Pengelolaan Pertanian Tanaman Pangan di

PENGELOLAAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN
DI INDONESIA BERBASIS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah
Pengelolaan Sumber Daya Lahan (GG612)

Dosen Pengampu Mata Kuliah :
Prof. DR. Darsiharjo, M.S.

Oleh :
Tri Widodo NIM. 1502307
Kelas A

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN GEOGRAFI
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2016

A. Problematika Pengelolaan Lahan Pertanian di Indonesia
Hasil komoditas pertanian Indonesia sudah dikenal sampai ke

mancanegara, bahkan jauh sebelum negara Indonesia berdaulat. Komoditas
pertanian Indonesia telah mecatatakan sejarah panjang mulai dari masa pra
sejarah, kerajaan, kolonialisme Bangsa Eropa, pasca kemerdekaan, dan
sampai sekarang bad ke-21. Bahkan hasil komoditas pertanian inilah yang
membuat bangsa portugis ingin menguasai nusantara karena kualitas dari
komoditas pertanian rempah-rempah yang dihasilkan. Kemudian diikuti oleh
perusahaan Hindia Timur Belanda Verenigde Oostindische Compagnie
(VOC) untuk mengelola lahan pertanian Indonesia. Setelah masa
kemerdekaan Indonesia mulai berkomitmen untuk melakukan swasembada
pangan, dengan melakukan kegiatan intensif di bidang pertanian. Namun
seiring kemajuan teknologi saat ini kegiatan pertanian mulai terdegradasi
oleh aktifitas industri.
1. Sosial Budaya Petani Indonesia
Kondisi sosial budaya petani merupakan masalah utama dalam sektor
pertanian di dalam pembangunan nasional dan kemampuan sektor tersebut
untuk bersaing pada masa yang akan datang. Berdasarkan data hasil sensus
penduduk oleh BPS tahun 2010, sebagian besar penduduk miskin (64,65 %)
bekerja di sektor pertanian, kemudian dari 107,41 juta orang penduduk
Indoesia yang bekerja, 42,83 juta (39,88 %) bekerja di Sektor Pertanian.
Berikut ini merupakan data tentang profil petani di Inonesia dari hasil sensus

pertanian pada tahun 2013.
Tabel 1. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian
No
1
2
3
4
5
6
7
Jumlah

Subsektor
Tanaman Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Peternakan
Perikanan
Kehutanan
Jasa Pertanaian


Sensus Pertanian Tahun
2003
2013
18.708.052
17.728.162
16.937.617
10.602.142
14.128.539
12.770.571
18.595.824
12.969.206
2.489.681
1.975.249
6.827.937
6.782.956
1.846.140
1.078.308
31.232.184
26.135.469


Perubahan %
-5,24 %
-37,40 %
-9,61 %
-30,26 %
-20,66 %
-0,66 %
-41,59 %
-16,32 %

Sumber : BPS, 2013
Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia hasil sensus
pertanian 2013 tercatat sebanyak 26,14 juta rumah tangga, menurun sebesar
16,32 persen dari hasil sensus pertanian 2003 yang tercatat sebanyak 31,23
juta rumah tangga. Subsektor Tanaman Pangan terlihat mendominasi usaha
1

pertanian di Indonesia. Angka jumlah rumah tangga usaha pertanian di
Indonesia mengalami penurunan sejak empat puluh tahun terkahir hasil

sensus pertanian 1983 tercatat sebanyak 19,50 juta rumah tangga, dan sensus
pertanian 1993 yang tercatat sebanyak 21,48 juta rumah tangga. Perbedaan
pendapatan yang diterima oleh orang yang bekerja di sektor pertanian
berkaitan erat dengan produktivitas para petani Indonesia, yang tidak dapat
dilepaskan dari berabagai faktor antara lain luas lahan yang dimiliki,
kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
Gambar 1.
Grafik Rumah Tangga Usaha Pertanian

Jumlah Rumah Tangga
(dalam juta)

Rumah Tangga Usaha Pertanian
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0

0.0

Tahun

1883

1993

2003

2013

19.5

21.4

31.2

26.1


Sumber : BPS, 2013
Grafik tersebut menunjukan penurunan angka jumlah rumah tangga
usaha pertanian, sehingga usaha rumah tangga Indoesia sudah mulai beralih
ke usaha selain sektor pertanian. Berikut ini merupakan data tentang jumlah
rumah tangga usaha pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai
dari hasil sensus pertanian pada tahun 2013.
Tabel 2. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Golongan Luas
Lahan yang dikuasai, Sensus Pertanian 2003 dan Sensus Pertanian 2013
No

Golongan Luas Lahan (m2)

1
2
3
4
5
6
7


30.000

Sensus Pertanian Tahun
2003
2013
9.380 300
4.338.847
3.602 348
3.550.185
6.816 943
6.733.364
4.782 812
4.555.075
3.661 529
3.725.865
1.678 356
1.623.434
1.309 896
1.608.699


Perubahan %
-53,75
-1,45
-1,23
-4,76
1,76
-3,27
22,81

Sumber : BPS, 2013
2

Hasil sensus pertanian 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga usaha
pertanian paling banyak menguasai lahan dengan luas antara 0,20–0,49 Ha,
yaitu sebanyak 6,73 juta rumah tangga. Berbeda dengan yang terjadi pada
sensus pertanian 2003 jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak
menguasai lahan dengan luas kurang dari 0,10 Ha, yaitu sebanyak 9,38 juta
rumah tangga.
Untuk rumah tangga usaha pertanian dengan luas lahan lebih dari 0,50
Ha hasil sensus pertanian 2003 adalah sebanyak 11,43 juta rumah tangga.

Angka ini sedikit meningkat (0,70 persen) pada sensus pertanian 2013, yaitu
menjadi sebanyak 11,51 juta rumah tangga. Hal yang menarik yang perlu
dicermati adalah masih terdapat rumah tangga usaha pertanian yang
menguasai lahan kurang dari 0,10 Ha pada sensus pertanian 2013, meskipun
jumlahnya menurun tajam dibanding sensus pertanian 2003.
Tabel. 3 Perbandingan Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan
Petani Gurem, Sensus Pertanian 2013
No
1
2

Sensus Pertanian
Pengguna Lahan
a. Petani Gurem
b. Bukan Petani Gurem
Bukan Pengguna Lahan

98.53 %
55.33 %
44.67 %

1.47 %

Sumber : BPS, 2013
Rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan ternyata mendominasi
rumah tangga usaha pertanian di Indonesia. Dari sebanyak 26,14 juta rumah
tangga usaha pertanian di Indonesia, sebesar 98,53 persen merupakan rumah
tangga usaha pertanian pengguna lahan (25,75 juta rumah tangga).
Sedangkan rumah tangga usaha pertanian bukan pengguna lahan hanya
sebesar 1,47 persen, atau sebanyak 384 ribu rumah tangga.
Rumah tangga pertanian pengguna lahan dapat digolongkan ke dalam
dua kelompok besar, yaitu rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha
pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,50 Ha) dan
rumah tangga bukan petani gurem (rumah tangga usaha pertanian pengguna
lahan yang menguasai lahan 0,50 Ha atau lebih). Hasil ST2013 menunjukkan
bahwa dari sebesar 98,53 persen rumah tangga usaha pertanian pengguna
lahan, sebesar 55,33 persennya (14,25 juta rumah tangga) merupakan rumah
tangga petani gurem, sedangkan rumah tangga bukan petani gurem sebesar
persen (11,50 juta rumah tangga).
3

