Persiapan Indonesia dalam Menghadapi Mas

Persiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN(MEA) dalam Bidang Industri Sapi Potong
Oleh:
1. Claudia Kristianti (H34130034)
2.Ade Hendra Sentosa (H34130126)
3.M. Carnegie Trihandono (H34130084)
4. Rizki Qadriadi Putra (H34130017)
5.Gita Christi Keliat (H34130111)
6.Rifqy Rusdiansyah (H34130074)
Dosen
Dosen UTS: Ir. Ujang Setiabudi
Dosen UAS: Arini Hardjanto, SE

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBER DAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

1

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.....................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka.......................................................................4
BAB III Pembahasan
3.1 Gambaran Peternakan Sapi di Indonesia Saat Ini............................. 5
3.2 Permasalahan dalam industri sapi potong Indonesia
menghadapi MEA 2015......................................................................... 9
3.3 Langkah pendekatan untuk membangun industri sapi potong yang
tangguh menghadapi MEA 2015.............................................................10
3.4 Mengatasi Kendala Mewujudkan Swasembada Daging...................13
3.5 Mengatasi Masalah Ketersediaan Dan Kualitas Pakan Sapi Dengan
Teknologi Hi-Fer.....................................................................................17
Kesimpulan dan Saran..........................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................22

2

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AEC adalah bentuk kerjasama ekonomi regional asia yang direncanakan untuk

dicapai pada tahun 2015 tepatnya bulan Desember. Tujuan utama AEC adalah
menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi diaman terjadi arus
barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas serta aliran modal yang lebih
bebas.
Keterlibatan semua pihak di seluruh negara anggota ASEAN mutlak
diperlukan agar dapat mewujudkan ASEAN sebagai kawasan yang kompetitif bagi
kegiatan investasi dan perdagangan bebas yang pada gilirannya dapat memberikan
manfaat bagi seluruh negara ASEAN. Bagi Indonesia, dengan jumlah populasi, luas
dan letak geografi serta nilai PDB terbesar di ASEAN harus menjadi aset agar
Indonesia bisa menjadi pemain besar dalam AEC 2015 nanti.
Pembentukan AEC akan memberikan peluang bagi negara-negara anggota
ASEAN untuk memperluas cakupan skala ekonomi, mengurangi kemiskinan dan
kesenjangan sosial ekonomi, meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi investor
dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi perdagangan, serta memperbaiki fasilitas
perdagangan dan bisnis. Di samping itu, pembentukan AEC juga akan memberikan
kemudahan dan peningkatan akses pasar intra-ASEAN serta meningkatkan
transparansi dan mempercepat penyesuaian peraturan- peraturan dan standardisasi
domestik.
Untuk dapat menangkap keuntungan dari AEC 2015 tantangan yang dihadapi
Indonesia adalah meningkatkan daya saing. Faktor-faktor untuk meningkatkan daya

saing, yang masih menjadi tantangan bagi Indonesia, yakni: Infrastruktur
Pertanian salah satu jantung perekonomian Indonesia adalah pertanian.
Peningkatan keunggulan komparatif di sektor prioritas integrasi, antara lain adalah
pembangunan pertanian perlu terus dilakukan, mengingat bahwa luas daratan yang
dimiliki Indonesia lebih besar dan tingkat konsumsi yang tinggi terhadap hasil
pertanian. Tindakan pemerintah untuk menopang komitmen Indonesia dalam
mewujudkan AEC 2015 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perpres tersebut mengatur mengenai:

3

1. Investasi asing diperbolehkan hingga 49% untuk usaha budidaya tanaman pangan
seluas lebih dari 25 hektar.
2. Investasi asing diperbolehkan hingga 95% untuk usaha perkebunan dalam hal
perbenihan bagi usaha seluas lebih dari 25 hektar.
3. Investasi asing diperbolehkan hingga 30% untuk usaha perbenihan dan budidaya
hortikultura.
Melihat bahwa sektor pertanian masih tertinggal dan dibebani volume impor
komoditas pangan dan hortikultura; kegagalan panen akibat kemarau dan gangguan
hama; serta petani Indonesia rata-rata berusia 55-60 tahun dan tidak memiliki

pengetahuan dan pendidikan yang memadai akan menyulitkan memasuki pasar bebas
ASEAN. Indonesia dengan populasi luas kawasan dan ekonomi terbesar di ASEAN,
dapat menggerakkan pemerintah untuk lebih tanggap terhadap kepentingan nasional,
khususnya pertanian.
Langkah-langkah Strategis dalam Menghadapi AEC 2015
1. Penyesuaian, persiapan dan perbaikan regulasi baik secara kolektif maupun individual
(reformasi regulasi);
2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia baik dalam birokrasi maupun dunia usaha
ataupun profesional;
3. Penguatan posisi usaha skala menegah, kecil, dan usaha pada umumnya;
4. Penguatan kemitraan antara sektor publik dan swasta;
5. Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi, yang
juga merupakan tujuan utama pemerintah dalam program reformasi komprehensif di
berbagai bidang seperti perpajakan, kepabeanan, dan birokrasi;
6. Pengembangan sektor-sektor prioritas yang berdampak luas dan komoditi unggulan;
7. Peningkatan

partisipasi

institusi


pemerintah

maupun

swasta

untuk

mengimplementasikan AEC Blueprint;
8. Reformasi kelembagaan dan kepemerintahan. Pada hakikatnya AEC Blueprint juga
merupakan program reformasi bersama yang dapat dijadikan referensi bagi reformasi
di Negara Anggota ASEAN termasuk Indonesia;
9. Penyediaan kelembagaan dan permodalan yang mudah diakses oleh pelaku usaha dari
berbagai skala;

