Hegemoni Orde Baru terhadap Pesantren Te
Hegemoni Orde Baru terhadap Pesantren: Telaah Konsep Hegemoni
Gramscian
Oleh: Khalid Syaifullah
Latar Belakang
Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengalami dinamika yang cukup
panjang mengenai kebudayaan. Salah satu hal yang menjadi isu yang masih dominan sekarang
adalah soal pendidikan. Hal ini termaktub dalam karya Achdiat K. Miharja yang berjudul Polemik
Kebudayaan. Dalam karya itu disebutkan bahwa adanya perdebatan antara pandangan Barat yang
diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana vis a vis Dr. Sutomo yang mewakili pandangan Timur. Sutan
Takdir menganggap bahwa pembangunan pendidikan bangsa Indonesia harus berorientasi ke
Barat. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa pendidikan Barat yang lebih maju, oleh karena itu
mampu memajukan bangsa Indonesia. Sementara Dr. Sutomo berpandangan sebaliknya dengan
mengatakan bahwa pendidikan bangsa Indonesia harus menggunakan model pesantren. Pesantren
dianggap sebagai model pendidikan asli masyarakat Indonesia. Untuk itu, pesantren dianggap
sebagai model pendidikan paling tepat bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Sekitar tahun 1965/66, bangsa Indonesia berada pada tahap transisi dari kepemimpinan
Soekarno (Orde Lama) yang digantikan oleh Soeharto. Gaya kepemimpinan sebelumnya yang
ditekankan pada aspek politik (otoriter), berubah kepada pemerintahan yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Awalnya, ada harapan besar bahwa akan dimulai
suatu proses demokratisasi. Banyak kaum cendekiawan menggelar berbagai seminar untuk
mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak
berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur-angsur mengambil
alih pimpinan (Budiardjo, 2008:250).
Selain itu, era pemerintahan Orde Baru ditandai dengan masuknya wacana modernisasi
secara besar-besaran. Pemikiran-pemikiran Barat tentang modernisasi telah menyebar ke seluruh
kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan akibat logis dari sikap Soekarno yang dinilai
sangat anti-Barat. Pemikiran (khususnya liberalisme) yang tadinya ditekan, pada masa Orde Baru
mendapatkan tempatnya yang leluasa. Beberapa kelompok yang mewakili pandangan Barat
tumbuh sumbur seperti Congress for Cultural Freedom (CCF), Manifes Kebudayaan (Manikebu)
sebagai tandingan Lekra, dan lainnya. Selain itu, fenomena yang paling menonjol sebagai wujud
suburnya pemikiran Barat adalah masuknya banyak sarjana Amerika yang mengambil peran yang
cukup sentral dalam merumuskan kebijakan pembangunan Orde Baru.
Dengan derasnya arus modernisasi yang berkembang, hal ini ikut berpengaruh terhadap
wacana pendidikan di Indonesia. Pendidikan menjadi alat Orde Baru dalam menjalankan
pemerintahannya. Pemerintahan Orde Baru yang terkenal dengan pembangunan ekonomi dan
stabilitas politik, menjadikan top down sebagai pola yang dipakai. Negara, dengan dalih
pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, terlalu banyak melakukan intervensi terhadap
kehidupan di masyarakat lokal. Intervensi ini dilakukan oleh aparat birokrasi, aparat represi
(tentara), dan lembaga pendidikan, dan sebagainya. Kecenderungan interventif ini diakomodasi
oleh sistem administrasi negara yang sangat sentralistis. Sistem inilah yang kemudian menjadikan
kekuasaan
rezim ini bertahan begitu lama. Kebertahanan rezim ini juga ditopang oleh
kemampuannya untuk mengakomodasikan semua kepentingan dari kelompok-kelompok
masyarakat dalam sebuah aktifitas yang mempunyai sinergitas. Dengan kata lain, Orde Baru
menggunakan konsep hegemoni gramscian.
Tidak terkecuali pesantren. Pesantren sebagai basis pendidikan di desa ikut terkena arus
modernisasi yang digaungkan oleh pemerintah Orde Baru. Orde Baru dengan hegemoninya
mampu membuat pesantren mengikuti kurikulum yang dibentuk pada saat itu sebagai hasil dari
wacana modernisasi yang tumbur subur. Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana pemerintah
pada era Orde Baru yang menggunakan pola top down melakukan hegemoni gramscian dalam
bentuk intervensi persuasif terhadap kurikulum pesantren.
Pertanyaan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas, maka diajukan pertanyaan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan konsep hegemoni Gramsci?
2. Bagaimana Orde Baru dalam menggunakan hegemoninya terhadap pesantren?
PEMBAHASAN
Hegemoni (bahasa Yunani: hegemonía) pada awalnya merujuk pada dominasi
(kepemimpinan) suatu negara-kota Yunani terhadap negara-kota lain dan berkembang menjadi
dominasi negara terhadap negara lain (Patria & Arief, 2003:115-116). Namun saat ini,
kepemimpinan tersebut menunjukkan pada sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang
bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar
maupun secara ketat terintegrasi dalam negara ‘pemimpin’ (Davies, 1977). Bagi Gramsci, konsep
hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti
bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang
ada, sesuatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang bersifat
memaksa (Faruk, 2005:62-63).
