BUKU KDRT JALAN PANJANG MENUJU KEHARMONI (1)

JA L A N P A N JA N G

m en u ju K E H A R M O N ISA N

RUMAH TANGGA

R U M AH PER EM PU AN K U PAN G Jln. Pegangsaan I, N o. 17, Kelapa Lim a,

Telp/Fax. (0380)-823117; E-m ail : rm hperem puan@ yahoo.co.id Kota Kupang-N TT

JA L A N P A N JA N G

m en u ju K E H A R M O N ISA N

RUMAH TANGGA

D iterbitkan oleh :

R U M AH PER EM PU AN K U PAN G Jln. Pegangsaan I, N o. 17, Kelapa Lim a, Kota Kupang-N usa Tenggara Tim ur; Telp/Fax. (0380)-823117; E-m ail : rm hperem puan@ yahoo.co.id

JA LA N PA N JA N G M E N U JU K E H A R M O N ISA N R U M A H TA N G G A

Cetakan Pertam a, Februari 2011 Hak Cipta © Rum ah Perem puan Kupang

ISBN: 978-602-96517-1-3 vi + 70 Halam an; 14 x 21 cm

Penulis:

Libby SinlaEloE, Tri Soekirm an, Paul SinlaEloE

Editor: Paul SinlaEloE

D esain Cover: W esly Jacob

Lay O ut/Tata Letak: W esly Jacob

D iterbitkan oleh: Rum ah Perem puan Kupang

Jln. Pegangsaan I, No. 17, Kelapa Lim a, Kota Kupang-Nusa Tenggara Tim ur; Telp/Fax. (0380)-823117; E-m ail: rm hperem puan@ yahoo.co.id

D idukung oleh:

Am erican Friends Service Com m ittee (AFSC)-Indonesia Jln. Krasak Barat, Kota Baru, Yogyakarta; Telp/Fax. 0274-517062/0274-556610; Em ail: ; W ebsite: w w w .bina-dam ai.net

iii

SE K A P U R SIR IH

Salam D am ai U ntuk Perdam aian..! m erican Friends Service Com m ittee (AFSC) Indonesia m enyam paikan apresiasi yang tinggi dan selam at

A atas terbitnya buku dengan judul “Jalan Panjang m enuju

Keharm onisan Rum ah Tangga” yang dirilis oleh LSM Rum ah Perem puan. Karya kecil ini akan didedikasikan bagi peningkatan m artabat kaum perem puan dan sekaligus m em berikan ruang yang luas pada upaya m enyentuh pelaku KD R T (baca: dom inan laki- laki/suam i) dengan tetap m enjunjung harm onisasi keluarga.

U paya R um ah Perem puan dan kom unitasnya m erupakan langkah yang m em pertegas pengoptim alan m odal sosial seperti m ekanism e adat dan p ara akto r terkait d i ko m u n itas d i d alam p en yelesaian K D R T.

M elalui buku ini, kita disadarkan kem bali bahw a potensi kebhinekaan N usa Tenggara Tim ur (N TT) yang beragam adat-istiadat seperti adat Tim or, Rote, dan Tim or-Tim ur sangat potensial m enyelesaikan kekerasan terhadap perem puan. Ini m odal sosial yang perlu diberi ruang sebagaim ana yang sering diutarakan oleh R um ah Perem puan sendiri agar kaum perem puan kem b ali p ercaya d iri d an tid ak ten g g elam p ad a kep u tu sasaan .

Buku ini seyogyanya dipandang sebagai kum pulan huruf-huruf hidup yang berbicara tentang keharm onisan rum ah tangga dan m asa depan perem puan N TT. Karena itu, buku ini diharapkan m enjadi rujukan bagi sem ua pem angku kepentingan yang peduli pada keharm onisan rum ah tangga, khususnya nasib perem puan N TT.

Yogyakarta, 8 M aret 2011 Jiw ay Francis Thung Country Representatif AFSC Indonesia

iii

KATA PENGANTAR

K eutuhan dan kerukunan rum ah tangga dalam suasana yang bahagia, am an,

tentram dan dam ai adalah dam baan setiap orang dalam suatu rum ah tangga . Itulah kalim at yang terdapat pada baris pertam a sekaligus Alinea Pertam a dari Penjelasan U m um U ndang-U ndang N om or 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rum ah Tangga. Kalim at ini juga, m erupakan gam baran dari kondisi dan atau tujuan yang hendak diw ujudkan berkaitan dengan m araknya kasus kekerasan dalam rum ah tangga. Perm asalahannya, sejauh m ana hal ini teraplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam m asyarakat sekitar kita?

Pengalam an R um ah Perem puan selam a 10 (sepuluh) tahun dalam m elakukan kerja-kerja pendam pingan korban, m em buktikan bahw a m em elihara keutuhan rum ah tangga yang harm onis dan sejahtera, m erupakan tantangan yang harus ditem ukan solusinya, terutam a pasca terjadinya kekerasan dalam rum ah tangga. Tantangan ini sem akin lebih berat lagi ketika terjadi kekerasan dalam rum ah tangga, para pihak m encari keadilan m elalui sistem peradilan form al.

Pengalam an Rum ah Perem puan juga m engajarkan bahw a pasca penarikan kasus dari pihak kepolisian dan atau pasca vonis pengadilan, pihak korban dalam hal ini istri atau anak m aupun anggota rum ah tangga lainnya akan dipersalahkan oleh pihak keluarga dan atau tetangga. Akibatnya, para korban akan m engalam i tekanan psikologis. Khusus bagi anak akan cenderung m encari pelam piasan dengan cara m engikuti perilaku buruk dari pelaku. Sedangkan bagi para istri, biasanya akan m em ilih jalan pintas yakni perceraian untuk m engakhiri penderitaannya.

Berpijak pada realita persoalan di atas, Rum ah Perem puan yang m erupakan lem baga non profit dan bekerja untuk isue-isue perem puan, kesetaraan gender dan sangat konsern pada persoalan kekerasan dalam rum ah tangga, m enaw arkan suatu m odel penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga, lew at buku yang berjudul “JA LA N PA N JA N G M E N U JU K E H A R M O N ISA N R U M A H TA N G G A ” .

Keberhasilan Rum ah Perem puan dalam m endesain m odel penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga dan m em bukukannya, tidak iv Keberhasilan Rum ah Perem puan dalam m endesain m odel penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga dan m em bukukannya, tidak iv

D esa N oelbaki dan D esa Tuapukan, yang m erupakan daerah tem pat dilakukannya try out draft m odel Penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga. U ntuk itu, bagi AFSC, aparat desa, w arga desa dan para tokoh yang berada di D esa N oelbaki dan D esa Tuapukan, patut m endapatkan ucapkan terim a kasih.

