BAB III RIWAYAT SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI A. BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN - ISRĀ’ĪLIYYĀT DALAM AL-QURAN (Telaah Kisah Isrā’īliyyāt Pada Surat al-Baqarah Dalam Tafsir Marāh Labīd) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung
BAB III
RIWAYAT SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI
A. BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
Syeikh Nawawi al-Bantani merupakan salah satu ulama besar Nusantara
yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran Islam melalui aktivitas dakwah
dan pemikirannya yang mendunia. Nawawi merupakan salah seorang ulama fiqih
bermadzab Syafi‟i yang sangat masyhur pada abad ke-19 M. Berkat karya tulis
dan kemasyhurannya mengantarkan Nawawi menjadi orang yang sangat
berpengaruh di dunia Islam, khususnya dalam bidang pendidikan.1 Terlahir
dengan nama asli Abu Abdullah al-Mu‟thi Muhammad Nawawi bin Umar,
Nawawi dilahirkan di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara
pada tahun 1230 H atau 1814 M.2 Nawawi merupakan sulung dari tujuh
bersaudara putra dari Syaikh Umar bin Arabi al-Bantani dan Zubaedah yang
merupakan salah satu keturunan dari Raja Pertama Banten, yakni Sultan Maulana
Hasanuddin, selain itu Syaikh Nawawi juga mempunyai silsilah berpengaruh
lainnya, yakni salah satu pejuang agama Islam di tanah Jawa yang tergabung
dalam “walisongo”, yakni Sunan Gunung Jati3, selain itu nashab Nawawi juga
bersambung hingga Rasulullah SAW melalui jalur Imam Ja‟far ash-Shadiq,
1
Shalahuddin Wahid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia,
(Jakarta:
PT
Intimedia Cipta Nusantara, 2003), hal. 87.
2
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), e-book, hal. 9
3
Samsul Munir Amin, “Syaikh Nawawi al-Bantani Tokoh Intelektual Pesantren”, jurnal
MANARUL QUR‟AN, hal. 139
38
39
Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husein dan
Fatimah az-Zahra.4
Terlahir di daerah yang memiliki spirit keagamaan yang tinggi, Syaikh
Nawawi al-Bantani semenjak berumur 5 tahun mendapatkan pendidikan
keislaman langsung dari ayahnya yang merupakan seorang ulama lokal di daerah
Banten tersebut. Jadi sebelum mendapatkan pendidikan dari orang lain, beliau
terlebih dahulu mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri. Setelah ditempa
oleh sang ayah, Syeikh Nawawi lantas berguru kepada KH. Sahal, seorang
Ulama‟ karismatik Banten, kemudian berguru kepada Ulama‟ besar dari
Purwakarta bernama Kyai Yusuf.5
Pada usia 15 tahun, bersama dengan saudara-saudaranya Nawawi
berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini digunakan
Nawawi untuk menyecap berbagai ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu kalam,
bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, ilmu tafsir, dan ilmu fiqih.6
Pertama kali, Syeikh Nawawi mendapat bimbingan dari Syekh Khatib
Sambas, yang merupakan seorang penggabung tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah7 kemudian Nawawi berguru pada Sayyid Ahmad Nahrawi,
Sayyid Ahmad Dimyathi, Ahmad Zaini Dahlan, dan Muhammad Khatib al-
4
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), hal. 189
5
Ibid. hal. 190
6
Ibid.
7
Ibid.
40
Hambali. Selesai pendidikan ke Makkah, Syeikh Nawawi kemudian melanjutkan
pengembaraan ilmunya ke negara Mesir dan Syiria.8
Setelah 30 tahun berada di negeri Arab atas restu dari guru-guru nya beliau
kembali ke Tanara untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang didapatnya di
Makkah, Nawawi juga memimpin Pesantren peninggalan sang ayah. Selain
menyebarkan keilmuan Islam yang diperolehnya di Makkah, Nawawi pun
memberikan ceramah-ceramah yang diperuntukkan untuk kalangan masyarakat
di sekitar tempat tinggalnya.9
Ceramah yang Nawawi lakukan ini ternyata menyadarkan masyarakat
Banten untuk melawan kolonial penjajah pada waktu itu10 walaupun situasi
politik Banten pada saat itu belum juga berubah dari saat sebelum beliau
tinggalkan. Kondisi seperti itu, membuat pihak Belanda ketakutan dan terusmenerus melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Syeikh
Nawawi. Bahkan untuk mengurangi pengaruh Syeikh Nawawi, ceramah Syeikh
Nawawi diberanguskan dan dibekukan oleh pihak Belanda.11
Karena situasi tanah air yang tidak kondusif, akhirnya Syaikh Nawawi pun
kembali ke Makkah untuk menimba ilmu. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan
8
Ibid.
Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Marah Labid Nawawi al-Bantani”,
artikel dalam Jurnal Ulul Albab Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an, Vol. 16 No. 2 Tahun 2015,
hal. 179, pdf
10
Ibid.
11
Ma‟ruf Amin dan Muhammad Nashruddin Anshori, Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani,
(Jakarta: Pesantren, 1989), e-book, hal. 98
9
41
bahkan karena kecerdasan otaknya, Nawawi dikenal sebagai salah satu murid
terbaik di Masjidil Haram.12
Setelah memutuskan untuk kembali ke Makkah, sebagai seorang yang haus
akan ilmu pengetahuan, meskipun telah dianggap sebagai seseorang yang alim di
kalangan komunitas Jawa Makkah, Nawawi tetap saja ingin menambah
penguasaan ilmu tentang keagamaan sehingga seringkali melakukan rihlah
„ilmiah ke berbagai daerah di sekitar Makkah.13
Meninggalkan Nusantara, bukan berarti Syeikh Nawawi takut atau gentar
dalam menghadapi kolonial yang berkeliaran, akan tetapi melalui Mediator
Hijaz, malah membuatnya lebih leluasa mengkader santri-santri dari Nusantara
yang nantinya akan kembali ke Tanah Air.14
Melihat pengaruh kuat Syeikh Nawawi al-Bantani, pemerintah Hindia
Belanda pun mengirimkan seorang mata-mata, diutuslah Dr. Snouck Hurgronje
sebagai mata-mata dengan tujuan untuk memperdalam ajaran agama Islam
sekaligus menyelidiki kegiatan Ulama‟-Ulama‟ Nusantara15 yang ada di negeri
Hijaz. Untuk mempermudah kegiatannya, Snouck berpura-pura masuk Islam dan
mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Snouck menetap di Makkah selama
6 bulan dan kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama menetap di Makkah,
12
Ibid. hal. 99
Ibid.
