puisi gaya baru dari tradisi
Jawa. Tetapi, dalam karya-karyanya itu tak terdapat nilai artistik yang sejati
dan hanya layak diperhatikan sebagai bukti pengaruh Islam pada masyarakat
Sunda di pulau Jawa selama lebih dari empat abad (Encyclopaedie 1921: jilid 4, 20).
Penjelasan pada kata entri dari edisi tahun 1905 tidak direvisi pada edisi tahun 1921:
diulang kata per kata. Jadi, pendapat resmi mengenai kesusastraan Sunda tidak berubah,

7

Tetapi ada yang tidak sependapat dengan pemikiran Grashuis ini. Misalnya, seorang pendeta Protestan
S. Coolsma yang kemudian menyusun kamus bahasa Sunda-Belanda. Lihat Moriyama (2003: 29-31).

11

mungkin karena kurangnya ahli-ahli Belanda untuk sastra Sunda, dan mungkin juga
karena kurangnya pengetahuan mereka.
Pandangan yang cacat ini dimasalahkan oleh Memed Sastrahadiprawira,
cendikiawan Sunda yang terkenal serta dihormati. Dia menentang pandangan mengenai
kesusastraan Sunda dalam sebuah artikel yang dimuat di Djawa, jurnal Java Instituut,
berjudul “Over de waardeering der Soendaneesche litteratuur” (Tentang evaluasi
kesusastraan Sunda):
Pertama, penilaian Grashuis, […] bahwa orang Sunda tidak memiliki
kesusastraan dalam arti yang patut menurut istilah itu, tidaklah sesuai dengan
kenyataan;
Kedua, pernyataan bahwa puisi yang ada seluruhnya tidak mempunyai nilai
artistik itu menunjukkan kekurangan pengetahuan para penilai, oleh karena itu
tidak bisa mengapresiasi sesuatu yang indah, lagi pula dia memakai kriteria
yang tidak cocok.
Dalam ensiklopedi, kesalahan bisa jadi berkepanjangan, tetapi kami tetap
berharap bahwa sebuah penilaian, baiknya lagi apresiasi, akan dibuat
berdasarkan pengetahuan yang mendalam dan pemahaman yang bersimpatik
(Sastrahadiprawira 1929: 21).

Perlu diperhatikan bahwa Sastrahadiprawira menulis artikel itu dalam bahasa Belanda,
bukan dalam bahasa Sunda atau Melayu. Dia protes terhadap orang Belanda, pemegang
kekuasaan yang nyata di Hindia Belanda waktu itu. Di sisi lain, dengan terlibat debat
dengan para sarjana Belanda, dia menyuarakan dirinya keluar dari tradisi orang Sunda
dan mengasingkan dirinya dari orang sebangsa. Dia mengemukakan pendapatnya
memakai teori atau istilah studi Indonogi yang dibentuk oleh para sarjana Belanda, dan
menggunakan paradigma yang sama dengan mereka.8
Sastrahadiprawira mengeluhkan bahwa evaluasi negatif mengenai kesusastraan
Sunda tidak berubah sejak penerbitan pertama ensiklopedi dan menunjukkan asal-usulnya
dari antologi Grashuis tahun 1874. Dia juga menunjukkan bahwa sekitar 150 buku Sunda
telah

diterbitkan

sebelum

1921,

tahun

di

mana

ensiklopedi

direvisi.

Dia

mendemonstrasikan kekayaan litteratuur Sunda dengan membuat daftar nama pengarang
seperti Moehamad Moesa, Moehamad Soe’éb, dan Aria Bratadiwidjaja. Dia mengkritik
penulis-penulis ensiklopedi karena penilaiannya yang cacat dan ketidakcukupan
pengetahuannya. Namun apa yang dimasukkan ke dalam kategori litteratuur tidaklah
jelas juga baginya. Sastrahadiprawira mendiskusikan ‘kesusastraan’ Sunda hanya dalam
8

Di beberapa hal, Sastrahadiprawira dapat dibandingkan dengan Poerbatjaraka yang mengkritik
Ranggawarsita (Tsuchiya 1990: 107–108).