U capan terim a kasih, juga pantas diberikan kepada Jhon N om e, SH .M hum (D osen FH U N D AN A), D eddy Ch. M anafe, SH .M hum (D osen FH U N D AN A) dan

D rs.Ayub Titu Eki, Phd, (Bupati Kupang) yang telah m enyum bangkan pikiran cerdasnya untuk m em perkaya m akna dari buku ini. Terim a kasih yang tulus, tak lupa diberikan kepada: Pdt. D r. Eben N uban Tim o, M Th, Prof. M ia N oach, M A.Phd, Ir. Sarah Lery M boeik, Ir. Farry D j. Francis, M M A, dr. Joyce Kansil, O ctory G asperz, SE, D rg. Christina Titu Eki, M Ph, Esaf D aka Besi, Yacob Folle, SE, Iin Luttu, Frederik M bura dan M uhazir H ornai Belo yang sudah m em berikan pencerahan tentang m odel penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga.

Khusus untuk tem an-tem an aktivis R um ah Perem puan: Im elda D aly, Yulius Boni G eti, N oldy Taduhungu, W atty Bagang, Theresia Siti, H ofni Tefbana, N urkasrih, Im elda Pong, juga layak m enerim a ucapan terim a kasih karena kesetiaan dan kekom pakannya dalam m elakukan advokasi, m ediasi dan konseling terh ad ap p ara ko rb an kasu s kekerasan d alam ru m ah tan g g a.

Sebagai penutup, buku ini diharapkan m enjadi m asukan yang berm anfaat bagi para pihak yang berkeinginan untuk m elakukan reform asi sistem peradilan di Indonesia. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat m enjadi bacaan alternatif yang berm anfaat bagi setiap individu m aupun kelom pok yang peduli terhadap persoalan kekerasan dalam rum ah tangga dan bertekad untuk m ew ujudkan k eutuhan dan kerukunan rum ah tangga dalam suasana yang bahagia, am an, tentram dan dam ai sebagaim ana dam baan setiap orang dalam suatu rum ah tangga. Terim a Kasih...!!!

Kupang, 8 M aret 2011 Libby R atuarat-SinlaEloE Koordinator Rum ah Perem puan

PENDAHULUAN

BAB I P E N D A H U LU A N

A. PEN G AN TAR Pdt. D r. Eben N uban Tim o, M Th (K etua M ajelis Sinode G M IT, Periode 2007-2011)

D alam m enyelesaikan kasus KD RT m em ang sebaiknya jalur hukum

m enjadi pilihan terakhir. M isi yang dilakukan dalam penanganan dan pencegahan KD R T seharusnya adalah m isi pem berdayaan sehingga

keharm onisan dapat terw ujud. U ntuk m encapai keharm onisan keluarga, sangat penting dilakukan penguatan secara internal terhadap setiap individu, sehingga m ereka bisa bertindak secara positif dalam segala hal. D an nantinya, setiap individu tersebut dapat bertum buh m enjadi m anusia yang kreatif dan berm artabat. U ntuk m encapai m isi ini tentunya gereja

harus bekerja sam a dengan unsur lainnya yang ada di m asyarakat, terutam a dalam m endiskusikan persoalan ketim pangan gender yang ada. D iskusi- diskusi ini bisa dim asukan dalam bahan ajar katekasasi dan juga konseling pra nikah. (K upang, 17 Februari 2011).

Ir. Sarah Lery M boeik (A nggota D PD R I, Periode 2009-2014). Penyelesaian kasus KD RT m elalui m ekanism e non form al (M ekanism e Adat) sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Banyak kajian sosiologi hukum yang m enceritakan tentang m ekanism e non form al ini. D i N TT budaya patriarki m asih cukup kuat dan ini sangat berkorelasi dengan perspektif dari para tua-tua adat dalam m enentukan sanksi dalam sebuah kasus KD RT. Jangan sam pai, sanksi yang diberikan justru akan m elanggar

H AM dan m enindas kaum perem puan. U ntuk itu, m ekanism e penyelesaian alternatif ini harus didesain secara baik. Artinya m ekanism e penyelesaian alternatif ini seharusnya m erupakan hasil dari perpaduan antara m ekanism e

PENDAHULUAN

form al dan m ekanism e non form al (M ekanism e Adat). Kalau tidak, m aka m ekanism e alternatif ini justru akan kem bali m enguatkan sistem patriarki yang ada dan posisi perem puan m enjadi sem akin lem ah. M odel penyelesaian alternatif kasus KD RT ini, juga tidak boleh didesain untuk diterapkan secara kaku dan diberlakukan secara general di tem pat lain karena tidak sem ua m asyarakat m em iliki tipikal yang sam a. Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahw a penyelesaian kasus KD RT m elalui jalur hukum form al dan non form al m aupun m em pergunakan m ekanism e alternatif m em punyai kelebihan dan kelem ahannya sendiri-sendiri, sehingga tidak boleh ada dikotom i yang satu

lebih baik dan yang satunya tidak. (Jakarta 5 Februari 2011). Ir. Farry D j. Francis, M M A (A nggota D PR R I, Periode

2009-2014) Persoalan kekerasan dalam rum ah tangga m erupakan m asalah yang sudah m endapat perhatian serius dari berbagai pihak di seluruh belahan dunia.

Alternatif Penyelesaian Sengketa, m erupakan salah satu cara yang lebih baik dalam m enyelesaikan konflik dari pada diselesaikan di kepolisian. D i banyak w ilayah,

m asyarakat tertentu punya cara-cara sendiri untuk m enyelesaikan kasus- kasus KD RT. M isalnya, lew at pendekatan kekeluargaan dan untuk itu, hal tersebut perlu didorong. W alaupun dem ikian pendekatan alternatif dalam penyelsaian kasus KD RT ini, harus di desain secara baik sehingga pada tataran im plem entasinya tidak berdam pak buruk pada kaum perem puan. (Jakarta, 19 February 2011)

dr. Joyce K ansil (K epala B adan Pem berdayaan Perem puan K ota K upang) Persoalan KD RT m erupakan suatu w ujud kejahatan terhadap kem anusiaan yang harus dicarikan solusi yang tepat. D alam m enyelesaiakan kasus KD RT, kita harus m em pertim bangkan 2 (dua) hal yaitu: Pertam a, kasus yang bisa dim ediasi oleh tokoh m asyarakat dan aparat pem erintah setem pat. K edua, Kasus yang harus diangkat ke ranah hukum form al, yaitu kasus yang berdam pak sangat buruk terhadap korban. Penyelesaian kasus berbasis

PENDAHULUAN

m asyarakat, m em ang m erupakan m odel penyelesaian kasus yang lebih baik karena m elibatkan berbagai unsur yang ada dalam m asyarakat. Penyelesaian kasus KD RT juga diharapkan dapat diharm onisasikan dengan budaya yang ada di N TT yang nota bene system kekeluargaannya m asih sangat tinggi. Jika kasus bisa diselesaikan secara kekeluaragaan lebih baik, nam un untuk kasus berulang dan m erm baw a dam pak yang fatal bagi korban tidak bisa ditolerir. (K upang, 2 Februari 2011)