14
Amirul Ulum, Syaikh Nawawi Al-Bantani: Penghulu Ulama‟ di Negeri Hijaz, (Yogyakara:
CV. Global Press, 2016), hal. x
15
Yunani Hasan, “Politik Christian Snouck Hurgronje Terhdaap perjuangan Rakyat Aceh",
artikel dalam Jurnal Criksetra: Jurnal Pendidikan dan Kajian Sejarah, Vol. 3 No. 4 Agustus 2013,
hal. 48, pdf
13
42
Snouck memperoleh data-data penting dan strategis yang dapat digunakan
pemerintah Belanda untuk menghancurkan Islam dari dalam.16
Snouck Hurgronje menggambarkan bahwa Syeikh Nawawi merupakan
seseorang yang berbadan kecil, berbakat, dan berbicara dengan gaya bahasa yang
formal, dengan pemahaman bahasa Arab percakapan yang kurang baik.17 Ini
menggambarkan walaupun beliau berdomisili di Arab, beliau tetap lebih banyak
kontak sosial dengan Ulama‟-Ulama‟ Jawa yang ada disana.18
Syeikh Nawawi meninggal pada di Makkah pada usia 84 tahun pada
tanggal 25 Syawal 1314 H atau 1897 M dan dimakamkan di dekat makam Istri
Rasulullah SAW, Siti Khodijah. Nawawi wafat pada saat menyusun sebuah
tulisan yang menguraikan tentang kitab Minhajut Thalibin karya Yahya ibn
Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn Husain. Sebagai tokoh kebanggan umat Islam di
Jawa khususnya Banten, setiap akhir syawal pun masyarakat selalu memperingati
Haul19 sebagai bentuk cinta dan untuk mengenang Syeikh Nawawi.
B. KARYA-KARYA SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI
Sejak abad ke-16 Masehi, karya-karya Ulama‟ Nusantara mulai banyak
menghiasi dan meramaikan tradisi penulisan dalam disiplin ilmu Islam. para
Ulama‟ pun seakan-akan berlomba untuk menulis kitab, bahkan kebanyakan
ditulis dengan menggunakan bahasa Arab Melayu yang kemudian dapat di cetak
16
Kejahatan Snouck Snouck Hurgronje Terhadap Islam dan Aceh, hal. 1-2, pdf
Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA, 2007), hal. 350
18
Ibid.
19
Metode Penentuan Arah Kiblat Kitab Maraqi al-Ubudiyah, hal. 65, pdf. Haul dalam bahasa
Arab berarti Tahun. Istilah ini seringkali digunakan dalam bab zakat. Namun dalam konteks
pembahasan ini haul dalam tradisi orang Jawa diartikan sebagai hari peringatan kematian seseorang
yang dilakukan setiap tahunnya.
17
43
di percetakan Timur Tengah.20 Diantara Ulama‟-Ulama‟ sebelum masa Syekh
Nawawi adalah: Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkil,
dan Syeikh Muhammad Arsyad al-banjari.21
Mengikut apa yang dilakukan oleh Ulama‟ sebelumnya, selain aktif dalam
menyebarkan keilmuan, Syeikh Nawawi juga meluangkan waktunya untuk
menulis. Syeikh Nawawi dikenal sebagai salah satu penulis yang produktif.
Tulisannya berjumlah puluhan, dan bahkan ada yang menyebutkan ratusan yang
seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Karya-karya nya tersebut terdiri dari
berbagai disiplin keilmuan, diantaranya: ilmu tauhid, ilmu teologi, sejarah,
syariah, tafsir dan lain-lain22, bahkan beberapa karya nya pun diakui validitasnya
secara meluas. Diantara karya dari Syeikh Nawawi adalah sebagai berikut23:
1. Tafsir Marāh Labīd, Kitab ini adalah rujukan utama dari penelitian ini,
terutama kandungan Isrā‟īli āt di dalamnya. Kitab ini merupakan kitab
terbesar karya Syekh Nawawi yang terkenal di berbagai penjuru Makkah dan
di Indonesia seringkali dijadikan kajian kepustakaan Islam selain kitab
Jalalain. 24
2. Ad-Durar al-Bahiyah fi syarh Khashaish an-Nabawiyyah
Amin, Sa id Ulama‟ Hijaz…, hal. 49
Ibid. hal. 50
22
Ghofur, Profil…, hal. 192
23
Mhd. Kolba Siregar, “Metode Syaikh Nawawi al-Bantani Dalam Menafsirkan Al-Qur‟an”,
Skripsi, (Riau: UIN Sulthan Syarif Kasim, 2011), hal. 24-27 keterangan ini juga ada dalam
https://aslamattusi.wordpress.com/2010/05/31/karya-karya-syeikh-nawawi-al-bantani/ diakses pada 01
Maret 2017
24
Syeikh Nawawi al-Bantani, Tafsir Marah Labīd Likas f Ma‟na Qur‟ānil Majid terj. Bahrun
Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), jilid II, hal. v
20
21
44
3. Al-„Aqd al-tsamin yang berisi ulasan atas kitab Manzumat al-Sittin
Mas‟alatan al-Musamma bila al- fath al-Mubin karya Syeikh Mustafa ibnu
„Usman al-Jawi al-Qaruti
4. Al-Fhusus al-Yaquti ah „ala Raudhat al-Mahiyah fi al-Abwab alTashrifiyah yang membahas tentang ilmu sharf. Kitab ini merupakan ulasan
atas kitab Al-Raudhah al-Bahiyyah fi al-Abwab al-Tashrifiyyah
5. Al-Ibriz al-Dani yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW
6. Al-Tausyih yang merupakan ulasan atas kitab fath al-Qarib al-Mujib karya
ibn Qasim al-Ghazi
7. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyad al-Badi‟ah syarh atas kitab Al-Riyadl al-Badi‟ah
fi Ushul ad-Din wa Ba‟dhu furu‟us Sar‟i ah ‟ala Imam as -S afi‟i karya
Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.
8. An-Nahjah al-Jadidah
9. Bahjat al-Wasa‟il bi S arhil Masāil syarh atas kitab Ar-Rasail al-Jami‟ah
Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf karya Sayyid Ahmad ibn Zein
al-Habsyi.
10. Bughyat al-Awam fi syarh Muwlid Sayyid al-Anam SAW li ibn Jauzi
11. Dzari‟ah al- aqin „ala Umm al-Barahain. Kitab ini memberi ulasan pada
Umm al-barahain karya al-Sanusi.