12

konteks pemikiran Belanda mengenai litteratuur. Ini suatu ironi: dia tidak membahas
kesusastraan Sunda dalam terminologi dan pemikirandari budaya seni sastra Sunda
sendiri.
Konsep ‘kesusastraan’ Sunda inilah yang kemudian diambil alih oleh peneruspenerus Sastrahadiprawira yang juga gagal mendalami dan menuliskan seni sastra mereka
sendiri dalam terminologi yang berbeda dari sarjana Belanda. Mereka hanya
menggantikan istilah litteratuur dengan ‘kesusastraan’ tanpa mendefinisikan dengan jelas
kriterianya. Tradisi penyamaran definisi ini diwariskan dari ‘tuan besar’ kolonial, dan
dilanjutkan untuk mempengaruhi pemikiran kesusatraan Sunda modern.
Kepincangan pemikiran kesusastraan Sunda modern
Apakah benar lama-kelamaan orang Sunda sendiri kehilangan pemikiran mengenai seni
sastra mereka yang asli atau berhenti memikirkannya? Mereka tentunya memiliki
pemikiran kesusastraan mereka sejak zaman dahulu. Oleh karena masuknya pemikiran
baru dan adikuasa dari Barat terjadi suatu retak dalam kontinuitas pemikiran sastra tanpa
disadarinya. Proses itu diperkuat dan diteruskan oleh kaum intelek Sunda yang dididik
dalam institusi pendidikan Belanda. Mereka menerima saja nilai atau pemikiran sastra
yang diberikan dalam pelajaran di sekolahnya. Discourse mengenai dangding9, suatu
bentuk sastra Sunda yang diimpor dari tradisi sastra Jawa, memberi suatu contoh yang
menarik untuk meninjau pembentukan pemikiran kesusastraan Sunda modern.
Sejak pertengahan abad ke-19 pengetahuan mengenai bahasa dan ‘kesusastraan’
Sunda dikumpulkan dan diformasikan oleh pegawai pemerintah, sarjana dan pengusaha
perkebunan orang Belanda secara serius. Pengetahuan yang diformasikan itu diterima
begitu saja oleh orang Sunda, khususnya yang mendapat pendidikan di sekolah Belanda.
R. I. Adiwidjaja adalah contoh yang baik. Dia menjadi guru bahasa Sunda dan Melayu
di Sekolah Guru Bandung dan juga seorang tokok kritik sastra terkemuka pada paruh
pertama abad ke-20 (Nataprawira [1955]). Dia memainkan peranan penting dalam hal
penyebaran hasil pengetahuan mengenai kesusastraan modern ala Belanda terhadap
orang Sunda. Dalam suatu tulisannya dia mencoba menjelaskan makna kata gedicht
(puisi) yang berasal dari bahasa Belanda sebagai berikut:

9

Istilah ini pun tidak umum dipakai oleh sarjana Belanda pada abad ke-19. Mereka menyebutnya
tembang, tanpa mencari istilah Sunada sendiri.

13

Rupanya masih banyak orang Sunda yang belum mengerti benar apa arti kata
gedicht (bahasa kebujanggaan) yang disebut oleh orang Belanda. Dikiranya
gedicht itu hanya diartikan untuk tembang saja. Pemikiran begitu tidak salah
sama sekali, karena puisi Sunda pada dasarnya terdiri dari dangding. […]
Uraian yang mengandung pikiran bujangga, bagus susunannya, beres
bersajaknya, ketat dan berhati-hati diatur kata-katanya, yaitu disebut gedicht
(bahasa kebujanggaan, bahasa poetis).10
Koe panginten, masih keneh seueur oerang Soenda, anoe hanteu atjan
tarerangeun leres, naon ari noe koe oerang Walanda disebat gedicht (basa
kaboedjanggan). Njangkana gedicht teh moeng woengkoel kana tembang bae.
Eta panjangka kitoe teh, henteu lepat-lepat teuing, margi kawen Soenda
gelarna babakoena dina dangding. [...] Omongan anoe ngandoeng pikiran
boedjangga, kawoewoeh sae bangoenna, beres gekgekanana, rapat
raprapanana mamanisna basa, tah eta noe disebatna gedicht (basa
kaboedjanggan, basa kawen) teh (Adiwidjaja 1926: 6-7).
Untuk mendefinisikan kata gedicht, sekaligus Adiwidjaja menerangkan puisi Sunda dan
dangding. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dangding tetap menduduki posisi
pusat dalam jenis-jenis bentuk puisi Sunda, tetapi juga Adiwidjaja mencoba
mempersatukan pemikiran Belanda dan pemikiran Sunda serta menerangkan puisi
dalam kerangka konsep orang Belanda. Ada kesan makna kata gedicht itu bagi
Adiwidjaja tidak hanya terbatas pada puisi tetapi seni sastra secara keseluruhan, walau
puisi itu ada di pusat dalam sejumlah seni sastra itu. Percobaan Adiwidjaja itu tidak bisa
dikatakan berhasil karena seperti para intelektual lainnya dia pun tidak sadar betul akan
adanya perselisihan pemikiran mengenai puisi antara orang Sunda dan orang Belanda.
Tetapi Adiwidjaja rupanya merasa puas dengan pengetahuan yang dipelajarinya di
sekolah seperti halnya dengan cendikiawan Sunda lainnya. Penjelasan dan definisi
istilah tentang kesusastraan Sunda terus diulang secara persis untuk selanjutnya, atau
dengan sedikit pertukaran kata-kata. Bahan yang sama digunakan dari zaman ke zaman
sampai setelah Perang Dunia Kedua pula. Kritikus atau sastrawan Sunda yang
menerima pendidikan Belanda menulis buku-buku pelajaran atau tulisan mengenai
kesusastraan tanpa merefleksikan pemikiran seni sastra mereka sendiri.11
Tetapi ini tidak berarti semua orang Sunda tidak sadar dan puas dengan hasil
formasi pemikiran kesusastraan modern. Ada yang merasa sesuatu yang tidak cocok
dalam pemikiran itu menurut pemahaman dan konsep mereka mengenai seni sastra.
10

