Pemikiran Dan Politik Tan Malaka

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Fenomena Nasionalisme sering dikonotasikan dengan aspek-aspek emosional,
kolektif dan idola serta memori historis. Nasionalisme selalu melibatkan dimensi eomosi,
rasa, seperti perasaan sepenanggungan, seperantauan dan senasib. Faktor memoris historis
adalah faktor kecenderungan yang di bangun untuk menumbuhkan perasaan ''bersatu'' dalam
sebuah konsep kebangsaan. Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia di
awali dengan pembentukan identitas nasional yaitu, dengan ada nya penggunaan istilah
''Indonesia'' untuk menyebut negara kita. Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang
sebagai identitas nasional, lambang mempersatungkan bangsa dalam menentang penjajahan.
Kata yang mampu mempersatukan bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan
melawan penjajah, sehingga segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia
bukan atas nama daerah. Di dalam proses menuju revolusi Indonesia terdapat empat tokoh
pendiri bangsa Indonesia yaitu Soekarno, Muhammad Hatta, Sultan Sjahrir dan Tan Malaka.
Berbeda dengan tiga tokoh lain nya dalam hal revolusi Tan Malaka adalah orang pertama
yang menulis konsep Republik Indonesia.Muhammad Yamin menjulukinya ''Bapak Republik
Indonesia''. Soekarno menyebutnya ''seorang yang mahir dalam revolusi''. Tan Malaka
seorang yang telah melukis Indonesia dengan bergelora. Di sepanjang hidupnya, Tan telah
memenempuh berbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga
Perang Dunia II.

Tan Malaka merupakan tokoh pertama yang mengggas secara tertulis konsep
Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia)
pada 1925, jauh lebih dahulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije
1928, dan Soekarno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahum 1933. Buku Naar
de Republiek dan Massa Actice(1926) yang ditulis dari tanah pelarian telah menginspirasi
tokoh pergerakan di Indonesia. W.R.Supratman salah satunya, tokoh pergerakan yang
memasukan kalimat ''Indonesia tanah tumpah darah ku'' ke dalam lagu Indonesia Raya yang
dikutip dalam buku Massa Actie. Di seputar Proklamasi Tan Malaka menorehkan perannya
yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada, 19
September 1945. Inilah rapat yang menunjukan dukungan massa pertama terhadap
proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan masih sebatas catatan di
atas kertas. Pada 17 Agustus 1945 terjadi keruntuhan,keruntuhan itu bukan sebuah kekuasaan
politik; Hindia Belanda sudah tidak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya

baru saja kalah. Yang runtuh adalah sebuah wacana. Sebuah wacana adalah sebuah bangunan
perumusan. Tetapi yang berfungsi di sini sekedar bahasa dan lambang. Sebuah wacana
dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan
itu. Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno,adalah
“menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang
disebut “Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan “kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan

diri. Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika
ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini “Hindia
Belanda” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi
Kali Bekasi; sebuah revolusi besar sedang terjadi, “revolusi jiwa dari jajahan hamba menjadi
jajahan jiwa merdeka”. Hasil dari perjuangan tersebut adalah sebuah subjek “jiwa merdeka”,
makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi tulang yang berserakan. Sebab subjek
dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero. Dalam hal ini Tan
Malaka benar: “Revolusi bukanlah suatu pendapat otak yang luar biasa, bukan hasil
persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa”.
Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Massa Actie yang terbit 1926.
Dua puluh tahun kemudian memang benar terbukti bahwa, seprti dikatakannya,
“Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai sebagai hasil dari berbagai keadaan”. Itulah
Revolusi Agustus. Tetapi kemudian tanpak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan
yang heorik dari penguasa yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai “herro” atau
“pelopor’. Sebab revolusi digerakan oleh sebuah pilihan dan keputusan, dan setiap keputusan
selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak menjadi perubahan
yang berkelanjutan, ia membutuhkan suatu agenda sebagai penentu dan satu pusat yang
mengarahkan proses pelaksanaan agenda itu. Bagi Soekarno, Indonesia harus mempunyai
arah, “teori”, yakni sosialisme dan arah itu itu ditentukan oleh pemimpin, yakni “ Pemimpin
Besar Revolusi”. Tan Malaka tida memiliki rumus seperti itu. Tetapi ia yakin akan perlunya

“satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat akan mempunyai
peran “pimpinan”. Tan Malaka sangat mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan
Tiongkok, DR.Sun Yat-sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man.
Setelah ia membaca buku San-Min-Chu-I dan memberi kesimpulan bahwa DR.Sun bukanlah
seorang Marxis, melainkan sepenuhnya seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir
dialektis, tapi logika. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis
fundamentalis, karena dia dapat menghargai DR.Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik
Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi

menunjukkan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan. Semenjak masa mudanya di Negeri
Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang
menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan
penjara dan pembuangan itu yang menjadikan Tan Malaka seorang Marxis, melainkan sikap
dan pendiriannya yang Marxis-lah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain
itu, dia tidak berjuang untuk kemenagan partai komunis di seluruh dunia, tetapi untuk
kemerdekaan tanah airnya. Hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikan terhadap gagasan
madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran,
tetapi Nasionalis dalam semua tindakannya. Sebelum Tan Malaka di buang oleh
pemerintahan Belanda ia mengatakan Strom ahead (ada topan menanti di depan). Dont lose
your head! Ini sebuah language game yang mempunyai arti ganda: jangan kehilangan akal

dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehilangan akal di berbagai
negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan kepala di tanah air yang dicinta.
I.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran Tan Malaka mengenai Nasionalisme
I.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Tan Malaka mengenai Nasionlisme
I.4. Manfaat Penulisan
1. Penulisan ini dapat dijadikan sebuah referensi bagi pembaca, bahwa terdapat tokoh
perintis kemerdekaan yang berjuang keras dengan garis pemikiran yang berbeda demi
tercapainya revolusi di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

II.1.Pandangan Tan Malaka tentang Nasionalisme
Tan Malaka adalah, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia.
Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia’. Soekarno menyebutnya
“seorang yang mahir dalam revolusi’. Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia
dengan bergelora. Nama Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin
dua-tiga generasi melupakan sosok yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tetapi juga

lincah berorganisasi. Orde Baru telah melebur hitam peran sejarahnya.1 Meski dalam
perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunisme Indonesia,
sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI. Disepanjang hidupnya, Tan Malaka telah
menempuh berbagai royan: dari masa akhir Peran Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga
Perang Dunia II. Di kacah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh
pertama yang mengagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de
Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, Jauh lebih dulu dibandingkan
Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrijie (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di
depan pengadialan Belanda di Den Hagg (1928), dan Soekarno ,yang menulis Menuju
Indonesia Merdeka(1933).2 Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis
dari tanah pelarian itu telah mengispirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia.
W.R.Supratman pun telah membaca habis Massa Actie, dan ia memasukkan kalimat
“Indonesia tanah tumpah darah ku” ke dalam lagu Indonesia Raya.
Di seputar Proklamasi, Tan Malaka menorehkan perananya yang penting. Ia
menggerakan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada, 19 September 1945. Inilah
rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan pada
waktu itu belum bergema keras dan “masih sebatas catatan kertas”. Tan Malaka tak pernah
menyerah. Mungkin itulah yang menyebabkan ia sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang
memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Tan Malaka berkukuh, sebagai
pemimpin revolusi, Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya daripada

menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan
1

Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm.2.
2
Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm.3

