Perilaku Bisnis menurut Perspektif Islam

BISNIS PENGANTAR
PERILAKU BISNIS DALAM ISLAM

Disusun oleh:
Lailatul Hanifah

(14810021)

EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015

1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Era Globalisasi dewasa ini, perkembangan perekonomian dunia begitu
pesat, seiring dengan berkembang dan meningkatnya kebutuhan manusia akan sandang,
pangan, dan teknologi. Kebutuhan tersebut meningkat sebagai akibat jumlah penduduk

yang setiap tahun terus bertambah, sehingga menimbulkan persaingan bisnis makin
tinggi. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup. 1
Sekarang ini, sistem perekonomian didominasi oleh sistem perekonomian yang
dianut oleh Amerika Serikat yang mana menganut sistem perekenomian kapitaslis yang
mana cenderung mengeksploitasi kalangan yang lebih rendah. Padahal Islam telah lebih
dulu mengatur dengan sedemikian rupa sistem perekonomian yang dinilai dan telah
dibuktikan lebih memberikan manfaat dan berguna untuk kemaslahatan manusia. Karena
Islam itu sendiri sebagai agama penyelamat manusia di dunia dan akhirat memberikan
dasar pandangan hidup yang selalu mengutamakan kemaslahatan hidup manusia. 2
Islam mempunyai landasan yang fundamental, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kegiatan perekonomian termasuk bisnispun telah diatur dengan jelas dalam kedua
landasan tersebut. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam patutlah bercermin pada sistem perekonomian seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW yang berlandaskan atas Syari’ah atau hukum-hukum islam. Islam
mengajarkan untuk melakukan bisnis yang tidak hanya mengutamakan keuntungan
pribadi

yang


bersifat

’’sesaat’’,

melainkan

mencari

keuntungan

yang

mengandung’’hakikat’’ baik, yang berakibat atau berdampak baik pula bagi semua umat
manusia. Islam memberikan kebesan bagi setiap manusia untuk berbisnis, namun islam
juga membatasi perilaku bebisnis tersebut dengan etika-etika berbisnis yang tentunya
guna menjaga kemaslahatan hidup manusia.

B. Rumusan Masalah
1
2


M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986, hal. 6.
Dahlan, Sirman. Etika Bisnis Menurut Hukum Islam (Suatu Kajian Normatif), hal: 3

2

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan dalam berbagai permasalahan yang akan
dibahas dalam makalh ini. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk kebebsan Usaha Ekonomi yang dianut dalam Islam ?
2. Bagaimana konsep dari prinsip keadilan dalam bisnis Islam ?
3. Apa saja bentuk transaksi-transaksi ekonomi yang diperbolehkan dalam Islam ?
C. Landasan Teori
Adapun landasan teori yang digunakan dalam makalah ini adalah:


Etika Bisni
Menurut pendapat David P. Baron (2005), etika adalah suatu pendekatan sistematis
atas penilaian moral yang didasarkan atas penalaran, analisis, sintetis, dan reflektif.
Selanjutnya, bisnis adalah aktivitas terorganisir untuk memenuhi kebutuhan dengan
menciptakan barang atau jasa dalam rangka mendapatkan keuntungan serta

meningkatkan kualitas hidup. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa etika bisnis
dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan
pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara
universal dan secara ekonomi atau sosial, dan pengetrapan norma dan moralitas ini
menunjang maksud dan tujuan kegiatan bisnis.



Etika Bisnis dalam Islam
Etika bisnis dalam perspektif Islam adalah perilaku bisnis yang dilandasi dan
diatur menurut etika yang sesuai dengan prinsip-prinsip dalam syari’ah islam. Etika
Islam memberi sangsi internal yang kuat serta otoritas pelaksana dalam menjalankan
standar etika. Konsep etika dalam Islam tidak utilitarian dan relatif, akan tetapi mutlak dan
abadi. Terdapat empat eksioma etika bisnis dalam islam, yaitu tauhid, keseimbangan
(keadilan), kebebasan dan tanggung jawab.

3

PEMBAHASAN
A. Kebebasan Usaha Ekonomi

Kebebasan, berarti manusia sebagai individu dan kolektivitas, mempunyai
kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas
mengimplementasikan kaidah - kaidah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk aspek
mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaidah umum, “semua boleh kecuali
yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam
tataran ini kebebasan manusia sesungguhnya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan
yang bertanggung jawab dan berkeadilan. 3

B. Keadilan dalam Bisnis Islam
Keadilan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak berat sebelah atau
tidak memihak ke salah satu pihak, memberikan sesuatu kepada orang sesuai dengan
hak yang harus diperolehnya. Keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan
atau keharmonisan antara penuntutan hak dan menjalankan kewajiban. Berdasarkan
segi etis, manusia diharapkan untuk tidak hanya menuntut hak dan melupakan atau
tidak melaksanakan kewajibannya sama sekali.
Jika dikategorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan
di dalam al-Quran dari akar kata ‘adl tersebut, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang
tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan.
Secara umum Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum

yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Islam sangat mengajurkan untuk
berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim.
Kecurangan dalam berbisnis merupakan pertanda bagi kehancuran bisnis tersebut,
karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan.
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan
mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam
bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
3