Pandangan hegemoni tidak terlepas dari Antonio Gramsci. Gramsci memliki hak paten
tentang perbincangan mengenai hegemoni. Starting point konsep Gramsci tentang hegemoni adalah
bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya
dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi (Bocock, 2007:22-23). Cara kekerasan yang
dilakukan oleh kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan dominasi. Perantara tindakan ini
adalah aparatur negara, seperti militer dan polisi. Sedangkan hegemoni dilakukan dengan cara
penanaman ideologi terhadap kelas bawah dengan tanpa paksaan. Hegemoni diraih bukan melalui
kekerasan, akan tetapi secara politis dengan menggunakan kekuatan moral dan intelektual untuk
menciptakan keseragaman pandangan dalam masyarakat.
Dalam mengembangkan konsep hegemoni, Gramsci terinspirasi oleh seorang tokoh
bernama Lenin. Dalam menghadapi kekuasaan Tsar, Lenin merasa harus mendapatkan dukungan
dari masyarakat. Oleh karena itu, dia berusaha keras untuk mencapai kesadaran para pekerja, yakni
bukan saja memberdayakan berbagai serikat pekerja, tetapi juga melibatkan kelompok-kelompok
lain, yang di dalamnya termasuk kritikus borjuis, petani, dan intelektual ke dalam sebuah gerakan.
Hal ini merupakan modal utama baginya untuk dapat menggulingkan Tsar. Lenin menyebarkan
pengetahuan politik kepada para pekerja dan membaurkan para pengikut Partai Sosial Demokrat
dengan segala kelas di masyarakat untuk mencapai kesadaran yang ia inginkan (Simon, 2004:19).
Itulah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni. Hegemoni memainkan peranannya pada
suprastruktur (intelektual, moral, dsb). Artinya, dalam mencapai hegemoni terdapat persetujuanpersetujuan oleh berbagai kelas secara sadar dan bukan diperoleh melalui paksaan.
Selanjutnya, dalam mengembangkan hegemoninya, Gramsci berpijak pada kepemimpinan
yang bersifat moral dan intelektual. Kepemimpinan ini mendapatkan persetujuan secara sukarela
oleh kelas yang di bawah terhadap kelas atas yang menghegemoni. Karena hegemoni dicapai
melalui sukarela, maka persetujuan tidak mengandung sesuatu yang negatif. Justru sebaliknya, suatu
tindakan, aturan dan kebijakan yang diambil selalu berdasarkan persetujuan yang berarti positif
(baik). Persetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam menanamkan
ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan dengan membangun sistem dan
lembaga-lembaga, seperti negara, common sense, kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan seterusnya,
yang dapat memperkokoh hegemoni tersebut.
Berkaitan dengan negara, Gramsci memandangnya sebagai suatu keseluruhan aktivitas baik
teoritis maupun praktis yang dengannya maka bukan saja pemerintah yang mengklaim
dominasinya, melainkan juga memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah. Negara
dalam perspektif Gramsci tidak hanya menyangkut aparat pemerintahan, tetapi juga menyangkut
aparat hegemoni atau masyarakat sipil (Faruk, 2005:77). Negara dengan demikian merupakan
sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa dan sebagai alat oleh suatu kelas terhadap kelas
lainnya. Lewat nagara ini kelas atas melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik
maupun dominatif. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri,
mempertahankan kekuasaannya.
Gramsci membagi dua wilayah dalam negara, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik.
Masyrakat sipil merupakan sesuatu yang sangat penting bagi konsep hegemoni Gramsci karena
merupakan persetujuan dari kehendak kelas yang berada di bawah. Sementara itu masyarakat politik
merupakan wilayah yang penuh kekerasan karena terdiri dari aparatur pemerintahan yang bersifat
dominatif. Dengan demikian, pada wilayah masyarakat sipil itulah hegemoni berlangsung karena
wilayah ini merepresentasikan penerimaan secara moral dan intelektual sebuah kekuasaan kelas
atas. Sementara masyarakat politik mencerminkan kekerasan yang bersifat dominatif yang di
dalamnya terdapat aparatur negara seperti militer dan polisi.
Di sisi lain, kaum intelektual dalam negara juga berperan dalam berlangsungnya hegemoni.
Konsep intelektual dalam tafsir Gramsci adalah semua orang yang mempunyai fungsi sebagai
organisator dalam semua lapisan masyarakat dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah
politik dan kebudayaan. Wilayah kebudayaan itu menyangkut proses penempaan pemikiran,
penguasaan ide-ide yang bersifat umum dengan mengaitkan sebab dan akibatnya (Pozzolini, 2005).
Gramsci juga membagi kaum intelektual menjadi dua bagian, yaitu intelektual tradisional dan
intelektual organik. Kelompok intelektual tradisional adalah kaum intelektual yang terbatas pada
lingkungan kaum tani dan borjuis kota kecil belum meluas dan bergerak oleh sistem kapitalis.