A K P . Johanis K ristian Tanau (K asat R eskrim P olres K upang) Salah satu sem angat UU PKD RT adalah pelibatan berbagai elem en m asyarakat dalam upaya penyelesaian kasus KD RT m enuju keharm onisan. O leh karena itu, dalam m enangani kasus K D R T pihak kepolisian juga m engharapkan ada partisipasi m asyarakat. D i w ilayah kerja Polres Kupang, bentuk kasus K D R T yang m endom inasi dalam beberapa tahun terakhir adalah kasus penganiayaan. D alam penanganan kasus KD RT, kam i m enjalankan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Apabila ada pihak yang sudah m elaporkan ke kepolisian dan ingin berdam ai, m aka akan dituangkan dalam surat perjanjian dam ai yang ditandatangani oleh korban dan pelaku serta disaksikan oleh saksi-saksi dari kedua belah pihak. Pada sisi lain, pihak kepolisian juga sangat dilem atis ketika m enangani kasus KD RT. Contohnya, ketika pihak kepolisian dim inta oleh salah satu pihak baik pelaku m aupun korban untuk m em fasilitasi agar terjadinya perdam aian diantara m ereka, m aka oleh pihak yang lain sering m enuduh bahw a kepolisian selalu m engham bat proses penegakan hukum dan berbelit-belit dalam penanganan kasus. Bahkan ada juga yang m enuduh pihak kepolisian sudah m enerim a uang sogokan dari pihak tertentu. Bertolak dari pengalam an yang dem ikian, m aka kam i berharap pelaporkan kasus KD RT ke pihak kepolisian adalah pilihan terkahir. Bagi pihak kepolisian, apalah artinya kasus KD RT di proses sam pai ke pengadilan, nam un ini akan m em perburuk hubungan kekeluargaan dalam lingkup rum ah tangga? apalah artinya kalau pelaku di vonis bersalah dengan hukum an penjara atau denda sedangkan korban dan pihak lain dalam lingkup rum ah tangga akan “terlantar”? (Kupang, 1 M aret 2011).

PENDAHULUAN

Prof. M ia N oach, M A .Phd (D ew an Penasehat LPA N TT, Periode

2011-2014) KD RT dalam perspektif H ak Asasi M anusia (H AM ) m erupakan suatu tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai

kem anusian. Penyelesaian kasus kekerasan dalam rum ah tangga m elalui penyelesaian alternatif pada dasarnya dim aksudkan untuk m em perbaiki hubungan kekeluargaan. Penyelesaian alternatif ini lebih m enyentuh hati dari para

pihak yang m engalam i persoalan kekerasan dalam rum ah tangga. Sedangkan, apabila diselesaikan m elalui proses hukum form al, hasilnya kurang m aksim al. Penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga ini dapat m elibatkan banyak pihak term asuk para penegak hukum . Keterlibatan dari para tokoh agam a sangat penting dalam penyelesaian ini, untuk itu peran lem baga agam a seperti gereja sangat perlu ditingkatkan. (K upang, 18

D esem ber 2011).

W inston R ondo, SPt (D irektur CIS Tim or)

D alam hal penyelesaian suatu kasus, bisanya terdapat 2 (dua) paradigm a yang bisa saling m elengkapi: Pertam a, realiatas patriarki yang kuat yanag m enjadi sukm a dari kasus KD RT. K edua, politik afirm asi yang m elahirkan U U PKD RT. D engan m em baw a kasus ke proses hukum form al diharapkan dapat m em berikan efek jera terhadap pelaku, tapi pada prakteknya justru

berdam pak pada pem isahan keluarga. Ini yang tidak kita harapkan. Pada satu sisi kita harus m em astikan perlindungan terhadap perem puan dan anak, nam un pada sisi lainnya keluarga harus tetap utuh dan m enjadi sum ber teladan. Pendekatan penyelesaian alternative kasus KD RT ini bisa m endorong kesadaran bersam a tentang hak perem puan dan pendekatan yang dirum uskan ini sangat sarat dengan konteks lokal atau sesuai dengan budaya setem pat dan juga agam a. Selam a ini orang m asih m engganggap

persoalan KD RT sebagai persoalan privat, nam un dengan pendekatan ini m endorong berfungsinya m ekanism e kom unal yang sudah ada di m asyarakat.

PENDAHULUAN

M ekanism e kom unal ini bukan saja m enyadarkan pelaku tetapi juga m em beri perlindungan terhadap perem puan dan yang terpenting m em ber kesem patan kedua bagi keluarga untuk m elakukan pem ulihan. M etode ini harus terus dikem bangkan dan tentunya tidak dapat diberlakukan sam a pada konteks budaya yang berbeda. (K upang, 18 Februari 2011).

B. K D R T D ALAM PER SPEK TIF YU R ID IS

O leh: Yorhan Yohanis N om e, SH .M H um - D osen FH U niv. N usa Cendana Prolog K ekerasan dalam rum ah tangga (KD RT) m erupakan ujung dari relasi

dalam rum ah tangga yang kurang harm onis. Terutam a relasi suam i- isteri yang selalu dalam keadaan kon flik. D alam perspektif teori sosial, paling tidak terdapat 4 (em pat) pola relasi suam i-isteri yang sedang berada dalam konflik. Stephen K. Sanderson (2003), m engungkapkan pola interaksi suam i-isteri yang sedang

berada dalam keadaan konflik dalam em pat pola yakni: Pola eskalasi, Pola invalidasi, Pola M enarik diri dan m enghindar, serta pola Inteprestasi N egatif.

Indikasi berakhirnya relasi suam i-isteri, dalam perspektif teori sosial dilihat dalam 4 (em pat) tahap. Keem pat tahap ini, sesungguhnya m erupakan sebuah m odel pengakhiran relasi (relationship filtering), sebagaim ana diidentifikasikan oleh Knapp dalam Alo Liliw eri (2001), yakni: Tahap diferensiasi (deferentiating), Tahap tersendat-sendat (stagnasting), Tahap saling m enjauh (avoiding) dan Tahap pengakhiran relasi (term inating)

D alam konteks sosial, KD RT terkonstruksi selain karena adanya pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, nam un juga terkonstruksi dari nilai-nilai yang dijadikan rujukan dalam suatu m asyarakat. D alam konteks rujukan nilai inilah terbangun perspektif m asyarakat tentang hakikat dan m artabat kem anusiaan atau yang dikenal sebagai hak asasi m anusia (H AM ).

K D R T: K onstruksi Perundang-undangan Isu tentang KD RT m ulai m erebak di Indonesia seiring dengan diratifikasinya Convention on the Elim ination of All Form s of Discrim ination

PENDAHULUAN

Against W om en (CED AW ) dengan U ndang-undang N om or 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi M engenai Penghapusan Segala Bentuk

D iskrim inasi Terhadap Perem puan. CED AW , m engintrodusir adanya 5 (lim a) bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender terhadap perem puan, yakni: (1) . Adanya stereotype, pelabelan bahw a perem puan sebagai w arga kelas dua; (2) . M arjinalisasi , pem inggiran terhadap perem puan dalam pengam bilan keputusan; (3) . Subor dinasi , perem puan ditem patkan pada peran yang tidak penting; (4) . Doble burden, adanya beban ganda pada perem puan dalam peran publik sekaligus peran dom estik; dan (5) . Adanya kekerasan dalam rum ah tangga.