12. Fath al-Ghafir al-Khattiyah yang berisi ulasan atas kitab Nuzum alJurumiyah Al-Musamma bi al-Kaukah al-Jaliyah karya Imam Abdul salam
ibn Mujahid al-Nabrawi
13. Fath al-Majid, ulasan dari kitab Al-Durr al-Farid fi al-Tauhid
45
14. Fath al-Mujib yang merupakan ulasan ringkas atas kitab khatib al-Syarbani fi
al-Manasik
15. Fath al-Shamad yang berisi ulasan atas Kitab Maulid Al-Nabawi
16. Hilyat ash-Shibyan fi syarh Lubab al-Hadits li as-Suyuthi
17. Kasyifatus Saja syarh atas kitab Syafinah an-Najah karya Syekh Salim ibn
Sumair al-Hadrami
18. Lubab al-Bayan yang membahas ilmu balaghah dan merupakan ulasan atass
kitab Risalat al-Isti‟arat karya Al-Husain al-Nawawi al-maliki
19. Madarij al-Su‟ud ila Iktisa‟al-Bururud yang berisi ulasan atas kitab Maulid
al-Nabawi al-Syahir bi al-Barzanji karya Imam Sayyid Ja‟far
20. Marraqi ul ‟Ubudi at syarh atas kitab Bidayatul Hidayah karya Abu
hamid ibn Muhammad al-Ghazali
21. Minqat asy-S u‟ud at-Tasdiq syarh dari Sulam at-Taufiq karya Syeikh
Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba‟lawi
22. Nashaih al-Ibad syarh atas kitab Masa‟il Abi Laits karya Imam Abi Laits
23. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin syarh atas kitab Qurratul ‟aini bi
muhimmati ad-din karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi
24. Nur al-Dhalam yang berisi ulasan atas kitab Manzumat bi Aqidah al-Awam
karya Syeikh Ahmad Marzuki al-Maliki
25. Qami‟ul Thugh an syarh atas S u‟ub al Iman karya Syekh Zainuddin ibn Ali
ibn Muhammad al-Malibari
26. Salalim al-Fudlala ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila
Thariqil Awliya karya Zainuddin ibn Ali al-Ma‟bari al-Malibari
46
27. Sulam al-Munajah syarh atas kitab Safinah ash-Shalah karya Abdullah ibn
Umar al-Hadrami
28. Syarh al-Jurumiyah yang berisi tentang tata bahasa Arab
29. Targhib al-Mustaqim yang berisi ulasan atas kitab Manzumat al-Sayid alBarzanji Zan al-„Abidin fi Mauli kar a Sa id al-Awlin
30. Tijan al-Darari merupakan ulasan atas kitab Al-„alim al-Allamah Syeikh
Ibrahim al-Bajuri fi al-Tauhid
31. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain kitab fiqih mengenai hak dan
kewajiban suami-istri
C. RIWAYAT TAFSIR MARAH LABĪD
1. Latar Belakang Penulisan.
Pada abad 19 M ulama asal Indonesia, Syaikh Nawawi al-Bantani
menulis literatur tafsir yang diberi nama Tafsir Marāh Labīd li Kas fi Ma‟na
al-Quranil Madjid (atau kadangkala ada yang menyebutnya Tafsir Munir),
yang ditulis menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. 25 kitab ini
merupakan penafsiran tentang al-Quran secara keseluruhan yang terdiri dari
dua jilid, karya ini selesai ditulis pada 5 Rabiul Akhir 1305 H/ 1886, di
Makkah.
Faktor yang melatarbelakangi penulisan kitab ini, sebagaimana telah
dicantumkan dalam muqaddimah tafsirnya yaitu anjuran dari beberapa
Ulama‟ yang Nawawi hormati yang menyuruhnya untuk menulis sebuah
25
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, (Jakarta:
TERAJU, 2003), hal. 55
47
tafsir yang menerangkan tentang makna-makna yang ada di dalam alQuran.26 Walaupun pada awalnya merasa ragu untuk melangkah, hal ini
disebabkan sifat kehati-hatian yang beliau miliki dan ketakutannya akan
ancaman sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
27
.علم فليتبوأ نقعده نو انلار
نو قال يف القرآن بغري
“Barangsiapa ang membicarakan al-Quran dengan pendapatnya
sendiri, hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati kedudukannya di dalam
neraka.”
28
.نو قال يف القرآن برأيً فأصاب فقد أخطأ
“Barangsiapa yang membicarakan al-Quran dengan pendapatnya
sendiri, kendatipun benar, namun sesungguhn a dia tetap keliru.”
Pada akhirnya pun Nawawi memenuhi anjuran tersebut dikarenakan
mengikuti jejak para Ulama‟ salaf terdahulu dan agar dapat dimanfaatkan
generasi selanjutnya untuk membuka keilmuan yang ada. Dalam pembuatan
kitab tafsir ini, Syekh Nawawi merujuk kepada beberapa kitab, diantaranya:
Tafsir al-Futuhatul Ilahiyyah (syarh Tafsir Jalalain), Tafsir Mafatihul Ghaib,
As-Sirajul Munir, Tanwirul Miqbas, dan Tafsir Ibnu Mas‟ud.29
2. Metode Penafsiran
Dalam upaya untuk menyelami kandungan dan isi Al-Qur'an
diperlukan kemampuan untuk menggali dan menangkap isinya dengan cara
Nawawi, Tafsir Marah Labīd…, jilid I, muqaddimah, hal. 1
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah
al-Ma‟arif, t.t ), Hadits no. 2950, كتاب تفسيز القزان عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم, باب ما جاء فى الذي يفسز القزان
بزأيه, hal. 659
28
Ibid. hal. 660
29
Nawawi, Marah Labīd …, hal. 2
26
27
48
menginterpretasikan
pesan
langit
tersebut.30
Dalam
upaya
menginterpretasikan tersebut dibutuhkan sebuah metode yang akan membuat
penafsiran tersebut menjadi akurat dan meminimalisir kesalahan dalam
penafsirannya.
Dalam Ulumul Quran, banyak diperkenalkan berbagai metode yang
digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang tujuannya untuk
menangkap pesan langit yang tertuang dalam ayat-ayat al-Quran. Beberapa
metode yang lazim digunakan adalah metode tahlili, metode ijmali, tafsir
muqarran, dan metode maudhui.