Kaum intelektual tradisional selalu menempatkan dirinya sebagai kelompok sosial yang dominan
yang otonom dan independen, yaitu sebagai orang-orang kedudukannya dalam masyarakat
mempunyai lingkaran antar kelas tertentu. Sementara itu, kaum intelektual organik adalah
intelektual dan para organisator politik dan pada saat yang sama juga bos-bos perusahaan, petanipetani kaya atau manajer perumahan, penguasa komersial dan industri, mahasiswa dan sebagainya.
Kaum intelektual organik menyadari bahwa identitasnya dari yang diwakili dan yang mewakili, dan
merupakan barisan terdepan yang riil dari organik dari lapisan kelas papan atas yang di situ mereka
masuk di dalamnya.
Jauh sebelum ada sekolah umum, tempat pendidikan (agama) di langgar/surau, masjid,
meunasah, atau dayah untuk tingkat dasar dan pesantren untuk tingkat selanjutnya merupakan satu-
satunya lembaga pendidikan yang tersedia bagi penduduk pribumi di pedesaan (Dirdjosanjoto,
1999:140). Sebutan pesantren atau pondok pesantren pada mulanya hanya berlaku di Jawa,
meskipun sekarang ini sudah menjadi nomenklatur paling umum (Subhan, 2009:67). Pada mulanya,
kegiatan pesantren ditujukan untuk mempersiapkan seseorang sebelum terjun dalam kehidupan di
masyarakat.
Pesantren sejak awal terlibat dalam menciptakan elit-elit desa. Biasanya pesantren didirikan
oleh kyai. Kyai memiliki otoritas penuh dalam menentukan visi dan misi serta kurikulum
pesantrennya. Oleh karena itu, kyai dianggap sebagai figur yang sentral dalam pesantren.
Tetapi, pada awal abad 20, pemerintah Belanda melakukan hegemoni terhadap pesantren
dengan menggunakan wacana modernisasi. Dalm hal ini, Belanda menganggap model pendidikan
pesantren menghambat proses modernisasi di Hindia Belanda. Karenanya, pesantren
direkomendasikan untuk mengubah metode dan sistem pengajarannya agar sesuai dengan kondisi
modern. Di samping itu, berbagai pandangan kaum intelektual, yang berperan sebagai intelektual
organik, tentang pentingnya modernisasi disebarkan. Modernisasi, misalnya, dipandang sebagai
panser raksasa yang melaju di tengah-tengah kehidupan masyarakat (Ritzer & Goodman,
2005:553). Kehidupan modern adalah sebuah dunia yang tak terkendali dengan langkah, cakupan,
dan kedalaman perubahannya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem sebelumnya.
Oleh karena itu, masyarakat secara ‘sukarela’ menerima wacana modernisasi. Banyak kyai
yang mengelola pesantren mengubah cara pengajaran yang disesuaikan dengan wacana modernisasi
yang sedang berkembang pada waktu itu. Banyak juga pesantren pada waktu itu yang mendirikan
madrasah. Dalam konteks perkembangan pesantren, tokoh-tokoh seperti Sheikh Nawawi AlBantani (w. 1897), Sheikh Mahfud Al-Tarmisy (w. 1919), Kyai Khalil Bangkalan (w. 1924), Kyai
Asnawi Kudus (w. 1959), dan Kyai Hasyim Ash’ari (w. 1947) merupakan para ‘arsitek pesantren’
Indonesia (Subhan, 2009:71).
Hegemoni ini berlanjut ketika pada masa Orde Baru. Melalui Menteri Agama, pemerintah
menerapkan kebijakan yang berusaha menjadikan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional. Konsekuensinya, madrasah harus mengajarkan pelajaran umum minimal 60%, di samping
juga pelajaran agama sebanyak 40%. Madrasah yang memenuhi persyaratan tersebut, lulusannya
disamakan dengan lulusan sekolah umum setelah mengikuti ujian negara. Akibatnya, banyak
pesantren yang mengelola pendidikan madrasah melakukan reformasi pendidikannya dari sistem
salaf ke sistem khalaf (modern), atau paling tidak menggabungkan kedua sistem tersebut. Sebagai
catatan, dari awal Orde Baru telah menerapkan kebijakan yang meminggirkan orang Islam.
Menurut Din Syamsuddin, upaya untuk meminggirkan peran Islam ini dengan melakukan
kebijakan depolitisasi dan desimbolisasi Islam (Din Syamsuddin, 2001: 63-70).
Salah satu bentuk hegemoni Orde Baru seperti terjadi di pesantren Jombang. Pesantren
yang sempat dikelola oleh Hasyim Asy’ari ini mulai memperkenalkan sistem klasikal dan pelajaranpelajaran sekluar, seperti matematika, gegorafi, dan lainnya. Hal ini membawa nilai-nilai yang
bersifat modernitas masuk ke dalam pesantren. Selain itu, bahkan terdapat prosentase 70%
pelajaran sekular dan 30% pelajaran agama yang diterapkan di pesantren Madrasah Nizhamiyah.
Hal ini juga turut mempengaruhi pesantren-pesantren yang lain untuk mengikutinya. Selain itu,
pesantren Syafiiah di Jakarta juga mengikuti langkah pesantren Tebuireng. Pesantren ini mengikuti
kebijakan Orde Baru untuk menyesuaikan kurikulumnya dengan UU Sisdiknas pada saat itu.