Gambar 1.
Grafik Rumah Tangga Petani Gurem

Rumah Tangga Petani Gurem
Jumlah Rumah Tangga
(dalam juta)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
Tahun

1883

1993

2003

2013

9.6

10.1

19.8

14.6

Sumber : BPS, 2013
Grafik tersebut menunjukan penurunan jumlah rumah tangga petani
gurem selama empat puluh tahun terakhir, data ini diharapkan dapat
memberikan paradigma positif terhadap pembangunan ekonomi sektor
pertanian, karena pandangan mengenai petani miskin adalah rumah tangga
usaha petani yang tergolong kedalam petani gurem.
Tabel. 4 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin Petani Utama, ST2013
No
1
2
3
4
5
6
7

Kelompok Umur|
(tahun)
64
Jumlah

Laki-Laki
2.842
208.911
2.939.890
6.378.798
6.524.570
4.440.903
2.640.053
23.135.967

Perempuan
455
21.032
189.754
506.302
800.974
789.000
691.985
2.999.502

Jumlah
3.297
229.943
3.129.644
6.885.100
7.325.544
5.229.903
3.332.038
26.135.469

Sumber : BPS, 2013
Sama halnya bila dirinci menurut kelompok umur kepala rumah tangga,
kelompok usia produktif (kelompok umur petani utama 15–64 tahun) terlihat
mendominasi jumlah rumah tangga usaha pertanian. Tercatat sebanyak 22,80
4

juta rumah tangga usaha pertanian yang kelompok umur petani utamanya
antara 15–64 tahun. Jumlah rumah tangga usaha pertanian dengan kelompok
umur petani utama kurang dari 15 tahun, yaitu sebanyak 3.297 rumah tangga,
sedangkan jumlah rumah tangga usaha pertanian kelompok umur petani
utama di atas 64 tahun adalah sebanyak 3,33 juta rumah tangga.
Pembanguan sektor pertanian tidak bisa dipisahkan dari kondisi petani,
karena merupakan faktor utama (penentu) keberhasilan ketahanan pangan.
Sehingga diperlukan kualifikasi khusus bagi petani dalam pengetahuan
pengelolaan pertanian, meliputi kemampuan pemeliharaan tanaman,
pemasaran hasil panen, maupun pengelolaan produk lanjutan dari hasil
pertanian.
2. Alih Fungsi Lahan
Seiring bertambahnya jumlah penduduk dimuka bumi yang memiliki
kebutuhan akan tempat tinggal, makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya
menuntut untuk memanfaatkan sumber daya alam yang sudah tersedia, tetapi
kondisi ini sering tidak diikuti oleh pertambahan kuantitas dan kualitas
sumberdaya alam tersebut, sehingga mengakibatkan eksplotasi sumberdaya
alam. Kebutuhan akan tempat tinggal serta barang-barang lainnya yang
melibatkan kegiatan industri dalam proses produksinya mengkibatkan
fenomena alih fungsi lahan menjadi hal yang tidak bisa di hindari. Lahan
yang paling sering dialih fungsikan dalam mencukupi kebutuhan manusia
tersebut yaitu lahan pertanian. Fenomena ini dikarenakan lokasi lahan
pertanian di Indonesia khusunya menempati posisi yang strategis. Sehingga
perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan industri dan
permukiman merupakan problematika tersendiri dari kegiatan pertanian.
Kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri maupun
permukian di Indonesia, tidak sedikit yang melibatkan pemerintah atau unsur
pemegang kebijakan lainnya dalam pengambilan sebuah keputusan. Penulis
pada kesempatan ini mencoba memberikan sebuah contoh bagaimana proses
alih fungsi lahan yang melibatkan pihak pemerintah.
Seorang kepala daerah apabila dihadapkan pada sebuah kondisi tentang
persetujuan alih fungsi lahan pertanian (persawahan) seluas 5 ha menjadi
kawasan industri padat karya (industri tekstile) apakah akan menyapakatinya
atau tidak. Dua keputusan tersebut masing-masing akan menghasilkan
konsekensi yang berbeda yaitu:
a. Keputusan pertama
5

Apabila lahan pertanian tersebut tetap dipertahanakan sesuai fungsi asalnya
maka :
1) Lahan pertanian tersebut hanya akan mampu menghasilkan produksi 4050 ton gabah kering per tahun..
2) Menyerap ±50 orang tenaga kerja
3) Mengasilkan pendapatan asli daerah dari sektor pajak sebanyak Rp.
500.000 per tahun.
b. Keputusan ke Dua
Apabila lahan pertanian tersebut dialih fungsikan menjadi kawasan industri
maka :
1) Kawasan industri tersebut akan mampu menghasilkan ≥ 5.000.000 potong
pakaian per tahun.
2) Kawasan industri tersebut akan mampu menyerap ≥ 5.00 orang tenaga
kerja dari daerah asalnya.
3) Mengasilkan pendapapatan asli daerah dari sektor pajak sebanyak Rp.
≥50.000.000 per tahun.
Dua buah pilihan tersebut apabila dihadapkan kepada seorang kepala
daerah yang kurang memahami tentang pengelolan sumber daya lahan, pasti
akan memilih untuk mengalih fungsikan lahan pertanian tersebut menjadi
kawasan industri. Berbeda dengan seorang kepala daerah yang memahami
tentang pengolaan sumber daya lahan, pasti akan menolak tawaran untuk
mengalih fungsikan lahan pertanian tersebut menjadi kawasan industri. Hal
ini dasarai dengan pertimbangan diantaranya :
a. Pembangunan sebuah kawasan industri akan menggunakan banyak
sumber daya air, sehingga kebutuhan air untuk kegiatan rumah tangga
akan tertanggu
b. Polusi dan limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri akan berakibat
kurang baik terhadap lingkungan.
c. Sistim pembagian waktu kerja buruh pabrik di sektor industri biasanya
terdiri dari tiga shift yang terbagi menjadi tiga waktu masing-masing 8
(dalapan) jam per hari dan buruh pabrik yang bekerja pada malam hari
kondisi tubuhnya akan kurang baik jika dibandingkan dengan petani yang
bekerja dari pagi sampai sore.