4

10. Perbaikan infrastruktur fisik melalui pembangunan atau perbaikan infrastruktur
seperti


transportasi,

telekomunikasi,

jalan

tol,

pelabuhan,

revitalisasi,

dan

restrukturisasi industri.
1.2 Permasalahan
1. Bagaimana keadaan peternakan di Indonesia untuk menghadapi AEC ?
2. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh peternak sapi Indonesia ?
3. Tindakan apa yang harus dilakukan untuk membangun peternakan Indonesia yang

memiliki daya saing menghadapi AEC ?
4. Bagaimana mengatasi kendala – kendala peternakan Indonesia ?

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ilmu ekonomi pertanian dapat didefinisikan sebagai bagian ilmu pertanian
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi dalam pertanian ( Kaslan Tohir, tanpa
tahun), atau bagian dari ilmu ekonomi umum yang mempelajari fenomena-fenomena
dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanian baik mikro maupun
makro (Mubyarto,1977).
Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu.
Kehutanan adalah usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan
diusahakan pada lahan yang setengah liar. Peternakan menggunakan subjek hewan
darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga
(misalnya lebah). Perikanan memiliki subjek hewan perairan (termasuk amfibia dan
semua non-vertebrata air).
Pengertian peternakan tidak terbatas pada pemeliharaan saja, memelihara dan
peternakan perbedaannya terletak pada tujuan yang ditetapkan. Tujuan peternakan

adalah mencari keuntungan dengan penerapan prinsip-prinsip manajemen pada faktorfaktor produksi yang telah dikombinasikan secara optimal.
Menurut Prof. Ujang Sumarwan, AEC adalah sebuah kerjasama yang
memungkinkan terjadinya integrasi ekonomi antar negara ASEAN. Dengan
diberlakukannya AEC, tiap negara akan terintegrasi dalam bidang produksi untuk
meningkatkan efisiensi. Kerjasama pelaku produksi antar negara akan semakin
berkembang untuk menciptakan efisiensi dengan nilai tinggi.

BAB III
6

PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Peternakan Sapi di Indonesia Saat Ini
Berbagai produk pertanian impor telah masuk ke negeri ini. Sangat diperlukan
sikap dan pandangan pemerintah mengenai produk-produk ini. Sikap dan pandangan
ini akan memberi visi yang jelas bagi dunia usaha, peneliti, dan Departemen Pertanian
dalam menjalankan kegiatan.
Isu-isu produk impor sangat sensitif bagi petani. Akan tetapi, melarangnya
secara total juga akan mempersulit diplomasi perdagangan internasional. Serangan
balik akan diterima jika tidak berhati-hati dalam melakukan pelarangan. Di sisi lain
harus disadari oleh semua pihak, beberapa produk pertanian untuk sementara memang

harus diimpor karena keterbatasan kita. Kajian-kajian yang mendalam untuk sejumlah
komoditas, seperti impor sapi, impor gula, impor jagung, impor kedelai, impor buahbuahan, harus dilakukan
Hal ini sempat dinilai oleh Menteri Pertanian (Mentan) 2009-2014, Suswono
bahwa peternakan saat ini belum menjadi bidang agrobisnis yang intensif ditekuni
oleh peternak di Indonesia. Peternak masih memposisikan bisnis peternakan ini
sebagai ‘tabungan’ saja. Padahal, bisnis dan peluang usaha peternakan masih terbuka
dan cukup menjanjikan.
Sementara itu, tingkat konsumsi daging, seperti unggas Indonesia juga masih
minim. Ia mencontohkan masyarakat di Malaysia yang rata-rata setiap bulannya
mengkonsumsi daging ayam sebanyak tiga ekor, sementara Indonesia mengkonsumsi
satu ekor ayam dalam tiga bulan.
Kebutuhan daging negara kita baik unggas maupun sapi di Indonesia masih
terbatas sehingga perlu ditingkatkan. Jumlah peternak sapi di Indonesia saat ini
mencapai 5,6 juta orang sedangkan jumlah ternak sapi yang dihasilkan hanya sekitar
14 juta ekor. Selain itu, dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir mencapai
250 juta orang kondisi tersebut bisa menjadi kerawanan jika tidak diantisipasi.
Selain persoalan SDM, infrastruktur juga masih menjadi kendala. Mahalnya
ongkos angkut sapi dari NTT maupun NTB ke Jakarta ternyata masih lebih mahal jika
dibandingkan biaya angkut dari Darwin, Australia. “Negara luar seperti Australia
7


ingin selalu Indonesia menjadi pasar. Maka kita tempatkan program swasembada
daging ini pada prioritas kelima agar ketahanan pangan Indonesia tetap
terjaga,”tambah Suswono.
Beberapa program yang telah digalakkan pemerintah selain swasembada daging,
yaitu diversifikasi pangan, memberi nilai tambah pada ekspor daging, serta
meningkatkan kesejahteraan para peternak. Peran SDM peternakan, kata Suswono,
sangat penting untuk meningkatkan produksi daging ternak di Indonesia. Programprogram mengenai peternakan sapi di Indonesia yang telah dilakukan beberapa tahun
terakhir diantaranya :
 20