Tafsir Marāh Labīd dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir
dengan metode ijmali (global). Dikatakan sebagai tafsir ijmali, dikarenakan
dalam menafsirkan sebuah ayat cenderung menjelaskan setiap ayat dengan
singkat dan padat sehingga mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun
menurut susunan ayat dari mushaf, yakni diawali dari surat al-Fātiḥah dan
diakhiri dengan surat an-Nās.
Selain menggunakan metode penafsiran ijmali dan tahlili, dalam kitab
ini Syeikh Nawawi juga menggunakan metode muqarran (perbandingan), ini
dapat dilihat dari penafsirannya pada surat al-Fātiḥah ayat 4 yang
dibandingkan dengan surat al- Infiṭār ayat 19:
)ملك يوم ادليو) ياء ثبات اآللف عيد اعصم والمسايئ ويعقوب اى نترصف
يف اآلمر لكً يوم القيانة لها قال (يوم ال تهلك ىفس نلفس شئا واآلمر يونئذ
M. Yunan Yusuf, “Metode Penafsiran Al-Qur‟an Tinjauan atas Penafsiran Al-Qur‟an secara
Tematik” dalam Jurnal Syamil vol 2 no. 1 2014 , hal. 58, pdf
30
49
وعيد ابلاقني حبذف اآللف والعىن أى الهترصف يف أمر
31
(91 :)االىفطار
)اهلل
القيانة با آلمر وانلىه
Alif dibaca dengan menggunakan qirāah „Aṣim, Kisai, dan Ya‟qub,
yang artinya Dia-lah yang mengatur semua urusan pada hari kiamat sesuai
dengan firman Allah SWT pada surat al-Infiṭār ayat 19:
َۡ
ۡ ّ ٞ َۡ ُ َۡ َ ََۡ
ّه
ۡ َ
١٩ ِ س ِنلَف ٖس شياو َوٱۡل ۡم ُر يَ ۡو َنئ ِ ٖذ ِهلل
يوم ال تهل ِك نف
(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk
menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan
Allah.
Sedangkan menurut pendapat Ulama‟ qirāah lain, dibaca dengan
membuang Alif Māliki yang artinya yang merajai segala urusan pada hari
kiamat dengan segala perintah dan larangan-Nya.32
3. Corak penafsiran
Dalam literatur tafsir, kata corak biasanya digunakan sebagai
terjemahan dari kata al-laun, yang berarti warna.33 Jadi corak tafsir
merupakan nuansa atau sifat khusus yang mewarnai penafsiran al-Quran.
Tafsir merupakan sebuah bentuk ekspresi intelektual sang mufassir ketika ia
menjelaskan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan keanekaragaman
disiplin ilm yang berkembang saat itu. Di sisi lain, ilmu yang berkembang
Nawawi, Tafsir Marah Labīd li Kas fi Ma‟na Qur‟anil Madjid, (Beirut: Darul Kutub
„Ilmiah: t.t), hal. 7-8, pdf
32
Ibid. hal. 5
33
Adib Bisri dan Munawwir A. Fattah, Kamus al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999),
hal. 400
31
50
pada abad itu bersentuhan langsung dengan keIslaman. Dalam buku yang
berjudul Ulumul Quran, disebutkan ada 5 jenis corak dalam penafsiran:
a. Corak Fiqhi
Corak fiqhi atau kadangkala disebut dengan corak hukum. Ini
dikarenakan pada penafsiran ini memusatkan perhatiannya kepada
persoalan hukum agama Islam.34
b. Corak Sufi
Corak sufi merupakan penafsiran al-Quran yang berlainan dengan
makna dzahirnya karena adanya petunjuk yang tersirat. Corak sufi ini
terbagi menjadi dua, yang pertama corak sufi isyari yaitu penafsiran
ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan dzahirnya. Hal ini dikarenakan
pemahaman tersebut hanya dapat dipahami oleh sebagian Ulama‟
maupun orang-orang yang mengenal Allah SWT. Seperti halnya ilmu
yang dimiliki oleh Nabi Khidir tanpa melalui proses belajar.35 Sedangkan
yang kedua, corak sufi nadhary, yakni tafsir yang dibangun untuk
mempromosikan teori mistik yang dianut oleh Mufassir tertentu sehingga
kadangkala penafsirannya jauh dari tujuan utamanya sebagai petunjuk
bagi umat manusia.36
Gufron dan Rahmawati, Ulumul…, hal. 189
Ibid. hal. 190-191
36
Ninin
Tri
Wahyuni,
Tafsir
Corak
Sufi,
http://ninwahyuni.blogspot.com/2016/12/makalah-madzahibut-tafsir-tafsir-corak.html?m=1
pada 22 Maret 2018 pukul 10.23 WIB
34
35
dalam
diakses
51
c. Corak „Ilmi
Corak penafsiran yang menggunakan istilah ilmiah dalam rangka
memahami kandungan isi al-Quran. Dalam hal ini al-Quran mendorong
umat Islam untuk memerdekakan akan dari belenggu keraguan untuk
mengamati fenomena yang ada di alam sekitar.37 Corak penafsiran
semacam ini memberikan kesempatan kepada para Mufassir untuk
mengembangkan keilmuan yang ada dalam al-Quran.38
d. Corak Adab Ijtima‟i
Corak
Adab
Ijtima‟i
merupakan
corak
penafsiran
yang
menerangkan makna-makna yang ada dalam al-Quran dengan sistem
sosial
kemasyarakatan.
Tujuannya
adalah
agar
al-Quran
dapat
difungsikan pada kehidupan manusia sehingga mampu memecahkan
persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.39
e. Corak Falsafi
Corak falsafi merupakan corak penafsiran al-Quran berdasarkan
logika atau pemikiran filsafat yang rasional.40 Namun walaupun begitu,
beberapa Ulama‟ menolak penafsiran dengan corak falsafi ini dengan
alasan bahwa penafsirannya terlalu dipaksakan ke wilayah yang mereka
kehendaki.41
37
173
Rosihon Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, (Bandung, Pustaka Setia, 2015), hal. 172-
Gufron dan Rahmawati, Ulumul…, hal. 195
Ibid., hal. 198
40
Ibid. hal. 197
41
Ibid.
38
39
52
Tafsir Marāh Labīd dapat dikategorikan dalam tafsir bil ma‟tsur. hal
ini dapat dipahami dari muqaddimah beliau yang khawatir melakukan
penafsiran secara murni. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya kutipan
hadits-hadits Rasulullah SAW, pendapat dari sahabat dan tabi‟in serta tokohtokoh dalam menjelaskan suatu ayat.