Sempat ada kekhawatiran umat Islam mengenai kebijakan Orde Baru. Hal ini disampaikan oleh A.
Mukti Ali selaku Menteri Agama pada saat itu. Kekhawatiran ini direspon Orde Baru dengan
mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kepres No. 34 Tahun 1972, yang isinya antara lain:
melimpahkan tanggung jawan pembinaan pendidikan kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, sedangkan pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama. Selain itu,
untuk pelaksanaan Kepres No. 34 Tahun 1972 untuk mengikutsertakan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama. Selanjutnya, upaya pasif
ini menjadi indikasi bahwa adanya penerimaan dari kalangan pesantren terhadap produk kebijakan
Orde Baru dalam melakukan uniformitas kesadaran terhadap kurikulum pesantren.
Selain itu, UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi kebijakan
Orde Baru yang akomodatif bagi kalangan Islam. UU ini mengakui pendidikan agama sebagai subsistem dari pendidikan nasional. Mata pelajaran agama juga menjadi mata pelajaran yang wajib di
sekolah-sekolah umum. Selain itu, UU ini juga menjamin eksistensi lembaga pendidikan seperti
MI, MTs, MA dan lainnya. Akan tetapi, langkah ini selain dipandang akomodatif, dipandang
sebagai langkah politik Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya (Lihat Suharto, 2013: 88).
Di sinilah konsep hegemoni Gramsci bermain, yaitu melalui upaya penyeragaman pemahaman
kelompok Islam dalam memahami dan mendukung kebijakan Orde Baru. Hal itu dilihat sebagai
peran intelektual dan moral pada ranah supra-struktur.
Penguatan hegemoni yang ditopang oleh banyaknya kaum intelektual juga turut
menyebarkan ide/gagasan mengenai pembangunan. Sebut saja salah satunya Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) yang mendukung kebijakan pemerintah pada saat itu untuk melakukan
modernisasi pendidikan pesantren. Tidak cuma itu, ICMI juga mengadakan diskusi dengan
berbagai kalangan agamis dan sekuler dalam rangka mencapai kesadaran bersama bahwa wacana
modernisasi pendidikan Islam memang harus dilakukan. Di samping itu, organisasi seperti
Muhammadiyah sangat gencar mendirikan lembaga pendidikan yang modern seperti sekolah,
sampai perguruan tinggi.
KESIMPULAN
Konsep hegemoni Gramsci mengacu pada suatu kekuasaan dan atau kepemimpinan yang
diperoleh melalui cara-cara persuasif. Suatu kelas dapat mencapai hegemoni dengan persetujuan
secara ‘sukarela’ dari kelas-kelas yang lain. Hal ini dicapai melalui penanaman ideology dari kelas
atas terhadap kelas di bawahnya. Kepemimpinan yang diperoleh juga bersifat moral dan intelektual.
Gramsci membagi dua wilayah antara masyarakat sipil dan politik. Masyarakat sipil
merupakan wilayah berlangsungnya hegemoni karena disitu terdapat penerimaan sukarela
(persuasif) dari kelas yang berada di bawah terhadap kelas yang di atas. Sementara masyarakat
politik merupakan wilayah dominasi karena di dalamnya terdapat aparatur negara seperti polisi dan
militer yang sering menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dalam konteks Orde Baru, hegemoni dipakai dengan cara menanamkan ideologi kepada
pesantren sebagai lembaga pendidikan. Pemerintah pada saat itu mencoba mengubah model
pendidikan pesantren agar sesuai dengan wacana modernisasi yang sedang berlangsung melalui
jargon ‘pembangunan ekonomi dan stabilitas politik’. Dalam hal ini, banyak pihak intelektual yang
terlibat dalam mendukung dan atau mempertahankan hegemoni tersebut dengan cara memberikan
suatu kesadaran bersama akan pentingnya pembangunan. Diantaranya seperti ICMI,
Muhammadiyah, beserta kelompok-kelompok intelektual lainnya. Dapat dibilang Orde Baru
berhasil melakukan hegemoni terhadap pesantren dengan menggunakan wacana modernisasi yang
mendapat dukungan di kalangan masyarakat secara luas.
Ciputat, 29 Oktober 2014.
Daftar Pustaka
Bocock, Robert, 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Terj. Ikramullah
Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.
Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Davies, Peter, 1977. The American Heritage Dictionary of The English Languange. New York: Dell
Publishing.
Dirdjosanjoto, Pradjarta, 1999. Memelihara Umat; Kyai Pesantren – Kyai Langgar di Jawa. Yogyakarta:
LKiS.
Faruk, 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Patria, Nezar dan Andi Arief, 2003. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pozzolini, A., 2005. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci. 2005. Yogyakarta: Resist Book.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2005. Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan. Jakarta:
Predana Media.
Simon, Roger, 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Terj. Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Subhan, Arief, 2009. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan Antara Modernisasi
dan Identitas. Jakarta: UIN Press.
Suharto, Toto, 2013. Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik: Pengalaman Pesantren Persatuan Islam.