November

2013

"Menteri

Perdagangan

Republik


Indonesia Gita

Wirjawan memperkirakan jika hubungan diplomasi Indonesia dan Australia putus
total, maka hal itu akan sangat berdampak bagi sektor perdagangan. Pemutusan
hubungan kerja sama harus memperhatikan stabilitas harga dan kemampuan produksi
lokal. Kebijakan importasi daging sapi Australia akan mengganggu stabilitas harga
jika dihentikan karena kurangnya produksi lokal." (Kompas)
 21 November 2013" PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Persero telah

menghentikan proses negosiasiakuisisi peternakan sapi di Australia, menyusul aksi
penyadapan yang dilakukan negara tersebut." (Antara) (Kompas)
 22 November 2013"Dalam 2 tahun terakhir produksi susu sapi nasional terus

menurun 400 ton per hari. Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan menyebut
banyaknya sapi

perah

yang

dipotong

jadi

alasan

penurunan

produksi

tersebut." (Kompas)
 25

November

2013"Dirjen

Peternakan

mengatakan

pihaknya

tengah

mengembangkan sapi unggulan dan mengkategorikan sapi sesuai kelasnya dalam
upaya mewujudkan swasembada daging sapi di Indonesia dan meningkatkan
kesejahteraan peternak sapi." (Antara).

Salah satu keberhasilan swasembada daging ternak adalah keseriusan SDM
ternak di Indonesia. Tantangan SDM peternakan kian berat terutama di tengah
persaingan global. “Kita bisa mencontoh kesuksesan negara Israel maupun Iran dalam
hal ini sehingga kuncinya adalah keseriusan,”pesan Agus (Humas UGM/Satria AN)
8

Kerja sama international dalam bidang ternak sapi dilakukan guna melindungi
pasar domestik untuk komoditas pangan strategis terhadap praktek perdagangan
internasional yang tidak adil, dengan kebijakan promosi, sepeti subsidi produksi dan
insentif harga, serta kebijakan proteksi seperti pengenaan tarif, pengenaan kuota dan
non-tarif.
Pertumbuhan penduduk Indonesia sangat pesat, artinya semakin tinggi juga
persaingan bisnis akhir-akhir ini. Apalagi Indonesia pada tahun 2015 memasuki pasar
persaingan bebas (AFTA) yang apabila kita tidak bisa berbuat sesuatu maka kita akan
di libas oleh negara-negara lain dalam berbisnis.Oleh karena itu, bisnis perdagangan
Indonesia harus ditingkatkan terutama dalam bahasan kali ini adalah mengenai sektor
ternak sapi.
Seiring dengan meningkatnya populasi penduduk berarti jumlah permintaan
akan kebutuhan daging juga tinggi. Apalagi jumlah produksi daging sapi di dalam
negeri masih belum bisa menutupi jumlah kebutuhan masyarakat akan konsumsi
daging, hingga akhirnya terjadi defisit yang kemudian pemerintah melakukan impor
daging sapi dari negeri tetangga.
Berdasarkan penelusuran data, harga daging sapi khususnya sapi ternak
semakin tinggi, dari beberapa desa, setiap petani hampir memiliki sapi sebagai hewan
ternak mereka. Namun kini petani tidak benar-benar mengembangkan lebih lanjut
ternak sapi sehingga bisa menjadi mata pencaharian pokok mereka. Para petani kita
masih sangat minim informasi tentang cara ternak sapi yang baik dan benar sehingga
sapi hasil budidayanya terlihat tidak memiliki postur yang bagus dan lama dalam
perkembang biakannya.
Beternak sapi sebetulnya sudah dilakukan oleh masyarakat semenjak jaman
dahulu kala. Sebelum tahun 1980-an, usaha peternakan sapi potong di Indonesia dapat
dikatakan sebagai suatu usaha dengan pendekatan usaha tani dan bersifat tradisional.
Pemeliharaan sapi oleh para petani umumnya dalam jumlah yang relatif kecil dan
merupakan backyard farming. Ternak sapi di fungsikan sebagai tabungan. Di
beberapa daerah seperti di NTT dan NTB dimana terdapat padang rumput tingkat
pemilikan mungkin lebih besar, tetapi cara pengelolaan pun masih tradisional.
Program yang dikembangkan oleh instansi teknis umumnya terbatas dengan
peningkatan kualitas genetis melalui program IB atau penyebaran bibit sapi lokal
ataupun impor ke daerah transmigrasi. Kalau toh ada investasi dalam usaha sapi
9