Tafsir ini lebih condong pada corak sufi, ini dilihat dari latar belakang
Syekh Nawawi yang merupakan pemimpin tarekat yang besar di Nusantara,
akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa tafsir ini juga
menggunakan corak fiqhi di dalamnya.
RIWAYAT SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI
A. BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
Syeikh Nawawi al-Bantani merupakan salah satu ulama besar Nusantara
yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran Islam melalui aktivitas dakwah
dan pemikirannya yang mendunia. Nawawi merupakan salah seorang ulama fiqih
bermadzab Syafi‟i yang sangat masyhur pada abad ke-19 M. Berkat karya tulis
dan kemasyhurannya mengantarkan Nawawi menjadi orang yang sangat
berpengaruh di dunia Islam, khususnya dalam bidang pendidikan.1 Terlahir
dengan nama asli Abu Abdullah al-Mu‟thi Muhammad Nawawi bin Umar,
Nawawi dilahirkan di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara
pada tahun 1230 H atau 1814 M.2 Nawawi merupakan sulung dari tujuh
bersaudara putra dari Syaikh Umar bin Arabi al-Bantani dan Zubaedah yang
merupakan salah satu keturunan dari Raja Pertama Banten, yakni Sultan Maulana
Hasanuddin, selain itu Syaikh Nawawi juga mempunyai silsilah berpengaruh
lainnya, yakni salah satu pejuang agama Islam di tanah Jawa yang tergabung
dalam “walisongo”, yakni Sunan Gunung Jati3, selain itu nashab Nawawi juga
bersambung hingga Rasulullah SAW melalui jalur Imam Ja‟far ash-Shadiq,
1
Shalahuddin Wahid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia,
(Jakarta:
PT
Intimedia Cipta Nusantara, 2003), hal. 87.
2
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), e-book, hal. 9
3
Samsul Munir Amin, “Syaikh Nawawi al-Bantani Tokoh Intelektual Pesantren”, jurnal
MANARUL QUR‟AN, hal. 139
38
39
Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husein dan
Fatimah az-Zahra.4
Terlahir di daerah yang memiliki spirit keagamaan yang tinggi, Syaikh
Nawawi al-Bantani semenjak berumur 5 tahun mendapatkan pendidikan
keislaman langsung dari ayahnya yang merupakan seorang ulama lokal di daerah
Banten tersebut. Jadi sebelum mendapatkan pendidikan dari orang lain, beliau
terlebih dahulu mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri. Setelah ditempa
oleh sang ayah, Syeikh Nawawi lantas berguru kepada KH. Sahal, seorang
Ulama‟ karismatik Banten, kemudian berguru kepada Ulama‟ besar dari
Purwakarta bernama Kyai Yusuf.5
Pada usia 15 tahun, bersama dengan saudara-saudaranya Nawawi
berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini digunakan
Nawawi untuk menyecap berbagai ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu kalam,
bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, ilmu tafsir, dan ilmu fiqih.6
Pertama kali, Syeikh Nawawi mendapat bimbingan dari Syekh Khatib
Sambas, yang merupakan seorang penggabung tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah7 kemudian Nawawi berguru pada Sayyid Ahmad Nahrawi,
Sayyid Ahmad Dimyathi, Ahmad Zaini Dahlan, dan Muhammad Khatib al-
4
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), hal. 189
5
Ibid. hal. 190
6
Ibid.
7
Ibid.
40
Hambali. Selesai pendidikan ke Makkah, Syeikh Nawawi kemudian melanjutkan
pengembaraan ilmunya ke negara Mesir dan Syiria.8
Setelah 30 tahun berada di negeri Arab atas restu dari guru-guru nya beliau
kembali ke Tanara untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang didapatnya di
Makkah, Nawawi juga memimpin Pesantren peninggalan sang ayah. Selain
menyebarkan keilmuan Islam yang diperolehnya di Makkah, Nawawi pun
memberikan ceramah-ceramah yang diperuntukkan untuk kalangan masyarakat
di sekitar tempat tinggalnya.9
Ceramah yang Nawawi lakukan ini ternyata menyadarkan masyarakat
Banten untuk melawan kolonial penjajah pada waktu itu10 walaupun situasi
politik Banten pada saat itu belum juga berubah dari saat sebelum beliau
tinggalkan. Kondisi seperti itu, membuat pihak Belanda ketakutan dan terusmenerus melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Syeikh
Nawawi. Bahkan untuk mengurangi pengaruh Syeikh Nawawi, ceramah Syeikh
Nawawi diberanguskan dan dibekukan oleh pihak Belanda.11
Karena situasi tanah air yang tidak kondusif, akhirnya Syaikh Nawawi pun
kembali ke Makkah untuk menimba ilmu. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan
8
Ibid.
Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Marah Labid Nawawi al-Bantani”,
artikel dalam Jurnal Ulul Albab Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an, Vol. 16 No. 2 Tahun 2015,
hal. 179, pdf
10
Ibid.
11
Ma‟ruf Amin dan Muhammad Nashruddin Anshori, Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani,
(Jakarta: Pesantren, 1989), e-book, hal. 98
9
41
bahkan karena kecerdasan otaknya, Nawawi dikenal sebagai salah satu murid
terbaik di Masjidil Haram.12
Setelah memutuskan untuk kembali ke Makkah, sebagai seorang yang haus
akan ilmu pengetahuan, meskipun telah dianggap sebagai seseorang yang alim di
kalangan komunitas Jawa Makkah, Nawawi tetap saja ingin menambah
penguasaan ilmu tentang keagamaan sehingga seringkali melakukan rihlah
„ilmiah ke berbagai daerah di sekitar Makkah.13
Meninggalkan Nusantara, bukan berarti Syeikh Nawawi takut atau gentar
dalam menghadapi kolonial yang berkeliaran, akan tetapi melalui Mediator
Hijaz, malah membuatnya lebih leluasa mengkader santri-santri dari Nusantara
yang nantinya akan kembali ke Tanah Air.14
Melihat pengaruh kuat Syeikh Nawawi al-Bantani, pemerintah Hindia
Belanda pun mengirimkan seorang mata-mata, diutuslah Dr. Snouck Hurgronje
sebagai mata-mata dengan tujuan untuk memperdalam ajaran agama Islam
sekaligus menyelidiki kegiatan Ulama‟-Ulama‟ Nusantara15 yang ada di negeri
Hijaz. Untuk mempermudah kegiatannya, Snouck berpura-pura masuk Islam dan
mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Snouck menetap di Makkah selama
6 bulan dan kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama menetap di Makkah,
12
Ibid. hal. 99
Ibid.