Surakarta: FATABA Press.
Syamsuddin, M. Din, 2001. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos.
Gramscian
Oleh: Khalid Syaifullah
Latar Belakang
Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengalami dinamika yang cukup
panjang mengenai kebudayaan. Salah satu hal yang menjadi isu yang masih dominan sekarang
adalah soal pendidikan. Hal ini termaktub dalam karya Achdiat K. Miharja yang berjudul Polemik
Kebudayaan. Dalam karya itu disebutkan bahwa adanya perdebatan antara pandangan Barat yang
diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana vis a vis Dr. Sutomo yang mewakili pandangan Timur. Sutan
Takdir menganggap bahwa pembangunan pendidikan bangsa Indonesia harus berorientasi ke
Barat. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa pendidikan Barat yang lebih maju, oleh karena itu
mampu memajukan bangsa Indonesia. Sementara Dr. Sutomo berpandangan sebaliknya dengan
mengatakan bahwa pendidikan bangsa Indonesia harus menggunakan model pesantren. Pesantren
dianggap sebagai model pendidikan asli masyarakat Indonesia. Untuk itu, pesantren dianggap
sebagai model pendidikan paling tepat bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Sekitar tahun 1965/66, bangsa Indonesia berada pada tahap transisi dari kepemimpinan
Soekarno (Orde Lama) yang digantikan oleh Soeharto. Gaya kepemimpinan sebelumnya yang
ditekankan pada aspek politik (otoriter), berubah kepada pemerintahan yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Awalnya, ada harapan besar bahwa akan dimulai
suatu proses demokratisasi. Banyak kaum cendekiawan menggelar berbagai seminar untuk
mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak
berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur-angsur mengambil
alih pimpinan (Budiardjo, 2008:250).
Selain itu, era pemerintahan Orde Baru ditandai dengan masuknya wacana modernisasi
secara besar-besaran. Pemikiran-pemikiran Barat tentang modernisasi telah menyebar ke seluruh
kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan akibat logis dari sikap Soekarno yang dinilai
sangat anti-Barat. Pemikiran (khususnya liberalisme) yang tadinya ditekan, pada masa Orde Baru
mendapatkan tempatnya yang leluasa. Beberapa kelompok yang mewakili pandangan Barat
tumbuh sumbur seperti Congress for Cultural Freedom (CCF), Manifes Kebudayaan (Manikebu)
sebagai tandingan Lekra, dan lainnya. Selain itu, fenomena yang paling menonjol sebagai wujud
suburnya pemikiran Barat adalah masuknya banyak sarjana Amerika yang mengambil peran yang
cukup sentral dalam merumuskan kebijakan pembangunan Orde Baru.
Dengan derasnya arus modernisasi yang berkembang, hal ini ikut berpengaruh terhadap
wacana pendidikan di Indonesia. Pendidikan menjadi alat Orde Baru dalam menjalankan
pemerintahannya. Pemerintahan Orde Baru yang terkenal dengan pembangunan ekonomi dan
stabilitas politik, menjadikan top down sebagai pola yang dipakai. Negara, dengan dalih
pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, terlalu banyak melakukan intervensi terhadap
kehidupan di masyarakat lokal. Intervensi ini dilakukan oleh aparat birokrasi, aparat represi
(tentara), dan lembaga pendidikan, dan sebagainya. Kecenderungan interventif ini diakomodasi
oleh sistem administrasi negara yang sangat sentralistis. Sistem inilah yang kemudian menjadikan
kekuasaan
rezim ini bertahan begitu lama. Kebertahanan rezim ini juga ditopang oleh
kemampuannya untuk mengakomodasikan semua kepentingan dari kelompok-kelompok
masyarakat dalam sebuah aktifitas yang mempunyai sinergitas. Dengan kata lain, Orde Baru
menggunakan konsep hegemoni gramscian.
Tidak terkecuali pesantren. Pesantren sebagai basis pendidikan di desa ikut terkena arus
modernisasi yang digaungkan oleh pemerintah Orde Baru. Orde Baru dengan hegemoninya
mampu membuat pesantren mengikuti kurikulum yang dibentuk pada saat itu sebagai hasil dari
wacana modernisasi yang tumbur subur. Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana pemerintah
pada era Orde Baru yang menggunakan pola top down melakukan hegemoni gramscian dalam
bentuk intervensi persuasif terhadap kurikulum pesantren.
Pertanyaan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas, maka diajukan pertanyaan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan konsep hegemoni Gramsci?
2. Bagaimana Orde Baru dalam menggunakan hegemoninya terhadap pesantren?
PEMBAHASAN
Hegemoni (bahasa Yunani: hegemonía) pada awalnya merujuk pada dominasi
(kepemimpinan) suatu negara-kota Yunani terhadap negara-kota lain dan berkembang menjadi
dominasi negara terhadap negara lain (Patria & Arief, 2003:115-116). Namun saat ini,
kepemimpinan tersebut menunjukkan pada sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang
bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar
maupun secara ketat terintegrasi dalam negara ‘pemimpin’ (Davies, 1977). Bagi Gramsci, konsep
hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti
bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang
ada, sesuatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang bersifat
memaksa (Faruk, 2005:62-63).