Kata ‘omonga’ di dalam kutipan ini berarti uraian, tetapi pada akhir abad ke-19 kata itu diartikan
prosa yang dikreasi oleh anak Moehamad Moesa, Kartawinata. Lihat Moriyama (2003: 133-136).

14

Misalnya, kritikus Sunda terkemuka Ajip Rosidi mengungkapkan pendapatnya yang
menarik tentang posisi dangding yang istimewa dalam khazanah kesusastraan Sunda
sambil mengkritik generasi lama (dia menyebutnya ‘mereka’) yang menerima
pendidikan Belanda sebagai berikut:
Dan bentuk puisi Sunda jang asli, warisan leluhur Sunda jang katanja sudah
tinggi kebudajaannja, menurut mereka adalah...dangding! Dan bentuk sastra
tertinggi warisan leluhurnja menurut mereka adalah....wawatjan! Dangdinglah
jang paling tepat dengan susunan bahasa, perasaan dan alundjiwa orang Sunda.
Dangdinglah jang mendjadi warisan karuhun Sunda. Dangdinglah bentuk puisi
jang mutlak dalam kesusastran Sunda. […] Tadi sudah saja katakan, bahwa
dangding bukanlah bentuk kesusastran Sunda jang asli. Dangdingpun
pengaruh dari luar, jaitu diimpor dari ..... kesusastran Djawa, kira-kira dimulai
pada djaman Sultan Agung bertahta di Mataram (1613-1645 M.). Djadi
usianja dalam kesusastran Sunda paling lama baru tiga abad sadja. Tidak
mustahil dangding sebagai bentuk puisi baru umum dan diterima dalam
masjarakat Sunda, dalam waktu satu atau satu setengah abad jang terahir sadja
(Rosidi 1966: 55).

Ajip Rosidi menolak pandangan dangding yang diformasikan dan dipertahankan sejak
zaman kolonial sebagai hasil kreasi kolonial. Sedangkan, 30 tahun kemudian dia
menunjuk lagi pengaruh konsep orang Eropa dalam khazanah kesusastraan Sunda
secara jelas, tetapi kali ini dia tidak merasa aneh lagi.
Kata puisi itu bukan Sunda asli. Itu digunakan untuk menyebut suatu golongan
ekspresi bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari yang disebut basa
lancaran atau prosa. Pembagian ekspresi bahasa ke dua golongan, puisi dan
prosa, mengikuti orang Belanda (Barat) yang membagi sastranya ke poezie
dan prosa; […] Pembagian dua ke puisi dan prosa itu sekarang sudah menjadi
lumrah dalam setiap bahasa dan lingkungan budaya.
Kecap puisi lain pituin Sunda. Digunakeun pikeun nyebut hiji golongan
ésprési basa anu béda tina basa sapopoé nu disebut basa lancaran atawa prosa.
Ngabagi ésprési basa kana dua golongan, puisi jeung prosa, téh nurutan urang
Walanda (Barat) anu ngabagi sastrana kana poezie jeung proza; [...] Ngabagi
dua basa kana puisi jeung prosa téh, ayeuna mah geus ilahar dina unggal basa
jeung lingkungan budaya (Rosidi 1995: 3).
Jelas, Ajip Rosidi menyadari jejak-jejak pemikiran Belanda dalam pemahaman
kesusastraan Sunda modern, dan seolah-olah terhenti usaha untuk memahami seni sastra
dengan konsep dan istilah orang Sunda sendiri. Dikotomi antara prosa dan puisi yang
diterapkan sejak pertengahan abad ke-19 itu sudah tidak asing lagi dalam pemikiran
11