14
Amirul Ulum, Syaikh Nawawi Al-Bantani: Penghulu Ulama‟ di Negeri Hijaz, (Yogyakara:
CV. Global Press, 2016), hal. x
15
Yunani Hasan, “Politik Christian Snouck Hurgronje Terhdaap perjuangan Rakyat Aceh",
artikel dalam Jurnal Criksetra: Jurnal Pendidikan dan Kajian Sejarah, Vol. 3 No. 4 Agustus 2013,
hal. 48, pdf
13
42
Snouck memperoleh data-data penting dan strategis yang dapat digunakan
pemerintah Belanda untuk menghancurkan Islam dari dalam.16
Snouck Hurgronje menggambarkan bahwa Syeikh Nawawi merupakan
seseorang yang berbadan kecil, berbakat, dan berbicara dengan gaya bahasa yang
formal, dengan pemahaman bahasa Arab percakapan yang kurang baik.17 Ini
menggambarkan walaupun beliau berdomisili di Arab, beliau tetap lebih banyak
kontak sosial dengan Ulama‟-Ulama‟ Jawa yang ada disana.18
Syeikh Nawawi meninggal pada di Makkah pada usia 84 tahun pada
tanggal 25 Syawal 1314 H atau 1897 M dan dimakamkan di dekat makam Istri
Rasulullah SAW, Siti Khodijah. Nawawi wafat pada saat menyusun sebuah
tulisan yang menguraikan tentang kitab Minhajut Thalibin karya Yahya ibn
Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn Husain. Sebagai tokoh kebanggan umat Islam di
Jawa khususnya Banten, setiap akhir syawal pun masyarakat selalu memperingati
Haul19 sebagai bentuk cinta dan untuk mengenang Syeikh Nawawi.
B. KARYA-KARYA SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI
Sejak abad ke-16 Masehi, karya-karya Ulama‟ Nusantara mulai banyak
menghiasi dan meramaikan tradisi penulisan dalam disiplin ilmu Islam. para
Ulama‟ pun seakan-akan berlomba untuk menulis kitab, bahkan kebanyakan
ditulis dengan menggunakan bahasa Arab Melayu yang kemudian dapat di cetak
16
Kejahatan Snouck Snouck Hurgronje Terhadap Islam dan Aceh, hal. 1-2, pdf
Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA, 2007), hal. 350
18
Ibid.
19
Metode Penentuan Arah Kiblat Kitab Maraqi al-Ubudiyah, hal. 65, pdf. Haul dalam bahasa
Arab berarti Tahun. Istilah ini seringkali digunakan dalam bab zakat. Namun dalam konteks
pembahasan ini haul dalam tradisi orang Jawa diartikan sebagai hari peringatan kematian seseorang
yang dilakukan setiap tahunnya.
17
43
di percetakan Timur Tengah.20 Diantara Ulama‟-Ulama‟ sebelum masa Syekh
Nawawi adalah: Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkil,
dan Syeikh Muhammad Arsyad al-banjari.21
Mengikut apa yang dilakukan oleh Ulama‟ sebelumnya, selain aktif dalam
menyebarkan keilmuan, Syeikh Nawawi juga meluangkan waktunya untuk
menulis. Syeikh Nawawi dikenal sebagai salah satu penulis yang produktif.
Tulisannya berjumlah puluhan, dan bahkan ada yang menyebutkan ratusan yang
seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Karya-karya nya tersebut terdiri dari
berbagai disiplin keilmuan, diantaranya: ilmu tauhid, ilmu teologi, sejarah,
syariah, tafsir dan lain-lain22, bahkan beberapa karya nya pun diakui validitasnya
secara meluas. Diantara karya dari Syeikh Nawawi adalah sebagai berikut23:
1. Tafsir Marāh Labīd, Kitab ini adalah rujukan utama dari penelitian ini,
terutama kandungan Isrā‟īli āt di dalamnya. Kitab ini merupakan kitab
terbesar karya Syekh Nawawi yang terkenal di berbagai penjuru Makkah dan
di Indonesia seringkali dijadikan kajian kepustakaan Islam selain kitab
Jalalain. 24
2. Ad-Durar al-Bahiyah fi syarh Khashaish an-Nabawiyyah
Amin, Sa id Ulama‟ Hijaz…, hal. 49
Ibid. hal. 50
22
Ghofur, Profil…, hal. 192
23
Mhd. Kolba Siregar, “Metode Syaikh Nawawi al-Bantani Dalam Menafsirkan Al-Qur‟an”,
Skripsi, (Riau: UIN Sulthan Syarif Kasim, 2011), hal. 24-27 keterangan ini juga ada dalam
https://aslamattusi.wordpress.com/2010/05/31/karya-karya-syeikh-nawawi-al-bantani/ diakses pada 01
Maret 2017
24
Syeikh Nawawi al-Bantani, Tafsir Marah Labīd Likas f Ma‟na Qur‟ānil Majid terj. Bahrun
Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), jilid II, hal. v
20
21
44
3. Al-„Aqd al-tsamin yang berisi ulasan atas kitab Manzumat al-Sittin
Mas‟alatan al-Musamma bila al- fath al-Mubin karya Syeikh Mustafa ibnu
„Usman al-Jawi al-Qaruti
4. Al-Fhusus al-Yaquti ah „ala Raudhat al-Mahiyah fi al-Abwab alTashrifiyah yang membahas tentang ilmu sharf. Kitab ini merupakan ulasan
atas kitab Al-Raudhah al-Bahiyyah fi al-Abwab al-Tashrifiyyah
5. Al-Ibriz al-Dani yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW
6. Al-Tausyih yang merupakan ulasan atas kitab fath al-Qarib al-Mujib karya
ibn Qasim al-Ghazi
7. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyad al-Badi‟ah syarh atas kitab Al-Riyadl al-Badi‟ah
fi Ushul ad-Din wa Ba‟dhu furu‟us Sar‟i ah ‟ala Imam as -S afi‟i karya
Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.
8. An-Nahjah al-Jadidah
9. Bahjat al-Wasa‟il bi S arhil Masāil syarh atas kitab Ar-Rasail al-Jami‟ah
Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf karya Sayyid Ahmad ibn Zein
al-Habsyi.
10. Bughyat al-Awam fi syarh Muwlid Sayyid al-Anam SAW li ibn Jauzi
11. Dzari‟ah al- aqin „ala Umm al-Barahain. Kitab ini memberi ulasan pada
Umm al-barahain karya al-Sanusi.