Nawatmi, Sri. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Semarang: universitas Stikubank. Vol. 9
no. 1. Hal: 52

4

‫اس أال ُم أستَقِ ِيم َذلِكَ خَ أي ٌر َوأَحأ َسنُ تَأأ ِويل۝‬
ِ َ‫َوأَوأ فُوا أال َك أي َل إِ َذا ِك ألتُ أم َو ِزنُوا بِ أالقِ أسط‬
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Q.S. al-Isra’: 35)

Dalam ayat lain yakni Q.S. al-Muthaffifin: 1-3
‫اس يَ أستَوأ فُونَ ۝ َوإِ َذا َكالُوهُ أم أَوأ َو َزنُوهُ أم ي أُخ ِسرُونَ ۝‬
ِ َ‫َو أي ٌل لِ أل ُمطَفِفِينَ ۝ الَ ِذينَ إِ َذا ا أكتَالُوا َعلَى الن‬
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan
menimbang), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi”
Dari ayat di atas jelas bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci
oleh Allah, maka

mereka termasuk

orang-orang yang celaka.

Kata ini

menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis dengan cara yang
curang menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai
kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang
semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk dalam

kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan,
ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.
Islam juga mempunyai prinsip-prinsip dalam pelaksanaan keadilan dalam
bisnis, yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
Tauhid menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan
kuat dengan konsep keadilan sosial ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi
Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia
hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam
harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus
dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan
cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai
dengan konsep persaudaraan umat manusia.

5

2. Distribusi Kesejahteraan yang Merata
dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam
secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu
dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedekah, waqaf dan institusi lainnya,

seperti pajak, jizyah, dharibah. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan
pemerataan kekayaan dan menghilangkan jarak antar di kaya dan si miskin.
Para pelaku bisnis mempunyai kewajiban untuk membayar zakat mal,
membayar pajak penghasilan, dan juga bershadaqah. Selain berguna untuk
meratakan kekayaan, hal tesebut dalam islam betujuan untuk mensucikan harta.
3. Pinsip Jaminan Sosial
Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam
hal ini adalah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin
dan menanggung beban kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan
dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
diantaranya,“Tidakkah Kamu melihat orang yang mendustakan agama?
Mereka adalah orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga
tidak member makan orang-orang miskin” (QS. Al-Ma’un [107]:1-3).
Rasulullah juga bersabda, “perumpamaan orang-orang beriman itu dalam
kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika salah satu anggota tubuh itu
sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan demam” (HR. Bukhori
dan Muslim).
C. Bentuk-bentuk Transakasi dalam Islam
Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia yang merupakan makhluk
sosial tentu membutuhkan interaksi dan hubungan dengan sesama manusia yang lain.

Hal tersebut dapat diwujudkan dalam beberapa transaksi yang dihalalkan dalam
islam, yang mana bertujuan untuk menciptakan hubungan mu’amalah. Transaksitransaksi tersebut adalah :
1. Jual Beli (Bai’ Al-Murabahah)
Jual beli merupakan persetujuan saling mengikat antara penjual dan
pembeli dalam bertukar barang atau jasa yang senilai. Untuk memenuhi transaksi
jual beli tersebut terdapat syarat dan rukun jual beli yang harus dipenuhi, yaitu:
6

Syarat bagi pelaku jual beli (penjual dan pembeli):
 Berakal
 Baligh
 Berhak menggunakan hatanya
 Suka sama suka akan objek jual beli
Syarat barang atau objek jual beli :
 Halal
 Memiliki manfaat
 Barang sudah jelas tersedia saat transaksi jual beli
 Jelas status kepemilikannya
 Zat, bentuk, maupun kadarnya diketahui dengan jelas oleh kedua belah
pihak

Sighat (akad jual beli), yang terdiri dari Ijab dan Qabul:
 Ijab : perkataan penjual untuk menjual objek jual beli
 Qabul : perkataan pembeli untuk membeli objek jual beli.
2. Syirkah (perkongsian)
Syirkah adalah persekutuan antara dua orang atau lebih yang bersepakat bekerja
sama dalam suatu usaha, yang keuntungannya untuk kedua belah pihak. Syirkah
merupakan bentuk dari ta’awun (tolong menolong)
Terdapat beberapa bentuk akad dalam Syarikat yang diantaranya adalah:
 Musyarakah, yaitu menggabungkan modal dalam suatu usaha yang hasil
keuntungannya dibagi berdasarkan proporsi modal yang ditanam
 Mudarabah,

yaitu

pemberian

modal

dari

pemilik

modal (Mudharib) kepada seseorang yang menjalankan modal (Shahibul
Mal) dengan ketentuan bahwa untung rugi ditanggung bersama sesuai
dengan perjanjian.
 Muzara’ah dan Mukhabarah. Muzara’ah ialah paruhan hasil sawah
antara pemilik dan penggarap, benihnya berasal dari pemilik sawah. Jika
benihnya dari penggarap disebut Mukhabarah.