Discourse kolonial mengenai kesusastraan seperti itu terdapat juga dalam kesusastraan Melayu, yang

15

kesusastraan orang Sunda. Memang, pada umumnya dikotomi itu dianggap baik dan
berguna untuk memahami karya-karya tertulis selama ini. Tetapi masih tetap harus
dimasalahkan apakah semacam pembagian sastra yang berasal dari Barat itu betul-betul
relevan and cocok untuk menerangkan dan memahami budaya seni Sunda?
Bagaimanapun, apakah pembagian karya tertulis ke dua golongan itu punya sifat
kesewenangan?
Buktinya, pernah ada orang Sunda yang berpendapat lain daripada pembagian
prosa-puisi itu. Dia memakai nama samaran sebagai Goeroe. Dalam suatu tulisan di
sebuah majalah pada tahun 1926 dia membagi budaya seni sastra Sunda dalam tiga
kategori sebagai berikut:
Kalau menurut peraturan bahasa, jadi kesusastraan Sunda dapat diatur 3
bagian: pertama prosa, kedua tembang (wawacan) dan ketiga semacam
tembang tapi yang tidak begitu terikat oleh aturan banyaknya bunyi atau suara
akhirnya: seperti sisindiran, kawih, doa nyawer dan kakawihan anak.
Lamoen noeroetkeun atoeran basa, djadi kasoesastran Soenda beunang diatoer
didjieun 3 bagian: kahidji basa diladjoer, kadoea tembang (wawatjan) djeung
ka tiloe sabangsa tembang noe teu pati katalian koe atoeran reana engang
atawa sora toengtoengna, saperti: sisindiran, kawih, doa njawer djeung
kakawihan baroedak (Goeroe 1926: 14).
Yang penting di sini adalah pernah ada pemikiran alternatif di masyarakat Sunda,
walaupun pembagian tiga golongan ini tidak berkembang sesudahnya. Sementara itu,
belum pernah dibuat suatu inventaris karya-karya sastra. Rupanya, orang Sunda tidak
merasa perlu untuk mengklasifikasikan sejumlah karya-karya sastra.
Baru saja pada tahun 1980-an inventaris karya-karya sastra. Rupanya, orang
Sunda tidak merasa perlu untuk mengklasifikasikan disusun suatu inventaris naskahnaskah Sunda yang ada sekarang baik di luar negeri maupun dalam negeri oleh Ekadjati.
Terdapat 1831 buah naskah yang diinventarisasi menurut isi naskahnya, dan diberi
keterangan tentang bentuk tulisannya, apakah puisi atau prosa. Tidak kurang penting
adalah judul naskah masing-masing yang punya potensi untuk membantu memahami
khazanah tulisan yang ada secara lebih mendalam.. 12 Untuk itu setiap kelompok

ditunjukkan oleh Amin Sweeney (1987: 291).
12
Kita bisa mendapat seperti kitab, suluk, wawacan, kawih, carios, carita, babad, parimbon or
paririmbon, dongeng, lalakon, pantun, serat or surat, sajarah or sejarah, silsilah, jampe, sawer, doa,
mantera, catatan, ilmu, mistik, risalah or risalat, buku, kidung, hikayat, layang, kanda, tarekat sebagai
judul naskahnya. Ada pula istilah yang berasal dari sastra Jawa suluk, babad, parimbon/paririmbon,
lalakon, kidung, layang, dan kanda, sedangkan kitab, carios/carita (cerita), dongeng, serat/surat,

16

mesyarakat yang menjadi pemilik dan pewaris dari budaya dan sastra lokal selayaknya
mempunyai refleksi dan penilaian mandiri terhadap kesusastraannya.