potong,

pada

saat

itu

masih

terbatas

dalam

breeding dan dikelola oleh badan usaha milik negara. Dengan perkataan lain, usaha
peternakan masih terfokus di segmen hulu dan masih dalam skala yang sangat kecil.
Jenis-jenis sapi potong yang biasa ditemukan di indonesia berasal dari sapi lokal
dan sapi impor. Sapi-sapi tersebut masing-masing memiliki sifat genetik yang khas
dan bisa dilihat dari bentuk fisiknya maupun dari proses laju pertumbuhannya. Sapisapi lokal yang sering dijadikan sumber daging yaitu sapi ongole, sapi PO (peranakan
ongole), sapi bali,dan sapi madura. Ada juga sapi aceh yang sering di ekspor ke
Pinang Malaysia. Namun dari beberapa jenis sapi lokal yang ada di indonesia, yang
paling populer yaitu sapi PO, sapi bali, sapi madura dan sapi brahman.
Mulai awal tahun 1980-an, mulai ada titik perkembangan bangkitnya industri
peternakan sapi potong. Berlokasi di Jawa Barat, meskipun masih di tingkat hulu
industri sapi potong dimulai dengan adanya inovasi baru untuk melakukan
penggemukan sapi dengan pola pemeliharaan yang sangat intensif, berskala besar, dan
dalam waktu tertentu yang relatif singkat (2–3 bulan), dan padat modal. Bibit sapi
yang digunakan adalah sapi-sapi muda jantan yang dalam kondisi fase pertumbuhan
dengan perhitungan dapat diperoleh pertambahan berat yang maksimum dan efisien.
Dengan adanya feedlot seperti ini, bayangan bahwa usaha peternakan sapi potong
hanya
dan

sebagai
beralih

usaha
sebagai

tani

dan

suatu

backyard
lapangan

farming

mulai

dapat

dihapus

bisnis

yang

padat

modal.

Bertolak dari kesulitan inilah sebagai awal mulai digunakannya sapi bakalan dari
Australia dimana dengan mudah dapat diperoleh dalam jumlah yang besar dan dengan
harga

yang

relatif

setara

dengan

harga

sapi bakalan dari dalam negeri. Booming usaha feedlot telah mampu merangsang para
investor untuk terjun di bisnis penggemukan sapi potong. Mulailah tumbuh di
Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah serta beberapa propinsi lain. Pada akhir tahun
80-an merupakan era dimana usaha penggemukan sapi tumbuh dan berkembang
dengan pesat. Pasar daging di dalam negeri telah yang sebelumnya utamanya dipasok
daging yang bersumber dari sapi lokal karya para petani kecil, telah bergeser
ditambah sapi hasil penggemukan dengan bakalan impor, dan daging impor.
3.2 Permasalahan dalam industri sapi potong Indonesia menghadapi MEA 2015
Terdapat beberapa permasalahan ataupun kendala untuk membangun industri
peternakan sapi potong yang tangguh di tanah air, antara lain :
10

1. Sampai saat ini industri hulu yang ada di tanah air sama sekali sangat lemah yang
menjadi sumber sapi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan daging dalam
negeri.
2. Kita saat ini tidak memiliki data riil tentang populasi sapi di tanah air kita.
3. Masih belum adanya persepsi yang sama dari para stakeholder dalam industri
sapi potong.
4. Ada kekeliruan menafsirkan otonomi daerah untuk menggali potensi ekonomi
daerahnya , sementara pihak yang berakibat terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam
usaha sapi potong.
5. Semakin melemahnya penegakan hukum, disinyalir telah mendorong keberanian
beberapa pengusaha memasukkan daging secara illegal dari negara-negara yang
secara perundangan tidak diijinkan karena belum bebas dari PMK yang dalam waktu
cepat atau lambat akan menghancurkan industri sapi potong dalam negeri.
6.

Belum maksimalnya usaha untuk mengambil kesempatan mengambil peluang
memperoleh nilai tambah dari rantai peternakan sapi potong khususnya dalam
memproduksi berbagai produk daging baik untuk keperluan dalam negeri
ataupunekspor.

7. Jaringan pemasaran produk sapi potong yang belum mantap menyebabkan antara lain
belum optimalnya konsumsi daging di masyarakat.
Selain itu ada juga beberapa kendala/permasalahan lain dalam meningkatkan usaha
ternak sapi di Indonesia yaitu mutu genetik ternak yang tidak unggul, ketersediaan
pakan bermutu yang belum memadai, persoalan penyakit ternak yang belum dapat
dikendalikan dengan baik, transportasi ternak yang masih terkendala (teknis maupun
biaya), dan industri pengolahan hasil ternak yang belum berkembang. Selain itu, tentu
ada pula kendala yang bersifat sosial dan ekonomi.Pusat unggulan riset dan inovasi
peternakan harusnya fokus untuk menyelesaikan kendala-kendala teknis yang sudah
diketahui tersebut.
3.3 Langkah pendekatan untuk membangun industri sapi potong yang tangguh
menghadapi MEA 2015
Pertama, perlu adanya keputusan politik dari pemerintah untuk membangun
industri sapi potong dalam negeri khususnya untuk membantu petani menghadapi
MEA 2015. Dalam ketentuan Pasal 36 B ayat 1, diatur bahwa impor ternak dan
produk hewan boleh dilakukan bila produksi dan pasokan ternak serta daging di
11

dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Syarat tersebut
antara lain memperoleh izin menteri teknis, memenuhi syarat teknis kesehatan hewan,
bebas dari penyakit menular sesuai syarat otoritas veteriner, dan memenuhi ketentuan
perundangan di bidang karantina hewan. Namun haruslah dibarengi dengan kemauan
yang besar dari para pelaku bisnis sapi potong baik di segmen hulu maupun hilir.
Berita terakhir seperti dilansir oleh berbagai media massa bahwa pemerintah
akan menyediakan dana untuk mensubsidi bunga untuk usaha breeding sapi
merupakan langkah yang pantas untuk kita acungi jempol. Namun perlu pula
dipertimbangkan bahwa keringanan bukan hanya dari bunga bank, tetapi jangka
waktu kredit dan grace period harus diperhitungkan secara cermat agar program
breeding sapi dapat berjalan.
Kedua, perlu adanya suatu kesamaan persepsi dari seluruh stakeholder untuk
membangun industri sapi potong untuk kepentingan bersama termasuk konsumen
daging agar memperoleh daging yang sehat dan harga yang layak dan kompetetif.
Efisiensi usaha saja tidaklah cukup.
Ketiga, semua unsur yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi harus
dihapuskan baik yang didukung dengan peraturan daerah ataupun yang bersifat tidak
resmi. Ekonomi biaya tinggi ini berakibat menurunkan efisiensi usaha dan
menurunkan daya saing dan produktivitas peternak sapi.
Keempat, perlu adanya penataan dan peningkatan para usahawan yang
bermain di hilir untuk secara serius menggarap pasar dalam negeri ataupun ekspor
dengan inovasi-inovasi baru. Selain adanya nilai tambah yang diperoleh, mantapnya
segmen di hilir ini akan mempunyai dampak menghela segmen hulu. Berbagai
kemudahan usaha dan juga dalam memperoleh kredit merupakan unsur yang penting
untuk memacu perkembangan di segmen hilir dalam industri sapi.
Kelima, sejauh ini sebagian kebutuhan daging dipenuhi dari impor, baik dalam
bentuk daging ataupun sapi hidup, maka yang perlu mendapat prioritas adalah
bagaimana dapat diperoleh nilai tambah yang maksimal dari komoditi yang di impor
tersebut. Apabila melihat angka impor sapi dan daging untuk memenuhi kebutuhan
daging dalam negeri, kita sementara dapat tarik kesimpulan bahwa untuk swasembada
dalam arti kata semua daging dipenuhi dari potensi lokal, rasanya sangat berat dan
membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar. Kita harus mampu bertindak secara
12

realistis dan mengupayakan agar komoditas yang kita impor tersebut dapat di
maksimalisasi nilai tambahnya dan bila mungkin menjadi komoditas ekspor.
Keenam, kita harus dapat menampilkan unggulan di setiap segmen kegiatan.
Kita harus menyadari bahwa efisiensi dalam setiap segmen hulu menjadi kunci
keberhasilan dan kuatnya daya saing.
Selain itu, untuk menghadapi MEA 2015 , sebaiknya ternak sapi lokal di
Indonesia disertifikasi baik produk maupun kualitas sapi lokalnya. Karena dengan
disertifikasi, hal tersebut dapat meningkatkan pendapatan peternak sapi lewat harga
jual yang dinaikkan. Sehingga dengan harga tersebut, dan kualitas yang baik akan sapi
tersebut tidak mengecewakan konsumen
Menteri Pertanian Indonesia 2009-2014, Suswono juga mengatakan bahwa
upaya optimalisasi sumber daya lokal tersebut sekaligus sebagai salah satu langkah
menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Tantangan ke
depan yang harus dihadapi adalah bagaimana kesiapan kita menuju kemandirian
pangan dalam menyongsong era MEA 2015. Tantangan lain adalah soal
meningkatkan nilai tambah bagi petani dan dapat meningkatkan daya saing komoditas
pertanian di sektor hilir.
Untuk itu sejumlah bantuan telah disiapkan beberapa kementerian terkait
antara lain Kementerian Pertanian berupa pelayanan inseminasi buatan (IB) sapi
sebanyak 50 ribu dosis serta pelayanan kesehatan hewan mengatasi gangguan
reproduksi 60 ribu ekor sapi di Sumatera Barat.

3.4 Mengatasi Kendala Mewujudkan Swasembada Daging
Peternak sapi potong harus berkompetisi dengan produk impor, hal tersebut
dikhawatirkanakan menurunkan semangat peternak dalam beternak. Indonesia melalui
Kementerian Pertanian dan Peternakan saat ini sedang berjuang dalam merealisasikan
program swasembada daging yang digulirkan sekitar belasan tahun silam.
Kenyataannya, program tersebut sampai sekarang belum dapat diwujudkan.
Alasannya ada beberapa faktor yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaanya
antara lain :
13