12. Fath al-Ghafir al-Khattiyah yang berisi ulasan atas kitab Nuzum alJurumiyah Al-Musamma bi al-Kaukah al-Jaliyah karya Imam Abdul salam
ibn Mujahid al-Nabrawi
13. Fath al-Majid, ulasan dari kitab Al-Durr al-Farid fi al-Tauhid
45
14. Fath al-Mujib yang merupakan ulasan ringkas atas kitab khatib al-Syarbani fi
al-Manasik
15. Fath al-Shamad yang berisi ulasan atas Kitab Maulid Al-Nabawi
16. Hilyat ash-Shibyan fi syarh Lubab al-Hadits li as-Suyuthi
17. Kasyifatus Saja syarh atas kitab Syafinah an-Najah karya Syekh Salim ibn
Sumair al-Hadrami
18. Lubab al-Bayan yang membahas ilmu balaghah dan merupakan ulasan atass
kitab Risalat al-Isti‟arat karya Al-Husain al-Nawawi al-maliki
19. Madarij al-Su‟ud ila Iktisa‟al-Bururud yang berisi ulasan atas kitab Maulid
al-Nabawi al-Syahir bi al-Barzanji karya Imam Sayyid Ja‟far
20. Marraqi ul ‟Ubudi at syarh atas kitab Bidayatul Hidayah karya Abu
hamid ibn Muhammad al-Ghazali
21. Minqat asy-S u‟ud at-Tasdiq syarh dari Sulam at-Taufiq karya Syeikh
Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba‟lawi
22. Nashaih al-Ibad syarh atas kitab Masa‟il Abi Laits karya Imam Abi Laits
23. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin syarh atas kitab Qurratul ‟aini bi
muhimmati ad-din karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi
24. Nur al-Dhalam yang berisi ulasan atas kitab Manzumat bi Aqidah al-Awam
karya Syeikh Ahmad Marzuki al-Maliki
25. Qami‟ul Thugh an syarh atas S u‟ub al Iman karya Syekh Zainuddin ibn Ali
ibn Muhammad al-Malibari
26. Salalim al-Fudlala ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila
Thariqil Awliya karya Zainuddin ibn Ali al-Ma‟bari al-Malibari
46
27. Sulam al-Munajah syarh atas kitab Safinah ash-Shalah karya Abdullah ibn
Umar al-Hadrami
28. Syarh al-Jurumiyah yang berisi tentang tata bahasa Arab
29. Targhib al-Mustaqim yang berisi ulasan atas kitab Manzumat al-Sayid alBarzanji Zan al-„Abidin fi Mauli kar a Sa id al-Awlin
30. Tijan al-Darari merupakan ulasan atas kitab Al-„alim al-Allamah Syeikh
Ibrahim al-Bajuri fi al-Tauhid
31. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain kitab fiqih mengenai hak dan
kewajiban suami-istri
C. RIWAYAT TAFSIR MARAH LABĪD
1. Latar Belakang Penulisan.
Pada abad 19 M ulama asal Indonesia, Syaikh Nawawi al-Bantani
menulis literatur tafsir yang diberi nama Tafsir Marāh Labīd li Kas fi Ma‟na
al-Quranil Madjid (atau kadangkala ada yang menyebutnya Tafsir Munir),
yang ditulis menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. 25 kitab ini
merupakan penafsiran tentang al-Quran secara keseluruhan yang terdiri dari
dua jilid, karya ini selesai ditulis pada 5 Rabiul Akhir 1305 H/ 1886, di
Makkah.
Faktor yang melatarbelakangi penulisan kitab ini, sebagaimana telah
dicantumkan dalam muqaddimah tafsirnya yaitu anjuran dari beberapa
Ulama‟ yang Nawawi hormati yang menyuruhnya untuk menulis sebuah
25
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, (Jakarta:
TERAJU, 2003), hal. 55
47
tafsir yang menerangkan tentang makna-makna yang ada di dalam alQuran.26 Walaupun pada awalnya merasa ragu untuk melangkah, hal ini
disebabkan sifat kehati-hatian yang beliau miliki dan ketakutannya akan
ancaman sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
27
.علم فليتبوأ نقعده نو انلار
نو قال يف القرآن بغري
“Barangsiapa ang membicarakan al-Quran dengan pendapatnya
sendiri, hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati kedudukannya di dalam
neraka.”
28
.نو قال يف القرآن برأيً فأصاب فقد أخطأ
“Barangsiapa yang membicarakan al-Quran dengan pendapatnya
sendiri, kendatipun benar, namun sesungguhn a dia tetap keliru.”
Pada akhirnya pun Nawawi memenuhi anjuran tersebut dikarenakan
mengikuti jejak para Ulama‟ salaf terdahulu dan agar dapat dimanfaatkan
generasi selanjutnya untuk membuka keilmuan yang ada. Dalam pembuatan
kitab tafsir ini, Syekh Nawawi merujuk kepada beberapa kitab, diantaranya:
Tafsir al-Futuhatul Ilahiyyah (syarh Tafsir Jalalain), Tafsir Mafatihul Ghaib,
As-Sirajul Munir, Tanwirul Miqbas, dan Tafsir Ibnu Mas‟ud.29
2. Metode Penafsiran
Dalam upaya untuk menyelami kandungan dan isi Al-Qur'an
diperlukan kemampuan untuk menggali dan menangkap isinya dengan cara
Nawawi, Tafsir Marah Labīd…, jilid I, muqaddimah, hal. 1
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah
al-Ma‟arif, t.t ), Hadits no. 2950, كتاب تفسيز القزان عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم, باب ما جاء فى الذي يفسز القزان
بزأيه, hal. 659
28
Ibid. hal. 660
29
Nawawi, Marah Labīd …, hal. 2
26
27
48
menginterpretasikan
pesan
langit
tersebut.30
Dalam
upaya
menginterpretasikan tersebut dibutuhkan sebuah metode yang akan membuat
penafsiran tersebut menjadi akurat dan meminimalisir kesalahan dalam
penafsirannya.
Dalam Ulumul Quran, banyak diperkenalkan berbagai metode yang
digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang tujuannya untuk
menangkap pesan langit yang tertuang dalam ayat-ayat al-Quran. Beberapa
metode yang lazim digunakan adalah metode tahlili, metode ijmali, tafsir
muqarran, dan metode maudhui.
Tafsir Marāh Labīd dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir
dengan metode ijmali (global). Dikatakan sebagai tafsir ijmali, dikarenakan
dalam menafsirkan sebuah ayat cenderung menjelaskan setiap ayat dengan
singkat dan padat sehingga mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun
menurut susunan ayat dari mushaf, yakni diawali dari surat al-Fātiḥah dan
diakhiri dengan surat an-Nās.