6

d. Pemilik industri bisa kapan pun menutup perusahaanya yang
mengkibatkan hilangnya lapangan pekerjaan, dan juga meninggalkan
kerusakan lingkungan.
Berdasarkan contoh kasus yang disampaikan oleh penulis
menggambarkan bahwa pentingnya pengetahuan pengelolaan sumber daya
lahan dalam mengambil sebuah kebijakan.
3. Paradigma Industrialisasi
Paradigma pembangunan yang dominan sesudah memperoleh
kemerdekaan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah industrialisasi,
selain diharapkan dapat menangkat harkat hidup penduduk di negara-negara
yang sedang berkembang, secara politis industrialisasi juga bisa menyamakan
kedudukan negara-negara tersebut dengan negara-negara barat, yang
sebagaian besar adalah negara-negara yang pernah menjajah mereka. Akibat
dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan, maka
pembangunan sektor pertanian relatif ditelantarakan. Menjelang berakhirnya
abad ke-20, paradigma industrialisasi berubah termasuk di Indonesia yang
semula diprediksi akan menjadi negara industi, seketika berkahir pada saat
dilanda krisis moneter. Industri yang dibangun dengan investasi besar
terpaksa menghentikan produksi, karena meningkatnya ongkos produksi yang
disebabkan menurunnya mata uang rupiah terhadap mata uang dolar dan
mengakibatkan jutaan buruh industri kehilangan pekerjaan.
Peristiwa krisis moneter mengakibatkan kegagalan diberbagai sektor
namun kurang berdampak pada sektor pertanian, khususnya subsektor
perkebunan. Para petani coklat di Sulawesi justru mengalami keuntungan
karena kenaikan harga coklat dipasar internasinal. Ketahanan sektor
pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan perubahan pola pikir dari
pembangunan idustrialisasi menjadi pembangunan sektor pertanian.
Kemudian untuk membangun sebuah agro-industri yang mamapu menjadi
mesin pendorong pembangunan ekonomi dibutuhkan investasi yang tinggi
dan pada paraktiknya akan bersaing dengan negara-negara maju.
4. Pertanian dalam Lingkungan Global
Fenomena globalisasi bukanlah sebuah hal baru bagi petani Indonesia,
khususnya petani Pulau Jawa, jika golabalisasi tersebut diartikan sebagai
terintegrasinya petani dalam suatu prekonomian internasinal. Sejak
kedatangan VOC ke Indonesia, pemerintah Kolonial Belanda sudah
7

mengeluarkan kebijakan untuk petani pulau jawa menanam jenis tanaman
tertentu, yang hasilnya dijadikan komoditas ekspor untuk menghasilkan
devisa, dalam membiayai proses industrialisasi negeri Belanda.
Globalisasi yang juga melibatkan petani pada abad ke-21, dalam sistem
perdagangan internasional memiliki konsekuensi bahwa Indonesia bukan
hanya sebagai penghasil produk-produk pertanian tapi juga akan menjadi
pasar dari produk-produk pertanian dari negara lain (pasar bebas). Hal ini
berarti bahwa globalisasi adalah persaingan petani antar negara. Globalisasi
tidak mengizinkan suatu negara untuk menutup pasar dalam negeri mereka
bagi produk-produk partanian dari negara lain. Permasalahan mulai muncul
karena pertanian negara maju lebih modern dan efisien jika dibandingkan
dengan pertanian di negara-negara berkembang, sehinggga ketika pasar
negara berkembang harus membuka diri bagi produk-produk pertanian dari
negara maju, maka yang akan terjadi adalah persaingan yang tidak seimbang
antara dua jenis sektor pertanian dari dua negara dengan kemampuan
ekonomi dan kemajuan teknologi yang berbeda. Sehingga dalm pasar dalam
negeri maupun luar negeri produk-produk pertanian dari negara berkembang
akan terdesak oleh produk-produk pertanian dari negara maju. Keberhasilan
suatu proses pembangunan pertanian dalam era globalisasi akan sangat
bergantung pada penguasaaan teknologi pertanian oleh petani dan
kemampuan modal dari para petani.
Permasalahan lain di lingkungan perdagangan internasional yang
berpengaruh pada pengembangan pertanian negara-negara yang sedang
berkembang adalah “hak milik intelektual”, yaitu hak pemilik suatu
penemuan atau suatu karya. Hubungannya dengan pengembangan pertanian,
akan menyebabkan terjadinya monopoli oleh perusahaan multinasional,
terutama dalam hal penyedaiaan bibit unggul yang sangat dibutuhkan oleh
petani di negara-negara berkembang yang ingin meningkatkan produktivitas
usaha taninya. Sehingga para petani harus menanggung biaya yang tinggi
membeli produk dari perusahaan-perusahaan multinasional yang telah
memiliki hak intelektual dari produk tersebut.
Masalah yang dihadapi petani tidak hanya berhenti sampai disini,
liberalisasi berarti terbukanya suatu negara terhadap aliran modal asing, yang
akan membutuhkan lahan untuk pembanguan kegiatan mereka (industri).
Akibatnya menimbulkan persaingan dalam penguasaan sumber daya yang
sangat vital bagi sektor pertanian yaitu lahan dan air, lahan petani akan
tergusur, dan sektor pertanian terpaksa pindah kelahan marjinal. Hal ini
8

menyebabkan negara-negara yang sedang berkembang harus menggantungkan kebutuhan pangan mereka pada negara-negara industri. misalnya
Indonesia, yang semula telah mampu berswasembada pangan, saat ini harus
mengimpor produk pertanian, karena banyak lahan petani yang digusur oleh
pemilik modal untuk membangun industri, perumahan, perkantoran, lapangan
golf dan lain sebagainya. Sehingga penulis memiliki asumsi bahwa
liberalisasi ekonomi dapat mengancam ketahanan pangan negara-negara
berkembang. Sementara itu, liberalisasi ekonomi/perdagangan dapat
menimbulkan kekurangan pangan dan kelaparan, dengan membebaskan tarif
impor bahan makanan dan membiarkannya masuk bahan makanan murah
akan merugikan petani yang menanam tanaman pangan. Karena harus
bersaing dengan bahan makanan yang murah, sehingga mereka tidak lagi
tertarik untuk mengembangkan usaha tani mereka. Kondisi mengenai jumlah
ekspor dan impor komoditas pertanian Indonesia bisa dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Ekspor, impor, dan neraca perdagangan komoditas pertanian
menurut sub sektor, Januari - Desember 2014
No
1
2
3
4

Sub Sektor
Tanaman
Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Peternakan
Total

Ekspor
Volume
Nilai
(Ton)
(US$ 000)

Impor
Volume
Nilai
(Ton)
(US$ 000)

Neraca
Volume
Nilai
(Ton)
(US$ 000)

367.690

206.174

18.169.821

7.658.856

-17.802.131

-7.452.681

433.342
35.027.211
235.200
36.063.443

512.190
29.721.915
587.663
31.027.942

1.646.485
1.232.500
1.485.131
22.533.937

1.632.166
2.777.185
3.799.884
15.868.091

-1.213.143
33.794.711
-1.249.930
13.529.506

-1.119.975
26.944.729
-3.212.221
15.159.851

Sumber : BPS. 2015
Pencapaian ekspor komoditas pertanian selama bulan Januari –
Desember 2014 sebesar US$ 31,03 milyar, yang sebagian disumbang dari
ekspor komoditas perkebunan sebesar US$ 29,72 milyar, sementara sub
sektor lainnya hanya menyumbang tidak lebih dari US$ 600 juta. Pada sisi
impor, sub sektor tanaman pangan memberi sumbangan terbesar terhadap
total impor komoditas pertanian, yakni mencapai US$ 7,66 milyar, diikuti
oleh sub sektor peternakan sebesar US$ 3,8 milyar, sub sektor perkebunan
sebesar US$ 2,78 milyar dan sub sektor hortikultura sebesar US$ 1,63 milyar.
Total impor komoditas pertanian pada periode tersebut mencapai US$ 15,87
milyar. Berdasarkan keragaan data ekspor dan impor tersebut, neraca
perdagangan komoditas pertanian selama bulan Januari - Desember 2014
mengalami surplus sebesar US$ 15,16 milyar. Seluruh surplus neraca
perdagangan komoditas pertanian diperoleh dari sumbangan sub sektor
9