 Sistem perdagangan yang belum tertata dengan baik
Sistem perdagangan daging yang belum tertata baik menyebabkan harga
daging dalam negeri lebih mahal dibanding harga daging impor. Banyaknya perantara
dari RPH ke pedagang di pasaran menyebabkan banyak juga uang fee yang harus
dikeluarkan setiap tangan untuk mendistribusikan daging ke pengecer akhir. Biaya
yang dikeluarkan apabila dihitung untuk mengirim daging dari wilayah Jawa ke
Sumatra lebih besar dibanding dengan mengimpor daging atau sapi untuk
penggemukan dari negara luar.
Alasannya dalam melakukan impor, tidak banyak melibatkan banyak pihak
sehingga uang ‘jalan” pun tidak banyak dikeluarkan. Setiap pengangkutan daging ke
wilayah-wilayah di Indonesia, harus membayar uang keamaan baik di pelabuhan,
dijalan kepada preman maupun aparat kepolisian. Sifat tamak ini tidak akan pernah
berkurang jika sistem perdagangan dan sistem-sistem terkait belum ditata dengan
baik.
 Keterbatasan informasi para peternak dan peran penyuluh yang kurang aktif
Kurang pahamnya para peternak tentang program swasembada daging menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan belum terealisasinya program pemerintah ini.
Peternak secara tidak langsung tidak memperhatikan sapi produktif atau tidak
produktif, yang mereka jual ketika demand daging sapi di pasaran melonjak. Peternak
hanya memikirkan keuntungan yang didapat tanpa berpikir dampaknya bagi
ketersediaan populasi sapi yang ada.
Faktor lain yang menjadi akar permasalahan adalah kurang aktifnya penyuluh
lapangan dalam menyampaikan informasi kepada para peternak. Penyuluh dalam hal
ini bisa para mahasiswa peternakan yang langsung turun ke masyarakat untuk
memberikan penyuluhan. Apabila para penyuluh peternakan pemerintahan aktif untuk
terjun ke lapangan dan membina para peternak, dapat dipastikan para peternak akan
berpikir ulang untuk menjual sapi betina produktif mereka untuk dipotong.
Mereka akan memiliki persediaan sapi jantan yang siap dipotong jika
pengelolaan peternakan mereka dibantu dan dibimbing oleh penyuluh peternakan.
14

Indonesia bisa menjadi produsen daging dan pengekspor ternak dengan syarat
memperbarui teknologi pembibitan ternak dikalangan para peternak kecil dan industri.
 Akses transportasi yang sulit
Masalah transportasi merupakan masalah massal untuk semua sektor bidang
terutama terkait pasokan ke daerah-daerah yang membutuhkan trasnportasi yang
memadai dan sarana prasarana yang mendukung. Hal Ini menunjukan buruknya
infrastruktur yang mendukung ketahanan pangan Indonesia. Armada laut, darat dan
udara memiliki peran yang penting dalam membawa sapi maupun daging dari daerah
yang surplus produksi. Hal tersebut dapat menekan biaya distribusi apabila dilakukan
pengangkutan melalui tiga jalur. Harga daging di daerah NTT dan sekitarnya cukup
murah, tetapi jadi lebih mahal akibat masalah di dalam pendistribusian. Baik dari
individunya maupun fasilitas yang kurang memadai.
Pengadaan kapal khusus ternak yang rencananya akan dikeluarkan maret lalu
ternyata terhambat akibat masalah yang klasik yaitu “ANGGARAN”. Sistem
birokrasi yang berbelit-belit membuat anggaran dan perijinan yang semestinya harus
cepat dikeluarkan malah dihambat. Sudah menjadi budaya di Indonesia, proyek tanpa
“UANG LELAH” akan dipersulit.
 Biaya pakan yang tinggi akibat kartel pakan pabrik
Biaya pakan yang tinggi merupakan salah satu penyebab kelangkaan daging
sapi. Peternak-peternak kecil hanya mampu memelihara 2-3 ekor sapi saja akibat
harga pakan yang melambung tinggi. Pakan memang menjadi pengeluaran utama
dalam peternakan. Asumsi untuk pakan hampir 70 % dari total biaya untuk beternak.
Peternakan skala industri tentu tidak merasakan dampak yang demikian,
mereka memproduksi pakan untuk dijual maupun digunakan untuk industri mereka
sendiri. Otomatis mereka dapat memainkan harga pakan jika pasokan sapi maupun
daging sapi mulai langka dan harga yang rendah. Sehingga mereka dapat memonopoli
harga pakan di pasaran.
Peternak-peternak sebenarnya dapat mengatasi masalah pakan yang mahal
dengan membuat formulasi ransum pakan sendiri. Bahan-bahannya pun didapat dari
limbah pertanian disekitar mereka. Inilah salah satu peran penting para penyuluh
pertanian dan peternakan. Peran mahasiswa peternakan juga sangat dibutuhkan dalam
15