Daftar Pustaka
singkatan:
AVSS: Algemeen Verslag van den Staat van het Schoolwezen in Nederlandsch-Indie
Adiwidjaja, I., 1926. ‘Gedichten (Basa kaboedjangan, basa kawen)’, Poesaka-Soenda
4(1): 6-11.
AVSS onder ultimo december 1852,, 1853. Batavia: Landsdrukkerij.
Bakhtin, Mikhail Mikhailovich, 1981. The Dialogic Imagination, Austin: University of
Texas Press.
Berge, Tom van den, 1993. Van Kennis tot Kunst, Soendanese Poezie in de Koloniale
Tijd, Dissertation, State Universiteit of Leiden.
----, 1998, Karel Frederik Holle, Theeplanter in Indie 1829-1896, Amsterdam: Bert
Bakker.
Crawfurd, J. F.R.S., 1820. History of the Indian Archipelago, 3 vols. London: Hurst,
Robinson, and Co.
Ekadjati, E.S. ed. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung:
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Tokyo: The Toyota Foundation.
----; Undang A. Darsa, 1999. Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga. Katalog Induk
Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; Ecole
Francaise D’Extreme-Orient.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. 1905. 4 vols, s’-Gravenhage: Nijhoff, Leiden:
Brill.

sajarah/sejarah, silsilah, catatan, ilmu, mistik, risalah/risalat, buku, hikayat, dan tarekat adalah istilahistilah berasal dari kesusastraan Melayu.

17

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. 1917-1939. 2nd. edition. 4 vols and 4
suppliments. [s’-Gravenhage: Nijhoff, Leiden: Brill].
Goeroe, 1926. ‘Kasoesastran Soenda’, Poesaka-Soenda 4 (1): 11-16.
Grashuis, G.J. 1874. Soendaneesch Leesboek, Leiden: A.W. Sijthoff.
-----. 1881. Soendanesche Bloemlezing, Leiden: A.W. Sijthoff.
-----. 1891. Bijdrage tot de Kennis van het Soendaneesch, Leiden: A. W. Sijthoff.
Holle, K.F., 1867. ‘Vlugtig Berigt omtrent eenige Lontar-Handschriften, Afkomstig uit
de Soenda-Landen, door Raden Saleh aan het
Bataviaasch
Genootschap
van K. en W. ten geschenke gegeven, met toepassing van de inscriptiën van
Kwali’, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 16: 450-470.
Maier, H.M.J., 1988. In the center of Authority, Ithaca: Cornell University.
Meinsma, J.J., 1869. ‘Iets uit de Nalatenschap van Mr.D.Koorders’, Bijdragen tot de
Taal- Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië 4 (3): 253-397.
Moriyama, Mikihiro, 1996. ‘Discovering the 'language' and the 'literature' of West Java:
an introduction to the formation of Sundanese writing in 19th century West Java’,
Southeast Asian Studies 34 (1): 151-83.
-----, 2000. ‘Moehamad Moesa, print literacy, and the new formation of knowledge in
nineteenth-century West Java’, Indonesia and the Malay World 28 (80): 5-21.
-----, 2003. A New Spirit: Sundanese Publishing and the Changing Configuration of
Writing in Nineteenth-Century West Java, Dissertation, State Universiteit of
Leiden.
Nataprawira, P., [1955]. Riwajat Opat Budjangga Sunda: Katut Tjutatan tina Karangankarangan anu Marunel, Bandung.
Putten, Jan van der, 1995. ‘Taalvorsers en hun informanten in Indie in de 19e eeuw. Von
de Wall als politiek agent in Riau?’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 151 (1): 44-75.
Rigg, J. 1862. A Dictionary of the Sundanese Language of Java. (Verhandelingen van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 29), Batavia: Lange.
Rosidi, Ajip, 1966. Kesusastran Sunda Dewasa Ini, Bandung: Tjupumanik.
-----, 1995. Puisi Sunda jilid 1, Bandung: CV Geger Sunten.
Sastrahadiprawira, Memed, 1929. ‘Over de waardeering der Soendaneesche literatuur’,
Djawa 9: 16-21.
Sweeney, Amin, 1987. A Full Hearing. Orality and literacy in the Malay world, Berkeley,
Los Angeles, London: University of California Press.
Tsuchiya, Kenji, 1990. ‘Javanology and the Age of Ranggawarsita, An Introduction to
Nineteenth-Century Javanese Culture’, in Reading Southeast Asia, pp. 75-108,
Ithaca: Cornell University.
Tuuk, H. Neubronner, van der, 1851. ‘Varia, De Soendsche letterkunde’, Tijdschrift voor
Nederlandsch Indië 13 (1): 340-342.
Wilde, A. de, 1841. Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek, edited by Taco
Roorda, Amsterdam: Johannes Muller.