7

 Musaqah, yaitu paruhan hasil kebun antara pemilik dan penggarap, besar
bagian masing-masing sesuai dengan perjanjian pada waktu akad.
3. Transaksi dengan Pemberian Kepercayaan
Transaksi pemberian kepercayaan adalah akad atau perjanjian mengenai
penjaminan hutang dengan pemberian kepercayaan, adapaun jenis-jenis dari
transakasi dengan pemberian kepercayaan adalah sebagai berikut:
 Jaminan (Kafalah / Damanah), yaitu mengalihkan tanggung jawab seseorang
(yang dijamin) kepada orang lain (penjamin)
 Gadai (Rahn), yaitu menjadikan barang berharga sebagai jaminan yang
mengikat dengan hutang dan dapat dijadikan sebagai bayaran hutang jika
yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya
 Pemindahan Hutang (Hiwalah), yaitu memindahkan kewajiban membayar
hutang kepada orang lain yang memiliki sangkutan hutang.
4. Hutang Piutang
Hutang piutang adalah akad atau perjanjian antara pihak yang berhutang
(peminjam) dan pihak yang berpiutang (yang meminjam). Adapun syarat dalam
utang piutang adalah sebagai berikut:
 Yang berpiutang tidak meminta pembayaran melebihi pokok piutang
(bunga)..
 Peminjam tidak boleh menunda-nunda pembayaran utangnya
 Barang (uang) yang diutangkan atau dipinjamkan adalah milik sah dari yang
meminjamkan
 Pengembalian utang tidak boleh kurang nilainya
 Disunahkan mengembalikan lebih dari pokok utangnya
5. Titipan (Wadi’ah)
Wadi’ah adalah transaksi dimana suatu barang ditinggalkan oleh pemiliknya
untuk dijaga oleh orang lain yang sanggup menjaga barang tersebut.
Syarat wadi’ah :
 Barang yang dititipkan dapat dikenakan biaya penitipan sesuai dengan nilai
barang dan lamanya waktu penitipan

8

 Barang yang dititipkan tidak boleh barang yang diharamkan dan/atau
diperoleh dengan cara yang haram
 Barang titipan menjadi tanggung jawab penuh pihak penyedia jasa titipan
 Barang

titipan

dapat

dikembalikan

kapan

saja

pemilik

barang

menghendakinya.
6.

Transaksi Pemberian/ Perwakilan dalam Transaksi (Wakalah)
Wakalah adalah pemberian kuasa (mewakilkan) kepada pihak lain untuk
melakukan sebuah transaksi, atau pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai
pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang
diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas
kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa
itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung
jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama
atau pemberi kuasa.
Syarat Transaksi Wakalah :
Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
 Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak
untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu
seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
 Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain
juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf.
Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal
serta pula tidak boleh seorang yang gila.
Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil) :
 Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang
mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu
syarat bagi pihak yng diwakilkan.
 Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa
ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas
kesengajaanya,
9

Obyek yang diwakilkan :
 Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual
beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan
pihak yang memberikan kuasa.
 Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang
bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu
yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan
sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan
pihak yang diwakilkan.
 Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang
akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
Shighat :
 Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima
kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta
aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
 Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa
 Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas
pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

10

KESIMPULAN
Dalam Islam, kegiatan berbisnis guna memenuhi kebutuhan hidup sangat lah
dianjurkan. Manusia diberi kebebasan untuk mengeksplor segala bentuk usaha. Namun,
disamping itu manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki akal pikiran juga dibatasi
oleh sebuah etika dalam menjalankan bisnis itu sendiri. Etika berbisnis dalam islam
memiliki prinsip dasar yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits, yaitu Prinsip tauhid,
Prinsip Keadilan dan Kebebasan dan Tanggung Jawab.
Dalam melaksanakan bisnis kita dituntut untuk adil yang mana tidak berat sebelah
atau tidak memihak ke salah satu pihak serta memberikan sesuatu kepada orang sesuai
dengan hak yang harus diperolehnya. prinsip keadilan ini dimaksudkan untuk
menghilangkan jarak antara si kaya dan si miskin sehingga tercipta sebuah pemeratan
kesejahteraan antar sesama manusia. Dalam islam, juga terdapat transaksi-transaksi bisnis
yang tentu mampu menciptakan kemaslahatan kehidupan manusia. Adapun transaksinya
adalah Jual Beli, Kerjasama Usaha atau Syirkah, Wadi’ah, Perwalian, Hutang Piutang,
dan Transaksi yang berbentuk atas kepercayaan.

11

DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Sirman. Etika Bisnis Menurut Hukum Islam (Suatu Kajian Normatif).
Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986.
Nawatmi, Sri. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Semarang: Universitas Stikubank. Vol. 9 no.
1.
http://dinamardiyah.blogspot.co.id/ diunduh pada Senin, 28 September 2015 : 13.00 WIB
http://serbamakalah.blogspot.co.id/ diunduh pada Selasa, 29 September 2015 : 15.00 WIB

12