hal ini. Mereka harusnya dapat membina para peternak yang kurang memiliki
pengetahuan akan kombinasi pakan ternak. Melalui pengetahuan yang mereka miliki
tentang formulasi ransum, dapat mengatasi masalah harga pakan yang meroket.
 Program pemerintah yang masih menyulitkan dan belum pro peternak kecil
Pemerintah memiliki beberapa program kredit yang bisa dimanfaatkan para
peternak, di antaranya Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Kredit Usaha
Pembibitan Sapi (KUPS), maupun Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK).
Program yang diberikan pemerintah selama ini yang untuk usaha pembibitan dan
budidaya ternak seperti pinjaman modal dan kredit hanya menguntungkan
pengusaha–pengusaha besar. Pengusaha-pengusaha mampu membayar cicilan dengan
tingkat bunga yang besar, sedangkan para peternak kecil, merasa keberatan dengan
tingkat bunga yang ditawarkan. Hal ini tentu membuat jurang pemisah antara peternak
kecil dan peternak besar semakin lebar.
Tingkat bunga yang besar, akan sangat memberatkan para peternak kecil
sebab mereka juga harus memikirkan biaya operasional setiap hari unutuk ternak
mereka. Prosedur yang kurang dimengerti peternak kecil untuk mengajukan program
tersebut juga menjadi salah satu penyebab hal tersebut. Harusnya perbankan lebih
memudahkan dalam hal peminjaman modal kepada peternak-peternak kecil dengan
sistem bunga menurun. Apabila dipermudah tentu peminjaman juga akan mengalami
kenaikan dan omset dari bank juga akan mengalami kenaikan. Penggalakan kembali
KUD harus digalakkan kembali, karena KUD biasanya memberikan pinjaman barang
penunjang sarana peternakan.
Langkah pemerintah sekarang untuk membeli lahan di wilayah Australia
dinilai

cukup

efektif.

Alasannya,

selain

lebih

efisien,

terutama

untuk

pengembangbiakan sapi atau breeding dimana biayanya jauh lebih murah di Australia
ketimbang Indonesia. Sapi-sapi tersebut nantinya setelah dibiakkan akan diboyong
kembali ke Indonesia untuk proses penggemukan.
Pemerintah diharapkan dapat menggaet para akademisi, mahasiswa dalam
pencapaian program swasembada daging 2014. Mahasiswa merupakan agen of
control dalam suatu kebijakan sehingga diharapkan kebijakan yang baik ini dapat
berjalan dengan baik jika ada kontrol yang ketat dari para mahasiswa. Para pemangku
16

kepentingan juga diharapkan dapat duduk bersama-sama dan bersinergi dalam
mewujudkan program swasembada daging.
3.5 Mengatasi Masalah Ketersediaan Dan Kualitas Pakan Sapi Dengan
Teknologi Hi-Fer
Upaya pencapaian program swasembada daging sapi selain memerlukan
ketersediaan bibit/bakalan sapi, juga adanya kesiapan penyediaan pakan yang cukup
dan berkelanjutan dengan mutu yang memadai serta harga murah.
Ketersediaan pakan yang belum memadai mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam
peningkatan populasi ternak sapi. Ketersediaan hijauan pakan di Indonesia merupakan
tema utama yang menjadi pembatas perkembangan ternak.
Salah satu komponen pakan yang utama adalah hijauan karena hijauan merupakan
bahan pakan utama (lebih dari 80 persen dari total bahan kering).
Jumlah ternak sapi pada tahun 2011 sebanyak 14,8 juta ekor dan meningkat sekitar
0,07 persen pada tahun berikutnya (Ditjennak, 2012).
Jumlah tersebut tergolong sangat banyak diperkirakan untuk mendukung
program swasembada daging sehingga perlu adanya program maupun upaya
penyediaan pakan hijauan berkelanjutan. Secara perkiraan potensi ketersediaan pakan
sangat tinggi, baik yang berasal dari hijauan maupun limbah pertanian. Hal tersebut
dimungkinkan karena didukung oleh ketersediaan sumber daya lahan tanaman
pangan, perkebunan, dan kehutanan.
Oleh karena itu, diperlukan teknologi tepat guna, yang bersifat terpadu
menyangkut teknologi pengolahan, pengemasan, transportasi dan distribusi, dan
mampu menangani permasalahan pakan dari hulu sampai hilir (sejak proses produksi,
sampai pada penggunaannya di tingkat peternak).
Sebagai

bagian

dari

institusi/perguruan

tinggi,

Pusat

Studi

Hewan

Tropika/Center for Tropical Animal Studies (Centras) LPPM-IPB telah dan akan terus
mengembangkan berbagai inovasi teknologi tepat guna dan terpadu untuk
meningkatkan penyediaan pakan bermutu di Indonesia.
Kelebihan dari teknologi ini adalah: (1) dapat diproduksi oleh masyarakat (petani)
secara masal; (2) mudah (secara manual dengan peralatan dan bahan tersedia di
lokasi setempat); dan (3) biaya murah.
17

Agar inovasi teknologi tepat guna, perlu model pengembangan produk Hi-fer dengan
berbasis pada pemberdayaan masyarakat oleh perguruan tinggi.
Secara ringkas kebutuhan teknologi yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan
tersebut adalah teknologi terpadu meliputi pengolahan pakan, pengawetan,
pengemasan, transportasi, dan komersialisasi. Selain itu karena menyangkut inovasi
baru dalam teknologi tepat guna, akan dirumuskan model introduksi teknologi
tersebut dengan sistem produksi massal oleh masyarakat dengan mempertimbangkan
kondisi dan potensi masyarakat setempat.Inovasi Hi-fer merupakan teknologi tepat
guna tentang cara produksi, pemanenan, pengolahan, penyimpanan, dan kiat mudah
dalam transportasi dalam bentuk produk kemasan komersial.
Teknologi Hi-fer+ dapat diproduksi oleh masyarakat (petani) secara massal
dengan mudah (secara manual dengan peralatan dan bahan tersedia di lokasi
setempat) dan biaya murah (maksimum biaya pengolahan dan pengemasan adalah 20
persen dari harga bahan baku/hijauan). Dengan kemudahan pembuatan dan
keunggulan produk ini, akan memberikan manfaat baik bagi masyarakat umum,
petani/peternak, perguruan tinggi dan pemerintah sebagaimana yang dikemukakan di
atas.
Hi-fer merupakan Model Pemberdayaan Masyarakat oleh Perguruan Tinggi Berbasis
Inovasi Teknologi.
Model