Pandangan hegemoni tidak terlepas dari Antonio Gramsci. Gramsci memliki hak paten
tentang perbincangan mengenai hegemoni. Starting point konsep Gramsci tentang hegemoni adalah
bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya
dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi (Bocock, 2007:22-23). Cara kekerasan yang
dilakukan oleh kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan dominasi. Perantara tindakan ini
adalah aparatur negara, seperti militer dan polisi. Sedangkan hegemoni dilakukan dengan cara
penanaman ideologi terhadap kelas bawah dengan tanpa paksaan. Hegemoni diraih bukan melalui
kekerasan, akan tetapi secara politis dengan menggunakan kekuatan moral dan intelektual untuk
menciptakan keseragaman pandangan dalam masyarakat.
Dalam mengembangkan konsep hegemoni, Gramsci terinspirasi oleh seorang tokoh
bernama Lenin. Dalam menghadapi kekuasaan Tsar, Lenin merasa harus mendapatkan dukungan
dari masyarakat. Oleh karena itu, dia berusaha keras untuk mencapai kesadaran para pekerja, yakni
bukan saja memberdayakan berbagai serikat pekerja, tetapi juga melibatkan kelompok-kelompok
lain, yang di dalamnya termasuk kritikus borjuis, petani, dan intelektual ke dalam sebuah gerakan.
Hal ini merupakan modal utama baginya untuk dapat menggulingkan Tsar. Lenin menyebarkan
pengetahuan politik kepada para pekerja dan membaurkan para pengikut Partai Sosial Demokrat
dengan segala kelas di masyarakat untuk mencapai kesadaran yang ia inginkan (Simon, 2004:19).
Itulah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni. Hegemoni memainkan peranannya pada
suprastruktur (intelektual, moral, dsb). Artinya, dalam mencapai hegemoni terdapat persetujuanpersetujuan oleh berbagai kelas secara sadar dan bukan diperoleh melalui paksaan.
Selanjutnya, dalam mengembangkan hegemoninya, Gramsci berpijak pada kepemimpinan
yang bersifat moral dan intelektual. Kepemimpinan ini mendapatkan persetujuan secara sukarela
oleh kelas yang di bawah terhadap kelas atas yang menghegemoni. Karena hegemoni dicapai
melalui sukarela, maka persetujuan tidak mengandung sesuatu yang negatif. Justru sebaliknya, suatu
tindakan, aturan dan kebijakan yang diambil selalu berdasarkan persetujuan yang berarti positif
(baik). Persetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam menanamkan
ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan dengan membangun sistem dan
lembaga-lembaga, seperti negara, common sense, kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan seterusnya,
yang dapat memperkokoh hegemoni tersebut.
Berkaitan dengan negara, Gramsci memandangnya sebagai suatu keseluruhan aktivitas baik
teoritis maupun praktis yang dengannya maka bukan saja pemerintah yang mengklaim
dominasinya, melainkan juga memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah. Negara
dalam perspektif Gramsci tidak hanya menyangkut aparat pemerintahan, tetapi juga menyangkut
aparat hegemoni atau masyarakat sipil (Faruk, 2005:77). Negara dengan demikian merupakan
sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa dan sebagai alat oleh suatu kelas terhadap kelas
lainnya. Lewat nagara ini kelas atas melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik
maupun dominatif. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri,
mempertahankan kekuasaannya.
Gramsci membagi dua wilayah dalam negara, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik.
Masyrakat sipil merupakan sesuatu yang sangat penting bagi konsep hegemoni Gramsci karena
merupakan persetujuan dari kehendak kelas yang berada di bawah. Sementara itu masyarakat politik
merupakan wilayah yang penuh kekerasan karena terdiri dari aparatur pemerintahan yang bersifat
dominatif. Dengan demikian, pada wilayah masyarakat sipil itulah hegemoni berlangsung karena
wilayah ini merepresentasikan penerimaan secara moral dan intelektual sebuah kekuasaan kelas
atas. Sementara masyarakat politik mencerminkan kekerasan yang bersifat dominatif yang di
dalamnya terdapat aparatur negara seperti militer dan polisi.
Di sisi lain, kaum intelektual dalam negara juga berperan dalam berlangsungnya hegemoni.
Konsep intelektual dalam tafsir Gramsci adalah semua orang yang mempunyai fungsi sebagai
organisator dalam semua lapisan masyarakat dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah
politik dan kebudayaan. Wilayah kebudayaan itu menyangkut proses penempaan pemikiran,
penguasaan ide-ide yang bersifat umum dengan mengaitkan sebab dan akibatnya (Pozzolini, 2005).
Gramsci juga membagi kaum intelektual menjadi dua bagian, yaitu intelektual tradisional dan
intelektual organik. Kelompok intelektual tradisional adalah kaum intelektual yang terbatas pada
lingkungan kaum tani dan borjuis kota kecil belum meluas dan bergerak oleh sistem kapitalis.