perkebunan sebesar US$ 26,94 milyar, sementara sub sektor lainnya
mengalami defisit. Sub sektor tanaman pangan mengalami defisit sebesar
US$ 7,45 milyar, sub sektor hortikultura sebesar US$ 1,12 milyar, dan sub
sektor peternakan sebesar US$ 3,21 milyar.
Orientasi ekspor sektor pertanian selalu dikatakan baik oleh pejabat
pemerintah maupun para pakar ekonomi pertanian di negara-negara
berkembang. Salah satu alasan adalah ekspor sektor pertanian dapat
menyumbang devisa negara. Selain itu, ekspor hasil komoditas pertanian
dapat meningkatkan kehidupan petani. Akan tetapi, dalam era liberalisasi
ekonomi, orientasi ekspor sektor pertanian tidak selamanya baik. Kuatnya
pendapat tentang ekspor komoditas pertanian dapat menambah devisa negara
dikhawatirkan dapat menghilangkan sistem pengelolaan pertanian yang
sudah lama dilestarikan oleh penduduk diwilayah tersebut, selian itu juga
memiliki potensi yang merusak ekologi pertanian berkelanjutan, sehingga
jika pengelolaan sumber daya lahan dalam kegiatan pertanian tidak lakukan
secara benar maka dapat membawa kerugian jangka panjang dalam
pembangunan pertanian suatu negara.
Sebagai contoh pengembangan pertanian untuk ekspor, misalnya
perkebunan kelapa sawit di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang sebagian
wilayahnya berasal dari alah fungsi hutan hujan tropis. Sedangkan menurut
Jumin (2005, hlm. 241) hutan hujan tropis merupakan wilayah yang perlu
dilestarikan keberadaanya, karena
Hampir 90% sumber genetik tanaman buah-buahan berada pada hutan
hujan tropis kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pembabatan
hutan yang berlebihan akan mengakibatkan punahnya sumber-sumber
genetik itu, bila hal itu terus berlanjut maka dikhawatirkan perbaikan
genetik masa depan terpaksa dilakukan dengan mengintroduksi varietas
dari luar.
Hal menarik yang perlu di sampaikan adalah bahwa pemiliki usaha
perkebunan kelapa sawit adalah perusahaan-perusahaan swasta besar.
Sementara hasil yang diperoleh dijual pada perusahaan multinasional yang
bergerak dalam industri pangan. Ketergantungan dunia pada perusahaan
multinasional sebagai penyedia pangan pernah menyebabkan terjadinya krisis
pangan dunia pada tahun 1973-1974, ketika impor beras tidak dapat
dilakukan meskipun dengan harga yang tinggi. Perusahaan multinasional
hanya menimbun stok pangan mereka, dan menjualnya pada saat harga
pangan membumbung tinggi. Membanguan usaha perkebunan dengan
10

mengalih fungsikan lahan hutan hujan tropis untuk komoditas ekspor dalam
jangka pendek memang sangat menguntungkan, tetapi keuntungan tersebut
belum dikurangi dengan ongkos yang harus dibayar oleh petani karena
keruskan lingkungan maupun hilangnya lahan-lahan pertanian yang
dimanfaatkan untuk mempertahankan ketahanan pangan bangsa Indonesia.
Ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan pada impor akan
menyebabkan setiap saat negara tersebut dapat menghadapi krisis pangan,
karena perusahaan penyedia pangan dunia pada umumnya adalah perusahaan
multinasional yang setiap saat dapat mempermainkan harga dan supply bahan
pangan.
5. Ketahanan Pangan
Salah satu masalah bagi petani di negara berkembang adalah
bagaimana memeprtahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan
pangan bagi mereka sndiri dan bangsa mereka, jika petani tidak mampu
mempertahankan ketahanan pangan, berarti negara harus menggantungkan
kebutuhan pangan pada perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak
dalam sektor produksi pangan. Meurut Sotrisno (2002, hlm. 34) suatu
kebijakan pembangunan yang baik harus mengandung tiga unsur, yaitu
“ketahanan ekologis, ketahanan mata pencaharian, dan ketahanan pangan”.
Suatu pertanian berkelanjutan adalah suatu sistem pertanian yang
mendasarakan dirinya pada pemanfaatan sumber alam (tanah, air dan
keanekaragaman hayati pertanian) secara lestari. Keanekaragaman hayati
merupakan kekuatan petani dalam upaya melestarikan ketahanan pangan.
Keanaekaragaman hayati dapat menjadi sumber alternatif dalam
penganekaragaman jenis-jenis tanaman budidaya.
Munculnya kebijakan yang dikeluarkan oleh badan-badan
internasional, misalnya World Trade Organization atau WTO tentang trade
related intellectual property right (perdagangan terkait hak kekayaan
intelektual) akan mengubah tiga aspek dasar kebijakan pembangunan.
Kebijakan tersebut anatar lain akan mendorong konsentrsi pemilikan sumber
daya alam, untung meningkakan nilai ekspor pemerintah akan membuka
lahan-lahan perkebunan besar misalnya kelapa sawit, karet dan komoditas
laiannya yang dapat di ekspor. Kehadiran perkebunan besar akan menguasai
lahan pertanian yang sangat luas dan hanya akan ditanami satu jenis
komoditas, sehingga dapat melemahkan ketahanan keanekaragaman hayati
diwilayah tersebut yang menyebabakan mudah terserang hama, menutup
11

kemungkinan petani untuk mendiversifikasikan usaha tani, serta menghambat
terpenuhinya kebutuhan makanan pokok bagi penduduk setempat. Asumsi
dalam globalisasi berbeda dengan liberalisasi perdagangan produk-produk
pertanian yang tidak menjadikan proses pembangunan pertanian menjadi
lebih bebas, sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat
sentralisme pembangunan pertanian.
Pemerintah Indonesia pernah menghimbau kepada petani untuk
menanam padi, demi keberhasilan program sasembada pangan. Kemudian
setelah memasuku era perdadangan bebas pemerintah Indonesia tidak
mengembalikan kekuasaan petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi
justru memfasilitasi penyerahan pengusasaan sumber-sumber alam, sistem
produksi, serta sistem pemasaran dan perdagangan kepada perusahaan
agribisnis global.
Bibit di bidang pertanian merupakan salah satu sarana produksi
pertanian yang berkaitan erat dengan ketahanan pangan keluarga, komunitas,
dan nasional. Liberalisasi perdagangan telah menutup akses para petani di
negara-negara berkembang untuk memperoleh sarana produksi usaha tani
mereka. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu keputusan yang dikeluarkan
oleh WTO, yakni mengharuskan negara-negara anggota WTO untuk
membuka pasar dalam negeri mereka bagi produksi bibit luar negeri,
sehingga menimbulkan monopoli perdagangan bibit oleh perusahaanperusahaan trans-nasional. Hal ini akan memakasa petani agar tergantung
pada perushaan trans-nasional untuk memperoleh bibit yang sangat mereka
butuhkan. Sistem ini akan semakin menekan petani, apabila perusahaan
trans-nasional juga memonopoli sarana produksi lain, misalnya pupuk,
pestisida, dan herbisida.
Ancaman yang paling dikhawatirkan dari monopoli sektor pertanian
oleh perusahaan trans-nasional akan menyebabkan hilangnya varietas bibit
unggul yang sebelumnya dimilki oleh petani dan berdampak pada hilangnya
keanekaragaman hayati, sekaligus hilangnya pengetahuan tradisional
pengelolaan lahan pertanian yang dimiliki oleh petani. Ancaman yang lebih
serius lagi apabila ada usaha dari perusahaan trans-nasional untuk
mematenkan berbagai penemuan bibit unggul sub-sektor tanaman pangan,
karena hal ini akan lebih mengancam ketahanan pangan negara berkembang.
Bibit merupakan mata rantai pertama dari keseluruhan rantai makanan.
Sehingga kebebasan petani untuk memperoleh akses bibit merupakan syarat
penting untuk terciptanya ketahanan pangan suatu negara.
12

