Makalah Tentang Wadiah Dalam Penghim

1

Wadi’ah/Titipan/Depository
sebagai Mobilisasi Dana Bank Islam
(Studi Komparatif dengan bank konvensional)
Oleh: Oni Sahroni Lc.

I. Sekilas konsep wadî’ah (titipan).
Perbankan menjadi penting dalam perekonomian negara karena
menjadi salah satu tempat perputaran uang dan modal. Semakin besar
perputaran uang ini diarahkan untuk investasi semakin besar pengaruh
positifnya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan ekonomi
negara pada umumnya.
Jika bank konvensional memobilisasi modal melalui fasilitas kredit
berbunga, maka bank islam melakukannya melalui fasilitas wadi’ah
(titipan). Menjadi tantangan bank islam agar lebih baik tidak hanya dalam
memobilisasi dana tetapi juga dalam penyalurannya sebagai modal
investasi, khususnya pada sektor-sektor riil seperti pertanian dan industri.
sekilas ada kemiripan antara bank islam dengan bank konvensional
dalam memobilisasi dana lewat perangkat wadi’ah (titipan) ini, oleh
karena itu tulisan ini akan menjelaskan secara terperinci perbedaan yang

jauh antara keduanya baik dari substansi transaksi yang dilakukan atau
kaidah syar’inya, undang – undang perbankan, dan penerapannya.
A. Pengertian wadî’ah (titipan)
Wadi’ah atau depository menurut bahasa adalah titipan atau
simpanan.
Dalam literatur fkih, para ulama berbeda-beda dalam
mendefniskan wadi’ah disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa
hukum yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka
dalam pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini
dikategorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus
berupa harta atau tidak.(1)
Di antara defnisi tersebut menjelaskan bahwa wadi’ah adalah
titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus di jaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendaki.(2)
Defnisi ini sudah cukup mewakili wadi’ah (titipan) dalam perbankan
islam.
B. Landasan syari'ah dan hikmahnya.
Wadî’ah/depository (titipan) ditegaskan kebolehannya dalam alQur’an, as-Sunnah dan ijma’.
B.2 Al-Qur’an.


.‫إن الله يأمركم أن تؤدوا المانات إلى أهلها‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan
amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya..” (an-nisa’ ; 58).
Ayat ini turun berkenaan dengan tanggung jawab memegang kunci
ka’bah, tugas ini kemudian diserahkan kembali kepada Utsman bin Tolhah
untuk menjaganya.
Ayat ini secara tegas menyuruh untuk menunaikan setiap amanat
termasuk di dalamnya menjaga titipan orang lain.
1() Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy-Syuruq, 1983) hal 23 – 31.
2() Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 85.

2

B.2 As-Sunnah

‫عن أبي هريرة رضي الله عنه قال النبي ص أد المانة من ائتمنك ول‬
‫تخن من خانك‬

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rosulullah saw bersabda,

“sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya
dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianatimu.” (H.R Abu Dawud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan,
sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shohih).

‫وروي عنه عليه السما إنه كان عنده ودائع فلما أراد الهجرة أودعها‬
‫عند أا أيمن وأمر عليا ان يردها إلى اهلها‬

Dan diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwa ia mempunyai
(tanggung jawab,pen) titipan, ketika ia akan berangkat hijrah ia
menyerahkannya kepada Ummu Aiman dan ia (Ummu Aiman. Pen.)
menyuruh Ali Bin Abi Tholib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.

B.3. Ijma
Para ulama sudah sepakat bahwa wadî’ah (titipan) itu dibolehkan
baik menitipkan barang atau menerima titipan. Hal ini sesuai dengan
tuntutan kehidupan manusia yang tidak bisa menjaga sendiri seluruh
harta miliknya, pada sa’at-sa’at tertentu ia membutuhkan orang lain untuk
menitipkan hartanya.(1)
C. Kaidah-kaidah umum wadî’ah (titipan).

Pembahasan setiap akad dalam muamalat lebih banyak
menjelaskan transaksi antara individu sebaliknya transaksi dengan
lembaga atau syakhsiyah maknawiyah tidak banyak dijelaskan dan
menjadi pembahasan kontemporer oleh karena kaidah-kaidah ini bisa
menjadi acuan penerapan transaksi wadi’ah dalam lembaga seperti
perbankan. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah,
C.1 Wadî’ah/titipan akad amanah.
Para ulama sepakat jika penerima simpanan adalah yad amanah
(pihak amanah) artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang
titipan (karena faktor-fakor di luar batas-batas kemampuan).
Oleh karena itu wadî' (penerima titipan) adalah amîn (terpercaya),
ia tidak bertanggungjawab atau dituntut atas setiap kerusakan atau
kehilangan pada aset titipan tersebut.
Kecuali salah satu riwayat ahmad yang mengatakan bahwa wadî’
(penerima titipan) menjamin setiap aset titipan tersebut dengan dalil
bahwa Umar bin Khottob meminta Anas bin Malik untuk menjamin
titipannya yang hilang. Tetapi riwayat ini bisa ditafsirkan bahwa titipan
tersebut hilang karena kelalaian Anas bin Malik.

Di antara dalil yang menegaskan bahwa wadî’ah/titipan adalah
akad amanah (tidak ada jaminan) adalah:
a.

As-Sunnah

1() - Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq, 1983) hal 33 dan 34.
- Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 85 dan 86.

3

‫عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده أن النبي ص قال ليس على‬
‫المستودع ضمان‬
Umar bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, ia
meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda “penerima titipan itu tidak
menjamin”
1. Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan
dengan amanat.
2. Wadi’ (penerima titipan) telah menjaga titipan tersebut tanpa ada
imbalan (tabarru’) jika ia harus menjamin kehilangan titipan, maka

masyarakat akan enggan untuk menerima titipan orang lain,
padahal jasa ini sangat dibutuhkan masyarakat. (1)

C.2 Akad wakalah.
Transaksi wadî’ah (simpanan) ini termasuk akad wakalah, di mana
penitip aset mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya. Ia
tidak dibolehkan untuk memanfaatkan barang tersebut untuk keperluan
pribadinya baik keperluan konsumtif ataupun produktif karena itu adalah
pelanggaran terhadap akad wakalah tadi karena barang masih menjadi
milik mudi’ (penitip). Jika wadî’ (penerima titipan) menggunakannya,
maka ia menjamin untuk mengembalikan barang tersebut. Dengan begitu
akad tersebut telah berubah dari akad wadî’ah (titipan) menjadi akad alqordh (kredit), maka akadnya tidak boleh mensyaratkan tambahan atau
apapun namanya karena itu termasuk riba yang diharamkan, sesuai
dengan kaidah :

‫كل قرض جر نفعا فهو ربا‬
“Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat itu termasuk riba”
Walaupun begitu mudi’ (penitip) bisa memberikan upah atau bonus
kepada wadî (penerima titipan) yang kadarnya diserahkan kepada mudi’
(penitip).

D. Perbedaaan wadîah dengan al-qordh dan al-iddikhor.
Di antara akad-akad yang mempunyai kemiripan dalam
penerapannya
-terutama dalam perbankan islam- dengan akad ini adalah;
1. Akad al-qrdh, yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk
dimanfa'atkan dan harus di bayar dengan sejenisnya.
Baik al-qordh ataupun wadî’ah (titipan) keduanya merupakan akad
tabarru’ (sumbangan), apabila dalam akad wadî’ah (titipan) pemberi jasa
adalah wadî’ (penerima titipan), sedangkan dalam akad al-qordh (kredit)
pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).
Perbedaannya, dalam al-qordh yad muqtaridh (kepemilikan
penerima piutang) adalah yad dhoman (tangan penjamin), ia menjamin
pengembalian barang tersebut dengan utuh jika rusak atau hilang atau
rugi jika modal digunakan untuk usaha baik di sengaja ataupun tidak.
Sedangkan dalam wadi’ah yad wadî’ (kepemilikan penerima
titipan) adalah yad amanah (tidak menjamin), ia tidak menjamin barang
titipan kecuali jika titipan tersebut hilang karena unsur taqshir ataun
ta’addi. Akad wadî’ah (titipan) akan berubah menjadi akad al-qordh
(kredit) jika titipan tersebut dimanafaatkan oleh wadî’ (penerima titipan).
1() - Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq, 1983) hal 42 dan 43.

- Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 86.

4

2. Iddikor (menabung)
Iddikhor atau dikenal dengan istilah menabung artinya
“Menyisihkan sebagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan
untuk diinvestasikan”.(1)
Iddikhor (menabung) mempunyai kesamaan dengan wadi’ah
(titipan), kedua-duanya harta yang disimpan. Yang pertama tabungan baik
disimpan oleh pemiliknya ataupun diserahkan kepada orang lain, tetapi
wadi’ah (titipan) menyerahkan harta kepada orang lain untuk
menjaganya. Dan jika seseorang menyerahkan titipan kepada orang lain
untuk menjaganya itu berarti ada akad wadi’ah dengan tujuan iddikhor
(menabung). Oleh karena dalam muamalat iddikhor (menabung) bukan
sebuah akad karena tidak berhubungan dengan iltizamat (tanggung
jawab) antara kedua belah pihak akad.
E. Tanggung jawab Mudi’ (penitip) dan wadi’ (penerima titipan)
dan pelanggaran amanat.
E.1 Tangung jawab

Sebagai transaksi yang mengikat kedua belah pihak, keduanya
mempunyai tanggung jawab yang harus dilaksanakan juga berkaitan
dengan pelanggaran terhadap hal-hal yang bertentangan dengan
substansi akad wadî’ah (titipan). Tanggung jawab mudi’ (penitip) akan
lebih dahulu dijelaskan karena pada dasarnya ia yang menyerahkan
tanggung jawab kepada wadî’ (penerima titipan), oleh karena itu praktis
menjaga titipan menjadi tanggung jawab wadî’ (penerima titipan).
1. Tanggung jawab mudi’ (penitip)
Dalam syari’at islam tanggung jawab mudi’ (penitip) ada dua, yaitu
1.a Memberikan upah kepada wadî’(penerima titipan).
Pada dasarnya wadî’ah (titipan) adalah akad tabaru’ (sumbangan);
tidak ada timbal balik, tetapi menurut pendapat yang râjih (unggul), wadi’
(penerima titipan) boleh menerima upah dari mudi’ (penitip) atas jasanya
menjaga titipan tersebut jika disyaratkan dalam akad atau tradisi
setempat menuntut pemberian upah kepada wadî’ (penerima titipan).
Bahkan jika kedua belah pihak telah menyepakati upah dalam akad
wadî’ah (titipan) ini, maka menjadi wajib bagi mudi’ (penitip) untuk
memberikan upah tersebut sebagai pemenuhan janji yang harus ditepati.
Baik kesepakatan itu shorih (jelas) dalam kesepakatan atau dhimni
(tersirat) misalnya pekerjaan wadî’ (penerima titipan) sebagai pekerja

dalam sektor jasa atau amanat tersebut besar yang membutuhkan tenaga
dan biaya.
1.b Memberikan biaya menjaga titipan
Jika penjagaan titipan tersebut membutuhkan biaya seperti
pemeliharaan rumah, mobil dan dan lain sebagainya, atau biaya
administrasi seperti penitipan uang di bank, maka mudi’ (penitip) tersebut
yang menanggung biaya tersebut.
Bahkan jika wadî’ (penerima titipan) terpaksa harus mengeluarkan
biaya penjagaan dari harta pribadinya, ia berhak menagih mudi’ (penitip)
1() Dr. Qutub Mushtofha Sano, al-Muddakhorôt (Yordania Dar an-Nafâ’is 2001)

5
untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan tersebut apabila
pembiayaan tersebut atas seizin mudi’ (penitip). Kecuali jika keperluan
biaya tersebut disebabkan kecerobohan atau pelanggaran wadî’
(penerima titipan) misalnya ketika barang tersebut dibawa bepergian atau
biaya administrasi yang seharusnya tidak ada, maka mudi’ (penitip) tidak
wajib menggantinya karena dalam hal ini wadî’ (penerima titipan)
dikategorikan ghosib (yang merampas) dan ia wajib bertanggung jawab
atas pelanggarannya.

Bahkan menurut qaul râjih (pendapat yang unggul) selain madzhab
Hanaf, wadî’ (penerima titipan) berhak meminta ganti biaya yang
dikeluarkannya unruk memelihara titipan tersebut walaupun pembiayaan
tersebut tanpa seizin mudi’ (penitip) jika amanat membutuhkan
pembiayaan, alasannya syara sudah membolehkan dan ini menempati
idzin pemilik atau mudi’ (penitip).(1)
2. Tanggung jawab wadî’ (penerima titipan)
Sesuai dengan karakteristik akad wadî’ah (titipan) yaitu tabarru’
(sumbangan), wadî’ (penerima titipan) berkewajiban untuk menjaga
titipan tersebut sebagai substansi akad wadî’ah (titipan).
2.a Batasan-batasan menjaga titipan
Standarnya disesuaikan dengan jenis akad wadî’ah (titipan) . Jika
wadi’ah (titipan) tidak disertai dengan upah (al wadî’ah bighoiri al ajr),
maka wadî’ (penerima titipan) wajib menjaga titipan tersebut
sebagaimana ia menjaga hartanya sendiri. Oleh karena itu ia tidak
menjamin setiap kerusakan atau kehilangan barang tersebut jika sudah
menjaganya seperti halnya barangnya sendiri.
Tetapi jika akad wadî’ah (titipan) disertai upah (al wadî’ah bi al ajr),
maka wadî’(peerima titipan) wajib menjaga titipan sesuai dengan tradisi
barang itu dijaga atau dalam ungkapan para ahli fkih fi hirz mitsliha
(mengikuti tradisi sejenis barang itu dijaga) karena syara’ tidak
menentukan batasan tertentu, maka dikembalikan kepada tradisi
masyarakat setempat. Jika usaha wadî’(penerima titipan) dalam menjaga
titipan tersebut lebih ringan dari usahanya dalam menjaga hartanya
sendiri maka ia harus menjamin terhadap setiap kerusakan atau
kehilangan yang terjadi pada titipan tersebut. (2)
Standar ini dianggap oleh para ahli fkih sebagai batasan yang jelas,
walaupun jika dikaji lebih mendalam tidak setiap pemeliharaan yang ideal
itu lebih baik dari pada penjagaan harta pribadi seseorang. Namun penulis
memahami bahwa yang menjadi standar adalah al gholabah (keumuman)
sebagai standar penjagaan sebuah titipan.
2.b Pelanggarannya,
i. Taqshir.
Bentuk-bentuk taqshir dari pihak wadî’ (penerima titipan)
bermacam-macam, namun yang akan disebutkan di sini sebab-sebab
yang berhubungan erat dengan muamalah kontemporer khususnya
perbankan, begitu juga dengan penjelasannya disesuaikan dengan
keterkaitan sebab tersebut dengan aktualitasnya. Diantara sebab-sebab
tersebut adalah
1. Menjaganya tidak sesuai dengan amanat.
1

() Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq, 1983) hal 169 dan 170 dengan
keterangan dari penulis.

2() Opcit hal. 84 - 87

tambahan

6
Dalam akad wadî’ah (titipan), pihak mudi’ (penitip) ada kalanya
menyerahkan sepenuhnya kepada wadî’ (penerima titipan) untuk
menjaganya tanpa ada batasan apapun.
Dan adakalanya pihak mudi’ (penitip) memberikan batasanbatasan tertentu yang harus dipatuhi oleh wadî’ (penerima titipan). Oleh
karena itu jika wadî’ (penerima titipan) melanggar aturan ini, maka ia
menjamin titipan tersebut. Seperti jika mudi’(penitip) meminta dalam akad
agar uang titipannya disimpan di bank tertentu, maka jika wadî’ (penerima
titipan) tidak melakukannya, ia menjamin titipan tersebut.
Namun mudi’ (penitip) tidak bisa sepenuhnya membatasi wadî’
(penerima titipan) dalam menjaga titipan tersebut, oleh karena itu
menurut madzhab Hanaf dan madzhab syi’ah zaidi jika syarat-syaratnya
tidak memberikan manfaat terhadap titipan tersebut atau tidak mampu
dilaksanakan oleh wadî’ (penerima titipan), maka syarat tersebut malghi
(gugur).
2. Membawanya ketika bepergian (safar).
Jika titipan tersebut diserahkan kepada wadî’ (penerima titipan)
pada waktu ia bepergian (safar), maka itu bukan pelanggaran dan taqshir
(kecerobohan) dari wadî’ (penerima titipan) ehingga ia harus menjamin
jika barang itu hilang karena akadnya dilakukan pada waktu safar.
Berbeda ketika akad tersebut dilakukan pada waktu hador (tidak
bepergian) menurut madzhab Maliki, madzhab Syaf’i dan madzhab Syi’ah
Zaidi wadî’ (penerima titipan) tidak boleh membawanya ketika bepergian
kecuali jika ada udzur, atau diizinkan oleh mudi’ (penitip) atau ia terbiasa
bepergian dengan titipan yang ada padanya karena safar dengan titipan
itu tadyi’ lil mal (menjadi penyebab hilangnya harta) sesuai dengan hadits
Nabi,

‫المسافر وماله على قلت إل ما وقى الله‬

Musafir dan harta ada dalam kerusakan kecuali atas perlindungan
Allah swt.
3. Menitipkannya kepada orang lain.
Ulama sepakat jika ada udzur wadî’ (penerima titipan) boleh
mewakilkan kepada orang lain untuk menjaga titipannya, seperti kondisi
di mana ia tidak bisa lagi menjaga titipannya.
Jika bukan karena udzur, ada dua masalah yang berkenaan dengan
hal ini yaitu:
3.a. Mewakilkan kepada orang lain (bukan kerabat).
Dalam kondisi ini wadî’ (penerima titipan) menjamin titipan
tersebut karena sesuai dengan akad, mudi’ (penitip) hanya ridho jika
titipannya dijaga oleh wadî’ (penerima titipan) tersebut, ini adalah
pendapat mayoritas fuqoha kecuali Ibnu Abi Laila yang mengatakan
sebaliknya dengan alasan substansi akad adalah menjaga titipan tersebut
dan ia telah menjaganya melalui orang lain.
3.b. Mewakilkan kepada kerabatnya,
Yaitu orang-orang yang wajib diberi nafkah olehnya wadî’ (penerima
titipan) menurut mayoritas fuqoha itu dibolehkan karena kerabat
termasuk yang menjaga harta pribadi wadî’ (penerima titipan). Berbeda
dengan madzhab Syaf’i yang mengatakan bahwa wadî’ (penerima
titipan) harus menjaminnya karena mudi’ (penitip) hanya ridho jika
titipannya dijaga oleh wadî’ (penerima titipan).
4. Tidak melindunginya dari hal-hal yang merusak atau hilang.

7
Jika titipan tersebut hilang atau rusak karena ia lalai dalam
menjaganya, maka jika ternyata hilang ia harus menggantinya dengan
yang sejenisnya atau qimahnya (nilainya). Ini arti dari ungkapan patra ahli
fkih inna al wadî’ yu’khodu bi dhomâni al aqdi (sesuai dengan akad wadî’
(penerima titipan) menjamin titipan). Seperti halnya ketika wadî’
(penerima titipan) menaruh uang titipan dalam sebuah bank yang akan
pailit ia menjamin titipan tersebut.

ii. Ta’addi.
Perbedaan antara taqshir dengan ta’addi, yang pertama kelalaian
wadî’ (penerima titipan) karena ia tidak mematuhi akad wadî’ah (titipan),
sedangkan ta’addi adalah setiap prilaku yang bertentangan dengan
penjagaan barang tersebuut. Di antara bentuk taqshir tersebut
menghilangkannya dengan sengaja. Maksudnya adalah ketika wadî’
(penerima titipan) melakukan hal-hal yang menyebabkan titipan tersebut
hilang atau rusak, maka ia harus menggantinya.
Di samping itu memanfaatkan barang titipan, pelanggaran ini
sebenarnya yang banyak terjadi pada muamalah kontemporer terutama
perbankan. Ada tiga bentuk pemanfaatan titipan tersebut, yaitu ;
1. Mengkonsumsi titipan
Dengan mengkonsumsi titipan tersebut ia menjamin jika habis atau
rusak karena dikonsumsi, atau jika dipakainya dan barang tetap utuh,
wadî’ (penerima titipan) tetap harus menggantinya dengan upah berupa
ujrotu al mitsl (upah seperti barang tersebut).
2. Menyewakannya.
Jika wadî’ (penerima titipan) menyewakan titipan tersebut untuk
mendapatkan keuntungan dari hasil penyewaan tersebut, maka itu adalah
ta’addi, yang mewajibkannya untuk menjamin titipan tersebut.
3. Meminjamkannya.
Jika memanfa’atkan dan menyewakannya termasuk ta’addi
terhadap amanah, terlebih lagi meminjamnya karena dengan
meminjamnya wadî’ (penerima titipan) memiliki manfaat barang dan
menjadi dzimmahnya (tanggung jawab) tersebut. Oleh karena itu
tanggung jawab wadî’ (penerima titipan) bukan lagi yad amanah (tidak
menjamin) tetapi yad dhoman (tangan penjamin) seperti yang telah
dijelaskan di muka.
Seperti halnya bank meminjam titipan setiap nasabah dan
menyerahkannya kepada para pemanfaat dana dan bank menjamin uang
yang dipinjamkan tersebut.
3. Menginvestasikanya.
Wadî’ (penerima titipan) juga tidak dibolehkan untuk
menginvestasikannya seperti halnya meminjamkannya, karena keduaduanya telah mengambil kepemilikan manfaat barang tersebut dalam
dzimmahnya (tanggung jawab).
Menginvestasikan modal tersebut tanpa seidzin mudi’ (penitip)
hukumnya haram. Di samping itu wadî’ (penerima titipan) menjamin
titipan yang diinvestasikan tersebut baik atas idzin dari mudi’ (penitip)
ataupun tidak, baik wadî’ (penerima titipan) dalam kondisi mu’sir
(kesulitan) atau musir (berkecukupan).
Jika investasi tersebut menghasilkan keuntungan, para ulama
berbeda pendapat mengenai hak milik keuntungan ini,

8
Pertama, Menurut madzhab Maliki, Laits, Abu Sufyan dan Abu Yusuf,
keuntungan tersebut milik wadî’ (penerima titipan)’ dengan dalil;
1. Karena wadî’ (penerima titipan) yang menjamin titipan tersebat
sampai dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Sesuai dengan kaidah al gunmu bi al gurmi (keuntungan sesuai
dengan resiko kerugian).
Kedua, Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, keuntungan tersebut harus
disedekahkan oleh wadî’ (penerima titipan) dan tidak boleh dimanfaatkan
karena keuntungan tersebut hasil usaha yang dilarang yaitu investasi
titipan, dan penyaluran keuntungan tersebut melalui sedekah
sebagaimana perkataan Rosulullah saw kepada para pedagang di pasar.

‫يا معشر التجار إن تجارتكم هذه يحضرها اللغو والكذب فشوبوها‬
‫باالصدقة‬
Sesungguhnya tijaroh kamu ini ada lagh (main-main) dan
kebohongan, maka bersihkanlah dengan shodakoh.
Tetapi dalil ini seperti yang dikatakan Dr. Amin Abdullah
menunjukan perintah kepada para pedagang untuk memperbanyak
sedekah sebagai penghapus dosa-dosa dalam usaha mereka. Disamping
itu jika penafsiran madzhab Hanaf ini diterapkan, maka orang enggan
melakukan investasi karena tidak mendapatkan keuntungan.
Ketiga, Keuntungan di bagi antar wadî’ (penerima titipan) dengan mudi’
(penitip) sesuai dengan akad mudhorobah (transaksi bagi hasil).
Dalilnya adalah Ketika Abu Musa al Asy’ari menitip uang kepada
abdullah dan Ubaidillah ; putra Umar bin Khottob untuk diserahkankepada
Umar dan menyuruhnya untuk menginvestasikannya, kemudian modalnya
diserahkan kepada Umar dan sebagian keuntungannya diambil oleh
Abdullah dan Ubaidillah.
Syekh az Zarqoni mengomentari kisah ini, bahwa sebagian
keuntungan saja yang dikembalikan oleh Umar kepada kedua anaknya itu
hanya menunjukan kewara’an Umar karena ia hawatir pemberian itu
disebabkan Abu Musa mengutamakan kedua anaknya dari anggota
pasukan yang lain. Jika anggota pasukan lain yang melakukan hal tersebut
pasti seluruh keuntungannya diberikan kepada mereka (wadî’/penerima
titipan’). (1)
II. Aplikasi wadi’ah dalam perbankan
A. Bentuk wadi’ah dan jenis transaksinya.
A.1 Modal bank islam.
Bagi bank konvensional, selain modal, sumber dana lainnya
cenderung “manahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang
dilakukan oleh Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan
uang untuk tiga kegunaan: transaksi, cadangan dan investasi. Oleh karena
itu produk penghimpunan danapun disesuaikan dengan tiga fungsi
tersebut, yaitu berupa giro, tabungan dan defosito.
Berbeda dengan bank syari’ah yang melakukan pendekatan tunggal
dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya.
Misalnya pada tabungan beberapa bank memberlakukannya seperti giro,
sementara itu ada pula yang memberlakukannya seperti defosito, bahkan
ada yang tidak menyediakan tabungan sama sekali.
1

() Lihat Dr. Hasan Abdullah Amin, , al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq, 1983) dari hal 90 - 143 dengan tambahan
dari penulis berupa kesimpulan dan keterangan.

9
Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dana bank syari’ah terdiri
atas:
a. Modal
Modal adalah dana yang diserahkan oleh pemilik (owner). Pada
akhir periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada
tahun tersebut, pemilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha
yang dikenal dengan dividen. Dana modal dapat digunakan untuk
pembelian gedung, tanah, perlengkapan dan sebagainya yang secara
tidak langsung tidak menghasilkan (fixed asset/non earning asset). Selain
itu, modal juga dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu
disalurkan menjadi pembiayaan. Pembiayaan yang berasal dari modal,
hasilnya tentunya saja bagi pemilik modal, tidak dibagikan kepada pemilik
dana lainnya.
Dalam perbankan syari’ah, Mekanisme penyertaan modal
pemegang saham dapat dilakukan melalui musyarokah fi sahm asysyarikah /equity participation (ikut serta dalam penanaman saham
pen.)pada saham perseroan bank.
Mekanisme penyertaan saham tersebut dapat digambarkan dalam
skema berikut ini.
Sumber dana dari modal (pemegang saham)

Investor
Shohibul sahm
(pemegang
saham)

1. Setor modal

Bank
Musyarik
(parter)

4. Bagi deviden
2. Pemanfa’at
dana

3. Bagi hasil

User

Keterangan
Salah satu sumber dana bank berasal dari pemegang saham
dengan setoran modal, kemudian disalurkan menjadi pembiayaan. Dalam
satu periode pembukuan, sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham,
investor akan mendapatkan hasil dalam bentuk deviden.(1)
b. Wadî’ah (titipan) sebagai modal bank terbesar bank islam meliputi
dua yaitu
Pertama, Titipan.
Ada dua kategori titipan dalam bank islam yaitu,
1() Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 146 dan 147.

10
i.

Wadi’ah jariyah (tahta tholab) yaitu suatu titipan, di mana
penyimpan berhak mengambilnya kapan saja baik cash
ataupun dengan cek atapun melalui nasabah pihak ketiga.
ii. Wadi’ah Iddikhoriyah (at taufir), Ciri-ciri simpanan ini adalah
kecinya simpanan dan banyaknya jumlah nasabah
penyimpan dan bank menyalurkannya untuk investasi
dengan akad mudhorobah muthlaqoh.
Dua jenis simpanan ini pada prakteknya, bank memanfaatkannya
untuk keperluan investasi dan mengembalikan simpanan. Berbeda dengan
konsep wadi’ah dalam fqh di mana wadî’ (penerima titipan) harus
mengembalikan barang simpanan tersebut. Maka dengan begitu yad
(kepemilikan) bank islam terhadap simpanan tersebut adalah yad
dhoman/guarantee Depository (penjamin).(1)
Lebih lanjut Syaf’i Antonio menjelaskan karakteristik kedua jenis
simpanan ini yaitu:
1. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan
oleh yang menerima titipan.
2. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut
tentu dapat menghasilkan manfaat. sekalipun demikian tidak ada
keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil
pemanfaatan kepada si penitip.
3. Produk perbankan yang sesuai dengan akad in adalah yaitu giro
dan tabungan.
4. Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang
dihitung berdasarkan presentase yang telah ditetapkan. Adapun
pada bank syari’ah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak
boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad,
tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih
dari pihak bank.
5. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan
manajemen bank syari’ah karena pada prinsipnya dalam akad ini
penekanannya adalah titipan.
6. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi'âh (titipan)
karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu
simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaanya, tabungan
tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.
Mekanisme wadî’ah yad ad dhomân (titipan yang dijamin) dapat
digambarkan dalam skema sebagai berikut,

1() Muh. Jalal Sualiman, al-Wadâi’ al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah, (Kairo, IIIT 1996) hal. 22 dan 23.

11

1. Titip dana
Nasabah
(penitip)

Bank
Mustawda’
(penyimpan)

4. Beri bonus

3. Bagi hasil

2. Pemanfaatan
dana

User of Fund
(Nasabah
pengguna
dana)

Perbedaan antara jasa giro dan bonus(1)
No.

Jasa Giro

1.

Diperjanjikan

2.

Disebutkan dalam akad

3.

Ditentukan dalam presentase
tetap

Bonus (‘Athoya)
Tidak diperjanjikan
Benar-benar merupakan budi baik
ban
Ditentukan sesuai dengan
keuntungan riil bank

Kedua, Titipan investasi (Wadî’ah istitsmâriyah).
Investasi adalah jenis wadi'ah (titipan), ciri khasnya nasabah penitip
(mudi') menyerahkan dananya ke bank dengan niat untuk di investasikan.
Dengan begitu nasabah penitip sebagai pemilik modal sedangkan bank
sebagai wakil atau pemanfaat dana.
Dalam prakteknya, bank syari'ah menyediakan dua bentuk
penerapan titipan investasi yaitu :
Pertama : General investment (investasi umum).
Ciri bentuk ini adalah shohibu al-mal (pemilik dana) tidak
membatasi bank syari'ah dengan batasan-batasan tertentu tetapi diberi
wewenang untuk menginvestasikan modalnya dalam waktu dan jenis
usaha yang di pilih oleh bank itu sendiri. Aplikasi perbankan yang sesuai
dengan akad ini adalah time deposit biasa.
Keterangan ini bisa digambarkan dalam skema berikut ini :

1() Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 149 - 150

12

2. Pemanfaat
dana

1. Titip dana
Penabung
/
Deposan

Dunia
usaha

Bank
4. Bagi hasil

3. Pemanfaat
dana

Syaf'i Antonio menjelaskan bahwa dalam skema tersebut terdapat
beberap hal yang sangat berbeda secara pundamental dalam hal nature
of relationshif between bank and costumers pada bank konvensional,
yaitu:
a. Penabung atau deposan di bank syari'ah adalah investor dengan
sepenuh-penuhnya makna investor. Dia bukanlah lender atau
creditor bagi bank seperti halnya bank umum. Dengan demikian,
secara prinsip, penabung dan deposan entitled untuk risk dan
return dari hasil bank.
b. Bank memiliki dua fungsi : kepada deposan atau penabung, ia
bertindak sebagai pengelola (mudhorib), sedangkan kepada
dunia usaha, ia berpungsi sebagai pemilik dana (shohibul mal).
Dengan demikian baik ke kiri maupun ke kanan, bank harus
sharing risk dan return.
c. Dunia usaha berpungsi sebagai pengguna dan pengelola dana
yang harus berbagi hasil dengan pemilik dana, yaitu bank.
Dalam pengembangannya, nasabah pengguna dana dapat juga
menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, sewa
dan fee based services.
Bentuk general investment (investasi umum pen.) ini yang lebih
banyak digunakan dalam penyaluran dana investasi (wadi'ah
istitsmariyah).
Di samping itu pada prakteknya, jumlah nasabah penitip (deposan)
jumlahnya puluhan bahkan ratusan begitu pula halnya dengan nasabah
pemanfaat dana. Hal ini terjadi dalam satu bidang investasi. )1(
Oleh karena itu Dr Abd. Mun'im Abu Zaid mengusulkan beberapa
hal berkaitan dengan ini yaitu :
1. ada menajemen khusus terhadap modal ini.
2. Menyatakan waktu di mulai modal ini di pakai investasi.
3. Pembagian keuntungan secara independen pada setiap proyek.
(2)

Kedua. Special investment (investasi khusus).
Bentuk ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Shôhib al-mâl (pemilik dana) memberikan batasan atas dana yang
diinvestasikannya. Mudhorib hanya bisa mengelola dana tersebut
sesuai dengan batasan yang diberikan oleh shôhib al-mâl. Misalnya
hanya bentuk jenis usaha tertentu saja, tempat tertntu, waktu
tertentu dan lain-lain.
1)( Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 151.
2() Dr. Muh. mun’im Abd. Zaid, Nahwa tathwîr nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif al-islâmiyah, (Kairo IIIT 2000) hal 209.

13
b. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah special
investment (investasi khusus).
Bantuk ini bisa digambarkan dalam skema berikut ini :
1. Proyek tertentu

Special
Project

Bank
Mudhorib
4. Penyaluran dana
5. Bagi hasil
3.
Investd

6. Bagi hasil

2. Hubungai
investor

ana

Investor
Shohibul mal
Pemilik modal

Dari skema ini jelas, bahwa dalam aplikasi bentuk ini, bank
mencari proyek investasi terlebih dahulu kemudian menawarkannya
kepada penitip dana.(1)
2 Bank konvensional
Sebagai perbandingan berikut ini akas dijelaskan bentuk – bentuk
simpanan yang dipraktekan oleh bank-bank konvensional di Indonesia.
Idealnya, dana yang berasal dari masyarakat ini, merupkan suatu
tulang punggung (basic) dari dana yang harus dikelola oleh bank untuk
memperoleh keuntungan. Dalam dunia perbankan, dana yang berasal dari
masyarakat luas ini secara tradisional terdiri dari:
Pertama : Simpanan Giro (demand-deposit)
Giro dalam simpanan pihak ketiga kepada bank yang penarikannya
dapat dilakukan setiap sa’at dengan mempergunakan cek, surat
pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan, pasal 1 UU No.
14/1967). Sebagai imbalan bagi seorang yang penyimpan uangnya dalam
bentuk simpanan giro, biasanya bank memberikan simpanan giro,
biasanya bank memberikan “jasa giro”. Sayang pada sa’at ini jasa giro
dikenakan pajak atas bunga , deviden dan royalti (PBDR), sehingga
menjadi salah satu faktor penyebab mengapa giro agak menurun.
Lazimnya disebut rekening koran (current account). Rekening ini
1()- Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 152.
Dr. Muh. mun’im Abd. Zaid, Nahwa tathwîr nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif al-islâmiyah, (Kairo IIIT 2000) hal 199.

14
digunakan juga untuk menata usahakan kredit yang diberikan dalam
bentuk rekening koran.
Kedua : Defosito
Deposito adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang
penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu
menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang bersangkutan.
Dalam praktek, kita mengenal adanya deposito berangka dan sertifkat
deposito. Defnisi deposito berjangka adalah seperti yang termaksud
dalam pengertian deposito di atas. Bila waktu yang ditentukan telah habis
deposan dapat :
a. Menarik deposito berjangka tersebut atau
b. Memperpanjang dengan suatu periode yang diinginkan.
Pemerintah tidak akan mengadakan pengusutan untuk keperluan
pajak mengenai asal usul uang yang didepositokan. Pemerintah tidak akan
mengenakan pajak kekayaan terhadap simpanan depsito berjangka, dan
pajak pendapatan terhadap bunga deposito. Jangka waktu dapat dipilih
sesuai dengan kebutuhan yakni :
a. 1 bulan
b. 3 bulan
c. 6 bulan
d. 12 bulan
e. 24 bulan
Tarif bunga diberikan dengan sangat menarik sesuai dengan
perkembangan pasar, dan bunga dibayarkan pada setiap bulan sesuai
dengan tanggal jatuh temponya. Deposito berangka dikeluarkan atas
nama pembelinya.
Ketiga : Tabungan
Tabungan adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu. Pada
dewasa ini terdapat empat jenis tabungan yaitu tabungan pembangunan
nasional (Tabanas), tabungan asuransi berjangka (Taska), Tabungan
ongkos naik haji (ONH), dan tabungan lainnya.
Adapun bunga yang diberikan oleh bank, bisa dilihat dalam aplikasi
Tabanas yaitu :
a. Simpanan sampai dengan 1.000.000 diberikan jasa 15% p.a atau 1,25%
p.b.
b. Di atas Rp 1.000.000 diberikan jasa 12% p.a atau 1% p.b (1)
Kesimpulan (Perbedaan antara bank islam dan bank konfensional dalam
menerapkan wadî’ah/titipan).
Penulis tidak mengulangi pembahasan dalam penutup ini, tetapi
satu hal yang lebih penting adalah bahwa inti perbeda’an antara bank
konvensional dengan bank islam dalam menerapkan simpanan.
Dalam bank islam Simpanan dalam kategori simpanan investasi
(wadîah istitsmâryah) adalah transaksi investasi antara deposan sebagai
shôshib al-mâl (pemilik dana) dengan bank sebagai pemanfaat dana atau
pihak ketiga sebagai pemanfaat dana dengan keuntungan dan kerugian
sesuai dengan kesepakatan bersama dan sesuai dengan jenis akad/usaha
yang disepakati.
Adapun dalam kategori simpanan (wadî’ah jâriyah atau tahta
tholab) dana simpanan tersebut diinvestasikan oleh bank, oleh karena itu
bank menjamin dana tersebut kapan saja deposan memerlukannya
dengan tanpa memberikan bunga.
1() Tim STIE-Perbanas, Kelembagaan perbankannasional, Jakarta Gramedia 1999 (hal 33-48)

15
Berbeda dengan simpanan dalam bank konvensional, simpanan itu
adalah kredit yang diberikan jasa/bunga yang ditetapkan di muka baik
dana simpanan itu digunakan untuk investasi ataupun tdak, baik investasi
tersebut beruntung atau rugi.
Untuk lebih jelasnya Syaf’i Antonio menjelaskan perbedaan
tersebut dalam dua hal:

a. Contoh kasus
Bank Syariah

Bank konvensional

Bapak A memiliki deposito nominal
= Rp 10.000.00000
Jangka waktu : 1 bulan (1 Januari
2000 – 1 pebruari 2000).
Nisbah bagi hasil: Deposan 57% dan
bank 43%
Jika keuntungan yang diperoleh
untuk deposito dalam 1 bulan
sebesar Rp 30.000.000 dan ratarata saldo deposito jangka waktu
satu bulan adalah Rp. 950.000.000
Pertanyaan: Berapa keuntungan
yang diperoleh bapak A?
Jawab:
Rp (10.000.000 : 950.000.000) X Rp
30.000.0000 X 57% : Rp 180.000

Bapak B memiliki deposito nominal:
10.000.000 jangka waktu : 1 bulan 1
bulan (1 Januari 2000 – 1 pebruari
2000).
Bunga : 20% p.a

b. Perbandingan

Pertanyaan: Berapa bunga yang
diperoleh bapak A?
Jawab:
Rp 10.000.000 X (31 : 365 hari) X
20% : Rp 165.863

(1)

Bank syariah
Besar-kecilnya bagi hasil yang
diperoleh deposan bergantung
pada:
a. Pendapatan bank
b. Nisbah bagi hasil antara
nasabah dan bank
c. Nominal deposito nasabah
d. Rata-rata saldo deposito
untuk jangka waktu tertentu
yang ada pada bank.
e. Jangka waktu deposito
berpengaruh pada lamanya
investasi

Bak Konvensonal
Besar-kecilnya bunga yang
diperoleh deposan bergantung
pada:
a. Tingkat bunga yang berlaku
b. Nominal deposito
c. Jangka waktu deposito

Demikian penjelasan ini, semoga telah memperjelas aplikasi
wadi’ah dalam bank islam dan bank konvensional. Wallahu a’lam.
Daftar Referensi:
1. Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyyah wa
istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy-Syurûq, 1983)
2. Syaf’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal. 85.
3. Dr. Qutub Mushtofa Sano, al-Muddakhorôt (Yordania dar an-Nafâ’is 2001)
4. Muh. Jalal Sulaiman, al-Wadâ’i al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah, (Kairo
IIIT 1996).
1() Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal 144 – 145.

16
5. Dr. Mun’im Abd. Zaid, Nahwa tathwir nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif alislâmiyah, (Kairo IIIT 2000)
6. Tim STIE – Perbanas, Kelembagaan perbankan nasional, Jakarta Gramedia
1999.