Kaum intelektual tradisional selalu menempatkan dirinya sebagai kelompok sosial yang dominan
yang otonom dan independen, yaitu sebagai orang-orang kedudukannya dalam masyarakat
mempunyai lingkaran antar kelas tertentu. Sementara itu, kaum intelektual organik adalah
intelektual dan para organisator politik dan pada saat yang sama juga bos-bos perusahaan, petanipetani kaya atau manajer perumahan, penguasa komersial dan industri, mahasiswa dan sebagainya.
Kaum intelektual organik menyadari bahwa identitasnya dari yang diwakili dan yang mewakili, dan
merupakan barisan terdepan yang riil dari organik dari lapisan kelas papan atas yang di situ mereka
masuk di dalamnya.
Jauh sebelum ada sekolah umum, tempat pendidikan (agama) di langgar/surau, masjid,
meunasah, atau dayah untuk tingkat dasar dan pesantren untuk tingkat selanjutnya merupakan satu-
satunya lembaga pendidikan yang tersedia bagi penduduk pribumi di pedesaan (Dirdjosanjoto,
1999:140). Sebutan pesantren atau pondok pesantren pada mulanya hanya berlaku di Jawa,
meskipun sekarang ini sudah menjadi nomenklatur paling umum (Subhan, 2009:67). Pada mulanya,
kegiatan pesantren ditujukan untuk mempersiapkan seseorang sebelum terjun dalam kehidupan di
masyarakat.
Pesantren sejak awal terlibat dalam menciptakan elit-elit desa. Biasanya pesantren didirikan
oleh kyai. Kyai memiliki otoritas penuh dalam menentukan visi dan misi serta kurikulum
pesantrennya. Oleh karena itu, kyai dianggap sebagai figur yang sentral dalam pesantren.
Tetapi, pada awal abad 20, pemerintah Belanda melakukan hegemoni terhadap pesantren
dengan menggunakan wacana modernisasi. Dalm hal ini, Belanda menganggap model pendidikan
pesantren menghambat proses modernisasi di Hindia Belanda. Karenanya, pesantren
direkomendasikan untuk mengubah metode dan sistem pengajarannya agar sesuai dengan kondisi
modern. Di samping itu, berbagai pandangan kaum intelektual, yang berperan sebagai intelektual
organik, tentang pentingnya modernisasi disebarkan. Modernisasi, misalnya, dipandang sebagai
panser raksasa yang melaju di tengah-tengah kehidupan masyarakat (Ritzer & Goodman,
2005:553). Kehidupan modern adalah sebuah dunia yang tak terkendali dengan langkah, cakupan,
dan kedalaman perubahannya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem sebelumnya.
Oleh karena itu, masyarakat secara ‘sukarela’ menerima wacana modernisasi. Banyak kyai
yang mengelola pesantren mengubah cara pengajaran yang disesuaikan dengan wacana modernisasi
yang sedang berkembang pada waktu itu. Banyak juga pesantren pada waktu itu yang mendirikan
madrasah. Dalam konteks perkembangan pesantren, tokoh-tokoh seperti Sheikh Nawawi AlBantani (w. 1897), Sheikh Mahfud Al-Tarmisy (w. 1919), Kyai Khalil Bangkalan (w. 1924), Kyai
Asnawi Kudus (w. 1959), dan Kyai Hasyim Ash’ari (w. 1947) merupakan para ‘arsitek pesantren’
Indonesia (Subhan, 2009:71).
Hegemoni ini berlanjut ketika pada masa Orde Baru. Melalui Menteri Agama, pemerintah
menerapkan kebijakan yang berusaha menjadikan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional. Konsekuensinya, madrasah harus mengajarkan pelajaran umum minimal 60%, di samping
juga pelajaran agama sebanyak 40%. Madrasah yang memenuhi persyaratan tersebut, lulusannya
disamakan dengan lulusan sekolah umum setelah mengikuti ujian negara. Akibatnya, banyak
pesantren yang mengelola pendidikan madrasah melakukan reformasi pendidikannya dari sistem
salaf ke sistem khalaf (modern), atau paling tidak menggabungkan kedua sistem tersebut. Sebagai
catatan, dari awal Orde Baru telah menerapkan kebijakan yang meminggirkan orang Islam.
Menurut Din Syamsuddin, upaya untuk meminggirkan peran Islam ini dengan melakukan
kebijakan depolitisasi dan desimbolisasi Islam (Din Syamsuddin, 2001: 63-70).
Salah satu bentuk hegemoni Orde Baru seperti terjadi di pesantren Jombang. Pesantren
yang sempat dikelola oleh Hasyim Asy’ari ini mulai memperkenalkan sistem klasikal dan pelajaranpelajaran sekluar, seperti matematika, gegorafi, dan lainnya. Hal ini membawa nilai-nilai yang
bersifat modernitas masuk ke dalam pesantren. Selain itu, bahkan terdapat prosentase 70%
pelajaran sekular dan 30% pelajaran agama yang diterapkan di pesantren Madrasah Nizhamiyah.
Hal ini juga turut mempengaruhi pesantren-pesantren yang lain untuk mengikutinya. Selain itu,
pesantren Syafiiah di Jakarta juga mengikuti langkah pesantren Tebuireng. Pesantren ini mengikuti
kebijakan Orde Baru untuk menyesuaikan kurikulumnya dengan UU Sisdiknas pada saat itu.