Selain kebutuhan akan bibit, para petani juga dihadapakan pada
masalah pupuk, probelamatika ini dimulai pada awal program swasembada
pangan karena mengharuskan petani untuk menanam jenis komoditas tertentu
yang sudah ditetakan oleh pemerintah, sehingga sistem ini menuntut kepada
para petani untuk menerapkan pengelolaan lahan susuai dengan yang
ditetapkan oleh pemerintah terrmasuk pengggunaan bibit, pada masa itu
pemerintah juga memberikan subsidi pupuk. Kemudian setelah program
swasemaba pangan tidak menjadi prioritas utama dalam pembangunan
ekonomi susbsidi pupuk mulai diminimalkan dan pemerintah menyerahkan
harga pupuk pada mekanisme pasar, hal ini sesuai dengan liberalisasi
ekonomi, tetapi berakibat pada ketidakstabilan harga pupuk, karena terjadi
persaingan di pasar bebas.
Hasil panen petani Indonesia yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha
jarang untuk mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebagai contoh
seorang petani jarang dapat menjual padi mereka sesuai dengan standar harga
yang di inginkan, karena para petani tersebut harus menjual gabah kering
sawah atau basah, untuk membayar hutang pada tengkulak atau pada bank
tempat mereka meminjam modal pada saat mulai menanam padi. Meskipun
pemerintah menaikan harga gabah kering, harga pupuk yang sebelumnya
dipakai oleh petani telah terlanjur melambung tinggi karena adanya faktor
monopoli dari prusahaan trans-nasional penghasil pupuk, sehingga hasil
panen tidak terlalu memberikan dampak yang berarti terhadap standar
ekonomi petani. Pemerintah berusaha memecahkan masalah pupuk tersebut
dengan mengimpor pupuk, dan ini berarti bahwa Indonesia akan bergantung
pada peruasahaan trans-nasional penghasil pupuk untuk memenuhi kebuthan
pupuk bagi sektor pertanian.
Terbentuknya sistem perdagangan bebas hanya akan memeberikan
keuntungan pada beberapa negara maju dan negara yang telah memiliki agroindustri cukup kuat. Era globalisasi yang menghasilkan keputusan
penghapusan subsidi untuk sektor pertanian tidak akan berpengaruh banyak
terhadap negara maju. Produk-produk pertanian negara tersebut telah mampu
mendominasi pasar dunia karena efisensi sektor pertanian mereka, keputusan
tersebut justru menghasilkan masalah bagi sektor pertanian negara
berkembang, termasuk Indonesia. Sektor pertanian di Indonesia sebagian
besar di isi oleh petani yang memiliki lahan sempit, berteknologi rendah, dan
keterbatasan modal, sehingga sulit untuk meningkatkan efisiensi sektor
pertanian agar dapat sejajar dengan petani dari negara maju.
13

Moderenisasi pertanian di Indonesia yang harus melibatkan pemakaian
teknologi terbaru, serta pemaiakan pupuk kimia, insektisida, dan pestisida,
menyebabkan ongkos produksi pertanian menjadi mahal bagi petani.
Sementara harga jual produk pertanian tetap rendah. Kebijakan pasar bebas
ini menghasilkan sebuah pardigma baru yaitu produk pertanian luar negeri
menguasai segmen pasar mengah ke atas yang mempunyai daya beli tinggi,
produk dalam negeri berada pada segmen pasar mengah ke bawah yang
mempunyai daya beli terbatas. Sehingga memaksa petani indonesia dengan
harga jual yang rendah. Segmen pasar produk pertanian dalam negeri
kemungkinan dapat direbut oelh perusahaan pertanian trans-nasional, karena
kemampuan mereka memproduksi produk pertanian denganlebih efisien
sehingga dapat menjual dengan harga yang lebih murah dan kemampuan
mereka dalam periklanan.
Indonesia memang memiliki keunggulan komparatif sebagai penghasil
buah-buahan tropis yang secara teoritis dapat dikembangkan menjadi produk
ekspor unggulan. Tetapi dalam praktiknya memiliki bebrapa kendala.
Pertama, dipasaran luar negeri buah-buahan tropika termasuk buah-buahan
yang aneh, sehingga memiliki implikasi pada jangkauan konseumen di luar
negeri. Karena aneh, maka buah tersebut hanya akan dibeli oleh orang-orang
yang telah mengunjugi Indonesia dan pernah makan buah tersebut, sehingga
kalah bersaing dengan buah-buahan lokal dari negara tersebut. Kedua,
Indonesia bukan satu-satunya penghasil buah tropis Tailand, Malaysia,
Filipina juga penghasil buah tropis. Bahkan beberapa negara tersebut telah
mampu menembus pasar luar negeri dan mengatasi kendala “musim buah”
dengan menggunakan teknologi yang menjamin sebuah pohon dapat terus
berbuah sepanjang waktu tanpa berhenti, sehingga supply buah di pasar
internasiona dapat terus berjalan sepanjang tahun. Hal ini juga menjamin
kelsstarian usaha agribisnis di negara itu. Sementara Indonesia masih
tertinggal dalam hal riset mengenai pengembangan hultikultura. Selama ini
perhatian kita terpaku pada usaha swasembada pangan, khususnya beras.
Menyikapi hal yang tersebut, ada bebarapa tindakan yang mungkin
akan dilakukan oleh para petani. Pertama, mereka akan menyewakan atau
menjual lahannya kepada pemilik kapital yang ingin membangun agribisnis,
dan para petani kan menjadi buruh diatas tanah mereka sendiri. Kedua,
mereka akan meninggalkan desa-desa mereka pergi ke kota untuk mencari
pekerjaan sampingan di bidang industri manufaktur. Namun karena
keterbatasan keterampilan tidak semua akan bisa bekerja di bidang industri
14