Sebagai sebuah konvensi, CED AW hanya m em punyai daya ikat secara m oral dan tidak m em punyai daya paksa secara norm atif. O leh karena itu, kem udian dikeluarkanlah U U PKD RT. M elalui U U PKD RT, kelim a bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dapat diberi kekuatan hukum yang m engikat sekaligus m em punyai daya paksa secara norm atif.

U U PKD RT, m enem patkan perem puan sebagai kelom pok rentan yang paling banyak m engalam i KD RT. U ntuk itu, U U PKD RT hadir dalam kerangka m em berikan perlindungan secara khusus bagi kaum perem puan. D alam konteks ini, bukan berarti kelom pok laki-laki dan anak-anak tidak m endapat perhatian secara serius. U U PKD RT tetap m enem patkan kedua kelom pok dim aksud juga sebagai pihak yang m ungkin saja m enjadi korban KD RT, nam un dari fenom ena yang ada kelom pok perem puan yang paling banyak m enderita sebagai korban KD RT.

D icantum kannya ketentuan Pasal 1 Angka 2 U U PKD RT m erupakan w ujud tanggung jaw ab negara dalam m elaksanakan am anat Alinea IV Pem bukaan U U D 1945. Secara sederhana, Alinea IV Pem bukaan U U D 1945 m em berikan 4 (em pat) kata kunci yang harus m enjadi fungsi negara, yakni: (1). M elindungi, (2) . M ensejahterahkan, (3). M encerdaskan, dan (4). M endam aikan kehidupan rakyat. Keem pat kata kunci ini lebih dikenal sebagai am anat penderitaan rakyat (Am pera).

D alam konteks sub kalim at, “… jam inan negara… ,” m aka yang dim aksud di sini adalah jam inan dari Pem erintah sebagai penerim a m andat Am pera, dan juga dari rakyat sebagai pem beri m andat Am pera, atau dalam U U

PENDAHULUAN

PKD RT disebut sebagai partisipan. D engan kata lain, U U PKD RT m enghendaki adanya jam inan baik dari Pem erintah m aupun rakyat agar: (1). KD RT dicegah, (2). pelaku KD RT ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan (3). korban KD RT terlindungi.

Berangkat dari pem ikiran tentang KD RT sebagai salah satu kejahatan terhadap harkat dan m artabat kem anusiaan, m aka Pasal 3 U U PKD RT m enggariskan bahw a penghapusan KD RT dilaksanakan berasaskan: (1). penghorm atan H AM , (2). keadilan dan kesetaraan gender, (3). non diskrim inasi, dan (4). perlindungan korban. H adirnya U U PKD RT, tidak saja m elihat rum ah tangga sebagai relasi suam i-isteri sem ata, nam un m em perluas relasi tersebut.

U U PKD RT pertam a-tam a m em berikan batasan lingkup rum ah tangga pada konsep keluarga inti atau keluarga batih (nuclear fam ily). Artinya, sebuah rum ah tangga terbentuk dari suam i, isteri, dan anak. U ntuk konteks keluarga inti, pendekatan dom isili tidak berlaku. Kalaupun m ereka tidak m enetap dalam satu rum ah, nam un m asih terikat dalam perkaw inan yang sah, m aka konsep rum ah tangga m encakup m ereka.

Selanjut U U PKD RT m em perluas lingkup rum ah tangga m enjadi keluarga luas (extended fam ily ) . Artinya, sebuah rum ah tangga tidak saja m eliputi keluarga inti saja, tapi juga m eliputi orang-orang yang m em punyai hubungan keluarga dengan keluarga batih karena: (1).

H ubungan D arah, (2) . Perkaw inan, (3). Persusuan, (4). Pengasuhan, dan (5). Perw alian. U ntuk kelim a kategori ini, pendekatan dom isili digunakan. M ereka baru bisa tercakup dalam konsep rum ah tangga, kalau m enetap dalam satu rum ah. U U PKD RT, dengan m enggunakan pendekatan dom isili, kem udian m em asukan pem batu rum ah tangga ke dalam lingkup rum ah tangga. Syaratnya adalah: (1). pem batu rum ah tangga tersebut tinggal m enetap dalam rum ah, dan (2). sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga.

D alam konteks kekerasan, beberapa pasal m endefinisikan kekerasan sebagai berikut: Pasal 6 U U PKD RT, m em beri penjelasan bahw a kekerasan fisik adalah perbuatan yang m engakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Berkaitan dengan ketentuan ini, terlihat perbedaan m endasar dengan yang diatur oleh Kitab U ndang-U ndang H ukum Pidana (KU H P). U U PKD RT m enyatukan 17 (tujuh belas) Pasal dalam KU H P ke dalam Pasal 44 ayat (3)

PENDAHULUAN

U U PKD RT, dan 7 (tujuh) Pasal dalam KU H P ke dalam Pasal 44 ayat (1), dan ayat (2) U U PKD RT.

Pasal 7 U U PKD RT m enjelaskan bahw a kekerasan psikis adalah perbuatan yang m engakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kem am puan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Pasal 8 U U PKD RT m enjelaskan bahw a kekerasan seksual m eliputi: (a). pem aksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang m enetap dalam lingkup rum ah tangga tersebut, dan (b). pem aksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rum ah tangganya dengan orang lain untuk tujuan kom ersial dan/atau tujuan tertentu.

Pasal 9 U U PKD RT m em beri kriteria penelantaran rum ah tangga, yaitu: (1). m enelantarkan orang yang m enurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia w ajib m em berikan kehidupan, peraw atan, atau pem eliharaan, dan (2). m engakibatkan ketergantungan ekonom i dengan cara m em batasi dan/atau m elarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rum ah.

K D R T: Perspektif H AM Indonesia sesungguhnya sem enjak berdiri, telah secara serius m enetapkan H AM sebagai bagian dari kontrak sosial secara konstitusional. Paling tidak Alinea I Pem bukaan U U D 1945, diaw ali dengan kalim at deklaratif, “Bahw a sesungguhnya kem erdekaan itu ialah hak segala bangsa, … ” Artinya, N egara Indonesia di dirikan atas kesadaran akan pentingnya H AM . Bahkan pada Am andem en II U U D 1945, ditam bahkan satu bab dengan sepuluh pasal yang berisi sepuluh kelom pok hak dasar yang m erupakan perum punan yang dikenal dalam H AM .

Perspektif H am yang dikem bangkan di Indonesia, secara operasional telah diatur dalam U ndang-U ndang N om or 39 Tahun 1999 tentang H ak Asasi M anusia (U U H AM ). U U H AM m engelom pokkan perangkat hak dim aksud atas 10 (sepuluh) hak dasar, yakni: (1). hak untuk hidup, (2) . hak untuk berkeluarga dan m elanjutkan keturunan, (3). hak m engem bangkan diri, (4). hak m em peroleh keadilan, (5) . hak atas kebebasan pribadi, (6) . hak atas rasa am an, (7). hak atas kesejahteraan, (8) . hak turut serta dalam

PENDAHULUAN

pem erintahan, (9) . hak w anita, dan (10) hak anak. Kesepuluh kelom pok hak dasar tersebut, m elekat pada hakikat dan keberadaan m anusia sebagai m ahluk Tuhan Yang M aha Esa dan m erupakan anugerah-N ya. Artinya, tidak diberikan, diw ariskan, atau tidak dapat dicabut oleh siapapun. D alam konteks ini, hak untuk berkeluarga dan m elanjutkan keturunan, m erupakan hak yang m elekat pada setiap m anusia dan m erupakan karunia dari Sang Pencipta. O leh karena itu, H AM w ajib dihorm ati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum , pem erintah, dan setiap orang.

D engan m enyebut urut-urutan negara, hukum , pem erintah, dan setiap orang, m enunjukkan bahw a U U H AM m enem patkannya sesuai dengan siklus tanggung jaw ab dalam kehidupan bernegara. Tanggung jaw ab utam a dan pertam a ada pada negara. Bentuk tanggung jaw ab tersebut diw ujudkan dalam pengaturan hukum . Kem udian hukum dijalankan oleh pem erintah dan setiap orang.

Pem erintah sebagai aktor yang m engoperasikan kebijakan negara dalam bentuk pengaturan hukum , telah banyak m elakukan upaya ke arah pengakuan, penghorm atan, pem enuhan, penyebarluasan, dan penegakan (P5) H AM . D alam konteks penghapusan KD RT, ada sejum lah kebijakan yang telah dilakukan, yakni: Pertam a, M eratifikasi berbagai instrum en H AM Internasional, seperti: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk D iskrim inasi Terhadap Perem puan dengan U ndang-U ndang N om or 7 Tahun 1984; Rekom endasi U m um N om or 19 tentang Kekerasan Terhadap Perem puan Sidang Ke-11 Tahun 1992 Kom ite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk

D iskrim inasi Terhadap Perem puan; D eklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perem puan tanggal 20 D esem ber 1993. K edua, M engeluarkan sejum lah instrum en H AM nasional, seperti: U U H AM ; U U PKD RT; Peraturan Pem erintah N om or 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasam a Pem ulihan Korban Kekerasan D alam Rum ah Tangga; Instruksi Presiden N om or 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutam aan

G ender dalam Pem bangunan N asional. Berkaitan dengan KD RT sebagai tindak pidana, diatur dalam Pasal 44-53 U U PKD RT. Ketentuan pidana dalam U U PKD RT m em perlihatkan sejum lah aspek yang m enarik, yakni: Pertam a, D ari segi cara penjatuhan pidana ( strafm odus ), m enggunakan stelsel alternatif penjara atau denda.

PENDAHULUAN

D engan adanya stelsel alternatif penjara atau denda sebagai pidana pokok, m aka penuntut um um w ajib m enuntut secara alternatif, dem ikian juga hakim dalam m enjatuhkan pidana kepada pelaku w ajib m enjatuhkannya secara alternatif pula. Penuntut um um tidak boleh hanya m enuntut dengan pidana tunggal, hakim juga tidak boleh m enjatuhkan pidana tunggal. Kalau dalam kenyataannya penerapan hanya m enggunakan pidana tunggal, m aka jelas penegak hukum telah salah m enerapkan hukum . D engan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan cara yang m elanggar hukum . D engan adanya stelsel pidana alternatif ini, sejalan dengan tujuan utam a dari U U PKD RT, yakni tetap m enjaga keharm onisan rum ah tangga.

Selain itu, dalam bilangan teori hukum pidana, nam paknya pem bentuk U U PKD RT m enganut aliran abolisionism . Aliran yang m enem patkan pidana penjara sebagai ultim um rem idium atau penghukum an paling akhir yang digunakan. Paling tidak selam a lem baga pem asyarakatan belum m am pu m em ainkan fungsinya sebagai pelem bagaan nilai-nilai kem anusiaan (H AM ), m aka tidak ada dasar pem benaran pelaku tindak pidana dipidana dengan pidana penjara. O leh karena sebagaim ana adagium um um dalam pem ikiran pem idanaan, yakni negara tidak berhak untuk m em buat seseorang lebih buruk kondisinya, jika dibandingkan dengan sebelum m enjalani pidana penjara.

K edua, D ari segi bobot ancam an pidana ( strafm aat ),

m enggunakan stelsel ancam an m inim um um um dan ancam an m aksim um khusus .

D alam bilangan hukum pidana, ancam an pidana m inim um um um

untuk pidana penjara adalah 1 (satu) hari, dan ancam an m inim um um um untuk pidana denda adalah Rp.1,- (satu rupiah). D alam artian, ketika pasal pidana yang ada hanya m enyebut ancam an m inim um saja, m aka harus dibaca bahw a ancam an m inim um nya dalam bobot seperti ini. U ntuk itu, ketika penjatuhan pidananya dilakukan antara ancam an m inim um um um dan ancam an m aksim um um um , m aka harus dilakukan secara paralel antara pidana penjara atau pidana denda.

U ntuk ancam an pidana m aksim um , m asing-m asing pasal dalam U U PKD RT m engaturnya secara khusus. Artinya, selain yang sudah ditetapkan, penegak hukum tidak boleh m enerapkan yang lain. Penegak hukum hanya diberi ruang untuk m enerapkan pidana dari ancam an m inim um um um hingga

PENDAHULUAN

ancam an m aksim um khusus pada pasal-per pasal. Ketiga, D ari segi jenis pidana ( strafsoort ), m enggunakan stelsel pidana pokok dan pidana tam bahan. U U PKD RT juga m em berikan ruang bagi penegak hukum untuk m enerapkan pidana tam bahan. Pasal 50 U U PKD RT, m em beri kew enangan kepada hakim untuk m enjatuhkan pidana tam bahan berupa: (a) . pem batasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk m enjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan w aktu tertentu dari perlau, dan (b) . penetapan pelaku m engikuti program konseling di baw ah pengaw asan lem baga tertentu.

N am paknya pem bentuk U U PKD RT m elihat bahw a hanya dengan pidana pokok, perm asalahan KD RT tidak dapat tertanggulangi. U ntuk pidana tam bahan pem batasan ruang gerak pelaku, m enjadi sangat penting ketika pelaku m enjalani pidana alternatifnya dengan pidana denda. Artinya, ketika dijatuhkan pidana alternatif penjara atau denda, kem udian terpidana (palaku) m em ilih untuk m enjalani pidana denda. Pem batasan ruang gerak pelaku dalam jarak dan w aktu tertentu m enjadi aspek yang sangat penting untuk m elindungi korban.Selam a proses pem batasan ruang gerak pelaku, sem estinya upaya m ediasi atau rekonsiliasi dapat dilakukan. D apat juga pada m asa ini, pelaku ditetapkan untuk m enjalani pidana tam bahan berupa m engikuti konseling. D engan begitu akar perm asalahan KD RT berupa kom unikasi relasi suam i-isteri (terutam a) dapat ditanggulangi.

KD RT sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap H AM harus terus diupayakan untuk dihapus. Kontruksi penghapusan KD RT dilaksanakan dengan P5 H AM . U ntuk aspek pengakuan, secara eksplisit telah diatur dalam konstitusi dan berbagai instrum en operasional. Aspek yang berm asalah atau yang m asih harus dicerm ati adalah aspek penghorm atan, pem enuhan, penyebarluasan, dan penegakan H AM . Keem pat aspek ini berkaitan dengan im plem entasi dari H AM dalam rum ah tangga.

Khusus berkaitan dengan penegakan H AM dalam rum ah tangga, m aka berkaitan langsung dengan U U PKD RT. U ntuk operasionalnya penegakan

H AM yang diatur dalam U U PKD RT, secara teknis m em butuhkan dukungan dari 3 (tiga) kom ponen, yakni: (1) . kom ponen intrum en pelaksanaan, (2) . kom ponen kelem bagaan, dan (3) . kom ponen sosial. U ntuk kom penen instrum ent pelaksanaan, pem erintah telah m enerbitkan Peraturan Pem erintah

PENDAHULUAN

N om or 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasam a Pem ulihan Korban Kekerasan D alam Rum ah Tangga (PP N o. 4/2006).PP N o.4/2006, m enjabarkan secara teknis sinergisitas lintas sektor ketika m enangani korban KD RT. D alam PP N o.4/2006, juga m engatur tentang kom ponen kedua, yakni dukungan kelem bagaan dalam penegakan U U PKD RT. Ada 3 (tiga) lem baga yang w ajib dibentuk dalam kerangka ini, yakni: Pertam a, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT). Lem baga ini dapat dibentuk oleh pem erintah m aupun oleh pihak non pem erintah. PPT, m enjalankan fungsi m enerim a, dan m enyelenggarakan penanganan korban KD RT pada saat krisis.Penanganan dilaksanakan terutam a penangan kesehatan (fisik, seksual, dan psikologis). Proses penanganan krisis terhadap korban KD RT diselenggarakan selam a

7 hari. K edua, R uang Pelayanan K husus (R PK ). Lem baga ini w ajib dibentuk pada unit kepolisan setem pat. RPK, kini bernam a U nit Pelayanan Perem puan dan Anak (U PPA), dibentuk khusus untuk m enangani pelaku dan korban KD RT perem puan dan anak. U PPA, terdiri dari tenaga polisi w anita terlatih dengan perspektif H AM . K etiga, R um ah Perlindungan Sosial (R PS). Lem baga ini dapat dibentuk oleh pem erintah m aupun oleh pihak non pem erintah. R PS, m enjalankan fungsi pendam pingan sosial, pem ulihan, pem berdayaan, pem ulangan, dan reintegrasi sosial korban KD RT. Penyelenggaraan kegiatan pada RPS selam a 90 (Sem bilan puluh) hari. D alam tenggang w aktu tersebut, diharapkan korban telah pulih dan siap untuk dikem balikan ke dalam rum ah tangganya serta m enjalankan perannya seperti sem ula.

D alam perspektif H AM , satu terobosan yang dilakukan oleh U U PKD RT, yakn i m elalu i keten tu an Pasal 55 U U PK D R T yan g berbu nyi:

“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan sorang saksi korban saja sudah cukup untuk m eem buktikan bahw a terdakw a bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.

Berkaitan dengan alat bukti yang sah, Pasal Pasal 184 KU H AP, yakni: (1) . Keterangan saksi, (2). Keterangan ahli, (3) . Surat, (4) . Petunjuk, dan

PENDAHULUAN

(5) . Keterangan terdakw a. D alam hal ini, untuk kasus KD RT, salah satu alat bukti yang sah adalah kererangan saksi korban, yang digolongkan sebagai alat bukti yang sah pertam a. Alat bukti yang lain dapat digunakan untuk m endukung alat bukti pertam a tersebut. N am un untuk teknis perkara, sebaiknya alat bukti pertam a didukung oleh alat bukti keterangan ahli atau alat bukti surat. D engan begitu, kekuatan pem buktian dapat dikatakan sem purna untuk m enyatakan secara sah dan m eyakinkan terdakw a bersalah dalam proses pengadilan.

Epilog U U PKD RT hadir untuk m em beri P5 H AM bagi korban KD RT terutam a perem puan. D engan dem ikian, jelas bahw a U U PKD RT m em punyai perspketif

H AM . Akan tetapi, ada sejum lah perm asalahan teknis hukum yang harus direnungkan, yakni: Pertam a,

D engan m erelatifkan (m enyatukan) sejum lah

bentuk tindak pidana dalam KU H P m enjadi kelom pok kekerasan dalam U U PKD RT, m em baw a konsekuensi yuridis pada hilangnya spesifikasi tindak pidana tersebut. Sem akin relatif suatu tindak pidana, m aka m akin luas dan m akin m em buka ruang bagi penegak hukum untuk m elakukan penafsiran terhadap tindak pidana tersebut. Sebaliknya, sem akin spesifik suatu tindak pidana, m aka m akin m em perm udah penerapan tindak pidana tersebut pada kasus nyata. M isalnya, untuk kasus kekerasan seksual, KU H P m em bedakan pada 3 (tiga) rum pun besar, yakni: (1) . perkosaan, (2) . percabulan, dan (3) . perzinahan. U ntuk perkosaan dan percabulan, KU H P m asih m em bagi lagi dalam sejum lah spesifikasi lagi. Ssem entara U U PKD RT m enyatukan sem uanya dalam bentuk kekerasan seksual.

K edua, Adanya standar penanganan tindak pidana secara berbeda antara U U PKD RT dengan KU H P m eskipun terhadap tindak pidana yang bersesuaian atau bersebanding, hanya karena kualifikasi lingkup rum ah tangga. U ntuk korban yang tidak tergolong dalam lingkup rum ah tangga, m aka U U PKD RT tidak dapat diberlakukan. Artinya, KU H P diberlakukan. Sem entara jelas logika antara U U PKD RT dengan KU H P sangat berbeda. M isalnya, dalam kekerasan seksual, U U PKD RT m em atok logika perlindungan harkat dan m artabat korban sebagai m anusia. Sem entara KU H P dengan m enem patkannya sebagai kejahatan terhadap kesusilaan, m aka perkosaan,

PENDAHULUAN

percabulan, dan perzinahan lebih pada upaya perlindungan hak reproduksi seorang perem puan secara sehat. Belum lagi sistem pem buktian yang digunakan oleh U U PKD RT dan KU H P yang m erujuk pada KU H AP jelas berbeda. Bagi U U PKD RT cukup dengan keterangan saksi korban ditam bah satu alat bukti yang sah lainnya terdakw a dapat dipersalahkan. Sem entara KU H P dan KU H AP m ensyaratkan dua alat bukti yang sah di luar keterangan saksi korban.

C. A LTER N A TIF P EN Y ELESA IA N SEN G K ETA : K em balinya “A nak Terhilang”..!! O leh: D eddy R . Ch. M anafe, SH .M H um – D osen FH U niv. N usa Cendana Prolog

A lternatif penyelesaian sengketa (APS), m erupakan

istilah yang diperkenalkan oleh U ndang-U ndang N om or 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (U U N o.30/1999). Pasal 1 angka

10 U U N o.30/1999 m enyatakan bahw a, “A lternatif Penyelesaian Sengketa adalah lem baga penyelesaian sengketa atau beda pendapat m elalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, m ediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”

D ari pengertian dim aksud, ada sejum lah aspek yang perlu

digarisbaw ahi, yakni: (1). APS berfungsi sebagai lem baga penyelesaian sengketa atau beda pendapat, (2). APS diaw ali oleh kesepakatan para pihak m enyangkut prosedur penyelesaiannya, (3). penyelesaian itu di lakukan di luar pengadilan, dan (4). cara yang digunakan berupa konsultasi, negosiasi, m ediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. D engan dem ikian, APS hadir sebagai pilihan forum penyelesaian bagi para pihak yang bersengketa atau berbeda pendapat, selain forum pengadilan.

Selanjutnya, Alinea IX Penjelasan U m um U U N o.30/1999 m enulis bahw a APS m erupakan terjem ahan dari alternative dispute resolution (AD R). D ari sinilah, kem udian ketika m enyebut APS, seolah-olah m erupakan suatu lem baga asing yang diintrodusir ke dalam sistem hukum Indonesia. Apalagi, lim a cara kerja APS (konsultasi, negosiasi, m ediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli) disebut secara eksplisit dalam pengertian APS, sehingga

PENDAHULUAN

secara praktis kem udian m uncul pula anggapan bahw a dalam APS hanya m engenal kelim a cara tersebut.

APS sebagai suatu lem baga hukum secara form il pada m ulanya berkem bang di kalangan pelaku bisnis di Am erika Serikat (sem enjak Tahun 1960-an). Lahirnya forum alternatif selain pengadilan ini, disebabkan oleh ketidakm am puan lem baga pengadilan untuk m enjaw ab perasaan keadilan yang hidup di kalangan pelaku bisnis tersebut. Kekakuan prosedural, tidak tuntasnya perm asalahan, lam anya w aktu penyelesaian, serta m ahalnya biaya pengadilan m enjadi alasan m endasar sehingga para pelaku bisnis m enciptakan forum alternatif selain pengadilan dengan fungsi pengadilan.

Pada konteks Indonesia APS bukanlah m erupakan hal yang baru, hal ini dapat dilihat dalam catatan sejarah yang berkaitan dengan hukum dan pengadilan. M enurut W . E. Sutterheim , Pada jam an M ajapahit, m isalnya, ketika H ayam W uruk dan M aha Patih G ajah M ada berkuasa, telah diketem ukan

istilah dhyaksa dan adhyaksa untuk m enyebut pejabat-pejabat di pengadilan.

D hyaksa m erupakan pejabat yang bertugas untuk m em eriksa, m engadili, dan m em utus setiap perkara yang diajukan ke pengadilan. Sem entara Adhyaksa m erupakan pejabat yang bertugas untuk m enyerahkan suatu perkara ke pengadilan.

M enurut M uham m ad Yam in, hal yang sam a juga ditem ukan di kerajaan Singosari. D alam hal ini, seorang Prabu selalu didam pingi oleh sebuah dew an yang bernam a D harm adhyaksa. D ew an D harm adhyaksa ini pada intinya bertugas untuk: (1). m elakukan pengaw asan tertinggi terhadap kekayaan suci, (2). m elakukan pengaw asan tertinggi terhadap urusan pengadilan, dan (3). sebagai ketua pengadilan. D alam hal ini, D harm adhyaksa selain m elaksanakan fungsi keagam aan (H indu dan Budha), nam un juga m elaksanakan fungsi pengadilan. Kondisi yang sam a m asih berlanjut sam pai m unculnya kesultanan-kesultanan Islam di Jaw a. Secara substansi m enggunakan hukum syariah, nam un secara struktur m asih m enggunakan struktur peninggalan kerajaan H indu dan Budha. (Kusum adi Poedjosew ojo, 1971).

PENDAHULUAN

APS dan K eadilan: Aspek N ilai Sengketa dalam literatur sosiologi, dikenal dengan istilah konflik adalah sesuatu yang alam i dan tak terhindarkan. Sengketa m erupakan konsekuensi logis dari m anusia sebagai m ahluk individu dan m ahluk sosial yang m em iliki perbedaan perspektif tentang hidup dan perm asalahannya baik karena sejarah dan karakter yang unik, perbedaan gender, pengalam an dan pandangan serta nilai yang m em andu pikiran, perilaku dan m otivasi dalam m engam bil tindakan. Karenanya, sengketa akan ada selam a m anusia ada. Selain dam pak negatif yang ditim bulkan oleh kebanyakan sengketa yang terjadi, sebenarnya sengketa m em berikan m anfaat positif bagi m anusia, antara lain: (1). m em bantu m enyadarkan m anusia bahw a ada m asalah, (2). m endorong m anusia ke arah perubahan yang diperlukan, (3) m em bangun kepribadian, (4). m enam bah kepedulian, dan (5). m endorong kedew asaan psikologis.

D alam kerangka sebuah intervensi, Fisher, dkk (2001),

m engidentifikasikan 4 (em pat) tipe konflik yang dilihat dari perilaku dan sasaran. Secara sederhana, identifikasi dim aksud dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipe Konflik. SASARAN

P PERILAKU YAN G E SELARAS R

I KO N FLIK LATEN L

TAN PA KO N FLIK

PERILAKU YAN G U

AK

BERTEN TAN G AN

KO N FLIK PERM U KAAN

KO N FLIK TEBU KA

K eterangan: 1. TAN PA KO N FLIK: dalam kesan um um adalah lebih baik. N am un, kondisi ini bisa terjadi jika setiap kelom pok atau individu yang hidup dam ai harus m am pu m em anfaatkan konflik perilaku dan tujuan (kepentingan) dan m engelolanya secara kreatif.

2. KO N FLIK LATEN : sifatnya tersem bunyi, perlu diangkat ke perm ukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. 3. KO N FLIK D I PERM U KAAN : m em iliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan m uncul hanya karena kesalahpaham an m engenai sasaran yang dapat diatasi dengan m eningkatkan kom unikasi.

4. KO N FLIK TERBU KA: adalah yang berakar dalam dan sangat nyata, kom pleks dan m em erlukan berbagai tindakan untuk m engatasi akar penyebab dan dam paknya.

Sum ber: Sim on Fisher, dkk, M engelola Konflik: Ketram pilan dan Strategi Bertindak, Penerbit The British Council-Indonesia, Jakarta, 2001, H al. 5-6.

PENDAHULUAN

D ari pem etaan konflik atau sengketa tersebut, terlihat kalau setiap sengketa yang terjadi dalam m asyarakat sesungguhnya m em punyai nilai positif. Paling tidak, m asyarakat kem udian dapat m elakukan: (1). reproduksi nilai kehidupan sosial, (2). pem ulihan relasi sosial dari para pihak yang bersengketa, (3). m edia belajar dan penguatan norm a, serta (4). pengukuhan otoritas struktur sosial.

Untuk aspek pertam a, ketika forum APS beroperasi dalam penanganan kasus nyata, m aka pada saat itu upaya untuk m enggali dan m entransform asi nilai-nilai sosial terjadi. N ilai sosial yang digali adalah nilai yang diturunkan dari para leluhur dan ditafsirkan secara kontekstual atau diterjem ahkan dalam kebutuhan kekinian.

U ntuk aspek kedua, m erujuk pada hasil akhir dari cara kerja APS, yakni adanya kesepakatan para pihak. Cara kerja APS, harus diaw ali dengan kesepakatan para pihak m engenai cara penyelesaian sengketa, dan diakhiri dengan kesepakatan tentang bentuk penyelesaian sengketa tersebut. D alam hal ini, kesepakatan para pihak m erupakan m ekanism e pem ulihan relasi sosial di antara keduanya. U ntuk itu, APS hadir sebagai forum guna pem ulihan relasi sosial dim aksud. Intinya ialah dalam forum APS tidak dikenal upaya m enem ukan kebenaran dan kesalahan guna penghukum an, seperti yang diterapkan dalam forum pengadilan negara.

U ntuk aspek ketiga, setiap kali forum APS dioperasikan untuk m enangani kasus nyata, m aka itu m enjadi m om entum bagi m asyarakat untuk belajar dan penguatan terhadap norm a yang m ereka rujuk. D alam konteks ini, jika H ukum Adat dijadikan rujukan, m aka jelas bahw a forum APS m enjadi m edia yang efektif untuk belajar tentang H ukum Adat serta m asyarakat m engukuhkan kem bali aturan tersebut m asih berlaku dan m enjaw ab perasaan keadilan m ereka.

U ntuk aspek terakhir, berkaitan dengan legitim asi sosiologis dari struktur sosial dalam suatu m asyarakat. H al yang lum rah bahw a dalam kesatuan m asyarakat, terdapat struktur yang m engoperasikannya. D alam bahasa sehari-hari, struktur sosial terbaca sebagai orang-orang yang dianggap m am pu atau cakap atau dituakan untuk m engoperasikan norm a yang m enjadi rujukan bagi perilaku hidup sehari-hari. O leh karena itu, ketika anggota m asyarakat yang bersengketa sepakat m em baw a kasusnya untuk

PENDAHULUAN

ditangani para tetua tersebut, m aka itu m erupakan pengakuan sekaligus pen gu ku h an terh adap otoritas dari stu rktu r sosial yan g ada.

D ari gam baran di atas, terlihat jelas bahw a forum APS, m erupakan cerm inan dari pem aham an para aktor yang terlibat akan hak dan kew ajibannya.

D alam konteks ini, para aktor m em aham i perannya dalam kehidupan berm asyarakat ketika m enghadapi sengketa. Pem aham an akan hak dan kew ajiban yang m enggiring pada kesadaran akan peran dalam kehidupan berm asyarakat, m enunjukkan bahw a para aktor tetap m em egang teguh nilai keadilan. Apalagi, ketika keadilan dim aknai sebagai keseim bangan antara hak dan kew ajiban.

N apaktilas APS: Aspek N orm a APS sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan m endapat bentuk form ilnya, pertam a kali oleh U ndang-U ndang N om or 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (U U N o.22/1957, kini sudah m engalam i perubahan beberapa kali). D alam U U N o.22/1957, diatur 3 (tiga) bentuk APS, yakni: (1). m ediasi, (2) . konsiliasi, dan (3). arbitrase. D engan dem ikian, dari segi um ur, forum APS di Indonesia bahkan lebih tua dari di Am erika Serikat dan Singapura. Akan tetapi, forum APS ini hanya berlaku di kalangan perburuhan.

Forum APS yang lebih luas dan kom prehensif m enyelesaikan sengketa dalam kehidupan m asyarakat adalah H PD . Pasal 88 UU N o.5/1974 m enyatakan bahw a, “Pengaturan tentang Pem erintahan D esa ditetapkan dengan U ndang- undang.” Atas perintah inilah kem udian keluar U U N o.5/1979. Khusus m enyangkut H PD , diatur dalam Pasal 10 ayat (1) U U N o.5/1979 yang berbunyi :

“Kepala Desa m enjalankan hak, w ew enang, dan kew ajiban pim pinan pem erintahan D esa yaitu m enyelenggarakan rum ah tangganya sendiri dan m erupakan penyelenggara dan penanggungjaw ab utam a di bidang pem erintahan, pem bangunan dan kem asyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pem erintahan D esa, urusan pem erintahan um um term asuk pem binaan ketentram an dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan m enum buhkan serta m engem bangkan jiw a gotong royong m asyarakat sebagai sen d i u tam a p elaksan aan p em erin tah an D esa.”

PENDAHULUAN

Kem udian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) U U N o.5/1979 m enegaskan bahw a :

“Dalam rangka m enum buhkan dan m engem bangkan jiw a gotong royong m asyarakat Desa, Kepala Desa antara lain

m elakukan usaha pem antapan koordinasi m elalui Lem baga Sosial Desa, Rukun Tetangga, Rukun W arga, dan Lem baga- lem baga kem asyarakatan lainnya yang ada di Desa. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya Kepala D esa di bidang ketentram an dan ketertiban dapat m endam aikan p erselisih an -p erselisih an yan g terjad i d i D esa. P e rta n g g u n g ja w a b a n K e p a la D e sa k e p a d a Bupati/W alikotam adya Kepala Daerah Tingkat II m eliputi pelaksanaan urusan-urusan pem erintahan dan urusan pem bantuan m aupun urusan-urusan rum ah tangga Desa. Setelah Kepala D esa m em berikan pertanggungjaw aban kepada Bupati/W alikotam adya Kepala Daerah Tingkat II, selanjutnya m enyam paikan keterangan pertanggungjaw aban

kepada Lem baga M usyaw arah Desa.”

D ari ketentuan tersebut, eksplisit ditulis bahw a :

“Dalam rangka pelaksanaan tugasnya Kepala Desa di bidang ketentram an dan ketertiban dapat m endam aikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di D esa.”

Pengaturan seperti ini kem udian m em unculkan istilah H akim Perdam aian D esa (H PD ) sebagai salah satu fungsi yang m elekat pada Kepala

D esa. D alam konteks ini, forum H PD jelas m erupakan fungsi APS yang secara form il dijalankan oleh Kepala D esa. Forum H PD dibangun dari logika perdam aian. Logika ini m erupakan penguatan dari logika penyelesaian sengketa dalam H ukum Adat, yakni pem ulihan relasi sosial dengan hukum adat sebagai substansi atau rujukannya.

H PD sebagai forum penyelesaian sengketa non pengadilan, telah m engakar dalam praktek kehidupan berm asyarakat di tingkat D esa. Paling tidak, kurang lebih 20 (dua puluh) tahun forum ini dipraktekkan. D i era reform asi keluarlah U U N o.22/1999, ternyata forum H PD dihilangkan dalam fungsi Kepala D esa dan forum H PD bersalin nam a m enjadi forum APS dalam U U N o.30/1999. Proses ini ternyata relatif tidak tersosialisasikan dengan baik. O leh karena itu, dalam prakteknya seolah-olah fungsi Kepala D esa

PENDAHULUAN

yang m engoperasikan forum H PD ala U U N o.5/1979 telah dihilangkan. Padahal kalau didalam i, m aka U U N o.30/1999, justru m akin m em perluas fungsi H PD yang tak hanya m elekat pada Kepala D esa saja, nam un juga m eliputi berbagai aspek kehidupan berm asyarakat.