ini

meliputi

model

tentang

peran

masing-masing

pelaku:

petani/masyarakat sebagai produsen, mitra kerja sebagai pengumpul dan
institusi/perguruan tinggi sebagai inovator dan pendamping pengembangan
produk.
Selain itu, model akan menyangkut tentang penyiapan kelembagaan dan
komersialisasi produk sehingga dapat berlangsung secara berkelanjutan dan
memungkinkan untuk direplikasi di berbagai wilayah.
Hasil uji coba yang dilakukan CENTRAS IPB, bahwa pemberian 100 persen Hifer mampu sebagai pengganti hijauan rumput segar.
Teknologi Hi-fer diyakini tidak terlampau mengotori kandang, mampu menekan bau
feses, dan mengurangi pencemaran lingkungan. Bagi IPB Hi-Fer telah berhasil
melalui serangkaian kegiatan yang dikemas dalam bentuk paket teknologi nutrisi dan
pakan, dengan penerapan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.Manfaat ini
18

tanggapi dengan baik oleh mitra kerja. Penerapan-penerapan teknologi tepat guna Hifer dan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat telah direspons oleh masyarakat
khususnya CV. Anugrah Farm, Ciampea Bogor.
Usaha sapi potong di peternakam Anugrah Farm dilakukan sistem "community
development" ternak peternak-peternak sekitar usaha ternaknya, dengan mendifusikan
inovasi Hi-fer.

Peternak-peternak binaan (yang sebagian besar berusia lanjut) tersebut tak
perlu "ngarit", mencari rumput. Pakan Hi-fer disediakan pihak Anugrah Farm.
"Teknologi Hi-fer merupakan solusi yang diberikan IPB terhadap dinamika dan
kemajuan bidang peternakan. Dengan teknologi ini, maka ke depan diharapkan para
peternak mampu beternak tanpa mengarit," kata Prof. H. Djuanda, pimpinan CV.
Anugrah Farm.

19

Kesimpulan
Indonesia saat ini masih perlu mempersiapkan banyak hal untuk menghadapi
Masyarakat

Ekonomi

ASEAN(MEA) dalam

bidang

peternakan,

khususnya

peternakan sapi. Kurang seriusnya bisnis peternakan di Indonesia menyebabkan
produksi peternakan di Indonesia masih belum memadai program swasembada daging
Sapi untuk masyarakat Indonesia sendiri. Selain kurang seriusnya lingkungan bisnis
peternakan sapi di Indonesia, banyak kendala yang ditemukan dalam pengembangan
di bidang tersebut antara lain Biaya Transportasi yang mahal, Petani minim informasi
dalam mengembangkan industri sapi, dan biaya pakan tinggi.

Saran
Pemerintah harus mempertegas keseriusan dalam menghadapi masalah dalam
perkembangan di bidang industri sapi potong di Indonesia. Hal tersebut dibutuhkan
untuk meminimalisir impor daging sapi dan mempersiapkan petani-petani Indonesia
untuk menghadapi MEA.
Pemerintah harus mulai meningkatkan standar operasi perindustrian sapi di
Indonesia dengan cara pemberian sertifikasi kepada daging lokal, Pemberian
informasi terhadap cara mengembangkan industri peternakan sapi yang benar kepada
petani-petani, dan pembenahan jalur transportasi untuk memudahkan pendistribusian
produk sapi.
Komersialisasi inovasi dalam produk peternakan juga harus dilakukan. Inovasi
seperti pakan ternak Hi-Fer+ temuan IPB seharusnya dapat menjadi standar pakan
ternak di industri peternakan Indonesia.

20

DAFTAR PUSTAKA

http://www.setneg.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=7911
http://ugm.ac.id/id/berita/8164-bisnis.peternakan.masih.menjanjikan
https://www.sipendik.com/untung-besar-dari-usaha-ternak-sapi-potong/
http://beritajalanan.com/2014/08/mea-ternak-lokal-wajib-tersertifikasi/
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi
dan Kerbau Indonesia
http://www.fmp.sinarindo.co.id/index.php/article/14-sekilas-tentangpeternakan-sapi-potong-di-indonesia
http://m.bisnis.com/industri/read/20141002/99/261957/uu-peternakan-anginsegar-bagi-peternak-sapi-perah
http://simplenewz.com/2014-10-07/mainstream/feed/95108
http://duniasapi.com/…/1854-lamtoro-pakan-hijauan-ternak-sa…
http://www.republika.co.id/…/mx4oif-mari-beternak-tanpa-men…
http://beritadaerah.co.id/2013/10/25/sumber-daya-pangan-lokal-harus-dioptimalkan/
http://ugm.ac.id/id/berita/8164-bisnis.peternakan.masih.menjanjikan

21

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147