100% dari Belanda dan Sekutu. Sebelum melawan Soekarno, Tan Malaka pernah melawan
arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1992. Ia mengungkapkan
gerakan komunisme di Indonesia tidak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tidak
bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan
menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Menurut Tan Malaka, “Revolusi tidak dirancang
berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dariluar seperti Rusia, tetapi pada
kekuatan massa”. Pada saat itu otot revolusi belum terbangun baik,postur kekuatan komunis
masih ringkih. “Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak” menurut Tan Malaka
dalam tulisannya.
Penolakan tersebut membuat Tan Malaka disingkirkan para pemimpin partai. Tetapi,
bagi Tan Malaka, partai bukanlah segala-galanya. Jauh terlebih penting dari itu adalah

kemerdekaan nasional Indonesia. Tan Malaka adalah seorang Marxis, tetapi sekaligus
nasionalis. Ia seorang komunis, tetapi “Di depan Tuhan saya seorang muslim’ ungkap Tan
Malaka. Namun perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme dari bumi
Indonesia.3 Setengah usia Tan Malaka dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di
Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir seluruh
dunia. Selama masa itu ia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama
samaran. Di Manila ia dikenal sebagai Elias Fuentes. 4 Setelah masuk kembali ke Indonesia,
dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein. Pelarian dan
penyamaraan itu di mungkinkan, karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik.
Sebelum dibuang ke luar negeri, dia tiga kalai oleh pemerintahan kolonial Belanda, di
Bandung, Semarang dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar negeri, dia dipenjarkan di Manila
dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintahan
Indonesia di Mojokerto (1946-1947). Tan Makala sangat mengagumi secara khusus pejuang
kemerdekaaan Tiongkok, DR.Sun Yat-sen. Setelah membaca buku San- Min-Chu-I, menurut
Tan Malaka, DR.Sun Yat-sen bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuhnya seorang
nasionalis. Dalam metode, dia tidak berfikir dialektis malainkan logis. Disini terlihat Tan
Malaka bukanlah seorang Marxis fundanmentalis, karena dia dapat meghargai DR.Sun Yat3

Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm7.

4
Tan Malaka memiliki banyak nama samaran tergantung dimana negara ia berada.
Menurut catatan dalam buku Peristiwa 3 Juli 1946 ,nama samaran Tan Malaka antara lain
: Di Filipina Selatan ia menjadi Hasan Gonzali, di Shanghai dan Amoy ia adalah Ossario,
Ia menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, dan di
Singapura ia menjadi guru bahasa Inggris bernama Tan Ho Seng. Lihat “Tan Malaka:
Peristiwa 3 Juli 1946” , dalam Media Presindo tahun 2009, hlm.68

sen, nasionalis pengkritik marxis dan juga mengagumi Dr. Rizal, seorang sinyo borjuis
dengan berbagai bakat tetapi menunjukan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan.
Salah satu karya Tan Malaka yang dianggap sebagai opus magnum adalah buku
Mandilog. Buku tersebut menguraikan tiga pemikiran yaitu: Materialisme, dialektika, dan
logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebgai dasar terakhir
alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip
identitas atau prinsip nonkontradisi. Dialektika menunjukan peralihan dari satu identitas ke
identitas lain5. Semenjak masa mudanya di Belanda, Tan Malaka sudah mengaggumi
Marxisme-Lenninisme. Paham inilah yang menyebabkan ia dipenjarakan berkali-kali dan
dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan ia
seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang menyebabkan ia di penjarakan dan
dibuang. Selain itu, dia tidak berjuang untuk kemenangan partai komunisme di seluruh dunia,

tetapi untuk kemerdekaan tanah airnya.6
II.2. Palu Arit, Bintang Bulan dan Tan Malaka
Pada tanggal 25 Desember 1921, dalam Kongres II Partai Komunis Indonesia,
terdapat adu mulut antara Partai Komunis dan beberapa tokoh Sarekat tentang Pan-Islam.
Menurut Tan Malaka yang baru saja terpilih menjadi ketua Partai Komunis, kedua patai
tersebut seharusnya bersatu karena memiliki tujuan yang sama yaitu mengusir imperialis
Belanda. Menurut Tan Malaka sialang pendapat kedua partai hanyalah bagian dari politik
pecah belah imperialis. Pendapat Tan Malaka mendapat dukungan dari KH. Hadikusumo
tokoh Muhammadyiah yang memecah-mecah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati.
Pada saat mendirikan Indiche Sociaal Democratische Verening atau Perhimpunan Sosial
Demokrasi di Hindia pada 9 Mei 1994, Marie Sneevliet tidak ingin terlibat politik. Ia hanya
ingin mempropagandakan sosialisme. Namun pada saat perhimpunan yang dominasi
anggotanya adalah orang Belanda di Hindia makin terlibat dalam politik lokal. Sneevliet
yang semula begitu terpesona dengan kharisma Dr. Tjipto Mangunkusumo, pimpinan
Insulinde, gagal menyeret Tjipto ke kiri. Bahkan Sneevliet mengktitik Tjipto, yang kurang
memihak oada kelas ploletar.

Pada saat hubungan dengan Insulinde putus, sebenarnya

perhimpunansudah melirik Sarekat Islam. Jalur masuk ke Sarekat ini terbuka lewat

Suharsikin. Penyusupan yang terjadi pada perhimpunan ini lebih mulus karena beberapa
5

Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm144.
6
Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm 145

anggota seperti Semaun, Alimin dan Darsono juga merangkap anggota Sarekat. Semaun
misalnya, aktivis buruh kerta api, sudah masuk Sarekat sejak 1914 dan sempat menjabat
sebagai sekretaris cabang Surabaya. Semangat merengkuh kelompok Islam kedalam barisan
komunisme juga di lakukan oleh Partai Komunis Rusia, partai ini membentuk sebuah
komisariat khusus organisasi Islam sebagai corak propaganda ke negara-negara berpenduduk
mayotritas muslim. Sikapa Komunisme Internasional ini mempersulit usaha Perhimpunan
yang bersalin nama menjadi Partai Komunis Indonesia, merebut pengaruh dalam Sarekat
Islam. Hubungan Partai komunis dengan Sarekat Islam kian buruk setealh Darsono dan
Baars menyerangke pemimpinan Tjokoroaminoto. Itu di tambah dengan propaganda
kelaompok anti Partai Kumunis dalam Sarekat yang di dalangi oleh Agus Salim dan Haji
Fchrudin.

Sedangakan Tan Malaka sendiri sedang berusaha merangkul kembali Sarekat Islam.
Dia bahkan mengkritik Darsono dan Baars yang dianggap telah menjauhkan komunisme dan
Islam. Untuk merebut hati kaum muslim, Partai Komunis juga mendukung perbaikan
peraturan ibadah haiji. Akan tetapi pada saat Tan Malaka hendak berpidato mengenai
Komunisme. Ia tertangkap pemerintahan kolonial Belanda. Hanya tiga bulan ia menjabat
sebagai ketua Partai Komunis. Meskipun ia jauh dari Indonesia, Tan Malaka teteap
berkampanye mengenai aliasi komunis-islam. Dalam Kongres IV komunisme Internasional
mereka meralat sikap atas Pan-Islam. Menurut Tan Malaka, Pan Islam merupakan perjuangan
seluruh bangsa muslim merebut kemerdekaan. Akan tetapi perpecahan tidajk dapat
dibendung, kelompok Sarekat Islam memaska orang-orang kiri untuk keluar dari partai. Dan
kelompok pecahan ini pun kemudian menjadi Sarekat Islam Merah yang terafiliasi dengan
Partai Komunis. Kurang lebih sekitar satu tahun sejak Tan Malaka di perkenalkan oleh
Sutopo, aktivis Budi Utomo, dengan Semaun dan Tjokroaminoto dalam kongres Sarekat
Islam di Yogyakarta, Tan Malaka sudah menduduki puncak Partai Komunis.
Pada tanggal 25 Desember 1925 terjadi perencanaan aksi pemberontakan terhadap
panjajahan Belanda, akan tetapi aksi itu berantakan. Keputusan tidak di buat dengan solid.
Hal itu terjadi dikarenakan adanya kurang nya masa aksi, yang mana para pimpinan utama
partai pada saat itu seperti Semaun, Tan Malaka, Darsono dan Ali Archam da didalam
perasingan. Dan terjadi nya kekurangan dana, dan untuk mengatasi hal tersebut Alimin yang
berada di Singapura berharap Komunisme Internasional untuk mendapat mendukung rencana
Prambanan. Akan tetapi pada saat Tan Malaka di temui oleh Alimin, Tan Malaka menolak
rencana Prambanan, dan sebagai respon nya Tan Malaka menulis Massa Actie. Menurut Tan,
apa yang dilakukan oleh Partai Komunis baru sebatas Putsh, gerombolan kecil yang bergerak

diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat. Dengan terjadinya pemberontakan tersebut
menjadikan terpecahnya partai komunis menjadi dua, sebagian di belakang Tan Malaka dan
yang lain tetap mendukung tercana Prambanan. Komunisme Internasional yang semula di
andalkan pun lepas tangan menolak mendukung pemberontakan yang tak terorganisir dan
hampir pasti akan gagal. Dan secara sporadil pemogokan diikuti sabotas dan perlawanan
bersenjata tetap terjadi di Batavia, Tanggerang dan daerah Sumatra Barat. Dan sejak saaat
itulah Tan Malaka terpisah dengan Partai Komunis. Dan tiga puluh tahun kemudia, Ketua
Partai Komunis Indonesia digantikan oleh D.N.Aidit.
II.2. Perjuangan Tan Malaka melawan pemberontakan 1926-1927
Awal 1927, kaum pemberontakan di Silungkang, Sumatra Barat akhir nya mengikuti
jejak rekan-rekan merekan di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan
November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintahan. Sasaran utama adalah
menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabt pribumi, dan kulit putih.
Pemberontakan itu dapat dipatahkan dan pemberontakan yang mengalami kegagalan di
Banten dan Sumatra Barat pada tahun 1926-1927, yang cukup mengguncangkan rezim
kolonial di Batavia. Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai biang penyebab
kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai, Trotsky-nya Indonesia.
Padalah sejak semula Tan Malaka bukan saja tidak setuju, melainkan juga berupaya
mencegah rencana pemberontakan Prambanan itu. Kelompok ini terdiri atas tokoh
terkemukan

PKI

seperti

Semaun

(1897-1971),

Alimin

Prawirididjo

(1889-1964),

Musso(1897-1948), dan Darsono (1897), yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di
Prambanan,Solo, awal 1926.7 Namun kegagalan pemberontakan itu tak lantas membuat Tan
Malaka memikirkan partainya sendiri. Baginya justru jauh lebih penting memikirkan
perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Berikut ini adalah perjuangan Tan Malaka, pada
saat itu: Pertama, Selepas dari penangkapan pada 1922, dan kemudian diusir ke luar
Indonesia, ia menjadi aktivis komunis yang tak pernah lelah menjual gagasan
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga pergi ke Moskow, jantung komunisme, ia
hidup sengsara di tempat persembunyiannya dan selalu dikejar-kejar polisi rahasia. Ia baru
kembali ke Tanah Air secara diam-diam pada masa penjajahan Jepang. Kedua, baginya partai
hanyalah alat untuk mencapai perjuangan, yakni kemerdekaan nasional bagi Indonesia.
Selepas pemberontakan itu gagal, Tan Malaka keluar dari PKI dan mendirikan Partai
7

Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm147.

Republik Indonesia (Pari) di perantauan Bangkok pada 1927.8 Pari kemudian mati suri, dan
pada masa kemerdekaan 1947, ia mendirikan Partai Murba. Alasan Tan Malaka keluar dari
PKI lalu mendirikan partai Pari sangat jelas, yakni karena tak lagi sehaluan dengan rekanrekan nya. Maka jelas kelihatan bahwa warna nasionalisme dalan diri Tan Malaka jauh lebih
kental daripada fanatisme terhadap ideologi komunisme. Ketiga. Tan Malaka dianggap
sebagai satu dari tiga tokoh nasionalis yang pertama-tama menuangkan konsepsi tentang
konstruksi masyarakat bangsa yang dibayangkan (the imagined community) di masa depan.
Melalui Naar de Republiek Indonesia (Katon,1925) ia sudah membentangkan betapa
pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan. Meskipun tak menyebunyikan
pendirian Marxisnya, Tan Malaka memilih mengabdikan diri dan intelektualisnya sebagai
nasionalis sejati yang ikut merajut gagasan tentang The Imagined Comunity).9
II.3. Gambaran Tan Malaka tentang Republik Indonesia
Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku. Ia tidak
mempunyai kesempatan untuk melukiskannya secara tuntas. Gejolak revolusi mengharuskan
revolusioner seperti Tan Malaka berada dalam kacah perjuangan fisik. Namun melalui sebuah
buku, kita bisa menyatukan mozaik gagasan republik yang tercerai-berai. Namun tak mudah
juga menyatukan mozaik ini, karena Tan Malaka sesalu menunjukan pola pemikirannya.
Tan Malaka memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan
republik yang ia angankan10. Burung ini terlihat seperti makhluk yanga lemah. Banyak yang
mengancamnya. Di dahan yang rendah, dia harus waspada terhadap

kucing yang siap

menerkam. Tetapi dahan yang lebih tinggi juga bukan tempat yang aman baginya. Ada elang
yang siap menyambar sang gelatik, sehingga hidupnya tidak merdeka. Ia hidup penuh
ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus
bebas dari ketakutan seperti ini. Tetapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan
besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Burung gelatik, yang
sesaat lalau terlihat seperti makhluk yang lemah, bisa berubah drastis menjadi pasukan
penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padi
habis disantap sekawanan gelantik. Setelah bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka
8

Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm149.
9
Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm150.
10
Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010,hlm 154

bukan bertarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu memiliki dua
arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. 11 Inilah prinsip
Indonesia merdeka.
Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus mempunyai bentuk. Ketika para pejuang
lain baru berfikir tentang persatuan, atau paling ja

uh berfikir tentang Indonesia Merdeka,

Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Tan Malaka
tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam
gagasan Tan Malaka tak menganut trias politika yang dicanangkan Montesquieu. Republik
versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah
organisasi. Tan Malaka sejatinya tidak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka,
pembagian kekeuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif dan parlemen hanya,
menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang
menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksanan di
lapangan eksekutif adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang
sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh
orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen).
Menurut Tan Malaka, keberadaan parlemen dalam republik Indonesia tidak boleh ada,
yang tertuang jelas pendirian Tan Malaka dalam buku Soviet Parlement. Lalu timbulah
pertanyaan, seperti apa wujud negara tanpa parlement? Sederhananya, negara dalam mimpi
Tan Malaka dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi
kewenangan sebagi pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawasa dan sebagai badan
peradilan. Seperti organisasi berskla nasional “Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah”. Di
dalam organisasi yang sama pasti ada semacam dewan pelaksanna harian, dan sejenis badan
kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, teteapi tidak dalam badan
yang terpisah. Agar tidak terjadi tirani kekuasaan, pemilihan pejabat organisasi tidak boleh
dalm selang waktu yang terlalu lama.agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar
amanah tidak berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat terendah sampai
tingkat tertinggi, harus dilakukakn dalam jarak yang tak terlalau lama. Waktu dua tahun
mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tidak
memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka.
Namun hal tersebut juga menimbulkan permasalahan bagi kita, sebab kenegaraan
seperti itu jauh dari demokrasi. Namun menurut Tan Malaka, pertanyaan tersebut sangatlah
11

Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm156

wajar karena sudah lama kita di pengaruhi oleh trias politika, yang dicanangkan
Montesquieu. Menurut Tan Malaka, jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif
dianggap tidak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik. Organisasi
kemasyarkatan, ASEAN, PBB, merupakan lembaga yang tidak demokratis. 12 Dalam Thesis,
Tan Malaka meminta rakyat Indonesia untuk tidak menghafalkan hasil berfikir seorang guru.
Namun yang penting adalah cara dan semangat berfikirnya. Ibarat seorang guru matematika,
Tan Malaka tidak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah perhitungan, tetapi
menguasai cara berfikir untuk bisa memperoleh hasi hitungan yang benar.
II.4. Perjuangan Tan Malaka di Purwokerto
Purwokerto, kota kecil di selatan Jawa Tengah, pada 4 Januari 1946, pasukan sekutu
mendarat di Jawa. Rapat politik yang terjadi pada saat itu dihadiri para pemimpin pusat Partai
Sosialis, Partai Kominis Indonesai, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai
Buruh Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi
dan Persatuan Wanita Indonesia.13 Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet
Gandhiwijaya. Tokoh Murba Purwokerto ini pernah dibuang ke digul karena aktif di gerakan
kiri menentang Belanda. Namun nuansa ketidak puasan menyelimuti kongres tersebut. Para
peserta tidak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Mentri Sjahrir.
Tan Malaka geram dengan para pemimpin yang tidak bereaksi atas masuknya Sekutu ke
Indonesia. Tan Malaka mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk
mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100%, membentuk pemerintahan rakyat, membentuk
tentara rakyat. Melucuti senjata Jepang, mengurus tawanan Bangsa Eropa, menyita
perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri. Menurut Tan Malaka,
kemerdekaan 100% merupakan tuntuan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia,
barulah diplomasi dimungkinkan. Tan Malaka bertamsil: orang tidak akan berunding dengan
maling di rumahnya. “Selama masih ada musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai,
kita harus tetap melawan”.14
Jendral Soedirman tak kalah garang, Ia berpidato di dalang kongres “Lebih baik
diatom (dibom atom) daripada meredeka kurang dari 100%”. Para peserta kongres akhirnya
12

Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010,hlm.157
13
Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm,33.
14
Alif,Zulkifi, Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm,40.

sepakat membentuk Persatuan Perjuangan. Persatuan Perjuangan kemudian dideklarasikan di
Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo tersebut kemudian disebut Kongres I
Persatuan Perjuangan. Kongres tersebut dihadiri 141 oraganisasi. Panita mengundang
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet. Setelah bendera
oposisi dikibarkan di Purwokwerto, Tan Malaka ditangkap.15 Ia lalu dipenjarakan di sejumlah
tempat: Wirogunan, Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu dan Magelang. Ketika
didalam penjara Tan Malaka berpesan “Teruskan perjuangan”. 16 Selama dua setengah tahun
masa penahanannya, Tan Malaka menulis beberapa buku, termasuk otobiografinya, Dari
Penjara ke Penjara. Praktis ia tidak bisa turut mewarnai jalannya Revolusi yang telah
dirancangnya sejak 1925 seperti dalam karya Naar de Republiek Indonesia. Ta Malaka
dibebaskan pada September 1948 semasa pemerintahan Perdana Menteri Hatta. Keluar dari
Penjara Tan Malaka lebih memilih menggalang kuatan tentara dan raktyat di Kediri, Jawa
Timur, untuk mengahadapi Agresi Militer II berdasarkan bukunya, Gerilya Politik Ekonomi .
Konferensi tersebut sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang, Jawa Timur,
Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tertara meninggalakan Surabaya setelah pertempuran
10 November 1945. Tetapi, karena banyak wakil berada di Jawa Barat dan Jakarta,
konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari berbagai
daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya Tan Malaka bertemu dengan wakil-wakil
organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946 di Demajiko, Godean, Yogyakarta. Dan
meraka sepakat bertemu di Purwokerto. Petemuan Purwokerto diakui memberikan
sumbangan besar. Ketika Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pemikiran
Tan Malaka dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik
Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut
Nasution,sukses ketika rakyat melawan dua agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik,
ia berkata, Tan Malaka harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.

II.4. Mandilog: sebuah Sintesis Perantauan
Sekitar lebih dari 20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk merantau ke luar
negeri. Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi Free agent bagi dirinya
15

Intrik demi intrik disusun demi menjatuhkan Tan Malaka dari panggung politik yang
baru dilakoninya. Atas dasar tuduhan mengacau keadaan. Alif, Zulkifi, Tan Malaka Bapak
Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, hlm.171
16

Alif,Zulkifi,Tan Malaka Bapak Republika yang Dilupakan, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010, hlm,41

sendir. Dari seorang pedagog dengan jaminan finansial sehingga hidup merdeka seratus
persen. Dan Madilog, buku yang ditulisnnya dalam persembunyian dari Kempetai, polisi
rahasia Jepang (1943), adalah sebuah warisan yang paling otentik. Mandilog merupakan
singkatan dari Matrealisme, Dialektika dan Logika, sebagai panduan cara berpikir yang
realistis, pragmatis dan fleksibel. Inilah warian yang di berikan oleh Tan Malaka yang berasal
dari perantauannya yang berasal dari sebuah pemikiran Barat untuk mengikis nilai-nilai
feodalisme, mental budak dan kultustakhyul yang di miliki oleh rakyat Indonesia. Seperti di
ketahui banhwa bangsa Indonesia tidak mempunyai riwayat sejarah sendiri selain adanya
perbudakan, oleh sebab itu Madilog adalah solusinya. Inilah sebuah presentasi yang secara
alamiah melalui serangkaian proses berpikir dan bertindak secara matrealistis, dialektis dan
logis dalam mewujudkan sebuah tujuan secara sistematis dan struktural. Dan segala
dianamika permasalahan duniawi dapat terus di kaji dan di uji sedalam-dalam nya dengan
menggunakan peralatan sains yang batas-batasnya dapat di tangkap oleh indea masnusia.
Mandilog juga merupakan sebuah sintesis perantauan Tan Malaka yang memiliki latar
belakang seorang Minangkabau. Hal ini teruraikan dalam dua sense of extrem urgency point
pemikiran Tan Malaka demi membumikan Mandilog di Indonesia. Mandilog lahir melalui
pertentangan sebuiah pemikiran di antara kubu aliran filsafat yaitu Hegel dengan MarxEngels. Hegel dengan filsafat dialektika (tesis, antitesis dan sintesis) dengan kebenaran yang
menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis, dari taraf
gerakan yang paling rendah menuju taraf yang tinggi. Hegel lebih memfokuskan pemikiran
bahwa untuk mencapai kebenaran yang mutlak, pemikiran lebih penting daripada matter.
Sementara itu bagi Marx- Engels, proses dialektika ini lebih cocok di terapkan dalam ranah
matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas yang satu ke kelas yang lain samapai
tercapainya suatu bentuk kelas yang sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter
Marx- Engels lebih penting daripada ide. Di dalam Mandilog, Tan Malaka mencoba
mensinteiskan kedua pertentangan tersebut untuk mengubah mental budaya pasif menjadi
kelas sosial yang baru berlandaskan sains, dimana terbebas dari pemikiran mistis. Melalui
sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan, pikiran
kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kels sosial dari
tingkatannya yang paling rendah hingga yang paling tinggi berupa wawasan Mandilog. Inilah
yang disebut dengan kata perantauan, dimana terjadi benturan ide. Merantau di dalam konsep
kebuayaan Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama proses
pengembangan diri. Karakter masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis dan
antiparokial. Sementara itu merantau adlah sebuah pencarian keselarasan hidup yang tersusun

dari dinamika pertentangan dan penyesuaian. Sebagai hasil sisntesis perantauannya Mandilog
merupakan manifestasi simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Ia buka dogma yang biasanya
harus ditelan begitu saja tanpa reserve. Menurut Tan Malaka kaum dogmatis yang cenderung
mengkaji hafalan sebagai kaum bermental budak atau pasif yang sebenarnya. Disinilah
filsafat idealisme dan matrealisme ala Barat dan konsaep rantau disintesiskan Tan Malaka.
Bahawa suasana kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrem, namin
Mandilog yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang
dikumpulkannya dari Haarlem, Nederland (1913-1919), hingga sampai kelahiran buah
pemikirannya itu di Rawajati (1943).