Selain menggunakan metode penafsiran ijmali dan tahlili, dalam kitab
ini Syeikh Nawawi juga menggunakan metode muqarran (perbandingan), ini
dapat dilihat dari penafsirannya pada surat al-Fātiḥah ayat 4 yang
dibandingkan dengan surat al- Infiṭār ayat 19:
)ملك يوم ادليو) ياء ثبات اآللف عيد اعصم والمسايئ ويعقوب اى نترصف
يف اآلمر لكً يوم القيانة لها قال (يوم ال تهلك ىفس نلفس شئا واآلمر يونئذ
M. Yunan Yusuf, “Metode Penafsiran Al-Qur‟an Tinjauan atas Penafsiran Al-Qur‟an secara
Tematik” dalam Jurnal Syamil vol 2 no. 1 2014 , hal. 58, pdf
30
49
وعيد ابلاقني حبذف اآللف والعىن أى الهترصف يف أمر
31
(91 :)االىفطار
)اهلل
القيانة با آلمر وانلىه
Alif dibaca dengan menggunakan qirāah „Aṣim, Kisai, dan Ya‟qub,
yang artinya Dia-lah yang mengatur semua urusan pada hari kiamat sesuai
dengan firman Allah SWT pada surat al-Infiṭār ayat 19:
َۡ
ۡ ّ ٞ َۡ ُ َۡ َ ََۡ
ّه
ۡ َ
١٩ ِ س ِنلَف ٖس شياو َوٱۡل ۡم ُر يَ ۡو َنئ ِ ٖذ ِهلل
يوم ال تهل ِك نف
(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk
menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan
Allah.
Sedangkan menurut pendapat Ulama‟ qirāah lain, dibaca dengan
membuang Alif Māliki yang artinya yang merajai segala urusan pada hari
kiamat dengan segala perintah dan larangan-Nya.32
3. Corak penafsiran
Dalam literatur tafsir, kata corak biasanya digunakan sebagai
terjemahan dari kata al-laun, yang berarti warna.33 Jadi corak tafsir
merupakan nuansa atau sifat khusus yang mewarnai penafsiran al-Quran.
Tafsir merupakan sebuah bentuk ekspresi intelektual sang mufassir ketika ia
menjelaskan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan keanekaragaman
disiplin ilm yang berkembang saat itu. Di sisi lain, ilmu yang berkembang
Nawawi, Tafsir Marah Labīd li Kas fi Ma‟na Qur‟anil Madjid, (Beirut: Darul Kutub
„Ilmiah: t.t), hal. 7-8, pdf
32
Ibid. hal. 5
33
Adib Bisri dan Munawwir A. Fattah, Kamus al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999),
hal. 400
31
50
pada abad itu bersentuhan langsung dengan keIslaman. Dalam buku yang
berjudul Ulumul Quran, disebutkan ada 5 jenis corak dalam penafsiran:
a. Corak Fiqhi
Corak fiqhi atau kadangkala disebut dengan corak hukum. Ini
dikarenakan pada penafsiran ini memusatkan perhatiannya kepada
persoalan hukum agama Islam.34
b. Corak Sufi
Corak sufi merupakan penafsiran al-Quran yang berlainan dengan
makna dzahirnya karena adanya petunjuk yang tersirat. Corak sufi ini
terbagi menjadi dua, yang pertama corak sufi isyari yaitu penafsiran
ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan dzahirnya. Hal ini dikarenakan
pemahaman tersebut hanya dapat dipahami oleh sebagian Ulama‟
maupun orang-orang yang mengenal Allah SWT. Seperti halnya ilmu
yang dimiliki oleh Nabi Khidir tanpa melalui proses belajar.35 Sedangkan
yang kedua, corak sufi nadhary, yakni tafsir yang dibangun untuk
mempromosikan teori mistik yang dianut oleh Mufassir tertentu sehingga
kadangkala penafsirannya jauh dari tujuan utamanya sebagai petunjuk
bagi umat manusia.36
Gufron dan Rahmawati, Ulumul…, hal. 189
Ibid. hal. 190-191
36
Ninin
Tri
Wahyuni,
Tafsir
Corak
Sufi,
http://ninwahyuni.blogspot.com/2016/12/makalah-madzahibut-tafsir-tafsir-corak.html?m=1
pada 22 Maret 2018 pukul 10.23 WIB
34
35
dalam
diakses
51
c. Corak „Ilmi
Corak penafsiran yang menggunakan istilah ilmiah dalam rangka
memahami kandungan isi al-Quran. Dalam hal ini al-Quran mendorong
umat Islam untuk memerdekakan akan dari belenggu keraguan untuk
mengamati fenomena yang ada di alam sekitar.37 Corak penafsiran
semacam ini memberikan kesempatan kepada para Mufassir untuk
mengembangkan keilmuan yang ada dalam al-Quran.38
d. Corak Adab Ijtima‟i
Corak
Adab
Ijtima‟i
merupakan
corak
penafsiran
yang
menerangkan makna-makna yang ada dalam al-Quran dengan sistem
sosial
kemasyarakatan.
Tujuannya
adalah
agar
al-Quran
dapat
difungsikan pada kehidupan manusia sehingga mampu memecahkan
persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.39
e. Corak Falsafi
Corak falsafi merupakan corak penafsiran al-Quran berdasarkan
logika atau pemikiran filsafat yang rasional.40 Namun walaupun begitu,
beberapa Ulama‟ menolak penafsiran dengan corak falsafi ini dengan
alasan bahwa penafsirannya terlalu dipaksakan ke wilayah yang mereka
kehendaki.41
37
173
Rosihon Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, (Bandung, Pustaka Setia, 2015), hal. 172-
Gufron dan Rahmawati, Ulumul…, hal. 195
Ibid., hal. 198
40
Ibid. hal. 197
41
Ibid.
38
39
52
Tafsir Marāh Labīd dapat dikategorikan dalam tafsir bil ma‟tsur. hal
ini dapat dipahami dari muqaddimah beliau yang khawatir melakukan
penafsiran secara murni. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya kutipan
hadits-hadits Rasulullah SAW, pendapat dari sahabat dan tabi‟in serta tokohtokoh dalam menjelaskan suatu ayat.
Tafsir ini lebih condong pada corak sufi, ini dilihat dari latar belakang
Syekh Nawawi yang merupakan pemimpin tarekat yang besar di Nusantara,
akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa tafsir ini juga
menggunakan corak fiqhi di dalamnya.