manufaktur, dan berakhir menjadi pekerja di sektor informal. Ketiga, petani
kita akan mencoba menanam tanaman yang memiliki potensi pasar besar,
misalnya buah tanpa biji. Tetapi dalam pasar bebas ada sebuah ketentuan
tentang perlindungan kekayaaan intelektual, sehingga muncul monopoli baru
dalam hal bibit unggul, yang akan menghabat pembangunan pertanian di
Indonesia, baik yang akan dilakukan oleh perusahaan swasta maupun oleh
petani sendiri. Karena buah tanpa biji adalah temuan yang sudah dipatenkan
kedalam hak kekayaan intelektual, maka petani Indonesia harus membeli
bibit tersebut atau membayar royalti kepada pemegang hak paten tersebut
jika akan menjual produknya ke pasar bebas.
6. Perusahaan Trans-Nasional
Perusahaan trans-nasional adalah suatu jenis perusahaan yang secara
sentarlistik merencanakan untuk mengintegrasikan perekonomian dunia.
Aktivitas perusahaan trans-nasional tidak mengenal perbatasan negara yang
memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain. Perusahaan ini memiliki
kekuatan dalam teknologi, modal, dan kemampuan memasarkan produk
mereka, shingga mampu menjadi pesaing bagi otoritas negara. Vandana
Shiva (1993) menjelaskan bahwa sebenarnya hubungan antara petani di
negara-negara berkembang dengan perusahaan trans-nasional, berada dalam
tiga tingkatan. Pertama, para petani di negara-negara berkembang adalah
sumber/penyedia plasma nutfah bagi perusahaan trans-nasional. Kedua, para
petani di negara-negara yang sedang berkembang pada dasarnya adalah
pesaing bagi perusahaan trans-nasional dalam hal melakukan inovasi dan
akses terhadap plasma nutfah. Ketiga, petani-petani di negara yang sedang
berkembang adalah konsumen teknologi dan produk-produk industri dari
perusahaan trans-nasional. Kemudian dalam konteks pembangunan pertanian,
munculnya perusahaan tersebut, yang menguasai teknologi pertanian,
khususnya teknologi bibit, akan memperlambat pengembangan sektor
pertanian. Ancaman dari perusahaan trans-nasional terhadap sektor pertanian
di negara-negara yang sedang berkembang disebabkan karena perusahaan
tersebut akan mematenkan semua penemuan teknologi pertanian, termasuk
bibit. Mematenkan sesuatu yang semula adalah pemberian Tuhan akan
mengubah tidak hanya sifat dari pertanian tersebut, tetapi juga masa depan
perekonomian para petani di negara yang sedang berkembang. Patenisasi
akan mengubah sifat dasar pertanian, dimana petani tidak hanya sebagai
penanam bibit tapi juga sebagai produsen penanam bibit.
15

Sementara itu semua perusahaan trans-nasional juga mempelopori gene
revolution atau bioteknologi yang mampu menciptakan berbagai substitusi
dari hasil pertanian, yang selama ini dihasilkan secara tradisional oleh petani
di negara-negra yang sedang berkembang. Hal ini akan dapat menggangu
kesejahteraan petani di negara-negara yang sedang berkembang, maupun
perekonomian nasional di negara-negara tersebut, yang selama ini tergantung
pada ekspor hasil-hasil pertanian mereka. Masalah lain yang ditimbulkan
oleh genetic revolution adalah ancaman terhadap biosafety. Misalnya para
ahli pertanian melihat bahwa upaya untuk menciptakan bibit yang tidak
menggunakan herbisida dapat menciptakan jenis gulma baru yang disebut
„super gulma”, yang juga tahan terhadap segala jenis herbisida. Bahaya lain
dari genetic revolution ini adalah sebagain dari bibit yang sudah diproduksi
memiliki kandungan herbisida yang tujuannya untuk mencegah tumbuhnya
gulma dan membasmi hama, apabila ada hama yang memakan bagian dari
tumbuhan tersebut hama ini akan mati, sehingga apabila hasil dari tumbuhan
tersebut dikonsumsi oleh manusia secara terus-menerus maka akan berbahaya
bagai kesehatan.
Munculnya bibit-bibit baru yang akan dan sedang diproduksi oleh
perusahaan-perusahaan trans-nasional bertujuan untuk mengoreksi
kelemahan-kelemahan yang dibuat oleh pemulia tanaman pada era revolusi
hijau. Namun bibit-bibit baru tersebut dapat mengancam kelstarian dari
pertanian di negara-negara yang sedang berkembang, karena rekayasa
genetika tanaman tersebut dapat merusak lingkungan sektor pertanain di
negara-negara berkembang.
.
B. Desain Pengelolaan Sumber Daya Lahan Pertanian Berkelanjutan di
Indonesia
Berdasarkan fakta tentang problematika pertanian di Indonesia maka
terdapat tiga poin penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan
pertanian di Indonesia.
Pertama, dengan kondisi pertanian Indonesia saat ini hal yang perlu
diutamakan yaitu bagaimana menciptakan kebijakan pertanian yang
menjamin agar para petani memperoleh hak mereka atas lahan, air dan bibit,
yang mereka butuhkan untuk mengelola usaha tani mereka.
Kedua, bagaimana membangun pengelolaan sumber daya lahan
pertanian yang dapat menjamin adanya suatu sistem ketahanan pangan bagi
Indonesia.
16

Ketiga, bagaimana untuk dapat melindungi dan memanfaatkan
kekayaan alam berupa plasma nutfah yang dimiliki oleh Indonesia, tidak
hanya untuk kepentingan pembangunan sektor pertanian, tetapi juga sektorsektor lain dalam perekonomian nsional negara-negara tersebut, demi
kesejahteraan rakyat.
Problematika tersebut memerlukan sebuah gagasan-gagasan dan aksi
nyata untuk menyelesaikannya, dalam kesempatan ini penulis mencoba untuk
memberikan gagasan terhadap sebagian kecil problematika pertanian di
Indonesia, diantaranya sebagai berikut :
1. Pandangan Baru Pembangunan Ekonomi Negara
Pembangunan sebuah ekonomi negara adalah pembangunan yang
bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Kondisi rakyat Indonesia saat
ini berdasarkan sensus pendudik tahun 2010 mayoritas masih bekerja di
sektor pertanian, sehingga agar tercapainya keberhasilan pembangunan
ekonomi negara Indoensia, maka orientasi pembangunan sektor pertanian
merupakan salah satu prioritas utama.
2. Hak Petani Atas Lahan, Air dan Bibit
Munculnya paradigma bahwa pembangunan Indonesia harus bermuara
pada terciptanya negara industri mengakibatkan sektor pertanian mendapat
pesaing baru mengenai haknya dalam pemakaian lahan dan air. Kemudian
fakta yang terjadi saat ini pemerintah dan pemegang kebijakan lainnya di
negeri ini mulai mengedepankan kepentingan para industriawan karena
sektor industri bisa menambah pendapatan asli daerah. Sehingga perlu
adanya jaminan hak petani atas lahan dan air baik dari segi kualitas maupun
kuantitas oleh pemerintah.
Seperti halnya lahan dan air, ketersediaan bibit bagi petani juga
merupakan hal penting, karena kondisi saat ini sebagian bibit lokal yang dulu
pernah ada dan menjadi unggulan dari daerahnya masing-masing sudah tidak
menghasilkan panen yang optimal dikarenakan kondisi lahan yang
terpengaruh akibat dari pemakaian pupuk kimia sintetis maupun yang juga
berdampak pada peningkatan daya tahan hidup dari hama tanaman pertanian.
Kemudian adanya monopoli hak paten terhadap bibit oleh perusahaan transnasional sehingga perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan petani
dalam program mempertahankan eksistensi bibit lokal, maupun jaminan
ketersediaan bibit bagi petani itu sendiri.
17

3. Peran Sentral Pengetahuan Lokal Masyarakat Tani untuk Membangun
Sektor Pertanian
Paul Vidal de la Blache (1845–1918) mengemukakan konsep Genres
de vie” (ways of life) atau kebiasaan hidup, yang menggambarkan pola-pola
kehidupan (dengan subjek historis dan budaya). Genres de vie meliputi
semua gagasan, kebiasaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan budaya sebagai
kesatuan hidup. Hal-hal tersebut meliputi tradisi, rumah adat, aktivitas
pertanian, dan kebiasaan nyata lainnya. Berkaitan dengan konsep tersebut
terhadap pola perilaku petani Indonesia yang sering mengggunakan
pengetahuan lokal dalam aktivitas sektor pertanian diantaranya yaitu budaya
masyarakat sunda menyimpan padi pada sebuah lumbung padi (leuit) yang
dapat mempertahankan kualitas dari padi tersebut meskipun disimpan selama
puluhan tahun, hal tersebut karena mereka menyimpan padi tanpa melepas
dari tangkainya, ini berbeda dengan yang saat ini dilakukan oleh masyarakat
modern yaitu menyimpan beras bukan padi. Cara menyimpan hasil panen
(beras) yang dilakukan oleh masyarakat modern tidak dapat mempertahankan
kuliatas dari beras tersebut jika disimpan terlalu lama.
Contoh selanjutnya yaitu penggunaan alat “tunggal” oleh masyarakat
asli suku dayak dalam bercocok tanam di lahan gambut dan tidak
menggunakan pacul atau traktor. Melalui penggunaan alat tradisional tersebut
mereka tidak merusak struktur tanah gambut, sehingga meskipun bercocok
tanamnya dilakukan pada lahan gambut tetap memperoleh hasil panen yang
efektif. Hal ini berbeda seperti yang dilakukan oleh para transmigran dari
pulau jawa, mereka menggunakan cangkul untuk mengolah lahan gambut dan
dampat yang ditimbulkan yaitu mereka sering mengalami gagal panen,
karena dengan cara mencangkul mereka justru merusak struktur tanah
sehingga hanya memperoleh bagian tanah gambut yang tidak subur.
Pengetahuan lokal dalam pengelolaan sektor pertanian merupakan hal
penting untuk dipertahankan, karena sistem pertanian ini cukup efektif untuk
mendukung ketahanan pangan tanpa dukungan input teknologi modern.
4. Kebijaksanaan dalam Penggunaan Sarana Produksi Pertanian Kimia
Penggunaan obat-obat kimia secara berlebihan selain menyebabkan
pencemaran, produknya juga membahayakan kesehatan manusia dan dampak
lebih lanjutnya dapat menghabat upaya ekspor produk pertanian tersebut
(Soetrisno, 2002). Hal ini dikarenakan penduduk dari negara maju sangat
peduli terhadap masalah kesehatan yang tercermin pada pola konsumsi
18

produk pertanian bebas dari kandungan zat kimia. Sehingga dalam
kesempatan ini penulis menyarankan agar pemerintah mulai menerapkan
kebijakan yang mendukung petani untuk tidak menggunkan pruduk kimia
dalam pengelolaan pertaniannya meliputi : pembebasan pajak bagi petani
yang melaksanakan usaha non-kimiawi, membuat pasar khusus produk
pertanian non-kimawi, pemerintah tidak mengimpor produk-produk kimia
untuk pertanian dan menghapus subsisdi produk-produk kimia untuk
pertanian.
5. Perlunya Penelitian Pertanian yang Mandiri
Sudah semestinya Indonesia menjadi negara yang mandiri khususnya
dalam hal penelitian pertanian, hal tersebut dikarenakan beragam keunggulan
komparatif yang dimiliki. Keanekaragaman hayati, keberagaman kondisi
geografis, kemajemukan budaya yang dimiliki Indonsia bisa memberikan dua
sisi hasil yang berbeda. Kajian penelitian yang perlu dilakukan dalam sektor
pertanian diantaranya yaitu pengembangan kultur jaringan tumbuhan
tujuannya agar menghasilkan produktivitas pertanian unggul (kuliatas dan
kuantitas) tetapi dengan biaya pemeliharaan yang rendah, pengembangan
sistem pengemasan dan pemasaran agar produk pertanian Indonesia bisa
bertahan lama serta memiliki daya jual tinggi.
6. Pertanian Organik
Perubahan pola konsumsi penduduk negara maju yang mulai beralih ke
hasil pertanian organik merupakan variabel penting dalam pengelolaan sistem
pertanian di Indonesia karena, negara maju merupakan target utama ekspor
produk pertanian negara-negara berkembang (Indonesia). Damayanti (1998)
mengemukakan bahwa “pada dasaranya pangkal kesehatan adalah makanan
sehat bebas pencemaran” sejalan dengan konsep tersebut maka sudah
seharusnya pengelolaan pertanian pada abad ke-21 beralih ke pertanian
organik.
7. Program Peningktan Sumber Daya Manusia Sektor Pertanian
Sektor pertanian khusunya tanaman pangan saat ini dipandang kurang
menjanjikan dalam hal mata pencaharian, dikarenakan lemahnya nilai jual
produk yang dihasilkan dari sub sektor tersebut. Faktor utama yang
mempengaruhinya yaitu kualifikasi dari sebagian para petani itu sendiri.
Sehingga diperlukan kualifikasi tambahan terhadap sebagain para petani,
19

tidak hanya pengetahuan tentang kompetensi cara bercocok tanam, tetapi
juga kompetensi dalam mengambil keputusan. Program tersebut bisa
dioptimalkan melalui organisasi petani, yang diharapkan dari organisasi ini
adalah bisa sebagai wadah pembelajaran bagi para petani agar mereka bisa
memiliki kompetensi organisasi yang setaraf dengan orang-orang yang
bekerja disektor selain pertanian.
C. Aplikasi Pengelolaan Lahan Pertanian Tanaman Kedelai di Indonesia
1. Latar Belakang
Sektor pertanian masih memegang peranan strategis dalam
pembangunan perekonomian nasional, dimana peran ini dapat digambarkan
melalui kontribusi yang nyata dalam pembentukan kapital, penyediaan
lapangan pekerjaan, sumber devisa negara dan sumber pendapatan serta
pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan.
Salah satu peran strategis pertanian adalah pemenuhan kebutuhan pangan
bagi penduduk Indonesia yang berjumlah 237,64 juta jiwa (2010) dengan laju
pertumbuhan sebesar 1,25 persen per tahun, dimana tugas ini merupakan
tugas yang tidak ringan. Pada kondisi tersebut Kementrian Pertanian selama
lima tahun kedepan menempatkan beras, jagung, kedelai, daging sapi dan
gula sebagai lima komoditas pangan utama (Kementerian Pertanian, 2010).
Kedelai salah satu komoditas pangan utama, merupakan tanaman
palawija yang kaya akan protein dan memiliki arti penting sebagai sumber
protein nabati untuk peningkatan gizi masyarakat. Menurut Direktorat Gizi
(2001), biji kedelai mengandung gizi yang cukup tinggi, terutama proteinnya
yang mendekati protein susu sapi (+ 35-38 %). Pemanfaatan kedelai
disamping sebagai sumber protein dan lemak juga mengandung vitamin dan
mineral serta merupakan sumber serat sehingga dapat digunakan sebagai
makanan penurun kolesterol dan dapat mencegah penyakit jantung serta
dapat berfungsi sebagai antioksidan juga dapat mencegah penyakit
degenaratif seperti diabetes melitus dan kanker (Astawan, 2009). Oleh karena
itu, kebutuhan kedelai akan meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat
tentang makanan sehat dan pertambahan jumlah penduduk.
Produk kedelai sebagai bahan olahan pangan berpotensi dan berperan
dalam menumbuh kembangkan industri kecil dan menengah bahkan sebagai
komoditas ekspor. Industri Kecil dan Menengah (IKM) pengolah kedelai
berjumlah sekitar 92,4 ribu unit usaha, yang terdiri dari IKM tempe sebanyak
56,76 ribu unit usaha, tahu sebanyak 28,60 ribu unit usaha dan sisanya IKM
20

kecap dan tauco serta aneka olahan kedelai lainnya. IKM kedelai menyerap
tenaga kerja sebanyak lebih kurang 273 ribu orang, dengan nilai produksi
total sebesar Rp. 1,74 triliun (Ditjen Industri Kecil dan Menengah, 2011).
Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Potensi Industri Kecil Pengolahan Kedelai Tahun 2011
No

Jenis Industri

Perusahaan
Tenaga Kerja
Nilai Produksi
(Unit Usaha)
(Orang)
(Juta Rp)
1
Tempe
56.762
151.279
695.716
2
Tahu
28.609
99.462
831.645
1.506
8.596
3
Kecap
101.894
2.086
5.107
4
Tauco
38.851
3.430
8.529
5
Aneka Olahan Lain
72.886
Jumlah
92.393
272.973
1.740.992
Sumber : Ditjen Industri Kecil dan Menengah-Kementerian Perindustrian (2011)

Permintaan kedelai yang terus meningkat tidak dapat dipenuhi oleh
produksi dalam negeri, padahal Indonesia pernah mencapai swasembada
kedelai pada tahun 1992, namun kemudian produksi dalam negeri terus
menurun sehingga dilakukan impor yang cukup besar. Menurunnya produksi
kedelai dalam negeri ini antara lain disebabkan oleh rendahnya produktivitas,
dimana produktivitas kedelai di Indonesia selama dua belas tahun terakhir
hanya berkisar antara 12,01–13,73 ku/ha. Sementara potensi hasil dari
berbagai varietas berkisar antara 20,00 – 35,00 ku/ha. Senjang hasil ini terjadi
karena para petani belum menerapkan sepenuhnya teknologi budidaya
kedelai terutama dalam penggunaan benih unggul (Ditjen Tanaman Pangan,
2012). Pemerintah hingga kini telah melepas sebanyak 73 varietas unggul
kedelai dimana 19 varietas unggul tersebut berpotensi hasil antara 21,60–
35,00 ku/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2010).
Dari perbedaan produktivitas tersebut, pemerintah melalui Kementrian
Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Tanaman Pangan berupaya
meningkatkan produksi kedelai dimana salah satu strateginya adalah melalui
peningkatan produktivitas. Disisi lain rendahnya produksi kedelai ini juga
disebabkan oleh menurunnya areal panen kedelai. Data menunjukkan bahwa
telah terjadi penurunan luas panen kedelai dari tahun 1999 sebesar 1,15 juta
ha menjadi 0,66 juta ha pada tahun 2010 atau terjadi penurunan sebesar 43,6
persen selama dua belas tahun.

21

Hal lain yang menyebabkan rendahnya produksi kedelai adalah
rendahnya penggunaan teknologi budidaya kedelai terutama penggunaan
input produksi yaitu pupuk. Mahalnya harga pupuk yang mengakibatkan para
petani tidak mampu membeli pupuk tersebut sehingga tidak dapat
meningkatkan produksi kedelai. Diharapkan dengan adanya subsidi harga
pupuk maka daya beli petani kedelai akan meningkat. Dengan asumsi jumlah
anggaran tetap, harga pupuk rendah maka para petani dapat membeli pupuk
lebih banyak sehingga dengan penggunaan pupuk yang lebih banyak akan
meningkatkan produksi kedelai. Peningkatan produksi ini akan meningkatkan
pendapatan/kesejahteraan petani.
Besarnya impor kedelai juga dipicu oleh perubahan kebijakan tata
niaga kedelai yakni dengan diberlakukannya pasar bebas mengakibatkan
meningkatnya kedelai impor dengan harga murah. Kondisi ini menyebabkan
berkurangnya minat petani untuk melaksanakan usahatani kedelai karena
insentif yang diterima rendah. Rendahnya produksi ini diduga selain
disebabkan oleh harga kedelai impor yang murah juga berkaitan dengan
efisiensi penggunaan input produksi.
Disisi lain struktur pasar kedelai internasional lebih bersifat pasar
oligopolistik, sehingga negara importir seperti Indonesia sangat beresiko
tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Hal ini menjadi
sangat penting apabila dikaitkan dengan peran kedelai sebagai salah satu
pangan utama yang merupakan sumber protein bagi masyarakat Indonesia.
Walaupun Indonesia mengimpor kedelai, yang harus dihindari adalah sifat
ketergantungan kepada impor yang besar pada satu negara seperti Amerika
Serikat. Karena Amerika Serikat sering menggunakan instrumen impor untuk
menekan negara yang tidak sejalan dengan politik dan kepentingannya
(Nuryanti dan Kustiari, 2007).
Peningkatan impor kedelai terjadi sejak liberalisasi perdagangan yang
dilakukan pemerintah atas tekanan dari International Monetary Fund pada
tahun 1998, sehingga ketergantungan impor kedelai meningkat lebih dari dua
kali lipat, padahal pengusahaan komoditas kedelai ini telah menyerap 2,5 juta
rumah tangga di Indonesia (Sawit, 2003). Dengan demikian peningkatan
impor kedelai telah meningkatkan jumlah petani yang kehilangan
usahataninya karena tidak mampu bersaing dengan kedelai impor. Besarnya
impor kedelai ini juga menyebabkan kehilangan devisa yang cukup besar
(Ditjen Tanaman Pangan, 2010).
22

Produksi kedelai di Indonesia selama 8 tahun (2000 – 2007) terus
menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 6,80 persen. Pada tahun 2000
produksi mencapai 1,02 juta ton dengan luas panen 0,82 juta ha dan
produktivitas sebesar 12,34 kuintal/ha, tahun 2007 produksinya hanya 0,59
juta ton dengan luas areal panen 0,46 juta ha dan produktivitas