Sempat ada kekhawatiran umat Islam mengenai kebijakan Orde Baru. Hal ini disampaikan oleh A.
Mukti Ali selaku Menteri Agama pada saat itu. Kekhawatiran ini direspon Orde Baru dengan
mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kepres No. 34 Tahun 1972, yang isinya antara lain:
melimpahkan tanggung jawan pembinaan pendidikan kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, sedangkan pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama. Selain itu,
untuk pelaksanaan Kepres No. 34 Tahun 1972 untuk mengikutsertakan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama. Selanjutnya, upaya pasif
ini menjadi indikasi bahwa adanya penerimaan dari kalangan pesantren terhadap produk kebijakan
Orde Baru dalam melakukan uniformitas kesadaran terhadap kurikulum pesantren.
Selain itu, UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi kebijakan
Orde Baru yang akomodatif bagi kalangan Islam. UU ini mengakui pendidikan agama sebagai subsistem dari pendidikan nasional. Mata pelajaran agama juga menjadi mata pelajaran yang wajib di
sekolah-sekolah umum. Selain itu, UU ini juga menjamin eksistensi lembaga pendidikan seperti
MI, MTs, MA dan lainnya. Akan tetapi, langkah ini selain dipandang akomodatif, dipandang
sebagai langkah politik Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya (Lihat Suharto, 2013: 88).
Di sinilah konsep hegemoni Gramsci bermain, yaitu melalui upaya penyeragaman pemahaman
kelompok Islam dalam memahami dan mendukung kebijakan Orde Baru. Hal itu dilihat sebagai
peran intelektual dan moral pada ranah supra-struktur.
Penguatan hegemoni yang ditopang oleh banyaknya kaum intelektual juga turut
menyebarkan ide/gagasan mengenai pembangunan. Sebut saja salah satunya Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) yang mendukung kebijakan pemerintah pada saat itu untuk melakukan
modernisasi pendidikan pesantren. Tidak cuma itu, ICMI juga mengadakan diskusi dengan
berbagai kalangan agamis dan sekuler dalam rangka mencapai kesadaran bersama bahwa wacana
modernisasi pendidikan Islam memang harus dilakukan. Di samping itu, organisasi seperti
Muhammadiyah sangat gencar mendirikan lembaga pendidikan yang modern seperti sekolah,
sampai perguruan tinggi.
KESIMPULAN
Konsep hegemoni Gramsci mengacu pada suatu kekuasaan dan atau kepemimpinan yang
diperoleh melalui cara-cara persuasif. Suatu kelas dapat mencapai hegemoni dengan persetujuan
secara ‘sukarela’ dari kelas-kelas yang lain. Hal ini dicapai melalui penanaman ideology dari kelas
atas terhadap kelas di bawahnya. Kepemimpinan yang diperoleh juga bersifat moral dan intelektual.
Gramsci membagi dua wilayah antara masyarakat sipil dan politik. Masyarakat sipil
merupakan wilayah berlangsungnya hegemoni karena disitu terdapat penerimaan sukarela
(persuasif) dari kelas yang berada di bawah terhadap kelas yang di atas. Sementara masyarakat
politik merupakan wilayah dominasi karena di dalamnya terdapat aparatur negara seperti polisi dan
militer yang sering menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dalam konteks Orde Baru, hegemoni dipakai dengan cara menanamkan ideologi kepada
pesantren sebagai lembaga pendidikan. Pemerintah pada saat itu mencoba mengubah model
pendidikan pesantren agar sesuai dengan wacana modernisasi yang sedang berlangsung melalui
jargon ‘pembangunan ekonomi dan stabilitas politik’. Dalam hal ini, banyak pihak intelektual yang
terlibat dalam mendukung dan atau mempertahankan hegemoni tersebut dengan cara memberikan
suatu kesadaran bersama akan pentingnya pembangunan. Diantaranya seperti ICMI,
Muhammadiyah, beserta kelompok-kelompok intelektual lainnya. Dapat dibilang Orde Baru
berhasil melakukan hegemoni terhadap pesantren dengan menggunakan wacana modernisasi yang
mendapat dukungan di kalangan masyarakat secara luas.
Ciputat, 29 Oktober 2014.
Daftar Pustaka
Bocock, Robert, 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Terj. Ikramullah
Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.
Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Davies, Peter, 1977. The American Heritage Dictionary of The English Languange. New York: Dell
Publishing.
Dirdjosanjoto, Pradjarta, 1999. Memelihara Umat; Kyai Pesantren – Kyai Langgar di Jawa. Yogyakarta:
LKiS.
Faruk, 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Patria, Nezar dan Andi Arief, 2003. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pozzolini, A., 2005. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci. 2005. Yogyakarta: Resist Book.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2005. Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan. Jakarta:
Predana Media.
Simon, Roger, 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Terj. Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Subhan, Arief, 2009. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan Antara Modernisasi
dan Identitas. Jakarta: UIN Press.
Suharto, Toto, 2013. Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik: Pengalaman Pesantren Persatuan Islam.
Surakarta: FATABA Press.
Syamsuddin, M. Din, 2001. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos.